BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mengharapkan Birokrasi yang Tangkas

Written By gusdurian on Jumat, 08 Juli 2011 | 02.32

Ketika gempa bumi dan tsunami melanda Jepang,terdapat 88 delapan rangkaian kereta api supercepat yang berjalan di seluruh penjuru negara dengan kecepatan penuh.Semua perjalanan rangkaian kereta itu berhasil dihentikan tanpa satu pun insiden.

Betul bahwa itu sebuah pertunjukan teknologi tinggi.Tapi di balik itu pasti ada orang-orang yang bekerja dengan manajemen tertata di bawah komando yang tegas dan presisi. Begitulah birokrasi bekerja di Jepang, baik di korporasi maupun di lembaga pemerintahan.

Birokrasi di Jepang selalu bercitra positif, bekerja dengan cepat, tepat, dan efisien. Badannya pun ramping. Bandingkan dengan citra birokrasi kita yang terkenal lamban, tambun, dan kental dengan aroma korupsi. Michael Williams pernah menulis di Wall Street Journal, birokrat Jepang rutin bekerja 14 jam sehari.

Pada akhir tahun fiskal,mudah menemukan birokrat yang tidak mengambil libur barang sehari pun. Kerjanya tidak diisi dengan santai, tetapi bergelut dengan dokumen, saling berkonsultasi dan bertemu dengan mereka yang menginginkan kenaikan anggaran. Pada saat-saat penting penyusunan anggaran, birokrat di Kementerian Keuangan Jepang minimal bekerja 250 jam sebulan.

Mereka jarang pulang ke rumah hingga di setiap kubikel kantor selalu tersedia tempat tidur untuk istirahat. Dokter sesekali dipanggil untuk memberi injeksi vitamin kepada mereka yang bekerja tanpa kenal lelah. Bagaimana birokrasi Jepang bisa seproduktif itu? Tidak hanya budaya kerja tinggi yang selalu melekat, tetapi tidak lepas juga dari saringan yang sangat ketat.

Birokrasi di Jepang terdiri atas lulusan-lulusan terbaik dari kampus-kampus prestisius. Seleksi dalam satu tahun, 45.000 pelamar berebut 780 posisi pegawai negeri sipil. Di sini, birokrasi selalu menjadi bahan keluhan. Salah satu problem utama adalah bebannya terhadap anggaran.

Untuk sekitar 4,7 juta birokrasi di Indonesia, dibutuhkan belanja pegawai sekitar Rp180 triliun. Di daerah, alokasi belanja yang besar itu sebagian besar hanya untuk bayar gaji pegawai.Bahkan ada daerah yang 70% APBD-nya digunakan untuk bayar gaji. Wajar jika kemudian muncul rencana untuk memangkas birokrasi karena memboroskan anggaran negara.

Kita mendukung upaya pembenahan dengan perampingan untuk menghasilkan birokrasi yang efektif dan efisien.Tapi, di luar itu, persoalan lain yang mengiringi juga harus ikut dibenahi. Pertama adalah soal budaya kerja. Perbaikan tidak akan pernah muncul jika budaya kerja pegawai masih seperti sekarang ini.

Contoh dari Jepang layak ditiru dan sebagai awalnya, para pimpinan birokrat harus menjadi teladan bagi anak buahnya. Pembenahan berikutnya adalah soal rekrutmen pegawai negeri sipil yang menyisakan banyak masalah di berbagai daerah, terutama soal objektivitas.Jika rekrutmen menggunakan seleksi yang ketat, hasilnya tentu bibit-bibit berkualitas.

Pegawai yang datang sesuai kebutuhan dengan kemampuan tinggi niscaya akan menghasilkan pelayanan publik yang mengutamakan kualitas dan transparansi. Pembenahan berikutnya berkaitan dengan konstelasi birokrasi yang ikut dipengaruhi oleh tataran politis,yaitu pejabat yang rekrutmennya berasal dari proses demokrasi.

Ke depan, penting adanya agenda serta visi dan misi yang sama dari pejabat politis yang sering membawa agenda politik dengan pejabat yang sudah lama ada di birokrasi. Tidak seharusnya pejabat dari rekrutmen politik memasukkan agenda pribadi dan kelompoknya yang akan memperburuk cara kerja birokrasi.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411356/

Kontroversi RUU Intelijen

BROTO WARDOYO:
Kontroversi RUU Intelijen semakin hangat menjelang rencana pengesahannya oleh parlemen dan pemerintah. Sebagian kalangan menilai RUU Intelijen yang saat ini dibahas masih sarat masalah.Sebagian yang lain memandang pengesahan tersebut perlu dilakukan secepatnya.


Beberapa butir yang mendapat tentangan, terutama dari kalangan masyarakat sipil,antara lain terkait dengan status kelembagaan (lembaga negara versus lembaga pemerintah), kewenangan penyadapan dan penangkapan, pembentukan lembaga koordinasi intelijen negara, hingga tidak adanya pengawasan internal.

Keberatan- keberatan tersebut harus dimaknai sebagai upaya konstruktif bagi terbentuknya UU Intelijen yang efektif dan demokratis. Kebutuhan akan hadirnya UU Intelijen di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses transisi menuju demokrasi.

Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan dalam kebutuhan menciptakan kontrol sipil yang efektif terhadap aktor-aktor keamanan. Logika yang kemudian mendasari upaya pengaturan tersebut adalah adanya keberpihakan terhadap penjaminan hak-hak sipil.

Hal ini tentu harus dilakukan dengan tanpa melukai kebutuhan kinerja aktor-aktor keamanan secara efektif. Hal kedua yang juga harus disadari dalam perdebatan mengenai RUU Intelijen adalah kebutuhan untuk tetap meletakkan pembahasannya dalam konteks yang lebih besar.

Artinya, produk yang dihasilkan merupakan satu dari sekian banyak produk lain yang terkait dengan reformasi sektor keamanan. UU Intelijen harus dibangun sebagai sebuah sinergi besar dengan UU lain di sektor keamanan. Dengan demikian, kekhususan-kekhususan yang tidak diatur dalam RUU Intelijen harus diletakkan dalam pengaturan-pengaturan lain yang setingkat dan sebaliknya.

Perdebatan mengenai konten RUU Intelijen seharusnya tidak dipahami sebagai sebuah harga mati.Konsep “kewenangan yang harus dibagi habis” dalam penataan aneka aturan di sektor keamanan harus dipegang teguh. Catatan ketiga yang perlu dikedepankan dalam kontroversi pembahasan RUU Intelijen saat ini terkait dengan aneka kerangka pengawasan atas intelijen itu sendiri.

UU Intelijen dan UU lain yang terkait dengan intelijen merupakan kerangka normatif pengawasan politik atas intelijen. Selain kerangka normatif pengawasan, harus pula diciptakan kerangka pengawasan substantif, struktural, dan operasional. Pengawasan tersebut dilakukan dengan membangun kerangka pengawasan berlapis pada tataran eksekutif, legislatif, yudikatif, internal, dan masyarakat sipil.

Dualisme Pemahaman

Kontroversi RUU Intelijen saat ini juga terkait dengan dualisme pemahaman mengenai konsep intelijen itu sendiri. Dalam pemahaman sebagai sebuah aktivitas penyediaan informasi, beberapa kalangan mengkritik besarnya kewenangan yang diberikan kepada aparat intelijen.

Pemberian wewenang penyadapan dan penangkapan dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan. Perdebatan mengenai tingkat kewenangan ini juga muncul dalam reformasi intelijen di Amerika Serikat pascaserangan 9/11. Dalam kebutuhan tersebut, penggunaan prinsip nonderogable rights sebagai pijakan dalam melakukan aktivitasaktivitas intelijen (pengumpulan informasi, analisis informasi, operasi rahasia dan kontraintelijen) menjadi krusial.

Yang harus dicatat,jangan sampai perdebatan ini mengarah pada politisasi isu intelijen yang tidak konstruktif bagi penataan intelijen itu sendiri. Selain itu, perlu dibedakan antara aktivitas intelijen dan kesalahan kebijakan yang muncul sebagai dampak dari laporan aktivitas intelijen.

Pembedaan ini patut untuk dipertegas mengingat dalam konteks perdebatan RUU Intelijen saat ini muncul ketakutan akan penyalahgunaan intelijen untuk kebutuhan penguasa. Ketakutan akan hadirnya intelijen hitam ini tidak bisa diselesaikan dengan semata mengurung aktivitas intelijen dalam kandang yang kokoh.

Upaya untuk membatasi aktivitas intelijen akan memangkas efektivitas kinerja dan berdampak pada lemahnya kualitas keluaran. Penekanan harus diberikan pada hadirnya kontrol politik oleh eksekutif terhadap aktivitas intelijen yang berlangsung. Kontrol politik tersebut kemudian dimasukkan dalam ranah keseimbangan politik antarcabang kekuasaan untuk memastikan adanya penggunaan yang tepat.

Kontroversi RUU Intelijen juga terkait dengan pemahaman organisasional.Pembentukan Lembaga Koordinasi Intelijen Negara dengan kewenangan yang dipandang berlebihan menjadi salah satu sumber perdebatan. Dalam beberapa negara demokrasi, pembentukan satu lembaga sebagai pusat koordinasi antarlembaga intelijen merupakan hal yang lumrah.

Upaya koordinasi antarlembaga intelijen menjadi hal yang mutlak dalam menghadapi ancaman-ancaman di masa kini. Helen Fessenden dalam The Limits of Intelligence Reform secara khusus memberi perhatian pada masalah lemahnya koordinasi yang menjadi salah satu penyebab munculnya serangan 9/11 di Amerika Serikat.

Koordinasi juga dibutuhkan untuk meminimalkan persaingan antarlembaga intelijen. Meskipun diferensiasi fungsi telah dilakukan, tidak tertutup kemungkinan adanya overlapping yang mendorong persaingan antarlembaga intelijen.

Indonesia tidak boleh kembali ke masa intelijen hitam, tetapi bukan pula berarti harus menjadikan aktivitas sebagai sesuatu yang terang-benderang. Kontrol atas aktivitas intelijen harus dibuat terang-benderang, tetapi aktivitas intelijen biarlah ada di ruang yang gelap.● BROTO WARDOYO Koordinator Program Magister Terorisme dalam Keamanan Internasional, Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411102/

Sekolah untuk Apa?

RHENALD KASALI:

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari sekolah.Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang ”salah kamar”.

Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.

Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang banyak yang ingin punya gelar S- 3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA, 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.

Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.

Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serbasulit ini?

Kesadaran Membangun SDM

Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju.

Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun,lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya Anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ.

Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis,serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.

Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolahsekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.

”Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik.

Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? ”Mudah saja,” ujar dekan itu. ”Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia Baru.

Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10 besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.

Di luar dugaan saya,pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guruguru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai ratarata di atas 80 (betapapun stresnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.

Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri,mungkin guruguru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri.

Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? ”Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di Selandia Baru. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya? ”Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putra sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.

Maksudnya,tes masuk tetap ada,tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.

Sekolah dilarang hanya menerima anakanak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur.

Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masingmasing. Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai.

Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik,dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah citacita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.Seorang lulusan SLTA tahun pertama harus menguasai empat bidang sains (biologi,ilmu kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.

Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1 yang digabung hingga S-3 di Amerika.

Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian, tapi tak ada masalah kok!

Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, anakanak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala resources.

Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri,sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, ”Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah,metode diperbarui,fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan,tapi sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk apa kita bersekolah? Mudahmudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depan yang lebih baik. RHENALD KASALI Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/

Euforia Politik Antiklimaks

KOMARUDDIN HIDAYAT:

Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bertema “Tata Nilai, Impian, Cita-Cita Pemuda Muslim di Asia Tenggara” belum lama ini sangat menarik direnungkan oleh kalangan elite partai politik dan pemerintah.


Dengan jumlah 1.496 respondendari33provinsi, pemuda berusia 15-25 tahun yang tertarikmenjadipolitikus0%, yang sangat tertarik mengikuti berita- berita politik hanya 5,5%. Meski yang disurvei dibatasi pemuda muslim, bisa jadi data itu menunjukkan kecenderungan pemuda Indonesia pada umumnya.

Dengan mengikuti pemberitaan media massa dari hari ke hari seputar kehidupan politik yang diperankan oleh elite parpol, rasanya valid untuk mengatakan bahwa euforia politik sekarang ini sudah antiklimaks. Hanya dalam satu dekade masyarakat terbuka matanya bahwa daya tahan parpol rapuh dari serangan virus korupsi.

Para kader parpol yang duduk di eksekutif maupun legislatif mudah terjerat korupsi. Sampai-sampai muncul sinisme, kata eksekutif berubah menjadi ekseku-thief, legislatif menjadi legisla-thief. Padahal kebangkitan dan kelahiran parpol yang sekarang malang melintang itu pada awalnya didorong untuk membangun pemerintahan yang bersih dan menyejahterakan rakyat.

Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum diteriakkan untuk memikat masa pendukungnya. Lagi-lagi, tak sampai satu dekade euforia itu telah berubah menjadi gumpalan energi keluh kesah, kekecewaan,dan kemarahan. Ini semua mesti dihentikan dengan langkah yang radikal agar pesimisme dan kekecewaan jangan sampai ke titik nadir.

Parpol dan pemerintah mesti melakukan terobosan dan akselerasi penuntasan berbagai kasus korupsi serta menciptakan lapangan kerja agar rakyat kembali percaya pada parpol dan pemerintah. Sungguh bahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara jika demokrasi tidak didukung oleh parpol yang sehat, yang mampu menyalurkan aspirasi dan militansi para anggota dan pendukungnya dalam berpolitik.

Partai yang tidak mampu membangkitkan kegairahan, militansi, dan kebanggaan pendukungnya lama- lama akan pingsan dan kesepian ditinggal lari pendukungnya. Jika parpol oleh masyarakat hanya dipersepsikan sebagai institusi untuk mencari uang dan kedudukan tanpa prestasi nyata untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat, parpol akan menjadi sasaran caci maki, dianggap sebagai konspirasi manipulasi rakyat.

Parpol akan diberi label sebagai bunker tempat koruptor bersembunyi mencari perlindungan. Bangsa dan negara-negara yang maju pasca-Perang Dunia adalah mereka yang berhasil menanamkan tradisi kerja keras, disiplin, memajukan lembaga pendidikan dan riset keilmuan mutakhir, sehingga tumbuh rasa bangga dan kesiapan bersaing dalam panggung dunia.

Pendeknya, bangsa yang terjangkiti budaya instan dan toleran pada korupsi jangan harap memperoleh respek dalam pergaulan dunia. Dua penyakit ini, budaya instan dan toleran pada korupsi, mesti dipangkas secara radikal jika Indonesia ingin bangkit. Panggung politik miskin dari sosok politisi sekaligus intelektual yang berintegritas serta inovatif sehingga menjadi inspirasi dan stimulasi bagi anak-anak muda untuk tertarik ke dunia politik.

Langit politik diliputi mendung wacana korupsi sehingga anak-anak muda kehilangan kegairahan bernegara. Alih-alih bersinergi untuk bersama-sama melakukan restorasi kehidupan politik, yang terjadi di antara sesama parpol justru menjaga koalisi untuk mengamankan status quo atau saling mengintip kelemahan lawan sebagai persiapan Pemilu 2014.

Hampir tiap pekan media massa memberitakan korupsi yang terjadi di jajaran kader parpol entah di tingkat wakil rakyat atau kepala daerah, dan tiap pekan pula elite parpol membela diri dan menegasikan semua berita itu sebagai fitnah. Jumlah parpol terasa tidak seimbang dengan jumlah bintang kader pemimpin bangsa yang dirindukan kemunculannya oleh masyarakat.

Bisa saja ini isyarat positif bahwa sekarang telah terjadi pemerataan kualitas berkat pendidikan dan mobilitas politik anak bangsa. Tetapi ada juga anggapan sebaliknya, bahwa yang terjadi adalah krisis calon-calon pemimpin parpol dan bangsa yang benar-benar berkualitas dari segi pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan integritas yang mudah ditawarkan pada publik.

Di tengah menurunnya antusiasme pemuda terhadap karier politik,siapa tahu ketika kekecewaan dan pesimisme telah merata akan memunculkan kesadaran dan energi serta gerak pendulum balik yang mendorong kebangkitan secara kolektif.Dari kekecewaan kolektif, semoga akan terjadi kebangkitan kolektif.  PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411367/

Membenturkan Neolib

Neo (artinya baru) dan liberalisme (suatu paham tentang kebebasan) adalah kepanjangan istilah dari neolib yang sering dipakai oleh para politisi dan pengamat untuk dibenturkan dengan sistem ekonomi kerakyatan / Pancasila.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan 2 sistem ekonomi yang telah dipraktekan, begitu juga dengan sistem ekonomi lainnya seperti sosialisme / komunisme. Jika kita pelajari dari literatur masa lalu, sistem dan ilmu ekonomi selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan di mana para pemikir ekonomi saat itu menyumbangkan pikiran dan telaah ilmiahnya. Adam Smith sampai dengan Karl Marx pasti memulai ide dan semangat bagaimana men-sejahterakan masyarakat dan membangun industri di masa tokoh-tokoh tersebut hidup, yang tentu saja memiliki pola pikir maupun sudut pandang yang berbeda.

Di masa kini, akademisi dan para teknokrat tentu nya juga mempunyai pemikiran bagaimana menerapkan sistem ekonomi yang cocok dan dapat diaplikasikan dengan sempurna di masyarakat. Zaman Orde Baru, dengan sistem ekonomi Pancasila (sekarang yang dipakai istilah ekonomi Kerakyatan), di mana kekuasaan Negara begitu dominan, menentukan hampir segala lini kehidupan masyarakat, maka pembangunan dapat berjalan dengan sistematis, ada GBHN dan berbagai macam program yang telah dicanangkan dalam Repelita.
Pemerintah memberikan pendidikan murah dan wajib sekolah melalui Inpres, subsidi 9 bahan pokok melalui Bulog, kurs mata uang di-peg, harga BBM yang murah, swasembada pangan serta kontrol bisnis yang ketat di mana badan usaha milik negara dipakai untuk menguasai dan mengatur sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Semua yang dilakukan sudah pasti bertujuan untuk kepentingan rakyat.

Masalah apakah subsidi dan anggaran yang dipakai berasal dari pinjaman luar negeri, atau karena kontrol yang terlalu kuat menimbulkan monopoli karena hanya yang dekat dengan pemegang tampuk kekuasaan dan kalangan tertentu saja dapat mega-proyek, tentu saja bukan karena salah sistem ekonomi, tetapi disebabkan lemahnya kontrol dan penanggung jawab pemerintah yang tidak berintegritas dan melupakan mandat rakyat.
Begitu juga dengan sistem neo-lib dan sosialisme, beranikah kita menyatakan sistem itu lebih bagus atau lebih jelek dari sistem ekonomi kerakyatan ? Jika berdasarkan angan-angan dan idealisme semua pemikir ekonomi terdahulu, setiap sistem akan berjalan dengan sempurna jika tidak ada faktor-faktor non-teknis seperti alam, jumlah penduduk maupun intervensi dan keterlibatan faktor perilaku oknum-oknum.

Mao beranggapan jika harta dan kekayaan orang kaya diambil negara dan dibagikan kepada fakir miskin maka rakyat akan sejahtera. Tetapi ketika habis dibagikan yang kaya memang menjadi miskin sedangkan yang miskin juga tidak cukup kaya karena yang mau dibagi terlalu banyak sehingga kebagian rata semua, rata-rata miskin.
Begitu juga sistem kapitalisme / neo-lib yang sudah dipraktekan di negara-negara Barat, terutama AS. Apakah tidak mempunyai kelemahan? Sudah tentu masih banyak kekurangan, kalau tidak AS tidak akan mengalami beberapa kali resesi, pemerintah AS tidak akan mengeluarkan bail-out atau subsidi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang terancam bangkrut. Dan yang pasti tidak pusing menghadapi tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Ternyata tidak mudah mengurusi ekonomi.

Kita di negara-negara berkembang, tentu tidak akan asal mencomot dan mempraktekan sistem ekonomi secara sembarangan. Kita juga tidak tertarik dengan jargon-jargon politik dan kampanye hitam yang hanya bertujuan untuk kepentingan pihak tertentu. Sistem apa saja, termasuk neo-lib tentu bukan pantangan jika bertujuan untuk men-sejahterakan rakyat. Neo-lib sudah pasti tidak mentolerir praktek korupsi dan tidak fair. Oleh sebab itu ada KPPU untuk mengawasi kartel dan persaingan tidak sehat.

Dulu kita tidak bisa membangun pabrik mie-instan sesuka hati, nonton di bioskop juga tidak punya pilihan, pulsa telepon mahal, itu semua akibat praktek monopoli, bukan sistem ekonominya yang salah. Sekarang semuanya berpacu memperbaiki diri, termasuk air PAM. Yang tidak baik seperti komersialisasi pendidikan, biaya kesehatan mahal dan korupsi harus diberantas. Meskipun namanya praktek liberalisasi, tetapi pemerintah tetap punya kebijakan dan musti menerapkan aturan tegas untuk kepentingan umum seperti praktek di AS.

Jaminan sosial, pajak, pengawasan soal penjualan PMA dan BUMN sehingga lebih transparan. Dulu ketika saham Freeport dilego, yang menikmati hanya pengusaha tertentu. Sekarang Newmont dan masalah pajak impor film asing saja pemerintah campur tangan. Pemerintah tidak lepas tangan bukan?

Akhirnya, semua sistem ekonomi berjalan baik dan menguntungkan rakyat tetap ditentukan oleh para pemegang kekuasaan dan hukum, bukan sistemnya itu sendiri. Tidak penting kucing itu warnanya apa, asal dapat menangkap tikus. Neo-lib, Sosialisme dan ekonomi Kerakyatan tidak relevan jika masih dapat mensejahterakan rakyat. Bukankah PLN bertambah bagus kinerjanya di tangan Dahlan Iskan meskipun masih monopoli? Pertamina justru terpacu untuk memperbaharui diri justru setelah Shell, Petronas, dll hadir di Indonesia?
Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu yang akan menentukan baik-buruknya suatu sistem!
Salam,
Liman

http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/07/08/membenturkan-neolib/

Demokrat dan Hipokrisi

AMICH ALHUMAMI:

Ketika Pemilu 2009,Partai Demokrat dengan penuh gelora berujar: “Katakan Tidak pada Korupsi!” Mantra politik ini menjadi jargon utama kampanye untuk memikat—padahal sejatinya mengelabui—publik agar memperoleh dukungan suara pemilih yang besar.

Melalui tayangan iklan yang sangat masif di seluruh media, cetak dan elektronik, tokoh-tokoh utama partai demikian gigih mendeklarasikan diri sebagai politisi antikorupsi. Mereka membuat klaim bahwa Partai Demokrat bersama Presiden SBY berjuang melawan korupsi, tak tergiur oleh rayuan para penyuap, dan tak tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi.

Namun, hanya dua tahun berselang, klaim antikorupsi yang menghiasi halaman koran dan majalah serta layar kaca televisi melalui iklan itu gugur dengan sendirinya.Para politikus Demokrat telah mengingkari ucapan mereka sendiri dan terjerembab ke dalam kubangan praktik korupsi yang melekat pada kekuasaan yang sedang mereka genggam.

Saksikan,Partai Demokrat telah mempertontonkan hipokrisi politik yang terang-benderang karena banyak pejabat publik, baik bupati, gubernur maupun politisi yang berafiliasi dengan partai ini,justru diadili atas perkara korupsi dan diduga kuat menjadi pemain utama dalam praktik suap dan calo anggaran.

Hipokrisi politik itu sangat telanjang karena perbuatan politisi Demokrat justru berlawanan dengan apa yang mereka kampanyekan dalam pemilu.Hipokrisi politik terasa makin menyesakkan karena “bintangbintang iklan” dalam kampanye antikorupsi justru diduga kuat terlibat dalam skandal korupsi sebagaimana diberitakan luas akhir-akhir ini.

Keterlibatan politisi Demokrat dalam kasus korupsi makin menegaskan betapa kekuasaan menjadi lahan subur bagi aneka skandal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas publik. Bahkan kekuasaan yang diraih melalui proses politik demokratis sekalipun tidak serta-merta menjamin para politikus terbebas dari perilaku korupsi.

Politik Uang

Problem kritis dalam praktik demokrasi di Indonesia adalah money politicsyang berdaya rusak sangat dahsyat bagi penerapan sistem demokrasi modern. Politik uang telah mengubah demokrasi tak lebih dari sekadar sebuah proses politik di mana sirkulasi elite ditempuh melalui pemilu periodik yang berbiaya mahal.

Tak pelak, pertukaran kekuasaan lewat pemilu demokratis sama sekali tak berorientasi pada pemenuhan hakhak politik warga negara. Politik uang membuat demokrasi menyimpang jauh dari cita - cita luhur para ahli filsafat politik seperti yang berlaku di zaman Yunani kuno.

Di sini,demokrasi tidak dimaknai sebagai bentuk kontrak sosial antara warga negara dengan pemangku kekuasaan negara melalui proses politik yang transparan dan akuntabel. Demokrasi juga tak dipahami sebagai suatu mekanisme politik kenegaraan yang dilandasi tanggung jawab moral tinggi untuk mewujudkan kemaslahatan publik.

Sungguh menyedihkan, politisi korup secara tak bertanggung jawab telah mendistorsi makna esensial demokrasi. Para politikus korup yang mengandalkan kekuatan uang dapat mengantarkan demokrasi menuju jalan bunuh diri seperti yang dikhawatirkan John Adams:

“Remember,democracy never lasts long. It soon wastes, exhausts, and murders itself. There never was a democracy yet that did not commit suicide.” Bagi politisi korup, kekuasaan tidak dipahami sebagai sarana untuk merealisasikan kebajikan publik, melainkan jalan untuk memperkaya diri demi memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi.

Sungguh, berharap politisi bersih sama sekali dari praktik korupsi sama halnya berharap burung gagak berbulu putih. Sebab, banyak politikus yang memegang kekuasaan telah teracuni candu korupsi untuk menumpuk kekayaan dan akumulasi kapital yang pada akhirnya memperkuat kekuasaan yang digenggam.

Simaklah ungkapan klasik yang berlaku universal ini: in the end, most—not to mention all— politicians are liar. Betapa sulit kita menemukan politisi jujur, berdedikasi, dan berintegritas yang mampu memaknai politik sebagai ikhtiar untuk mengemban amanat dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara demi kebajikan dan kemaslahatan umum.

Kelumpuhan Demokrasi

Korupsi politik dan politisi korup jelas merupakan ancaman paling serius bagi tatanan demokrasi.Bahkan mereka secara nyata telah merusak sistem politik demokrasi yang baru berumur 13 tahun di Indonesia. Praktik korupsi di lembaga politik dan politisi yang terlibat korupsi dapat mengganggu efektivitas negara dan melemahkan lembaga politik yang menjadi tiang penyangga negara.

Praktik korupsi pada akhirnya dapat melumpuhkan kinerja sistem politik kenegaraan secara keseluruhan sehingga demokrasi mengalami disfungsi total sebagaimana yang kini sedang terjadi di Indonesia. Profesor ilmu politik UniversitasColgate, MichaelJohnston, menulis:

“Corruption is a threat to democracy and economic development in many societies. It arises in the ways people pursue, use, and exchange wealth and power,and in the strength or weakness of the state, political, and social institutions that sustain and restrain those processes (Syndrome of Corruption: Wealth, Power, and Democracy,2005).

” Menyimak skandal korupsi politik yang terus berulang dan melibatkan elite-elite politik di hampir semua parpol, sudah waktunya bangsa ini lebih selektif dalam memberi mandate politik kepada parpol dan politisi untuk mengelola negara.Sebab,banyak politikus yang menjadikan kekuasaan politik hanya untuk memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan belaka.

Sumber segala keruwetan masalah dan kesemrawutan dalam pengelolaan negara adalah para politisi korup. Maka, langkah paling mudah untuk mengatasi problem kompleks ini adalah menyingkirkan politisi korup dari pentas politik nasional.

Sebab,mereka secara nyata telah merusak keluhuran politik kenegaraan dan menodai sistem demokrasi yang dengan susah payah diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa. Simak dan renungkan nasihat pahit, yang sulit disangkal kebenarannya ini: if you kill a politician, you just get pollution; if you kill all politicians you will then get solution! ● AMICH ALHUMAMI Peneliti Sosial di Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411354/

Menurunkan Angka Kelahiran?

ARIS ANANTA:

Melihat hasil sementara Sensus Penduduk 2010,sebagian kawan gencar menyampaikan ancaman peledakan penduduk Indonesia. Mereka mengatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah.


Hal ini menyebabkan hambatan yang besar dalam pembangunan Indonesia karena Indonesia harus memenuhi kebutuhan orang yang semakin banyak. Oleh sebab itu, kata kawan ini, angka kelahiran harus terus diturunkan. Namun, benarkah jumlah penduduk Indonesia akan meledak lagi seperti yang terjadi pada 1960-an dan 1970-an?

Jawaban ini penting untuk dapat menentukan kebijakan pembangunan di Indonesia. Istilah “peledakan penduduk” muncul ketika angka kelahiran tetap tinggi,sekitar 6 anak atau lebih per seorang perempuan. Pada saat yang sama, angka harapan hidup meningkat dengan cepat, dari sekitar 40 tahun ke 50 tahun.

Banyak bayi lahir dan hampir semuanya bertahan hidup. Jumlah penduduk balita dan yang di bawah 15 tahun kemudian meningkat dengan amat cepat. Inilah yang biasanya disebut dengan peledakan penduduk, peningkatan dengan cepat jumlah penduduk balita ataupun mereka yang berusia di bawah 15 tahun.

Itu yang terjadi di Indonesia tahun 1960-an.Penduduk yang masih muda ini telah melakukan konsumsi, mereka membutuhkan pangan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan,kesehatan, dan rekreasi.Namun, mereka, karena masih muda, belum mampu berproduksi.

Pengeluaran yang besar untuk mereka menyebabkan perekonomian tak dapat menabung. Akibatnya perekonomian tidak dapat berinvestasi. Maka,kalau peledakan jumlah penduduk ini tidak dihentikan, Indonesia akan tetap miskin, dengan jumlah anak yang makin banyak.

Pada 1960-an, keluarga Indonesia tidak tahu bahwa mereka dapat mengatur jumlah kelahiran mereka. Berapa pun yang akan lahir adalah “nasib” belaka. Bahkan, ada pula yang percaya bahwa anak yang banyak merupakan rezeki keluarga. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia kemudian memperkenalkan program Keluarga Berencana.

Dengan program ini, keluarga dapat mengatur jumlah kelahiran mereka. Dengan jumlah anak yang lebih sedikit, keluarga dapat meningkatkan mutu anak mereka. Para orang tua juga dapat meningkatkan mutu kehidupan mereka sendiri. Keluarga dua anak adalah keluarga bahagia, demikian slogan pemerintah waktu itu.

Apa yang Terjadi Saat Ini?

Dengan gencarnya program Keluarga Berencana dan kemajuan perekonomian Indonesia, angka kelahiran di Indonesia pun telah turun dengan relatif cepat, walau tidak secepat di Singapura dan Thailand. Saat ini, angka kelahiran sudah di sekitar replacement level, sekitar 2 anak per perempuan.

Saat ini, tampak aneh kalau kita melihat pasangan usia sekitar 35 yang mempunyai 4 atau 3 anak.Padahal, pada 1960-an, sangat sering kita melihat pasangan yang mempunyai 6 anak atau lebih. Namun, Indonesia masih beruntung dibandingkan dengan Singapura. Singapura menurunkan angka kelahiran dengan amat cepat.

Ia mencapai replacement level pada 1975. Hanya dalam waktu 10 tahun, Singapura mencapai replacement level, dari angka yang mirip Indonesia pada 1960-an. Saat ini, angka kelahiran di Singapura telah amat rendah, sekitar 1 anak per seorang perempuan. Sangat jauh di bawah replacement level.

Akibatnya, Singapura mengalami masalah kekurangan tenaga kerja muda. Tanpa migrasi dari negara lain, jumlah penduduk Singapura akan menurun. Bersamaan dengan hal itu, Singapura juga mengalami peningkatan jumlah dan proporsi penduduk lansia,usia 60 tahun ke atas.Para lansia ini masih membutuhkan pangan, papan, pakaian.

Bahkan dengan kesehatan yang menurun, mereka membutuhkan biaya kesehatan yang terus meningkat. Lebih sulit lagi, proporsi penduduk muda, kalau tidak ada migrasi, akan terus menurun. Padahal penduduk mudalah yang menyokong penduduk tua. Dari mana uang akan dihasilkan untuk membiayai para lansia yang jumlahnya terus meningkat dan makin cepat itu?

Pada 1960-an,Indonesia dan Singapura menghadapi ancaman peledakan penduduk, dengan peningkatan jumlah penduduk muda yang luar biasa. Kini Singapura menghadapi ancaman peledakan jumlah penduduk lansia, yang berasal dari meledaknya jumlah bayi tahun 1960-an. Indonesia?

Ancaman peledakan jumlah penduduk lansia belum sehebat di Singapura karena penurunan angka kelahiran di Indonesia lebih lambat daripada di Singapura. Namun,tidak berarti ancaman itu tidak ada. Di Singapura proporsi lansia makin tinggi, tetapi ekonominya sudah amat baik.

Ketika proporsi lansia di Indonesia meningkat, apakah perekonomian Indonesia juga akan seperti Singapura? Kalau tidak, tantangan di Indonesia akan menjadi lebih besar daripada di Singapura. Apalagi, secara absolut,jumlah lansia di Indonesia amat jauh lebih besar daripada jumlah di Singapura.

Bukan Peledakan Penduduk

Apa yang terjadi saat ini di Indonesia amat berbeda dengan yang terjadi pada 1960- an. Indonesia tidak lagi mengalami ancaman peledakan penduduk seperti yang dialami tahun 1960, dengan kemungkinan amat banyaknya jumlah bayi dan penduduk muda. Ancaman justru datang dari jumlah lansia yang makin banyak,akibat jumlah bayi dan penduduk muda yang amat banyak di masa lalu.

Kalau angka kelahiran terus menurun, ancaman peledakan jumlah lansia akan makin besar karena proporsi penduduk muda, yang mendukung penduduk lansia,akan makin kecil. Indonesia akan mengalami kekurangan tenaga kerja muda. Kalau hal itu terjadi, Indonesia akan mendatangkan tenaga kerja asing?

Oleh sebab itu, penurunan angka kelahiran janganlah menjadi target kebijakan pembangunan Indonesia.Sediakan alat kontrasepsi yang murah, aman, dan mudah didapatkan, tetapi tujuannya bukan menurunkan angka kelahiran. Tujuannya: memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat kontrasepsi yang murah,aman, dan mudah didapat.●
ARIS ANANTA Peneliti Senior di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411353/

Managing Paradox

ELIEZER H HARDJO:

Dalam tahap ketiga era revolusi industri saat ini (pertama bahan bakar batu bara,kedua bahan bakar minyak,ketiga ilmu pengetahuan/ informasi), semakin lama tantangan dalam bisnis yang memerlukan penanganan yang lugas menjadi semakin menguat, karena jika tidak akan membuat kita tertinggal atau ditinggalkan.

Situasi dan kondisi yang menjadi tantangan, tuntutan dan sekaligus merupakan paradoks, beberapa di antaranya: bagaimana menghasilkan produk yang berkualitas, bahkan lebih unggul dari pesaing namun dengan harga yang lebih murah; meningkatkan keuntungan bagi para pemegang saham namun sekaligus harus melakukan banyak kegiatan sosial sebagai tanggung jawab terhadap masyarakat.

Paradoks, di mana dua hal yang berseberangan yang harus dikelola secara paralel––bersamasama pada saat yang bersamaan, bukan merupakan sebuah opsi untuk memilih salah satu. Kemajuan dalam teknologi informasi dan telekomunikasi menjadi salah satu jalan keluar.

Namun, pada saat yang sama juga menjadi faktor yang dapat melumpuhkan apabila kita tidak dapat mempergunakannya dengan benar.Indikasi yang terlihat akan peran kedua faktor revolusioner ini adalah perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa teknologi informasi dan telekomunikasi semakin berkembang dan menguasai semua aspek.

Prof Tom Cannon, seorang Profesor Strategic Development dari University of Liverpool, UK, pernah melakukan riset selama lebih kurang lima belas tahun dan menyimpulkan ada delapan paradoks yang harus ditangani dengan baik untuk dapat menolong perusahaan bertahan dan berkembang secara sehat.

Pertama, act now for the long term (bertindak sekarang untuk jangka panjang). Jangan hanya berpikir untuk hari ini, namun setiap program dan rencana harus juga berdampak terhadap dan di masa depan. Kedua, growth through consolidation (bertumbuh melalui konsolidasi); banyak yang berpikir bahwa konsolidasi merupakan periode untuk berhenti atau istirahat dari proses pertumbuhan, tidak demikian seharusnya.

Justru konsolidasi harus berjalan terus menerus. Ketiga,building individualistic teams (membangun tim yang bersifat individualis); ada hal-hal yang harus dilakukan secara tim,namun cara berpikir dan bertindak perlu dilakukan secara individu, seperti halnya main sepak bola.

Keempat, getting more for less (memperoleh lebih banyak atau lebih besar dengan biaya lebih murah atau usaha sedikit). Kelima, thinking local, acting global (berpikir lokal, namun bertindak secara global); kita sering mendengar ungkapan ”think globally, act locally” dengan pemikiran bahwa di tiaptiap negara kita melakukan strategi yang berlaku secara global untuk diterapkan secara lokal.

Keenam,simultaneous growth of economic regionalism and economic nationalism (pertumbuhan ekonomi serentak antara regionalisasi dan nasionalisasi). Ketujuh,winning through actionorientedreflective ( memenangkan melalui refleksi berorientasi tindakan). Kedelapan,consolidating internal capabilities while reengineering (konsolidasi kemampuan internal sementara melakukan reengineering); terus menerus membangun kompetensi internal untuk berkompetisi eksternal, memiliki daya tahan dan daya juang tinggi yang akanmemperkokohdaya saingdi masa depan.

Bagaimana kita dapat mengimbangi keadaan yang mendesak atau menekan kita karena adanya pengaruh dari globalisasi, keberanekaragaman industri, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang ikut mencuatkan kedelapan paradoks tersebut, bahkan akan lebih banyak lagi di masa yang akan datang?

Pertama, perlu melakukan restrukturisasi organisasi dengan mengurangi lini untuk mempercepat proses dan mengurangi birokrasi. Sekarang zamannya organisasi yang dinamis, bergerak cepat, actionoriented. Organisasi dibentuk bukan relation-based tapi harus competency-based.

Kedua, memanfaatkan teknologi informasi dan telekomunikasi.Tidak selalu harus melakukan investasi sendiri, sekalipun itu yang terbaik, tersedia jasa outsourcing untuk dimanfaatkan. Mereka yang memperoleh informasi paling dulu cenderung akan memenangkan perlombaan.

Ketiga, memilih tenaga-tenaga profesional kunci yang berjiwa intrapreneurship, pandai memanfaatkan bahkan menciptakan peluang bagi perusahaan. Keempat, membentuk creative team yang visioner, yang terus menerus memikirkan hal-hal yang kreatif, inovatif dan mempunyai daya jangkau pikir ke masa depan,sekian puluh tahun mendatang.

Kelima, fokus terhadap outcome/ output bagaimana meningkatkan proses,kecepatan, kapasitas, termasuk dalam menggunakan mesin-mesin yang canggih dan fleksibel, multifungsi dapat dipergunakan untuk berbagai variasi produk.

Ada banyak cara lainnya yang dapat anda kembangkan sesuai dengan kondisi perusahaan anda, tapi setidaknya dengan anda melakukan lima hal di atas sebagian besar paradoks yang Anda hadapi akan dapat Anda tangani dan selanjutnya terus menerus melakukan penyesuaian. Tidak pernah ada kata terlambat jika Anda mulai melakukannya sekarang. DR ELIEZER H HARDJO PHD, CM Anggota Dewan Juri ReBi & Institute of Certified Professional Managers (ICPM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411339/

Mahalnya Biaya Politik, Buruknya Pelayanan Publik

ANTON A SETYAWAN:

Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dua minggu lalu mengungkapkan turunnya popularitas Partai Demokrat karena keterlibatan beberapa pengurus partai dan anggota DPR dari Fraksi Demokrat dalam kasus korupsi.


Kasus korupsi terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Keterlibatan kader parpol dalam kasus korupsi di era Reformasi ini semakin banyak.

Partai Demokrat tidak sendirian menjadi parpol yang kadernya terlibat korupsi, partai lain seperti Partai Golkar, PDIP, PKS,PAN, dan partai lain yang mempunyai kursi di parlemen tidak bebas dari kader yang terlibat korupsi.

Sekalipun sering kali keterlibatannya sudah terang benderang, kesan yang ditangkap publik terkait pengusutan keterlibatan kader parpol yang tersangkut korupsi sangat lamban. Publik kemudian menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi lamban karena parpol saling menyandera dalam penyelesaian kasus korupsi.

Pelayanan Publik

Sesengit apa pun parpol saling berperang dan berebut lahan korupsi, selalu saja publik yang menjadi abu.Masalah yang paling dirasakan adalah sektor pelayanan publik yang belum memuaskan. Padahal Indonesia butuh sektor pelayanan publik yang mumpuni untuk menopang kemajuan rakyatnya yang berdikari,yang masih bisa maju sekalipun para wakilnya sedang sibuk korupsi.

Sebagai sebuah negara dengan penduduk hampir 237 juta orang (BPS, 2010) dan penghasilan per kapita penduduk mencapai USD3.000, Indonesia adalah negara berkembang dengan prospek ekonomi sangat cerah. Studi yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini mencapai 30 juta orang.

Studi lain yang dilakukan Indonesia Forum menunjukkan bahwa pada 2025 perekonomian Indonesia tumbuh pesat dan penghasilan per kapita negara ini sama dengan negara-negara maju. Selama ini yang menjadi salah satu indikator negara berkembang dengan prospek ekonomi cerah adalah kualitas pelayanan publik yang disediakan penyelenggara negara.

Anehnya, hal inilah yang tidak terjadi di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara dengan kualitas pelayanan publik yang buruk. Indikator yang paling mudah adalah dengan melihat fakta bahwa negara tidak mampu menyediakan jaminan kesejahteraan sosial bagi rakyat.

Pertanyaannya mengapa pemerintah tidak mampu? Apakah kondisi keuangan pemerintah tidak mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional? Penulis mencoba melakukan sebuah perhitungan kasar kemampuan keuangan Pemerintah Indonesia. Sumber keuangan pertama adalah APBN yang saat ini mencapai Rp1.200 triliun.

Fakta empirik menunjukkan setiap tahun kemampuan penyelenggara negara untuk menyerap anggaran hanya 70%.Misalnya jumlah tersebut ditambah dengan angka defisit,maka sebenarnya setiap tahun masih ada sisa anggaran. Apakah sumber keuangan pemerintah hanya pajak saja?

Ternyata tidak karena sumber dana yang diperoleh dari kontrak karya migas dan pertambangan angkanya cukup besar. Penulis mempunyai data laporan keuangan dari sebuah perusahaan migas multinasional yang menyebutkan keuntungan bersih mereka dari operasional eksplorasi minyak bumi di Indonesia mencapai Rp150 triliun.

UU Migas menyebutkan perusahaan asing mitra BP Migas dalam kontrak karya eksplorasi migas mendapatkan 20% dari keuntungan bersih ditambah dengan biaya pemulihan (recovery cost). Artinya dari satu perusahaan migas besar tersebut pemerintah dalam hal ini BP Migas harusnya mendapatkan setoran sebesar Rp750 triliun atau lebih dari tiga per empat APBN.

Kita bisa membayangkan berapa penerimaan yang diterima pemerintah dari ratusan kontrak karya dalam eksplorasi pertambangan dan migas. Pertanyaannya dengan sumber penerimaan negara sebanyak itu, mengapa pemerintah tidak mampu membiayai pelayanan publik di Indonesia?

Biaya Politik Mahal

Khalayak pembaca tentu dengan mudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karena semua disebabkan kejahatan korupsi yang mengakar di negeri ini.Reformasi tahun 1998 lalu mempunyai tujuan agar proses demokrasi politik di Indonesia berjalan dengan baik sehingga ada transparansi penyelenggaraan negara.

Namun saat ini kehidupan demokrasi di Indonesia berujung pada lingkaran setan biaya politik yang mahal. Kita bisa melihat berapa miliar rupiah yang harus dikeluarkan seorang politikus untuk menjadi anggota Dewan di tingkat pusat maupun daerah. Belum lagi miliaran rupiah yang juga harus keluar dari calon presiden, gubernur, dan wali kota/bupati untuk membiayai kampanye mereka.

Partai politik juga membutuhkan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Ringkasnya, para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai kedudukan politik. Hal ini berakibat, pada saat berkuasa, mereka mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan.

Imbal balik “investasi”para politikus ini adalah dana penyelenggaraan negara yang mereka selewengkan dengan berbagai cara.Beberapa bagian dana penyelenggaraan negara masuk ke kantong pribadi, tetapi banyak juga yang masuk ke kas parpol untuk dana kampanye di masa mendatang.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak parpol besar yang mempunyai kursi di parlemen mengincar beberapa departemen dan BUMN yang basah demi menjaga kelancaran sumber pendanaan politik mereka. Alhasil, anggaran dan penerimaan negara yang sedianya dipergunakan untuk membiayai pelayanan publik diselewengkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Hal ini yang sebenarnya terjadi di balik kasus M Nazarudin, Nunun Nurbaeti, dan politisi lain yang terlibat kasus korupsi besar di negeri ini.Pertanyaan terakhir adalah apakah mereka bertindak atas nama individu dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau partai yang “menugasi” mereka mencari dana kampanye atau malah kombinasi dari keduanya? Pembaca silakan menentukan sendiri jawabannya.● ANTON A SETYAWAN Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411355/