BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Koreksi atas Pendidikan Kewarganegaraan Kita

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.44

Koreksi atas Pendidikan Kewarganegaraan Kita
J. Sumardianta GURU SMA KOLESE DE BRITTO, YOGYAKARTA

Pendidikan kewarganegaraan telah menimbulkan sikap sinis dan antipati terhadap lemba- ga-lembaga politik kenegaraan dan cara masyarakat dipim- pin. Pelajaran itu tidak mem- beri petunjuk realistis tentang cara bertindak di wilayah pub- lik. Pedagogi hitam ini kontra- produktif.

Wacana perubahan kurikulum pendidikan nasional sedang mengemuka. Kurikulum harus segera diubah dengan memasukkan kembali materi ajar nilai-nilai Pancasila, seperti kerukunan, musyawarah, dan gotong-royong. Perubahan bukan hanya pada tataran materi, tapi juga hingga metodologi pengajaran yang lebih mengedepankan edukasi ketimbang indoktrinasi. Materinya harus lebih mudah dicerna dan aplikatif. Menempatkan pendidikan Pancasila sebagai bagian pendidikan kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan Pancasila.
Mengapa sosialisasi nilai-nilai Pancasila sangat mendesak? Pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang difasilitasi negara telah merosot sekadar pelatihan menjadi bodoh (stupidifikasi). Mata pelajaran wajib dari kelas I sekolah dasar (tahun pertama) sampai kelas III sekolah menengah atas (tahun ke-12) bersifat mengulang, menjemukan, dan sering tumpang-tindih dengan pelajaran sejarah.

Sejak tahun pertama hingga tahun ke12, PKn menjadi ajang indoktrinasi politik yang diulang-ulang secara sistematis yang bermuara pada ambisi ideologi nasional— ideologi yang secara keblinger gandrung keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Konsepsi ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan seakan beres bila sudah dihafalkan.

Mencari makna kebenaran dari konsep itu dalam kehidupan nyata sehari-hari hanya akan membuat para siswa dan guru nervous, frustrasi, dan sakit hati. Bunuh diri merajalela di kalangan siswa karena diteror kemiskinan. Sementara itu, koloni kaum kaya dari kalangan koruptor mengapung di tengah samudra keserakahan dan ketidakpedulian. Rasa bosan dan jemu hanya bisa dilupakan setelah para siswa menamatkan pendidikan. PKn jadi tampak konyol dari perspektif pedagogi.

Para siswa disuguhi fakta yang diulangulang yang ditempatkan dalam kerangka ideologi yang juga bersifat tautologis. Sama sekali tidak ada konfrontasi dengan kehidupan nyata yang setiap hari dialami para siswa. Individualisme, materialisme, dan konsumerisme, misalnya, sebagai ekses dari kemakmuran ekonomi yang menim

bulkan konflik dan disintegrasi sosial sama sekali diabaikan. Tak mengherankan bila pelajaran PKn malah memadamkan selera belajar siswa. Penyajian buku yang tawar ikut berjasa membunuh rasa ingin tahu (kuriositas) siswa.
Keutamaan PKn, yang masuk rumpun bidang studi ilmu sosial, seperti dayanya untuk menjelaskan dan potensinya untuk membiasakan generasi muda berpikir reflektif, ditindas proyek legitimasi negara.
Proyek ideologis itu tidak memberikan apa pun sebagai acuan beridentifikasi.Tak mengherankan bila generasi muda di kotakota besar Indonesia lalu mengidentifikasi diri dengan budaya massa dengan segala eksesnya: mal, kafe, narkoba, teknologi digital, dan seks liar. Pendeknya permisif, banal, ganas, dangkal, serba bebas, dan serba boleh.

Dua belas tahun siswa disuguhi slogan negara yang menyanjung-nyanjung diri sendiri dan secara abadi memperlakukan warga sebagai penduduk yang tidak becus hingga senantiasa perlu digiring. Kesan yang muncul, pelajaran PKn (Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006) adalah propaganda. Setali tiga uang pelajaran pendahulunya, PMP (Kurikulum 1984) dan PPKn (Kurikulum 1994), apa yang diajarkan tidak pernah dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Menurut antropolog Niels Mulder (2000), setiap tindakan pedagogis yang bertujuan memproduksi kebudayaan dapat disebut sebagai kekerasan simbolik yang sah. Kekerasan itu timbul dari relasi kuasa yang tersembunyi dalam tindakan pedagogis.
Pedagogi yang berlumuran kepentingan ideologi jelas tidak mengajari para siswa bernalar. Siswa terbelenggu rasa bosan dan geli karena inkonsistensi pelajaran dengan realitas, argumen yang aneh, pemakaian bahasa yang tidak tepat, dan mengulang-ulang omong kosong. Bangsa Indonesia adalah bangsa Pancasilais, tapi mengapa ringan senjata dan terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah? Elite politik Indonesia sangat fasih berpidato tentang pemerintahan bersih, tapi mengapa pada saat yang sama tak punya urat malu menjadi parasit negara sebagai koruptor?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menyantuni harmoni sebagai esensi nilainilai ketimuran, kendati demikian meng apa mereka gampang beringas dan brutal semata-mata demi kepuasan amuk massa?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi persatuan, tapi mengapa etnis Tionghoa dan jemaah Ahmadiyah tak putus dirundung pengejaran dan penganiayaan bila Indonesia sedang didera krisis? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berperikemanusiaan, tapi mengapa orang miskin perkotaan dan pedagang pasar tradisional rawan penggusuran dan pembumihangusan? Para siswa tahu inkonsistensi telanjang itu karena mereka melek surat kabar, televisi, media online, dan situs jejaring sosial.

Pedagogi seperti ini melecehkan kecerdasan dan kewarasan para siswa. Pelajaran PKn menjadi sia-sia, pemborosan ranah publik, tidak mengindahkan logika, dan sama sekali tidak melatih kemampuan berpikir analitik. PKn telah menimbulkan sikap sinis dan antipati terhadap lembagalembaga politik kenegaraan dan cara masyarakat dipimpin. Pelajaran itu tidak memberi petunjuk realistis tentang cara bertindak di wilayah publik. Pedagogi hitam ini kontraproduktif.

Memasukkan kembali kebajikan (virtue) dan nilai (value) Pancasila dalam pengajaran harus dipersiapkan dengan cermat dan matang. Pancasila, harus diakui, telah lama terbengkalai bagaikan kitab tua: dibuang sayang, dibaca jarang. Generasi muda zaman sekarang disebut digeraty (anak kandung zaman digital). Sedangkan generasi sebelumnya yang diasuh Pancasila termasuk kategori dharmaty (pendatang baru dunia digital).

Ketidakmampuan menjembatani kesenjangan digeraty yang cenderung berpikir artifisial dengan dharmaty yang berpikiran substansial bisa melahirkan lingkaran setan baru stupidifikasi. Sekolah terus diperlakukan layaknya keranjang sampah kurikulum guna mengatasi persoalan-persoalan akut negara kebangsaan--padahal sekolah bukan solusinya. Stupidifikasi harus diubah menjadi gratifikasi--perasaan total dan larut dalam kegiatan belajar karena siswa terpenuhi kebutuhan eksistensi dan aktualisasinya. Gratifikasi, lebih-lebih di ranah pendidikan, hanya bisa diwujudkan bila guru bisa menjauhkan murid dari pembodohan.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/24/ArticleHtmls/24_05_2011_011_011.shtml?Mode=1

Reformasi Jilid II Sulit Terwujud

RMOL. Reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim Orde Baru. Tapi sayang setelah 13 tahun berjalan belum membuat kebangkitan bagi bangsa Indonesia.

Bekas Ketua MPR Amien Rais mengatakan, ada tiga penyebab belum tercapainya tujuan reformasi. Pertama, penegakan hukum tidak berjalan. Kedua, skala korupsi ma­sih tinggi dan cenderung semakin liar karena desentralisasi sering digunakan untuk melaku­kan praktek-praktek korupsi. Ketiga, ada penurunan rasa ke­bangsaan, persatuan, keke­luar­gaan, dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia dari masya­rakatnya.

“Hal-hal yang sudah kita petik dari buah reformasi itu sangat banyak. Misalnya aman­deman Undang-Undang Dasar 1945, penerapan otonomi daerah, meng­­hapus dwi fungsi ABRI, munculnya banyak partai politik, dan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara lebih cair dan tidak mencekam,” ungkapnya di sela-sela diskusi bertajuk “Refleksi 13 Tahun Reformasi: Mewujudkan Cita-Cita yang Tertunda” di Jakarta, pekan lalu.

Menurut bekas Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, tidak terlaksananya beberapa agenda reformasi membuat kelompok middle class menjadi resah. Tapi kebanyakan rakyat belum ada gejolak. Kelompok mahasiswa pun cenderung tenang saja.

Makanya, kata bekas Ketua Umum PAN tersebut, sulit me­wujudkan reformasi jilid II. Sebab, psikologi bangsa Indo­ne­sia saat ini berbeda dengan refor­masi 13 tahun lalu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang perlu dilakukan untuk terlaksananya semua agenda reformasi itu?
Dalam reformasi, kita cukup melakukan tiga hal saja. Pertama, menghabisi korupsi, ini harus benar-benar dilakukan oleh apa­rat penegak hukum seperti KPK, kejaksaan dan kepolisian. Jangan ada sandiwara dalam proses pem­berantasan korupsi tersebut. Kedua, presiden harus memimpin dan memberikan contoh kepada rakyatnya untuk bergerak maju menyaingi bangsa lain.

Ketiga, harus ada rekonstruksi mental untuk memperbaiki men­tal bangsa kita yang sudah dijang­kiti bahaya korupsi di mana-mana. Ini merusak mental bangsa kita, mulai dari puncak piramid kekuasaan hingga ke bawah.

Bagaimana dengan ko­mit­men presiden dalam mem­be­ran­tas korupsi?
Hal itu yang masih menjadi persoalan, komitmen presiden be­lum dibuktikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Ini di­karenakan presiden sebagai pe­mimpin bangsa belum memim­pin secara langsung upaya terse­but, sehingga agenda pemberan­tasan korupsi masih terseok-seok.

Anda yakin KPK bisa me­nun­taskan masa­lah korupsi?
KPK itu sebenarnya punya taring yang kuat. Tapi kenapa seolah-olah taringnya itu seka­rang terbuat dari karet, lemah untuk memberantas korupsi. Misalnya kasus Nunun Nurbaeti, KPK se­bagai lembaga superbody tidak mampu memanggil seorang Nunun. Saya rasa ini aneh saja.

Sur­vei Indobarometer me­nyebut rakyat rindu Orba...
Saya kira dalam menanggapi hal tersebut, tidak perlu berle­bihan seperti orang kebakaran jenggot. Yang penting dilakukan memperbaiki kinerja peme­rintah SBY yang sisa 3,5 tahun ini, se­­hingga bisa lebih baik.

Saya sebagai sahabat beliau tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengharapkan ketegasan SBY dalam menghadapi masalah yang mendera bangsa ini. Kan jarang presiden dipilih oleh 65 persen suara. Itu artinya rakyat di bela­kangnya, sehingga beliau tidak usah berpikir macam-macam dan terus saja jalan ke depan untuk menyelesaikan agenda yang belum terwujud.

Apa dengan survei itu menan­dakan rakyat Indonesia belum siap berdemokrasi?
Begini ya, rakyat Indonesia itu selalu melihat ke atas. Apa yang dilakukan di atas maka akan di­ikuti akyat. Rakyat kita ini masih cenderung feodal, masih menga­nut prinsip “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, kalau elit belum bisa ber­demo­krasi maka jangan paksakan rakyat untuk berdemokrasi.

Bagaimana menurut Anda MPR sekarang?
Pada masa saya memimpin MPR, lembaga itu pamornya masih tinggi karena waktu itu tu­gasnya benar-benar riil. Misal­nya, dulu ada Badan Pekerja yang tiap tahun merundingkan dan mencermati plus-minus tiap pasal kemudian dirundingkan akan diperbaiki atau tidak. Tapi kan saat ini badan pekerja itu sudah tidak ada lagi di MPR.

Apa yang perlu dilakukan MPR?
Wewenang MPR yang paling tinggi itu adalah memilih presi­den, tetapi wewenang itu seka­rang sudah dicopot, sehingga MPR hanya melakukan sosiali­sasi Undang-Undang Dasar 1945. Sosialisasi tersebut harus benar-benar masif untuk dilakukan, sehingga masyarakat tahu dan sadar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Lalu, apabila akan dilakukan amandemen, saya mengha­rap­kan untuk dipikir secara cermat dan matang. Artinya, amande­men itu ha­rus bersifat funda­men­tal. Jangan sampai keliru. Sebab, ma­sih banyak agenda reformasi yang belum dilaksa­nakan. [RM]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=28037

Awas, Kebangkitan Nasional Berubah Kebangkrutan Nasional

RMOL.Reformasi sudah berjalan selama 13 tahun, tapi tidak membawa perubahan terhadap kesejahteraan rakyat.

“Ini berarti reformasi sudah gagal,’’ ujar bekas Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut pendiri Maarif Insti­tute itu, pemimpin yang muncul pasca era reformasi dianggap tidak terlatih dan instan karena di masa lalu tidak ada proses pe­nyiapan pemimpin masa depan.

Momentum kebangkitan nasio­nal, lanjutnya, hendaknya bangsa Indonesia bisa memfungsikan kembali peran lembaga legislatif sesuai dengan tugas dan kewa­jibannya untuk menyusun produk undang-undang sesuai amanat rakyat.

“Perlu ada upaya perbaikan dalam legislasi kita. Sebab, agenda reformasi birokrasi serta reformasi politik belum terjadi. Kita harus terus mendorong agar keberadaan mereka bisa ber­fungsi dan bisa menjalankan tugasnya secara konkret,” pa­parnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Bukannya kita memiliki masyarakat sipil yang kuat untuk memperbaiki kondisi bangsa?

Itu benar. Demokrasi bisa ber­jalan dengan baik. Salah satunya ditopang masyarakat sipil yang kuat. Kelompok masyarakat ter­sebut sebenarnya sudah bergerak terus-menerus, tapi belum bisa dikoordinasikan dengan baik mengenai langkah strategis maupun ide gerakannya.

Di hari Kebangkitan Nasio­nal, apa yang perlu dilakukan?

Kita harus membuka mata, hati, dan telinga untuk melihat dan memahami permasalahan bangsa yang tidak kunjung tuntas. Misalnya kasus Lapindo dan Century yang tidak tuntas hingga sekarang. Selain itu, se­jumlah rekayasa kasus. Apabila ini tidak segera dituntaskan maka kita terus berspekulasi. Ini bera­kibat pada tidak fokusnya arah pembangunan untuk kesejahte­raan rakyat.

Bagaimana Indonesia ke depan?

Jangan sampai momentum ke­bangkitan nasional ini berubah menjadi kebangkrutan nasional. Ini yang perlu diwaspadai. Maka­nya kita harus bangkit. Ke­bang­kitan ini bisa terjadi apa­bila kita melakukannya secara bersama-sama.

Bagaimana dengan usaha pem­berantasan korupsi?

Korupsi terus terjadi. Ini sudah melenceng dari tujuan kemer­de­kaan yang diatur dalam pembu­kaan Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaannya apakah kita sudah mendekati tujuan tersebut.

Saya rasa tidak, UUD 1945 itu kan produk hukum yang paling baku dan konstitusional. Kondisi ini bisa dikatakan bahwa kita tidak semakin dekat kearah per­baikan.

Bagaimana dengan ideologi transnasional yang memun­culkan radikalisme?

Saya rasa ideologi ini tidak akan laku. Indonesia harus benar-benar memfungsikan Pancasila hingga masyarakat. Apabila hal ini tidak bisa dijalankan, maka gerakan ini bisa tumbuh subur dan melakukan tindakan yang mengancam stabilitas sosial, politik dan ekonomi kita.

Bagaimana dengan marak­nya teror?

Saya rasa teror yang terjadi adalah akibat lemahnya negara dan aparat dalam mengantisipasi dan menindak pelaku teror. Se­lain itu, dalam penanganan teror. Polisi hendaknya bertindak se­cara profesional, sehingga korban salah tangkap dan salah tembak tidak terjadi lagi.

Menurut Anda bagaimana peran pemuda sekarang ini?

Sebenarnya kita harus yakin dulu bahwa kita bisa melakukan perubahan terhadap negeri ini. Kalangan pemuda harus memi­liki semangat optimisme karena mereka merupakan gerbong pe­rubahan. Makanya, kaum muda jangan tenggelam dalam idealis­me musiman. Misalnya, idealis bila di luar kekuasan. Tapi begitu masuk kekuasaan, tengge­lam dalam kekuasaan itu.

Selain itu, pemuda juga harus mengenal Indonesia untuk men­jaga semangat kebangsaan yang ada di negeri ini, karena Indo­nesia adalah sebuah negara yang plural. [RM]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27896

Strauss-Kahn dan Reformasi IMF

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn akhirnya mengundurkan diri. Setelah Kahn mundur, isu suksesi berembus kencang.Beberapa negara berkembang seperti China,Brasil, India,menyerukan agar proses pencalonan untuk posisi nomor satu di IMF dilakukan secara transparan.


Hal ini disampaikan sebagai upaya menentang dominasi Eropa atau Amerika Serikat di dua lembaga keuangan dunia, baik di IMF maupun di Bank Dunia. Sebelumnya Afrika Selatan, Brasil,dan Meksiko terangterangan menyatakan ingin mendapatkan kesempatan lebih banyak di IMF sebagai bentuk keterwakilan kepentingan negara-negara berkembang.

Namun keinginan negara berkembang tampaknya harus berhadapan dengan Eropa yang berambisi menjadi pengendali IMF. Dua kali krisis keuangan global terakhir telah memunculkan berbagai usulan dan perdebatan terkait perombakan sistem keuangan global.Negara berkembang yang didukung PBB dan sebagian negara Eropa, misalnya, berkeinginan kuat mengembalikan dua lembaga keuangan tersebut pada “khitah”-nya.

Dalam menapaki usianya yang ke-67, baik IMF maupun Bank Dunia telah menyimpang dari mandat awal. Berbagai formula ekonomi-politik, terutama penerapan liberalisasi pasar modal yang terlalu cepat, telah mempertajam destabilisasi ekonomi dunia. Bank Dunia dan IMF didirikan atas rekomendasi konferensi PBB tentang moneter dan keuangan internasional di Bretton Woods,Amerika Serikat (AS), Juli 1944.

IMF merupakan bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian dunia, khususnya Eropa, yang hancur akibat depresi tahun 1930-an dan Perang Dunia Kedua. Dua dekade kemudian, setelah Eropa pulih, kucuran kredit Bank Dunia dan IMF dialihkan ke negara-negara berkembang.

Pada dasarnya IMF adalah lembaga publik yang didanai oleh pembayar pajak dari seluruh dunia. Meski demikian, IMF “sekadar” bertanggung jawab kepada para menteri keuangan dan direktur bank sentral negara-negara anggotanya, bukan kepada rakyat pembayar pajak atau kepada masyarakat yang menjadi kelompok sasaran berbagai programnya.

“ Kontrol”atas IMF dilakukan oleh perwakilan negara anggota lewat pengambilan suara yang rumit dengan bobot suara masing-masing negara ditentukan oleh kekuatan ekonominya. Tak mengherankan bahwa negara-negara industri memiliki bobot suara terbesar dengan AS sebagai satu-satunya pemegang hak veto.

Menurut IMF dan Bank Dunia, reformasi ekonomi neoliberal adalah pil pahit yang mutlak dibutuhkan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan bakal menaikkan taraf hidup masyarakat miskin.Namun kenyataan berbicara lain.Kebanyakan negara berkembang terjebak dalam utang luar negeri, yang menggerogoti devisa.

Selama ini bunga utang yang dibayar negara-negara berkembang telah jauh melampaui jumlah utang luar negeri mereka. Sejak krisis Asia (1997), wibawa Bank Dunia dan IMF sebenarnya telah merosot tajam.Kritik pun berdatangan, termasuk dari kubu konservatif yang selama ini menjadi sekutunya. Laporan Meltzer yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat kritik keras atas dua lembaga ini sebagai “penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif,”( 2005).

Keinginan Negara Berkembang

Boleh jadi,akibat merebaknya kritik tajam sejak beberapa tahun terakhir, dan terutama sejak kepemimpinan Kahn,IMF kemudian mengajukan tuntutan yang terasa cukup adil agar para debitur swasta diwajibkan memberikan kontribusinya dalam pengurangan utang negara berkembang.

Selain itu, IMF juga mengusulkan agar diberlakukan penyelesaian kepailitan (insolvency) lewat sustainable debt restructuring mechanism bagi negara yang mengalami kesulitan pembayaran. Meski, usulan tersebut kemudian kandas oleh perlawanan dari komunitas perbankan internasional dan veto Kongres AS.

Krisis keuangan global juga memperkuat keinginan adanya kontrol yang lebih ketat atas arus dana global untuk menghindari dampak destabilisasi aliran dana. Sistem yang berlaku di Malaysia, kerap menjadi contoh,di mana investor portofolio diharuskan menaruh deposito di Bank Sentral sebagai jaminan.

Pengikut aliran ini mengusulkan sebuah sistem pengamanan regional. Dalam kaitan ini, Jepang pernah mengusulkan sebuah Asian Currency Funds. Usulan yang ditolak AS, meski kemudian secara provokatif diterapkan di beberapa negara Amerika Latin lewat pembentukan Banco del Sur sebagai tandingan IMF (dan Bank Dunia).

Selain itu, ada pula usulan untuk membentuk World Financial Authority (WFA), yang membiarkan berbagai lembaga regulasi global untuk tetap hidup.Mirip seperti yang diusulkan Perdana Menteri China Wen Jiabao pada KTT ASEM di Beijing (2008),bahwa sistem keuangan global membutuhkan lebih banyak regulasi demi menjamin keamanan bersama.

Keynesian global perspective ini memperoleh dukungan cukup luas di negara berkembang, termasuk PBB yang menjadi benteng terakhir kelompok Keynesian setelah neoliberalisme mendominasi Bank Dunia dan IMF. Terkait efektivitas, banyak yang meragukan keberhasilan kontrol dana secara global dan memilih kontrol secara nasional karena lebih mudah dan dianggap lebih berpeluang untuk berhasil.

Keberhasilan China dan India menghindari krisis keuangan 1997,diajukan sebagai bukti. Dengan kelompok Keynesian, terdapat kesamaan visi, bahwa sebuah Asian Currency Funds diperlukan dan sangat mungkin untuk dilakukan. Satu hal bisa dipastikan.Tatanan baru dunia memunculkan aktor, aturan, dan kelembagaan baru.

Hal ini memicu perebutan kekuasaan, terkait kepemimpinan dalam lembaga Bretton Woods di mana Bank Dunia sebagai “jatah”AS, sedangkan Eropa mendapatkan IMF. Saat ini kekuatan baru menginginkan hak suara lebih. Meski kecil, “jatah” tersebut mulai diberikan. Sejak kepemimpinan Kahn, misalnya, chief economist Bank Dunia adalah seorang warga negara China, seorang warga Afrika Selatan menjadi “bos”Komite Reformasi IMF.

Zhou Xiaochuan, yang pernah menjadi penasihat Kahn dan kini menjabat Gubernur Bank Sentral, digadang-gadang oleh China untuk menjadi orang nomor satu di IMF.Apakah kekuatan besar negara berkembang ini mampu mendobrak benteng Eropa yang biasanya mendapatkan “jatah”? ● IVAN A HADAR Pengamat Ekonomi-Politik Internasional, Co-Pemimpin Redaksi Jurnal SosDem

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401517/

Di Mana Posisi Indonesia?

Pertemuan tahunan KTT ASEAN dilakukan dengan agenda utama persiapan menuju ASEAN Community 2015.Pertemuan di Jakarta pada awal Mei lalu juga menghasilkan beberapa kesepakatan untuk mewujudkan terbentuknya Masyarakat ASEAN.

Di antara 10 kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT ASEAN tersebut, salah satunya komitmen untuk segera mewujudkan konektivitas ASEAN. Apa sebenarnya manfaat Masyarakat ASEAN bagi Indonesia? Akankah Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan besar dari agenda ini? Tentu tidak mudah untuk menyimpulkannya.

Saat ini masih ada gap yang cukup lebar antara keyakinan pemerintah di satu sisi dan kekhawatiran masyarakat di sisi lain. Pemerintah sangat optimistis dengan menyebut sederet peluang yang akan diperoleh Indonesia. Sementara di pihak lain masyarakat pesimistis bukan hanya Indonesia tidak mendapat manfaat, tetapi justru mendapatkan kerugian saja.

Perdagangan bebas ASEAN dengan China (ACFTA) yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi Indonesia selalu menjadi pembandingnya.Memang benar ada manfaat ACFTA bagi masyarakat konsumen karena saat ini dapat menikmati berbagai produk dengan harga lebih murah.Akan tetapi di sisi produksi,ACFTA telah menimbulkan biaya besar dengan terjadinya deindustrialisasi.

Demi Investor

Pada Bali Concord II bulan Oktober 2003 ditetapkan tiga pilar untuk merealisasikan visi ASEAN, yakni ASEAN Economic Community, ASEAN Security, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Di bidang ekonomi, bersatunya ASEAN dinilai sangat penting baik dilihat dari sisi konsumsi maupun sisi pasok karena Masyarakat ASEAN akan menjadi pasar yang sangat besar (single regional market) dan sebagai basis produksi yang efisien (regional production based).

Integrasi ekonomi ASEAN ini akan memberikan konsekuensi pada dihapuskannya semua hambatan investasi dan perdagangan, baik tarif maupun nontarif untuk memperlancar aliran barang dan jasa, modal maupun tenaga kerja. Selain itu, semua aturan di seluruh negara ASEAN juga harus diharmonisasikan dan disederhanakan sehingga investor ASEAN akan bebas memasuki sektor yang semula masih tertutup.

Tentu saja integrasi ASEAN akan menjadi kawasan ekonomi yang sangat menarik bagi investor-investor raksasa dunia. Tidak mengherankan bila para menteri ekonomi Indonesia sering menyatakan bahwa prioritas pembangunan ekonomi Indonesia yang paling utama adalah bersolek dan berlomba untuk menarik investasi yang akan masuk ke kawasan ASEAN.

Jargon debottlenecking pun dikampanyekan Presiden SBY ke seluruh daerah. Bahkan kemudian sering disederhanakan menjadi “menghilangkan segala hambatan yang mengganggu investor”. Tanpa strategi industrialisasi, baik di pusat maupun daerah, tentu langkah ini menjadi berbahaya karena debottlenecking akhirnya diartikan sebagai menyediakan segala sesuatu yang diminta investor.

Akhirnya, tidak peduli apakah pasar tradisional dan ritel kecil akan tersingkirkan, yang penting sektor ini harus dibuka untuk investor kakap asing yang sudah tidak tahan melihat potensi pasar ritel Indonesia.

Juga tidak ingat lagi apakah lembaga keuangan mikro yang telah mengakar dengan budaya masyarakat di setiap daerah akan tergusur, yang penting liberalisasi harus dilakukan karena lembaga keuangan bank maupun nonbank asing sudah sangat ingin menjadikan masyarakat perdesaan Indonesia sebagai pasar barunya.

Demi de-bottlenecking, tidak sempat dipikirkan lagi apakah batu bara penting bagi penyediaan energi di daerahnya di masa depan, yang penting izin harus segera diberikan karena investor-investor besar dunia sudah siap menggelontorkan dana.

Memosisikan atau Diposisikan

Tidak mengherankan bila dalam membangun industri, pemerintah pusat maupun daerah akhirnya tidak lagi menjadi tuan dan pengatur pengelolaan ekonomi di negeri sendiri. Pemerintah di setiap negara digiring untuk sekadar sebagai penyedia segala persyaratan yang diperlukan untuk memperlancar bisnis para pemilik modal global.

Pada akhirnya, menyongsong terbentuknya Masyarakat ASEAN,setiap negara di kawasan ini akan berdandan dan saling berlomba untuk menarik investasi lebih banyak. Maka tidak jarang mereka lupa apa yang menjadi agenda utama pembangunan ekonominya dan lupa pada kepentingan nasionalnya.

Karena pada dasarnya secara tidak sadar telah menyerahkan agenda kepada multinational corporation (MNC). Pemilik modal yang akan merencanakan ASEAN akan menjadi pasar apa dan produsen apa. Dengan strategi outsourcing, MNC akan memetakan strategi industri di 10 negara ASEAN.

Untuk produk elektronik misalnya,Malaysia akan menjadi produsen electronic equipment dengan medium technologykarena kesiapan SDM yang relatif berpendidikan dan berketerampilan. Adapun Filipina akan menjadi basis produksi peralatan elektronik dengan teknologi rendah.

Sementara Indonesia, dengan kondisinya saat ini, sangat mungkin akan dipetakan sebagai pemasok bahan baku dan bahan mentahnya saja. Hal yang sama akan terjadi pada berbagai sektor industri. Bila ini yang terjadi, saat ASEAN telah terintegrasi sebagai basis produksi,Indonesia akan menjadi pencipta nilai tambah minimal.

Tanpa ada strategi dan implementasi yang jelas, Indonesia tidak akan mampu memosisikan dirinya untuk mendapatkan manfaat maksimal. Indonesia dipaksa untuk ikhlas bila diposisikan oleh para pemilik modal dunia sebagai penyedia energi,bahan baku, dan bahan energi bagi industri-industri di ASEAN.

Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpikir dan bekerja keras untuk menyiapkan diri dalam empat tahun yang tersisa. Bila tidak mampu, terpaksa pemerintah harus menahan malu dan berupaya mencari terobosan untuk menunda implementasi Masyarakat ASEAN karena taruhannya adalah kesejahteraan masyarakat.● HENDRI SAPARINI Direktur Eksekutif Econit

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401513/

Politikpreneur

Lebih dari 30 tahun lalu, seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) memberikan wejangan kepada dokter-dokter muda yang baru saja diwisuda.Meski guru besar itu telah lama berpulang, pesannya masih tetap saya ingat.


”Menjadi dokter itu baik, demikian juga menjadi pedagang.Yang tidak baik adalah mengawinkan keduanya.” Pesan itu ada baiknya juga disampaikan oleh para ketua, dewan pembina,dan pengurus partai politik: Menjadi politikus itu baik, demikian juga menjadi wirausahawan.

Yang tidak baik adalah menggabungkan keduanya. Penggabungan itu bentuknya sangat luas, tetapi intinya cuma satu, yaitu menggunakan kekuasaan untuk mengejar kekayaan. Kewirausahaan yang menyandang makna inovasi dan ketabahan mengelola rasa frustrasi dari investasi jangka panjang pupus di gedung-gedung parlemen.

Demikian juga dengan pendidikan dan kerja keras.Semua itu menjadi tidak penting, dan maknanya telah diganti dengan kata-kata kunci seperti komisi,suap,bagi-bagi, tekan, ancam, kunci, dan seterusnya. Politikpreneur yang harusnya dimaknai sebagai upaya politisi membangun negara dengan jiwa kewirausahaan kini telah berubah menjadi ”cara cepat menjadi kaya dan berkuasa melalui partai politik.

”Lantas apa yang menjadi output dari politikpreneur seperti ini? Saya kira Anda sudah bisa menduga: Kegaduhan, dramadrama konflik, sampai kemiskinan, impor bahan-bahan pangan (yang tidak perlu) melonjak, perebutan izin-izin pertambangan, subsidi yang salah sasaran,gedung sekolah roboh, subsidi obat dan alat-alat kesehatan yang tidak tepat sasaran, sampai segala bentuk ekonomi biaya tinggi, dan kemacetan- kemacetan di pelabuhan. Politikpreneur telah menimbulkan kerusakan yang sangat besar di negeri ini.

Dimulai dari kepala negara yang kesulitan mengangkat ”The best possible candidate” untuk mengisi pos-pos strategis (mulai dari menteri, dubes, komisaris, dan direksi perusahaanperusahaan milik negara, sampai kepala-kepala badan) yang mengurus nasib bangsa. Lalu kesemrawutan anggaran banyak berbelok pada kantong-kantong yang salah.

Konflik antarkelompok masyarakat, pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dikuasai orang-orang yang tidak tepat.Obat murah dan alat-alat kesehatan yang tidak dinikmati rakyat miskin, jalan rusak parah, sampah membumbung,penjara penuh, pestisida dan pupuk pupuk kimia bertebaran di lahan-lahan pertanian yang berakibat pada munculnya hamahama baru dan seterusnya.

AtoD Politikpreneur

Kalau ada merek mobil AtoZ, dalam politikpreneur dikenal AtoD. Setidaknya ada empat karakter (ABCD) politikpreneur yang menyulitkan rakyat ini harus segera dibersihkan, yang terdiri atas abal-abal,Boboho,cukong,dan diplomat. Abal-abal adalah elite palsu, yang terdiri atas para sarjana dengan embel-embel gelar lainnya yang berpurapura elite, gemar mengutakatik peraturan, sering muncul di televisi sebagai pakar.

Mereka juga masih menyandang label sebagai konsultan, pengacara, atau profesi terpandang lainnya. Meski dilarang berpraktik, pekerjaan-pekerjaan profesional itu cuma dipindahtangankan secara tidak resmi. Honornya masih menjadi main income politisi abal-abal.Dengan kekuasaan baru, peluang untuk berusaha bahkan makin besar.

Mereka pandai bicara, tetapi kepiawaiannya hanya dipakai untuk bertengkar,adu kuat yang membuat orang lain takut, atau seakan-akan dia terlihat kuat, punya kekuasaan. Kekuasaan abal-abal itulah yang dipakai untuk mendapatkan bisnis. Boboho bisnis lain lagi. Politisi tipe ini punya modus yang berbeda.

Mereka ini bukanlah juru bicara resmi dari partainya, melainkan suaranya lebih genit dari jubir resmi dan muncul lebih sering di depan media. Meski suaranya tak elok, mereka punya kualitas bicara seenaknya seperti orang dungu. Boboho adalah sosok yang dipelihara orang-orang tertentu untuk berperan mengacaukan kebenaran.

Dia melempar bola-bola panas sehingga yang salah bisa menjadi benar, dan yang benar bisa menjadi salah. Lain lagi dengan cukong. Mereka ini adalah politikpreneur yang sedari awal terlihat kaya, murah hati, dan mudah menabur uang.Tak banyak yang mengetahui dari mana uang sebanyak itu dimilikinya. Cukong juga berperilaku halus, tidak senang konflik, apalagi muncul di media massa.

Baginya menjadi orang terkenal adalah bencana. Dengan cara demikian, seorang cukong menjadi mulus beroperasi, kasak-kusuk tanpa diketahui publik. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai ancaman oleh sesama politisi. Dalam sidang mereka lebih senang guyon daripada bicara kasar.

Namun, dengan itu pulalah, dia menjadi mudah mengatur suara kebanyakan politisi. Jika seseorang tidak senang usahanya diganggu eksekutif, impornya dilarang, atau ada satu saja pasal undang-undang baru yang sedang dibahas perlu dihapus, serahkanlah kepada cukong,semua bisa dibereskan. Cukong adalah pemberi terbesar karena dia mendapatkan bagian yang paling besar.

Selain itu, ada juga diplomat yang bermain dua arah. Mereka tahu siapa yang harus diajak bicara halus dan siapa yang harus ditekan.Jadi wajar bila mereka hidup dengan dua wajah. Di sini baik, di depan sidang bisa galak. Hari ini gelap,besok terang benderang. Diplomat adalah seorang marketer sekaligus seorang salesman.

Dia mengatur bola-bola panjang dan bermain bola-bola pendek. Kaki yang satu menembus tembok, yang satunya lagi mengambil dari luar. Tentu saja masih ada bentuk- bentuk lain dengan segala kelicinannya.Namun, sementara ini kita batasi saja pada empat modus politikpreneur yang membuat hidup rakyat menderita.

Sekarang bayangkan kalau mereka masingmasing punya usaha yang ada hubungannya dengan eksekutif, atau katanya demi keuangan partai. Modusnya mulai tampak terang benderang. Mulai dari impor daging sapi, bumbu dapur, sampai ikan kembung. Dari jalan tol sampai menyewakan crane di pelabuhan.

Wiraetika

Kewirausahaan sendiri sebenarnya bukanlah upaya untuk mengejar kekayaan. Seorang wirausaha menjadi kaya bukanlah tujuan, melainkan akibat, yaitu akibat dari kejujuran, kesungguhan,kemampuan menciptakan layanan yang prima, dan memberi nilai tambah. Seorang wirausaha tanpa etika adalah penipu, penjahat yang layak dimusuhi bersama.

Sekarang ini kita lebih banyak disuguhi nilai-nilai yang jauh dari fondasi kewirausahaan di dalam panggung politik. Dengan pelakupelaku yang demikian, Indonesia telah dibentuk menjadi negeri penuh sampah dan amarah, pestisida, pupuk-pupuk kimia, korupsi dan perampasan, konflik, dan kebencian karena para politikpreneur bermain di ruang yang salah.

Kalau etika mau ditegakkan, bukan sekadar larangan mengunjungi tempat-tempat yang tidak patut yang harus ditegakkan, melainkan juga berhentilah mencari uang selain dari gaji dan tunjangantunjangan yang telah diberikan negara.

Menyambi sebagai pengacara secara diam- diam,menjadi perantara proyek,konsultan kementerian yang administrasinya diurus kawan-kawannya, calo proyek, pengutip anggaran, atau apa saja jelas melanggar etika. Bukan kesejahteraan yang akan dituai, melainkan kesulitan-kesulitan besar menjadi beban rakyat sekarang dan di masa depan. RHENALD KASALI Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401543/

Terorisme, Densus 88, dan Akuntabilitas Polri

Novel Ali Dosen Fisip Undip dan anggota Kompolnas

Bagaimanapun kuatnya pengakuan kita terhadap Densus 88, terduga teroris benar-benar telah/ sedang/akan melakukan perbuatan/tindakan antikemanusiaan yang sangat keras, sekaligus sangat jahat dan kejam."

B ERBAGAI studi meng urai akar terorisme adalah keyakinan ideologi, yang mencuat ke atas permukaan dalam ranah sosiologis-politis. Dari aspek ideologi, kita melihat betapa kuatnya terorisme bermuara dari paradigma teologis yang menetes dalam ekspresi keagamaan. Keyakinan itu membentuk pemahaman teks tertentu sebagai legitimasi aksi kekerasan dalam bentuk teror.
Atas nama `Tuhan', kelompok manusia tertentu, yang tidak mewakili agama tertentu (apa pun agama itu), melakukan tindakan terorisme yang bergerak pada ruang ideologi subjektif. Mereka cenderung bersikap tertutup dalam pilihan tafsir keagamaannya, di samping antidialog dan antikritik.

Itu sebabnya mengapa pelaku terorisme umumnya merupakan kelompok yang kebal kritik, sulit atau bahkan mustahil diajak berdialog, dan kuat mempertahankan pilihan tafsir keagamaan secara sepihak. Di samping itu, pada umumnya, mereka cenderung mengafirkan pihak lain yang tidak berkeyakinan dan bergagasan sama, sebagaimana mereka. Ciri dan proses penguatan kelompok mereka ditandai dengan kekuatan ekstra yang berkaitan dengan penyempitan makna universalitas kemanusiaan.

Penyempitan makna itu berdampak kepada perwujudan relasi yang asimetris antara kelompok teroris dan dunia luar mereka. Akibatnya, terorisme hampir selalu dikaitkan dengan refl eksi radikalisme dan fundamentalisme, sebagaimana ciri terorisme. Sementara terorisme itu sendiri adalah pergerakan antiketidakadilan dunia, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan kepada ‘dunia penguasa’, yang dinilai tidak sejalan dengan kehendak teroris.

Selama akar permasalahan itu tidak tercabut, ancaman terorisme dapat bersifat permanen, baik dalam skala global, teritorial, nasional, maupun lokal. Di situlah kesulitan utama penghapusan terorisme disebabkan subjektivitas ideologis, pola pikir, dan perilaku tertutup. Dengan begitu, seluruh ideologi, keyakinan, gagasan, dan norma apa pun, selama tidak terdapat kesesuaian dengan apa yang dianut kelompok yang dimaksud, dianggap sebagai sesuatu yang mutlak salah.

bersikap ekstra hati-hati dalam menyikapi terorisme.
Meskipun pemerintah kita tetap perlu bersikap tegas dalam memerangi terorisme, sikap antiterorisme pemerintah Republik Indonesia itu hendaknya tidak terjebak oleh polarisasi deduksi, yang meng analogikan terorisme dengan agama tertentu. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, pemerintah Indonesia dituntut untuk benar-benar mampu menjaga perasaan mayoritas penduduknya.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri merupakan organ negara yang bertugas memerangi terorisme. Sudah banyak prestasi Densus 88 dalam mencegah dan menindak terorisme di negara kita, kendati keberhasilan tersebut menyisakan tudingan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Terakhir, masyarakat luas memperoleh informasi tentang niat Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mencari fakta di lapangan, terkait dengan tewasnya Nur Iman, pedagang warung hik atau angkringan, saat penyergapan tersangka

teroris di Sukoharjo (14/5).
Komnas HAM menduga telah terjadi salah tembak dalam peristiwa tersebut.

Bahkan, Komnas HAM akan meminta Kapolri untuk mempertanggungjawabkan anggotanya yang terlibat dalam kasus itu. Komnas HAM menilai pergerakan para teroris

sudah diamati polisi. Karena itu, polisi seharusnya dapat mengurangi dampak penggerebekan terduga teroris, yang mungkin berimbas pada masyarakat .
Tewasnya terduga teroris dalam berbagai tindakan Densus 88 melawan terorisme di ne geri ini sangat sulit dihindari, terutama akibat perlawanan bersenjata dari kelompok terduga teroris itu. Fakta tersebut secara umum tidak mendorong maraknya opini publik yang buruk terhadap Densus 88, khususnya, dan Polri, pada umumnya. Sebab, hal itu dianggap wajar oleh masyarakat.

Kendati demikian, kritik keras dari masyarakat atas kekasaran atau kekerasan tindakan anggota Densus 88 selalu muncul, baik terhadap terduga teroris (hidup), maupun jasad terduga teroris (mati).

Guna mencegah opini publik yang negatif, Densus 88 perlu benar-benar mematuhi seluruh protap (prosedur tetap) dalam setiap tindakan, sesuai dengan tugas dan kewenangan normatif mereka. Landasan standar operasional prosedur Densus 88 ini mutlak dibutuhkan untuk mencegah kesan Densus 88 sebagai lembaga superbody, sekaligus kebal hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut, seluruh kebijaksanaan, sikap, serta tindakan lembaga dan anggota Densus 88 harus benar-benar profesional, proporsional, dan terukur.

Semua itu diperlukan bukan

hanya demi akuntabilitas Densus 88 itu sendiri, melainkan juga untuk akuntabilitas Polri secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, Densus 88 Antiteror Polri merupakan organ Polri, subordinasi Polri, dan subsistem Polri sehingga seluruh reputasi dan prestasi Densus 88 akan merefl eksikan reputasi dan prestasi Polri secara keseluruhan.
Dalam rangka membentuk akuntabilitas Densus 88, khususnya, dan akuntabilitas Polri, pada umumnya, penulis menyarankan beberapa hal berikut. Pertama, Densus 88 tidak boleh mengesampingkan harapan publik agar mereka (anggota Densus 88) tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Kedua, Densus 88 harus memprioritaskan tangkap hidup-hidup terhadap teroris, dalam rangka mengungkap jaringan terorisme.

Ketiga, bila terjadi perlawanan dari terduga teroris, anggota Densus 88 harus tetap mengutamakan keselamatan jiwa dan raga mereka sendiri, tanpa harus terpancing untuk memuntahkan peluru panas ke arah tubuh terduga teroris. Sebab, dalam setiap serangan terhadap terorisme, seyogianya melumpuhkan lebih diprioritaskan ketimbang memusnahkan (membunuh).

Ini merupakan langkah ideal, tanpa harus menanggung risiko keselamatan anggota Densus 88 itu sendiri, secara keseluruhan.
Keempat, setiap personil Densus 88 harus benar-benar bisa menjamin kebijaksanaan, sikap, dan tindakan mereka agar tetap berada dalam bingkai koridor hukum, di samping sama sekali tidak boleh keluar dari jalur hukum. Itu sekaligus akan dipertanggungjawabkan secara scientifi c crime identifi cation (SCI), yang diakui dunia internasional. Berlandaskan jalur hukum dan SCI, metode dan teknik perlawanan terhadap pelaku terorisme di Indonesia oleh Densus 88 itu diharapkan tidak cuma dapat diuji dari aspek regulasi normatif, tetapi juga dari aspek kebenaran material, secara ilmiah.

Kelima, setiap tindakan anggota Densus 88 harus benar-benar jauh dari kesan tidak profesional, brutal, ceroboh, dan mengabaikan hak-hak sipil. Di samping itu, mereka pun tidak boleh mengesankan extrajudicial killing. Bagaimanapun kuatnya pengakuan kita terhadap Densus 88, terduga teroris benar-benar telah/sedang/ akan melakukan perbuatan/ tindakan antikemanusiaan yang sangat keras, sekaligus sangat jahat dan kejam.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/26/ArticleHtmls/26_05_2011_015_038.shtml?Mode=0

Survei : Indonesia Tempat Usaha Terbaik

LONDON– Indonesia ternyata merupakan negara yang paling ramah bisnis di dunia. Survei BBC World Service : menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki budaya terbaik di dunia bagi orang-orang yang memulai bisnis baru.


Indonesia bahkan mengungguli Amerika Serikat (AS), Kanada, India, dan Australia. Sebaliknya, Kolombia,Mesir,Turki, Italia, dan Rusia memiliki kultur yang kurang maju dalam inovasi dan kewirausahaan. Survei yang dilaksanakan oleh GlobeScan/PIPA dengan 24.537 responden di 24 negara itu menanyakan kepada responden tentang perasaan mereka kalau hendak memulai bisnis di negara mereka.

Survei dilaksanakan Juni sampai September 2010. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam survei misalnya apakah negara mereka menghargai kreativitas, inovasi, kewirausahaan, dan apakah ide-ide bagus bisa mudah diterapkan. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara yang paling ramah wirausaha di dunia,unggul tipis dari AS.

Direktur GlobeScan, Doug Miller, menjelaskan, jawabanjawaban responden dalam jajak pendapat ini akan mencerminkan kinerja ekonomi negara mereka masing-masing. Perbedaan besar dalam kultur kewirausahaan di antara negara-negara yang sedang tumbuh akan berdampak terhadap kinerja perekonomian mereka dalam rentang waktu tertentu.

”Sebagai contoh,sangat menarik untuk melihat apakah pikiran positif orang Indonesia akan membuat mereka lebih maju dibanding Brasil yang relatif merasa kurang bersemangat,” ujar Miller seperti dilansir BBC kemarin. Jajak pendapat menemukan bahwa mayoritas orang di 23 dari 24 negara yang disurvei merasa bahwa mereka akan menghadapi masalah berat untuk memulai bisnis.

Brasil muncul sebagai negara yang paling rendah skornya.Di negara ini, 84% sepakat bahwa memulai bisnis sangat berat. Dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia, AS dan China, disebut sebagai negara yang paling disukai dalam inovasi dan kreativitas. Di kedua negara ini, 75% mengatakan, negara mereka menghargai inovasi dan kreativitas.

Indonesia berada di posisi teratas dengan angka 85%. Di posisi bawah, 65% orang Turki dan 61% orang Rusia merasa inovasi dan kreativitas tidak dihargai di negara mereka. Adapun semua negara maju yang disurvei pada umumnya mendapat skor atau nilai di atas rata-rata.

Namun,di Eropa Barat, Italia, dan Spanyol mendapatkan skor rendah dibandingkan dengan penilaian persepsi lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pengusaha di Jerman, Prancis, dan Inggris. Beberapa negara berkembang dinyatakan sebagai negara propengusaha.

Seperti India, China, dan Nigeria yang dinilai masyarakatnya sendiri sebagai tempat yang relatif menguntungkan untuk bisnis baru. Dalam hal wilayah, negaranegara Asia Timur dan Pasifik yang disurvei menerima nilai yang tinggi. Tiga negara di sub-Sahara Afrika juga mencetak nilai di atas rata-rata.Tapi, di wilayah lain lebih bervariasi.
Di Amerika Latin, Meksiko, dan Peru mencetak nilai relatif tinggi, tetapi Brasil dan Kolombia mendapat nilai jauh di bawah rata-rata.

Hasil Dipertanyakan

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM),Sri Adiningsih, mempertanyakan hasil penelitian yang menempatkan Indonesia sebagai negara terbaik untuk memulai bisnis.Berdasarkan data yang dimilikinya, hanya sektor usaha mikro yang mampu berkembang di Tanah Air.

Adapun kondisi usaha dengan skala menengah dan kecil justru sebaliknya. Dia menyebutkan, dalam kurun waktu 2005-2009, jumlah usaha menengah berkurang 50.000 usaha, sedangkan bisnis kecil menyusut hingga 500.000 usaha. Data itu membuktikan masih ada hambatan dalam berbisnis ataupun berwirausaha di Indonesia.

Sri menuturkan, berbagai hambatan itu datang dari regulasi hingga sarana dan prasarana yang kurang mendukung perkembangan usaha. ”Masih banyak yang mengeluhkan pungutan liar, tidak ada jaminan atau kepastian hukum ketika memulai usaha, sampai pada infrastruktur yang tidak memadai,” ujar Sri kepada SINDO tadi malam.

Hambatan-hambatan tersebut membuat iklim usaha di Indonesia tidak kompetitif. Terlepas dari kondisi yang ada saat ini, untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat ramah bisnis dan kewirausahaan diperlukan berbagai langkah dan upaya yang serius, terutama untuk membenahi dan menyelesaikan persoalan yang kerap dikeluhkan pelaku usaha.

Pemerintah perlu tanggap dan segera melakukan pembenahan di tingkat regulasi agar memberikan kepastian hukum.” Pembenahan itu mutlak dan harus dilakukan segera agar iklim investasi, iklim usaha terbangun dengan baik,” ucapnya. BBC/susi/wisnoe moerti

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401769/

Partai di Belitan Korupsi

Kita juga berharap adanya perbaikan sistem hukum mengenai kepartaian, termasuk aturan penggunaan dana dalam kontestasi pemilu, bahkan pembiayaan partai. Lebih besar lagi, perbaikan aturan secara menyeluruh perihal pembiayaan demokrasi.
Bisakah? Mampukah?
Sulit untuk menjawabnya saat ini karena itulah kerja kita bersama."
Zainal Arifin Mochtar Pengajar ilmu hukum dan Direktur Pukat Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta RELASI antara partai dan korupsi tidak mungkin untuk dinafi kan. Sejarah mencatat kepentingan kelompok yang digerakkan elite tertentu dan partisan partai punya keterkaitan erat dengan perilaku koruptif yang dilakukan untuk mengeruk uang negara.

Apalagi, jika sudah bermain pula dengan kepenting an usaha para pemi lik modal.

Kepentingan pemilik modal akan menyaru ke proses pengambil an kebijakan melalui elite partai yang menjadi pejabat negara.
Mudah ditebak jika kemudian pengambilan keputusan dan kebijakan negara menghamba pada kepentingan-meminjam istilah Jeffrey Winters (2011)--para oligark yang merupakan elite sekaligus pemilik modal. Merekalah yang tengah menguasai negeri ini.

Data, semisal Global Corruption Barometer yang dilansir setiap tahunnya, juga secara `langganan' menempatkan partai dan parlemen sebagai sarang korupsi, di berbagai negara. Itu semakin menancapkan kesan bahwa partai punya keterkaitan erat dengan korupsi, hal yang jamak terjadi di berbagai negara, bukan cuma Indonesia.

Namun, harus diakui dalam berbagai hal di Indonesia jauh lebih buruk dan berimbas pada berbagai bidang. Itu terbaca sebagai suatu hal yang lumrah dan terjadi secara masif. Itu bisa dibaca dari corruption perception index yang sampai saat ini ha nya berayun tipis ke poin 2,8 (dari skala 10,00).

Wajar jika kita kemudian makin waswas dengan kenyataan itu. Apalagi, memang di negeri ini tidak cukup banyak tenaga kuat untuk melakukan pemberantasan secara hukum.
Tingginya tingkat koruptif partai dan perlemen disempurnakan buruknya penegakan hukum karena masalah mafia peradilan.

Mafia yang menguasai sistem peradilan sehingga keadilan yang ditegakkan hanya `seakan-akan'. Seakan-akan sudah berjalan, seakan-akan sedang ditegakkan, bahkan hukuman yang jatuh juga hanya seakan-akan hu kuman. Tidak sampai di s i t u pada pro ses dipenjarakan pun, hanya seakana k a n dipenjarakan. Gagal sistem hulu ke hilir yang berakibat fatal tentunya.

Dari keseluruhan sistem penegakan hukum, yang cenderung masih bisa diandalkan hanyalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.

Dua unsur yang paling muda dalam sistem penegakan hukum antikorupsi itulah yang kolaborasinya masih menimbulkan rasa waswas bagi para koruptor. Itu pun masih dengan kata `cenderung'. Pertanyaan besar kadang-kadang masih hinggap ke KPK yang masih belum menunjukkan performa `penuh' sebagai lembaga negara independen yang luar biasa yang juga diharapkan luar biasa dalam kerja-kerjanya.
Permainan partai Mengapa partai di Indonesia penuh dengan kemungkinan permainan kotor? Mudah menjawabnya jika dikaitkan dengan kesehatan partai. Secara hakiki, sulit melihat ada partai yang benar-benar sehat, paling tidak dari dua indikator, yakni kepemilikan basis massa dan-kedua--adanya ketersediaan dukungan finansial yang riil.

Partai di Republik ini mengalami penyakit yang sama, tidak cukup sehat dari keduanya.
Pola yang terbentuk menjadi sangat standar. Partai kemudian berorientasi untuk menambah pengasilan sebanyak-banyaknya agar dapat membiayai partai untuk mendapatkan basis dukungan.

Uang banyak yang dipupuk partai bertu juan menuai kesetiaan pemilih dan suara mereka da lam Pemilu. Semua cara, baik legal maupun ilegal, dilakukan untuk menambah pundi-pundi partai yang akan digunakan sebagai asupan gizi dalam proses pemilihan umum kelak.

Karena itu, gejala pemilu berbiaya mahal terjadi karena terjadi kompetisi antarpartai politik untuk merebut hati konstituen dengan tawaran uang.
Bahwa masih ada yang tidak sepenuhnya bermain uang tidak mungkin untuk dimungkiri, tetapi bahwa model pembelian suara konstituen sangat jamak merupakan hal lain yang tidak bisa dinafikan.

Wajar jika dalam konteks itu, sangat jarang ada partai yang bisa tegas dan keras terhadap perilaku fungsionaris yang kedapatan atau terbukti bermain-main dengan uang negara.

Bahkan, sulit untuk berharap banyak mereka ikut mengambil tempat dalam upaya menertibkan oknum internal partai yang bermain dengan berbagai hal yang berbau koruptif. Merenda harapan Kuatnya hubungan antara partai politik, bahkan parlemen, dan konsep koruptif tentu menimbulkan banyak pertanyaan yang sangat, termasuk hingga ke dalam pertanyaan filosofis yang tentunya membutuhkan banyak pengayaan wacana dan perdebatan. Semisal, jangan-jangan inilah pertanda gagalnya demokrasi liberal yang dibina sekian lama dengan model kepartaian dan sistem perwakilan. Bisa jadi `ya' dan mungkin juga `tidak'.
Akan tetapi, tetapi harus ada yang diagregasi dan dilakukan dalam upaya menyelesaikan kelindan persoalan bangsa. Mencari jawaban yang mungkin di antara sekian banyak persoalan bangsa. Barangkali, salah satu yang paling penting ialah penegakan hukum yang kuat. Inilah tantangannya. Seperti yang telah dituliskan, dari lembaga penegak hukum yang ada, ha nya KPK yang dianggap paling mampu. Itu pun dengan catatan, yakni KPK sendiri harus sadar pada maqam (kedudukan) mereka yang lembaga luar biasa yang diberikan kewenangan memotong keterpurukan bangsa akibat daya kerja merusak korupsi beraktor politik. KPK harus mampu (able) dan mau (will) untuk mengambil peran penting tersebut.

Itu juga dengan catatan dukungan masyarakat sipil yang kuat. Tanpa dukungan tersebut, gejala KPK melawan politik dan partai sering kali berbuah `serangan balik' yang dengan mudah bisa melumpuhkan KPK. Beberapa perkara waktu lalu telah memperlihatkan potret tersebut. Artinya, pun ketika harapan disandarkan pada KPK, upaya masih banyak yang harus dilakukan untuk perbaikannya.

Internal partai pun kita harapkan bisa memberikan sumbangan yang berarti. Dengan segala catatan, apa yang dilakukan Partai Demokrat dengan memberhentikan bendahara umum mereka hal yang patut diapresiasi meski masih jauh dari kesan ideal.

Karena itu, kita berharap ada, meminjam istilah Ahmad Wahib, semacam `mualaf pembaru' dalam tubuh partai yang mau mendorong ke arah perbaikan di tengah gelimang kekotoran permainan partai.
Orang-orang yang barangkali mau mencoba menegakkan sistem dan mekanisme internal kepartaian untuk mem bunuh virus kebusukan partai yang berpeluang membunuh demokrasi itu sendiri.

Dalam kasus yang membelit Partai Demokrat, kita berharap besar Partai Demokrat mau menjadi pendorong perbaikan dan bukan melanggengkan kebiasaan yang ada selama ini, aktor partai kotor yang kemudian dibela mati-matian oleh partai. Kita berharap, mereka mau membuka diri dan memperbaiki partai karena itulah tantangan di sistem demokrasi.

Kolaborasi antara prosesi internal partai dan p e n e gakan hukum yang kencang sangat kita harapkan se bagai jawaban dari upaya untuk membersihkan kekotoran partai.
Jika internal partai bisa menggerakkan mekanisme internal mereka secara baik, penegakan hukum bisa menjadi turbin penggerak secara kuat.

Mekanisme internal yang lebih berimplikasi etik dan model penegakan hukum yang lebih bernilai secara hukum pun masih tidak cukup. Kita juga berharap adanya perbaikan sistem hukum mengenai kepartaian, termasuk aturan penggunaan dana dalam kontestasi pemilu, bahkan pembiayaan partai. Lebih besar lagi, perbaikan aturan secara menyeluruh perihal pembiayaan demokrasi.

Bisakah? Mampukah? Sulit untuk menjawabnya saat ini karena itulah kerja kita bersama. Kerja bersama dalam menegakkan demokrasi yang memang pada hakikatnya ialah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Semacam merenda harapan untuk kita, seluruh rakyat Indonesia.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_017_003.shtml?Mode=0

Reinkarnasi UU Badan Hukum Pendidikan

Faizi Pemerhati pendidikan, mahasiswa magister studi Islam UII Yogyakarta



MASIH segar da lam ingatan ke tika Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), beberapa waktu lalu. Sebuah putusan yang amat sangat tepat bukan karena melanggar UU 1945 terutama tentang kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan layak bagi warga negara, melainkan yang jauh lebih penting ialah menjauhkan institusi pendidikan dari spirit kapitalisme.

Pasalnya, manakala logika kapitalisme merasuki sendisendi institusi pendidikan, dengan sendirinya semangat pendidikan yang mengarah ke pencerdasan mental kehidupan bangsa akan termarginalkan.

Spirit liberalisme pendidikan akibat penyakit bawaan ideologi kapitalisme tersebut akan sangat mudah kita jumpai di lapangan. Orang kaya bebas memilih sekolah sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki, sebaliknya orang miskin bebas untuk tidak memilih sekolah karena pertimbangan minimnya biaya.

Dengan demikian, pendidikan hanya milik orang kaya dan orang miskin dilarang untuk mengakses pendidikan.
Jangankan mengakses, sekadar bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas orang miskin sepertinya tidak mempunyai daya dan upaya ke arah sana.
Itulah logika liberalisme pendidikan yang amat sangat sederhana.

Mencermati Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (PT) yang sedang digodok DPR seolah mengembalikan ingatan kita pada UU BHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pakar pendidikan Suyatno bahkan menilai hampir 80% isinya tidak relevan lagi karena porsi pengaturan tata kelola kampus sangat menonjol dan amat sangat mirip dengan UU BHP (Republika, 22/2/2011). Logika kapitalisme pendidikan Setidaknya ada dua hal penting yang harus menjadi catatan kritis terhadap RUU PT itu. Pertama, pemerintah sepertinya lepas tanggung jawab dalam hal pembiayaan. Pendidikan di perguruan tinggi seolah hanya disibukkan tata kelola kampus dengan menafikan peningkatan daya saing kualitas pendidikan dengan masih melibatkan peserta didik dalam memikul beban biaya pendidikan.

Dalam konteks itu, aroma lepas tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan sangat kuat. Pasal 88 ayat (3) menyatakan `mahasiswa menanggung 1/3 (sepertiga) biaya operasional perguruan tinggi'. Lagi-lagi, hak warga negara menikmati fasilitas pendidikan memadai dari negara tidak terakomodasi dengan sempurna.

Tampaknya pemerintah terjebak pada logika pasar pendidikan yang sudah begitu menggurita. Privatisasi pendidikan yang selama ini berlaku di negara kita dengan dalih aksi bersama masyarakat itu sebenarnya adalah pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat dalam bidang pendidikan. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab itu kepada publik sehingga pendidikan menjadi jasa yang diperjualbelikan.

Hanya mereka yang memiliki uang banyaklah yang mendapatkan pendidikan bermutu dan berstandar internasional.
Hal itu jelas bertentangan dengan UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi hak konstitusi sebagaimana dimuat dalam Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi, `(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang'.

Filosofi bisnis menjadi salah satu landasan dalam praktik pengelolaan pendidikan oleh pihak swasta. Aset untuk investasi dan kapitalisasi merupakan pertimbangan yang lazim dalam dunia bisnis yang juga diterapkan dalam dunia pendidikan. Melalui landasan seperti itu, lembaga pendidikan swasta atau asing selalu sintas dan unggul baik pada tampilan fisik ataupun pada kualitas output dan outcome pendidikan.

Dengan dukungan modal (kapital) yang besar, mereka mampu mendirikan bangunan dan lingkungan pendidikan (sekolah atau kampus) yang luas dan megah dengan ditunjang fasilitas pembelajaran yang memadai. Mereka mampu membuka jurusan atau fakultas keilmuan yang baru dan relevan dengan tuntutan persaingan zaman oleh tenaga pengajar yang ahli di bidang masingmasing. Pelanggan mereka pun dijanjikan dan dijamin puas dengan layanan akademis yang dimiliki (Hayadin, 2008).

Kedua, pemerintah tampak nya ingin mengembangkan PT berbasis kuantitas alih-alih kualitas. Hal kuantitas pendirian PT versus kualitas PT ini tampak pada Pasal 8 RUU PT yang menyatakan setiap satu kabupaten/kota akan berdiri sedikitnya satu PT setingkat akademi. Akademi itu akan didanai bersama oleh pe merintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk level provinsi, pemerintah juga beren cana untuk mem bangun setidaknya satu PT. Tampaknya hal tersebut memiliki tujuan mulia, yaitu memeratakan ting kat pendidikan tinggi warga masyarakat di seluruh penjuru Tanah Air. Namun, apakah niat mulia itu telah dilakukan dengan metode yang tepat? Sesungguhnya, gelar kependidikan sebagai `produk' dari PT memiliki posisi yang berbeda dengan produk-produk perusahaan/industri. Apabila produk di suatu perusaha an ditemukan kecacatan, produk tersebut dapat ditarik kembali. Namun, lain halnya dengan poduk PT. Seorang hakim lulusan suatu PT, misalnya, tidak akan pernah ditarik kembali untuk `diperbaiki keilmuannya', ketika dia gagal dalam menerjemahkan rasa keadilan masyarakat melalui putusanputusannya.

Selain itu, metode pengembangan PT berbasis kuantitas mengakibatkan anggaran menjadi tidak efektif. Alokasi anggaran pendidikan yang seharusnya dapat difokuskan untuk penguatan sumber daya manusia (SDM)--berupa beasiswa, subsidi pendidikan, dan lain-lain--akan banyak tersedot l ke pembangunan sarana fisik k perguruan tinggi yang akan dibangun di tiap-tiap provinsi/ kabupaten/kota (Richo Andi Wibowo, 2011).
Investasi masa depan Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan pun dan di mana pun ia berada.
Pendidikan sangat penting sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang.
Dengan demikian, pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda, Jepang, mengemukakan sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebab dasarnya pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting disebabkan masyarakat Indonesia, mulai yang awam hingga politikus dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi pada mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang dan jauh ke depan.

Bagi para penganut teori human capital, sebagaimana dideskripsikan Walter W McMahon dan Terry G Geske dalam buku berjudul Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity terbitan University of Illionis, nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun nonmoneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah ke pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang supercanggih (Faza Amanah, 2010).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan invest in man not in building, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.
Kembali ke UUD 1945 Belajar pada negara-negara maju di dunia ini, hampir dapat dipastikan pengembangan sektor pendidikan mendapatkan prioritas lebih jika dibandingkan dengan sektor yang lain.
Amerika Serikat dengan tokoh Thomas Jefferson, Jerman dengan Otto Von Bismark, dan Jepang dengan Meiji. Ketiga negara tersebut telah menetapkan pendidikan sebagai landasan pembangunan bangsa.

Dalam konteks Indonesia, spirit pembangunan bangsa melalui pendidikan termaktub kuat dalam landasan bernegara kita. Dalam pembukaan UUD 1945 sangat jelas disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa pemerintah yang menurut deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut.
Di antaranya dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga pemerintah masih menghayati amanah konstitusi tersebut.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_026_003.shtml?Mode=0

CALAK EDU Demokrasi dan Kapitalisme Pendidikan

Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Nilai-nilai saling percaya seakan pudar, bahkan hilang, dalam tatanan sosialbudaya kita. Janganjangan itu implikasi negatif berkembangnya faham demokrasi liberal dan kapitalisme."

MARI kita bayang kan bagaimana sean dainya pendidikan hanya dikelola masyarakat tanpa campur tangan pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa setiap proses dan pelembagaannya pasti menggambarkan bagaimana masyarakat itu sebenarnya. Jika pertanyaannya dibalik, yaitu pemerintah saja yang mengelola pendidikan tanpa campur tangan masyarakat, yang terjadi pastilah kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, dan penetrasi kebijakan sepihak tanpa kontrol dan keterlibatan masyarakat.
Dua kondisi tersebut pastilah bukan gambaran ideal bagaimana dunia pendidikan seharusnya dikelola. Sebagai negara yang menganut nilainilai musyawarah dan kegotongroyongan, jelas pilihan pengelolaan pendidikan secara bersama (partnership model) merupakan kata kunci yang harus terus diuji. Ketika orang banyak bahkan menggugat apa peran besar pendidikan dalam proses berlangsungnya pembangunan di Indonesia, kita tampak masih terus berkutat memaknai sistem pendidikan sebagai se suatu yang salah.

Fakta kian terpuruknya sumber daya anak Indonesia menggambarkan pilihan model dan sistem pendidikan sangat rapuh, berbanding terbalik dengan hiruk pikuk kehidupan demokrasi yang sangat maju bahkan tanpa kontrol kita sendiri. Merosotnya dunia pendidikan kita paling tidak berbanding lurus dengan merosotnya tatanan moral dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Demokrasi seakan tak memberi banyak pilihan moralitas terhadap kehidupan orang Indonesia, kecuali rasa sakit hati sebagian orang atas sebagian orang lainnya. Meruaknya kekerasan, terorisme, dan radikalisme, yang dibarengi dengan dekadensi moral, merupakan pertanda bahwa memang ada yang salah dengan pendidikan kita.

Atas nama angka-angka, pemerintah selalu mengklaim tinggi dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena kerja keras semua pihak.
Namun, dengan fakta bahwa korupsi kian menggurita, kebebasan seksual makin merata, dan penyalahgunaan psikotropika merajalela, pemerintah tak berani mengklaim diri telah jatuhnya norma-norma kehidupan kita dalam tatanan dan arti yang luas dan sesungguhnya.

Jika klaim pertumbuhan ekonomi dan kehidupan demokrasi semakin tinggi tidak diimbangi membaiknya tatanan kehidupan secara sosial, budaya, dan moral, kita patut dipertanyakan, jangan-jangan inilah sesungguhnya sumbangan terbesar kapitalisme modern terhadap Indonesia: membuat Indonesia sekarat.

Dalam beberapa literatur jelas sekali disebutkan hubungan antara demokrasi dan kapitalisme. Max Weber dan Joseph Schumpeter secara detail melihat hubungan keduanya sebagai sebuah keniscayaan. Menurut Weber, demokrasi hanya akan terjadi jika sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan sebuah negara berada di bawah sistem kapitalis yang sangat menghargai pertumbuhan industri dan keunggulan individual.
Schumpeter, meskipun lebih empatik, tetap menyebut demokrasi modern merupakan produk proses kapitalisme yang sedang berlangsung.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari bagaimana proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap pihak swasta, dan sebaliknya privatisasi badan usaha milik negara berlangsung tanpa kontrol langsung dari masyarakat.

Itu artinya jika pendidikan kita hanya berorientasi kepada dunia kerja, jelas sekali kita sedang bersama-sama membunuh kohesi sosial yang selama ini menjadi keunggulan budaya Indonesia. Dalam sistem budaya kita, individu harus masuk lingkar sosialbudaya, bukan berkembang menjadi individualis dan antisosial.

Karena itu, kita harus me niadakan dan menolak kapitalisme dalam dunia pendidikan kita dalam bentuk apa pun. Sekolah, harus kita pastikan, dapat memainkan peran yang signifikan dalam menjaga keutuhan sosialbudaya masyarakat Indonesia yang terkenal guyub dan selalu mau menolong. Sekolah atau sistem pendidikan kita harus memiliki keberanian dalam mengeset pola pembelajaran yang berorientasi pada kemajemukan, bukan semata menanamkan kebebasan dan keunggulan secara individual.

Proses pendidikan harus bertanggung jawab dalam mengajarkan anak-anak kita keterampilan yang mereka butuhkan untuk tumbuh sebagai warga negara yang baik dan prokebersamaan secara budaya.

Dalam pandangan demokrasi liberal dan kapitalisme, pendidikan selalu diarahkan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sebagai human capital, tetapi dengan mereduksinya ke arah yang sangat individualis dan bersifat fisik.

Demokrasi dan kapitalisme telah menjerumuskan makna ideologis human capital sebagai milik industri dan milik negara dan karena itu, sekolah harus dikelola dengan caracara produksi. Padahal, sejatinya human capital seharusnya tidak bisa dimiliki siapa pun, investasinya harus berjangka panjang, dan hasilnya tidak semata untuk dunia industri, tetapi juga untuk memperkuat basis sosial-budaya masyarakat kita.

Mengikuti Adorno (1964), proses pendidikan kita tampaknya saat ini harus lebih banyak mengajarkan bagaimana cara menumbuhkan kepercayaan (trust) antara satu dan lainnya. Nilai-nilai saling percaya seakan pudar, bahkan hilang, dalam tatanan sosial-budaya kita. Jangan-jangan itu implikasi negatif berkembangnya faham demokrasi liberal dan kapitalisme yang menggerus mata rantai peradaban orang Indonesia.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_026_032.shtml?Mode=0

Mengelola Fiskal Tetap Kondusif

Yang mesti dijaga adalah komponenkomponen yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pertanian, pertambangan, perindustrian, atau sektor tradable. Asing sudah besar menguasai, kita harus mempersiapkan pemain-pemain nasional, dan ini tentu peran regulator sangat penting."

PROGRAM Metro TV, Economic Challenges, pada 23 Mei lalu menggali berbagai persoalan fiskal dan investasi yang dihadapi Indonesia.
Di kesempatan tersebut, pemandu Economic Challenges Suryo Pratomo mewawancarai Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Pak Agus melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,5%?
Kalau kita lihat, sejak krisis Asia 97/98 terlihat bahwa RI pertumbuhan ekonominya terus berkesinambungan. Terus tumbuh. Kita lihat dari tahun 99 sampai dengan 2004 ratarata pertumbuhan ekonominya 3,9%. Dari 2005-2009 rata-rata 5,5%.

Walaupun 2008/2009 ada krisis global, kita tetap tumbuh 4,5%. Sekarang di tahun 2010 6,1%, tapi kuartal 4 adalah 6,9%. Makanya kalau kuartal I 6,5% kita sambut baik karena kita tetap bisa mencapai target kita 6,4%. Indonesia dengan Kabinet Indonesia Bersatu II 2010-2014 rata-rata pertumbuhan ekonominya 6,4%-6,8%.
Insya Allah 2014 7%-7,7%.

Apa syarat yang harus dipenuhi supaya sustainable itu bisa dijaga?
Memang yang kita mesti jaga komponen-komponen yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Mesti kita perhatikan dan kembangkan. Kalau kita lihat sektor seperti pertanian, pertambangan, perindustrian, atau sektor tradable mesti bisa kita dorong cepat. Belum bisa tumbuh tinggi. Mesti kita dorong. Tahun 2010-2011 yang cepat adalah transportation, telecommunication.

Bagaimana dengan dominasi asing yang begitu kuat?
Karena kita juga membuka ekonomi kita, tentu investor asing masuk ke Indonesia.
Kalau mereka masuk, kita menyambut baik semoga ekonomi RI bisa menciptakan lapangan kerja dan pajak bagi RI. Tapi adalah kewajiban bagi kita untuk mempersiap kan komponen nasional supaya mempersiapkan kompetensi, lalu nanti jadi pelaku-pelaku ekonomi yang bisa berperan aktif.

Industri perbankan, keuangan sudah kita beri kesempatan untuk asing masuk 99%. Un tuk asuransi 80%. Un tuk itu, kita mesti siap siap. Asing sudah besar menguasai, kita harus mempersiapkan pemainpemain nasional, dan ini tentu peran regulator sangat penting. Untuk pasar modal?
Tentu yang menjadi harapan kita adalah pasar modal harus semakin luas, semakin likuid, dan dalam. Kita mengharapkan semua pelaku pasar modal semakin aktif menawarkan saham di pasar modal. Justru yang sedikit kita harapkan bisa 60% dimiliki publik.

Banyak pemain industri nasional bukannya IPO (menawarkan saham perdana) di dalam negeri tapi malah di luar negeri. Ini tantangan bagi Indonesia supaya membuat nyaman pelaku-pelaku ekonomi supaya IPO di dalam negeri.

Saya masih melihat ada beberapa industri terbatas aktivitasnya di pasar modal. Industri pertambangan, pertanian masih banyak yang bisa kita undang supaya bisa jadi public company dan menciptakan nilai untuk RI.

Pengambilalihan Newmont oleh pemerintah alot. Apa yang terjadi?
Itu sesuai kontrak karya antara pemerintah dan New mont, memang saham harus secara bertahap dijual ke nasional, untuk kepentingan nasional.
Jadi saham yang 7% akhir ini sesuai kontrak karya yang ditawarkan kepada pemerintah.
Kalau pemerintah tidak mau ambil, nanti ditawarkan kepada orang Indonesia atau perusahaan yang dimiliki Indonesia.

Pada saat ini pemerintah berketetapan mengambil. Pertimbangan pemerintah betul-betul ingin menjaga kepentingan nasional. Ingin meyakini bahwa kalau sekarang 51% saham Newmont dimiliki nasional, pemerintah masuk untuk menyamakan visi dengan pemegang saham nasional, untuk membawa Newmont baik, tertib, perusahaan ekstraktif raksasa, dan menjalankan best practices.

Kita ingin cegah jangan sampai asing mengelola Newmont tidak menjalankan GCG (good corporate governance/GCG). Jangan sampai asing lupa membayar kewajiban-kewajibannya, royalti, pajak, kewajiban menjaga lingkungan, CSR-nya. Kita ingin juga mencegah jangan sampai kalau dikelola selama ini agar jangan transfer pricing.

Sekarang berita luas. Sejak UU Minerba, kita beri kuasa bapak-bapak dan ibu-ibu bupati untuk mengeluarkan izin kuasa tambang, sekarang ini ada 4.800 kuasa tambang di seluruh Indonesia dan ini ada kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi mungkin banyak sekali yang tidak tertib, tidak taat asas, tidak taat lingkungan, illegal export.

Kita (juga) ingin jadikan contoh pengelolaan industri ekstraktif. Nilai tambah, hilirisasi, tidak hanya ekspor bahan baku, tapi bisa ada processing di Indonesia. Ini multiplier effect. Swasta, pengusaha tidak pernah berpikir untuk ciptakan multiplier effect.

Apakah keharusan izin dulu pada DPR atau sudah disampaikan?
Kalau seandainya DPR ada yang berkeberatan, ada yang minta proses dulu, kami akan terus berusaha meyakinkan pihak DPR bahwa apa yang dilakukan pemerintah sudah taat asas dan sesuai peraturan yang berlaku.

Kami, Menkeu, diberi kewenangan Bapak Presiden sebagai bendahara umum negara. Sesuai Undang-Undang Perbendaharaan Negara, kami memiliki kewenangan investasi melalui PIP (Pusat Investasi Pemerintah). PIP ini pun diawasi oleh dewan pengawas dan komite investasi pemerintah pusat, sehingga sudah kami jaga.

Harga minyak dunia naik terus, bagaimana pengelolaan fiskal?
Apabila kita lihat fiskal RI, penerimaan negara dalam banyak hal juga dipengaruhi minyak. Dan tentu di bagian pengeluaran negara juga ada terkait minyak.

Di fiskal kita saat ini sekitar Rp1.100 triliun dan dari total penerimaan negara dari minyak. Kita patut bersyukur penerimaan kita bukan hanya minyak, ada kondensat, ada gas. Ketika harga meningkat tajam, sekarang ini di dunia kondisinya yang tinggi minyak dan pangan. Ada climate change yang membahayakan.

Dalam mengelola fiskal, dampak kenaikan minyak di atas US$100, rata-rata setahunnya belum 110 tapi di kisaran 91. Pada 2008 ketika 140 dolar, rata-rata setahunnya di US$97. Nah, di Indonesia, anggar an kita APBN kita memakai asumsi US$80.
Kalau sekarang harga minyak tinggi, memang ada dampak, tetapi dampak pe nerimaan ekstra dan pengeluaran ekstra itu sebetulnya tidak membuat sulit anggaran kita, karena masih ada nilai lebih. Karena ada penerimaan minyak, gas, dan kondensat. Lifting (minyak) yang lebih rendah dari rencana juga tekanan bagi defisit kita. Tapi ada faktor apresiasi rupiah.
Itu memberi manfaat karena tiap Rp100 peningkatan bisa membuat kelonggaran defisit Rp1,7 triliun.

Jadi asumsi minyak kita US$80, ternyata realisasinya ada di US$92. Kurs kita anggarkan 9.250, sekarang 8.600, lifting 970 ribu realisasi di bawah 900 ribu. Kalau dikombinasi, dampaknya terhadap defisit kita ada peningkatan kira-kira Rp16 triliun.

Masih bisa diterima?
Kita selalu mewaspadai, memperhatikan itu, melakukan stress testing, simulasi. Kita secara umum masih bisa kendalikan ini dengan baik. Tapi nanti di awal semester II kita akan revisi APBN karena beberapa asumsi sudah berubah dan ada kenaikan harga minyak, ada anggaran biaya tambahan, nanti di APBN perubahan.

Bapak Presiden sudah arahan supaya jajaran lembaga melakukan penghematan untuk hal-hal yang tidak produktif itu mencapai Rp16,6 triliun.
Pada saat yang tepat, kita merevisi anggaran. (*/E-1)
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_016_020.shtml?Mode=0

Pak Harto

Hari Kamis,21 Mei 1998 merupakan suatu hari di bulan Mei yang indah dan pasti tidak akan terlupakan oleh setiap hati anak bangsa.Apalagi dalam hati keluarga Presiden Soeharto (almarhum).

Hari yang telah mengubah perjalanan bangsa dengan 237,6 juta manusia ini. Pergantian kekuasaan terjadi. Orde Baru yang telah berlangsung lebih dari tiga dasawarsa berakhir melalui kata-kata Presiden Soeharto,“Saya menyatakan berhenti….” Era baru lahir dan mendapat sebutan Reformasi karena telah mengubah segala apa yang semasa pemerintahan Orde Baru dianggap “tabu”.

Demokratisasi dijalankan, otonomi daerah seluas-luasnya diberlakukan. Tuntas sudah keinginan yang selama bertahuntahun dipendam.Dendam telah terlampiaskan. Bagi Pak Harto dan keluarganya, hari Kamis tersebut tampak begitu kelabu.Merasa dihina dan dianggap sebagai “orang hina” ketika 14 menteri, para pembantu yang sangat dipercaya dan seharusnya tetap menunjukkan loyalitas,beramai- ramai mengajukan pengunduran diri dari jabatan mereka.

Kejadian langka pada masa itu meski sampai sekarang juga merupakan kejadian langka bila ada pejabat yang bersedia mengundurkan diri. Bahkan sudah jelas-jelas bersalah saja masih tetap saja berkilah dan mencari pembenaran melalui teman-teman dekat yang juga kurang benar tingkah lakunya. Suatu kenyataan sejarah pada saat itu. Peristiwa yang tentu sangat memukul hati Pak Harto sehingga beliau memutuskan sebaiknya segera lengser keprabon saja.

Tiga belas tahun telah lewat semenjak peristiwa yang dicatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa itu,yang saat ini mulai luntur warna keemasannya. Tidak seperti peristiwa Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) pada awal tahun 1966 yang berhasil menurunkan Presiden Soekarno (almarhum) dari kursi pemerintahan.

Tindakan yang cepat dari Jenderal Soeharto pada waktu itu dalam upaya menguasai keadaan hanya menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak melalui peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) pada 1974, tujuh tahun setelah pemerintahan Orde Baru memegang kendali-kekuasaan. Namun, gejolak politik tersebut segera dapat diredam. Keandalan mantan Panglima Komando Strategis (Pangkostrad) TNI AD itu memang patut mendapat acungan jempol dari semua kalangan.

Era Reformasi ternyata tidak sepenuhnya mampu memenuhi keinginan masyarakat, terutama kehendak generasi muda.Banyak kalangan tersentak ketika survei Indo Barometer mengungkapkan masih banyak responden yang merindukan kepemimpinan Presiden Soeharto.Presiden yang selalu tersenyum ramah dengan wajah cerah, tetapi mampu mengeluarkan perintah untuk “menggilas” siapa saja yang berlawanan dengan kebijakan yang diambil.

Pribadi yang tenang, menyimpan sejuta rahasia, yang tidak mudah mengumbar bicara, tetapi sekali memberi perintah harus segera dilaksanakan.Seorang pemimpin yang bersedia menerima masukan dan siap mendengarkan alasan dari para pembantunya, para menteri yang bergelar S-3 dan bahkan guru besar, tetapi sigap mengambil keputusan dan memilih alternatif yang diajukan berlandaskan kajian akademis tersebut.

Seorang head-hunter yang pandai memilih dan menempatkan pejabat tanpa perlu mendengarkan banyak pendapat pihak lain yang sarat dengan kepentingan dan diragukan pertemanannya. Apalagi bertanya kepada mitra koalisi. Karena koalisi memang tidak diperlukan bagi seorang pemimpin nasional yang dipilih mutlak.
Berbagai keahlian dan kebijakan yang dimiliki dan diterapkan telah mampu mempertahankan sosok seorang Pak Harto sehingga bertahan lebih dari tiga dasawarsa mengemudikan kapal raksasa yang bernama Indonesia. Setiap manusia tentu tidak luput dari kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Sebagai pemimpin, Soeharto merasa dirinya sebagai “pohon beringin”, lambang dari organisasi sosial- politik yang menjadi tulang punggung kekuasaan Pak Harto. Memang pohon beringin merupakan tempat berlindung melepaskan lelah yang nyaman. Tapi beringin juga tidak memungkinkan pohon-pohon kecil tumbuh di sekelilingnya karena daunnya yang rimbun menghalangi sinar kehidupan yang dipancarkan matahari.

Apabila roboh, pohon beringin juga akan banyak menimbulkan kerusakan. Sejarah telah mencatatnya setelah kurun waktu 13 tahun berlalu. Ibarat bom waktu yang menunggu saat meledak. Sebagai individu,Pak Harto juga sering menganggap dirinya sebagai perwujudan dari tokoh Semar dalam cerita pewayangan.

Seorang dewa yang sengaja turun ke dunia dalam bentuk yang tidak gagah dan bertugas mengasuh para kesatria, para Pandawa, turunan keluarga besar Bharata.Tokoh Semar yang bijaksana, tetapi memiliki kesaktian melebihi para dewa biasa. Bijak, tetapi bisa juga membinasakan lewat senjata “kentutnya”.

Pak Harto mungkin memang memiliki wibawa yang seharusnya dipunyai setiap kepala negara pimpinan nasional nakhoda kapal raksasa. Seperti halnya karisma yang juga dimiliki pendahulunya, Presiden Soekarno.  PRIJONO TJIPTOHERIJANTO

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/402262/

Bagi Hasil Cukai dan Perilaku Merokok

Agus Widjanarko, KEPALA BIDANG KESEHATAN KELUARGA DAN PROMOSI KESEHATAN PADA DINAS KESEHATAN KOTA PASURUAN

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengamanat kan adanya dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) sebesar 2 persen bagi provinsi dan kabupaten/kota penghasil cukai tembakau sejak 2008. Pada perkembangannya, kualifikasi penerima juga diperluas untuk daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau hingga mencapai 19 provinsi.
Sesungguhnya cukai hasil tembakau mempunyai tujuan agar konsumsi rokok dapat terkendali melalui pembatasan peredaran komoditasnya, sehingga dampaknya dapat diminimalkan. Penggunaan dana ini di antaranya untuk peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, pembinaan industri hasil tembakau, dan pembinaan lingkungan sosial. Selain itu, untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai illegal.

Merujuk pada rencana pengembangan industri rokok nasional, dua kegunaan pertama erat kaitannya dengan aspek produksi/industri, sedangkan dua kegunaan terakhir lebih menitikberatkan pada aspek pendapatan. Adapun penggunaan dana untuk pembinaan lingkungan sosial, selain diarahkan pada pengembangan masyarakat, sangat bertalian dengan aspek kesehatan.

Setelah tiga tahun pengucuran DBHCHT, tentunya dapat dicermati capaiancapaian kinerja sesuai dengan fokus kegunaannya. Khusus untuk aspek kesehatan, suatu seri data riset menemukan hasil yang cukup bermakna terkait dengan dampak pemberian dana tersebut.
Ketika UU Nomor 39 Tahun 2007 disahkan, pada tahun itu dilakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riset yang dilaksanakan tepat sebelum pelaksanaan DBH-CHT ini menyajikan informasi bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang "merokok setiap hari"adalah 23,7 persen. Sementara itu, tiga tahun kemudian, pada Riskesdas 2010 diperoleh hasil yang menunjukkan peningkatan prevalensinya menjadi 28,2 persen.
Kondisi ini juga dikuatkan oleh mereka yang hanya "kadang-kadang merokok".
Sementara 2007 mencapai angka 5,5 persen, pada 2010 meningkat hingga 6,5 persen.

Yang lebih memprihatinkan adalah para perokok ini juga mengisapnya ketika berada di rumah, yang di dalamnya tinggal istri, anak-anak, atau kerabat mereka. Meskipun mengalami penurunan dibanding pada 2007 yang mencapai 85,4 persen, pada 2010 perilaku merokok di dalam rumah masih dilakukan oleh 76,6 persen perokok. Alih-alih berperilaku sehat, anggota keluarga mereka yang mungkin tidak merokok itu justru turut menghirup asap rokok beracun.

Tapi tidak selamanya kenaikan berimplikasi negatif, karena mantan perokok menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan, karena kian banyak jumlahnya. Dari hanya 3,0 persen pada 2007, bertambah 2,4 persen pada 2010.
Setidaknya kondisi tersebut menggambarkan mulai tumbuhnya kesadaran pada masyarakat untuk berani berhenti merokok.
Dampak DBH-CHT Peningkatan perilaku merokok yang masih kurang elok ini memberi isyarat bahwa mengubah perilaku masyarakat bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak seperti membangun sarana pelayanan kesehatan yang dalam kurun singkat dapat segera dilihat wujud fisik bangunannya, perubahan perilaku merupakan investasi jangka panjang yang baru bisa dipetik hasilnya sekian puluh tahun mendatang. Terlebih bila perilaku ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar. Dalam budaya Indonesia, menolak pemberian rokok dipandang tidak sopan.

Dalam jurnal Health Education Research (2007; 22(6): 794-804), Nawi Ng, Weinehall, dan Ohman melukiskan kuatnya pengaruh tradisi merokok di Indonesia. Bahwa prevalensi merokok di kalangan laki-laki sangat tinggi, ratarata salah satu anggota rumah tangga ada yang merokok. Sementara itu, di sekolah, guru laki-laki sering terlihat merokok. Dalam berbagai pertemuan sosial di pedesaan, upacara kelahiran, perkawinan, dan upacara keagamaan lain, disediakan rokok. Pada acara kematian, masyarakat berkumpul di rumah duka, malam berdoa dan berbagi makan, minum kopi, serta merokok. Rokok juga sering digunakan sebagai pertanda solidaritas atau penghargaan kepada teman, pengunjung, atau tamu.

Meskipun DBH-CHT telah digulirkan, sangat mungkin bila porsi penggunaan untuk aspek kesehatan pada setiap daerah tidaklah setinggi bila dibandingkan dengan aspek produksi maupun aspek pendapatan. Sebuah kontribusi yang rendah dengan capaian tidak kasatmata dalam tempo sekejap menjadi faktor penyulit untuk melihat dampak positif pemberian DBH-CHT.

Dua provinsi penerima DBH-CHT terbesar, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah, memang mempunyai angka prevalensi perokok yang lebih rendah daripada angka nasional. Namun kecenderungan yang terjadi adalah bahwa dua daerah itu justru menjadi penyokong meningkatnya prevalensi perokok secara nasional. Pada 2007, prevalensi perokok di Jawa Timur sebesar 29,8 persen dan di Jawa Tengah 30,7 persen, masing-masing melompat menjadi 31,4 persen dan 32,6 persen pada 2010.

Tidak tertutup kemungkinan DBHCHT telah tersosialisasi lebih merata di provinsi bertetangga tersebut, sehingga masyarakat mempunyai persepsi bahwa tidak perlu lagi khawatir jika merokok karena obat dan fasilitas pelayanan kesehatan bagi mereka yang sakit akibat rokok sudah disediakan dari DBH-CHT.

Apalagi saat ini program Jamkesmas, Jamkesda, atau sejenisnya telah banyak dimanfaatkan oleh warga miskin yang dalam banyak temuan penelitian justru mayoritas perokok.

Sementara itu, meningkatnya mereka yang berhenti merokok hingga hampir dua kali lipat selama tiga tahun penerapan DBH-CHT memberi tengara adanya korelasi terkait dengan pengembangan kawasan tanpa rokok (KTR) di berbagai tatanan.

Pemasyarakatan KTR juga merupakan salah satu upaya yang digalakkan dalam pemanfaatan DBH-CHT. Bisa dipahami bila KTR mempunyai dampak terhadap perilaku berhenti merokok. Filosofi pendirian KTR adalah agar perokok dapat lebih lama menahan dirinya untuk tidak merokok dalam keseharian karena harus berada di lingkungan KTR. Ketika proses pembiasaan ini dijalankan dalam jangka waktu yang panjang, diharapkan mampu memicu perilaku perokok untuk mengurangi batang rokok yang diisap, yang pada gilirannya dapat merangsang dirinya untuk tidak merokok. Tentunya pengembangan KTR akan lebih menyehatkan jika dimulai dari tatanan komunitas yang paling sederhana, yaitu rumah tangga. Kecenderungan kian menurunnya mereka yang merokok di dalam rumah akan memperoleh percepatan bila rumah juga dijadikan kawasan tanpa rokok.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_012_013.shtml?Mode=1
--