BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

BBM dan Politik

Written By gusdurian on Selasa, 03 April 2012 | 02.32

M ALFAN ALFIAN:

Rencana kenaikan harga BBM bulan April ini telah menuai reaksi penolakan dari berbagai tempat melalui demonstrasi-demonstrasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri pernah menyinggung soal ini.

Dia mempersilakan masyarakat untuk protes melalui demonstrasi tetapi jangan anarki. Sebelumnya dia juga merasa terancam dan menjadi “sasaran tembak” pihak-pihak yang memanfaatkan suasana untuk menjatuhkan kekuasaan. Hal ini, setidaknya menunjukkan bahwa rencana dan realisasi kenaikan harga BBM nanti, tidak lepas dari nuansa politik.

Dari perspektif kepemimpinan politik, yang menarik, ketika Presiden SBY mengumumkan sendiri rencana kenaikan BBM ini. Ia memanggil para petinggi partai-partai Setgab koalisi pemerintahan di kediamannya di Cikeas,dan kemudian muncullah pengumuman itu. Publik masih ingat bahwa, suatu ketika, Jusuf Kalla,yang menyandang sebagai wakil presiden saat itu, mengumumkan dan kemudian jadi “sasaran tembak”.

Kini bukan Wakil Presiden Boediono yang melakukan fungsi itu, kecuali memberi masukan mengenai formula kenaikan BBM. Di tataran penentu kebijakan, kekuatan-kekuatan politik di DPR juga memanfaatkan isu ini sedemikian rupa. Pihak oposisi dapat dimaklumi apabila mereka menolak kebijakan yang dipandang berkonsekuensi membebani rakyat itu.

Tetapi yang menarik,di kubu koalisi pemerintahan, yakni partai-partai yang tergabung dalam Setgab Koalisi, terdapat satu partai yakni PKS, berkirim surat ke Presiden menawarkan beberapa opsi.Namun, pesan yang sampai di publik bahwa PKS sesungguhnya menolak rencana pemerintah. Apakah manuver PKS ini akan berhenti sampai di situ, ataukah justru akan memicu partai-partai lain di luar Partai Demokrat juga untuk menolak kenaikan BBM?

Bisa saja hal itu terjadi, tetapi kemungkinan besar tidak.BBM akan tetap naik sesuai rencana pemerintah. Eskalasi demonstrasi, akibatnya, semakin meluas. Bahkan, pun setelah program semacam bantuan langsung tunai yang dirancang, ditunaikan. Dinamika di lapangan, yang bahkan melibatkan kalangan angkatan bersenjata sebagai pihak yang diperbantukan kepada aparat kepolisian atau keamanan, tampaknya akan sangat menentukan haluan politik partai-partai ke depan.

*** Kalkulasi politik itu berbeda dengan kalkulasi ekonomi, tetapi jelas perkara rencana kenaikan harga BBM ini. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan secara cermat perspektif ekonomi, dan sekaligus politik. Opsi kenaikan harga BBM membutuhkan keberanian pemerintah, mengingat resistensi pasti akan muncul, bahkan di jalan-jalan,sebagai konsekuensi bahwa ia dirasakan langsung oleh masyarakat.

Melibatkan angkatan bersenjata untuk membantu kepolisian dalam menangani demonstrasi- demonstrasi, pada zaman sekarang, harus diperhitungkan secara cermat efektivitasnya di lapangan. Jangan sampai pula angkatan bersenjata kembali menjadi sasaran tembak dari rakyat. Yang penting, bagaimana aksi-aksi itu bisa berlangsung damai.

Sedamai-damainya demonstrasi- demonstrasi yang ada, kalau kejadiannya eskalatif, tentu dapat membuat pemerintah sebagai penentu kebijakan berpikir ulang. Demikian juga kekuatan-kekuatan politik di DPR. Secara politik, bagaimanapun potensi persaingan itu tetap ada di kalangan partai-partai; dan mendekati 2014 mereka pun berlomba untuk mengambil hati rakyat.Partai-partai propemerintah segera dihadapkan pada dilema. Jalan keluar dan ekspresi masing-masing akan mewarnai dinamika politik kita ke depan.

*** Pola bantuan langsung sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, juga semakin mengarah pada isu politik. Pengalaman yang hampir sama menjelang Pemilu 2009 yang lalu, dipandang akan menguntungkan partai yang berkuasa. Banyak yang mengaitkan bahwa kebijakan bantuan langsung tunai saat itu, secara tidak langsung, mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat.

Partai yang dalam kampanyenya sempat mengkritisi kebijakan itu, yakni PDIP, justru menempati posisi nomor tiga. Terhadap fenomena demikian, “kubu oposisi” semakin bersikap kritis untuk mencegah ekses bahwa yang memperoleh popularitas politik atas kebijakan membagibagi uang atau barang ke rakyat itu adalah partai pemerintah. Partai-partai lain juga tampaknya turut mempertimbangkan dampak popularitas itu.

Memang, implementasi program bantuan langsung bukanlah satu-satunya penentu apakah partai menjadi populer atau tidak,tetapi mereka tetap berupaya mencermati dampaknya. Pemerintah, dan elemenelemen pendukungnya, bagaimanapun telah berani ambil risiko menaikkan harga BBM. Dalam politik, itu biasa.

Ada masa ketika sebuah kebijakan tidak populer harus dikeluarkan, demi apa yang diyakininya sebagai “kepentingan yang lebih besar”.Pemerintah mana pun akan menghadapi arus perlawanan dari yang tidak setuju dengan pilihan kebijakannya. Dan, bagaimana ia punya seni untuk meyakinkan publik, dan berbalik memperoleh dukungan mereka.

*** Menaikkan harga BBM bukan saja merupakan ujian bagi pemerintah, melainkan juga bagi gaya kepemimpinan Presiden SBY. Praktis, dia akan menghadapi sendiri di bagian yang paling depan untuk menjelaskan pilihan-pilihannya dan meyakinkan bahwa dia memerlukan dukungan langsung dari rakyat.

Seni kepemimpinan SBY akan tampak dari bagaimana kelak dia mengelola potensi-potensi konflik, baik dalam manajemen koalisi maupun di antara kelompok- kelompok kritis dalam masyarakat. Dalam konteks itu, SBY tentu saja tidak dapat bertumpu pada formula politik pencitraan yang artifisial. Bagi publik yang kurang bisa memahami alasan kenaikan harga BBM, mereka memang tidak serta-merta melakukan protes.

Kecuali lapisan elite terpelajar, seperti mahasiswa atau kelompok kritis lain yang terbatas. Namun, pemerintah tentu tidak menganggap enteng.Penanganan terhadap para pemrotes harus tepat dan baik, agar tidak menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Pemerintah tidak usah khawatir akan jatuh manakala bertindak secara wajar alias tidak berlebihan.Wallahu’allam.

M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481608/

BBM Sayang, Nelayan Malang

LAODE M ASLAN:
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), jika benar akan dilakukan oleh pemerintah maka akan merupakan kebijakan yang berimplikasi buruk bagi nelayan.

Mengapa? Karena nelayan memiliki kebergantungan yang sangat tinggi terhadap BBM. Hasil penelitian saya memperlihatkan bahwa kontribusi komponen biaya BBM terhadap keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan per trip berkisar antara 50–70% untuk kelompok nelayan skala kecil dan 35–50% untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas (Aslan, 2012). Ini artinya perubahan harga BBM dapat berkontribusi positif pada meningkatnya angka kemiskinan atau kesejahteraan bagi nelayan.

Dalam kaitan itu, pemerintah perlu mencermati dengan seksama dan bijak pada enam aspek terkait dengan keberadaan nelayan. Pertama, nilai tukar nelayan (NTN) per tahun semakin menurun. Badan Pusat Statistik (2011) melaporkan bahwa rata-rata NTN nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103,80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105,05.NTN yang semakin rendah per tahun mengindikasikan nelayan kita semakin miskin. Kedua,nelayan kecil di Indonesia yang rata-rata menggunakan kapasitas kapal kurang dari 10 gross ton (GT) adalah kelompok nelayan yang paling terkena imbas akibat kenaikan harga BBM.

Berdasarkan data, rata-rata pendapatan nelayan kecil di Indonesia berkisar antara Rp450.000– 500.000 tiap kepala keluarga per bulan. Ketiga, rantai pemasaran yang terlalu panjang dari SPBU hingga pihak nelayan merupakan problem yang masih mengganggu nelayan khususnya yang bermukim di pulau-pulau kecil.

Nelayan juga dihadapkan pada persoalan harga eceran yang jauh di atas harga standar yang ditetapkan pemerintah. Juga sering terjadi penyimpangan di solar pack dealer nelayan (SPDN) dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). BBM yang semestinya untuk nelayan, kerap diselewengkan untuk industri perikanan ataupun kapal-kapal besar. Keempat, subsidi BBM untuk nelayan sebagai modal utama mencari ikan sangat kecil.

Kebutuhan jumlah BBM bersubsidi sektor perikanan setiap tahun sekitar 2,6–3,5 juta kiloliter (kl), meliputi sekitar 2 juta kl untuk nelayan dan sekitar 600.000 kl untuk pembudi daya ikan. Tahun 2009, Pertamina hanya mampu menyalurkan sekitar 1,35 juta kl. Bagaimana nelayan akan melaut kalau BBM saja tidak ada atau minim tersedia? Kelima, jumlah pengangguran akibat kenaikan harga BBM bakal semakin meningkat.

Banyak kapal dan perahu yang tidak mampu beroperasi sehingga terpaksa mem- PHK anak buah kapal (ABK)- nya.Padahal,paraABK tersebut dalam beberapa bulan terakhir sejak dua tahun terakhir, juga terpaksa tidak melaut karena cuaca ekstrem dan gelombang lautyangtinggisertajangkauan wilayah penangkapan ikan akan semakin jauh dari perkampungan nelayan. Keenam, harga jual hasil tangkapan tidak paralel naik seiring dengan kenaikan harga BBM.

Selama ini, harga jual ditentukan oleh pasar.Meskipun tangkapan melimpah,para nelayan sering kali tidak dapat menikmati hasil jual secara optimal. Hal ini dipicu permainan pasar dan rantai pasar yang tidak langsung dijual ke pasar atau pedagang besar alias nelayan hanya mampu menjual ke pedagang lokal,sehingga harganya relatif murah.

Secara sederhana akan timbul beragam pertanyaan,bagaimana pemerintah sangat percaya diri bahwa dengan menaikkan harga BBM nelayan akan sejahtera atau tidak miskin. Apalagi, ada rencana pemberian bantuan langsung tunai (BLT) hanya selama sembilan bulan.Apakah kompensasi BBM berupa BLT selama sembilan bulan sudah menjamin nelayan akan sejahtera atau minimal tidak miskin lagi pasca kenaikan harga BBM?

Solusi

Ada dua opsi yang perlu dilakukan dalam kaitannya dengan rencana kenaikan BBM. Opsi pertama, yang sangat rasional adalah menunda kenaikan BBM sampai 2013 atau 2014.Selain itu, pemerintah sudah saatnya harus mempunyai grand designprogram pengembangan dan pembangunan perikanan nasional berbasis nelayan bukan berbasis kepentingan para pemilik modal semata. Opsi kedua, menaikkan harga BBM.

Dalam opsi kedua ini, ada empat catatan penting agar dampak kenaikan BBM dapat diminimalisasi.Pertama, pemerintah harus memperjelas besaran,kontinuitas,dan model penyaluran dana kompensasi bagi nelayan. Nelayan lebih menginginkan BLT dikonversi menjadi kompensasi berdasarkan produktivitas hasil tangkapan yang dicapai oleh nelayan. Misalnya, kenaikan produksi berat tangkapan nelayan dirasionalkan dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter.

Pengalihan subsidi BBM ke subsidi langsung selayaknya diarahkan ke arah program yang bersifat produktif bukan konsumtif,jangka panjang (bukan hanya selama sembilan bulan), berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kapasitas sumber daya nelayan. Caranya bisa melalui pendidikan berbasis perikanan,pengembangan kelembagaan nelayan, pengembangan usaha kecil-menengah, termasuk bantuan beasiswa bagi generasi muda nelayan usia sekolah Kedua,

pengembangan infrastruktur yang dapat menjamin ketersediaan pasokan BBM dalam jumlah dan harga sesuai dengan harga resmi pemerintah serta akses yang mudah dijangkau oleh nelayan. Untuk itulah perlu ada kebijakan khusus dari pemerintah bagi ketersediaan BBM bagi nelayan,khusus di pulau-pulau kecil termasuk yang berbatasan langsung dengan negaranegara tetangga, mengingat potensi stok ikan yang masih tinggi banyak terdapat pada pulau-pulau di perbatasan Filipina,

Australia, dan Papua Nugini serta Malaysia. Ketiga, perlu adanya jaminan subsidi BBM khusus untuk nelayan. Pengelolaan SPDN dalam hal ini juga dapat memberikan alat kontrol terhadap penjaminan tersampaikannya BBM bersubsidi untuk nelayan. Dengan begitu, kekhawatiran penyimpangan terhadap pemberian subsidi BBM dapat dihindarkan langsung oleh pengelolaan mandiri oleh organisasi nelayan yang secara langsung mengetahui nelayannelayan yang mana harus mendapatkan harga subsidi BBM dan masyarakat umum yang bukan nelayan.

Keempat, upaya penggunaan teknologi tangkap ramah lingkungan mendesak untuk dikembangkan. Penggunaan alat tangkap hemat BBM seperti alat tangkap yang menetap (set net) secara massal dan tidak menggunakan BBM, dan pemanfaatan biofuel seperti penggalakan pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan etanol, serta mengupayakan mengonversi bahan bakar solar ke BBG sebagai alternatif dari kenaikan harga solar.

LAODE M ASLAN
Guru Besar dan
Dekan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481762/

"Dari Cak Nur ke Gus Hamid"

Catatan Atas terbitnya Buku Misykat Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Dari Cak Nur ke Gus Hamid"

Oleh: Dr. Adian Husaini

TAHUN 1973, Cak Nur (Dr. Nucholish Madjid) menggebrak dunia pemikiran
Islam Indonesia dengan gagasan yang menggoncang nalar umat: Islam perlu
disekularisasi. Saat itu, 3 Januari 1973, Cak Nur memaparkan makalahnya
yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat.”

Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan
oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999)
– Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut,
Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi,
menurut Nurcholish, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di
sisi lain, arah baru tersebut berarti menimbulkan perpecahan dan
mengorbankan keutuhan umat. Kata Cak Nur dalam makalahnya: “… pembaruan
harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai
yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan
pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa
depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu
dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang
ada sekarang ini...”

Menurut Nurcholish Madjid, ada tiga proses yang harus dilakukan dan
saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan
(3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’. Jadi, Nurcholish
Madjid sendiri pada tahun 1970 sudah menggunakan istilah ”liberalisasi”
untuk proyek Pembaruan Islam-nya. Karena itu, bisa dikatakan,
liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awal
tahun 1970-an.

Selama empat dekade, gagasan Nurcholish Madjid terus dipertahankan.
Sebagian, bahkan mensakralkan gagasan sekularisasi. Sudah banyak ulama
dan cendekiawan Muslim mengkritisi gagasan sekularisasi. Mohammad
Natsir, Prof. HM Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Ridwan Saidi, Abdul
Qadir Djaelani, adalah diantara sederet tokoh dan cendekiawan Muslim
yang secara tajam mengkritisi gagasan sekularisasi Cak Nur. Puluhan
cendekiawan lain pun telah angkat pena secara tajam.

Kritik tajam, mendasar, dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi
telah diberikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, melalui
bukunya, Islam and Secularism, sejak awal 1980-an. Tahun 2010, Prof. Dr.
Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta
menerbitkan bukunya yang berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Tahun 1995,
Faisal Ismail, menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada.

Meskipun sudah begitu banyak cendekiawan yang mengkritisi Nurcholish
Madjid, tetapi nama dan pemikiran Cak Nur tetap saja dikibarkan dan
disakralkan. Berbagai acara ritual tahunan bahkan digelar untuk
mengenang dan melestarikan gagasannya. Karena merupakan alumnus
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, nama Cak Nur terkadang diidentikkan
dengan Pesantren Gontor Ponorogo.

Jika ditelaah, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid memang mengadopsi
pemikiran sekularisasi dalam dunia Kristen yang sebelumnya sudah
dilontarkan oleh Harvey Cox melalui buku terkenalnya, The Secular City.
Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama
dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia
kini. (Secularization is the liberation of man from religious and
metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other
worlds and towards this one).

Pengaruh buku Harvey Cox ini sangat besar, melintasi batas-batas negara.
Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi
Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The
Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi
itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. (Lihat,
Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia,
1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of
Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85).

Dalam artikelnya tersebut, Steenbrink menggunakan redaksi “The book The
Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.”
Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati
selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam
masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita
sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita
kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo
Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. (Lihat, Djohan Efendi& Ismet Natsir
Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,
(Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79).

Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib
hanya menulis catatan Harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku
selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.
Pengaruh Cox baru tampak jelas pada pemikiran Nurcholish Madjid yang
ketika itu menjadi ketua umum satu organisasi mahasiswa Islam.

Sejak awal mula, pemikiran Nurcholish Madjid ini menimbulkan kehebohan.
Meskipun pernah dijuluki sebagai “Natsir muda”, tetapi Mohammad Natsir
sendiri mengaku kecewa dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid.
Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan di kediamannya, pada 1 Juni 1972, M.
Natsir mengungkapkan kerisauannya akan gagasan Pembaharuan yang ingin
“menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat,
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim
(Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini
diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, dari judul aslinya “Muslim
Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia, yang
merupakan disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS.

Respon yang sangat keras terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid
juga diberikan oleh tokoh DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972,
Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi
atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun
kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi
Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).

M. Natsir juga pernah memberikan pesan khusus kepada para cendekiawan
Muslim Indonesia, seperti Amien Rais dkk., tentang bahaya
sekularisasi:”Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan
sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam.
Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi” ada
”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses
sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita.
Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang
terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan
atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses
sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik
dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak
pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana
menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah
maupun yang disengaja.” (A. Watik Pratiknya (ed.), Percakapan Antar
Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989)

****

Kini, setelah empat dekade gelombang sekularisasi yang dimotori Cak Nur
dan kawan-kawan digulirkan dan sebagiannya bahkan sengaja dilestarikan,
-- atas kehendak dan izin Allah – tampillah sosok unik di pentas
pemikiran dan dakwah Islam Indonesia, bahkan dunia internasional. Sosok
itu adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Selama beberapa tahun terakhir, tampilnya putra pendiri Pesantren Gontor
Ponorogo di pentas pemikiran Islam telah memberikan tawaran baru yang
berlawanan dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Dr. Hamid F. Zarkasyi
(Gus Hamid) bukan saja mengkritisi pemikiran Cak Nur, tetapi juga
menawarkan gagasan besar yang sedang melaju kencang di dunia Islam,
yaitu Islamisasi Ilmu.

Selama tahun 2004, masyarakat sudah mulai mengenal pemikiran Gus Hamid
melalui rubrik Prolog dan Epilog di Jurnal (Majalah) ISLAMIA. Dalam
catatan Redaksi ISLAMIA, kolom Gus Hamid merupakan kolom yang paling
banyak diminati pembaca. Kemudian, sejak tahun 2009, INSISTS menjalin
kerjasama degan Harian Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran
Islam, Islamia-Republika, yang terbit bulanan, setiap hari Kamis pekan
ketiga.

Di Jurnal Islamia versi koran yang terbit empat halaman ini, Gus Hamid
juga menulis kolom tetap yang diberi nama MISYKAT. Gagasan-gagasannya
tentang de-sekularisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi, secara
konsisten mewarnai berbagai tulisannya. Uniknya, kolom MISYKAT Gus Hamid
di Harian Republika ini tercatat sebagai kolom yang paling diminati
pembaca. Survei Litbang Harian Republika tahun 2010 menunjukkan, Jurnal
Islamia-Republika, merupakan rubrik non-berita yang paling banyak dibaca
oleh pembaca Republika.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa saat ini, Gus Hamid merupakan
sala satu dari deretan kolomnis terbaik saat ini. Dan kini, kumpulan
artikel dan berbagai tulisannya yang tersebar di beberapa media, telah
dihimpun dalam satu buku berjudul “MISYKAT: ISLAM, WESTERNISASI, DAN
LIBERALISASI (JAKARTA: INSISTS, 2012).

Membaca beberapa karya Gus Hamid, khususnya buku Misykat ini, tidaklah
berlebihan jika kita berkesimpulan, bahwa Era Sekularisasi Nurcholish
Madjid sudah memasuki masa senja. Kini, insyaAllah, dunia pemikiran
Islam Indonesia sedang memasuki gairah dan era baru: Era Islamisasi Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi.

Singkatya: Era Cak Nur telah berganti menjadi Era Gus Hamid.
InsyaAllah,… Allahu Akbar!.*

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

http://www.hidayatullah.com/read/21990/31/03/2012/

Earning Growth dan IHSG

CYRILLUS HARINOWO:

Dalam beberapa hari terakhir, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah melampaui garis psikologis 4.000.Perkembangan ini terjadi di tengah maraknya laporan berbagai emiten yang menyatakan penjualan dan laba mereka meningkat, yang umumnya melampaui 20%.

Akankah perkembangan tersebut masih berlanjut di waktu- waktu mendatang? Perkembangan nilai penjualan berbagai emiten itu pada hakikatnya sudah terefleksi dalam angka produk domestik bruto (PDB) berdasarkan harga berlaku, yang pada 2011 lalu tumbuh 15,6%, yaitu dari Rp6.423 triliun pada 2010 menjadi Rp7.427 triliun. Selain besaran makronya, perubahan signifikan juga terjadi pada kelas-kelas penerimanya, di mana kelas menengah Indonesia mengalami peningkatan pendapatan yang semakin besar.

Kedua fenomena tersebutlah yang pada akhirnya menjelma menjadi permintaan berbagai produk dan jasa yang jumlahnya semakin lama semakin besar. Suatu contoh yang menarik adalah penjualan dari dua perusahaan ritel raksasa, Indomaret dan Alfamart.Kedua perusahaan tersebut mengalami pertumbuhan penjualan hampir 30%. Jaringan toko kedua perusahaan, yang kita lihat sangat sering bersaing secara head to head di berbagai sudut jalan di Ibu Kota ini,pada 2011 membukukan penjualan sebesar Rp18 triliun untuk Indomaret, sedangkan Alfamart Rp18,22 triliun.

Dengan jumlah gerai yang sedikit kurang dibandingkan dengan Indomaret, kita melihat rata-rata harian di masingmasing toko Alfamart tampaknya membukukan penjualan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penjualan harian Indomaret.Apa pun hasil akhirnya, yang jelas kedua perusahaan tersebut telah membukukan pertumbuhan penjualan yang sangat tinggi pada 2011. Cerita yang sama bisa kita lihat dari raksasa automotif Indonesia yang telah terdaftar di pasar modal, yaitu Astra International dan Indomobil.

Kedua perusahaan tersebut juga membukukan peningkatan penjualan serta laba yang sangat tinggi, sehingga akhirnya kita melihat dampak kinerja tersebut pada harga saham mereka sepanjang 2011. Setali tiga uang perbankan Indonesia yang pada 2011 lalu juga mengalami pertumbuhan kredit yang sangat tinggi, sehingga menghasilkan peningkatan pendapatan yang tinggi pula. Perkembangan inilah yang akhirnya mewarnai perkembangan harga saham mereka.

Bank BCA, misalnya, yang pada akhir 2010 memiliki harga saham sebesar Rp6.400, maka pada akhir 2011 yang lalu harga sahamnya mencapai Rp8.000, suatu peningkatan sebesar 25%. Bahkan, Bank BRI mengalami peningkatan harga saham yang lebih tinggi pada tahun 2011 yang lalu, meskipun di awal tahun 2012 ini harga saham bank-bank mengalami fluktuasi cukup tajam. Pertumbuhan laba, atau istilah kerennya adalah earning growth, merupakan faktor yang penting dalam pembentukan harga saham bagi perusahaan yang sahamnya sudah terdaftar di bursa efek.

Suatu indikator penting dari mahal atau murahnya harga saham adalah rasio antara harga saham dan laba per sahamnya, atau yang dikenal sebagai PE Ratio atau sering disingkat PER. Sebagaimana namanya, PER adalah suatu indikator yang diperoleh dari dua angka, yaitu harga saham dan laba per saham. Ini berarti, jika harga saham naik sementara laba per saham tetap maka rasio PE-nya akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, jika laba per saham mengalami peningkatan, sementara harga sahamnya tetap, maka rasio PE-nya akan mengalami penurunan.

Formula inilah yang pada akhirnya bisa membimbing kita untuk melihat prospek harga saham di tahun-tahun mendatang. Jika laba per saham mengalami peningkatan sebesar 20%,untuk berada pada PE Ratio yang sama,maka ada ruang gerak bagi harga saham untuk juga mengalami peningkatan sebesar 20%. Hal ini terjadi dengan catatan nilai PER tersebut sebelumnya sudah dianggap berada pada titik ekuilibrium dan cukup bersaing dengan perusahaan emiten pada industri yang sama, baik di dalam maupun juga di luar negeri.

Jika PE Ratio perusahaan tersebut sudah terlalu tinggi, peningkatan laba per saham tersebut merupakan suatu kesempatan bagi perusahaan untuk mengembalikan tingkat PE pada harga yang lebih wajar. Dengan melihat perkembangan tersebut maka untuk tahun 2012 ini, bagaimanakah kira-kira prospek IHSG kita? Secara makro, prospek perekonomian Indonesia di tahun 2012 masih akan berlangsung baik. Meskipun terdapat beberapa tantangan, seperti tingginya harga minyak dunia yang mungkin akan berdampak pada harga BBM bersubsidi, saya masih memiliki keyakinan, pertumbuhan PDB Riil kita akan mencapai sekitar 6,5%, bisa lebih tetapi juga bisa kurang, tergantung dari berbagai perkembangan yang terjadi.

Dengan pertumbuhan riil seperti itu, saya menduga PDB berdasarkan harga yang berlaku di tahun 2012 ini akan mengalami peningkatan sekitar 15%, sehingga total PDB Nominal akan berada pada range antara Rp8.500 triliun sampai dengan Rp8.700 triliun. Gambaran makro semacam ini akan memberikan potensi yang sangat besar bagi pertumbuhan penjualan seluruh perusahaan di Indonesia,terutama para perusahaan emiten,untuk tumbuh di sekitar angka pertumbuhan nominal tersebut. Bagi perusahaan yang memiliki segmen konsumen kelas menengah,pertumbuhan penjualan mereka bisa jauh melampaui angka tersebut, yaitu bisa berada di atas 20% sampai 30%.

Dengan struktur biaya yang tidak jauh berbeda, perkembangan tersebut memungkinkan pertumbuhan laba juga melampaui angka 20%. Dengan latar belakang tersebut, perkembangan harga saham di Indonesia sangat mungkin bergerak ke atas dengan range antara 10–20%, yaitu antara 4.300 sampai dengan 4.600.Indeks yang berada di luar range tersebut pada akhirnya merupakan anomali, yaitu seberapa besar deviasi persepsi para investor global ataupun domestik dari perkembangan fundamentalnya.

Jika perkembangan ekonomi global tidak melahirkan kejutan-kejutan baru, saya tidak akan terkejut jika IHSG bisa melampaui range di atas. Jangka waktu satu tahun tidaklah lama. Kita akan melihat apakah investor global dan domestik kita optimistis ataukah tidak terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia. 

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482580/

Rakyat Tetap Jadi Bulan-bulanan

MOHAMAD SOBARY:

Dari Pelita ke Pelita berikutnya dan dari zaman reformasi ke zaman reformasi lebih lanjut, rakyat tetap menjadi bulan-bulanan permainan politik para begundal hawa nafsu, yaitu mereka yang berkuasa atas orang lain tapi tak pernah berkuasa atas diri mereka sendiri.


Kehidupan rakyat sudah sangat berat sejak abad ke-18 ketika mereka dibebani kewajiban kerja paksa dan membayar upeti kepada para ngabehi. Lebih dari itu, di kawasan daerah makmur di Banyumas selatan, khususnya di sekitar pasar utama Jeruk Legi, rakyat hidup di bawah ancaman menakutkan. Desa-desa mereka selalu dijarah-rayah oleh para perompak dari Bali, Bugis, dan Timor.

Para perompak itu juga menangkap warga desa untuk dikerjapaksakan sebagai awak kapal perompak atau dijual kepada para kapten kapal Inggris di Malaka.Kehidupan desa itu pun tak pernah betul-betul pulih kembali selama belasan tahun kemudian. Dari 12 desa yang penghuninya mencapai 13.000 jiwa itu, hanya tinggal tiga desa yang tetap berpenghuni.Akibat serbuan perombak tersebut, desa itu tak pernah betul-betul pulih kembali. Sejak saat itu dua sersan Hungaria ditempatkan di Nusa Kambangan untuk memberi peringatan tentang adanya serangan para perompak.

Kita diberi kesan,datangnya “perlindungan” pemerintah jajahan itu membuat rakyat menjadi lebih aman karena para perompak tak ada yang datang lagi. Itu gambaran pemikiran kaum penguasa, yang harus memaksimalkan arti dari apa yang telah dilakukannya. Tapi rakyat berpikir lain. Mereka melihat persoalan lebih tajam, lebih jernih: terang saja para perompak tak menjarah rayah desa-desa mereka lagi. Tapi harus dicatat,hal itu bukan terutama karena perlindungan penguasa telah membuat mereka ketakutan, melainkan karena di desa itu memang sudah tak ada lagi barang yang bisa dirampas dengan kekerasan.

Itu catatan sejarawan Peter Carey di dalam buku Kuasa Ramalan yang memfokuskan diri pada Perang Jawa,yang juga dikenang sebagai Pemberontakan Pangeran Diponegoro. Sejarawan itu mengutip pendapat Baker, sebagaimana dapat kita cek kembali dalam buku tersebut di halaman 24. Para budak nafsu yang jahat itu tentu saja mati,tapi penjahat baru yang juga merupakan budak nafsu dilahirkan lagi di dunia ini. Dengan begitu, corak kehidupan seolah tak berubah.

Tata pemerintahan negara bisa berganti menjadi republik. Governance yang ditampilkannya bisa saja kelihatan transparan dan demokratis seperti kita alami di zaman sesudah reformasi ini. Tapi mereka yang berkuasa sekarang sukar diharapkan untuk betul-betul berubah lebih melindungi warga, lebih manusiawi, lebih adil. Penguasa, yang juga membaca buku politik, dan tahu bahwa mereka memanggul mandat kerakyatan, lebih suka membiarkan apa yang diketahuinya berhenti di pengetahuan sementara.

Dan pengetahuan tak ada hubungannya dengan tindakan perlindungan terhadap rakyat. Memang betul, sekarang ini para perompak dari Bali, Bugis, Timor tidak lagi menjarah desadesa lewat jalan laut atau selat atau sungai. Perompak yang dulu berasal hanya dari tiga daerah itu sekarang bertambah banyak. Mereka datang dari etnik mana pun. Dan penjarahan bukan dilakukan di desa-desa,yang sudah tak memiliki apa pun yang pantas dijarah, melainkan di kota, di Senayan, lewat penjarah baru yang status politik resminya mentereng, gagah, dan sah secara hukum,sah secara politik.

Selebihnya penjarah macam itu juga terdapat di jajaran eksekutif. Mereka ahli memainkan peran menjarah rakyat,tapi tak jarang, orang-orang ahli ini masih harus bekerja sama dengan kubu Senayan. Mereka berbagi wilayah jarahan dan berbagi tanggung jawab, terutama jika salah satu di antara mereka tertangkap. Tanggung jawab? Ya,mereka yang tertangkap harus dilindungi.

Harus ada kekuatan pendukung yang menyatakan bahwa penjarah yang tertangkap itu bukan penjarah, melainkan orang suci, keturunan rohaniwan, ada hubungan—darah maupun perkawinan—dengan para ahli surga yang “maksum”, yang tak tersentuh dosa. Pernyataan macam itu harus diteriakkan para pendukung setia dan dia sendiri juga harus berani bersumpah, siap digantung, siap diapakan saja kalau terbukti menjarah.Politik harus tangkas mengubah kebusukan menjadi sejenis aroma terapi. Pendek kata mereka itu profesional. Mereka ahli membalikkan fakta,ahli memanipulasi apa saja,termasuk kitab suci,selama masih ada lowongan manipulasi.

Orang-orang itu ibarat pemburu tak berdarah yang menyandang bedil, bukan untuk memburu binatang buas di rimba raya,melainkan memburu binatang piaraan yang jinak dan tak berdaya. Dengan sendirinya, yang dimaksud buruan jinak tak berdaya itu rakyat.Dan benar,yang namanya rakyat itu memang sudah tak berdaya sejak lama. Mereka, rupanya, sudah dikebiri oleh birokrasi dan para penguasa yang lebih suka melindungi diri sendiri daripada melindungi orang banyak yang bernama rakyat tadi.

Maka, catatan harus diperluas: bukan hanya dari Pelita ke Pelita atau dari zaman reformasi ke reformasi berikutnya, melainkan dari abad ke abad, rakyat tak pernah diperbolehkan berdaulat. Sampai hari ini, ketika kita bicara perkara harga bahan bakar minyak (BBM). Karena suara lain yang tak sama dengan suara pemerintah lebih besar,rencana menaikkan harga BBM pun batal.Pemerintah kalah. Suara kaum oposisi menang. Dan dengan bangga pemerintah menyatakan inilah tanda bahwa kami memerintah secara demokratis.

Demokratis? Apa gunanya demokratis dalam percaturan politik yang dampak ekonominya nyata-nyata menekan rakyat macam ini? Hanya kedunguan politik tanpa kesadaran moral yang menilai hal itu berguna. Apanya yang berguna kalau harga BBM jadi naik atau tidak, efek ekonominya tetap berat bagi rakyat? Siapa yang tak menyadari bahwa diskursus politik kaum elite ini betul-betul sudah membikin harga semua jenis barang telanjur naik dan bahwa kehidupan ekonomi rakyat makin terhimpit? Politisi macam apa mereka bila tak sensitif memahami perkara sederhana ini?

Dari abad ke abad, raja-raja di Jakarta boleh datang dan pergi. Parlemen boleh mengganti anggotanya kapan saja.Tapi kemiskinan rakyat tak pernah pergi dan tak ada pihak yang mampu dan mau membikin kondisi kehidupan macam itu berganti menjadi lebih enak. Dariabadke abad,hinggahari ini,rakyat dibiarkan hidup tanpa pelindung, tanpa pembela. Dari hari ke hari rakyat seperti pengemis jalanan yang makin sadar bahwa mereka tak punya pemerintah.

Tapi sementara itu mereka tahu, anggaran besar yang dikuasai orang Senayan dan jajaran pemerintahan ibaratnya langsung dijarah-rayah di antara sesama mereka sendiri. Dan kelihatannya tak ada yang betulbetul menaruh rasa peduli terhadap keburukan ini. Dari abad ke abad,rakyat tak terurus, tertekan, dan melarat, serta tetap menjadi bulanbulanan. ●

MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482503/

Politik Fiskal dan Ekonomi Rakyat

AHMAD ERANI YUSTIKA:

DPR akhirnya membuat kompromi keputusan yang dalam beberapa aspek menimbulkan ketidakpastian di masa depan.


Pasal 7 ayat 6 UU No 22/2011 dipertahankan, tapi ditambah dengan ayat 6A yang memberi keleluasaan pemerintah menaikkan harga minyak seandainya selama enam bulan rata-rata ICP melebihi 15%. Dengan keputusan itu,postur APBN-P 2012 tentu berpotensi mengalami perubahan lagi, tidak seperti yang telah disepakati Banggar DPR RI.

Sungguhpun begitu, meski angka-angka itu masih mungkin mengalami pergeseran, secara keseluruhan terdapat gambaran bahwa konsep “anggaran sehat” masih jauh dari harapan. Struktur APBN-P 2012 belum memperlihatkan keberpihakan APBN terhadap kepentingan rakyat karena porsi belanja birokrasi sama sekali belum dipangkas.Secarakeseluruhan, keputusan sidang paripurna DPR membuka kembali banyak kemungkinan ketidakpastian ke depan.

Desain/Struktur Fiskal

Di luar soal keputusan tersebut, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami pemerintah. Pertama, subsidi yang dianggarkan dalam APBN makin lama porsinya kian menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004 masih 23,21% dan turun menjadi 18,8% (APBN-P 2012), sedangkan subsidi nonenergi (pangan, pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57% yang turun menjadi 3,8% (APBN-P 2012) terhadap belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dengan dana transfer daerah).

Jika benar subsidi energi selama ini dipandang lebih banyak dikonsumsi golongan kaya, kenapa subsidi nonenergi (bibit, pupuk, pangan, dan lain-lain) dari waktu ke waktu juga turun? Deskripsi ini sebetulnya menunjukkan bahwa narasi subsidi memang hendak dikurangi dan dihilangkan secara sistematis oleh pemerintah, sebab yang berkurang bukan hanya subsidi energi, tapi juga subsidi nonenergi. Dalih subsidi energi hanya menguntungkan kaum kaya hanyalah alibi.

Kedua,politik fiskal pemerintah makin menjauh dari upaya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.APBN periode 2004–2012 rata-rata tumbuh 19,05% dan belanja pemerintah pusat tumbuh 16,6%, tapi belanja barang tumbuh 38% pada periode yang sama. Seperti dipahami, belanja barang dan modal selama ini menjadi salah satu lumbung korupsi yang melibatkan birokrasi dan pihak luar sehingga pertumbuhan belanja birokrasi dan modal memberikan peluang yang lebih besar bagi suburnya praktik inefisiensi anggaran.Ini artinya politik fiskal selama ini hanya untuk menyantuni birokrasi, bukan menafkahi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, argumen bahwa subsidi sebagian besar dinikmati kelompok kaya menjadi kurang bermakna karena struktur APBN justru menunjukkan alokasi yang sedemikian besar untuk birokrasi. Faktor inilah yang membuat penolakan kenaikan harga BBM menguat karena terjadi eskalasi kecemburuan ekonomi/sosial masyarakat. Ketiga, pemerintah harus segera mengembalikan harga barang ke level semula, yaitu sebelum ada ekspektasi BBM naik.Selama Maret 2012 hargaharga barang telah merangkak naik akibat rencana kenaikan harga BBM,misalnya harga cabai rawit Rp22.000/kg serta minyak goreng curah dan gula masingmasing Rp9.500/kg.

Namun begitu isu kenaikan harga BBM berembus,harga cabai rawit itu sudah naik menjadi Rp32.000 (naik 45%), Rp11.000 untuk minyakcurahdangula( naik15,8%). Pola yang sama terjadi pada komoditas daging,bawang merah, pupuk urea tepung terigu, dan lain-lain (Kompas,26/3). Secara sistematis upaya yang bisa dilakukan pemerintah antara lain: (i) menambah pasokan bagi komoditas yang tingkat harganya sudah naik cukup tinggi, seperti yang disampaikan di muka dan (ii) menjaring para spekulan yang memainkan pasokan barang (misalnya dengan cara menimbun di gudang) dengan penalti yang keras sehingga memiliki efek jera.

Agenda Penguatan Ekonomi

Akibat ketidakpastian harga minyak ke depan, pemerintah perlumenyusunlangkah-langkah sistematis untuk memperkuat daya tahan ekonomi rakyat lapis bawah. Data BPS (2011) menunjukkan jika pengeluaran masyarakatdibagidalam 10kelas(desil), akan dijumpai data sebagai berikut: pengeluaran terendah kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp153.000 dan Rp204.000/ kapita/bulan, pada 2010 hanya tumbuh 9,08% dan 8,25%.

Sebaliknya,pengeluaran tertinggi kelompok pertama dan kedua,yaitu sekitar Rp1,48 juta dan Rp768.000/kapita/bulan,pada tahun yang sama tumbuh 15,36% dan 18,77%. Dengan begitu,mereka yang pengeluarannya besar boleh dikatakan pertumbuhan pendapatannya dua kali lipat dibandingkan dengan kelompok miskin. Kelompok miskin ini mudah sekali goyah ketahanan ekonominya akibat guncangan ekonomi, termasuk kenaikan harga BBM,sehingga penguatan ekonomi kepada kelompok ini merupakan hal yang niscaya.

Berikutnya, pemerintah mesti dengan tekun dan serius menggeser model pembangunan ekonomi agar konstituen ekonomi yang menikmati pertumbuhan ekonomi hanya lapisan atas. Pertama, sektor pertanian dan industri pengolahan (berbasis alam dan pertanian) dikembangkan sehingga struktur pekerja sebagian besar bekerja di sektor formal. Pengembangan kedua sektor ini akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan secara cepat.

Kedua,pasar tradisional yang saat ini menjadi sandaran sekitar 8 juta penduduk dihidupkan dan diperkuat lagi, salah satunya dengan mengatur persaingan usaha yang sehat.Pasar modern harus dikendalikan pertumbuhannya, bila perlu dilakukan moratorium pembangunan pasar modern sehingga membuka ruang hidup pasar tradisional. Ketiga, sokongan yang tidak kenal henti kepada pelaku UMKM dan koperasi, baik melalui dukungan pendanaan, sistem informasi, penjualan maupun perluasan jaringan.

Dengan seluruh problematika ekonomi di atas, Indef sendiri sejak awal telah merekomendasikan agar kenaikan harga BBM ditunda dan pemerintah melakukan lima agenda strategis terlebih dulu sebelum harga BBM dinaikkan,yaitu sebagai berikut. Pertama, politik fiskal harus menunjukkan pemihakan kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan birokrasi, pembayaran utang, dan fasilitasi korupsi.

Kedua, reforma agraria harus dilaksanakan dan dituntaskan sehingga rata-rata luas lahan rumah tangga petani menjadi 2 hektare. Ketiga, struktur tenaga kerja harus diupayakan menjadi pekerja formal (sekitar 75%) dan sisanya pekerja informal. Keempat, moratorium pembangunan pasar modern dan pemerkuatan pelaku pasar tradisional. Kelima, mengembalikan penguasaan pengelolaan SDA kepada negara serta swasta asing dan domestik diberi peran maksimal 20%.

Pengembangan energi alternatif telah dijalankan secara sistematis,termasuk penataan transportasi publik yang nyaman,murah,dan masif. Langkah-langkah inilah yang membuat ekonomi rakyat kuat dan kenaikan harga minyak tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat.●

AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482506/

Oligarki Parpol Dominasi Pilpres 2014

JAKARTA– Mekanisme yang cenderung oligarkis diprediksi akan mendominasi proses penetapan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2014 oleh partai-partai politik (parpol).

Guru besar ilmu politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah mengatakan, oligarki internal parpol saat ini kian menggurita dan kuat. Hal ini membuat parpol kehilangan orientasi perjuangan, bahkan hanya menjadi ladang mencari kekuasaan dan kekayaan.

Hal inilah yang bakal terjadi pada saat proses rekrutmen caprescawapres 2014.Kondisi serupa, kata dia,sudah tampak dengan sangat nyata pada proses rekrutmen calon Pilkada DKI Jakarta. ”Saat ini, pengelolaan partai sudah seperti perusahaan. Pemilik modal berkuasa menentukan segala arah kebijakannya. Ini tentu sangat berbahaya di tengah besarnya dan semakin kuatnya posisi parpol dalam sistem demokrasi kita,” ujar Iberamsjah kepada SINDO di Jakarta kemarin.

Menurut dia, indikasi oligarki parpol dalam rekrutmen kandidat adalah pada proses yang cenderung tertutup dan tidak melibatkan kader secara luas atau terpusat.Hanya beberapa elite parpol yang dilibatkan dalam penentuan kandidat. Sikap tertutup seperti ini, kata Iberamsjah, sudah membudaya di kalangan elite parpol sehingga para kader hanya boleh menurut dan kebagian tugas untuk mengawal kebijakan tersebut.Padahal,tradisi penentuan kandidat yang tertutup mengekang partisipasi publik. Sebagian besar kader partai, terutama di tingkat bawah, hanya menjadi objek yang dikerahkan untuk mendukung keputusan oligarkis.

”Kewenangan parpol di republik ini sangat besar. Kalau sistem internal parpol masih oligarkis, sementara jabatan publik seperti capres,calon kepala daerah,dan calon anggota legislatif maju melalui parpol,sendisendi berbangsa bernegara bakal rusak satu demi satu.Sangat berbahaya,”jelasnya. Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengaku partainya sudah menjalankan penjaringan bakal caprescawapres secara demokratis. Namun, ada yang harus dipahami menyangkut mekanisme yang berlaku di PDIP, yakni pertimbangan garis keturunan presiden pertama RI,Soekarno.

”Pada prinsipnya, suara arus bawah partai sangat menjadi perhatian dalam penentuan figur capres-cawapres internal PDIP.Namun yang saya pahami, pertimbangan garis keturunan Bung Karno masih menjadi faktor utama dalam menentukan capres-cawapres dari PDIP. Hal ini sudah dipahami oleh seluruh kader di berbagai struktur,”katanya. Dia menerangkan,keputusan politik dalam proses penentuan capres-cawapres PDIP juga ditentukan hasil survei internal/eksternal dan pencermatan terhadap gelagat, perkembangan, serta dinamika politik terkini.

Di tempat terpisah,Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengakui sistem politik oligarkis memang sangat kentara dalam penjaringan kandidat pilpres dan pilkada.” Terutama di partai-partai besar. Padahal tradisi seperti ini bisa menghancurkan parpol itu sendiri,”ungkapnya. Dia mengklaim,PAN sudah menjalankan nilai-nilai demokrasi di dalam partai,termasuk dalam menentukan capres maupun calon kepala daerah. Aspirasi kader dari tingkat bawah hingga pusat sangat menentukan kandidat yang diusung dan ditetapkan secara struktural.

”Untuk pilkada provinsi,keputusannya di tingkat pusat.Untuk pilkada kabupaten/ kota,keputusannya oleh kepengurusan provinsi.Untuk capres diputuskan bersama dalam rapat pimpinan nasional, tidak sekadar keputusan segelintir elite,”paparnya. Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy menilai keputusan internal parpol akan sangat bergantung pada parpol lain mengingat dinamika politik yang bisa berubah dengan sangat cepat.Dia mencontohkan kasus penjaringan calon Pilkada DKI Jakarta.

”PPP mendasarkan pilihan pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono atas hasil musyawarah kerja wilayah setelah mencermati kemampuan calon. Mendengar aspirasi kader adalah hal mutlak yang harus dilakukan parpol. Tapi dinamika politik eksternal juga harus diamati,” kata pria yang biasa disapa Romy itu. Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem Sugeng Suparwoto mengatakan, tradisi penjaringan capres dan calon kepala daerah oleh parpol yang cenderung oligarkis harus dilawan dengan membentuk struktur partai yang berbasis rakyat. ”Penyebab utama oligarki politik adalahpragmatismedansempitnya peluang partisipasi kader dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan parpol.

Oligarki makin subur karena terjadi pendewaan pada keturunan keluarga tertentu maupun para pemilik modal.Inilah yang membuat pengambilan kebijakan penting hanya terbatas di lingkaran elite,”kata Sugeng. Dia menekankan,kunci utama untuk membuang tradisi oligarki partai adalah dengan membentuk basis kaderisasi yang mengakar hingga satuan masyarakat desa dan RT/RW. Kader potensial di daerah-daerah harus dimunculkan dan diberi ruang ekspresi yang luas.

Pada saat bersamaan, partai juga harus terus membangun kekuatan berbasis gagasan, ide, serta idealisme untuk menangkal pragmatisme. Skema pembiayaan partai juga harus terhimpun dari iuran anggota tanpa mengandalkan kekuatan dana tokoh tertentu

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482540/

RETNO HENY PUJIATI MEMILIH TOTAL UBAH NASIB ANAK JALANAN

Ia rela melepaskan pekerjaan tetapnya sebagai guru agar bisa fokus membina dan mendidik anak-anak yang kurang beruntung agar mereka dapat hidup layak. Tuhan tidak melihat hasil, tetapi prosesnya.
Kalau satu orang bisa berhasil, nantinya akan memberikan efek bola salju.''

PENAMPILANNYA ber sahaja dengan pem bawaan yang kalem.
Di balik itu semua, Retno Heny Pujiati, 33, bisa menjadi teman berdiskusi yang menyenangkan, terutama jika topiknya menyangkut persoalan anak jalanan. Retno bisa seperti itu karena kesehariannya selalu bersentuhan dengan kehidupan anak-anak jalanan.

Pendiri sekaligus Ketua Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja--sebuah lembaga yang fokus mendidik dan memberdayakan anak jalanan--itu mengaku ada semacam panggilan jiwa saat ia melihat nasib anak-anak jalanan yang selalu terpinggirkan.

Kala ditemui di kantornya di Kelurahan Petoran, Kecamatan Jebres, Surakarta, Rabu (28/3), Retno baru saja usai berkemas.
Beberapa lemari buku, meja kecil, dan alat peraga untuk belajar terlihat tergeletak di teras rumah yang juga difungsikan sebagai sekolah untuk anak jalanan itu. “Kami baru beres-beres, soalnya sebentar lagi mau pindah karena rumah ini mau dibangun. Maklum, di sini saya hanya menyewa,“ tuturnya sembari menggendong anaknya yang masih bayi.

Setelah menidurkan bayinya, perempuan berjilbab itu mengurai cerita. Retno mengaku terjun dan berkecimpung dalam kegiatan pendidikan serta pembinaan anak jalanan sejak ia masih menjadi mahasiswa di Surakarta. “Awalnya karena diajak teman-teman.“

Di kalangan teman-temannya, Retno memang sosok yang dikenal gemar berkegiatan sosial. Di kampung halamannya dia aktif melakukan beragam kegiatan kemasyarakatan, mulai dari karang taruna sampai remaja masjid.

Kegiatan itu dilakukannya di sela-sela waktu luang perkuliahan. Bersama rekanrekannya waktu itu, Retno sering menyambangi tempattempat mangkal anak jalanan, mulai dari perempatan lampu merah hingga pelosok kampung.

Pada awalnya ia hanya ingin berbagi ilmu pengetahuan, membuka wawasan, dan memotivasi anak-anak jalanan yang direkrut agar mau mengubah nasib. Tujuannya supaya anak-anak itu mau meninggalkan jalanan dan mencari sumber penghidupan yang lebih baik.
Intervensi pemerintah Jalan hidup memang tidak bisa diterka. Retno, yang semula terlibat dalam kegiatan sosial karena ajakan teman, akhirnya memutuskan untuk terjun secara total.

Ia merasakan ada dorongan yang begitu kuat dari dalam dirinya untuk berbuat sesuatu bagi anak-anak kurang beruntung itu. “Terus terang saya merasa terpanggil,“ ungkapnya sembari tersenyum.

Berkaca pada pengalaman dan realitas yang ditemukan selama bergaul dengan anak jalanan, Retno berpendapat solusi yang paling tepat untuk membantu memperbaiki nasib mereka ialah melalui pendidikan dan pemberdayaan.

Menurutnya, pendidikan dan pemberdayaan merupakan sumber persoalan anak jalanan yang ada dewasa ini. Selama ini banyak orang berpendapat anak memilih hidup di jalanan karena faktor ekonomi.

“Itu tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar,“ imbuhnya. Karena itu, solusinya tidak bisa hanya dengan pendekatan ekonomi, tetapi juga pendidikan. Itulah sebabnya intervensi pemerintah yang hanya memberikan bantuan modal tanpa bekal pendidikan, dalam penilaian Retno, akan mubazir.

Atas dasar pertimbangan itu, Retno lalu mendirikan PPAP Seroja. Hal itu tidak lain supaya perjuangan untuk memberikan pendidikan dan pemberdayaan anak jalanan menjadi lebih terarah.

Embrio PPAP yang dirintis Retno itu telah terbentuk sejak 2001, tetapi baru pada 2003 bisa menjadi lembaga resmi.

Untuk membiayai kegiatan lembaga baru itu, Retno tidak jarang harus merogoh kocek pribadi. Kebetulan waktu itu dia sudah memiliki penghasilan sendiri dengan bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar Islam terpadu.

“Saya ingat betul waktu itu, gaji sebulan habis dalam lima hari. Ya, untuk membiayai kegiatan-kegiatan itu. Tapi, kok ya saya bisa tetap makan. Ini semua karena campur tangan Tuhan,“ kenangnya.

Karena keterbatasan sarana dan biaya, kegiatan pembinaan waktu itu dilakukan seadanya. Retno bersama relawan yang ia rekrut harus terjun langsung ke titik-titik anak jalanan biasa berkumpul.
Berpanas-panas di bawah terik matahari dan keluar masuk perkampungan kumuh menjadi kegiatan kesehariannya.

Lelah, tentu saja. Berat, sudah pasti. Retno pun mengakui hal itu. Bagaimanapun mengubah perilaku dan mendorong anak jalanan untuk meninggalkan apa yang selama ini telah menjadi bagian dari kehidupan mereka bukanlah hal yang mudah. Namun, toh itu semua tidak membuat Retno putus asa. “Mungkin banyak orang yang mengatakan, `Kenapa ngurusin mereka, wong yang lain masih banyak'.
Memang betul, UNESCO saja mengakui bahwa mengubah satu saja anak jalanan sangat sulit. Tapi, motivasi saya dakwah. Tuhan tidak melihat hasil, tetapi prosesnya.
Kalau satu orang bisa berhasil, nantinya akan memberi kan efek bola salju,“ ujarnya dengan penuh keyakinan.

Retno justru bersyukur bisa memperoleh banyak pengalaman berharga dari kegiatannya itu, mulai dari yang menyenangkan hingga yang tidak mengenakkan. Yang menyenangkan yakni dia bisa berkenalan dengan banyak kalangan, termasuk tokoh preman sehingga tidak ada yang berani mengganggu kegiatannya. “Yang kurang mengenakkan, saat masuk ke kawasan lokalisasi, saya pernah ditawar,“ ujarnya diiringi tawa renyah.

Masalah anak jalanan sejatinya merupakan persoalan bersama, pemerintah, dan masyarakat. Karena itu, perlu upaya bersama secara terpadu dan berkesinambungan untuk mengatasinya.

Retno berharap masyarakat memunculkan lebih banyak lagi kegiatan pembinaan sejenis, terutama yang berorientasi penumbuhan kreativitas, dengan sasaran anak jalanan, masyarakat marginal, dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

Kepada pemerintah, dia berharap penanganan terhadap persoalan anak jalanan dilakukan lebih serius lagi dengan mencermati akar persoalan secara lebih jeli dan mengubah sudut pandang penanganannya.

“Anak jalanan bukan untuk disingkirkan, melainkan harus dilindungi. Pemerintah, termasuk Pemerintah Kota Surakarta, belum berhasil kalau anak jalanan belum tersentuh,“ pungkasnya. (M-1)Biodata Tempat, tanggal lahir: Kediri, 27 November 1978 Alamat: Banyuanyar, RT 01 RW 09, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah Pendidikan: FISIP Universitas Negeri Sebelas Maret Pekerjaan: Pendiri dan Ketua Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran Seroja, Surakarta Suami: Lukman Ali Popalia Anak: 3 orang

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/03/ArticleHtmls/RETNO-HENY-PUJIATI-MEMILIH-TOTAL-UBAH-NASIB-ANAK-03042012014002.shtml?Mode=1

Setop Provokasi dan Kebrutalan!

Yudhistira ANM Massardi Sastrawan; pengelola sekolah gratis untuk kaum duafa TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

PROVOKASI ialah rangsangan fisik dan nonfisik yang menim bulkan kemarahan.
Kebrutalan ialah tindakan kekerasan yang sewenangwenang dan telengas.
Tentang itu, dalam pesan Blackberry-nya, seorang mahasiswa Universitas YAI di Salemba, Jakarta Pusat--yang jalan depan kampusnya menjadi salah satu tempat aksi demonstrasi antipenaikan harga BBM pada 29 Maret 2012--membuat deskripsi yang pas, “Tolong catat baik-baik ya, kami mahasiswa YAI enggak memulai rusuh, kami hanya bereaksi atas serangan yang membabi buta ke arah kampus kami. Apakah kami salah bila kami enggak mau ikutikutan demo? Kami tentu saja enggak setuju (harga) BBM naik, tapi kami juga enggak suka berbuat anarkistis. Pada saat kejadian, posisi kami terpojok di dalam kampus berusaha mengamankan pintu gerbang sambil menyelamatkan kendaraan-kendaraan kami....“

Artinya, ketika itu, para mahasiswa YAI tidak terlibat dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di depan kampusnya. Namun, mereka ke mudian mengalami provokasi tersebut dan menjadi korban dari kebrutalan, sebagaimana dilukiskan kemudian, “Tapi yang ada kami malah diserang tembakan peluru karet, gas air mata, dan bom molotov secara membabi buta. Dan yang paling kami sesalkan, polisi yang seharusnya mengamankan justru jadi pihak yang menyerang. Kalian enggak tahu betapa kalutnya kami di dalam kampus. Kalian juga enggak tahu bahwa di dalam kami tidak bisa berbuat banyak memberikan pertolongan pertama kepada teman-teman kami yang terluka akibat peluru karet dan penyakitnya kambuh karena shocked dan terhirup gas air mata dengan obat-obatan seadanya, kami menghubungi ambulans, tapi enggak ada yang bersedia datang. Lalu kalau temanteman kami itu tidak dapat tertolong, apa kalian semua bisa mengganti nyawa orangorang itu?“ Saling tumpas Dalam dua pekan terakhir sejak demo antipenaikan harga BBM marak di berbagai tempat, melalui media massa, khususnya televisi, kita menyaksikan betapa para anggota kepolisian bertindak brutal dalam menghadapi para demonstran: memukuli, m menendang, menginjak-injak, d dan menembak kan gas air mata serta meletupkan senjata api.

Di pihak lain, kita juga melihat para demonstran melakukan aksi pelemparan batu, pembakaran ban, dan bahkan membakar mobil serta merusak pos polisi.

Kedua pihak telah ter hak telah termakan oleh provokasi yang, terutama, terpicu oleh posisi ber hadapan, seakanakan mereka musuh bebuyutan yang harus saling tumpas. Status bahwa para demonstran adalah wakil yang coba menyuarakan aspiras rakyat dan polisi ada lah penjaga ketertiban dan pe ngayom masyarakat menguap di tempat kejadian.
Ketika b e n trokan meletus, tampak bahwa aksi kekerasan itulah yang seakan-akan mereka tunggu-tunggu, atau menjadi tujuan dari kehadiran mereka di tempat tersebut.

Kita juga melihat bahwa satuan polisi, yang didukung pasukan tentara--yang justru meningkatkan daya provokasi terhadap para demonstran-bukannya mengambil posisi berjajar melindungi sarana umum, melain kan berbaris rapat dengan perisai menghadang jalan para demonstran secara frontal.
Alhasil, begitu kedua pihak kehilangan jarak, kekerasan yang di awali dengan aksi dorong-tahan pun berubah menjadi ke brutalan yang me nimbulkan banyak kor ban luka.

Polisi tidak mengambil langkah per suasif, tetapi represi. Dengan demikian, keberingas an pun dilakukan, tidak hanya terhadap para emonstran, tetapi juga terhadap para wartawan d a n kamerawan yang merekam aksi bru tal mereka. Karena takut gambar disiarkan, mereka tidak ha meminta hasil rekam nya meminta hasil rekam an, tetapi juga memukuli para jurnalis--menyempurnakan kebrutalan para petugas keamanan. Hal itu seperti di negara-negara totaliter yang ketinggalan zaman.
Provokasi dan kebrutalan sesungguhnya Sejauh ini, kerusakan yang ditimbulkan para demonstran di berbagai tempat, jika dikalkulasikan dengan uang, nilainya sesungguhnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan harta negara yang dijarah para koruptor di bawah rezim pemerintahan SBY. Apalagi, sebagian besar pelaku kejahatan luar biasa itu masih bergentayangan dan dibiarkan terus menimbulkan kerusakan moral dan mental di seluruh tubuh bangsa.

Sesungguhnya, jika para penegak hukum hendak menumpas gerombolan penghancur sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, para koruptor itulah yang pertama kali harus ditumpas sebengisbengisnya, bukan para mahasiswa/demonstran.

Para pengunjuk rasa itu turun ke jalan bukan sematamata karena terprovokasi oleh niat pemerintah hendak menaikkan harga BBM, melainkan jauh lebih terprovokasi oleh para koruptor yang selama ini bisa tenang bersemayam di bawah mahligai kekuasaan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak bersungguh-sungguh memberantas korupsi itulah provokasi dan kebrutalan sesungguhnya, yang tidak hanya memakan ko r b a n p a ra m a h a s i s w a , tetapi juga mayoritas rakyat Indonesia.

Jika para koruptor itu ditumpas dengan keras dan seluruh harta mereka disita untuk negara, serta pajak-pajak dipungut dan dikumpulkan secara benar, bukan hanya harga BBM tidak perlu dinaikkan, melainkan fasilitas pendidikan dan kesehatan pun bisa digratiskan untuk seluruh anak bangsa! Maka, tekad pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu merupakan bagian dari kejahatan luar biasa terhadap bangsa yang mayoritas menderita. Apalagi, rencana itu secara tidak bermoral dipasarkan dengan kemasan kalimat `demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia'.

Tumpas korupsi dengan asas pembuktian terbalik, itulah yang boleh dikatakan `demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia'. Jika dilakukan, itu bisa menjadi tontonan dan tuntunan politik moral yang baik untuk seluruh warga bangsa. Jadi, setop provokasi dan kebrutal an sekarang juga!

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/04/03/ArticleHtmls/Setop-Provokasi-dan-Kebrutalan-03042012020003.shtml?Mode=1

Konstitusionalitas Harga BBM

DENNY INDRAYANA:

Belum lagi diundangkan, RUU APBNP 2012 yang baru disepakati dalam Sidang Paripurna DPR pekan lalu sudah pasti akan diuji di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK).


Pasal yang akan diuji dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah rumusan Pasal 7 ayat (6A).Pasal itu pada dasarnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jika dalam kurun waktu enam bulan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBNP. Rumusan Pasal 7 ayat (6A) itu hadir tidak di ruang hampa. Dia bukan hanya proses yuridis.

Agaknya, agenda politik 2014 membuat ruang perdebatan APBN berubah, dari instrumen ekonomi menjadi instrumen politik. Pembahasan RUU APBN yang biasanya tidak terkait langsung BBM berubah menjadi dua kubu yang saling bertolak belakang, menolak atau menerima kemungkinan kenaikan harga BBM. Tulisan ini tidak akan mengulas sisi perdebatan ataupun sisi kepentingan politik tersebut. Tulisan ini hanya akan berfokus pada konstitusionalitas norma terkait harga BBM tersebut.

Pasal 7 Ayat (6) Bertentangan dengan Konstitusi

Saya berpendapat,yang justru bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 7 ayat (6) UU APBN 2011 yang mengatur, “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Pasal itu menutup sama sekali kemungkinan kenaikan harga BBM selama pelaksanaan APBN 2012.Rumusan demikian baru pertama kali ini ada dalam sejarah Republik. Dalam UU APBN sebelumnya, tidak pernah ada rumusan yang melarang kenaikan harga BBM demikian.

Karena itu, sejarah Republik mencatat ada 38 kali kenaikan harga BBM.Rumusan Pasal 7 ayat (6) mengunci sama sekali kewenangan eksekutif untuk mengambil kebijakan yang diperlukan jika ternyata harga BBM perlu disesuaikan. Karena itu, rumusan demikian minimal bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya tentang makna “dikuasai oleh negara”,bagi bumi,air,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 001-021-022/PUUI/ 2003.

MK memutuskan “dikuasai oleh negara” atas kekayaan alam—termasuk BBM—dilakukan melalui lima fungsi,yaitu mengadakan: kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.Lebih jauh, MK menegaskan, dari lima fungsi penguasaan negara itu, hanya terkait fungsi pengaturan yang melibatkan parlemen. Sedangkan soal fungsi kebijakan, pengurusan, pengelolaan, bahkan pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah. Konsisten dengan putusan MK tersebut, soal kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya menjadi wilayah kewenangan pemerintah, yang jika dilarang sama sekali justru bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Terkait Pasal 7 ayat (6) tersebut, MK telah menerima permohonan pengujiannya yang diajukan Bgd Syafri dkk. Permohonan terdaftar dengan register nomor 13/PUU-X/2012. Pemohon berpendapat, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidaklah tepat. Pemohon menyarankan harga BBM bersubsidi seharusnya malah perlu dinaikkan secara bertahap sampai harga jual keekonomiannya. Karena itu, pemohon meminta Pasal 7 ayat (6), yang tidak membuka peluang kenaikan harga BBM,dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 7 Ayat (6A) Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Sebaliknya, saya tidak sependapat dengan kalangan yang mengatakan rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN Perubahan 2012 bertentangan dengan UUD 1945. Memang benar, MK pernah memutuskan dalam perkara Nomor 002/ PUU-I/2003 bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945.Namun,putusan tersebut tidak serta-merta berarti Pasal 7 ayat (6A) menjadi bertentangan pula dengan konstitusi.

Pertimbangan MK menyatakan,“ campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak”.Sesuai dengan putusan MK terkait makna “dikuasai oleh negara” di atas serta putusan terkait “minyak dan gas bumi”,rumusan Pasal 7 ayat (6A) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM justru telah sejalan dengan putusan MK sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Argumen yang mengatakan bahwa Pasal 7 ayat (6A) bertentangan dengan UUD 1945 karena menyerahkan harga BBM semata-mata pada mekanisme pasar justru tidak memahami dengan baik makna Pasal 7 ayat (6A) tersebut.Rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBNP 2012 justru berbeda dengan Pasal 28 ayat (2) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar semata sehingga wajar dibatalkan oleh MK.Pasal 7 ayat (6A) justru tidak semata-mata tunduk pada harga pasar. Pasal 7 ayat (6A) justru tidak otomatis memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM meskipun harga minyak di pasar dunia mengalami kenaikan atau penurunan.

Pasal 7 ayat (6A) justru memberikan syarat yang tidak ringan bahwa pemerintah baru bisa menyesuaikan harga jika sudah mencapai minimal 15% dalam kurun waktu enam bulan.Kalau semata tunduk pada mekanisme pasar,berapa pun kenaikan harga minyak dunia, dalam rentang waktu berapa pun, harga BBM dapat disesuaikan pemerintah. Syarat persentase dan jangka waktu yang tidak ringan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 7 ayat (6A) tidak semata-mata menimbang harga minyak di pasaran, tetapi mendorong pemerintah untuk menjadikan kenaikan harga BBM sebagai opsi terakhir.

Kalau dicermati, perdebatan yang memunculkan rumusan Pasal 7 ayat (6A) di Sidang Paripurna DPR semangatnya justru untuk tidak otomatis menaikkan harga BBM meskipun harga minyak dunia sudah jauh dari asumsi APBN.Artinya, rumusan Pasal 7 ayat (6A) justru melindungi kepentingan masyarakat kecil yang dapat terimbas karena kenaikan harga BBM. Rumusan demikian, karena itu, justru sejalan dengan putusan MK yang berpendapat, “harga BBM dan harga gas bumi dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu”.

Apalagi, kalaupun harga BBM dinaikkan, tidaklah mengikuti harga pasar semata. Kalaupun harga BBM dinaikkan menjadi Rp6.000,harga itu masih di bawah harga pasar sehingga masih ada subsidi atas harga eceran BBM tersebut. Itu adalah bukti nyata bahwa harga BBM tidak ditetapkan pemerintah semata-mata dengan mempertimbangkan harga di pasaran. Lebih jauh lagi rumusan Pasal 7 ayat (6A) juga mengatur bahwa kewenangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM diikuti dengan membuat “kebijakan pendukungnya”.

Hal demikian, sekali lagi, menunjukkan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (6A) bukan hanya berbicara penyesuaian harga BBM, melainkan juga melalui norma “kebijakan pendukungnya”. Pemerintah didorong untuk “memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu” sebagaimana dipersyaratkan oleh putusan MK. Apalagi,kebijakan pendukung itu biasanya berupa bantuan langsung, beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, dan sebagainya, yang sangat berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat. Maka itu,makin jelas bahwa Pasal 7 ayat (6A) tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 maupun putusan MK sebelumnya.

Akhirnya kita tunggu saja putusan MK atas perkara 13/PUU-X/2012 yang menguji Pasal 7 ayat (6) maupun pengujian Pasal 7 ayat (6A). Untuk lebih efisien, saya menyarankan agar MK menggabungkan saja dua perkara tersebut.Saya meyakini,insya Allah,MK bisa menjadi pemutus yang adil dan melaksanakan tugasnya mengawal konstitusi.Keep on fighting for the better Indonesia. .

DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Guru Besar Hukum Tata Negara UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482913/

Bangsa Pelempar Batu

ABDUL MU’TI:

Demonstrasi seolah telah menjadi budaya (baru) bangsa Indonesia.Menjelang dan pasca-Reformasi 1998 sepertinya tiada hari tanpa demonstrasi.


Penyebab isu dan pelaku demonstrasi sangat beragam. Dari sudut politik, demonstrasi adalah ekspresi kebebasan berpendapat dan arena penyampaian aspirasi yang tidak tersalurkan melalui mekanisme formal.Maraknya demonstrasi membuktikan komunikasi tidak sehat dan kegagalan dialog antarberbagai kelompok kepentingan.Jika diekspresikan dengan penuh tata krama dan cita rasa seni,demonstrasi bisa menjadi panggung kebudayaan yang menarik simpati.

Budaya Amuk

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para demonstran, akhir-akhir ini aksi demonstrasi sungguh memprihatinkan. Demonstrasi melenceng jauh dari cita ideal demokrasi dan nilai-nilai permusyawaratan. Yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dan unjuk kekuatan menang-kalah antara rakyat melawan aparat. Demonstrasi menjadi aksi menakutkan dan—tampaknya—telah menjelma demons: evil spirit,kekuatan nafsu setan yang mengerikan. Rakyat dan aparat yang sama-sama dikuasai amarah bertempur sengit.

Mereka adalah sesama bangsa yang sedang memerankan fungsi masing-masing.Para demonstran bukanlah pejuang Intifadah yang berjibaku melawan kebengisan rezim penindas Israel.Lemparan molotov bukanlah batu api Burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah.Batubatu yang berhamburan bukanlah ritual melontar jumrah untuk menyempurnakan ibadah haji. Gas air mata, pentungan, dan peluru karet yang dimuntahkan aparat untuk mengusir massa dibeli dengan uang negara yang dipungut dari para pembayar pajak dan tetesan keringat rakyat.

Kekerasan yang disiarkan langsung media televisi adalah wujud mutakhir budaya amuk yang melembaga. Kekerasan masih menjadi pilihan utama untuk menggapai tujuan.Kecerdasan otak terkalahkan oleh kekuatan otot.Kejernihan nurani takluk oleh nafsu tiranik. Negeri pelempar batu adalah narasi kehidupan yang penuh kekerasan.Tidak melulu dalam aksi demonstrasi. Batubatu beterbangan laksana mercon “memeriahkan”tawur antarkampung. Entah mengapa, tawuran yang identik dengan peradaban rendah dan tidak dewasa kian kerap terjadi di jantung kota metropolitan.

Ironis. Secara sosiologis-antropologis, ibu kota adalah representasi masyarakat kota dengan peradaban adiluhung. Ada gejala di mana kota tidak lebih dari sekedar wilayah domisili yang berbeda secara administratif berbeda dengan desa.Kompleksitas tekanan hidup membuat masyarakat kota cenderung lebih keras dan beringas.

Tidak Bertanggung Jawab

Kini, setelah demonstrasi berhenti,bangunan-bangunan fisik yang rusak itu harus dibangun kembali. Fasilitas milik publik yang roboh harus ditegakkan kembali. Batubatu yang berserakan di jalan adalah puing-puing kemarahan dan nafsu yang sia-sia.Siapa yang bertanggung jawab? Yang terlihat adalah budaya “lemparbatusembunyitangan”. Peribahasa Melayu itu berarti berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bangsa pelempar batu berarti bangsa yang tidak bertanggung jawab, pengecut, munafik, pengkhianat, pecundang, dan sebagainya.

Sebagaimana dikemukakan Koentjaranigrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (2002), bangsa Indonesia memiliki lima karakter negatif: meremehkan mutu, suka menerabas,tidak percaya kepada diri sendiri, tidak disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hal senada juga dikemukakan budayawan Mochtar Lubis.Menurut Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia (cet. 2, 2008), bangsa Indonesia mengidap beberapa penyakit seperti sifat munafik (hipokrit), tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal, mistis dan sangat percaya takhayul, seni yang cenderung erotik, dan mentalitas yang lemah.

Di dalam bahasa Islam, tidak bertanggung jawab berarti tidak amanah. Secara umum amanah mengandung pengertian tugas, tanggung jawab, kepercayaan, aman, sentosa, damai, dan sebagainya.Lawan kata amanah adalah khianat, maksiat, menyeleweng, kafir, dan sejenisnya. Pelakunya dapat disebut pengkhianat, pengecut, pendusta, dan sebagainya. Seseorang yang tidak amanah tidak akan mendatangkan rasa aman.Yang terjadi adalah saling tidak percaya, curiga, dan bermusuhan.

Inilah masalah kebangsaan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Masalah semakin serius tatkala karakter dan budaya lempar batu sembunyi tangan menghinggapi kalangan elit pemimpin. Jika hal ini terjadi, pertanda kehancuran bangsa sudah terbayang di depan mata.

Dialog dan Silaturahmi

Sesungguhnya rakyat sudah letih berdemonstrasi. Energi rakyat sudah nyaris terkuras untuk bertikai. Tetapi, jika arus aspirasi tidak didengar, demonstrasi akan (tetap) menjadi pilihan.Rakyat juga mulai bosan dengan retorika elite yang apologetik dan saling menuding. Hal yang sama berlaku dengan perdebatan intelektual yang akrobatik. Ruang udara sudah penuh sesak oleh pernyataan. Yang diperlukan adalah dialog. Para elite pemimpin perlu berlapang dada, membuka diri dengan penuh kebesaran jiwa mendengar masukan dan menerima aspirasi.

Kritik dan suara kritis adalah konsekuensi bangsa yang melek informasi, cerdas dan partisipatif. Tidak bijak jika ditanggapi sebagai perlawanan.Tetapi, saling menyerang dan beradu “kekuatan” di media massa bukanlah kearifan dan pendidikan. Saling menjatuhkan hanya akan mewariskan dendam dan regenerasi permusuhan. Ada batas informasi yang bisa menjadi konsumsi publik dan rahasia negara. Apakah manfaatnya bertahandenganegoisme? Egoistis adalah cermin manusia kepada batu.

Mengapa tidak saling bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Bukan waktunya lagi berbicara atas nama rakyat dan kepentingan bangsa jika kedaulatantergadaikan. Mengapa tidak terbuka saja dan bicara blaka-suta saja? Menyembunyikan kebenaran adalah bentuk lain karakter lempar batu sembunyi tangan. Mengapa tidak menjalin silaturahmi? Bersilaturahmi berarti saling bertemu, mengunjungi dan berjabat tangan, terutama dengan “lawan”.Sudah saatnya bangsa Indonesia mengubah tradisi melempar batu dengan melempar senyum.●

ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN Walisongo, Semarang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482858/

Inkonstitusionalitas APBN-P 2012

DEWI ARYANI:

Pembahasan Revisi UU N0. 22 tahun 2011 tentang APBN-P yang sudah disepakati tanggal 30 Maret 2012 lalu dalam sidang paripurna DPR selain berpotensi melanggar konstitusi juga mengandung kontradiksi dalam pasal 7.


Syarat kondisionalitas dalam pasal 7 ayat (6a) yang menyebutkan bahwa “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam waktu 6 bulan dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P tahun 2012, pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung” secara materiil menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum.

Pasal 7 ayat (6a) ini juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas judicial review pasal 28 ayat (2) UU No.22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam putusan MK tersebut disebutkan bahwa “harga minyak dan harga gas bumi yang diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha”bertentangan dengan mandat Konstitusi Pasal 33 karena mendorong liberalisasi pengelolaan minyak dan gas bumi. Sikap sejumlah partai politikyangmengambangkanopsi kenaikan BBM melalui kondisionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (6a) selain sangat berkarakter politik pencitraan juga memiliki tiga kelemahan konstitusionalitas.

Pertama, pasal ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah untuk menentukan harga eceran BBM bersubsidi.Hal ini bertentangan dengan semangat pasal 20 UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang.Apalagi hal ini terkait dengan hajat hidup orang banyak. Dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Pasal 7 ayat (6a) revisi UU No. 22 tahun 2011 jelas mencabut fungsi legislasi dan anggaran yang dimiliki oleh DPR dalam menentukan besaran anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian pasal ini berpotensi mengandung unsur inkonstitusionalitas. Kedua, pasal 7 ayat (6a) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas judicial reviewUU No. 22 tahun 2001. Putusan MK yang mengabulkan larangan penentuan harga minyak dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar masih berlaku hingga kini, sehingga kondisionalitas pasal 7 ayat (6a) tersebut bertentangan dengan putusan MK tersebut.

Ketiga, pasal 7 ayat (6a) bertentangan dengan semangat pasal 33 ayat (1), (3) dan (4) UUD 1945, karena berpotensi menyebabkan terlanggarnya semangat asas ekonomi kekeluargaan, prinsip penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan prinsip keadilan dan kebersamaan. Selain itu, pasal 7 ayat (6a) juga berpotensi menyebabkan pengabaian hak setiap orang atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Selain bertentangan dengan berbagai macam pasal UUD 1945, pasal 7 ayat (6a) jugamengandung contradictory in substancedengan pasal 7 ayat (6) yang menyebutkan bahwa harga eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Kedua ayat ini yaitu (6) dan (6a) jelas memberikan ketidakpastian hukum kepada rakyat. Secara keseluruhan revisi UU No 22 tahun 2011 tentang APBN-P jelas mengandung sebuah ketidakpastian yang sangat besar.

Hal ini karena semua perencanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat harus menunggu bergerak naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional. Hal ini tentu akan menyebabkan kesulitan yang sangat besar dalam persiapan implementasi APBN-P 2011,terutama karena secara teknis lemahnya persiapan bagi program-program kompensasi pengalihan subsidi BBM. Bukan tidak mungkin program-program kompensasi ini akan dilaksanakan dalam waktu yang terburu-buru, sehingga menimbulkan persoalan korupsi baru dan ketidakefektifan penyerapan anggaran.

Jika ini terjadi maka kembali rakyat dirugikan dengan kenaikan harga BBM. Rangkaian pelanggaran justru diciptakan oleh para anggota dewan sendiri. Sungguh menjadi tragedi konstitusi yang perlahan membawa negara kepada ambang kehancuran. Sungguh memilukan, pada saat rakyat harus dibantu bangkit dari keterpurukan hidup dan negara harus dipulihkan fondasi ekonominya, yang terjadi justru sebaliknya. Penghancuran konstitusi. Kalau sudah begini rakyat tidak dapat disalahkan jika akan bergerak mencari solusinya sendiri.●

DEWI ARYANI
Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482862/

Antiklimaks Kebijakan BBM

A PRASETYANTOKO:

Kenaikan harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012,gagal dilaksanakan. Melalui rapat paripurna, DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.


Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami perubahan sebesar 15% selama 6 bulan. Bagi pemerintah yang sudah bersiap-siap menaikkan harga BBM,keputusan tersebut menjadi sebuah antiklimaks. Bagi partai oposisi dan para demonstran yang menolak pilihan kenaikan BBM,tentu saja juga merupakan antiklimaks. Karena meskipun harga BBM tidak jadi naik dalam waktu dekat, tetapi tetap terbuka kemungkinan sewaktu- waktu harga BBM dinaikkan.

Meskipun pada ranah legislasi masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan pembatalan Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun faktanya RAPBN-P 2012 sudah disetujui.Persoalannya, bagaimana tindak lanjut putusan tersebut? Ada dua pilar pokok yang harus diperhatikan. Pertama, membenahi politik anggaran.Kedua,mengubah arah kebijakan energi. Tanpa menggarap kedua pilar tersebut, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan terus-menerus diombangambingkan oleh fluktuasi harga minyak di pasar dunia.

Politik Anggaran

Sebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp1.500.Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat,maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L).Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian.

Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan. Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun.Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun.

Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012.Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5% pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal,maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan m e n j a d i catatan tersendiri bagi pertangg u n g j awa b a n presiden terhadap DPR.

Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan.Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom. Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit.

Sebagaimana diatur UU,defisit anggaran tidak boleh melewati 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni- Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht.Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23%. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8%. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.

Politik Energi

Kapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel. Dengan asumsihargaminyakICPsebesar USD 105,maka rumusnya 105 + (105x15%)= USD120,75.Jika dihitung mulai bulan Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, ratarata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel.

Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3%) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM.Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31%. Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, bulan Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai 3 kali lipat atau s e b e s a r 96,1%. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.

Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada inflasi sebesar 0,9%.Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8%. Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7%. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3%,maka didapat perkiraan inflasi sebesar 7%.Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000,inflasi tahun ini akan menjadi sekitar 6,8% sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1%.

Jika dibanding dengan periode yang lalu, secara ekonomi, kenaikan kali ini lebih baik. Artinya,dampak makroekonominya cenderung terjaga (manageable). Mengingat kondisi makro kita juga sedang dalam posisi bagus. Di tengah tarik-menarik soal harga BBM, nampaknya tidak akan mempengaruhi penilaian lembaga pemeringkat terhadap prospek perekonomian Indonesia. Standard & Poor’s (S&P) diproyeksikan akan memberikan predikat investment grade kepada kita, dalam beberapa bulan ke depan.

Sebagaimana diketahui,dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service, sudah memberikan predikat level investasi pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Jika ketiga lembaga pemeringkat paling besar dunia sudah memberikan predikat tersebut, niscaya modal asing akan semakin deras masuk ke Indonesia, sehingga bunga pinjaman surat utang bisa semakin turun. Dengan demikian, semakin tersedia alternatif pendanaan pembangunan.

Momentum tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Salah satunya, untuk m e n g e m - bangkan politik energi yang baik. Selama ini kita terlalu bertumpu pada energi fosil. Sementara,potensisumber daya alternatif terbuka sangat lebar, karena Indonesia kaya akan akan sumber daya air, angin dan cahaya matahari. Energi panas bumi (geotermal), merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dikembangkan, mengingat potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28.000 megawatt, sekitar 40% dari potensi dunia. Nilai tersebut sama dengan 1,1 juta barel minyak per hari.

Jika energi panas bumi dikembangkan, paling tidak bisa untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerah Jawa– Bali dan Sumatra. Sehingga, tak menggantungkan pada sumber daya solar dan batu bara. Saat ini, kapasitas terpasang PLTP baru sebesar 1.214 MW. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan strategi “bauran energi”, yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada BBM.●

A PRASETYANTOKO
Ketua LPPM, Unika Atma Jaya, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482864/