BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Di Amerika, Peradilan Pidana Ditiadakan Jika Diimpeachment

Written By gusdurian on Kamis, 29 November 2012 | 11.54

RMOL.Kalangan DPR sibuk memilih jalur politik atau hukum untuk menyelesaikan kasus Bank Century yang diduga melibatkan Wapres Boediono. Tapi bagi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, ka­­langan DPR tidak perlu me­ri­butkan hal itu. Penanganannya bi­­sa dilakukan pararel, yakni se­cara politik dan secara hukum. “KPK dan DPR bisa bersa­ma­an menggarap kasus Bank Cen­tury terkait dugaan keterlibatan Wa­pres. Ini artinya,’DPR bisa me­­lakukan penyelidikan dan ha­silnya dibawa ke MK,’’ kata Mah­­fud MD kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Bekas Menteri Pertahanan itu menegaskan, KPK bisa memerik­sa dugaan pidana yang dilakukan Wapres Boediono. “KPK itu berhak periksa siapa saja, termasuk presiden dan wa­pres serta pejabat lainnya,’’ ujarnya. Menurut Mahfud, kasus Bank Century bisa berjalan paralel an­ta­ra DPR dan KPK. Karena jalur, tu­juan, dan produknya berbeda. Yak­ni, proses hukum tata negara dan satu lagi proses hukum pidana. Berikut kutipan selengkapnya: Apa mungkin dilakukan ber­sa­maan? Itu mungkin saja. Tapi itu terse­rah DPR dan KPK. Yang jelas, pe­radilan pidana produknya ada­lah vonis dengan pembuktian me­nurut hukum acara pidana yang isi vonisnya bisa menghukum pen­jara atau membebaskan. Selain itu, tidak dibatasi waktu, bisa berlangsung lama. Buktinya, kasus Century ini penyidikannya saja tidak kelar-kelar. Ini berbeda dengan peradilan di MK. Di mana bedanya? Peradilan di MK itu produknya membenarkan atau tidak mem­benarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden me­langgar hukum tertentu. Misal­nya, korupsi atau pe­nyua­pan. MK itu mengadili dak­waan atau im­peachment DPR yang le­bih politis. Produknya bukan hukuman me­lainkan konfirmasi atas pen­dapat DPR. MK tidak meng­hu­kum, sebab hukuman dalam im­peachment berupa hukuman po­litik yang dijatuhkan oleh MPR. Bagaimana dengan batas waktu peradilan? Peradilan impeachment di MK itu dibatasi harus selesai 90 hari. Sedangkan di peradilan pidana, waktunya tidak terbatas. Kalau begitu MK dulu yang memutus baru peradilan pidana? Tidak begitu juga. Kalau saling me­nunggu begitu, bisa kacau. Mi­salnya, MK menyatakan benar pre­siden atau wapres bersalah seperti dakwaan DPR. Tetapi MK kan tidak menentukan hukuman. Pengadilan tetap harus bersidang lagi untuk menentukan hukuman pidananya. Bukankah di Amerika Seri­kat tidak melakukan seperti itu? Betul. Di sana kalau presiden su­dah diadili dengan impeach­ment, peradilan pidananya ditia­dakan dengan alasan ne bis in idem. Tetapi di Indonesia itu kan tidak pernah disetujui seperti itu. Dulu sudah diperdebatkan di MPR sampai habis-habisan. Tapi tidak mengambil keputusan tegas seperti Amerika Serikat. Makanya ada perbedaan penaf­siran dan itu sah saja. Bahkan perbedaan itu terjadi di kalangan anggota MPR yang ikut membuat UUD 1945. Yang jelas, kita sudah punya pengalaman bahwa kedua­nya berjalan paralel. Pengalaman yang mana? Lho, dulu Presiden Gus Dur di­periksa secara pidana dalam ka­sus Bulog dan Brunei dan tidak ter­bukti bersalah oleh Kajaksaan Agung. Tapi, impeachment terus jalan sampai memorandum II. Proses pidana dan hukum tata ne­garanya berjalan sendiri-sendiri. Ini artinya, Gus Dur dulu dila­kukan pararel, sekarang juga bisa seperti itu. Melihat DPR mayoritas pen­du­kung pemerintah, apa mung­kin ada proses politik itu? Saya tidak percaya akan ada impeachment dalam kasus ini. Itu impossible. Sebab, untuk menge­luarkan pernyataan pendapat bagi keperluan impeachment DPR ha­rus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR dan 2/3 dari yang hadir itu harus setuju menge­luar­kan pernyataan pendapat itu. Nah, ka­lau dalam sidang itu, Partai De­mokrat dan koalisinya tidak mau hadir sidang, maka pernya­taan pendapat tidak bisa dibuat. Misalnya saja, Partai Demo­krat, PAN, dan PKB tidak hadir da­lam sidang, maka proses im­peachment tidak akan bisa terjadi. Sangat mustahil akan ada im­peachment. Solusinya bagaimana? KPK terus terang saja. Apakah ada tersangka lain dalam kasus itu atau bagaimana. Kalau ada, ya te­tap saja. Tapi kalau tidak ada, ya bilang bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menambah ter­sangka lagi. Tapi kalau ada bukti untuk menambah tersangka, ya kerja­kan proses hukum itu dengan ce­pat. Tidak perlu takut. Kasus ini sangat membosankan. Makanya perlu dituntaskan. [Harian Rakyat Merdeka] http://www.rmol.co/read/2012/11/26/86904/Mahfud-MD:-Di-Amerika,-Peradilan-Pidana-Ditiadakan-Jika-Diimpeachment-

Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century

Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century Bambang Soesatyo Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Kalau rakyat yang ditanya, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan kasus Century?" MENGAPA harus takut menyelesaikan persoalan? Hak menyatakan pendapat atas skandal Bank Century yang diwacanakan DPR belakangan ini dilandasi semangat menyelesaikan persoalan. Implikasi politiknya memang tak terhindarkan. Mengapa juga harus takut dengan implikasi politik dari hak menyatakan pendapat? Itulah risiko yang harus ditanggung bangsa ini, jika ada kemauan politik yang sungguhsungguh untuk menyelesaikan hingga tuntas skandal Bank Century. Mengambangkan penyelesaian hukum dan penyelesaian politik skandal Bank Century merefleksikan sikap pengecut. Kalau pengecut, jelas Anda tidak layak memangku jabatan-jabatan strategis untuk mengelola kepentingan negara dan kepentingan rakyat. Tentu akan lebih buruk lagi kalau motif mengambangkan penyelesaian skandal Century adalah menyembunyikan pelanggaran hukum yang diduga dilakukan elite penguasa. Itu kebiasaan buruk yang coba diulang-ulang. Kalau kebiasaan buruk itu tidak dihentikan, perjalanan sejarah bangsa memasuki dekade-dekade selanjutnya akan sarat dengan dosa sejarah karena ketakutan generasi saat ini menyelesaikan persoalan. Ada begitu banyak kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi pada era sebelumnya tidak pernah ditangani. Kasus BLBI bahkan nyaris sudah menjadi dosa sejarah karena generasi terkini pun tidak berani menuntaskan kasus itu. Haruskah nasib skandal Century dibiarkan sama dengan kasus BLBI karena bangsa ini takut menyelesaikan persoalanpersoalan besar? Indonesia tidak boleh terperangkap dalam rasa takut itu. Mewujudkan Indonesia negara hukum menuntut konsistensi. Konsistensi harus dibuktikan dengan kemauan dan keberanian politik yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan hingga tuntas persoalan-persoalan hukum, baik skala besar maupun kecil. Sebesar atau sekecil apa pun persoalan hukum itu, penyelenggara negara dan pemerintahan harus memastikan tidak ada pertanyaan yang tersisa di benak rakyat dari setiap kasus atau persoalan hukum. Itulah konsistensi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia negara hukum. Sistem hukum dan sistem politik Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menyelesaikan skandal perselingkuhan yang melibatkan mantan Direktur Badan Intelijen AS (CIA), David Petraeus, dan John Allen, jenderal bintang empat yang menjabat Panglima Pasukan AS di Afghanistan. Di Prancis, mantan Presiden Nicolas Sarkozy diajukan ke pengadilan karena dituduh menerima dana sumbangan ilegal untuk kampanye tahun 2007 dari ahli waris industri kosmetika L’Oreal, Liliane Bettencourt. Sementara itu, di Italia, mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi juga harus dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dan membayar remaja usia 17 tahun untuk melakukan hubungan seksual. Itulah contoh negara yang mencoba konsisten menegakkan keadilan dan contoh konsistensi tentang menempatkan semua orang sama di hadapan hukum. Tidak ada implikasi politik yang luar biasa di tiga negara itu berkat kedewasaan dan kematangan berpolitik. Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus terjadi ketakutan luar biasa manakala muncul desakan agar skandal Bank Century segera dituntaskan, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme poli tik? Kalau yang dijaga sematamata stabilitas pemerintahan, berarti aspek keadilan yang dikorbankan. Kalau seperti itu maunya, jangan lagi beranganangan mewujudkan Indonesia negara hukum. Kalau dikhawatirkan pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Boediono akan memakan biaya politik sangat besar, berarti benar bahwa budaya politik kita masih jauh dari tahap dewasa. Kalaupun harus terjadi pergantian figur wakil presiden, mestinya tidak mahal. Juga tidak harus menimbulkan implikasi politik yang luar biasa. Sebab hanya dibutuhkan kesepakatan sejumlah partai politik anggota koalisi yang mendukung pemerintahan saat ini. Soal pilihan KPK sudah menemukan fakta tindak pidana korupsi oleh dua pejabat Bank Indonesia (BI) dalam pemberian fasilitas pin jaman jangka pendek (FPJP) untuk eks Bank Century, sehingga merugikan keuangan negara. Selain itu, kedua pejabat BI itu diduga menyalahgunakan wewenang mereka saat menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemis. Sangat logis juga kalau KPK sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur BI waktu itu, Boediono (kini menjabat Wapres RI), juga mengerti dan berperan dalam pemberian FPJP sebesar Rp6,7 triliun pada 2008 itu. Tim Pengawas (Timwas) Kasus Bank Century DPR tentu saja harus memberi perhatian ekstra ketika KPK menegaskan bahwa Boediono tidak kebal hukum. Dia bisa diperiksa lagi oleh KPK, dan tak tertutup kemungkinan menjadi tersangka jika KPK sudah memeriksa dua pejabat BI yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mengacu pada progres yang diperlihatkan KPK, sebuah tim kecil yang dibentuk Timwas Bank Century DPR mulai menyusun draf laporan akhir. Laporan itu akan dibahas dalam rapat pleno internal timwas pada awal Desember 2012. Pleno timwas akan menetapkan sebuah keputusan yang akan dibacakan dalam forum sidang paripurna DPR untuk penutupan masa sidang 2012, yang dijadwalkan pertengahan Desember 2012. Bagaimanapun, timwas menggarisbawahi keputusan KPK yang telah meningkatkan penanganan kasus Bank Century ke tahap penyidikan karena telah ditemukannya fakta tindak pidana korupsi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan unsur kerugian negara. Karena fakta-fakta itu terjadi saat Boediono menjabat Gubernur BI, timwas amat mungkin akan merekomendasikan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Itu dianggap sangat penting karena hak menyatakan pendapat akan memberi kepastian hukum dan kepastian politik bagi Boediiono. Timwas sadar betul bahwa agenda hak menyatakan pendapat tak mudah. Bukan pekerjaan ringan untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Sebab pelaksanaan hak menyatakan pendapat harus didukung dua pertiga suara anggota DPR. Publik tahu bahwa di atas kertas, mayoritas anggota DPR adalah pendukung pemerintah. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menunggu pandangan akhir Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk sampai pada penilaian akhir, MK bisa butuh waktu 90 hari. Kalau menurut MK tidak ditemukan cukup bukti adanya perbuatan melawan hukum, Boediono otomatis bebas. Nama baiknya wajib dipulihkan. Dengan demikian, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak memiliki beban lagi atau tersandera kasus Bank Century. Sebaliknya, jika penilaian MK sejalan dengan temuan BPK dan Pansus DPR, terbuka peluang bagi tokoh-tokoh Partai Demokrat untuk menduduki kursi wapres yang ditinggalkan Boediono. Sebab wewenang untuk mengajukan pengganti Boediono dalam Sidang Istimewa MPR adalah milik Presiden Yudhoyono. Idealnya, wacana tentang hak menyatakan pendapat dipahami sebagai niat menyelesaikan persoalan hukum yang selama ini menyandera pemerintahan SBY-Boediono. Hak menyatakan pendapat punya implikasi politis memang tak terhindarkan karena menyentuh jabatan politis. Maka implikasi politik dari hak menyatakan harus diterima sebagai konsekuensi logis. Apa yang ditakutkan dari implikasi itu? Pilihannya sebenarnya sangat jelas dan sederhana. Tetap membiarkan pemerintahan ini tersandera plus citra buruk yang harus ditanggung Boediono, atau membebaskan pemerintahan SBY dari kecurigaan dan tuduhan sekaligus memulihkan nama baik Boediono? Siapa yang bisa dan berhak memilih tak perlu disebutkan lagi. Namun, kalau rakyat yang ditanya, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan kasus Century? http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/11/27/ArticleHtmls/Kenapa-Takut-Tuntaskan-Skandal-Century-27112012020021.shtml?Mode=1

Mengkritisi politik dinasti

Perbincangan tentang politik dinasti keluarga kembali mencuat ke permukaan. Perbincangan ini tidak hanya menjadi obrolan serius para politisi, pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, aktivis partai politik; tetapi juga telah menjadi obrolan warung kopi masyarakat biasa. Hal ini tidak lepas dari beberapa suksesi politik di daerah yang diramaikan oleh fenomena banyaknya istri, anak, mertua, sanak saudara, yang menjadi kandidat calon bupati,wali kota, atau gubernur. Bahkan di beberapa daerah tertentu, politik dinasti keluarga seakan-akan mendapatkan legitimasi yang kuat dan menjadi inspirasi daerah lain ketika para keluarga incumbent (petahana) berhasil memenangi pertarungan pilkada. Peneliti senior LSI, Burhanuddin Muhtadi (http://fokus.- news.viva.co.id), mengatakan bahwa kemenangan para keluarga incumbent ini sangat masuk akal.Mereka, kata Burhanudin, unggul karena beberapa alasan. Sah-sah saja semua anggota keluarga terjun dalam dunia politik. Semua warga negara memiliki hak asasi untuk mencalonkan dan dicalonkan. Semua warga negara dijamin secara hukum dan perundangundangan untuk memilih dan dipilih dalam setiap momentum politik pemilihan umum, baik pemilhan kepala desa, pemilihan kepala daerah,maupun pemilihan presiden. Paling tidak ada beberapa catatan penting yang seyogianya perlu kita pertimbangkan ketika politik dinasti keluarga ini mendominasi dalam berbagai momen suksesi kepemimpinan. Pertama, mekanisme organisasi kepartaian harus tetap on the track dilakukan,sehingga tidak menimbulkan gejolak internal di kalangan para pengurus dan para kader partai politik ketika akan mengusung kandidat dari tokoh sanak saudaraincumbent. Hal ini sematamata mesti dipahami dalam konteks bagaimana kita konsisten dan berkomitmen dalam melakukan kaderisasi. Kedua, siapa pun keluarga politik yang mempunyai trah politik keluarga yang mau tampil seyogianya dia adalah kader partai yang dibuktikan dengan keanggotaan dan keaktifannya di dalam membesarkan partai politik. Hal ini semata-mata dipahami agar institusi partai politik yang selama ini kita pahami sebagai institusi pencipta kader pemimpin benarbenar dihormati harkat, martabat, dan marwah politiknya. Ketiga, bahwa partai politik bukanlah semata-mata "kendaraan rental politik" yang setiap waktu dan setiap saat bisa "direntalkan" atas dasar motif ekonomi-politik.Kita harus merawat partai politik adalah institusi yang sah dalam melahirkan kader-kader kepemimpinan yang mumpuni. Keempat, kualitas dari trah dinasti politik harus teruji dan tepercaya, sehingga kualitas dan keberhasilan dalam konteks kepemimpinannya akan berakibat positif terhadap perkembangan dan kebesaran partai itu sendiri.Sebaliknya, jika kualitasnya banyak tidak dirasakan manfaatnya bagi rakyat itu sendiri, dipastikan yang terkena dampak negatif dari kualitas negatif kepemimpinannya akan berakibat negatif pula terhadap citra dan kondisi partai politik pengusungnya. Namun, penting untuk mengevaluasi dan mengeliminasi dampak negatif dari kecenderungan politik dinasti yang memanfaatkan tokoh incumbent hanya semata-mata untuk "menumpang" popularitas. Apalagi jika para sanak saudara yang mencalonkan diri dalam setiap momentum politik lagi-lagi adalah mereka yang tidak pernah menempa diri dan terjun langsung dalam dinamika partai politik. Padahal, seyogianya para kader-kader pemimpin yang akan kita tawarkan untuk dipilih masyarakat adalah mereka yang telah berjibaku menempa diri dengan aktif di ormas,partai politik atau organisasi profesi, termasuk juga organisasi militer.Dengan "terjun langsung"dalam dinamika berbagai organisasi inilah mental dan skill dalam mengelola organisasi bisa teruji. Beda halnya jika tokoh yang digadang-gadang sebagai penerus kekuasaan,walaupun masih dari unsur keluarga petahana itu memang memiliki kemampuan, kecakapan,kecerdasan, intelektualitas, kapasitas,kapabilitas, dan keterampilan politik yang mumpuni. Tentu saja partai politik harus "shopping" dan membuat daftar atas dasar kesepakatan internal yang diuji oleh survei pemilih yang valid dan tepercaya. Menurut hemat penulis, patut kiranya kita apresiasi ketika Kementerian Dalam Negeri kini melakukan terobosan dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang di dalamnya berisi mengenai pembatasan politik dinasti keluarga.Pada draf undang-undang yang salah satunya berinti materi tentang pembatasan politik dinasti keluarga dengan mengatur hak politik dan hak asasi untuk dipilih dengan jeda waktu tertentu adalah bisa dipandang melanggar hak asasi manusia. Karena siapa pun yang terlahir di dunia ini tidak pernah sebelumnya bercita-cita harus terlahir dari keluarga trah politik, keluarga pengusaha,keluarga presiden,ataukeluargalainnya. Manusia terlahir dan terdidik karena sudah given menjadi bagian dari manusia yang terlahir dari pasangan manusia sebelumnya. Artinya soal hak asasi dan hak untuk dipilih pada prinsip keadilan dan kesempatan yang sama tidak bisa harus diatur dalam sebuah undang-undang. Karena jelas hal ini dapat melanggar hak asasi setiap manusia. Karena itu, untuk mengeliminasi dampak negatif politik dinasti keluarga dalam konteks mencari suplai kader pemimpin, soal ini merupakan pekerjaan rumah bagi partai politik di dalam membenahi soal sistem rekrutmen dan soal kaderisasi kader-kader partai politik. Bisa saja suplai kader salah satunya bersumber dari proses politik dinasti keluarga. Akan tetapi secara prinsip partai politik harus mempunyai perlakuan yang sama terhadap siapa pun yang direkrut dan dikader di dalam partai tersebut. Bahkan kemudian, menurut penilaian yang dipandang objektif, ada beberapa kader partai yang dipandang kapabel, kredibel, dan pantas dijadikan top leader yang realitasnya ternyata berasal dari trah keluarga dinasti politik,itusoallain.Semuakader harus diperlakukan sama. Dengan perlakuan yang sama inilah kemudian para kader partai politik baik yang muncul sebagai buah kaderisasi struktural internal partai politik atau hasil "shopping" yang didasari mekanisme peraturan internal partai politik, maka diharapkan tercipta kompetisi yang sehat. Perlakuan dan kesempatan yang sama akan memacu persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat akan memaksa mereka yang maju dalam pilkada untuk lebih kreatif dan produktif di dalam menyiapkan berbagai strategi yang positif untuk memenangi pertarungan. Dengan kreativitas inilah kemudian diharapkan munculnya berbagai gagasan dan solusi konkret yang amat dibutuhkan masyarakat di tengah impitan dan problem-problem ekonomi-sosial- politik yang terjadi saat ini. Karena, bisa jadi, solusi yang kreatif dan sederhana justru merupakan jawaban yang cukup signifikan di dalam menjawab berbagai problema yang sedang dihadapi bangsa kita saat ini. SAAN MUSTOPA Wasekjen Partai Demokrat Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia http://nasional.sindonews.com/read/2012/11/27/18/691835/mengkritisi-politik-dinasti

Teladan Konsistensi Nalar Socrates

Asep Salahudin Dekan IAILM Suryalaya SEPERTI banyak ditulis dalam traktat filsafat, Socrates ialah seorang filsuf yang pernah menjadi terdakwa dari sebuah dakwaan yang absurd. Itu terjadi di 399 SM. Ia dituduh telah meracuni kaum muda dengan pemikirannya yang liberal, antikemapanan, dan selalu mempertanyakan ihwal yang dianggap kebenaran. Kedua, Socrates dianggap telah melecehkan agama karena menolak melakukan upacara dogmatis terhadap dewa di Yunani, mempersoalkan iman yang telah dikukuhi masyarakat Athena tentang dewa-dewa di Kahyangan sekaligus dituduh menodai kesakralan keyakinan karena mempersoalkan teks agama yang telah baku. Dua tuduhan itu tentu sangat serius karena dianggap bisa meruntuhkan wibawa status quo baik yang berkaitan dengan wibawa agama ataupun karisma negara. Apabila tidak dihentikan, nalar Socrates bisa menjadi wabah yang meracuni kaum muda dan masyarakat Athena. Itu artinya pada suatu saat akan menjadi energi dahsyat yang bisa merobohkan pranata sosial dan sistem keyakinan yang tertutup. Socrates bukanlah terdakwa yang cengeng. Dia datang ke majelis pengadilan dengan wajah tengadah karena sejak awal merasa tidak pernah bersalah. Tidak ada pembela. Yang menjadi penuntutnya simpul dari tiga pilar kekuatan. Pertama Anytus (politikus demokratik di kota itu). Kedua, Meletus (penyair dengan kepandaian mengolah logika dan menangkap makna kata), dan ketiga Lykon (pakar retorika yang kata-katanya bisa meyakinkan khalayak). Yang terjadi berbeda dengan para terdakwa di negara kita, apalagi terdakwa korupsi yang menjadikan pengadilan sebagai panggung berkelit dan bersilat lidah, menjadi arena untuk mempertontonkan kedunguannya dengan terusmenerus memproduksi dusta dan memperlihatkan penyakit amnesia seperti dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Socrates tidak. Justru pengadilan dijadikan medan untuk mempertaruhkan kebenaran dan membuktikan prinsip yang diyakininya. Pengadilan pun dalam sekejap jadi ruang ceramah filosofis mencerahkan sang terdakwa yang ditengarai sang Apollo sebagai manusia terpandai dan hadiah para dewa untuk Athena. Argumen Socrates benarbenar dijangkarkan dalam dialektika nalar yang kukuh, logika yang runtut, dan akal budi yang ajek. Tidak sekadar membantah, tetapi juga sekaligus menawarkan letak kesalahan para penuntutnya. Bukan apologia agar dianggap benar, melainkan spirit logika menunjukkan makna kebenaran yang autentik. Pembelaan yang dilakukannya bukan sebagai pembenaran, melainkan cermin untuk meneguhkan reputasi kebenaran dan kejujuran yang h harus dijunjung tinggi oleh s siapa pun. Kebenaran dan kejujuran sebagai kebajikan utama dari keseluruhan konstruksi moralitas kebudayaan manusia. Mengingatkan saya pada sabda sang Nabi, “Kejujuran pintu kepada kebenaran dan kebenaran awal dari tergelarnya keadaban publik.“ Dia berdebat dengan tiga prosecutor dengan sangat meyakinkan sekaligus mematahkan selu ruh dakwaan yang sangat tidak berdasar. Tentu kuasa ber bicara dengan logikanya sendiri. Sejak awal telah dipersiapkan strategi untuk membungkam terdakwa, rekayasa. Ujung kayasa. Ujung cerita dari pengadilan itu dapat d i t e r k a ke mana muaranya. nya. Socrates sadar bahwa ia tengah berbicara dengan `tembok' kekuasaan yang tuli, dan dengan massa yang telah t e r p r o vokasi. Socrates semakin tersudutkan. Namun, dia tetap tidak mau berkompromi. Negosiasi untuk mengatur perkara ditampik. Kesempatan untuk memenga ruhi jaksa dan hakim dengan cara disogok tidak diterimanya. Ditolak juga tawaran para muridnya yang dapat membantunya kabur ke `luar negeri' dengan cara menyumpal para penjaga. Socrates lebih terpikat memilih bersama kebenaran dan keyakinannya. Kematian bahkan dianggap sebagai ruang untuk meneruskan renungan renungan filosofisnya. Katanya, “Orang mesti ikhlas menerima kematian. Di seberang kematian ada kehidupan yang lebih indah dan ramah. Setelah mati pertanyaan-pertanyaan filsafat itu akan aku lanjutkan walaupun tidak akan pernah menemukan jawaban.“ Kemudian dia sampaikan juga, “Tidak ada yang harus disesali. Sebuah kematian yang saya hadapi demi menyambut fajar kehidupan yang lebih indah bagi generasi masa de pan, bagi kaum muda yang suatu saat akan larut atu saat akan larut dalam nalar filosofis yang mencerahkan seperti yang kua jarkan! Untuk dicatat bahwa pernah ada manusia yang ti dak mau larut dalam keadaan; menjadi limbo sejarah logika yang kacau, dari massa yang tidak memiliki pendirian kecuali sekadar mengikuti sabda sang raja.“ Socrates sangat bertanggung jawab dengan pilihannya, diambillah salah satu cawan dari tiga cawan yang diserahkannya. Cawan yang dipilihnya tak lain racun. Diteguknya dengan tenang. Tidak berkelit, apalagi mundur. Bukankah sedari awal dia sudah berujar bahwa hukum harus dipatuhi walaupun hakim yang menjatuhkannya keliru. Penuh pesona Dahsyat. Itulah kesan saya ketika membaca fragmenfragmen kehidupan Socrates. Itu pula yang kemudian menyebabkan filsuf eksistensial Denmark Soren Keargaard di kemudian hari menahbiskan Socrates sebagai contoh manusia yang telah sampai pada maqom etis. Sosok yang telah berhasil menjadi `manusia' sempurna karena hidupnya berbanding lurus dengan etika, prinsip dasarnya tidak pernah dibarterkan dengan kuasa, benda, dan kepentingan diri. Satu level di bawah manusia religius serupa Ibrahim yang mencapai keutamaan dengan cara `lompatan iman'; seluruh miliknya dipertaruhkan termasuk anak yang dicintainya atas nama Tuhan (kebenaran dengan K besar). Yang paling rendah tentu, dalam tipologi Keargaard, ialah manusia estetis yang hidupnya berporos untuk menghamba kan diri pada kepentingan sesaat, keserakahan, dan kebendaan. Socrates sesungguhnya tengah menyampaikan pidato etik yang sangat relevan dalam konteks kebangsaan. Relevansinya justru ketika hukum dan politik hari ini tidak meresapkan rasa keadilan yang merata. Politik tidak membawa keberkahan bagi khalayak kecuali hanya kegaduhan yang berujung pada uang, transaksi, dan atraksi berebut jabatan dan mencuri anggaran. Pengadilan menjadi panggung yang dengan sangat sempurna memerankan dramaturgi kejujuran dan kebenaran yang terus mengalami defisit. Tentu pada saat yang sama ialah surplus arogansi, dusta, dan rekayasa. Itulah yang menjadi alasan utama mengapa koruptor tidak pernah jera. Korupsi terus menampakkan grafik menaik. Kasus mafia anggaran, Wisma Atlet, mafia pajak, pengemplangan BUMN, titipan pejabat di setiap kementerian sebagai sapi perah partai, dan lain sebagainya semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya kita tengah menerapkan sistem kleptokrasi. Korupsi dilakukan secara berjemaah, sistemis, dan terorganisasi. Di titik ini rakyat yang tempo hari direpresentasikan Deddy Sugardi dengan geram membacok seorang mantan jaksa korup di Kejaksaan Tinggi Cibinong Bogor, Sistoyo, karena melihat justru pengadilan yang seharusnya menjadi pilar utama tegaknya keadilan malah menjadi bagian dari lembaga korup. Alhasil, Socrates menjadi sebuah terdakwa yang sangat panas pada masanya. Kita menunggu terdakwa-terdakwa (dan calon terdakwa) dengan tegap mengikuti langkah Socrates. `Meminum racun' untuk membuktikan kebenarannya. Bukan sekadar pernyataan siap digantung di Monas, sumpah pocong, dan lain sebagainya yang sekadar retorika. http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/11/28/ArticleHtmls/Teladan-Konsistensi-Nalar-Socrates-28112012020018.shtml?Mode=1

Capres pilihan orang pintar

Nama Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menjadi 'bintang' dalam hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Rabu (28/11) kemarin. Mahfud mendapat skor tertinggi dari responden survei, para tokoh yang dikategorikan sebagai opinion leader. Ada lima kategori yang dirangkum dari survei LSI tersebut. Pertama, kategori tokoh yang mampu memimpin negara dan pemerintahan. Kedua, kategori tidak melakukan atau diopinikan melakukan KKN. Ketiga, kategori tidak melakukan atau diopinikan melakukan pelanggaran HAM. Keempat, kategori Jujur, amanah atau bisa dipercaya. Kelima, kategori mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan. Kecuali untuk kategori pertama yang 'dimenangkan' Jusuf Kalla, empat kategori lainnya diambil Mahfud MD, meski skor dengan tokoh di bawahnya cukup ketat. Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi menjelaskan, survei ini merupakan non probability sampling. Artinya, sampel survei telah ditetapkan terlebih dahulu dengan responden terdiri dari 223 opinion leader. Dari jumlah itu, hanya 178 orang yang mau dipublikasikan namanya sebagai responden atau penilai. Opinion leader yang ditetapkan adalah tokoh-tokoh yang biasa menjadi narasumber di media massa dan berpendidikan S-3 dari latar belakang yang beragam. Beberapa nama itu adalah Bambang Harrymurti, Fahrul Razi, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Iman Sugema, Karni Ilyas, Luhut Binsar Panjaitan, Syafii Maarif, Nono Anwar Makarim, Said Agil Siraj, Saldi Isra, Sri Adiningsih, Subagyo HS, Todung Mulya Lubis dan beberapa tokoh lainnya. Mereka diwawancarai dan diberikan semacam lembar penilaian dengan nama-nama tokoh di dalamnya yang dianggap layak sebagai capres. Skor yang diberikan menggunakan skala 0-100. Dodi menambahkan, eksplorasi tokoh-tokoh dilakukan antara Januari-Mei 2012. Sedangkan wawancara dengan opinion leader dilakukan Juni-Oktober. "Namun demikian masing-masing tokoh punya nilai yang cukup beragam dari 5 indikator kualitas personal menjadi presiden," imbuhnya. Menanggapi hasil survei yang mengunggulkan dirinya, Mahfud yang hadir dalam rilis survei kemarin menyatakan senang dirinya selalu masuk dalam survei berbagai lembaga. Namun dia mengatakan, senang bukan berarti dia ingin mencapreskan dirinya. Mahfud menyatakan tahu diri. "Saya tahu diri, karena harus punya partai dan uang. Mungkin dua itu bisa dinego, tapi idealisme tidak bisa dinego," tukas mantan politikus PKB ini. Hingga kini, Mahfud menegaskan, belum berani mengatakan iya atau tidak soal pencalonan. "Pada saatnya, saya akan katakan iya atau tidak," kata Mahfud. "Pada akhirnya, rakyat yang menentukan," ujar Mahfud. Sementara itu, Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari yang dihubungi merdeka.com secara terpisah menilai, metode survei dengan non probability sampling memang jarang digunakan. Metode ini memang digunakan untuk kepentingan tertentu. "Survei seperti ini memang bermaksud mencari gambaran dari kalangan masyarakat tertentu. Ini semacam pandangan elit terhadap sejumlah tokoh-tokoh yang ada yang layak menjadi capres. Tentu saja hasilnya berbeda dengan survei terhadap responden yang merupakan voters dengan metode random sampling," papar Qodari. Dia menambahkan, tidak ada masalah dengan metode survei seperti ini, karena hasil survei tersebut merupakan pandangan masing-masing opinion leader terhadap tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi capres. Soal munculnya nama Mahfud MD di urutan teratas, Qodari mengatakan justru hal ini merupakan temuan yang menarik. Jika membandingkan dengan survei konvensional lain, nama Mahfud belum pernah unggul. "Kalau pakai kriteria lain, mungkin saja yang muncul tokoh lain, bukan Pak Mahfud. Survei ini menawarkan nama-nama yang di luar nama capres yang sudah ada, membuka ruang alternatif bagi pemilih. Saya kira ini bagus," tutupnya. http://www.merdeka.com/politik/mahfud-md-capres-pilihan-orang-pintar.html

Sekongkol Mabes Polri dan DPR Senayan

Pekan lalu kita menyaksikan adegan-adegan baru yang mulai lagi memojokkan KPK. Dengan dalih melakukan pengawasan, Komisi III DPR memanggil sejumlah mantan penyidik dan mantan penuntut KPK dari kepolisian dan kejaksaan. Beberapa jaksa dan polisi menyampaikan pengalaman dan catatannya atas proses penelitian, penyidikan dan penututan di KPK. Namun keterangan mereka tidak memuaskan Komisi III DPR. Maklum, mereka bertugas pada zaman Antasari Azhar, padahal DPR ingin mengetahui situasi kekinian. Maka, awal pekan ini, Komisi III memanggil mantan penyidik yang baru saja meninggalkan tugas di KPK, baik karena masa kerja telah habis, atau karena mendapat panggilan kembali ke markas oleh Mabes Polri. Mereka itulah yang lebih mengetahui situasi kekinian KPK. Selanjutnya, seperti kita ikuti melalui media massa, sekeluar dari ruangan rapat Komisi III, para mantan penyidik KPK itu langsung mengeluarkan pernyataan. Para wartawan yang meliput pun terkesima. Biasanya keluar dari rapat tertutup, peserta rapat selalu bungkam. Kali ini tidak, begitu alat perekam disodorkan dan kamera di-on-kan, para penyidik langsung menyerocos, bercerita segala macam hal. Intinya, mereka menyampaikan informasi negatif atas apa yang dialami selama menjadi penyidik KPK, khususnya selama kepemimpinan Abraham Samad. Banyak hal, mulai dari penyidikan yang tidak sesuai prosedur, intervensi terhadap penyidik, pemaksaan kehendak, keputusan personal jadi keputusan lembaga, dll. Nyanyian para mantan penyidik KPK itu menjadi sesuatu yang aneh: tidak hanya melanggar kepatutan aparatur, tetapi juga merusak akal sehat masyarakat. Sejak kapan ada aparat atau mantan aparat leluasa mengungkap ke masyarakat pengalamannya dalam menjalankan tugas? Apalagi ini dilakukan oleh para perwira polisi yang masih aktif? Padahal, sudah menjadi doktrin: bagi polisi, hirarki dan disiplin adalah kata kunci. Adegan-adegan mempermalukan KPK di Senayan oleh para mantan penyidik KPK, jelas bertentangan dengan hirarki dan disiplin polisi. Mabes Polri bisa saja berkilah, mereka tidak bisa mencegah undangan Komisi III DPR untuk menghadirkan para mantan penyidik KPK. Tetapi, mengapa mereka dibiarkan bernyanyi di depan kamera televisi? Jika rapat dengan Komisi III berlangsung tertutup, bukankah seharusnya para mantan penyidik juga diam seribu bahasa sekeluarnya dari ruang rapat? Sudah demikian burukkah etika para perwira polisi itu, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang bisa diomongkan ke publik, dan mana yang tidak? Bukankah mereka dahulu adalah penyidik-penyidik yang hebat saat bekerja di KPK; mengapa kini, setelah kembali ke Mabes Polri, peringainya berubah buruk? Hanya orang tidak waras saja yang berani menyatakan, bahwa nyanyian para penyidik KPK itu atas inisiatif para perwira sendiri. Menurut saya, apa yang terjadi di Senayan itu, bukan saja soal pembiaran Mabes Polri meliarkan para mantan penyidik KPK bernyanyi soal keburukan KPK, tetapi menyangkut pemaknaan hirarki dan disiplin yang salah. Tegasnya, tanpa perintah petinggi di Mabes Polri, tidak mungkin para penyidik itu bernyanyi sumbang tentang KPK. Sebagai perwira Mabes Polri, mereka hanya menjalankan perintah untuk menyerang KPK. Perintah itu adalah buah persekongkolan Mabes Polri dengan DPR yang diwakili oleh Komisi III. Mereka adalah sama-sama jadi korban kesungguhan KPK dalam memberantas korupsi. Perlawanan dilakukan dengan memanfaatkan posisi dan fungsi masing-masing. Dengan dalih pengawasan, yang disertai embel-embel memperbaiki mekanisme internal KPK, Komisi III DPR memanggil para mantan penyidik KPK yang kini kembali bertugas di Mabes Polri. Mabes Polri tentu saja tidak bisa melarang para penyidiknya untuk memenuhi undangan KPK. Tetapi apalah artinya, membicarakan KPK di ruang tertutup? Maka, dibiarkanlah para mantan penyidik KPK itu bernyanyi di hadapan kamera wartawan. Dalam persekongkolan ini tampak Mabes Polri semakin buruk rupa, juga para penyidiknya. Sementara Komisi III DPR, sambil kipas-kipas bisa menyatakan, kami menggelar rapat tertutup; kami tidak membocorkan hasil rapat tertutup. Kejadian ini menunjukkan para jenderal polisi dengan gampang bisa dikerjain politisi Senayan. Namun apapun yang dilakukan dan akan dilakukan oleh para politisi dan jenderal polisi itu, mereka takkan berhasil mengacaukan logika masyarakat. http://www.merdeka.com/khas/sekongkol-mabes-polri-dan-dpr-senayan-kolom-selasa.html

Mengukur kinerja gubernur baru DKI Jakarta

Harapan besar masyarakat Jakarta tersandar di bahu Jokowi-Ahok. Tangan dingin Jokowi benar-benar dinantikan hasilnya, bukan saja oleh warga Jakarta, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia yang merindukan model kepemimpinan merakyat yang mengutamakan kerja dan hasil nyata. Harapan besar masyarakat Jakarta tersandar di bahu Jokowi-Ahok. Tangan dingin Jokowi benar-benar dinantikan hasilnya, bukan saja oleh warga Jakarta, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia yang merindukan model kepemimpinan merakyat yang mengutamakan kerja dan hasil nyata. Sebenarnya mudah saja bagi warga Jakarta untuk menilai kinerja gubernur mereka yang baru, lihat saja apakah Jakarta dalam 2-3 tahun ke depan akan terbebas dari masalah kemacetan dan banjir, karena kedua hal tersebutlah yang selama ini memang menjadi beban utama warga dan kota Jakarta. Dalam literatur ilmu manajemen, ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja pemimpin dan organisasi, salah satunya Maclom Baldrige. Ada satu anekdot yang sangat relevan untuk hal ini "we can not manage what we can not measure"artinya kita tidak dapat mengelola sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Metode Malcom Baldrige (MB) pada awalnya (tahun 1987) merupakan penghargaan yang diberikan oleh kongres Amerika Serikat bagi organisasi atau perusahaan yang mempunyai komitmen tinggi dalam mencapai kinerja terbaiknya. Organisasi atau perusahaan itu kemudian diukur berdasarkan kriteria MB yang disebut Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellent (MBCPE).MB diambil dari nama menteri perdagangan Amerika Serikat periode 1981- 1987. Ada tujuh kriteria yang diukur dalam MBCPE dengan bobot yang telah ditentukan: kepemimpinan (120); perencanaan strategis (85); fokus pada pelanggan dan pasar (85); pengukuran, analisa dan pengelolaan pengetahuan (90); fokus kepada sumber daya manusia (85); manajemen proses (85); dan hasil (450). Total poin seluruhnya 1.000, yang terbesar adalah hasil, yaitu 450 poin dan yang kedua kepemimpinan 120 poin. Kita akan kupas masingmasing kriteria untuk menilai Pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi. Pertama, kepemimpinan (120). Pada kriteria ini diukur bagaimana model kepemimpinan Jokowi, model komunikasi dan efektivitasnya, kepekaan terhadap kinerja organisasi, tanggung jawab publik, serta perilaku dan etika.Jika kita menilai, Jokowi tentu mempunyai nilai tinggi pada poin ini, paling tidak sampai dengan saat ini. Seharusnya Jokowi dapat mempertahankan model kepemimpinan dan gaya komunikasinya selama ini,untuk mencapai hasil yang maksimal nantinya. Kedua, perencanaan strategis (85). Dalam perencanaan strategis akan dinilai efektivitas pemimpin dalam menurunkan semua target dan tujuan yang hendak dicapai ke dalam suatu perencanaan program kerja dengan memperhitungkan segala kekuatan dan kelemahan organisasi, menentukan skala prioritas, membuat tahapan program, serta mencari cara terbaik agar suatu program dapat dilaksanakan. Ketiga,fokus pada pelanggan (85).Hal yang dimaksud dengan pelanggan di sini tentu warga Jakarta dan siapa pun yang berada di Jakarta.Di sini dinilai kepekaan pemimpin dan organisasi dalam menerjemahkan semua harapan dan keinginan warga kota ke dalam program kerja yang dilaksanakan. Semua janji kampanye Jokowi selama ini telah mencerminkan kepekaan beliau terhadap keinginan dan harapan masyarakat, tinggal bagaimana konsistensi Jokowi dalam mengonversi janji kampanye ke dalam program kerja. Keempat, pengukuran analisa dan pengelolaan informasi/ pengetahuan (90). Dalam kriteria ini kita akan dilihat bagaimana Jokowi mampu membuat sistem pengukuran terhadap program-program kerja yang dijalankan untuk menilai kinerja aparat di dalam organisasinya. Misalnya, dalam program pilot proyek pembangunan transportasi publik harus sudah ada: pilihan model transportasi publik; pilihan jalur pilot project; potensi daya angkut dan tingkat kemacetan yang dapat dikurangi di jalur tersebut; bagaimana cara melaksanakannya; dan seterusnya. Kelima, fokus pada sumber daya manusia (85).Aspek sumber daya manusia (SDM) harus menjadi perhatian juga. Bagaimana Jokowi bisa memahami kekuatan SDM yang tersedia untuk semaksimal mungkin mendukung semua target dan program kerja yang telah dicanangkan. Pemilihan orang yang tepat pada posisi yang tepat amat menentukan dalam proses ini.Pelaksanaan program kerja untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan SDM yang tersedia juga menjadi ukuran keberhasilan dari kriteria ini--bukan saja teknis, tetapi juga non-teknis, yang terkait dengan moral,perilaku,dan disiplin pegawai.Pembentukan lingkungan dan suasana yang kondusif di kalangan SDM serta keselarasan visi dan misi pemimpin dengan seluruh jajaran SDM dalam organisasi menjadi ukuran yang sangat penting. Keenam, pengelolaan proses (85).Peningkatan efisiensi pada semua proses baik proses di dalam organisasi maupun proses keluar organisasi berupa pelayanan publik menjadi fokus pada aspek ini. Peningkatan tersebut bisa diukur dari kecepatan maupun kemudahan dalam menjalankannya. Pemotongan proses dan birokrasi yang tidak penting harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja di area ini. Demikian juga proses untuk melaksanakan suatu program atau proyek, semua harus dibuat lebih cepat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika dilihat dari pengalaman sebelumnya, ketika menjadi wali kota Solo,Jokowi telah berhasil melakukan terobosanterobosan di area ini, sehingga berbagai macam proses pelayanan publik di Solo berhasil ditingkatkan menjadi lebih singkat, mudah, dan transparan. Ketujuh,hasil yang diperoleh (450). Hasil yang diperoleh memiliki bobot tertinggi pada MBCPE, ini menunjukkan bahwa MBCPE memang berorientasi kepada hasil.Namun, kriteria MBCPE ini juga menyiratkan pesan bahwa hasil ini tidak mungkin tercapai jika pemimpin suatu organisasi tidak menjalankan keenam kriteria lain yang berkontribusi sebesar 55 persen dari keseluruhan bobot penilaian. Dengan lain perkataan, jika seorang pemimpin organisasi menjalankan keenam kriteria tersebut, maka tingkat keberhasilan sudah mencapai 55 persen. Untuk kasus Jokowi-Ahok ini hasil akhir yang harus dicapai misalnya terbebasnya Jakarta dari masalah kemacetan dan banjir, maka hasil akhir inilah yang akan memberikan bobot terbesar bagi tinggi atau rendahnya kinerja pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan mereka. Beberapa kriteria seperti yang tercantum dalam indeks MBCPE juga sudah terlihat pada gaya kepemimpinan Jokowi dan kita sebagai warga yang baik juga dapat memantau apakah dia menjalankan semua kriteria MBCPE tersebut secara konsisten dan benar. Jika dilaksanakan, maka keberhasilan Jokowi untuk membawa Jakarta pada keadaan yang lebih baik tinggal menunggu waktu saja. Handi Sapta Mukti Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan, Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister Manajemen PPM-Jakarta http://nasional.sindonews.com/read/2012/11/29/18/692632/mengukur-kinerja-gubernur-baru-dki-jakarta

Bank Century dan Utang Politik KPK

Oleh Indriyanto Seno Adji Komisi Pemberantasan Korupsi seolah melepas duri dari lembaganya. Pertemuan Tim Pengawas DPR dengan KPK menjelaskan perkembangan penyelidikan kasus Bank Century, terutama sejauh mana penelusuran bukti- bukti yang akan ditingkatkan ke proses penyidikan. Hasil analisis, memang ada peningkatan proses ke penyidikan. Bahkan dari hasil progress report, KPK membidik dua mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dan Siti Fadjrijah, sebagai tersangka. Keduanya diduga bertanggung jawab atas kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Century. Kasus Century adalah perkara yang memiliki keistimewaan karena penyelidikannya paling lama dan mendapat ”perlakuan khusus” DPR. Century mengalami krisis keuangan internal yang membuat negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan melibatkan Gubernur BI dan Menteri Keuangan, mengucurkan dana talangan hampir Rp 6,7 triliun. Penyelamatan Century sebagai bank gagal yang dianggap berpotensi berdampak sistemik ini menimbulkan kontroversi. Karena diduga terjadi penyimpangan, DPR meminta KPK memeriksa dugaan penyimpangan itu. Adakah penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum dalam proses penetapan kebijakan pemberian FPJP ini, dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi? Kepentingan politik Perlu catatan analisis terhadap kemajuan KPK dengan meningkatkan status kasus Century ke penyidikan. Pertama, muncul kesan di masyarakat bahwa peningkatan status kasus Century, dari penyelidikan ke penyidikan oleh KPK ini adalah karena adanya tekanan politik dari kalangan politisi DPR yang multifraksi terhadap KPK, yang dilatari kepentingan politik terkait kekuatan salah satu partai berkuasa. Jadi, bukan semata penegakan hukum murni atau untuk kepentingan pemulihan kinerja Century. Peningkatan status kasus Century ke proses penyidikan ini dianggap sebagai penyelesaian politik atas menggantungnya kasus Century. Asumsinya, seolah penanganan kasus Century merupakan tekanan politik DPR pada KPK. Menuntaskan kasus Century pada akhir 2012 sendiri merupakan janji politik KPK ke DPR dan publik. Ada indikasi politisasi hukum atau tarik-menarik antara penegakan hukum dan kepentingan politik di sini. Kriminalisasi kebijakan? Pemberian dana talangan kepada Century merupakan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dibentuk berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan yang menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Eksistensi KKSK sendiri jadi polemik tersendiri karena Perppu JPSK ditolak DPR pada 18 Desember 2008. Kebijakan pemberian dana talangan dalam bentuk FPJP ini merupakan keputusan KKSK secara kolegial bukan BI semata. Kedua, kebijakan dana talangan dalam bentuk FPJP merupakan tindakan aparatur negara berdasarkan kebijakan negara atau staat beleid yang tak dapat dinilai oleh disiplin ilmu hukum pidana karena staat beleid atau aparatur pelaksananya (overheidsbeleid) merupakan ranah hukum administrasi negara, terlepas dari ada tidaknya kebenaran substansi atas kebijakan itu. Kebijakan itu dikeluarkan dalam kondisi mendesak, urgen, darurat, bahkan instan sehingga umumnya secara substansial tak sesuai, bahkan bertentangan dengan peraturan tertulis. Karena itu, kebijakan abnormal ini tidak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi dalam keadaan normal, baik terhadap unsur penyalahgunaan wewenang maupun tindakan melawan hukum, termasuk substansi kebijakannya. Perbuatan yang dikategorikan penyalahgunaan wewenang ataupun melawan hukum ini karakter perbuatan dalam ranah hukum administrasi negara, selain hukum pidana. Karakter perbuatan yang sama di antara kedua disiplin hukum inilah yang kemudian menjadi wilayah abu-abu sebagai kriminalisasi kebijakan. Sebagai perbandingan, kebijakan dana talangan oleh Federal Reserve dalam peristiwa krisis keuangan AS tahun 2008, yang tetap memberikan imunitas atas intervensi penegak hukum; kecuali intervensi penegak hukum atas penyalahgunaan wewenang atau melawan hukum dari penerima kebijakan, seperti dilakukan Bernard Madoff, yang diperbolehkan. Terhadap kebijakan itu sendiri harus dihindari intervensi penegak hukum. Ketiga, terkait perdebatan yang masih berlangsung mengenai kriminalisasi kebijakan dalam kaitan kasus tindak pidana korupsi. Lembaga yudikatif pun memiliki pandangan dan interpretasi berbeda untuk kasus korupsi yang sama dalam kaitan kebijakan yang dapat atau tidak dapat dikriminalisasikan. Dalam kaitan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, Putusan Mahkamah Agung yang diketuai oleh Bagir Manan mengakui bahwa BLBI merupakan suatu kebijakan pemerintah, tetapi MA menghukum para mantan Direktur BI akibat kebijakan ini. Contoh lain, kasus korupsi Akbar Tandjung. Ia telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan MA No 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Februari 2004 yang menyatakan bahwa kebijakan program pengadaan dan penyaluran sembako yang dijalankannya merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai kewenangan diskresioner. Putusan MA menegaskan bahwa kebijakan tak dapat dinilai dalam kompetensi hukum pidana. Diskresioner ini biasa terjadi karena peraturan perundang-undangan tak mengatur kewenangan pemerintahan sama sekali atau peraturan perundang-undangan mengatur suatu norma yang tidak jelas atau samar (vague norm). Selain itu, suatu dikresioner dapat dilakukan aparatur negara dalam keadaan penting, perlu, dan mendesak. Filosofinya tentunya berpijak pada anggapan bahwa mekanisme BI tak dapat berhenti semenit pun karena alasan wewenang tak memiliki suatu landas hukum. Kebijakan Dewan Gubernur BI sebagai ranah hukum administrasi negara tegas tercantum pada Pasal 45 UU 23/1999 mengenai BI bahwa ”Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud UU ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik”. Kebijakan tidak termasuk penilaian oleh hukum pidana, yang memfokuskan diri pada soal rechtmatigheid dan bukan doelmatigheid sebagai ranah hukum administrasi negara. Keempat, andaikata pun nanti kebijakan ditetapkan sebagai perbuatan pidana korupsi, KPK harus secara cermat membuktikan adanya niat jahat (mens rea) atas pelaksanaan actus reus (perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum). Mens rea adalah pembuktian yang tak mudah karena bermakna mengandung faktor subyektif dari pembuat kebijakan saat membuat kebijakan FPJP, yaitu Gubernur BI, Menkeu, LPS (yang tergabung pada KKSK). Rasionalitasnya, KPK harus berasumsi peningkatan ke penyidikan adalah langkah penegakan hukum, bukan pelunasan utang politik KPK ke DPR! Indriyanto Seno Adji Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI http://nasional.kompas.com/read/2012/11/29/09491274/Bank.Century.dan.Utang.Politik.KPK?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Wamendikbud: Jangan Mudah Percaya Survei-survei

JAKARTA, KOMPAS.com - Menanggapi hasil penelitian yang dilakukan oleh firma pendidikan Pearson, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim meminta pada masyarakat agar tidak mudah percaya begitu saja. Pasalnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia memiliki standar yang baik. "Jangan mudah percaya. Sekarang siapa saja bisa membuat survei dengan mengatasnamakan lembaga internasional. Kita lihat buktinya saja sekarang, anak-anak kita banyak yang berprestasi," kata Musliar kepada Kompas.com, Rabu (28/11/2012). Seperti hari ini, pihaknya baru saja memberikan penghargaan kepada 46 siswa Sekolah Dasar (SD) yang berprestasi di ajang olimpiade matematika dan sains tingkat internasional. Anak-anak ini berhasil menyabet medali emas, perak dan perunggu dalam olimpiade yang digelar di Romania, Hongkong, Taiwan dan India. Sementara mengenai status dan perlakuan terhadap guru, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berhenti memberikan apresiasi yang tinggi pada guru. Bahkan guru sudah merupakan sebuah profesi yng diatur jelas dalam UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. "Kami selalu memberikan apresiasi lebih pada guru. Guru sudah sebagai profesi saat ini. Gaji guru untuk PNS juga lebih dua kali lipat dibanding PNS lain," ungkap Musliar. "Jadi sekali lagi, jangan percaya begitu saja pada lembaga survei. Kami terus berbenah untuk menyediakan pendidikan yang baik dan bermutu," tandasnya. Sebelumnya diberitakan, berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan Firma Pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada pada level terendah bersama dengan Meksiko dan Brazil. Hasil penelitian ini didasarkan pada status guru di negara tersebut. Sementara dua negara yang berada pada level tertinggi terkait sistem pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan. http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/09124469/Wamendikbud.Jangan.Mudah.Percaya.Surveisurvei?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp