BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian-Kesungguhan dan Fatwa

Written By gusdurian on Kamis, 14 Juli 2011 | 11.15

Komaidi :

Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian-Kesungguhan dan Fatwa Komaidi Deputy Director of Reforminer Institute

DALAM menyele saikan permasalah an subsidi BBM -masalah klasik yang sebenarnya hampir selalu berulang setiap tahun-pengambil kebijakan se olah telah kehabisan cara. Hal tersebut terlihat dari langkah pengambil kebijakan yang melibatkan lembaga yang secara substantif dan teknis tidak kapabel mengatur BBM bersubsidi.

Sebagaimana diketahui, dalam beberapa pekan terakhir, langkah Kementerian Teknis yang melibatkan lembaga agama (tertentu) dalam pengaturan BBM bersubsidi justru kontraproduktif. Meski selanjutnya dibantah dengan berbagai argumentasi, wacana kebijakan tersebut telah menuai polemik di masyarakat dan menyebabkan keprihatinan yang mendalam bagi stakeholders sektor migas nasional.

Berkaitan dengan subsidi para ahli berpendapat, sepanjang subsidi, termasuk subsidi BBM, diberikan dengan mekanisme subsidi harga, distorsi dalam pelaksanaannya akan terjadi. Subsidi harga akan menyebabkan disparitas harga, kemudian disparitas harga tersebut membuka celah terjadinya berbagai penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang berupaya mengambil untung.

Karena itu, sepanjang subsidi diberikan dengan mekanisme subsidi harga, salah sasaran yang mungkin terjadi akibat subsidi tidak dinikmati yang berhak akan terbuka lebar.
Dengan melihat kondisi tersebut, para ahli menyarankan pemberian subsidi, termasuk subsidi BBM, dilaksanakan melalui mekanisme subsidi langsung.
Subsidi langsung Teknis dan mekanisme subsidi langsung dapat dilaksanakan dengan memberikan kartu tanda subsidi (KTS) bagi yang berhak menerimanya dan kartu itu tidak boleh dipindahtangankan. Selanjutnya, jika koordinasi lintas sektoral telah dilaksanakan dengan baik, KTS tersebut dapat diperluas lagi agar dapat digunakan untuk mengakses berbagai jenis subsidi, misalnya subsidi BBM, subsidi kesehatan, subsidi pendidikan, subsidi pangan, dan jenis subsidi lain sepanjang jenis subsidi yang akan diakses tercantum dalam KTS individu yang hendak mengakses subsidi tersebut.
Meski sifatnya masih terbatas, mekanisme subsidi langsung itu sebenarnya pernah diaplikasikan pemerintah dalam program bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

Akan tetapi, permasalahan yang mendasar, agar subsidi langsung dapat diimplementasikan, menuntut adanya akuntabilitas dan kejujuran dari semua pihak, baik pengambil kebijakan maupun masyarakat yang menjadi objek kebijakan. Akuntabilitas dalam menetapkan kriteria pihak-pihak yang berhak menerima KTS serta kejujuran dan peran aktif masyarakat dalam proses pendataan jumlah penduduk miskin yang akan digunakan sebagai basis kebijakan berperan penting terhadap tingkat keberhasilan implementasi subsidi langsung.

Berkaitan dengan dua persyaratan mendasar yang sebenarnya `sangat sederhana' itu, dalam waktu dekat ini kebijakan subsidi langsung belum dapat diimplementasikan di Indonesia.

Inkonsistensi data kemiskinan menjadi alasan utama mengapa pelaksanaan subsidi langsung itu belum dapat diimplementasikan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, validitas data kemiskinan yang ada masih diragukan.

Beberapa catatan dari data tersebut masih perlu dikaji ulang. Adapun beberapa catatan dari data kemiskinan itu misalnya (1) data jumlah penduduk miskin yang disampaikan hanya sekitar 30 juta jiwa, tetapi jumlah yang menerima raskin (beras untuk rakyat `miskin') seki tar 70 juta jiwa; (2) jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun, tetapi di sisi yang lain porsi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi (indikator masyarakat miskin) justru meningkat; (3) jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun, tetapi konsumsi kalori (salah satu indikator kemiskinan) justru mengalami penurunan; dan (4) pertanyaan publik mengenai perbedaan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah dan Bank Dunia juga belum mampu dijawab.

Selain beberapa catatan tersebut, dalam banyak kasus sering kali ditemukan, menjelang hajatan politik, demi memuluskan langkah incumbent jumlah penduduk miskin dilaporkan menurun signifikan. Akan tetapi, ketika program-program bantuan sosial dilaksanakan, jumlah penduduk miskin (yang mengaku miskin) hampir di seluruh daerah dilapor kan me ningkat.

Karena validitas data kemiskinan yang akan menjadi basis kebijakan masih diragukan, kiranya implementasi subsidi langsung dalam waktu dekat memang belum dapat dilaksanakan. Jika subsidi langsung dipaksakan untuk diimplementasikan dengan basis data yang tidak konsisten (bahkan manipulatif), kebijakan yang diterapkan menjadi tidak efektif, bahkan potensi terjadinya distorsi kebijakan bisa lebih besar daripada distorsi akibat kebijakan subsidi dengan mekanisme subsidi harga.

Karena itu, implementasi pemberian subsidi BBM dengan mekanisme subsidi langsung dalam waktu dekat ini, terlebih jika diperuntukkan untuk mengatasi tekanan fiskal pada 2011, kiranya masih jauh dari kesiapan.
Keberanian dan kesungguhan Karena implementasi kebijakan subsidi langsung menuntut basis data kebijakan yang kuat--melibatkan koordi nasi lintas sektoral dan lintas regional--dan beberapa persyaratan tersebut masih belum mampu m dipenuhi, pengambil kebijakan k diharuskan mencari alternatif kebijakan yang lebih mungkin dalam waktu yang relatif sempit.

Dengan minimnya alternatif kebijakan dalam jangka pendek, kunci penyelesaian masalah subsidi BBM adalah keberanian dan kesungguhan pengambil kebijakan. Dalam jangka pendek, keberanian pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah fiskal, akibat realisasi subsidi yang diperkirakan melebihi kuota, sangatlah diperlukan.

Program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang urung dilaksanakan karena ketidaksiapan infrastruktur berpotensi memberikan tekanan fiskal. Padahal, program tersebut merupakan salah satu asumsi untuk menetapkan kuota subsidi BBM pada 2011.
Karena itu, solusi untuk mengatasinya harus segera dicari.

Dengan minimnya pilihan kebijakan yang ada, menaikkan harga BBM dalam besaran yang terbatas (sesuai dengan kebutuhan) merupakan pilihan yang realistis, terlebih hal tersebut telah diatur dan dijamin konstitusi. Pilihan pahit memang, pahit bagi masyarakat dan pahit bagi pengambil kebijakan karena membutuh kan keberanian agar tidak `populis'.

Akan tetapi, jika pengambil kebijakan masih berorientasi meninabobo kan masyarakat untuk sesaat-demi popularitas yang masih dikedepan kan--menambah utang untuk menutup defisit fiskal yang ada mungkin menjadi pilihan utama yang akan diambil.

Untuk jangka panjang, agar subsidi lebih tepat sasaran, kesungguhan pengambil kebijakan dalam menetapkan kriteria penerima manfaat program dan kejujuran selama proses pendataan penduduk miskin-yang akan menjadi basis kebijakan subsidi langsung--memegang peranan vital. Secara paralel, meninjau tata cara pengelolaan, pengusahaan, dan pengaturan energi (terutama BBM) di negara-negara yang telah sukses mengatur dan memenuhi kebutuhan energi untuk masyarakat kiranya akan lebih membantu pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat.

Oleh karena itu, mengadopsi dan memodifikasi kebijakan untuk menyempurnakan konsep kebijakan subsidi BBM langsung dan mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh dan konsisten akan lebih substansial untuk menyelesaikan pokok permasalahan, daripada sekadar meminta ‘fatwa’ kepada pihak yang tidak kapabel mengatur BBM bersubsidi. Karena pengaturan subsidi BBM kian pelik, pada prinsipnya dibutuhkan pengambil kebijakan yang tidak hanya memiliki kapasitas, tetapi juga ‘keberanian dan kesungguhan’ dalam menyelesaikan permasalahan.

Karena itu, sepanjang pengelolaan sektor strategis untuk hajat hidup masyarakat luas ini diserahkan dan dipegang pengambil kebijakan yang hanya mampu bersembunyi di balik ‘fatwa’ atas ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakmauan menyelesaikan masalah secara tuntas, kiranya terlalu jauh berharap adanya perbaikan yang signifi kan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/07/13/ArticleHtmls/Pengaturan-Subsidi-BBM-antara-Keberanian-Kesungguhan-dan-Fatwa-13072011015013.shtml?Mode=1

Pornografi, Ketagihan, dan Impotensi

Naomi Wolf PEGIAT POLITIK DAN KRITIKUS SOSIAL, PENGARANG BUKU GIVE ME LIBERTY: A HANDBOOK FOR AMERICAN REVOLUTIONARIES Efek dopamine ini menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi semakin ekstrem setelah sekian waktu: citra-citra seksual yang biasa saja akhirnya kehilangan keampuhannya, sehingga membuat laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu perlu citra-citra baru yang melanggar tabu-tabu lainnya untuk merasakan kepuasan seksualnya.
Sulit mengabaikan betapa banyak orang ternama pada tahun-tahun (sebenarnya, bulan-bulan) terakhir ini yang menunjukkan perilaku seks tidak senonoh yang menghancurkan karier mereka sendiri.

Dulu juga banyak orang ternama yang mengumbar seks, tapi tidak seperti sekarang, mereka sangat berhati-hati dan berusaha menutupi jejak perilaku mereka.

Sudah tentu kemajuan teknologi sekarang ini dalam mengungkapkan perilaku pribadi seseorang menjadi bagian yang menyebabkan terjadinya perubahan ini.

Tapi justru di sinilah letak persoalannya: banyak laki-laki yang tertangkap dalam skandal seks akhir-akhir ini telah menelanjangi diri mereka sendiri—kadang-kadang secara harfiah—melalui pesan-pesan dalam Twitter dan media tidak langsung lainnya, yang mereka lakukan atas kemauan mereka sendiri.

Apa yang mendorong terjadinya perilaku yang aneh ini? Mungkinkah marak dan mudah diperolehnya pornografi di mana-mana pada tahun-tahun terakhir ini benar-benar telah menyebabkan rewiring (disetelnya kembali kabel-kabel) otak lakilaki yang berdampak pada pandangan mereka mengenai seks dan membuat mereka sulit mengendalikan dorongan nafsunya? Banyak bukti ilmiah yang mendukung kesimpulan ini. Enam tahun yang lalu, saya menulis esai berjudul The Porn Myth (Mitos Pornografi), yang mengemukakan bahwa para ahli terapi dan konseling seksual melihat adanya kaitan impotensi dan ejakulasi dini yang meningkat di kalangan laki-laki yang masih muda usia saat itu dengan meningkatnya pornografi di kalangan mereka. Mereka laki-laki yang masih muda, sehat, serta tidak menderita patologi organis atau psikologis yang bisa mengacau-balaukan fungsi seksual mereka.

Hipotesis di kalangan para ahli adalah bahwa pornografi secara progresif telah menyebabkan hilangnya kepekaan (desensitizing) seksual laki-laki. Efektifnya pornografi hardcore yang sangat eksplisit itu dalam mempercepat hilangnya kepekaan ini telah sering digunakan para dokter dan tim militer untuk menangani situasi-situasi yang sangat sensitif dan luar biasa dari subyek-subyek penelitian mereka.

Mengingat efek hilangnya kepekaan seksual ini pada sebagian besar subyek penelitiannya, para pakar telah menemukan bahwa laki-laki semacam itu membutuh
kan stimulasi yang lebih kuat untuk mencapai tingkat rangsangan yang sama. Para pakar yang saya wawancarai pada waktu itu berspekulasi bahwa pornografi menyebabkan laki-laki yang masih muda dan sehat itu mati rasa terhadap daya tarik erotis partner atau lawan jenis mereka sendiri.

Sejak itu, banyak sudah terakumulasi data mengenai sistem reward otak manusia yang dengan tepat menjelaskan rewiring otak ini. Ki
ta tahu bahwa pornografi memberikan reward kepada otak laki-laki dalam bentuk dorongan saraf dopamine jangka pendek yang, selama satu atau dua jam kemudian, meningkatkan mood laki-laki dan membu at mereka merasa siap. Jaringan saraf ini identik dengan jaringan yang mencetuskan ketagihan lainnya, seperti ketagihan berjudi atau mengkonsumsi narkoba.

Potensi ketagihan ini juga identik: sama seperti penjudi atau pengguna narkoba yang bisa menjadi kompulsif, merasa butuh berjudi atau mengkonsumsi obat terlarang itu lagi dan lagi untuk memperoleh dorongan dopamine yang sama. Begitu juga laki-laki yang mengkonsumsi pornografi menjadi ketagihan. Sama seperti pencetus reward lainnya, setelah dorongan dopamine itu menurun, laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu akan merasakan kekecewaan--lekas marah, gelisah, dan mendambakan asupan obat terlarang itu lagi. (Ada beberapa bukti baru, yang ditemukan Jim Pfaus pada Concordia University di Kanada, bahwa mati rasa itu bisa mempengaruhi wanita konsumen pornografi juga.) Efek dopamine ini menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi semakin ekstrem setelah sekian waktu: citra-citra seksual yang biasa saja akhirnya kehilangan keampuhannya, sehingga membuat laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu perlu citra-citra baru yang melanggar tabu-tabu lainnya untuk merasakan kepuasan seksualnya. Lagi pula, ada laki-laki (dan wanita) yang punya apa yang dinamakan dopamine hole—di mana sistem reward otak mereka tidak lagi efisien—sehingga membuat mereka lebih mudah ketagihan akan pornografi yang lebih ekstrem.

Seperti halnya dengan ketagihan pada umumnya, sangat sulit (karena alasan kimiawi-saraf) bagi seorang yang sudah ketagihan untuk berhenti melakukan halhal—bahkan yang sangat destruktif sekalipun—untuk memperoleh dorongan dopamine berikutnya. Mungkin karena itulah sebabnya, laki-laki yang dulu bisa melibatkan diri dalam affair dengan hati-hati di balik pintu tertutup sekarang tidak bisa melawan dorongan untuk mengirim pesan-pesan terbuka yang tidak senonoh lewat Internet yang merusak dirinya sendiri itu? Orang-orang semacam ini mungkin tidak menjadi orang-orang yang tidak ada harganya, melainkan pecandu-pecandu yang tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.

Ini bukan hendak mengatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas perilaku mereka. Tapi, menurut pandangan saya, ada tanggung jawab, yaitu tanggung jawab memahami potensi penggunaan pornografi yang sangat adiktif ini, dan mencari konseling serta pengobatan jika ketagihan mulai mempengaruhi teman hidup, keluarga, kehidupan profesional, dan kemampuan menilai seseorang.
Sekarang ada model yang efektif dan terperinci untuk melepaskan laki-laki dari kecanduan pornografi dan memulihkannya kembali kepada keadaan mental yang lebih seimbang, keadaan yang tidak lagi takluk kepada dorongan nafsu yang tidak terkendali. Memahami bagaimana pornografi mempengaruhi otak dan merusak kejantanan laki-laki bisa membantu seseorang melakukan pilihan-pilihan dengan lebih baik—bukan dengan melibatkan diri dalam penilaian kolektif yang reaktif dan tidak ada artinya—dalam suatu dunia yang telah menjadi semakin ketagihan pornografi yang eksplisit.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/13/ArticleHtmls/Pornografi-Ketagihan-dan-Impotensi-13072011011011.shtml?Mode=1

Mengubur Mimpi ke FAO

Mengubur Mimpi ke FAO Geradi Yudhistira, PENELITI PADA ALIANSI UNTUK DESA SEJAHTERA


Dengan pencapaian seperti yang diuraikan di atas, maka agak mengherankan jika pemerintah merasa percaya diri untuk mengajukan calonnya menjadi Dirjen FAO. Padahal calon-calon dari negara lain memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan kelaparan di negaranya.
Kekalahan wakil dari Indonesia, Dr Indroyono Susilo, dalam pu taran pertama pemilihan Di rektur Jenderal Organisasi Pa ngan Dunia (FAO) (27 Juni 2011) menyisakan pelajaran penting.
Pertanyaan saat ini: apakah Indonesia memang pantas menduduki jabatan bergengsi tersebut?
Jangan ditanya prestasi pemerintah Indonesia dalam penanganan masalah pangan di negeri ini, karena jawabannya pasti akan mengecewakan. Bagaimana tidak, masalah pangan masih menjadi masalah utama yang diperbincangkan di ruang-ruang publik selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka. Angkaangka indikator buruknya ketahanan pangan di negeri ini masih sangat fantastis. Mengutip Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan, 36 juta jiwa atau 18 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia masih rawan pangan. Penduduk pada golongan tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.800 kilokalori per kapita setiap harinya, atau kekurangan sekitar 700 kilokalori dari jumlah kalori ideal per kapita.

Selain itu, diperkirakan sebanyak 5,11 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini berada pada kondisi sangat rawan pangan. Bahkan, dari jumlah itu, 3,81 juta jiwa di antaranya adalah anak balita yang menderita kekurangan gizi dan gizi buruk. Jika dihitung dengan indikator pendapatan bulanan, jumlah orang yang rawan pangan akibat hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada 2010 sebanyak 31 juta jiwa dengan pengeluaran per bulan di bawah atau sama dengan Rp 211.726.

Pada aspek kebijakan, hal yang diambil oleh pemerintah selama 5 tahun ini juga sangat mengancam keamanan dan kedaulatan pangan negeri ini dengan membuka keran impor secara massif.
Angka impor Indonesia melonjak tinggi dan semakin tak terkendali bahkan untuk komoditas yang seharusnya menjadi keunggulan Indonesia. Pada komoditas laut, yang seharusnya menjadi komoditas unggulan kita, volume impor melonjak tajam. Impor ikan meningkat 774 persen dari 2005 hingga 2010. Pada periode yang sama, volume impor garam meningkat 65 persen. Setali tiga uang dengan ikan dan garam, volume impor daging juga meningkat 106 persen. Pada komoditas buah-buahan, volume impor juga mencatatkan angka mencengangkan setelah masuknya Indonesia dalam rezim ASEAN-China Free Trade Agreement. Selama kurun waktu 2008 hingga 2010, volume impor pisang Indonesia melonjak hingga tak tanggung-tanggung, 92.567 persen dari angka hanya 3 ton pada 2008 menjadi 2.780 ton pada 2010. impor buah-buahan lain, seperti pepaya, juga meningkat sebesar 255 persen dan manggis sebesar 550 persen.
Minim prestasi Dengan pencapaian seperti yang diuraikan di atas, agak mengherankan jika pemerintah merasa percaya diri untuk mengajukan calonnya menjadi Dir jen FAO. Padahal calon-calon dari negara lainnya memiliki rekam jejak bagus dalam penanganan kelaparan di negaranya. Sebut saja pesaing Dr Indroyono, Menteri Keamanan Pangan Brasil, yang menjadi Sekjen FAO terpilih periode 2012-2015. Brasil memiliki prestasi baik dalam pemberantasan kelaparan. Angka masyarakat kekurangan gizi di Brasil turun drastis dari 17,9 persen dari total populasi pada 1996 menjadi 6,6 persen pada 2005. Melalui program Fome Zero (Nol Kelaparan), pemerintah Brasil menunjukkan bahwa kelaparan bisa diatasi melalui pemberdayaan kekuatan masyarakat lokal.

Hal yang sama tidak terjadi di Indonesia. Alih-alih memperkuat kedaulatan pangan di tingkat lokal, pemerintah malah terjebak dalam jerat perusahaan multinasional untuk mengatasi kelaparan melalui MoU yang dibuat dengan 14 perusahaan benih raksasa dunia dalam World Economic Forum on East Asia 2011. Petani kita nantinya hanya akan menjadi konsumen dan pegawai perusahaan raksasa tersebut. Dalam jangka panjang, Indonesia harus siap untuk didikte oleh kepentingan perusahaan tersebut.
Jika dilihat dari prestasi, Indonesia jelas bukanlah siapa-siapa dalam mengatasi masalah pangan. Masyarakat berharap visi Indonesia sebagai dapur pangan dunia harus dimiliki oleh para pemimpin kita agar kebijakan menjadi terarah. Saya rasa rakyat Indonesia harus bersyukur atas mundurnya Dr Indroyono dari Sekjen FAO, karena waktu beliau akan lebih banyak untuk menyelesaikan masalah di negara ini. Masih banyak yang harus dibenahi oleh putra terbaik bangsa seperti Dr Indroyono ini di dalam negeri ketimbang hanya mencari peran di dunia internasional. Barangkali masalahnya kita sudah terjebak dalam teladan pemimpin bangsa ini, yang begitu bangga akan pencapaian di luar negeri namun lupa kepada konstituennya di dalam negeri.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/13/ArticleHtmls/Mengubur-Mimpi-ke-FAO-13072011012009.shtml?Mode=1

Menguji Konstitusionalitas APBN: Mungkinkah?

HAJRIYANTO Y THOHARI:


Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu buah reformasi adalah kini orang atau sekelompok orang dapat menggugat (judicial review) konstitusionalitas suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK).


Sesuatu yang dulu sebelum reformasi tak terbayangkan. Kini budaya hukum yang sangat bagus ini berkembang dengan baik: jika seseorang atau sekelompok orang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh undangundang, dengan serta-merta mereka menggugatnya ke MK.

Banyak sekali undangundang yang dibuat DPR bersama presiden mengalami nasib dibatalkan sebagian atau bahkan secara keseluruhan (in toto)karena dipandang MK bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945. Fakta ini tentu sangat menggembirakan, terutama dalam konteks pembangunan budaya hukum dalam sebuah negara hukum yang menjun-jung supremasi hukum.

Tradisi menggugat undang-undang dalam sorotan konstitusi memegang peranan penting untuk menjaga konstitusionalitas kebijakan- kebijakan publik atau peraturan perundang-undangan sesuai paham konstitusionalisme yang kita anut.

Sayang sekali gugatangugatan yang dilakukan warga negara atau sekelompok orang selama ini lebih banyak berkaitan dengan undang-undang di bidang politik, seperti persoalan- persoalan yang terkait partai politik,pemilihan umum, pemilihan presiden,dan pimpinan lembaga-lembaga negara.

Memang ada juga yang menyangkut materi- materi undang undang yang lain seperti hukum perkawinan poligami, komisi kebenaran, dan anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945.Tetapi belum pernah terjadi ada warganegara yang menggugat UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke MK.

APBN dalam Konstitusi

Sebagaimana kita ketahui UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1) menegaskan bahwa: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.”

APBN disusun dan dibentuk dalam undang-undang, yaitu, dalam hal ini, UU No 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011.Walhasil, sebagai undang-undang, APBN sebenarnya dapat digugat ke MK: apakah cukup konstitusional ataukah justru bertentangan dengan konstitusi.

Penulis bukanlah ahli APBN, dan memang belum pernah menjadi anggota Badan Anggaran DPR RI. Tetapi secara garis besar marilah coba kita lihat postur APBN beberapa tahun terakhir ini. Lihat saja, berapa persen APBN yang benar-benar langsung untuk rakyat (apalagi yang miskin)?

Faktanya sejak APBN kita berjumlah Rp219 triliun (tahun 1999) sampai Rp1,200 triliun (tahun 2011) pada sejatinya strukturnya tidak banyak berubah: sekitar 60% habis untuk anggaran rutin biaya/gaji pegawai/ pejabat,belanja barang, dan ongkos-ongkos kegiatan birokrasi lainnya; 15%-19% untuk mencicil hutang; dan 20% untuk pembangunan (ini pun mungkin harus dibaca bahwa yang dibangun ternyata sebagian besar gedung-gedung untuk birokrasi dan lembagalembaga negara).

Tak heran jika sejak 1998 sampai hari ini, misalnya, tidak ada pembangunan infrastruktur irigasi pertanian baru yang nyatanyata sangat diperlukan rakyat banyak itu. Angka tersebut akan terasa lebih tragis dan memelas lagi ketika sampai pada tingkat APBD: untuk biaya rutin saja ada yang mencapai 80% lebih.

Bahkan ada beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang anggaran rutinnya mencapai 95%.Walhasil, justru lebih banyak anggaran untuk mengurus pimpinan pemerintahan dan birokrasi daripada rakyat.

Tak heran jika Forum Independen untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyimpulkan bahwa APBN kita lebih besar untuk ”ongkos tukang” daripada pekerjaannya itu sendiri. Dus,berapa porsi untuk rakyat yang sebagian besar masih hidup di bawah kemiskinan itu?

Melihat postur dan struktur APBN/APBD yang seperti itu, pertanyaannya adalah apakah APBN/APBD tersebut benarbenar untuk mengurus rakyat dan memprioritaskan rakyat sejalan dengan diktum ”...untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”?

Ternyata dengan melihat postur APBN secara sekilas saja akan segera tampak bahwa tidak dulu dan tidak sekarang alihalih para elite dan birokrat yang jumlahnya minoritas (kurang dari 4% penduduk) itulah yang lebih banyak diurus dan selalu mendapatkan prioritas, bukannya rakyat yang jumlahnya mayoritas.

Pantas saja jika lonjakan APBN tahun ini yang hampir enam kali lipat dibandingkan APBN satu dasawarsa sebelumnya itu tidak berjalan paralel dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Benar angka kemiskinan memang telah berhasil diturunkan menjadi 13,3%, tetapi angka ini sungguh problematis.

Pertama, ukuran kemiskinan yang digunakan adalah mereka yang berpenghasilan di bawah USD1/hari, atau bahkan Rp7.000,- (jika mengutip angka BPS); dan juga, kedua, dengan persentase ini, angka kemiskinan secara numerikal adalah sangat besar (13,3% dari 237 juta jiwa).Apatah lagi jika ukuran yang digunakan adalah USD2/hari! Mungkin setengah penduduk Indonesia adalah miskin!

Mungkin untuk Digugat

Membaca struktur APBN setelah era reformasi sekarang ini,tidak pelak lagi orang akan mengatakan bahwa ini adalah APBN beamstenstaat, yaitu, APBN-nya “negara pangreh praja” alias pegawai. Pasalnya, alih-alih prorakyat atau propoor, malah sebaliknya proelite dan probirokrasi.

Sebab mereka yang tersebut terakhir inilah yang paling banyak menyedot APBN.Tak heran jika sahabat saya Dr Arief Budimanta Sebayang, Anggota DPR RI, secara ekstrem menyebutnya sebagai APBN model kolonial yang memang didedikasikan untuk birokrasi dan elite, bukan untuk rakyat. Walhasil,APBN yang tidak ”...untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berarti tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1).

Dan karena itu secara yuridis pada sejatinya UU tentang APBN sangat mungkin digugat ke MK karena tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalannya, selama ini kebanyakan orang atau aktivis lebih tertarik pada undangundang yang menyangkut isuisu politik,HAM,dan—jangan ketawa—poligami saja. Isu APBN yang sangat strategis ini luput dari perhatian kita.Ayo, siapa mau mulai? ● HAJRIYANTO Y THOHARI Wakil Ketua MPR RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412434/

Pensiun Dini PNS

IRFAN RIDWAN MAKSUM:

Bukan sebuah negara dalam transisi demokrasi kalau segala sesuatunya tidak menghebohkan. Salah satu masalah yang cukup menggemparkan kini adalah isu pensiun dini bagi PNS kita.


Perihal PNS Indonesia menurut kacamata tim independen reformasi birokrasi telah menyedot porsi anggaran negara teramat besar. Keadaan ini, menurut tim yang dikepalai Erry Riyana Hardjapamekas tersebut, perlu diantisipasi dengan cara pensiun dini. Kebijakan ini tentu kalau tidak disiapkan dengan baik, tidak sepele permasalahan yang dapat ditimbulkan.

Heuristik

Sebetulnya dengan logika berpikir sebab akibat (heuristic model) kita bisa menganalisis soal ini.Apa yang menyebabkan PNS harus pensiun dini? Apakah sebatas soal anggaran? Untuk itu kita perlu kaji lebih jauh.Negara sebesar Indonesia dan masih dominannya sektor publik dalam rangka perubahan sosial tentu sah-sah saja memiliki PNS yang besar.

Perbandingan PNS dengan jumlah masyarakat kita juga masih tergolong rendah. Di setiap sektor memiliki angka yang berbeda-beda. Elemen perubahan sosial yang efektif pun secara umum masih mengandalkan sektor publik mengingat sektor pertanian, perkebunan, pertambangan yang menjadi ciri manufaktur dari negara kita masih dominan.

Di beberapa daerah yang sudah bercirikan pelayanan dan jasa,di mana keberadaan sektor publik mulai melemah dari sisi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) ekonomi daerah tersebut barangkali perlu dipertimbangkan analisis jumlah PNS yang mulai membengkak.

Karena itu, ukuran nasional sangatlah mungkin bernilai bias.Kepada tim independen barangkali patut ditanya apakah yang dimaksud PNS pusat atau daerah? Kalau yang dimaksud adalah daerah kota mungkin bisa dibenarkan.Tetapi untuk PNS pusat amat sulit ditarik dalam suatu angka pasti mengingat amat heterogennya wilayah RI, terlebih PNS daerah pedesaan.

Di daerah-daerah perdesaan keberadaan sektor publik tentu masih dominan dan masih diharapkan. Mengurangi jumlah PNS di daerah perdesaan seperti ini sama saja dengan membunuh perlahan-lahan daerah tersebut.

Dengan melihat hal seperti ini, PNS yang dituding sebagai sebab membengkaknya anggaran amatlah tidak tepat.Justru kita harus mencari solusi dengan kondisi yang tetap atau akan mengalami kenaikan, maka daya-kerja mereka yang harus dilipatgandakan. Persoalannya berarti ada dalam manajemen SDM.

Ini amat bergantung pada leadership semua lini dan sektor manajemen negara RI. Dengan berpikir seperti ini kita membutuhkan peta beban tugas dan peta alokasi SDM di semua lini dan sektor baik pusat maupun daerah.Analisis kualitatifnya juga dibutuhkan mengenai karakter PNS yang ada dan manajemen yang dikembangkan di unit-unit yang ada.

Apakah terjadi penumpukan beban dan kekosongan pegawai? Apakah pas antara beban tugas dan jumlah pegawai? Atau apakah terjadi penumpukan pegawai dan kekosongan beban? Ukuran yang digunakan saya kira job description dan job specification serta jumlah tenaga yang tersedia.

Potret tersebut harus mampu menjadi jalan untuk melakukan relokasi besar-besaran jika tidak berimbang sebelum bicara pensiun dini. Pensiun dini dapat dibenarkan kalau semua lini dan sektor baik pusat maupun daerah terjadi penumpukan pegawai dan beban tugas yang tidak sepadan alias kecil.

Dalam kacamata saya, selama ini manajemen SDM kita lemah dalam mengembangkan job description dan job specification. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin tim independen menyimpulkan sejak sekarang ada pensiun dini? Belum lagi kalaulah kebijakan ini betul-betul dilaksanakan, apakah sudah disiapkan perangkat pensiun dini yang menyangkut pihak yang akan pensiun dan kondisi ekonomi makro yang ada.

Yang lebih penting lagi adalah, apakah sudah disiapkan transfer of knowledge dari pihak yang pensiun kepada pihak yang meneruskan? Tampaknya soal anggaran benar-benar menjadi alat legitimasi. Para pengambil kebijakan harus mengembangkan mekanisme pemberdayaan PNS yang efektif dan konkret.

Manajemen itu harus berbasis kinerja nyata dan dikaitkan dengan kondisi ekonomi makro.Harus dapat dipastikan angka yang sekarang berjalan mampu mendorong secara sinergi ekonomi bangsa. Jika tidak tentu beban anggaran lagi-lagi menjadi momok para pengambil kebijakan.

Di samping itu, apakah manajemen SDM kita sejak awal sudah menganut merit system? Tampaknya politisasilah justru yang menjadi pewarna. Barangkali inilah soal yang utama yang harus diluruskan dan bukan pilihan pensiun dini bagi PNS kita.

Politik Anggaran

Anggaran yang menjadi alasan untuk pensiun dini PNS juga harus memiliki arah yang jelas.Apakah bisa dilakukan pemangkasan-pemangkasan jika dengan kondisi PNS tetap? Dalam politik anggaran seharusnya biaya yang tidak terkait dengan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat harus berani dipangkas oleh para pengambil kebijakan negara ini.

Kalau hal ini tidak dilakukan, tetap akan merasa bahwa pensiun dini adalah jalan terbaik. Pertanyaannya sejauh mana keberanian para pengambil kebijakan akan mewarnai isu ini. Kita bisa lihat ternyata di bawahnya masih diwarnai kultur yang mementingkan diri sendiri,kelompok, dan ego sektoralnya masingmasing.

Dengan demikian, kata kunci ada di Presiden untuk mengatasi hal ini. Hati nurani sebagai top administrator negara ini harus diperdengarkan, jangan terlalu lama mendengarkan masukan dari kanan dan kirinya. Presiden harus menggerakkan langkahnya segera.

Pilihan pensiun dini penuh ranjau dan menimbulkan ranjau baru, pilihan kebijakan lain pun demikian, tapi cari yang tidak berefek ranjau kembali, bahkan makin membawa Indonesia makin kuat. Semoga.● IRFAN RIDWAN MAKSUM Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412432/

Banalitas Kejahatan Politik

Agus Sudibyo MAHASISWA MAGISTER FILSAFAT STF DRIYARKARA, JAKARTA

Inilah yang kurang-lebih didedahkan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil), suatu kondisi di mana kejahatan terja- di pada skala massif, dipraktek- kan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.
ejahatan bukan karena adanya orang-orang berhati jahat, melainkan karena hilangnya kemampuan mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat sistemik, membudaya, dan mengakar sebagai perilaku kolektif. Kejahatan bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga masalah absennya kemampuan berpikir rasional, kritis, dan berlandaskan hati-nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. Maka, kejahatan itu jauh lebih dramatis dan vulgar ketika dilakukan orang-orang yang tidak sadar telah bertindak jahat dan merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. Inilah yang kurang-lebih didedahkan Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (the banality of evil), suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.

Bicara tentang skandal korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tiada henti menghantam sendi-sendi kehidupan bernegara kita, tak pelak kita juga bicara tentang banalitas kejahatan. Berbagai pihak melakukan atau menyaksikannya sebagai sesuatu yang niscaya terjadi, dengan rasa sesal atau marah yang semakin memudar.

Unsur pemerintahan tak lagi merasa risi ketika melakukan pungutan liar, menilap uang rakyat, atau menyalahgunakan jabatan. Mereka justru merasa asing jika tidak melakukannya karena hampir semua orang di sekitar melakukannya. Para pemimpin politik juga semakin tak ragu-ragu menunjukkan dirinya sebagai—meminjam istilah Max Weber—orang-orang yang hidup dari politik, dan bukan orang-orang yang hidup untuk politik. Term dana-politik begitu identik dengan praktek percaloan anggaran, penguasaan atas proyek-proyek pemerintah, jual-beli pasal perundang-undangan guna melindungi kepentingan pengusaha yang menjadi donatur partai, dan lain-lain.

Namun mati rasa terhadap kejahatan politik juga terjadi dalam masyarakat. Unsur masyarakat sipil atau intelektual yang berperan sebagai konsultan atau peneliti politik, misalnya, belakangan juga banyak yang kurang memperhatikan problem akuntabilitas. Sebagian dari mereka tampaknya bertolak dari sebuah “profesionalisme”: melayani siapa pun klien yang berpotensi memenangi pemilu-pilkada, tanpa memeriksa sungguh-sungguh apakah dana yang digunakan para klien tersebut benarbenar bersih dari unsur korupsi, kolusi, money laundering, atau sebaliknya. Media
massa juga banyak yang mempunyai kecenderungan yang sama, tidak secara spartan memperhatikan akuntabilitas dana untuk iklan politik, khususnya pada saat-saat pemilu, pilkada, atau proses pemilihan ketua partai politik.

Pendek kata, kita seperti mati rasa terhadap kejahatan politik. Kita menghadapi situasi di mana semakin banyak pihak bersifat pragmatis, hanya peduli terhadap korupsi yang melibatkan orang lain dan menutup mata terhadap korupsi yang terjadi di sekelilingnya. Di tingkat akar rumput, pungutan liar yang terus terjadi, buruknya pelayanan publik, serta lemahnya
perlindungan terhadap usaha kecil, petani, nelayan, dan buruh industri, membuat masyarakat semakin apatis terhadap politik dan menerima keadaan begitu saja. Dalam keputusasaan, masyarakat tak lagi melihat kejahatan politik (suap, pungli, korupsi, nepotisme, dan lain-lain) sebagai sesuatu yang harus diperangi, melainkan sebagai kewajaran yang harus diterima, sebagai privilege bagi mereka yang kebetulan sedang memegang kekuasaan pada semua lini dan level pemerintahan.

Kondisi inilah yang disebut Arendt sebagai the desert world. Suatu tatanan di mana hampir semua unsurnya tak lagi mampu meratapi dan melawan penyelewengan dan kejahatan terhadap esensi politik: pengabdian, pelayanan, pembebasan, dan kejujuran. Pupus sudah rasa bersalah, terusik, atau marah menghadapi korupsi, suap, dan penyelewengan, digantikan oleh rasio instrumentalistik: yang penting bukan saya yang melakukan, tidak merugikan saya, atau jangan-jangan saya dapat mengambil keuntungan darinya.

Bagaimana keluar dari banalitas kejahatan politik ini? Sulit membayangkannya. Namun, apa boleh buat, kita tetap harus mencobanya.

Kunci utamanya pada ketegasan hukum dalam menindak pelaku kejahatan politik.

Tantangannya, mengutip Goerg Simmel,
ketika keja hatan dilaku kan secara kelompok, sulit menentukan siapa yang ber tanggung jawab. Konfidensi timbal balik dan kerahasiaan kolektif memungkinkan suatu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi kesalahan. Maka, sulit berharap politikus atau pejabat publik mengungkapkan skandal di sekitarnya karena terikat untuk menjaga kerahasiaan kolektif. Berani mengungkap kerahasiaan, salah-salah diganjar dengan pemecatan, recall, atau dikorbankan sendirian seperti yang tampaknya hari-hari ini dialami M. Nazaruddin dalam skandal pembangunan wisma atlet SEA Games. Kemungkinan ini yang harus diwaspadai. Selain itu, masyarakat harus mulai berani berkata “tidak“terhadap penyelewengan atas hakikat politik. Hakikat politik adalah solidaritas politis antarwarga negara, penyelesaian masalah bersama secara rasional, adil, diskursif, nir-pemaksaan.
Esensi manusia politik adalah kemampuan untuk bersikap kritis terhadap keadaan, mempertimbangkan hati nurani, dan menomorduakan kepentingan diri ketika menjalankan fungsi-fungsi publik. Kita sedang menghadapi krisis akut pada tataran ini. Politik semakin lekat dengan penguasaan dan manipulasi. Politik semakin jamak diselubungi motif privat: memperkaya diri dan membangun popularitas pribadi. Para politikus dan pejabat publik tak pernah otentik sebagai manusia politik karena selalu memposisikan diri sebagai instrumen dari suatu sistem, tak peduli apakah sistem itu bersih, legitimate, atau sebaliknya. Untuk keluar dari krisis ini, tidak realistis jika mengharapkan keteladanan dari pemimpin politik, karena penyelewengan hakikat politik notabene justru bersumber dari egoisme, ketamakan, dan ambisi privat mereka. Perubahan harus dimulai dengan mengubah persepsi masyarakat sendiri. Masyarakat harus diingatkan, politik bukan sekadar pemungutan suara lima tahun sekali, tetapi juga bagaimana hasil pemungutan suara itu dikontrol sehingga benar-benar bermanfaat bagi pemegang hak suara.
Korupsi, kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, eksploitasi sumber-sumber daya alam yang sangat tidak adil, terjadi karena masyarakat hanya berdiam diri, hanya menyerahkan mandat--dan tidak pernah benar-benar memeriksanya--ke tangan orang-orang yang ternyata terjun ke politik lebih karena motif-motif privat.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/07/14/ArticleHtmls/Banalitas-Kejahatan-Politik-14072011011009.shtml?Mode=1

Opera Van Indonesia

ABDUL MU’TI : Opera Van Indonesia


Saat ini berjuta-juta rakyat Indonesia sedang menyaksikan pertunjukan opera tentang orang–orang yang sakti mandraguna.


Opera ini mengalahkan rating semua film box office dan sinetron di semua stasiun televisi. Opera ini memiliki tiga keistimewaan. Pertama, didukung oleh tokoh-tokoh atau aktor-aktor ternama yang malang melintang di jagat politik. Mereka memainkan karakter dan diri mereka masing-masing.

Kedua, ceritanya merupakan kisah nyata (reality show)yang penuh dengan kejutan. Setiap hari selalu muncul kejutan-kejutan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Ketiga, menjangkau semua kalangan karena disajikan pada saat prime time. Selain itu, opera ini juga bisa dibaca melalui media massa cetak, internet,dan situs jejaring sosial.

Sebutlah tokoh Nunun Nurbaiti yang mengalami amnesia, tetapi masih bisa keliling dunia. Ketika namanya disebutsebut dalam kasus traveler check yang melibatkan beberapa anggota DPR dan mantan menteri, Nunun mengalami gangguan ingatan. Seorang dokter mengatakan bahwa Nunun positif mengidap penyakit lupa.

Sebelumnya Nunun sehat walafiat.Nunun pun berobat ke luar negeri demi memulihkan memorinya. Namun, dari olah TKP banyak kejanggalan, terutama jika dikaitkan dengan logika ilmiah. Bagaimana seorang yang mengalami gangguan ingatan bisa ngelencer ke luar negeri.

Menurut berbagai sumber, Nunun juga berpindahpindah dari satu negara ke negara lainnya.Dia pasti orang hebat.Hanya orang sakti yang bisa traveling dalam posisi linglung. Bagaimana Nunun yang pelupa tetap keep in touch dengan suaminya? Nunun pasti punya kesetiaan (ingatan) yang luar biasa tentang suaminya.

Tokoh yang lainnya adalah Nazaruddin. Selain profesinya sebagai seorang pengusaha dan politisi, Nazaruddin ternyata juga seorang ghost-writer. Di mana Nazaruddin berada hanya beberapa gelintir sahib dan “ahlulbait”-nya yang tahu. Kabarnya, Nazaruddin sudah tidak berada di Singapura.

Walaupun demikian, sebagai seorang prolific-writer, Nazaruddin tetap produktif mengirimkan tulisan ke berbagai media melalui BB-nya.Hebatnya, semua media massa cetak dan elektronik memuat “karya” Nazaruddin tanpa editing. Lagi-lagi, dari olah TKP ada beberapa keganjilan.

Mengapa redaktur media massa yang dipenuhi jurnalis kritis dan cerdas percaya begitu saja dengan message dari Nazaruddin? Mengapa tidak ada usaha check and recheck akan validitas dan orisinalitas bahwa message benar-benar dari Nazaruddin?

Selain kemampuan “menghipnotis” redaktur media, Nazaruddin juga memiliki indera keenam: ngerti sak durunge pinarak (mengerti sesuatu yang akan terjadi). Buktinya, sehari menjelang dicekal, dia sudah ke luar negeri sehingga petugas imigrasi meloloskannya. Hebat bukan?

Bangsa yang Sakit

Walau demikian, mereka tetaplah aktor-aktor yang tunduk pada pakem cerita dan arahan sutradara. Mereka hanyalah wayang yang dimainkan oleh dalang. Jika pemainnya saja hebat, apalagi dalangnya. Nunun,Nazaruddin yang disebut sebagai aktor opera “orang-orang sakti mandraguna” tidak hanya memerankan dirinya sendiri, tetapi memerankan bangsanya.

Nunun dan Nazaruddin hanyalah potret dari bangsa Indonesia yang sakit.Sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia, memaparkan enam karakter bangsa Indonesia:

(1) munafik,
(2) tidak bertanggung jawab,
(3) berjiwa feodal,
(4) mistis dan sangat percaya takhayul,
(5) seni yang cenderung erotis, dan
(6) mentalitas yang lemah. Penilaian senada juga dikemukakan Koentjaraningrat.

Dalam bukunya,Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Koentjaraningrat menyebut lima karakter negatif bangsa Indonesia:

(1) meremehkan mutu,
(2) suka menerabas,
(3) tidak percaya kepada diri sendiri,
( 4) tidak disiplin,
(5) mengabaikan tanggung jawab.

Nunun dan Nazaruddin memang sedang memainkan peran yang membuat dirinya dihujat oleh hampir semua pemirsa. Mereka harus ikhlas menerima label “orang jahat”. Tetapi, mereka berdua hanya sedang “sial”.

Dalam negeri yang menurut Ahmad Syafii Maarif sudah nyaris sempurna kehancurannya, terdapat beribu orang yang mungkin lebih jahat dari mereka berdua. Ini merupakan masalah yang sangat serius. Masalah yang lebih serius lagi adalah jika bangsa Indonesia tidak menyadari masalahnya.

Sebagian bahkan menikmati dan mengeruk keuntungan dari berbagai masalah. Anehnya, para pemimpin justru mempermasalahkan orang-orang yang menyadarkan akan adanya masalah. Walaupun menarik, rakyat sesungguhnya mulai menderita dengan penyakit bangsanya yang kian akut.

Di tengah ketidakberdayaan, nurani mereka berontak. Dilihat dari sepak terjangnya, Nunun dan Nazaruddin adalah orang-orang yang hebat. Tetapi sejatinya mereka adalah orang-orang yang lemah. Mereka adalah korban dari sebuah kekuatan raksasa. Ibarat permainan catur, mereka adalah “pion”yang dikorbankan untuk melindungi dan menyelamatkan sang raja.

Begitulah,dalam dunia catur raja adalah sosok yang lebih banyak bersembunyi daripada bekerja.Semua boleh berguguran,tetapirajaharusdiselamatkan. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Siapa lagi tokoh yang tampil? Hanya sang dalang yang tahu.Apa makna di balik semua itu?

“Di sana gunung,di sini gunung, di tengah-tengahnya Pulau Jawa. Dalangnya bingung, lha dalah wayangnya lebih bingung, tetapi Anda tidak boleh tertawa.”Opera ini tidak boleh berkepanjangan. Harus ada keberanian untuk menghentikan agar bangsa Indonesia selamat dari kehancuran. Semoga pembaca adalah salah satunya.● ABDUL MU’TI Sekretaris PP Muhammadiyah, Dosen IAIN Walisongo, Semarang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412723/