BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kami Tidak Berspekulasi Soal Terburuk di Malaysia

Written By gusdurian on Senin, 18 Juli 2011 | 12.30

WAWANCARA
Michael Tene:




RMOL. Situasi politik di Malaysia kian memanas setelah unjuk rasa besar-besaran. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) terus memonitor kondisi warga negara Indonesia (WNI) di negeri jiran itu.

â€Å“Belum ada laporan tentang WNI yang ditangkap atau terluka ter­kait situasi politik dan demo ‘Ber­Â­sih 2.0’ di Malaysia,’’ ujar Ju­Â­ru Bicara Kemenlu, Michael Te­ne, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Menurutnya, Kedutaan Besar Re­publik Indonesia (KBRI) di Kua­Â­la Lumpur sudah meng­im­bau agar WNI tidak ikut berunjuk ra­Â­sa atau terlibat dalam ke­ra­maian.

â€Å“Imbauan itu sudah jauh-jauh hari disampaikan pihak KBRI. Mereka terus mengikuti dari dekat. Sejauh ini belum mendapat la­poran adanya WNI yang ter­tang­kap atau terluka,†paparnya.

Seperti diketahui, Bersih 2.0 me­Â­rupakan aksi demonstrasi dari ke­lompok oposisi yang meng­ingin­kan dilakukannya pemilu ber­Â­sih dan adil. Unjuk rasa besar-be­saran yang terjadi Sabtu 9 Juli itu, menyisakan penangkapan ter­ha­dap para demonstran. 1.667 orang diamankan pihak ke­polisian.

Kepolisian Malaysia juga me­nangkap dua pimpinan ke­lom­pok yang menuntut reformasi pe­milu, yakni Ambiga Sreenivasan dan Maria Chin Abdullah. Selain ke­dua tokoh reformis tersebut, to­koh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim juga dikabarkan ikut di­tangkap dalam insiden tersebut. Akibat perlawanan tersebut, Par­tai Islam Se-Malaysia (PAS) me­ngancam gerakan

â€Å“Bersih 2.0’’akan’kembali di­gelar bila delapan tuntutan re­for­masi sistem pemilu, tidak di­pe­nuhi Komisi Pemilihan Umum Malaysia.

Michael Tene selanjutnya me­nga­takan, meski diwarnai aksi unjuk rasa, situasi di Malaysia ma­sih terkendali. KBRI masih se­batas memberikan imbauan ke­pada seluruh WNI di Malaysia.

â€Å“Kami terus berkomunikasi de­ngan KBRI di Malaysia. Ber­da­sar­kan informasi yang kami per­oleh, situasi di sana masih ter­kendali,†ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Bagaimana persiapan KBRI ji­ka situasinya menjadi lebih bu­ruk?
Seperti yang saya katakan tadi, si­tuasi di Malaysia masih kon­du­sif. Masih sebatas unjuk rasa saja. Saya tidak akan berspekulasi atau meramalkan tentang sesuatu hal yang buruk. KBRI pun telah me­la­kukan imbauan agar semua WNI menjauhi keramaian dan lo­kasi demonstrasi.

Bagaimana dengan para pelajar Indonesia yang ada di sana?
Imbauan itu kan tidak hanya di­tu­jukan kepada para WNI yang be­Â­kerja atau melakukan wisata. Pa­ra pelajar kita juga mendapat im­Â­bauan yang sama. Sejauh ini, kami belum menerima laporan soal pelajar atau WNI yang ter­libat.

Apakah imbauan cukup efektif untuk mencegah jatuhnya kor­ban WNI?
Sejauh ini efektif. Imbauan itu kan kami berikan jauh sebelum ada­Â­nya kegiatan demo besar-be­sa­ran. Mengenai langkah selan­jut­Â­nya, kita amati saja situasi yang berkembang di sana. Saya tidak ingin berspekulasi.

Bagaimana nasib 11 WNI yang terancam hukuman gantung di Malaysia?
Proses hukum mereka sudah tun­Â­tas, sudah melalui banding dan ka­sasi. Saat ini, Kemenlu se­dang me­min­ta amnesti dari pe­merintah Malaysia.

Apa rincian kasus dari 11 orang tersebut?
Dari 11 WNI yang terancam hu­Â­Ã‚­kuman gantung, 10 orang ter­kait kasus narkoba dan 1 orang ter­libat kasus pembunuhan. Mes­ki kita juga menerapkan hu­ku­man yang keras terhadap nar­ko­ba, proses pengampunan akan te­rus kita lakukan.

Apa saja yang dilakukan Ke­menlu?
Yang terus kami upayakan ada­lah permohonan amnesti atau pe­ngampunan dari pemerintah Malaysia terhadap mereka. Tentunya per­mohonan amnesti ini sesuai dengan lokasi mereka. Ada yang di­ajukan kepada Dipertuan Agung dan ada juga ditujukan ke­pada Sul­Â­tan yang ada di negara bagian tersebut.

Memangnya Kemenlu tidak membantu saat kasus ini masih proses hukum?
Kasus-kasus WNI yang ter­an­cam hukuman berat, pihak pe­me­rintah Indonesia memberikan ban­tuan hukum seperti me­nye­dia­kan pengacara dalam proses hu­kumnya. Kami men­co­ba me­man­faatkan peluang hu­kum yang ada di Malaysia. Mi­sal­nya, proses banding dan kasasi yang sudah di­jalani semuanya. Ketika proses-pro­ses hukum itu sudah selesai, maka kita akan mengupayakan pe­nyelesaiannya di luar proses hu­kum, seperti per­mintaan pe­ngam­punan kepada pemerintah Malaysia.

Bukannya proses amnesti itu sudah terlambat?
Kita sudah mengupayakan se­mua proses hukum dari awal hing­ga akhir. Ketika itu tidak ber­hasil, maka kami mengupayakan pro­ses pengampunan di luar jalur hukum, itu akan kita upayakan secara maksimal. Proses ini sama seperti di Indonesia, seseorang yang dikenakan hukuman berat, seperti hukuman mati, pertama kali melalui Pengadilan Negeri, Pe­ngadian Tinggi, lalu ke MA. Ke­tika di MA tuntas berarti sudah berakhir proses hukumnya. Ta­hapan berikutnya meminta am­nesti dan grasi kepada Pre­siden se­b­agai Kepala Negara, itu ham­pir serupa dengan sistem yang ada di Malaysia.

Kapan putusan amnesti itu dikeluarkan?
Kita belum mengetahui kapan keluarnya pengampuan itu dari pe­merintah Malaysia. Namun yang kami garisbawahi, peme­rin­tah Indonesia sudah me­ngu­pa­ya­kan hal tersebut secara mak­simal.

Bagaimana tindaklanjut para nelayan Malaysia yang di­tang­kap petugas Indonesia?
Mereka harus tetap mengikuti semua ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Kemenlu tidak akan men­campuri proses hukum yang te­ngah dilakukan petugas-pe­tu­gas tersebut.

Pak Menlu (Marty Natale­ga­wa) juga tidak pernah bicara dan berjanji ke pihak Malaysia akan me­lepaskan nelayan yang di­tang­kap itu. Semua pihak harus meng­hor­mati proses hukum yang ada di Indonesia, tanpa terkecuali Ma­Â­laysia. [rm]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33377

Kami Menindak Tegas PTN Bila Lakukan Kongkalikong

WAWANCARA
Mohammad Nuh:


RMOL. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh meminta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak melanggar ketentuan dalam menerima mahasiswa lewat jalur mandiri.

â€Å“Kalau aturan dilanggar, mi­salnya melakukan kong­kali­kong saat menerima mahasiswa lewat jalur mandiri, kami pasti tindak te­gas. Terus terang kami terus me­mantau penerimaan maha­sis­wa lewat jalur mandiri,’’ tegas Mo­hammad Nuh kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Menurut bekas Menkominfo itu, salah satu tujuan jalur mandiri me­lakukan subsidi silang, tapi kemampuan akademik tetap diprioritaskan.

â€Å“Mekanisme pelaksanaan jalur mandiri diatur dalam Peraturan Pe­merintah (PP) Nomor 66 Ta­hun 2011. Misalnya, PTN harus me­nerima mahasiswa dari Se­leksi Nasional Masuk Perguruan Ting­gi Negeri (SNMPTN) minimal 60 persen dan jalur mandiri mak­simal 40 persen,†paparnya.

Selain itu, lanjutnya, PP ter­se­but juga mewajibkan PTN untuk menerima 20 persen ma­hasiswa yang tidak mampu. Bagi mereka yang memiliki kemampuan aka­demik tapi lemah secara finansial, tetap dapat mengenyam pen­di­dikan tinggi.

â€Å“Jalur mandiri kan dasarnya un­tuk subsidi silang. Bagi yang sudah cukup, ya harus memberi konstribusi lebih. Itu wajar,†ujar be­kas Rektor ITS ini.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang mendasari pembuka­an jalur mandiri?
Ada beberapa pertimbangan. Per­tama, ada jurusan tertentu yang seleksinya tidak dapat di­se­ragamkan secara nasional atau ju­rusan yang sangat spesifik. Con­tohnya, jurusannya yang terkait de­ngan disain produk dan arsi­tek­tur yang sangat khas. Itu kan nggak bisa pakai seleksi nasional. Se­Â­bab, yang dominan bukan tes kognitif.

Kedua, pembukaan jalur man­diri terkait dengan sumber pen­da­naan. Masa yang tidak mampu sa­ma bayarnya dengan yang me­ngen­darai Mercedes. Nggak fair dong. Harusnya, yang kurang mam­Â­Ã‚­pu nggak usah bayar atau ba­Â­Ã‚­yarnya sedikit. Sementara yang kaya raya mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Bagaimana kalau tidak memiliki ke­mam­puan financial tapi ikut seleksi mandiri?
Ujian mandiri tidak selamanya di­kaitkan dengan kemampuan fi­nan­sial. Misalnya, mahasiswa yang memiliki prestasi olahraga. Me­reka harus diprioritaskan, ka­rena bisa kalah jika diseleksi melalui SMPTN. Kemudian, sis­wa yang memiliki spesifikasi ke­mampuan juga bisa masuk me­la­lui jalur mandiri, karena ju­ru­san­nya agak khas.

Yang perlu dicatat, jalur man­diri atau jalur apa pun, harus me­nge­depankan kemampuan aka­de­mik. Nggak boleh yang mem­ba­yar Rp 100 juta didahulukan, ta­pi akademiknya nggak karu-ka­ruan. Prinsip dasarnya tetap aka­demik, setelah itu kemampuan finansial.

Kalau salah satu tujuan jalur man­diri adalah penggalangan dana untuk subsidi silang, ke­na­pa saat pendaftaran tidak dican­tum­kan penghasilan orangtua calon mahasiswa?
Ada kok, ada isiannya. Saat nan­Â­ti diterima di PTN itu, lalu di­la­Â­kukan pembayaran, orangtua dan mahasiswa menerima kuitan­si pembayaran.

Semua pemasukan itu dika­te­go­rikan sebagai Penerimaan Ne­gara Bukan Pajak (PNBP). Dana yang dihimpun dari masyarakat itu, kemudian dimasukkan ke re­ke­ning yang sudah didaftarkan ke Kementerian Keuangan. PNBP itu ma­Â­suk dalam skema Ang­garan pen­Â­Ã‚­Ã‚­da­patan dan Be­lanja Negara (APBN).

Bagaimana Kemendiknas me­mas­tikan anggaran itu masuk ke dalam kas negara?
Kemendiknas telah menu­gas­kan inspektorat untuk melakukan pe­ngawasan kepada PTN yang membuka jalur mandiri. Dalam pe­ngawasan tersebut, mereka ditugaskan untuk mengamati dan meneliti dua aspek utama, yakni aspek akademik dan administrasi.

Selain inspektorat, pe­nga­wasan terhadap PTN juga dila­ku­kan oleh BPKP dan BPK. Kalau PTN buka tabungan sendiri dan itu belum didaftarkan, itu me­ru­pa­kan bagian dari temuan. Me­re­ka dapat dikenakan sanksi.

Untuk mengetahui kesang­gup­an seseorang secara finansial, apa­kah bisa dilakukan dengan se­kadar mengisi formulir?
Selain mengisi formulir, PTN juga diberi kewenangan untuk me­lakukan wawancara, sehingga mereka bisa melakukan verifikasi terhadap berbagai hal. Misalnya, ada orang yang mendapat gaji Rp 10 juta, tapi bilangnya hanya Rp 5 juta. Itu kan perlu diverifikasi agar bantuannya tidak salah sa­saran.

Mengenai evaluasi UKP4, apa­kah kementerian Anda men­dapat nilai merah?
Evaluasi UKP4 ada yang me­rah, biru, dan hijau. Namun, yang terpenting, kita mengenali merah itu kenapa. Salah satu contoh ni­lai yang merah adalah pemberian bea siswa bagi siswa berprestasi. Ke­Â­napa merah, karena seleksi olim­Â­piade baru atau sedang di­lak­sa­nakan. Makanya, pemberian bea siswa belum bisa dilakukan. Ka­Â­lau sudah selesai, semuanya akan kami salurkan. Jadi, angka me­Â­rahnya bisa berubah. [rm]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33376

Pelajaran dari Kasus Prita

Sudaryatmo, KETUA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

"Your complaint is important to us. The real test of any organization is how it deals with complaints from the public (Michael Grade, BBC Chairman). Kepastian hukum seperti apa yang akan ditunjukkan Mahkamah Agung?
Sebab, putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Konsumen, yang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit dijamin serta dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh MA.

Dalam dekade terakhir ini telah terjaD di pergeseran paradigma di kalangan pelaku usaha di Eropa dan sejumlah negara maju dalam melihat pengaduan konsumen. Awalnya pengaduan konsumen dilihat sebagai suatu aib, hal yang harus dihindari dan dikonotasikan bermakna negatif. Namun sekarang justru dimaknai sebaliknya. Pengaduan adalah bentuk atensi konsumen kepada pelaku usaha. Semakin banyak pengaduan, semakin banyak atensi konsumen dan berarti bisnis ini punya masa depan. Dengan banyaknya pengaduan, pelaku usaha mendapatkan feedback berharga dari konsumen dan berarti terbuka kesempatan untuk selalu meningkatkan mutu produk berupa barang dan jasa. Sehingga tidak aneh apabila ada pelaku usaha yang memberikan penghargaan/hadiah sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada konsumen yang mengadu karena telah memberi masukan berharga bagi pelaku usaha.
Namun tidak demikian halnya yang dialami konsumen di Indonesia. Kasus yang dialami Prita Mulyasari adalah salah satu contoh. Ketika Prita sebagai konsumen mengadu, boro-boro mendapat ucapan terima kasih, ia justru dikriminalisasi, dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Dan Prita sempat mendekam di jeruji besi. Melalui putusan nomor 822/K/Pid.sus, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum dalam kasus pidana Prita Mulyasari. Putusan ini dijatuhkan pada 30 Juni 2011 oleh majelis hakim agung Zaharuddin Utama, Salman Luthan, dan ketua majelis Imam Harjadi.
Isi putusan MA, Prita dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun.

Walaupun Prita tak perlu menjalani hukuman penjara, asalkan ia tidak mengulangi perbuatannya dalam kurun percobaan itu, putusan MA ini tetap mengusik rasa keadilan publik. Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami arti pentingnya pengaduan, tidak hanya bagi Prita selaku konsumen, tapi juga bagi RS Omni selaku pelaku usaha dan bagi pemerintah (Kementerian Kesehatan) selaku regulator di bidang layanan kesehatan.

Bagi konsumen, pengaduan adalah simbol kebangkitan hak-hak konsumen. Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya, di mana di dalamnya ada hak buat menyampaikan keluhan/pengaduan kepada pelaku usaha (Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Tidak hanya UU Perlindungan Konsumen, berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan, termasuk hak buat mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media massa.

Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan dalam mendapatkan feedback dari konsu men, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya selalu meng-improve kualitas layanan kepada konsumen. Bagi Kementerian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada pejabat Kementerian Kesehatan, tapi mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih efektif.

Salah satu ciri negara yang iklim perlindungan konsumennya bagus adalah adanya tradisi komplain (complaint habit) yang tinggi. Dibanding sejumlah negara, kebiasaan mengadu di kalangan konsumen Indonesia masih rendah. Menurut data Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2010), total pengaduan konsumen yang diterima sebanyak 590 kasus. Sementara itu, data yang dihimpun sejumlah negara, misalnya, National Consumer Complaint Center Kuala Lumpur, Malaysia (2009), menerima 32.369 aduan konsumen; National Consumer Helpline New Delhi, India (2009/2010), menerima 70.453 aduan; dan Hong Kong Consumer Council, Hong Kong (2010), menerima 31.207 aduan.

Putusan pengadilan (termasuk MA) yang baik selalu dapat diuji dari tiga aspek: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Putusan MA dalam kasus Prita tidak memenuhi tiga aspek di atas. Kepastian hukum seperti apa yang akan ditunjukkan MA? Sebab, putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Konsumen, yang oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit dijamin serta dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh MA.

Kemanfaatan untuk siapa yang ingin disasar MA? RS Omni selaku pengadu dalam kasus ini pun tidak mendapat manfaat. Justru sebaliknya putusan MA membangkitkan kembali antipati publik terhadap RS Omni Internasional.

Keadilan bagi siapa yang hendak dituju MA? Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Prita adalah potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi konsumen, tapi justru sebaliknya, pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi konsumen.


http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/18/ArticleHtmls/Pelajaran-dari-Kasus-Prita-18072011012011.shtml?Mode=1

Uang dan Politik

BAMBANG SETIAJI:

Pengakuan Nazaruddin dari tempat pelariannya bahwa dia mengalirkan uang ke orang penting partai dan bahkan menteri dapat dimengerti. Hal itu bisa jadi merupakan fenomena wajar atau gejala umum di tengah endemi money politic.


Namun,keadaan ini diukur dengan nilai yang standar, terutama perlunya mengelola jabatan publik dengan integritas yang tinggi tentu saja cacat. Masalahnya adalah jika sakit bersifat umum, orang akan bisa cenderung menerimanya sebagai keadaan yang wajar.

Dan apabila sakit sudah endemik, maka obatnya juga harus berskala umum. Dengan demikian, Partai Demokrat baru bernasib sial karena kebutuhan partai akan uang memang besar dan itu terjadi di semua partai. Biaya konsolidasi menjadi mahal karena luas wilayah Indonesia yang membentang sedemikian besar.

Untuk menghindari ketersanderaan partai, misalnya, sudah dibuat aturan mengenai sumbangan terhadap partai. Peraturan itu cukup sehat dan diinspirasi negara demokrasi maju,tetapi sulit dilaksanakan di lapangan karena perbedaan budaya, sosio-ekonomi, dan hukum.

Endemi Politik

Di tingkat pusat kebutuhan akan uang yang besar adalah untuk rapat dan terutama kongres yang harus menghadirkan anggotanya mulai tingkat kabupaten,akomodasi, dan success fee, biaya kampanye, transportasi ke seluruh pelosok negeri saat menggalang daerah,kadang sampai menyewa pesawat, dana menggalang massa, dan yang paling signifikan adalah biaya iklan, baik di TV dan media lainnya.

Disebut sebagai endemi karena kebutuhan uang yang besar yang tidak mungkin ditutup dengan cara yang wajar tersebut merupakan gejala umum di pusat dan daerah. Sebagai contoh, di daerah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat menanggung potongan wajib sekitar 20% gajinya untuk iuran partai, membiayai kegiatan untuk konstituen di daerah pemilihannya, untuk kampanye, dan turut membiayai calon yang diusung dari partai.

Masih ada lagi yang harus dibiayai yang merupakan ciri khas budaya kita yaitu menyumbang untuk pesta hajatan. Pesta hajatan merupakan pengeluaran signifikan karena pentingnya dalam struktur pengeluaran masyarakat, pos ini masuk sebagai salah satu komponen survei sosial ekonomi nasional BPS.

Politisi daerah memiliki kiat macam-macam untuk mendekati rakyat, ada yang aktif menghadiri hajatan, menyumbang dengan mendirikan kelompok musik, sampai menjadi juru nasihat pengantin. Sebagai konsekuensi dari kebutuhan di atas,partai menjadi tergadai.

Kader-kader murni yang mengandalkan idealisme dan materi kaderisasi bagaimana merealisasi negara yang baik yang menyejahterakan menjadi tergeser kepada kebutuhan pragmatis dan bahkan praktis. Banyak orang potensial ditawari mencalonkan diri tidak berani menanggung beban keuangan yang sangat besar tersebut.

Pengusaha menjadi pemimpin instan di sebagian besar daerah dan juga pusat.Angkanya perlu disurvei dan mungkin mencapai 80%. Sistem yang baik akan menghasilkan variabilitas sampel yang kurang lebih sama dengan variabilitas populasinya.

Apabila variabilitas populasi tidak terwakili dalam variabilitas kepemimpinan sebagai subpopulasi, baik dari sisi etnis, strata ekonomi, strata sosial, dan profesi, maka sistem perekrutan boleh disebut gagal.

Hal tersebut akan menimbulkan oligarki baru, yaitu sangat dominannya sekelompok orang dalam waktu yang lama, dalam hal ini sangat dominannya pemilik kapital.Negara akan menuju kepada kapitalis muda atau kapitalis naif yang timpang di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai sekelompok orang.

Akhirnya, para pemimpin murni yang mungkin direkrut dari organisasi ekstra kemahasiswaan dan kepemudaan dan yang sudah meniti karier panjang harus melibatkan diri di dunia bisnis yang murni atau yang terkait dengan proyek pemerintah. Di sinilah Nazaruddin dan petinggi Partai Demokrat tersandung.

Bagaimana Memperbaikinya?

Percobaan demokrasi langsung jelas menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki ini,yaitu terlalu dominannya “uang”. Naiknya ke panggung kepemimpinan para pengusaha mengalahkan tokoh-tokoh yang mungkin lebih concern kepada idealisme kenegaraan merupakan keadaan seratus delapan puluh derajat dibanding Orde Baru.

Pada waktu itu hanya para birokrat yang sudah lulus jenjang pengetahuan administrasi pemerintahan tertentu bisa menempati kepemimpinan di pemerintahan.Kepemimpinan pemerintahan menjadi monopoli birokrat. Sekarang keadaan terbalik, menjadi hanya monopoli pengusaha atau orang beruang.

Bentuk kepemimpinan yang mestinya random yang berlatar belakang berbagai ragam sesuai dengan watak demokrasi ternyata tidak terjadi. Dua alternatif kesimpulan dapat diajukan.

Pertama, menganggapnya sebagai penyimpangan sementara yang akan menghilang dalam perjalanan waktu tentu saja dapat dipercepat dengan kontrol pers dan gerak penegak hukum yang ada. Demokrasi tumbuh secara natural dan reguler.

Kedua, menilainya sebagai sistemik karena sistem yang dibangun tidak kompatibel dengan budaya dan keadaan bangsa, sehingga perlu reamendemen. Apabila reamendemen dipilih, kelemahan ini jangan sampai kembali melahirkan sistem intervensi yang dirasakan selama era orde baru.

Derajat demokrasi terutama kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul ternyata sangat bermanfaat untuk memperbaiki bangsa. Kita harus mengakui bahwa di samping penyimpangan berupa virus money politic yang sebenarnya sangat gawat, terdapat sangat banyak kebaikan dalam era kebebasan ini.

Indonesia ke depan akan menjadi negara yang maju, baik ekonomi dan kualitas bernegara seperti hak asasi dan mobilitas sosial di mana dimungkinkan semua orang yang berkualitas atau bekerja keras melakukan mobilitas vertikal.

Hal ini merupakan barang luks jika dibanding dalam sesama negara di dunia Islam, Malaysia, Timur Tengah serta China. Kata bijaknya adalah mengambil ikan tetapi jangan mengeruhkan airnya.● PROF BAMBANG SETIAJI Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/413533/

Benci tapi Rindu Hubungan Presiden dan Pers

Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta

KEMENANGAN Susilo Bambang Yudhoyono dalam mempere g butkan kursi presiden Republik Indonesia, khususnya pada pe k riode pertama, dapat dilihat sebagai cermin t keberhasilan pers dalam menampilkan tokoh alternatif. Kemunculan Yudhoyono h sebagai tokoh nasional saat itu tak dapat t dilepaskan dari proses pencitraan atau h media framing pers dalam kerangka me k munculkan pemimpin alternatif. Di tengah kejenuhan publik terhadap figur pemimpin t yang telah mapan: Megawati, Gus Dur, Ak s bar Tanjung, Wiranto, dan lain-lain, media secara intens menampilkan penggambaran k simpatik dan legitimate terhadap Yudhoyo t no. Tingginya intensitas kritik pers terhadap pemerintahan Megawati misalnya, secara k signifikan mendongkrak posisi Yudhoyono h tatkala berhadapan dengan Megawati pada babak akhir Pilpres 2004.
Namun, fakta semacam ini tidak otomatis menjamin kontinuitas hubungan harmonis antara presiden dan pers. Dalam sejarah k Indonesia, hubungan presiden dengan pers tak ubahnya hubungan rindu tapi benci. a Keduanya pernah menunjukkan simbiosis f mutualisme: pers membutuhkan tokoh z yang namanya populer dan menjual, se n dangkan presiden selalu membutuhkan dukungan opini publik melalui pemberitaan. Namun seiring perjalanan waktu, keduanya tiba-tiba memasuki hubungan yang antagonistik. Sebelum Yudhoyono, empat presiden Indonesia sama-sama menunjukkan pasang-surut hubungan dengan pers. Mereka pernah menikmati dukungan simbolik dari pers, terus-menerus dicitrakan sebagai pemimpin masa depan, tokoh alternatif atau harapan bagi wong cilik. Namun, ketika berada di pucuk kekuasaan, tak segan-segan mereka melakukan pembredelan, menerapkan undang-undang yang represif, memenjarakan wartawan, atau mendiskreditkan pers dengan tuduhan tendensius dan berlebihan.

Dalam urusan dengan pers, Presiden Yudhoyono sejauh ini sebenarnya relatif lebih baik dibandingkan para pendahulunya: belum pernah membredel media, bersedia membatalkan undang-undang yang mengancam kebebasan pers, dan beberapa kali menyampaikan penilaian simpatik tentang pers. Namun di sisi lain, tetap saja Yudhoyono belum sepenuhnya meninggalkan kebiasaan para pendahulunya.
Ketika terjepit oleh kritik pers, Yudhoyono masih terpancing untuk bereaksi secara kurang proporsional dan bersikap apriori tentang pers. Kasus terakhir, Yudhoyono mengkritik pers karena menggunakan BBM dan SMS dalam memberitakan skandal M Nazaruddin dan kelemut dalam tubuh Partai Demokrat. Sekali lagi, Presiden menuai kritik dan kontroversi.

* * * Mengapa pasang-surut hubungan antara Presiden dan pers terjadi? Di satu sisi, ini mengindikasikan bahwa secara umum pers Indonesia merupakan pers yang independen. Pers Indonesia, dengan beberapa pengecualian, dapat menjaga netralitas dan menjaga jarak dengan kekuasaan.
Pers Indonesia siap memberikan pujian dan apre siasi kepada tokoh alternatif, tetapi juga tak ragu-ragu me nyampaikan kr it i k b ah kan bersikap oposisional ketika tiba waktu nya. Namun bisa jadi pula masalahnya karena memang ada yang tidak proporsional dalam pemberitaan pers.
Ada media yang terlalu bersemangat menjalankan fungsi kontrol, terburuburu dalam memberitakan, kurang menjaga disiplin verifikasi, h i n g g a cenderung menghakimi. Maka muncullah re a k s i k e beratan dari presiden atau pemerintah.

Dari sisi ini, seyogianya kedua pihak bersikap proporsional, menghindari generalisasi dan sikap apriori. Tidak semua media tidak profesional dan menghakimi ketika mengkritik presiden. Sebaliknya, tidak semua kritik presiden terhadap pers merupakan kritik yang salah dan harus dihadapi dengan reaksi penolakan yang ekstrem. Sekali lagi, kita perlu merujuk pada hal yang spesifik: berita yang mana, dalam kasus apa, edisi yang mana, dan di media mana. Bersikap proporsional semestinya tidak sulit diupayakan karena kedua pihak sesungguhnya saling membutuhkan.

Dari sisi Presiden sendiri, ada beberapa kemungkinan. Pertama, kita menghadapi tipe presiden yang anti kritik, otoriter dan mempunyai kecenderungan membatasi kebebasan pers. Kedua, bisa jadi kita menghadapi presiden yang sekedar tidak siap menghadapi perubahan sikap pers. Presiden yang terbiasa disanjung-sanjung pers dan tidak siap mental ketika tiba-tiba pers menunjukkan sikap oposisional. Ketiga, kita menghadapi presiden yang mencerminkan problem umum dalam pemerintahan kita: berpandangan konservatif tentang fungsi dan kedudukan pers. Meskipun zaman sudah berganti, tidak demikian dengan cara pandang kalangan pemerintah terhadap pers. Dalam tubuh pemerintah, belum terjadi perubahan persepsi yang kondusif bagi ruang publik media yang demokratis dan bebas dari inter vensi negara. Masih bertahan dalam benak banyak pejabat publik kita, ilusi tentang pers sebagai mitra pemerintah, perangkat pembangunan, pengawal nilai-nilai nasionalisme dan semacamnya.
Problem cara pandang ini tebersit dalam sikap apriori para pejabat publik yang selalu mempersoalkan kedudukan pers sebagai `pengkritik' pemerintah. Mereka sepertinya tidak membuka diri terhadap prinsip atau fakta bahwa dalam rezim yang demokratis, fungsi pers tak lain dan tak bukan memang menjalankan kontrol terhadap kekuasaan, dengan rambu-rambu kode etik jurnalistik.

* * * Dari tiga kemungkinan di atas, di manakah posisi Presiden Yudhoyono? Penulis melihat, Yudhoyono tidak sedang memerankan diri sebagai pemimpin otoriter yang berkecenderungan memberangus kebebasan pers. Yudhoyono pasti juga sadar benar sikap otoriter tidak realistis untuk saat ini. Posisi politik pers boleh dibilang sedang kuat-kuatnya di hadapan unsur-unsur kekuasaan, kecuali di hadapan pemiliknya sendiri! Siapa pun yang memimpin ne geri ini, pasti akan berpikir berulang kali untuk `berkonfrontasi' secara langsung dengan pers saat ini. Kuatnya posisi politik pers tergambar dalam kontroversi pemberitaan M Nazaruddin, juga dalam kontroversi pernyataan Menses kab Dipo Alam tentang boikot iklan media be berapa waktu lalu.

Sikap reaktif Pre siden terhadap pers belakangan lebih menunjukkan ke tidaksiapan mengha dapi perubahan sikap media yang sangat kritis terhadap pe merintah atau partai pendukung pemerin tah, dibumbui dengan cara pandang yang masih cenderung kon servatif tentang fungsi dan kedudukan pers.

Namun perlu ditegaskan, sebagai objek pemberitaan, sesungguhnya presiden mempunyai hak mengajukan kritik atau komplain terhadap media. Sebagai `tukang kritik', tentu saja pers harus terbuka terhadap kritik. Pers menuntut transparansi pe nyelenggaraan pemerintahan, tetapi perlu juga harus transparan pada dirinya sendiri. Akan tetapi sekali lagi kritik terhadap pers semestinya proporsional dan tidak menggeneralisasi. Kritik harus jelas menunjuk pada berita yang mana, dalam kasus apa dan oleh media yang mana. Unsur-unsur politik juga mesti menahan diri dan kontekstual. Jika masalahnya ialah jurnalisme, semestinya UU Pers yang menjadi referensi, dan oleh karena itu tidak perlu sedikitsedikit mengancam hendak memidanakan pers, tanpa terlebih dahulu menempuh prosedur hak jawab dan proses penyelesaian melalui Dewan Pers atau KPI.

* * * Penggunaan BBM atau SMS sebagai materi pemberitaan tentang M Nazaruddin, bukanlah suatu kesalahan. Yang perlu dipersoalkan adalah beberapa hal berikut ini. Pertama, apakah media telah mengecek bahwa pengirim BBM atau SMS itu benarbenar M Nazaruddin? Pers bertanggung jawab memastikan hal ini. Pada akhirnya, ada media yang dapat membuktikan BBM atau SMS itu memang berasal dari M Nazaruddin. Namun pada permulaan mencuatnya kasus ini, bisa jadi sebagian media terburu-buru memberitakan tanpa terlebih dahulu memastikan kebenaran sumber tersebut.

Kedua, pers juga bertanggung jawab mengonfirmasi pihak-pihak yang disebut dalam BBM atau SMS Nazaruddin. Pengakuan Nazaruddin harus diuji atau diverifikasi karena menyangkut nama baik pihak lain. Di sini, staf kepresidenan semestinya melakukan analisis isi untuk mengetahui berita mana yang telah mengandung konfirmasi dan verifikasi, mana yang belum. Perlu dipastikan bahwa presiden mengevaluasi kerja pers dengan data yang valid dan tidak hanya berdasarkan asumsi atau pengamatan sekilas semata.

Ketiga, kontroversi M Nazaruddin sudah berlangsung selama dua bulan dan pers telah habis-habisan memberi takannya. Tapi mengapa pers umumnya masih berkutat dengan jur nalisme statement dan belum beranjak kepada jurnalisme in vestigatif? Semua pihak mengetahui pengakuan M Nazaruddin bertolak belakang dengan sanggahan Anas Urbaningrum dan Partai Demokrat. Sampai kapan mereka dibiarkan `saling berbalas pantun', berbantah-bantahan di ruang publik media?
Fungsi pers seharusnya tidak berhenti mengemukakan kasus dan menjalankan fungsi kontrol, tetapi juga mengungkapkan kebenaran di balik kasus itu. Hal inilah yang harus dilakukan saat ini.

Kita mempunyai pe lajaran berharga dalam hal ini. Sering terjadi, suatu kontroversi redup begitu saja seiring dengan munculnya kontroversi lain atau tercapainya `resolusi' antarelite politik. Padahal, duduk-perasa di balik kon troversi itu belum benar benar terungkap. Wacana media hanya meninggal kan tanda tanya besar.

Kasus Bank Century ialah contohnya. Hingga saat ini, skandal penggunaan dana publik sebesar Rp6 triliun masih jauh dari selesai. Namun, media se perti membiarkan skandal Bank Century meredup begitu saja ketika para politikus yang membe berkan kasus itu sudah merasa puas bersilat li dah dan telah mencapai tujuan partikularnya.

Apakah kontroversi M Nazaruddin akan bera khir dengan antiklimaks seperti halnya kontro seperti halnya kontroversi Bank Century? Tergantung pada kesungguhan media untuk melakukan lebih dari sekadar jurnalisme statement, dan mengorientasikan pengungkapan kebenaran dari suatu kasus, serta tidak sekadar memodifikasi kasus itu semata-mata demi alasan oplah atau rating.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/18/ArticleHtmls/Benci-tapi-Rindu-Hubungan-Presiden-dan-Pers-18072011017003.shtml?Mode=1
--

Foto dan Iklan Para Pejabat

Foto dan iklan di sini sebaiknya diringkas menjadi satu: iklan.Soalnya, keduanya esensinya sama.Foto para pejabat yang dipajang dimaksudkan sebagai iklan, dan iklan di media ya jelas iklan.


Apa esensi sebuah iklan? Kelihatannya begitu netral hanya memperkenalkan atau menawarkan suatu produk. Tapi, di dalam berbagai jenis iklan ada unsur tidak jujur dan sengaja menjerumuskan konsumen. Iklan yang lain jelas melebihkan apa yang tak lebih. Ini juga tidak jujur dan efeknya menjerumuskan secara fatal para konsumen.

Penipuan macam ini jelas terkutuk demi kemanusiaan. Tak sedikit iklan produk pangan yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan, dikatakan aman. Tak sedikit iklan obat yang makin memperparah kondisi kesehatan masyarakat.Tak jarang dokter bungkam seribu bahasa, bahkan diam-diam mendukungnya.

Kita tahu,ini semua tak bisa diubah begitu saja hanya dengan imbauan etis. Omong kosong macam ini sudah dianggap sebuah kewajaran. Sekarang ini ada iklan lain yang bukan produk dan sama sekali tidak etis tapi media menerimanya demi kepentingan bisnis, seolah di dalamnya tak ada ketegangan etis dan konflik-konflik nilai yang kita junjung tinggi.

Media, yang mengaku berdiri di garis terdepan dalam membela segenap kemuliaan yang menyangkut kehidupan publik,dalam urusan iklan macam ini tak berbunyi apa pun. Dewan etis yang mengawasi sepak terjang media bungkam. Guru-guru etika dan moral bisnis bungkam.

Penegak hukum syariah,yang menganggap dirinya gencar membela agama, pun tak bergerak. Pejabat memasang iklan memalukan itu dianggap wajar. Atasan pejabat yang bersangkutan, yang melihat anak buahnya sibuk memasang iklan tentang dirinya, juga bungkam. Bagaimana tidak bungkam, atasan itu sendiri juga gemar mengiklankan diri. ***

Sebelum bicara perkara lebih sensitif, kita cek dulu baik-baik, apa sebabnya para pejabat dan calon-calon pejabat di mana pun sekarang gemar mengiklankan diri? Iklan diri merupakan kebutuhan penting bagi semua pihak,juga bagi rakyat? Iklan diri menjelaskan prestasi mengesankan yang harus didengar publik?

Rakyat, yang tak mau ikut sinting bersama kesintingan umum, dengan hati-hati bertanya: kau ini siapa, berapa besar harga kompetensi-kompetensi teknismu, seberapa tinggi kredibilitas sosial-politik maupun moralmu, dan siapa yang pernah tahu jasajasamu kalau memang kau punya jasa?

Dengan kata lain,kalau kau bukan siapa-siapa dan tak bisa apa pun, mengapa kau begitu jumawa memasang iklan tentang dirimu,yang tak seberapa harganya? Kalau di dunia bisnis orang memasang iklan dengan biaya mereka sendiri, kau memasang iklan dengan biaya dari nenek moyangmu?

Kau keturunan Nabi Sulaiman yang terkaya di antara semua nabi? Kau keturunan Korun, yang tak berbilang jumlah kekayaannya? Iklan para pejabat dibayar dengan duit rakyat. Itu duit kita. Mengapa kita membiayai iklan orang-orang yang tak terlalu berharga,hanya supaya mereka bisa bertahan lebih lama di jabatan dan membikin mereka lebih mapan di mata publik,tapi akan menjadi lebih sering menipu kita?

Ini semua tak ada urusannya dengan tugas dan segenap kewajibannya untuk mengabdi kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Iklan para pejabat hanya sebuah omong kosong. Dan omong kosong dalam kategori ini wujud nyata sebuah kekerasan terhadap publik yang tetap merana hidupnya.

Dan, bagaimana pun ini barang terkutuk. Betapa getir rasanya,rakyat yang membayar pajak, taat aturan dan menerima apa yang dikeluarkan pemerintah tapi tak melihat hasil kerja pemerintah. Bagaimana kita rela ditipu mentah-mentah: kita menantikan keadilan dan kenyamanan hidup tapi yang diberikan pada kita hanya selembar kumis yang nempel di pojok-pojok kota? Apa gunanya selembar kumis? ***

Kita kagum dengan pakaian pejabat yang licin dan mahal harganya. Kita kagum melihat jambul para pejabat yang bisa membikin lalat terpleset saking licinnya.Tapi, bukankah itu belum cukup dan bahkan sama sekali tidak cukup? Kita menantikan dengan berdebar-debar, kapan para pejabat bekerja baik-baik buat menyelesaikan masalah bangsa?

Tapi kita tak pernah mendengarnya, kecuali omong kosong yang digembar-gemborkan di televisi atau di radio, yang tak ada hubungannya dengan kehidupan rakyat. Para pejabat itu kita harapkan bekerja.Tak peduli kapan dan di mana mereka bekerja, kita tidak tahu hal itu pun tak menjadi masalah.

Tapi, kita harus tahu hasil-hasilnya.Mereka boleh bekerja pagi, boleh sore, boleh tengah malam. Pendeknya, kita tak ingin tahu.Kita tak ingin campur tangan.Tapi beri tahu kita,mana hasil kerjamu? Saya kira begini seharusnya kita menilai para pejabat kita. Jangan lagi diulang, menilai orang dari tampilan di televisi yang rapi.

Jangan lagi tertarik kata-kata yang bisa membuat madu pun terasa pahit. Jangan lagi terpesona pada tata bahasa yang baik dan benar. Kita ingin dipesona dengan hasil kerja yang besar dan memberi manfaat bagi hidup kita.

Media–maksudnya para pemilik media–seharusnya kalian menolak iklan yang menipu rakyat itu karena bukankah kalian bagian dari ‘the most enlightened’ di antara para warga masyarakat? Mengapa kalian membiarkan–bahkan memfasilitasi–omong kosong para pejabat yang menipu kita dan artinya juga menipumu?

Kita ingin melihat pejabat– juga calon pejabat– yang memiliki konsep jelas: dalam posisi ini mau mengerjakan ini, mau memperjuangkan itu, untuk kepentingan kemajuan di bidang ini, ini dan ini.Dan bahwa selebihnya, demi semua itu, saya memiliki strategi khusus begini, mau bekerja sama dengan kelompok itu,itu dan itu,dan bahwa capaian-capaiannya minimal segini dan segitu. Jadi, semuanya jelas.

Dan kita tak ditipunya lagi terus menerus setiap lima tahun sekali. Bahkan, penipuan bisa diperpanjang lima tahun berikutnya, dan berikutnya lagi.Tak habis-habisnya. Iklan para pejabat, pendeknya, barang terkutuk.● M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/413531/

GOOGLE+ BUKAN SEKADAR JEJARING SOSIAL BIASA

Banyak yang memperkirakan G+ merupakan senjata untuk mengantisipasi kolaborasi Facebook dan Bing, mesin pencari milik Microsoft.

Banyak yang memperkirakan G+ merupakan senjata untuk mengantisipasi kolaborasi Facebook dan Bing, mesin pencari milik Microsoft.
PADA awal kemun culannya dua pekan silam, sebagian dari pengguna terbatas Google Plus (Google+) menilai layanan tersebut tak ubahnya jejaring sosial lain. Beberapa fiturnya dianggap nyaris sama dengan fitur Facebook, tapi hanya berbeda nama.

Lantas generasi pertama Google+ atau para early adapters itu pun mengeksplorasi layanan tersebut. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin bingung mereka dibuatnya.
Dalam eksplorasi itu, mereka pun menemukan ada sejumlah fungsi Twitter yang juga terakomodasi oleh Google+.

Sejumlah blogger dunia berpecah argumen. Sebagian optimistis, Google+ adalah temuan terbaik untuk melengkapi kebutuhan blogging mereka. Mereka bahkan meyakini, layanan tersebut dapat membunuh Twitter saat sudah dapat diakses lebih luas oleh publik.

Sisanya menilai, anggapan itu hanya omong kosong. Namun mereka menyatakan, kehadiran Google+ telah mengembalikan ingatan mereka pada momen kemunculan Twitter. Saat itu mereka berpendapat, kehadiran layanan microblogging itu tidak akan berhasil.

Para pengguna Google+ pun tak yakin hal baru apa yang sebetulnya ditawarkan oleh layanan tersebut. Layanan ini layaknya paket kombo yang mempertemukan tampilan ala Facebook, fitur following dan follower milik Twitter, serta kemampuan posting konten seperti Tumblr.

Pengguna awal yang didominasi para elite teknologi global itu pun terus berjuang untuk mendefinisikan Google+. Hal itulah yang kemudian membuat hampir seluruh posting mereka di layanan tersebut berisikan tips dan definisi yang dihasilkan dari pengalaman bereksplorasi.
Integrasi Pemilik situs Firsttimetechfounder.posterous.com Vincent Wong, misalnya, membuat slide khusus dengan Google+ photo viewer yang menayangkan teorinya terkait layanan tersebut. Dalam slide itu ia menulis, Google+ bukanlah jejaring sosial.

“G+ adalah tentang memindahkan segalanya ke komputasi awan,“ tulisnya dalam slide yang dilansir Kamis (14/7) itu melalui akun Google Plus-nya.

Selama ini, menurut dia, para pengguna terlalu terpaku pada fitur-fitur jejaring sosial yang dapat diakses di sebelah kanan atas laman akun Google+.
Mereka telah melewatkan fiturfitur penting lain yang juga ditawarkan raksasa teknologi itu pada layanan tersebut.

Fitur-fitur tersebut merupakan layanan yang sudah ditawarkan Google jauh s belum kehadiran G+, an tara lain Gmail, Calendar Documents, Photos, Reader, dan lainnya. Bagian inilah, menurut analisis Wong, yang menjadi tujuan utama atau esensi kehadiran G+. Ia menilai, G+ merupakan layanan yang memungkinkan pengguna untuk mengolabo rasikan sekaligus berbagi melalui seluruh spektrum yang ditawarkan Google, mulai dari jejaring sosial, dokumen, hingga pasar aplikasi milik Chrome.

Singkatnya, kata Wong, Google menawarkan layanan untuk nyaris seluruh hal yang biasa dilakukan seseorang di komputernya. Lantaran itu, ia menyimpulkan, Facebook dan Twitter bukanlah pesaing terberat layanan baru ini, tetapi Microsoft dan Apple.
Kumpulkan informasi Namun beberapa analis juga memprediksi ada tujuan lain yang ingin dicapai Google melalui layanan terbarunya itu di samping tawaran kolaborasi dan integrasi. Mereka memperkirakan G+ merupakan senjata untuk mengantisipasi kolaborasi Facebook dan Bing, mesin pencari milik Microsoft.
Melalui G+, Google dapat mengumpulkan informasi pribadi para penggunanya.

Hal itu tentu dapat membantu perusahaan untuk memetakan penggunanya secara lebih spesifik. Informasi ini akan sangat berharga bagi perusahaan tersebut un tuk mencari pengiklan.

Maklum, pe rilaku manusia di ranah daring memang terus bergerak dina mis, terlebih sejak keha diran situs situs jeja ring sosial. Keberadaan layanan tersebut membuat para pengguna mulai menghabiskan banyak waktu di dunia virtual.

Hampir seluruh 750 juta pengguna Facebook di seluruh dunia berbagi maupun mencari rekomendasi terkait kebutuhan personal, mulai dari tempat makan hingga film yang wajib ditonton, dari teman-temannya di jejaring sosial tersebut.

Hasilnya, Facebook menjadi situs yang memiliki harta terbesar di dunia maya saat ini, yaitu informasi pribadi penggunanya, melalui empat miliar posting maupun koneksi yang mereka hasilkan secara kolektif setiap harinya.

Google tidak bisa mengakses informasi tersebut karena Facebook tidak membaginya untuk publik. Hal itu menjadi satu kekalahan bagi Google. Terpaan besar lantas datang saat situs jejaring sosial itu membentuk kemitraan khusus dengan pesaing Google, Bing.

Sejak Mei lalu, Microsoft mulai menggunakan informasi dari preferensi pengguna Facebook untuk menyaring hasil pencarian. Artinya, Bing memiliki kemungkinan terbesar untuk memberikan hasil yang paling mendekati kebutuhan.

Kolaborasi Bing dengan Facebook bahkan dikabarkan telah mengerek popularitas mesin pencari tersebut. Google sendiri sebenarnya masih berkuasa di layanan tersebut. Sekitar dua pertiga warga AS, misalnya, masih menggunakan Google sebagai mesin pencari utama. (cnn.com/ AP/digitaltrends.com/M-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/18/ArticleHtmls/GOOGLE-BUKAN-SEKADAR-JEJARING-SOSIAL-BIASA-18072011027006.shtml?Mode=1

Runtuhnya Kerajaan Media Murdoch

Jonathan Schell, VISITING FELLOW PADA YALE UNIVERSITY, PENGARANG BUKU THE SEVENTH DECADE: THE NEW SHAPE OF NUCLEAR DANGER

Selama empat dekade sejak Watergate melengserkan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, para politikus telah berulang kali mengabaikan pelajaran yang seharusnya mereka petik dari skandal tersebut: menutup-nutupi kejahatan lebih buruk daripada melakukan kejahatan itu sendiri. Seperti Nixon, para politikus itu telah membayar harga yang lebih mahal— karena menyembunyikan kejahatan yang mereka lakukan—daripada harga yang sepantasnya mereka bayar karena kejahatan itu saja.
Sekarang ada lagi skandal yang tidak mengambil pelajaran itu: skandal penyadapan telepon di Inggris, yang telah mengguncang dunia politik di negeri itu. Selama sepuluh tahun terakhir ini, tabloid The News of the World, milik News Corporation yang dikuasai Rupert Murdoch, telah menyadap voice mail 4.000 orang, termasuk bukan hanya voice mail keluarga kerajaan, para pesohor, dan orang-orang penting lainnya, tapi juga keluarga para anggota tentara yang tewas di Afganistan dan Irak serta keluarga korban serangan teroris pada Juli 2005 di London.

Semua kejahatan ini terbongkar ketika harian The Guardian melaporkan bahwa tabloid itu telah menyadap voice mail Milly Dowler, seorang gadis berusia 13 tahun yang dinyatakan hilang. Tampaknya tabloid tersebut melakukan hal itu dengan harapan memperoleh ungkapan-ungkapan pribadi kesedihan anggota keluarga Dowler yang dapat dimuat di halaman muka tabloid. Ketika jasad gadis yang dibunuh itu ditemukan enam bulan kemudian, keluarga dan polisi mengira ia mungkin masih hidup karena orang-orang dari The News of the World menghapus sejumlah pesan saat mailbox telepon gadis malang itu terisi penuh (menurut Scotland Yard, para penyadap Murdoch itu menyogok beberapa perwira menengah polisi untuk memasok juga informasi).

Dalam sejarah penyadapan, apa yang dilakukan tabloid itu merupakan sesuatu yang baru. Bahkan Stalin tidak pernah menyadap orang-orang yang sudah wafat.

Setelah terbongkarnya skandal itu, dilakukanlah upaya menutup-nutupinya. James Murdoch, putra Rupert Murdoch, ketua dan direktur utama media-media yang ada di bawah naungan News Corporation di Eropa dan Asia, memerintahkan diberikannya pembayaran secara rahasia sebesar 1 juta pound sterling (US$ 1,6 juta) kepada korban-korban penyadapan itu agar mere

ka tutup mulut. Jutaan e-mail News Corporation dimusnahkan. Namun perbuatan yang tidak berperikemanusiaan itu tetap saja lebih mengejutkan daripada upaya menutup-nutupinya tersebut.
Walaupun demikian, konsekuensi politik dari skandal penyadapan ini bakal bergantung pada hasil investigasi yang sekarang sedang dilakukan di Inggris. Di samping semua itu, besarnya dampak skandal ini juga bakal bergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat menilai apa dan siapa News Corporation itu sebenarnya.
Keluarga Murdoch menamakan News Corporation itu suatu kerja usaha jurnalistik.
Sebenarnya News Corporation pertama-tama adalah suatu bisnis entertainment. Sebagian besar penghasilan News Corporation mengalir dari bisnisnya di bidang perfilman dan televisi. Kedua, dan lebih penting lagi, News Corporation adalah mesin propaganda gagasan-gagasan kaum konservatif dan tokoh-tokoh politiknya. Inilah wajah utama News Corporation di Amerika Serikat, dalam bentuk Fox News, yang ciri khasnya adalah tiada henti-hentinya menyebarkan ideologi kaum konservatif.
Padahal propaganda politik itu merupakan ranah pemerintah dan partai politik. Resminya, Fox News tidak membawakan suara pemerintah maupun partai politik--walaupun sebagian besar dari apa yang dilakukannya adalah melayani kepentingan Partai Republik di Amerika Serikat.

Di Inggris, News Corporation telah menciptakan semacam negara sendiri dengan mengkorup polisi, mengambil alih hak polisi dalam mengawasi masyarakat, dan mengintimidasi para politikus supaya memalingkan muka. Di Amerika Serikat, News Corporation berperilaku serupa, menggunakan kekuatan media korporat untuk memberikan pijakan hidup kepada Tea Party, organisasi politik yang berdiri sendiri. Semua perilaku ini berbeda dengan apa yang seharusnya dilakukan suatu organisasi jurnalistik. Peran utama jurnalisme dalam suatu demokrasi adalah memberdayakan masyarakat dengan menyampaikan informasi mengenai pemerintah dan lembaga-lembaga berkuasa lainnya, gerakan-gerakan masyarakat, peristiwaperistiwa internasional, dan seterusnya. Tapi News Corporation menggantikan jurnalisme semacam itu dengan gosip dan berita-berita yang merangsang, seperti yang dilakukannya ketika ia mengakuisisi News of the World, yang sudah berusia 168 tahun, dan mengubahnya menjadi tabloid pada 1984 serta dengan kampanye memihak kaum konservatif, seperti yang dilakukannya ketika ia mendirikan Fox News pada 1996.

Tidal mengherankan, pada Fox News, seperti juga pada banyak media News Corporation lainnya, independensi redaksi dikorbankan dan diletakkan di bawah kendali yang sangat ketat. Berita dan komentar dicampuradukkan ke dalam arus kampanye politik yang tidak putus-putusnya.

Ideologi mengalahkan fakta. Dan tokohtokoh utama Partai Republik, termasuk mereka yang mungkin bakal menjadi calon-calon yang akan ikut dalam pemilihan presiden, ditampilkan sebagai “komentator”. Sesungguhnya kelihaian khas Fox News adalah mengubah propaganda menjadi media populer yang berhasil secara finansial.

Mengingat keberhasilan The News of the World dari segi finansial inilah maka tidak mengherankan jika Murdoch sudah menciptakan di tempat-tempat lainnya replika dari tabloid utamanya di Inggris yang terpaksa mereka tutup itu. Apa pun yang bakal terungkap, skandal penyadapan yang

terjadi di Inggris itu tidak berbeda dengan transformasi informasi menjadi propaganda yang dilakukan Murdoch: kedua-duanya mencerminkan upaya menghancurkan dinding-dinding esensial demokrasi yang memisahkan media, negara, dan partai politik. Murdoch telah mencampuradukkan ketiga entitas itu menjadi suatu kekuatan tunggal tanpa pertanggungjawaban yang, seperti kita saksikan di Inggris sekarang ini, tidak memiliki kekangan atau etika apa pun.
Upaya yang dilakukan Murdoch ini menghadapkan kita kepada suatu realitas yang mendasari baik skandal penyadapan beserta bayang-bayang kekejaman dan korupsinya itu maupun Fox News, saluran berita paling populer di Amerika itu: terlalu banyak orang menginginkan apa yang disajikan News Corporation. Dan apa yang terlalu banyak orang inginkan itu bisa membahayakan suatu masyarakat yang beradab dan berbasis hukum.

Untuk sepintas melihat seberapa berbahayanya, lihatlah Italia. Di negeri itu, konglomerasi MediaSet Perdana Menteri Silvio Berlusconi telah berhasil merayu sebagian besar pemilih sejak 1990-an dengan menampilkan kombinasi variety show dan teater politik model Murdoch.
Ketika sistem politik Italia pasca-perang ambruk pada awal 1990-an, Berlusconi berhasil membentuk partainya sendiri, memenangi pemilihan, serta, selama tiga kali memerintah, membengkokkan hukum dan lembaga-lembaga pemerintah supaya melayani kepentingan bisnis dan pribadinya.

News Corporation tampaknya bertekad membawa Inggris dan Amerika menapak jalan serupa. Tapi sekarang para politikus Inggris sudah melakukan perlawanan. Perdana Menteri David Cameron--yang sebelum ini punya hubungan erat dengan para petinggi News Corporation, bahkan menunjuk mantan Pemimpin Redaksi The News of the World, yang baru-baru ini ditangkap karena terlibat penyadapan sebagai sekretaris pribadinya--telah menamakan penyadapan itu sebagai sesuatu yang “memuakkan“. Sementara itu, para pemimpin Partai Buruh, yang dulu juga pernah meminta dukungan Murdoch, sudah bersumpah akan memblokir upaya News Corporation untuk sepenuhnya menguasai stasiun televisi berbayar paling besar di Inggris. Masih harus dilihat apakah perlawanan ini nantinya akan menyeberang Atlantik ke daratan Amerika juga. HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/18/ArticleHtmls/Runtuhnya-Kerajaan-Media-Murdoch-18072011011006.shtml?Mode=1