BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB

Written By gusdurian on Kamis, 17 Maret 2011 | 11.04

G EMPA bumi 8,9 pada skala Richter (SR) pada kedalaman 24,4 kilometer di sebelah timur Honshu, Jepang, pada 11 Maret 2011 pukul 12.46 WIB atau 14.46 waktu setempat, tercatat sebagai gempa bumi terbesar ketujuh di dunia. Lokasi gempa merupakan daerah subduksi, pertemuan antara lempeng Pasifik dan lempeng Amerika Utara. Lempeng Pasifik menekan lempeng Pasifik berada di bawah dari lempeng Amerika Utara yang bergerak rata-rata 9 cm per tahun. Gempa terjadi pada kedalaman yang relatif dangkal, yang berarti banyak energi yang dirilis pada dasar laut. Secara keseluruhan Jepang terletak pada empat lempeng aktif, yaitu lempeng Pasifik, Amerika Utara, Eurasia, dan Filipina.

Sejarah mencatat gempa bumi terbesar adalah 9,5 SR di Cile pada 1960. Berturut-turut Alaska 9,2 SR (1964), Aceh 9,1 SR (2004), Kamchaka 9 SR (1952), Peru 9 SR (1866), Kaskadia 9 SR (1970), dan Jepang 9,0 SR (2011). Bagi Jepang, gempa bumi kemarin merupakan terbesar sepanjang sejarah. Tercatat gempa di Jepang terjadi di Sanriku 8,5 SR (1896) dan 8,4 SR (1933), serta Hokkaido 8,3 SR (2003).

Sepanjang sejarah pencatatan gempa secara intensif, gempa tersebut merupakan yang paling kuat. Gempa dengan kekuatan yang hampir setara terakhir terjadi lebih dari 1.000 tahun lalu, yakni gempa pada tahun 869, yang diperkirakan berkekuatan 8,4 pada skala Richter.

Catatan gempa bumi lain antara lain pada tahun 1923, ketika gempa berkekuatan 7,9 SR menghancurkan Tokyo dan Yokohama dan membunuh seki tar 142.800 orang. Gempa bumi Kobe pada 1995 berkekuatan 6,9 SR dan menyebabkan lebih dari 5.000 kematian dan melukai 36.000 lainnya.

Gempa yang diberi nama resmi gempa Tohoku-Chiho Taiheiyo-Oki terjadi akibat pergerakan di beberapa area sekitar sumber energi gempa (focal point) secara bersama-sama. Gempa tersebut terjadi di zona subduksi atau pertemuan lempeng akibat dipicu pergerakan lempeng Pasifik yang mendesak lempeng Amerika Utara. Lempeng Pasifik yang tak kuat menahan desakan tersebut akhirnya roboh.
Sepanjang 500 km dan selebar 100 km jatuh hingga setinggi 8 meter. Gempa Cile yang terjadi pada 1960 dan gempa Sumatra yang terjadi pada 26 Desember 2004 juga disebabkan mekanisme serupa.

Para ahli sendiri sebenarnya telah memperkirakan gempa dahsyat akan terjadi di wilayah sekitar zona tersebut, tapi hanya berkekuatan 7,5-8 SR. Namun, gempa yang terjadi Jumat kemarin ternyata lebih besar dengan energi seismik 90 kali lebih besar dari perkiraan. Energi seismik yang dilepaskan dalam gempa tersebut 180 kali lebih besar daripada gempa besar Hanshim yang menghancurkan Kobe pada 1995 dan menimbulkan korban jiwa 6.000 orang.

Gempa bumi kemarin memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 10 meter.
Peta getaran gempa yang dikeluarkan US Geological Survey (USGS) menunjukkan bahwa dataran pantai timur Jepang terkena gempa hingga skala VII-VIII MMI (modified mercalli intensity), yaitu sangat kuat hingga parah. Skala MMI berkaitan dengan akselerasi tanah yang terjadi akibat gempa. Dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia dan hilang. Jumlah penduduk di kota-kota di Jepang yang terpengaruh oleh getaran gempa dengan skala VII-VIII, seperti Tokyo, Chiba, Sendai, Takahagi, Ofunato, Itako, Hasaki, Oarai, dan Tomigawa, mencapai 10,5 juta jiwa.

Setelah terjadi gempa bumi, Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) mengeluarkan peringatan dini tsunami bagi Jepang, Rusia, Kepulauan Markus, dan Marianas Utara.
Selain itu diperingatkan, negara-negara yang akan terkena dampak tsunami adalah Guam, Taiwan, Filipina, Indonesia, dan Hawai. Wilayah Indonesia yang terkena imbas tsunami yaitu pantai utara Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara. Diperkirakan, daerah-daerah tersebut akan terkena tsunami sekitar 6 jam setelah tsunami di Jepang.
Pantai Utara Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara diperkirakan terkena tsunami pada pukul 20.35 WIT, sedangkan Sulawesi Utara pada 19.35 wita.
Beberapa kota di Indonesia Timur seperti Berebere, Maluku Utara, akan terkena tsunami pada pukul 19.58 WIT; Manokwari, Papua Barat, pukul 20.18 WIT; Jayapura, Papua, pukul 20.35 WIT; dan Sorong, Papua, pukul 20.35 WIT.

Daerah-daerah yang berdekatan dengan pantai Pasifik akan menerima gelombang tsunami.
Ketinggian tsunami yang menghantam perairan di timur Indonesia diperkirakan di atas 0,5 meter. Sesuai hasil pemodelan ketinggian tsunami yang dirilis NOAA, N di daerah pantai utara Papua P dan Papua Barat diperkirakan tinggi tsunami sekitar 0,3-0,5 meter. Maluku Utara 0,10,3 meter. Sementara di perairan Sulawesi Utara sekitar di atas 0,1 meter.

BNPB setelah menerima peringatan tsunami tersebut, baik dari BMKG maupun dari USGS, NOAA, PTWC, dan lainnya, segera melakukan langkahlangkah antisipasi. Pusdalpop khusus tsunami diaktifkan dan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota maupun TNI/Polri.

Sebanyak 20 kabupaten/ kota yang berbatasan dengan Samudra Pasifik di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara segera diinformasikan agar menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai adanya potensi tsunami. Selanjutnya, pemda, TNI, dan Polri menyampaikan informasi ancaman tsunami melalui jalurjalur komunikasi, seperti radio, televisi lokal, sirene, masjid, dan gereja. Masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dan menjauhi pantai.

Kemudian masyarakat segera dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Adanya tenggat sekitar 5 jam dari peringatan dini tsunami hingga perkiraan terjadi tsunami menyebabkan masyarakat dapat melakukan persiapan evakuasi. Di beberapa tempat terjadi kemacetan dan kepanikan meskipun jalur evakuasi tsunami telah dibangun di beberapa tempat.
Kenyataan terjadi kemacetan karena masyarakat berbondongbondong membawa kendaraan sehingga terjadi penumpukan di beberapa tempat.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BMKG dan BPBD, ketinggian tsunami memang terjadi di beberapa tempat. Di Samudra Pasifik, yaitu Saipan (Guam), ketinggian tsunami terdeteksi oleh buoy 0,8 meter pada 18.17 wita. Di Kepulauan Yap, di Pasifik, 0,2 meter pukul 19.18 Wita. Di Bitung, Sulawesi Utara 0,1 meter pada pukul 19.50 Wita, dan Halmahera Utara 0,1 meter pada pukul 20.05 Wita.

Di Kampung Youtefa, Kota Jayapura, Papua, dilaporkan 13 rumah, 1 puskesmas, 1 jembatan, 1 speedboat, dan beberapa perahu rusak akibat tsunami.
Kampung ini berlokasi di satu pulau terpisah di tengah lautan Teluk Youtefa, Kota Jayapura.
Di Kampung Tobati, Kabupaten Jayapura, Papua, 6 rumah rusak ringan, 1 tempat ibadah rusak ringan, dan 1 rumah adat rusak ringan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dampak tsunami di Indonesia tidak besar.
Ketinggian tsunami memang terjadi hingga di Indonesia.
Namun, tidak menimbulkan kerugian dan dampak secara signifikan. Adanya ancaman tsunami tersebut semakin membuktikan bahwa ancaman tsunami di Indonesia sangat tinggi.

Bukan hanya dari tsunami lokal yang berasal dari gempa di Indonesia, tetapi juga berasal dari negara-negara lain di Pasifik. Untuk itulah diperlukan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami. Berbagai cara edukasi masyarakat, melalui geladi, pendidikan, sistem peringatan dini, kebudayaan, perangkat kebijakan, dan sebagainya perlu terus ditingkatkan agar masyarakat makin tangguh dalam menghadapi tsunami.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_015_003.shtml?Mode=0

Memecah Jalan Buntu RUU Badan Jaminan Sosial

Dian Syakhroza Anggota Komisi IX DPR

"One of the first duties of a physician is to educate the masses not to take medicine." (Sir William Osler, 1848­1919) P ANDANGAN dari Bapak Kesehatan Modern ini membawa perubahan besar pada kebijakan pembangunan kesehatan di banyak negara. Osler menekankan bahwa pendekatan promotif dan preventif harus dijalankan lebih dahulu daripada pendekatan kuratif dan rehabilitatif. Model ini akan membuat biaya pembangunan kesehatan masyarakat bisa jauh lebih murah.

Di Indonesia pendekatan `mencegah lebih baik daripada mengobati' ini diadopsi dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penitikberatan pada upaya promotif dan preventif tecermin pada alokasi pendanaan yang mencapai dua pertiga dari anggaran kesehatan nasional.

Pelaksanaan kedua pendekatan ini antara lain dilakukan melalui pengoptimalan posyandu, imunisasi, peningkatan gizi masyarakat, dan penyadaran tentang sanitasi. Dalam jangka panjang pengeluaran biaya kesehatan dengan mo del ini, bila dibandingkan dengan angka produktivitas atau pendapatan nasional per kapita, akan lebih murah daripada model kuratif dan rehabilitatif.

Sedangkan tindakan kuratif (mengobati suatu penyakit) dan rehabilitatif (meniadakan/ meminimalisasi dampak suatu penyakit) akan menelan biaya lebih besar. Komponen yang tercakup dalam dua tindakan ini antara lain diagnosis, obatobatan dan alat kesehatan, perawatan dan operasi di rumah sakit.

Isu pembiayaan inilah yang menjadi salah satu poin krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Untuk penjaminan kesehatan dengan layanan kelas tiga bagi seluruh warga negara tanpa kecuali diperlukan dana Rp17 triliun per tahun.
Adapun total penjaminan sosial mencapai Rp37 triliun per tahun.

Mahalnya pembiayaan program ini bisa ditekan bila upaya preventif dan promotif sudah berjalan dengan baik.
Namun, pelaksanaan kegiatan promotif dan preventif masih menghadapi sederet kendala. Jumlah sumber daya kesehatan masih terbatas dan umumnya terpusat di kota besar atau ibu kota kabupaten. Selain itu, mereka juga harus dibekali dengan kompetensi memadai untuk mendidik masyarakat hidup sehat.

Kendala lainnya yaitu jumlah puskesmas sebagai ujung tombak tindakan promotif dan preventif masih tidak seimbang dengan jumlah penduduk. Di daerah-daerah tertinggal, sepertiga dari puskesmas harus melayani 20 ribu warga per puskesmas. Radius tempat tinggal warganya pun tergolong luas yaitu 200 km2, sehingga menyulitkan warga untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Antara harapan dan kenyataan Untuk menuju implementasi BPJS sepenuhnya, pemerintah perlu menyiapkan langkah strategis yang paralel dengan program pembangunan lainnya. Pertama, optimalisasi peran badan penyelenggara jaminan sosial yang termaktub pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Menurut Pasal 5, badan penyelenggara jaminan sosial adalah Askes, Jamsostek, Asabri, dan Taspen. Askes, misalnya, yang selama ini hanya melayani asuransi kesehatan bagi 4 juta pegawai pemerintah dan keluarganya, bisa didorong untuk memperluas pelayanan kepada pegawai nonpemerintah. Ada 70 juta pekerja informal yang belum tersentuh program asuransi kesehatan. Tantangan serupa juga dihadapi Jamsostek yang sampai tahun ini baru melayani 9 juta dari total 33 juta pekerja formal. Pekerja sektor informal juga belum tersentuh dengan produk jaminan keselamatan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua dari Jamsostek.

Kedua, membangun sistem rujukan kesehatan. Dengan mengacu pengalaman di negara lain, kualitas layanan program jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya bisa terjamin dengan pengaturan sistem layanan yang baik dan paripurna.

Misalnya, untuk mengatasi pengacuhan pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) oleh rumah sakit, pemerintah harus melakukan pembangunan sistem pelayanan kesehatan yang baik mulai dari sistem rujukan kesehatan berjenjang, pengendalian harga dan ketersediaan obat, tenaga kesehatan, fasilitas rumah sakit, upaya preventif dan promotif kesehatan, serta yang tak ka lah pentingnya adalah database kependudukan. Karena itu, keberhasilan k program KTP nasional n menjadi prasyarat kunci bagi implementasi BPJS yang sukses.

Ketiga, kampanye hidup sehat sebagai budaya bangsa.
Budaya hidup sehat akan mengurangi kemungkinan untuk sakit. Secara agregat hal ini akan mengurangi beban biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung oleh APBN.

Kampanye hidup sehat bisa dimulai dengan hal yang sederhana, seperti kampanye cuci tangan sebelum makan, tidak membuang sampah sembarangan, mempunyai kakus di rumah, dan tidak merokok.
Penyadaran seperti ini penting dilakukan pada masyarakat miskin yang selama ini sering terkena penyakit-penyakit tropis seperti diare, DB, dan disentri.

Keempat, meningkatkan taraf hidup rakyat. Terdapat relasi antara kemiskinan dan tingkat kesehatan. Program pengentasan masyarakat dari kemiskinan yang telah diluncurkan pemerintah, misalnya dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan juga PKBL BUMN pada UKM, adalah program paralel yang saling mendukung dengan upaya membangun masyarakat yang sehat.

Kelima, pemenuhan kebutuhan dasar. Setelah sandang dan pangan, perumahan, air bersih, dan listrik adalah kebutuhan dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sehat.
Program ini dapat diwujudkan dengan pembangunan rumah susun yang terjangkau bagi rakyat di perkotaan sehingga tidak tinggal di pinggir sungai, pembangunan sarana produksi air bersih, dan penyediaan listrik.

Akhirnya, kelima program tersebut harus segera dilakukan, sebelum implementasi BPJS, sebagai prakondisi masyarakat agar hidup dalam lingkungan yang jauh lebih sehat dan tertib. Masyarakat yang hidup sehat dan tertib akan membuat risiko terkena penyakit lebih rendah sehingga implementasi BPJS dapat dikelola secara lebih terukur.
Ujung-ujungnya penggunaan anggaran negara akan lebih optimal, dan negara mampu memberikan layanan yang lebih banyak dan lebih baik bagi masyarakat. Masyarakat yang hidup sehat dan tertib akan membuat risiko terkena penyakit lebih rendah sehingga implementasi BPJS dapat dikelola secara lebih terukur. Ujung-ujungnya penggunaan anggaran negara akan lebih optimal."

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_015_013.shtml?Mode=0

WikiLeaks Bidik Calon Presiden Ketujuh?

Christianto Wibisono, ANALIS BISNIS

Karena itu, target utama adalah calon presiden ketujuh yang diperkirakan akan diorbitkan oleh SBY mengikuti pola Argentina, yaitu Ibu Negara Ani Yudhoyono. Karena itulah, bocoran itu secara terfokus dibidikkan kepada Ani Yudhoyono.
Redaktur WikiLeaks, The Age, dan Sydney Morning Herald telah menjadi alat atau sutradara ca lon presiden ketujuh RI dengan ungkapan tidak komprehensif atau pilih kasih dan tebang pilih terhadap elite Indonesia. Sasaran sesungguhnya bocoran itu bukan SBY, yang sudah akan menjadi masa lalu karena SBY tidak mungkin dipilih kembali. Karena itu, target utama adalah calon presiden ketujuh yang diperkirakan akan diorbitkan oleh SBY mengikuti pola Argentina, yai tu Ibu Negara Ani Yudhoyono. Karena itulah bocoran itu secara terfokus dibidikkan kepada Ani Yudhoyono. Motifnya jelas pembunuhan karakter, bahwa putri Sarwo Edhie itu, yang terkenal spartan dan antikorupsi, melakukan praktek seperti Nyonya Tien Soeharto.
Itulah kesan yang akan ditimbulkan oleh WikiLeaks.

Yang menarik ialah, tidak ada satu nama calon presiden lain yang sangat berpotensi untuk maju ke 2014.Yang dibongkar oleh WikiLeaks hanya politikus masa lalu TK, JK,YIM. Seolah mereka ini adalah contoh soal elite kolusif dan koruptif. Padahal semua orang tahu, elite politik lain tidaklah bersih dari praktek jumbuhnya konflik kepentingan dengan posisi pejabat publik penyelenggara Negara.

Dalam dua nomor berturut-turut, majalah Tempo telah mengungkap kasus korupsi yang melibatkan elite Partai Demokrat dan PKS. Tidak ada malaikat di negeri "Sodomindo"ini. Terutama karena aplikasi undang-undang tentang batasan konflik kepentingan nyaris tak dihayati filosofinya. Para penerima cek pelawat Mirandagate berkelit bahwa dana itu adalah dana kampanye partai. Seolah dana kampanye partai menghalalkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berdaya karena tidak pernah berani menyentuh korupsi tipe state capture, di mana negara dibajak atau disandera oleh penyelenggara Nngara, para elite partisan. Untuk diobok-obok, dieksploitasi guna membesarkan dana partai untuk kemudian menguasai negara melalui kemenangan partai dalam pemilu yang penuh money politics.

Jin money politics sudah telanjur keluar dari botol, dan kita lupa mantra penjinaknya. Di AS, kampanye dibatasi dan dipantau secara transparan. Masih bisa terjadi dana dari mafia, bandit, kriminal, politikus yang terlibat skandal, preman, dan harta tidak terpuji nyelonong masuk ke rekening dana kampanye Obama, misalnya. Tapi auditor sigap dalam mengembalikan atau menyerahkan dana itu ke badan amal (charity). Maksimum sumbangan individu US$ 2.500, tapi perusahaan bisa menghim pun misalnya 100 karyawan hingga terkumpul US$ 250 ribu. Atau menjual tiket dinner bersama calon presiden US$ 10 ribu per kursi. Ini juga sumber dana yang transparan, dilakukan secara sukarela oleh pengusaha kepada calon favorit nya. Semua sah-sah saja dan akan bisa dipantau terus-menerus apakah di kemudian hari ada dampak favoritisme dari sang presiden atau politikus yang menerima dana dan sumbangan kampanye dari pelbagai metode yang transparan itu.

Di atas segalanya, presiden terpilih langsung menempatkan aset dan portofolio bisnisnya kepada blind trust management independen. Baik Clinton maupun Bush memasrahkan pengelolaan aset bisnisnya kepada blind trust management profesional, nonpartisan, dan imparsial yang sama. Di Indonesia, pengusaha menjadi penguasa penyelenggara negara. Kemudian mengambil keputusan yang menguntungkan perusahaan yang dimilikinya secara tidak kentara.
Semua melalui proses tender, tapi jelas ada konflik kepentingan sebagai penyelenggara negara yang harus mengambil keputusan atas nama 240 juta orang penduduk Indonesia dan kepentingan bisnis order atau kontrak bagi perusahaan yang dimilikinya.

Inilah yang terjadi pada lintas partai, dan semua partai terlibat dalam amburadul konflik kepentingan.
Semua menteri politikus tentu akan berusaha mengalokasikan anggaran kepada rekan separtai atau simpatisan yang mau menyetor sebagian keuntungan proyek un tuk dana kampanye partai. Ini adalah ra hasia umum yang dianggap bukan korupsi, dan KPK tidak akan berani menyentuh ini, kare na nasib dan anggar annya berada di tangan politi kus parlemen yang bisa mengamputasi anggaran KPK.
Akibatnya, yang menderita hantaman KPK adalah orang yang tidak berpartai atau dikorbankan oleh partai. Sedangkan partainya sendiri tetap segar-bugar dan elitenya tetap melanjutkan praktek KKN--konflik kepentingan--secara business as usual.

Bagaimana calon presiden ketujuh Nyonya Ani harus menghadapi gempuran ini.
Peristiwa ini mirip pengalaman Hillary yang digoyang pelbagai isu tidak sedap di sekitar keuangan suami-istri Clinton. Hil lary unggul sebelum Obama direstui Ted Kennedy. SBY baru sadar akan ruwetnya skenario 2014 dan calon presiden ketujuh, tapi telanjur bereaksi emosional. Sebenarnya SBY harus mengoptimalkan mandat 60 persen pribadi secara canggih dengan tiga gebrakan.

Pertama, membentuk Komite Rekonsiliasi Nasional, berjiwa besar model Nelson Mandela, mengakui kesalahan dan dosa negara oleh rezim Orba Soeharto yang menelantarkan Bung Karno dan melakukan genosida terhadap PKI. Kedua, memberlakukan amnesti berpenalti dan pembuktian terbalik untuk mengatasi korupsi pada tingkat partai politik dan seluruh elite politik. Ketiga, memberlakukan UU Anti-Konflik Kepentingan, money politics partai dikelola terbuka dan transparan lengkap dengan ketentuan pencegahan konflik kepentingan.

Dengan tiga senjata pamungkas, rekonsiliasi, amnesti berpenalti, dan pembuktian terbalik, serta anihilasi konflik kepentingan, SBY mewariskan suatu legacy bagi masa depan, sehingga dapat memuluskan siapa pun calon presiden ketujuh yang didukungnya. Tapi, kalau SBY sendiri dengan mandat 70 juta suara tersandera oleh DPR yang penuh KKN dan tidak berani bertindak, maka siapa pun yang diorbitkan, termasuk Ani, pasti tidak akan sukses.
Apalagi setelah Ani ditembak jitu oleh WikiLeaks, yang digerakkan oleh calon presiden ketujuh yang lain.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_011_003.shtml?Mode=1

Manusia Jepang, Manusia Solidaritas

T.M. Luthfi Yazid, PENGAJAR DAN PENELITI DI GAKUSHUIN UNIVERSITY, TOKYO Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2010 (ada juga yang menyebut "Tragedy of 11311") itu memang di luar perkiraan masyarakat Jepang. Bahkan ada ahli gempa di Jepang yang mengatakan bahwa gempa seperti itu hanya terjadi setiap 1.000 tahun.
Meskipun biasanya orang Jepang sangat siap menghadapi gempa karena merupakan bagian dari hidup mereka--tidak demikian dengan gempa yang disusul tsunami pada Jumat, 11 Maret 2011. Gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter itu--yang kemudian diralat oleh badan otoritas Jepang menjadi 9 pada skala Richter-terjadi pada pukul 14.46 waktu Jepang. Ketika itu saya dalam perjalanan pulang sehabis salat Jumat dan berbelanja makanan untuk keperluan keluarga di sekitar Universitas Gakushuin, tempat saya mengajar dan melakukan penelitian selama ini.

Saya, yang sudah agak terbiasa dengan gempa kecil--karena setiap saat terjadi--pada awalnya tidak terlalu khawatir.
Namun gempa yang awalnya perlahan itu semakin membesar dan begitu lama, sehingga saya dan para penumpang yang berada di underground stasiun kereta teramai di kawasan Shinjuku itu pun memaksakan diri keluar dari kereta yang sudah mau berangkat. Guncangan semakin dahsyat, sirene meraung-raung, para penumpang semua keluar dari kereta.
Kereta saling beradu dengan platform, begitu pun dengan atap underground, sehingga menimbulkan bunyi yang sangat ramai dan menakutkan. Saya pun mengira dan hanya berdoa... itu hari terakhir saya.

Guncangan yang dahsyat itu benar-benar membuat panik. Membayangkan besarnya gempa, sementara Tokyo dan sekitarnya penuh gedung pencakar langit.
Apalagi, dalam batin saya, kalau suplai oksigen di underground nanti terputus?
Apa jadinya? Ternyata, gempa terjadi berpuluh bahkan beratus kali dengan frekuensi semakin lama semakin kecil (bahkan ketika tulisan ini dibuat pun, Selasa 14 Maret 2011, terjadi guncangan cukup besar meski sebentar saja). Saya akhirnya terjebak kurang-lebih 10 jam bersama ribuan orang lainnya dan berjam-jam pula tidak bisa kontak dengan istri di rumah dan anak-anak yang sedang sekolah saat itu.
Manusia Jepang Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2010 (ada juga yang menyebutnya "Tragedy of 11311") itu memang di luar perkiraan masyarakat Jepang. Bahkan ada ahli gempa di Jepang yang mengatakan bahwa gempa seperti itu hanya terjadi setiap 1.000 tahun. Dan bahwa akan ada gempa besar di Jepang, termasuk wilayah Tokyo, masyarakat Jepang sudah memperkirakannya, meski ternyata kedahsyatannya di luar dugaan. Sebab, mereka percaya adanya siklus gempa 100 tahunan, karena pada 1923 terjadi gempa yang menewaskan 140 ribu orang, yang dikenal dengan sebutan Great Kanto, yang ketika itu orang-orang sedang makan siang. Karena itu, mereka yang percaya pada siklus gempa tersebut menghindari untuk tinggal di daerah sekitar Kanto, termasuk Tokyo.

Bagaimana manusia Jepang menghadapi bencana? Yang menarik dari masyarakat dan manusia Jepang adalah kesiapan mereka dalam menghadapi bencana, seperti gempa dan tsunami. Saya bukan ahli gempa--dan banyak ahli gempa Indonesia alumnus Jepang. Namun, sebagai seorang awam, saya mencatat beberapa hal. Pertama, sikap mentalnya. Dalam diri mereka dari bayi sudah ditanamkan sifat untuk sensitif, termasuk sensitif terhadap gempa. Masyarakat Jepang di komplekskompleks perumahan, misalnya, secara rutin tanpa kecuali, termasuk perdana menterinya, ikut pelatihan menghadapi gempa. Di sekolah-sekolah pun pelatihan semacam ini diadakan secara rutin. Semua peralatan latihan sudah dipersiapkan, seperti helm, masker, senter, dan lain-lain.
Dilatih bagaimana misalnya harus menyelamatkan bagian kepala terlebih dulu dengan menyembunyikan bagian kepala di bawah meja saat gempa, tidak memakai elevator, keluar di pintu darurat, persediaan makanan kering kecil di bawah meja kalau terjebak, obat-obatan, dan seterusnya.

Kedua, konstruksi antigempa. Sebagian besar bangunan di Jepang antigempa, sehingga kebijakan pemerintah dalam soal tata ruang, bangunan, dan semacamnya disesuaikan dengan kondisi yang rawan gempa. Mereka adalah masyarakat yang mau belajar dari pengalaman masa lalunya. Semua kejadian mereka catat, mereka dokumentasikan. Gempa yang terjadi di Kobe pada 1995, yang menewaskan sekitar 5.000 jiwa, misalnya, menginspirasi mereka untuk membangun Earthquake Museum di kawasan Nada di Kobe, yang kebetulan beberapa kali saya sempat berkunjung. Di museum tersebut, hampir semua kejadian gempa di seluruh dunia, termasuk gempa Aceh 26 Desember 2004, terdapat dokumentasinya. Tujuannya tidak lain untuk mengingatkan dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar siap siaga, setiap saat menghadapi bencana gempa.

Ketiga, masyarakatnya terorganisasi.
Masyarakat Jepang sangat terorganisasi.
Mereka bahu-membahu untuk menolong, menyediakan obat-obatan, makanan, peralatan musim dingin, dan semacamnya dengan sangat sigap. Walaupun sudah dilanda gempa dan tsunami besar, mereka tetap tertib. Tidak ada yang ingin menyela hak orang lain, termasuk dalam antrean di mana pun, di supermarket, stasiun kereta, bank, dan lain-lain. Singkat kata, tabu di Jepang untuk hanya menonjol sendiri. Ma kanya, sering kita lihat orang-orang Jepang beper gian secara bersama-sama dan satu orang membawa ben dera sebagai penanda. Demikian juga ketika terjadi gempa dan tsunami.

Keempat, perintah satu ko mando. Meskipun belakangan pe merintah Perdana Menteri Naoto Kan didera berbagai persoalan politik--misalnya membelotnya 16 politikus pendukung Ozawa dan mundurnya Menlu Maehara karena menerima uang ilegal dalam jumlah kecil--dalam soal bencana, mereka satu komando, pemerintah punya wibawa.
Suara pemerintah didengarkan dengan seksama. Malahan, menghadapi bencana yang sangat besar ini--bahkan dikatakan sebagai bencana terbesar setelah PD II-PM Naoto Kan diminta mengalokasikan anggaran negara lebih besar lagi, termasuk oleh oposisi politiknya.

Para petugas yang berkompeten memberi penjelasan yang disiarkan melalui semua saluran media. Selama gempa, umpamanya, beberapa hari tidak ada satu media televisi pun yang menayangkan iklan.
Semuanya berkonsentrasi pada penyebaran informasi serta upaya penanggulangan gempa. Semua media memiliki rasa solidaritas yang tinggi, dan tidak takut rugi karena tak menayangkan iklan. Early Warning Earthquake setiap saat siap memberi informasi akan terjadinya gempa melalui semua saluran seluler, sehingga masyarakat tahu lebih dini. Suplai makanan dari satu daerah ke daerah lainnya diatur. Penggunaan dan pemadaman listrik serta gas secara bergilir diumumkan sejak dini secara nasional. Semuanya dalam kerangka solidaritas mereka, yakni kebersamaan, meskipun saat ini mereka sedang menghadapi atau mengantisipasi second disaster atau dampak pasca-bencana yang mengkhawatirkan, seperti kemungkinan terjadinya radiasi nuklir karena bocornya PLTN di daerah Fukushima.
Atau penyakit-penyakit susulan lainnya yang diakibatkan dari banyaknya korban jiwa.

Dari semua yang terpapar di atas, intinya masyarakat Jepang memiliki bangunan solidaritas yang kuat; "saling-saling dalam pengertian positif", bukan "salingsaling yang negatif", seperti saling tidak peduli, saling tuduh, saling balas, saling menjatuhkan, saling fitnah, saling sandera, saling merasa paling benar, paling suci, paling berjasa, dan seterusnya. Bisakah kita bayangkan kalau gempa dengan kekuatan 9 pada skala Richter terjadi di Jakarta? Apa yang terjadi? Sudah siapkah?
Adakah solidaritas? Masihkah ada penghargaan hak-hak orang lain? Kita sudah mengalami gempa dan tsunami luar biasa di Aceh, namun kenyataannya kita juga belum banyak mengambil hikmah dan pelajaran. Padahal, betapa mudahnya bagi Yang Maha Kuasa untuk mengubah dan menentukan keadaan dalam sekejap.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/17/ArticleHtmls/17_03_2011_012_021.shtml?Mode=1

Kabur dari Tokyo, Carter Jet Pribadi

DAMPAK NUKLIR JEPANG


Ribuan orang panik sudah dan sedang berusaha meninggalkan Jepang. Tak hanya memakai kapal laut, pesawat terbang reguler, atau mencarter pesawat umum, para eksekutif pun mencarter pesawat jet pribadi.

Begitulah ekspresi reaktif orang asing yang panik dan takut terpapar radiasi nuklir menyusul ledakan beruntun di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Terutama lagi setelah makin banyak yang dilaporkan terpapar radiasi, yakni 190 orang.

Sebanyak 2 anggota tim penyelamat Australia dan 2 dari Selandia Baru, misalnya, terkena radiasi tingkat rendah setelah helikopter mereka mendarat dekat bandara yang terkena bencana tsunami, dan belakangan terpapar radiasi nuklir.

Terminal keberangkatan internasional Bandara Narita, Tokyo, Rabu (16/3), padat oleh ribuan calon penumpang. Terdeteksi adanya paparan radiasi menunjukkan, krisis nuklir sudah di luar kendali.

”Saya telah menerbangkan 14 orang dari Tokyo ke Hongkong, dengan lama penerbangan 5 jam dan 5 menit. Mereka tidak peduli soal tarif, membayar lebih tinggi 26 persen, paling sedikit 160.000 dollar AS,” kata Jackie Wu dari Hong Kong Jet, perusahaan jet pribadi, anak perusahaan HNA Group, China.

Wu melanjutkan, ”Kemarin sebuah pesawat jet carteran dari Tokyo ke Australia dengan tarif 265.000 dollar AS atau naik sekitar 20 persen.”

Jika 1 dollar AS setara dengan Rp 9.000, itu berarti tarif carter pesawat jet tersebut berkisar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2,25 miliar. Sekali lagi, para eksekutif itu tidak peduli berapa pun tarifnya, yang penting bisa keluar dari Jepang dan bebas dari paparan radiasi nuklir itu.

Mike Walsh, CEO Asia Jet, perusahaan yang menyediakan layanan pesawat jet pribadi dan reguler, mengatakan, mereka sudah menerbangkan tiga pesawat evakuasi dari Tokyo ke Hongkong, Rabu pagi. Menjelang siang, permintaan meningkat cukup signifikan.

”Permintaan meningkat karena situasi memburuk. Makin banyak orang risau dan ingin mengungsi dari Tokyo,” kata Walsh kepada Reuters. ”Kami sekarang siap melayani lebih dari 1.000 orang yang ingin mengungsi sejak pagi,” lanjutnya.

Asia Jet memiliki lima pesawat Airbus A330 yang masing-masing dapat mengangkut hampir 300 orang.

Metrojet, perusahaan penerbangan bisnis berbasis di Hongkong, menyatakan sudah ada permintaan. Mereka menyiagakan 28 pesawat, termasuk dua Gulfstream G200, yang masing-masing berkapasitas 10 orang dengan tarif 5.900 dollar AS per jam, sudah termasuk tarif bandara dan biaya lainnya.

Mereka yang mengungsi itu umumnya pekerja dan eksekutif bank, atau perusahaan multinasional asal Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan paling jauh adalah Australia dan Amerika Serikat. Gempa, tsunami, dan terakhir adalah ancaman paparan radiasi nuklir telah mendorong banyak warga asing meninggalkan Jepang.

Krisis nuklir telah membuat penduduk Jepang panik, dan terutama lagi warga asing. Kondisi ini telah menyebabkan suasana sejumlah kota sepi, termasuk Tokyo. Penerbangan ke Tokyo telah dikurangi setelah 14 negara, termasuk Indonesia, menerapkan peringatan untuk tak melakukan perjalanan (travel ban dan travel advisory) ke Tokyo dan Jepang umumnya.

Staf dan eksekutif BNP Paribas, Standard Chartered, dan Morgan Stanley termasuk di antara sejumlah bank asing yang telah meninggalkan Jepang, Rabu. Sehari sebelumnya Asosiasi Bankir Internasional (IBA) di Tokyo, mewakili 16 bank investasi besar, menyatakan belum ada satu pun dari mereka yang tutup atau meminta pemerintahnya mengevakuasi mereka dari Tokyo.

IFR, salah satu lembaga publikasi Thomson Reuters, telah berbicara dengan 14 bankir sindikasi obligasi dan ekuitas Citigroup, JP Morgan, Deutsche Bank, Morgan Stanley, Bank of America-Merrill Lynch, dan BNP Paribas untuk mengungsi ke Hongkong, Seoul, dan Singapura dalam minggu ini. Hal itu merupakan akibat dari memburuknya dampak ledakan pada reaktor nuklir PLTN Fukushima Daiichi sekitar sepekan ini.

Beberapa bankir membandingkan situasi ini dengan saat wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada tahun 2003. SARS muncul di China selatan pada tahun 2002, menyapu Provinsi Guangdong dan Hongkong, sebelum menyebar luas tahun 2003. Sekitar 8.000 orang terinfeksi dan 800 orang tewas, yang mendorong gelombang profesional asing meninggalkan Hongkong.

Beberapa negara telah membatalkan atau menunda penerbangan ke Tokyo. Ada juga yang tetap terbang, tetapi menghindari rute Tokyo dan Fukushima.

Air China membatalkan beberapa penerbangan ke Tokyo dari Beijing dan Shanghai, terutama karena kurangnya kapasitas operasional di beberapa bandara (www.airchina.com.cn). China Eastern Airlines menghentikan penerbangan dari Shanghai ke Fukushima.

Penerbangan dari China ke kota-kota lain di Jepang masih berlaku. Akan ada penerbangan ekstra dari Tokyo, Kamis, untuk melayani warga China yang akan pulang menghindari paparan radiasi nuklir.

Ada negara yang tetap menerbangkan pesawat ke Jepang, tetapi tidak ke Tokyo dan Fukushima dan kota yang terpapar radiasi nuklir. Lufthansa Jerman mengalihkan penerbangan rute Tokyo ke Osaka dan Nagoya.

Krisis nuklir Jepang telah meningkatkan kekhawatiran internasional. Taiwan dan Singapura, misalnya, mendeteksi makanan impor dari Jepang.

Kepercayaan publik Jepang terhadap kemampuan pemerintahan Perdana Menteri Naoto Kan menangani krisis nuklir mulai dikritik warganya. ”Pemerintah ini tidak berguna,” kata Masako Kitajima, warga Tokyo.

(AFP/AP/REUTER/CAL)

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/02371411/kabur.dari.tokyo.carter.jet.pribadi

Dewan Pemburu Rente

Reza Syawawi

The phenomenon of corruption goes deep into the very nature of power in Indonesia.

(Richard Robison; The Rise of Capital, 1986)

Kutipan ini menggambarkan bahwa akar korupsi di Indonesia berasal dari kekuasaan politik.

Para aktor dan elite politik bermusyawarah tidak untuk memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi rakyat, tetapi justru berkolusi untuk menggerogoti dana-dana publik (APBN/APBD). Pembangunan gedung baru DPR menjadi bentuk perilaku korup para legislator dengan menggunakan kekuasaan yang melekat pada fungsi DPR, salah satunya menyangkut fungsi di bidang anggaran. Dengan fungsi ini, DPR telah mengabaikan penolakan publik atas pengalokasian anggaran pembangunan gedung baru tersebut.

Sikap ini juga bisa dipandang sebagai sikap apatis para anggota DPR terhadap keterpurukan perekonomian masyarakat Indonesia. DPR lebih memilih memperjuangkan kepentingan diri dan kroninya dengan menginjak-injak amanah pemilihnya. Meskipun menuai penolakan publik, pembangunan gedung setinggi 36 lantai dengan biaya Rp 1,3 triliun dipastikan tetap dilakukan (Kompas, 8/3).

Upaya pembangunan gedung ini telah menghabiskan anggaran negara hingga Rp 14,7 miliar, yang digunakan pada tahap awal perencanaan. Padahal, tahun 2010 telah dianggarkan Rp 250 miliar. Jika dikalkulasi, pembangunan gedung baru DPR ini tidak hanya berada pada kisaran Rp 1,3 triliun, tetapi akan sampai pada angka Rp 1,4 triliun (Fitra).

Kebohongan DPR

Inisiatif pembangunan gedung baru ini sejak awal telah dicurigai karena tidak berdasarkan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. DPR telah berbohong untuk memuluskan rencana pembangunan gedung.

Kebohongan diduga sebagai bentuk ”legalisasi” rencana pembangunan gedung baru DPR. Setidaknya DPR telah melakukan empat kebohongan.

Pertama, bohong tentang kemiringan gedung DPR. Klaim ”gedung miring” ini terbantahkan dengan sendirinya. Kedua, kebohongan DPR bahwa semua fraksi menyetujui rencana pembangunan. Fakta yang terungkap justru sebaliknya, Fraksi Gerindra ternyata telah dua kali menolak, yakni pada Oktober 2010 dan Januari 2011.

Kebohongan ini patut digugat dan diungkap karena Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, jika salah satu fraksi saja menolak usulan ini, pembangunan gedung baru akan dibatalkan. Ternyata, pascapenolakan Fraksi Gerindra, upaya pembangunan gedung tetap berlangsung.

Kini, fraksi yang menolak usulan sepertinya telah berbalik arah jadi mendukung. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR yang juga kader Fraksi Gerindra bahwa pembangunan akan tetap dilanjutkan (Kompas, 8/3).

Ketiga, kebohongan DPR menyangkut upaya perbaikan kinerja. Alasan ini masuk kategori kebohongan karena fakta yang ada justru sebaliknya. Fasilitas yang selama ini diberikan oleh negara kepada anggota DPR ternyata tidak berdampak meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan ketiga fungsi DPR: legislasi, pengawasan, dan anggaran (”Darurat Parlemen”, Kompas 13/1).

Keempat, kebohongan DPR yang ”mengambinghitamkan” karyawan DPR dalam penyediaan fasilitas rekreasi, seperti kolam renang, pada gedung baru. Padahal, tak ada survei apa pun yang bisa menjustifikasi bahwa karyawan DPR membutuhkan itu. Kebohongan-kebohongan ini jadi pelengkap dari permufakatan jahat parlemen untuk menggerogoti dana publik dengan ”topeng” pembangunan gedung baru. Fakta ini seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa pilihan mereka untuk mewakilkan kepentingan melalui anggota DPR telah dikhianati.

Memburu rente

Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di balik pembangunan gedung ini semakin tidak terbantahkan. Apalagi, tren menunjukkan, tidak sedikit anggota DPR yang memiliki latar belakang sebagai pebisnis.

Dalam sejarah politik di Indonesia, tampaklah bahwa akar korupsi terdapat dalam praktik pemburuan rente yang sudah berurat-akar sejak zaman prakemerdekaan. Para elite secara sistematis menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran.

Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada tataran aktor dan elite politik di parlemen. Walaupun telah mengalami pemutakhiran, ternyata perilakunya tetap sama.

Konfigurasi semacam ini telah menjadi ”parasit” bagi negara, terutama dalam hal pengelolaan dana publik, sehingga inisiatif untuk menyejahterakan masyarakat hanya menjadi slogan semata.

Pembangunan gedung baru DPR yang bermasalah ini menyiratkan bahwa problem politik semacam ini sedang melanda DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal (Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Dewan Pemburu Rente.

Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan TI Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03001754/dewan.pemburu.rente

Politik, Partai, dan Militansi

Donny Gahral Adian

Hiruk-pikuk politik belakangan ini menyembunyikan sesuatu yang banal: retak koalisi akibat pengajuan hak angket oleh parlemen, anti-kebebasan pers Menteri Sekretaris Kabinet, dan bocor kawat diplomatik yang menyengat beberapa tokoh republik ini.

Kita tahu semua itu akan berakhir di meja negosiasi. Politik berubah menjadi sesuatu yang purba bernama oikonomia. Oikonomia alias ekonomi sesungguhnya kehilangan sesuatu yang fundamental dalam politik bernama militansi. Logika oikonomia adalah logika pertukaran yang saling menguntungkan. Ia tak punya kosakata menjelaskan militansi. Politik, sebaliknya, adalah militansi berkelanjutan terhadap prinsip atau ideologi. Militansi boleh dibilang adalah raison d’être politik.

Asketisme masih ada

Militansi bukan gagasan abstrak, melainkan sikap hidup yang konkret. Wali Kota Surakarta Joko Widodo dikabarkan tak pernah mengambil gajinya. Selaku wali kota, beliau cukup hidup dari usaha mebel dan persewaan gedung pertemuan miliknya. Kita seperti ditohok mendengarnya. Politik yang sangat transaksional ternyata masih menyembunyikan asketisme semacam itu. Alih-alih mengeluh soal gaji, Pak Wali Kota justru bertanya balik kepada wartawan yang mewawancarainya, ”Kenapa, kok, tanya-tanya soal gaji?”

Pertanyaan Pak Wali Kota bukan bentuk ketakpedulian. Beliau peduli terhadap kemakmuran pribadi, tetapi menempatkan kemakmuran bersama di atas yang pribadi. Pak Wali Kota tak menganggap gaji sebagai variabel penting dalam kepemimpinan politik. Sikap Pak Wali Kota menunjukkan betapa politik menyimpan sesuatu yang melampaui persoalan nafkah pribadi. Machiavelli menyebutnya virtu, saya menyebutnya militansi. Militansi bukan karakter bawaan. Ia sesuatu yang ditempa secara kolektif-organisatoris.

Militansi di sini ialah identitas kolektif yang terdaftar secara politik. Itu adalah kriterium pembeda antara politikus sebenarnya dan politikus seolah-olah, antara politikus ideologis dan politikus pragmatis. Absennya militansi pada seorang politikus dapat dibaca sebagai kegagalan pembentukan identitas kolektif.

Kegagalan pembentukan identitas kolektif adalah kegagalan politik. Kegagalan ini bersumber dari sebuah cara berpolitik yang memuliakan individualitas dan mementahkan kolektivitas. Filsuf Chantal Mouffe (2002) terang-terangan menuduh liberalisme sebagai cara berpolitik sedemikian.

Melanjutkan gugatan Carl Schmitt, Mouffe menuduh liberalisme gagap dalam memahami pembentukan identitas kolektif. Kegagalan ini disebabkan semangat konsensus yang berlebihan sehingga menihilkan antagonisme. Padahal, antagonisme adalah prasyarat pokok pembentukan identitas kolektif.

Antagonisme menyiratkan betapa identitas kolektif dibentuk melalui perbedaan. Sebuah perbedaan tak mesti menjadi politis. Perbedaan antara saya yang berprofesi sebagai guru dan teman yang berprofesi sebagai pengacara bukan perbedaan politik. Di situ identitas kolektif terbentuk, tetapi bukan identitas politik yang menyimpan militansi. Namun, ketika saya membentuk serikat guru berdasarkan ideologi pendidikan tertentu dan melawan status quo, perbedaan politik muncul. Sebuah perbedaan jadi politis ketika yang lain mulai mempersoalkan identitas dan mengancam eksistensi kita.

Bercorak politik

Militansi bertolak dari perbedaan yang bercorak politik. Pertanyaannya, apakah kepartaian sebagai kolektivitas bisa melahirkan kader militan? Dosa besar liberalisme, menurut Mouffe, adalah meratakan antagonisme serta mengubahnya menjadi diskusi dan negosiasi. Lawan politik berubah menjadi mitra diskusi atau bahkan dagang.

Dalam iklim anti-antagonisme semacam itu fungsi kepartaian dalam membentuk identitas kolektif menjadi tumpul. Partai hanya melahirkan kader yang cakap bernegosiasi, tetapi gagap saat ditanya persoalan ideologi. Militansi menjadi romansa kuno yang enak didengar, tetapi malas diejawantahkan.

Dalam arena politik kita belakangan ini militansi sudah digeser oleh negosiasi. Politik menjadi apa yang disebut Schmitt ”arena netral di mana berbagai kelompok berebut kekuasaan”. Kekuasaan pun jadi raison d’être politik. Pragmatisme jadi mata uang baru perpolitikan republik. Partai bergerak layaknya perseroan terbatas yang hanya mencetak kader pragmatis yang buta militansi. Rapat partai hanya sibuk membicarakan biaya politik untuk pemilu mendatang, bukan kaderisasi berbasis ideologi yang jelas dan terpilah.

Kasus Joko Widodo menyiratkan sesuatu yang sama sekali lain. Dia memerintah Surakarta tak berdasarkan kompetensi, melainkan ideologi. Militansi pada ideologi partainya membuat Pak Wali Kota menolak semua izin pendirian mal. Militansi yang sama membuatnya memindahkan pedagang kaki lima dengan cara mulia. Apakah ini dapat dibaca sebagai keberhasilan partai melahirkan kader militan yang berguna bagi orang banyak? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan faktual yang dapat dibantah dengan statistik. Yang dipersoalkan di sini bukan faktualitas, melainkan garis normatif kepartaian kita.

Suka tak suka, partai adalah pilar penting dalam sistem demokrasi yang kita anut. Demokrasi tidak sekadar berkutat dengan kuantitas, tetapi juga kualitas. Pertanyaannya, sejauh mana partai sebagai institusi pembentuk identitas kolektif mampu melahirkan politisi yang militan secara ideologis?

Militansi yang dipertontonkan Joko Widodo berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan politik. Karakter itu lahir dari rahim kepartaian, bukan sekolah pemerintahan. Partai berutang pada publik untuk mencetak pemimpin berkualitas. Artinya, partai—apa pun itu—bertanggung jawab memperbaiki kualitas kadernya yang mengisi segenap ruang representasi politik.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03013512/politik.partai.dan.militansi

Hantu "Recall" Wakil Rakyat

Refly Harun

Pemungutan suara terhadap usulan pembentukan panitia khusus angket DPR untuk mafia pajak, 22 Februari lalu, telah memakan korban.

Dua anggota DPR yang balela dari garis partai, yaitu Lily Wahid dan Effendy Choirie (Gus Choi), dari Partai Kebangkitan Bangsa, partai pendukung koalisi pemerintah, siap-siap kehilangan kursi empuk DPR. Pimpinan PKB telah mengajukan penarikan (recall) terhadap keduanya.

Surat recall telah diteruskan Ketua DPR Marzuki Alie kepada Komisi Pemilihan Umum. KPU nanti akan mengecek apakah calon pengganti sesuai dengan hasil pemilu di KPU, yaitu suara terbanyak berikutnya. Bila aspek-aspek administratif tidak bermasalah, bisa dipastikan Presiden akan segera mengeluarkan keputusan tentang pemberhentian Lily Wahid dan Gus Choi serta mengeluarkan keputusan baru tentang penetapan anggota DPR pengganti.

Semudah itukah recall? Begitulah fakta hukum positifnya. Dalam prosesi recall, terlibat empat institusi, yaitu pimpinan parpol pengusul, pimpinan DPR, KPU, dan Presiden. Hanya pimpinan parpol yang punya kewenangan substantif, sedangkan tiga institusi sisanya hanya memiliki kewenangan administratif. Sepanjang administrasi recall beres, mereka tidak dapat menahan proses recall.

Jadi, apa yang dilakukan Ketua DPR Marzuki Alie dengan meneruskan usul recall ke KPU sudah tepat kendati tindakan ”buru-buru” tersebut dikritik Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

Suka atau tidak, dalam perspektif ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini), recall adalah tindakan sah. Ia dapat digunakan sewaktu-waktu oleh parpol. Oleh karena itu, siapa pun yang menentang recall harus mengupayakan dihapusnya ketentuan itu dalam undang-undang. Saya sendiri tetap berpendapat recall bertentangan dengan konstitusi, terlepas bahwa Mahkamah Konstitusi pernah menolak penghapusan recall pada putusan tahun 2006.

Rakyat lebih berhak

Ketika berkunjung ke kantor Christian Democratic Union, partai terbesar di Jerman pimpinan Angela Merkel (kini Kanselir Jerman), di Berlin, September tahun lalu, saya sempat bertanya soal recall kepada salah satu ahli hukum di kantor tersebut. ”Apakah ada recall di parlemen Jerman?” Dengan mantap ia menyatakan tidak ada.

”Karena itu akan bertentangan dengan konstitusi,” katanya. ”Tapi, bagaimana kalau anggota parlemen menentang kebijakan partai?” tanya saya lagi. ”Tidak mengapa karena anggota parlemen Jerman mewakili rakyat. Paling-paling dia tak dicalonkan lagi pada pemilu berikutnya.”

Jawaban itu mengingatkan saya pada putusan MK tentang kasus recall yang diajukan Djoko Edhi Abdurrahman, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, pada 2006. MK menolak membatalkan ketentuan recall dengan perbandingan suara 5:4. Lima hakim setuju recall dipertahankan dan empat hakim menilai recall bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan.

Dalam komposisi lima-empat tersebut Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Wakil Ketua MK Laica Marzuki termasuk yang ingin recall dihapus. Sayang, mereka kalah suara. Lima hakim yang pro-recall saat itu adalah Roestandi, Natabaya, Soedarsono, Palguna, dan Harjono. Dua lagi yang kontra adalah Maruarar Siahaan dan Mukti Fadjar.

Salah satu alasan dipertahankannya recall adalah sistem pemilu yang digunakan, yaitu sistem proporsional, tidak langsung memilih calon. Calon harus dinominasikan parpol agar dapat terpilih sehingga masuk akal bila parpol diberi juga hak untuk menarik anggota tersebut.

Adapun yang kontra-recall menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran hubungan hukum ketika seorang calon terpilih sebagai anggota DPR. Ketika akan dinominasikan, hubungan hukumnya dengan parpol yang mengajukan, sedangkan ketika terpilih dengan rakyat yang memilih. Dengan kata lain, rakyatlah yang lebih berhak atas anggota DPR tersebut ketimbang parpol.

Alasan hakim yang pro-recall sebenarnya terlalu mengada-ada dan terbilang ”kuno”. Jerman, misalnya, juga menggunakan sistem pemilu yang lebih kurang sama dengan Indonesia. Bahkan 50 persen anggota parlemen Jerman terpilih karena nomor urut karena Jerman menerapkan sistem proporsional campuran (mixed member proportional) dengan formula 50:50 antara kursi proporsional dan kursi mayoritarian (distrik).

Dengan mekanisme calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dipraktikkan pada Pemilu 2009, sesungguhnya peran pemilih jauh lebih besar ketimbang peran parpol dalam menentukan keterpilihan seorang calon. Hingga titik ini recall yang dikaitkan dengan sistem pemilu sudah kehilangan pijakan.

Pengaitan itu sendiri sebenarnya juga tak tepat karena recall jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat. Rakyat yang memberikan mandat, seharusnya rakyat pula yang berhak menariknya. Bila ayat-ayat recall tetap dipertahankan dalam UU, saatnya kini MK menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, ke depan tak ada lagi hantu recall bagi wakil rakyat yang sudah terpilih melalui pemilu.

Refly Harun Pengamat Hukum Tata Negara; Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro)

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03051868/hantu.recall.wakil.rakyat

Treble Disaster dan Momentum Kebangkitan Jepang

Dunia baru saja dikejutkan oleh tragedi gempa dan tsunami dahsyat di Jepang, Jumat minggu lalu. Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter meluluhlantakkan wilayah Tohoku yang antara lain meliputi prefektur (di Indonesia seperti kabupaten) Iwate,Miyagi,dan Fukushima.

Gelombang Tsunami setinggi 10 meter pun menghempaskan semua yang di hadapannya di sepanjang pantai timur laut Jepang. Keadaan dan situasi semakin buruk ketika terjadi ledakan pada pembangkit tenaga nuklir Fukushima Daiichi akibat gempa.Karena itu,apa yang dialami Jepang, penulis sebut, sebagai “treble disaster” yaitu tiga bencana yang datang bersamaan dengan konsekuensi tersendiri yang membentuk kompleksitas masalah yang multidimensi dan geografis. Pertama, Jepang mengalami bencana alam berupa gempa dan tsunami.

Suatu tragedi force majeure yang tak bisa dihindarkan oleh umat manusia. Dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat Jepang, tetapi juga negara sekitarnya bahkan dunia dengan tingkat yang berbeda. Kedua, Jepang mengalami bencana kemanusiaan dengan korban tewas, hilang, lukaluka, dan pengungsian.Ini berarti semakin mengurangi jumlah penduduk Jepang yang sedang dalam kondisi ageing society (masyarakat yang struktur penduduknya mayoritas lanjut usia).

Ketiga, bencana ilmu pengetahuan dan teknologi berupa meledaknya reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Tragedi ketiga inilah yang semakin menambah dimensi yang lebih mencekam, berbahaya, dan mengkhawatirkan karena berpotensi menjalar ke wilayah lain bila tingkat kandungan radioaktif yang menyebar semakin tinggi, bahkan mencapai negara-negara tetangga terdekat Jepang.

Dampak yang Masif

Dalam jangka pendek dampak ketiga bencana tersebut adalah negatif.Penduduk tewas diperkirakan sudah lebih dari 3.700 orang (16/3),10.000 orang hilang, dan ribuan diungsikan karena kehilangan tempat tinggal. Angka ini berpotensi terus bertambah. Melihat perkembangan korban baik jiwa dan materiil, bisa jadi gempa dan tsunami ini merupakan tragedi terburuk sejak Perang D u n i a Kedua.

Walau tidak mudah memprediksi kerugian material, selain belum ada angka resmi dari pemerintah yang masih menghitung, taksiran kerugian mencapai lebih dari USD180 miliar hanya di daerah yang tertimpa gempa dan sekitarnya. Jumlah itu dipastikan akan terus bertambah bila memasukkan kerugian ekonomisnya. Angka ini sudah jauh melebihi kerugian gempa Kobe, 17 Januari 1995 yang berskala jauh lebih kecil yaitu 7,3 Skala Richter dengan kerugian mencapai USD100 miliar.

Wilayah Tohoku sebagian besar merupakan wilayah pertanian dan perikanan di daerah pinggiran pantai disertai industri pengolahan hasil laut seperti udang dan ikan. Dengan demikian, yang paling menderita adalah para nelayan dan para pekerja di pabrik-pabrik yang mengolah produk-produk turunan dari hasil laut. Di wilayah tersebut terdapat juga pabrik mobil, semikonduktor, dan komponen.Namun,Tohoku bukan termasuk daerah aglomerasi industri seperti di Jepang bagian barat dan selatan.

Industri manufaktur tergolong minim karena cakupannya hanya 2% dari total ekonomi Jepang. Dengan demikian, dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan diperkirakan tidak terlalu besar. Sektor keuangan pun berkontraksi. Jumat lalu dilaporkan GDP Jepang berkurang 0,1- 0,2%,bila dihitung sampai 2011 berarti akan berpotensi mengurangi GDP Jepang sebanyak 1,3%. Indeks Nikkei sempat turun 10,55% ke angka 8,605 menembus batas psikologis 9,000.

Indeks ini terendah selama dua tahun terakhir. Kebanyakan sahamsaham perusahaan, elektronika, otomotif, minyak,dan gas yang berjatuhan. Walaupun pada 16 Maret pagi Indeks Nikkei 225 tersebut sudah terkoreksi dan mulai menguat menjadi 9,168.51. Kekhawatiran berkurangnya likuiditas pasar pun muncul diakibatkan para investor baik swasta maupun pemerintah akan menarik uangnya dan dialihkan untuk rekonstruksi gempa. Merespons hal ini, Bank of Japan (BoJ) berusaha menggaransi kestabilan pasar dan membangkitkan kepercayaan pasar dari kepanikan akibat tiga tragedi ini.

Bank Sentral Jepang sampai hari ini telah menggelontorkan lebih dari 45 triliun yen. Dampak dari ketidakmampuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadapi gempa dan tsunami berskala besar terbukti pada kasus meledaknya reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Walaupun telah diupayakan pendinginan reaktor dengan memompakan air laut, dampak ledakan berupa tingkat kandungan radioaktif telah mencapai 8.200 microsieverts di sekitar reaktor. Kandungan ini 8-10 kali melebihi ambang batas normal manusia dapat terkena radioaktif dalam setahun.

Imbasnya pun bisa terasakan hingga tiga tahun. Kabar terakhir bahkan menyebutkan ambang efek radioaktif di Tokyo telah melebihi 20% di atas rata-rata. Sedangkan dari dimensi regional maupun internasional, gangguan terbesar adalah pada rantai pasokan distribusi komponen untuk industri. Beberapa komponen elektronik, semikonduktor, maupun otomotif dari Jepang akan terhambat akibat penutupan atau penundaan produksi beberapa pabrikan. Hal ini jelas akan berimbas pada penurunan output paling tidak dalam jangka pendek.

Negara-negara di dunia pun sigap mengulurkan tangan memberikan bantuan. Pertemuan G-8 di Prancis telah berkomitmen membantu Jepang secara maksimal. China, seteru ekonomi dan politik regional Jepang, pun dengan cepat telah mengirimkan bantuan uang,bahan makanan,maupun relawan. Bagi Indonesia, aktivitas ekspor impor akan sedikit terganggu dalam jangka pendek. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah komitmen investasi Jepang jangka panjang.

Proyek Metropolitan Priority Area yakni pembangunan infrastruktur Ibu Kota dan sekitarnya terancam dihentikan atau paling tidak mengalami penundaan.Bagaimanapun Jepang akan memberikan prioritas fokus rekonstruksi kondisi domestik dengan memberikan hak sepadan bagi warga negaranya pembayar pajak yang setia terlebih dahulu.

Seperti tecermin dari kutipan seorang profesor strategi dari Gakushuin University Tokyo, Shigeru Asaba di awal tulisan ini yang disampaikan langsung kepada penulis, rasa keoptimisan dan tekad membaja untuk bangkit telah terpatri di sanubari tiap manusia Jepang. Mereka telah siap untuk berjuang bangkit kembali. Di sinilah kepemimpinan Perdana Menteri Naota Kan diuji mewujudkan kembali kedigdayaan negeri matahari terbit ini.●

TIRTA N MURSITAMA PHD
Direktur Eksekutif Center for East Asian
Cooperation Studies Universitas Indonesia,
Alumnus Gakushuin University, Tokyo, Jepang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/387605/

Mampukah Prime Lending Rate Menekan Bunga Kredit?

Dengan gagah berani Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Bunga Dasar Kredit (SBDK) (prime lending rate).

Kebijakan itu bertujuan untuk mengurangi penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM).Mampukah prime lending ratemenekan bunga kredit? Apa itu SBDK ? SBDK adalah bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank.

SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen yakni harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overheadyang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit,dan margin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. Ingat,SBDK belum termasuk premi risiko individual nasabah bank.Premi risiko mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitor yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitor, jangka waktu kredit,dan prospek usaha yang dibiayai.

Sarinya, SBDK belum tentu sama dengan bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitor. Bank nasional dengan total aset minimal Rp10 triliun per 28 Februari 2011 (sekitar 44 bank) wajib mengumumkan SBDK efektif 31 Maret 2011 melalui laman,koran,dan seluruh kantor cabang bank.Yang wajib diumumkan adalah SBDK untuk kredit korporasi,kredit retail,dan kredit konsumsi.

BI menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah dan (b) meningkatkan good corporate governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik.

Kenaikan bunga kredit itu merupakan ancaman serius. Mengapa? Karena beban alias biaya bank nasional kini kian berat antara lain untuk memenuhi kewajiban mulai awal Maret 2011.Simak alasan berikut ini. Pertama,bank nasional dituntut untuk memiliki loan to deposit ratio(LDR) minimal 78% per 1 Maret 2011.Itu artinya, ekspansi kredit besar-besaran yang pasti membutuhkan dana raksasa.

Padahal,belum semua bank mampu memenuhinya. Tengok saja,hanya kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa dengan LDR 79,11%,bank pembangunan daerah (BPD) 78,26%,bank campuran 100,61%,dan bank asing 90,86% yang sudah memenuhi syarat itu. Artinya,Kelompok bank persero dengan LDR 71,54% dan BUSN devisa 73,16% belum mencapai level minimal.

Akibatnya,mereka yang belum mampu mencapainya akan terkena penalti (disinsentif) berupa tambahan giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Kedua,beban kian berat ketika bank nasional harus memenuhi kenaikan GWM valuta asing (valas) dari 1% menjadi 5% per 1 Maret 2011 dilanjutkan dari GWM valas 5% menjadi 8% per 1 Juni 2011.Wah! Hal ini sebagai tindak lanjut dari kenaikan GWM primer dari 5% menjadi 8% per 1 November 2010.

Ketiga,intinya kebutuhan modal kian memuncak.Modal yang tercermin pada rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) kini mencapai 17,18% per Desember 2010.CAR ini bakal menipis manakala bank terus mengejar LDR minimal 78%.Kondisi itu membuat bank nasional terus mengerek modal melalui pasar modal dengan menawarkan saham umum perdana (initial public offering/IPO),menerbitkan saham baru (rights issue),atau menerbitkan obligasi. BNI dan Bank Mandiri telah berhasil meraih Rp10,4 triliun dan Rp11,68 triliun melalui rights issue.

Bank Mandiri juga memperoleh sekitar Rp1 triliun dari hasil penawaran saham perdana Garuda pada 11 Februari 2011. Demikian pula BRI dan BII yang akan menerbitkan obligasi subordinasi (subdebt) senilai sekitar Rp2–3 triliun dan Rp1 triliun.Tak ketinggalan,BTN akan meluncurkan obligasi senilai sekitar Rp2 triliun dan atau menawarkan saham umum kedua (secondary public offering/SPO) 12% setelah sukses dengan IPO 28% sehingga total mencapai 40%.

Keempat,ancaman inflasi sebagai akibat melonjaknya harga minyak dunia makin mengkristal.Risikonya,anggaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp95,9 triliun dengan asumsi harga minyak USD80/ barel akan melejit.Setiap kenaikan harga minyak USD1 akan menambah beban subsidi Rp500 miliar.Untuk itu,pemerintah wajib menyediakan tambahan subsidi sekitar Rp20 triliun,mengingat harga minyak sudah naik sekitar USD40.

Kondisi ini dapat menyulut api inflasi dalam negeri. Dicemaskan,inflasi bisa mendorong BIRate6,75%, mendaki level yang lebih tinggi.Bila BIRatenaik hingga level 7,50%,lengkap sudah beban bank nasional.Situasi ini bisa mendorong bank nasional untuk mengerek bunga kredit karena biaya dana kian membengkak. Nah,di sinilah kesaktian SBDK diuji.Sesuai dengan kewenangannya, BI dapat mengetahui jeroan perhitungan tiga komponen SBDK.Kok bisa?

Karena bank nasional wajib melaporkan perhitungan SBDK kepada BI bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan publikasi triwulanan. Alhasil,bank nasional tidak bisa mencantumkan margin keuntungan yang terlalu tinggi.Kelak,BI diharapkan menyusun tabel SBDK seluruh bank nasional seperti di Malaysia yang disebut base lending rate.

Kejelian BI ini dapat mengurangi NIM yang kini mencapai 5,73% per Desember 2010 untuk makin mini.Kian mini NIM akan membuat kian mini bunga kredit.Dengan ungkapan lebih lugas,SBDK mampu menekan kenaikan bunga kredit untuk tidak terbang terlalu tinggi.(*)

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/387476/

Oposisi Terselubung vs Oposisi Terbuka

Persoalan koalisi belakangan kembali menjadi perdebatan hangat, terutama pascapengambilan voting soal hak angket pajak. Persoalan berawal ketika beberapa partai politik yang selama ini tergabung dalam barisan mitra koalisi pemerintah memerankan diri laiknya partai oposisi.

Sederhananya, beberapa partai mitra koalisi telah memerankan dirinya sebagai oposisi terselubung. Partai-partai politik ini menerapkan standar ganda atau menjalankan politik dua kaki: berkoalisi di pemerintahan (eksekutif) sekaligus pada saat bersamaan menjalankan peran oposisi di parlemen (legislatif). Peristiwa hak angket Bank Century dan hak angket pajak adalah dua contoh paling nyata untuk menggambarkan praktik politik dua kaki di Indonesia.

Beberapa partai politik pada satu sisi mengatasnamakan kepentingan rakyat dan membangun argumentasi bahwa koalisi untuk kepentingan rakyat, sementara pada sisi lain mereka bermanuver secara bebas tanpa mengikuti irama koalisi dengan tujuan untuk pencitraan partainya. Pertanyaan mendasarnya kemudian, mengapa dalam sebuah koalisi sering muncul politik standar ganda atau politik dua kaki? Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan dalam hal ini.Pertama, akibat dari kerentanan kombinasi presidensial- multipartai.

Model koalisi yang sesungguhnya tidak lazim dalam sistem presidensial akhirnya menjadi kebutuhan yang sulit dihindari dalam multipartai.Kebutuhan inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial yang jadinya tampil dengan gaya parlementer alias presidensialisme setengah hati (Yuda,2010).

Kedua, terkait kontrak koalisi yang kurang tegas sebagai imbas presidensialisme setengah hati.Kontrak politik yang seharusnya menjadi semacam pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normatif dan umum. Akibatnya, tidak mengherankan jika beberapa partai anggota koalisi memiliki tafsir yang berbeda,yang akhirnya dimainkan sesuai kepentingan masing-masing partai.

Tegas

Dari situlah, guna membangun pemerintahan yang efektif, partai politik harus secara tegas menempatkan dan merumuskan dirinya pada wilayah mana ia berpijak.Jika pilihan yang diambil tetap di barisan koalisi, sebuah partai politik harus mendukung sepuhnya kebijakan yang diambil partaipartai koalisi.Namun, jika menetapkan pilihan sebagai oposisi, sebuah partai politik harus keluar dari barisan koalisi dan menempatkan dirinya sebagai oposisi terbuka yang berfungsi sebagai penyeimbang dan kontrol atas pemerintahan.

Yang harus dihindari adalah ada penerapan politik dua kaki atau dalam bahas lain bisa disebut sebagai oposisi terselubung. Pilihan politik sebuah partai politik yang tetap konsisten memosisikan dirinya sebagai partai oposisi dan berada di luar pemerintahan adalah sikap yang sesungguhnya harus diapresiasi. Meski hingga saat ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata,dari sudut pandang etika kebebasan (demokrasi), politik oposisi dapat dikatakan sebagai kegiatan parlementarian yang terhormat.

Oposisi terbuka akan mampu menjadi kontrol yang baik bagi jalannya pemerintahan dan tidak menjadi batu sandungan seperti oposisi terselubung. Oposisi dalam hal ini bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap hak untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang sah, melainkan juga diselenggarakan untuk menjamin rasionalitas dan partisipasi populer dalam pengambilan keputusan.Inilah yang dikatakan John Stuart Mill bahwa kendati sekelompok orang tidak terwakili melalui sistem pemilu yang sah,mereka tetap dapat berperan melalui diskursus publik guna ikut memengaruhi pengambilan keputusan publik.

Justifikasi

Dalam konteks koalisi dan oposisi di Indonesia, mencermati berbagai momen politik seperti “hak angket pajak” beberapa waktu lalu, tampak sekali bahwa mekanisme koalisi dan oposisi menjadi cair.“Kegenitan” politik justru tampak ketika kita mendengar beberapa partai politik anggota koalisi yang menjustifikasi posisi mereka yang berseberangan dengan koalisi sebagai hal yang wajar karena sebenarnya mereka sedang berjuang untuk kepentingan rakyat yang notabene adalah tujuan dari koalisi pendukung pemerintah.

Untuk itu, ke depan sebuah koalisi harus dibangun berdasarkan kedekatan ideologi atau persamaan platform. Dengan begitu,karakter partaipartai dalam koalisi mampu didisiplinkan. Selain itu komunikasi harus ditata dengan baik sehingga soliditas koalisi akan lebih terjaga dengan baik pula. Koalisi yang berorientasi pada kualitas (yakni kohesivitas dan soliditas koalisi) harus mulai dibangun dan dikedepankan daripada koalisi yang terlalu berorientasi kuantitas,tapi tanpa soliditas yang kuat.

Dalam konteks ini, komposisi koalisi yang terlalu besar dengan berbagai persilangan kepentingan harus diminimalisasi karena hanya akan melemahkan soliditas koalisi. Dari semua itu, perdebatan melelahkan di ruang publik selama ini mengenai sikap sejumlah partai politik apakah akan bertahan di koalisi, menjadi anggota baru, atau meneguhkan sikap sebagai oposisi harus segera diakhiri.

Sikap partai politik yang bermain politik dua kaki dan menempatkan dirinya sebagi oposisi terselubung hanya akan meretakkan koalisi dan pada batas-batas tertentu akan mengganggu berjalannya pemerintahan yang efektif. Ketika sebuah parpol ingin mengambil sikap oposisi, pilihan terbaiknya adalah melakukannya secara terbuka karena ia disediakan dalam sistem demokrasi. Sebagai catatan akhir, satu hal yang tak bisa dihindari bahwa konstruksi demokrasi dalam sistem politik di Indonesia adalah menggunakan sistem perwakilan (reperesentative democracy).

Esensi penting dari sistem perwakilan adalah ada sekelompok kecil orang yang mempunyai peranan besar dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan politik. Sementara pada sisi lain, ada sekelompok golongan yang menjadi pengontrol dan berada di luar pemerintahan. Karena itu, pilihan tegas untuk masuk dalam sebuah koalisi .

MARWAN JA’FAR
Anggota DPR RI/Legislator
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/387603/

Kesigapan Jepang Menghadapi Bencana

Gempa bumi berkekuatan 8,9 Skala Richter (SR) disertai tsunami telah mengguncang Jepang, tepatnya pusat gempa berada 130 km di lepas pantai timur Kota Sendai atau 400 km di timur laut Kota Tokyo pada kedalaman 24,4 km.

Jelas gempa bumi ini menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat setinggi 10 meter di sekitar Kota Sendai. Kita prihatin dengan peristiwa ini,tapi dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana Pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempa bumi ini. Seperti disampaikan Japan Meteorological Agency belum lama ini di Jakarta bahwa ‘gelombang P’ (sering disebut gelombang primer) yang datang pertama di rekaman seismometer dapat digunakan sebagai peringatan dini.

Gelombang itu menjadi pesan walaupun hanya beberapa detik sebelum tempat seismometer berada diguncang gempa bumi. Alasan utamanya adalah yang merusak saat gempa bumi adalah ‘gelombang S’ (sering disebut gelombang sekunder) yang datang belakangan setelah gelombang P. Dari jarak 130 km dari pusat gempa bumi,Kota Sendai akan menerima sinyal gelombang P yang berkecepatan kurang lebih 6 km/detik setelah 21,6 detik dan gelombang S yang berkecepatan 4 km/detik yang merusak akan tiba di Sendai setelah 32,5 detik, jadi masih ada selisih 10,9 detik untuk mengingatkan masyarakat bahwa akan datang gempa bumi yang dahsyat.

Adapun di Tokyo yang berjarak 400 km dari pusat gempa, masih ada selisih kedatangan gelombang P dan S sebesar 33,4 detik. Tentu saja penduduk Sendai masih punya beberapa menit untuk menghindar dari gelombang tsunami yang akan datang menyapu kawasan pantai. Dari kawasan pantai di sekitar kota Sendai diperoleh data dua puluh ribu rumah rusak dan diperkirakan dua puluh ribuan yang meninggal (bandingkan dengan lebih dari dua ratus ribuan korban meninggal saat tsunami Aceh 2004).

Cepat Tanggap

Begitu gempa diisyaratkan, langsung diterjunkan lima puluh ribu pasukan beladiri (tentara) Jepang.Ya, di Jepang pun diterjunkan tentara, karena organisasi hierarkis yang terbaik adalah organisasi tentara. Televisi nasional terbesarnya, NHK,pun langsung meliput tsunami di wilayah yang diterjang tsunami dari helikopter. Masyarakat pun, tanpa dikomandoi, mencari tempat berlindung terdekat. Di kolong meja atau di mana mereka merasa aman.

Mereka sudah terlatih dengan bencana gempa, mereka sadar tentang gempa dan mereka siaga bencana gempa karena sosialisasi bencana gempa bumi telah berhasil. Oh ya,masyarakat Jepang adalah masyarakat dengan budaya disiplin dan kejujuran yang tinggi, saya rasa tanpa disiplin yang tinggi masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi.Mereka antre dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pascagempa utama terjadi, dan dilaporkan dari Tokyo bahwa harga-harga di toko-toko masih stabil.Tidak seperti pengalaman saya saat gempa bumi Yogyakarta 2006, harga sekardus mi instan menjadi tiga kali lipat.

Darurat Nuklir

Kita juga belajar dari penanganan reaktor nuklir di Fukushima bagaimana Pemerintah Jepang dengan cepat menyatakan darurat nuklir dan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir Fukushima. Kita belajar bagaimana membangun reaktor nuklir. Tidak hanya membangun, tapi juga belajar bagaimana manusia-manusianya yang dengan disiplin tinggi mengelola reaktor nuklir. Tingkat radiasi saat ini sudah 160 kali tingkat radiasi normal, itu karena kecelakaan yang sampai saat ini sedang ditangani para ahlinya.

Bahkan 4 hari setelah kerusakan reaktor nuklir Fukushima masyarakat Tokyo yang berjarak 250-an km telah diimbau untuk tetap tinggal di dalam rumah karena dikhawatirkan akan terkena debu nuklir. Nah, jika kita ingin membangun reaktor nuklir, harus kita pilih tempat yang paling aman dari segala bencana, terutama gempa bumi.Dengan pertimbangan ekonomi diharapkan kita memiliki reaktor nuklir, tapi kita juga harus memikirkan ke mana limbah nuklir akan kita buang. Bukankah kita masih memiliki potensi geotermal untuk tenaga listrik? ●

PROF DR SUBAGYO PRAMUMIJOYO
Guru Besar/Dosen Jurusan
Teknik Geologi FT UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/387606/

Teror Bom untuk Ulil dan BNN

Bom itu diyakini bertujuan membuat masyarakat saling tuduh dan curiga, sehingga timbul konflik horizontal.
TEROR bom di Indone sia tidak juga kunjung berhenti. Setelah ter akhir pada 6 Juli 2010 bom molotov dilemparkan ke Kantor Majalah Tempo, kemarin bom meledak di Jakarta Timur.

Bom pertama berdaya ledak rendah dalam bentuk paket buku yang dikirim ke Komunitas Utan Kayu (juga tempat Ra dio KBR68H), Jakarta, meledak sekitar pukul 16.05 WIB.
Sementara itu, paket bom kedua dikirim ke Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), di Cawang, Jakarta Timur.

Bom Utan Kayu dikirim untuk aktivis sekaligus pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Dalam paket buku berisi bom itu, tertulis pengirim Drs Sulaeman Azhar beralamat di Jalan Bahagia, Gg Panser No 29, Ciomas, Bogor.

Media Indonesia yang menelusuri alamat tersebut di sejumlah titik di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, dan memasuki sejumlah kompleks perumahan dan perkampungan, tidak menemukan alamat itu.

Bersama paket itu disertakan permohonan memberikan kata pengantar buku dan interviu kepada Ulil. Penulis mengaku sedang dalam proses penyelesaian penulisan buku tersebut.

Judul buku dalam paket itu ialah Mereka harus dibunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

Dalam buku setebal 412 halaman itu tertera pula nama dan `dosa-dosa' sejumlah tokoh Indonesia yang pantas dibunuh.

Ulil dikenal sebagai intelektual muslim progresif dan me miliki ide-ide liberal, khususnya dalam menafsirkan teks-teks Alquran dan hadis. Ulil juga dikenal sangat gigih membela hak-hak kelompok minoritas, baik dari luar muslim maupun kalangan muslim yang dinilai berkeyakinan menyimpang.

Namun, terkait paket bom yang ditujukan kepadanya, kemarin, Ulil menilai hal itu berhubungan dengan aktivitasnya sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Partai Demokrat. Bersama dengan kaukus muda Demokrat, Ulil kencang menyuarakan agar Golkar dan PKS didepak dari koalisi karena sering membelot dari kepentingan Setgab Partai Koalisi. Selain itu, menteri-menteri asal Golkar dan terutama PKS harus di-reshuffle.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai memastikan bom tersebut merupakan aksi terorisme. "Tujuannya membuat masyarakat saling menuduh dan curigai, sehingga timbul konflik horizontal," ujarnya di Kantor Menko Polhukam, kemarin.

Paket meledak saat Kasat Reskrim Polres Jaktim Komisaris Dodi Rahmawan dan anak buahnya berupaya mengamankan dan menyiram buku dengan air. Me reka berinisiatif menjinakkan paket itu sambil menunggu Tim Gegana tiba.

Kapolda Metro Jaya Irjen Su tarman mengakui adanya kesalahan prosedur penjinakan.
"Sebelum Gegana datang, dilakukan penyiraman. Diperkirakan sudah jinak, ternyata ketika diangkat mengenai tangan kirinya," jelas Sutarman.

Sutarman mengemukakan tas berisi paket buku itu diterima Annisa, resepsionis radio KBR68H. Menurut Annisa, kotak berukuran 30x20 dan tinggi 10 cm itu datang sejak pukul 10.00 WIB dibawa kurir bertinggi badan sekitar 170 cm, berkulit sawo matang. (CC/DS/*/X-7) bhawono@mediaindonesia.com KASUS kekerasan di Tanah Air silih ber ganti menimpa ke lompok kritis maupun kaum minoritas di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus percobaan pengeboman terhadap pegiat Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla di Galeri Utan Kayu, Jakarta Timur, kemarin, merupakan indikasi nyata negara tidak berpihak kepada rakyat.

"Ini adalah pembiaran. Negara ternyata gagal melindungi rakyat," ujar pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago, saat dimintai pendapat di Jakarta, kemarin.

Negara yang gagal, menurutnya, tidak mampu mendidik warganya untuk hidup dalam suasana perbedaan pendapat.
Negara tidak mampu membentuk kultur hidup bersama bagi warganya. Pun jelas, kata dia, setiap ada warga yang berbeda pendapat dengan kelompok tertentu, respons baliknya adalah kekerasan.

Pengajar FISIP Universitas Indonesia itu juga menjelaskan, negara juga gagal mendidik warganya untuk menciptakan kultur taat pada hukum. Saat ini, jelas Andrinof, masyarakat banyak yang tidak puas terhadap kinerja penegak hukum sehingga menempuh jalan pintas dengan bertindak radikal.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam peningkatan ancaman dan kekerasan terhadap para pegiat HAM (hak asasi manusia) yang bergerak pada isu-isu pluralisme, khususnya kebebasan beragama. Tindak kekerasan terhadap pekerja HAM dan aktivis prodemokrasi juga terjadi sehari sebelumnya. Adapun kantor Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) di Jakarta Selatan yang bergerak pada advokasi kerukunan antarumat beragama dan keberagaman, Senin (14/3), dibobol maling. Sejumlah dokumen soal advokasi kerukunan antarumat beragama diambil, sedangkan beberapa barang berharga justru tidak diambil.

"Siapa pun yang bertindak kekerasan ini patut diduga sebagai pihak-pihak yang memperkeruh situasi dan mengambil keuntungan dari situasi belakangan ini," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.

Sudah sepatutnya, menurut Haris, pemerintah dan aparat keamanan bertindak tegas dan bukan menerapkan cara politis dan akomodatif gerakan antikeberagaman.
Intelijen Satu hal, pengamat intelijen Soeripto menduga percobaan pengeboman terhadap Ulil merupakan pekerjaan sekelompok intelijen. Untuk situasi Indonesia saat ini, yang paling mungkin meneror dengan menggunakan bom adalah intelijen profesional. "Bisa saja agen intel yang melakukan pekerjaan itu. Orang biasa sulit," tukas Soeripto.

Ia tidak yakin percobaan pengeboman itu diprakarsai teroris karena teroris di Indonesia meredup pascapenangkapan Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Baasyir.

Namun, kata Soeripto, yang perlu dicermati, kelompok intelijen tersebut bekerja untuk siapa, atau siapa yang mengoordinasi kegiatan mereka. Soeripto belum bisa menyebutkan siapa di balik pengeboman itu. Akan tetapi, ia menilai, tindakan tersebut merupakan perbuatan liar yang sulit terkontrol. "Intel kita saat ini sangat liar. Mereka tidak terkontrol, bekerja sesukanya," ujar mantan pejabat Bakin itu.

Hingga sekarang paradigma kerja intelijen Indonesia masih pakai paradigma Orde Baru. Kekerasan selalu jadi acuan untuk meredam kebebasan atau ingin mengontrol pihak tertentu.

Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid menilai tindakan itu merupakan ulah pengecut. "Ini menambah catatan panjang perilaku kekerasan dan anarkisme di era SBY, dan sudah saatnya dihentikan."

Sejumlah anggota DPR juga menyesalkan peristiwa percobaan pengeboman atas Ulil itu.
(Alw/*/P-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/16/ArticleHtmls/16_03_2011_001_013.shtml?Mode=0

Say YES to GAMBARU!

Memang agak panjang, tapi baik sekali untuk dibaca.
Ditulis oleh seorang mahasiswi yg tinggal Jepang:
------------------------------

Say YES to GAMBARU!
By Rouli Esther Pasaribu

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di
Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai
titik darah penghabisan.

Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup
selalu :

motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni
gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama),
motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih
lagi).

Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain
GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males
atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja.

Menurut kamus bahasa jepang sih,gambaru itu artinya : "doko made mo nintai
shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha
abis-abisan)
Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan
"mengencangkan".

Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah
apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan
diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu"(maksudnya jangan
manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup,
namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang,
persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.). Terus terang
aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2
jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.

Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di
sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga
manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki
karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan,

sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos
sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak
akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.

Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw
ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo!
(mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah
penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget
dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan
9.0 di jepang bagian timur.

Gw tau, bencana alam di indonesia seperti tsunami di aceh, nias dan
sekitarnya, gempa bumi di padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal
yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali
ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi
dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.

Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik
kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai
ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain.

Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika
stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan
membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban
bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.

Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis
seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka
tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?

Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet
diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana
alam. Video klip tangisan
anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening
dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan
di TV. Jadi yang ada apaan dong?

Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :

1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada

2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi
bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah
tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)

3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman
listrik terencana

4. Tips-tips menghadapi bencana alam

5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang
terkena bencana

7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang
terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai
banget harganya)

8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan
tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita
hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan
secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati

9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi

tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat
pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo
kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)

*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita
mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;

Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu
bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana
ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang
bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang.

Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget,
negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat
baja, karena : falsafah gambaru-nya itu.

Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU.

Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam
hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan.

Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya,

Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput
yang bergoyang.....

I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam
diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju.

Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan
persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani
bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup.

Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari
masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan
baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk
apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo
mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah
nanggung. Begitulah kata beliau.

Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go
international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya jepang ini.
Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga
akan bisa survive di sini.

Sampai sempat nyesal juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan
sastra inggris atau sastra barat lainnya.

Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang
menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang. Pernyataan beliau
adalah salah sepenuhnya.

Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental
gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international
dan sejenisnya itu.

Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana
saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar
udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami
semua itu adalah di jepang.

Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw
mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di
supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi
merasa muak jiwa raga.

Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati :
Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte,
kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru
seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu.

(Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan
arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang
tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian
semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU!

Ketangguhan Jepang Memukau Dunia

AP PHOTO/WALLY SANTANA

Anggota Pasukan Bela Diri Jepang mengiringi seorang nenek berjalan menuju lokasi yang lebih tinggi setelah peringatan tsunami kembali muncul pada Senin di dekat kota Soma, Prefektur Fukushima. Setelah gempa pada Jumat (11/3) lalu, Jepang terus diterpa gempa susulan.

Pascal S Bin Saju

Ketangguhan Jepang menghadapi tekanan tiga bencana besar sekaligus, yakni gempa bumi, tsunami, dan radiasi nuklir, memukau dunia. Reputasi internasional Jepang sebagai negara kuat mendapat pujian luas. Tak adanya penjarahan menguatkan citra ”bangsa beradab”.

Pemerintah Jepang, Selasa (15/3), terus memacu proses evakuasi dan distribusi bantuan ke daerah bencana yang belum terjangkau sebelumnya. Seluruh kekuatan dan sumber dayanya dikerahkan maksimal ke Jepang timur laut, daerah yang terparah dilanda tsunami.

Evakuasi korban tsunami berjalan seiring dengan evakuasi ribuan warga yang terancam terpapar radiasi nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, utara Tokyo. Prefektur Fukushima juga termasuk salah satu daerah korban gempa dan tsunami yang terjadi pada Jumat lalu.

Televisi, media cetak, radio, dan situs berita online di seluruh dunia telah merilis bencana itu. Hal yang mengagumkan dunia, seluruh kejadian serta momen dramatis dan mendebarkan direkam televisi Jepang detik demi detik, sejak awal gempa, datangnya tsunami, hingga air bah itu ”diam”.

Jepang lalu mengabarkan drama amuk alam yang menyebabkan lebih dari 10.000 orang tewas dan 10.000 orang hilang itu ke seluruh dunia. Meski sempat panik, Jepang dengan cepat bangkit, mengerahkan seluruh kekuatannya, mulai dari tentara, kapal, hingga pesawat terbang. Jumlah tentara dinaikkan dua kali lipat dari 51.000 personel menjadi 100.000 personel. Sebanyak 145 dari 170 rumah sakit di seluruh daerah bencana beroperasi penuh.

Sekalipun kelaparan dan krisis air bersih mendera jutaan orang di sepanjang ribuan kilometer pantai timur Pulau Honshu dan pulau lain di Jepang, para korban sabar dan tertib menanti distribusi logistik. Hingga hari keempat pascabencana, Selasa, tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya.

Associated Press melukiskan, warga Jepang tenang menghadapi persoalan yang ditimbulkan bencana. Sisi lain yang diajarkan masyarakat Jepang ialah sikap sabar meski mereka diliputi dukacita akibat kehilangan orang-orang terkasih. Mereka sabar menanti bantuan. Pemerintah bisa lebih tenang untuk fokus pada evakuasi, penyelamatan, dan distribusi logistik.

Bencana terbaru adalah bahaya radiasi nuklir akibat tiga ledakan dan kebakaran pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Dari enam reaktor nuklir, empat di antaranya telah bermasalah. Jepang belajar dari kasus Chernobyl dan membangun sistem PLTN-nya lebih baik. Pemerintah menjamin tak akan ada insiden Chernobyl di Jepang.

”Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mengambil langkah-langkah selama belum ada permintaan. Jepang adalah negara paling siap di dunia (menghadapi bencana),” kata Elisabeth Byrs, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), kepada Reuters.

Byrs melanjutkan, ”Jepang menanggapi tiga darurat sekaligus, yakni gempa, tsunami, dan ancaman nuklir, dan melakukannya dengan sangat baik.”

Para blogger dan pengguna situs jejaring sosial berbahasa Inggris memuji Jepang sebagai bangsa yang tabah (stoic) dan bertanya-tanya tentang kemampuan bangsa lain, terutama di Barat, jika diguncang tiga bencana besar sekaligus. Mereka memuji Jepang adalah sebuah bangsa yang hebat, kuat, dan beretika.

Profesor Harvard University, Joseph Nye, mengatakan, bencana telah melahirkan Jepang sebagai bangsa soft power. Istilah itu diciptakannya untuk melukiskan Jepang mencapai tujuannya dengan tampil lebih menarik bagi bangsa lain.

Saat bencana dan tragedi kemanusiaan mengundang simpati dari dunia Jepang, citra negara yang tertimpa bencana jarang mendapat keuntungan dari bencana tersebut. Pakistan, misalnya, menerima bantuan AS dan negara lain saat dilanda banjir bandang tahun lalu. Namun, bantuan individu sangat sedikit, yang disebabkan citra negeri itu di mata dunia. China dan Haiti juga menghadapi kritik atas penanganan gempa bumi tahun 2008 dan 2009.

Menghadapi kebutuhan akan dana rekonstruksi skala besar, Jepang masih menimbang tawaran internasional. ”Meski dilanda tragedi dahsyat, peristiwa menyedihkan, ada fitur-fitur yang sangat menarik dari Jepang,” kata Nye kepada AFP.

”Terlalu dini untuk memprediksi apakah mereka berhasil memulihkan ekonomi. Tetapi, dilihat dari jauh, rakyat Jepang memperlihatkan ketabahan saat krisis. Hal ini berbicara banyak soal Jepang di masa depan,” kata Wakil Direktur Center for Strategic and International Studies Nicholas Szechenyi.

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/16/0250227/ketangguhan.jepang.memukau.dunia

TB Silalahi: Ada Motif Politik Terkait Berita 'Yudhoyono Abused Power'

M. Rizal - detikNews



Jakarta - Headline The Age 11 Maret lalu yang berjudul 'Yudhoyono Abused Power' menggegerkan. Berita itu antara lain menyebutkan, Presiden SBY melalui TB Silalahi mengintervensi petinggi Kejagung Hendarman Supandji untuk menghentikan kasus korupsi Taufiq Kiemas. Ditengarai ada motif politik di balik pemberitaan ini.

"Saya kira semua ada motif politik dan berhubungan dengan situasi politik di dalam negeri dan luar negeri terkait berita itu. Apalagi dari Australia," ujar mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Hankam, TB Silalahi.

Berikut ini wawancara detikcom dengan pria yang pernah menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Kabinet Pembangunan VI ini, Senin (14/3/2011):

Bagaimana tanggapan berita 'Yudhoyono Abused Power' di surat kabar The Age?

Saya kira semua ada motif politik dan berhubungan dengan situasi politik di dalam negeri dan luar negeri terkait berita itu. Apalagi dari Australia. Begini, Duta Besar AS untuk Indonesia sudah menyampaikan bahwa semua yang disebut bocoran Wikileaks itu adalah berita-berita yang diperoleh, barangkali di pinggir jalan, dari mana-mana yang tidak bisa dikonfirmasi.

Nah, berita seperti ini tidak pernah dipakai pegangan oleh AS, karena sama sekali tidak bisa dipetanggungjawabkan. Apalagi Wikilieaks ini kan suatu lembaga yang kita tidak tahu siapa yang bertanggung jawab, tidak bisa dituntut, tidak bisa dipertanggungjawaban.

Duta Besar mengatakan itu karena dituduh bahwa sumber dari sana, dia minta maaf
kepada semua orang-orang yang disebutkan dalam dokumen itu.

Benarkah tudingan The Age atau Wikileaks soal Presiden SBY melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang meminta penghentian kasus dugaan korupsi terhadap Taufiq Kiemas di Kejagung?

Berita ini juga dianggap sampah, saya sendiri menganggap ini sampah. Saya tidak sekadar membantah, tapi saya sampaikan data-datanya saja. Menurut media Wikilieaks saja, kita tidak pernah tahu seperti apa, kita hanya lihat dari The Sydney Morning Herald dan The Age menyebut bulan Desember 2004.

Nah, ini perlu dianalisa, tahun 2004 disebutkan perkaranya Taufiq Kiemas, tapi perkara tidak disebutkan, sudah begitu lengkap, sehingga tinggal surat perintah penangkapan, itu penjelasan dari Asisten Jaksa Agung Hendarman.

Nah, mari kita analisa. Hendarman pada 2004 belum menjabat sebagai yang disebut Ketua Tipikor atau Jampidsus. Jampidsus saat itu adalah Marwan Effendy. Hendarman baru dilantik sebagai Jampidsus pada 21 April 2005. Dan ketua Tipikor 2 Mei 2005. Dari situ saja tidak benar data tentang Hendarman. Nah, Marwan Effendi dua hari lalu menjelaskan sebagai Jampidsus tidak pernah terdaftar perkaranya Taufiq Kiemas. Perkara apa pun tidak ada.

Bayangkan saja, Desember 2004 itu SBY baru dua bulan menjabat sebagai presiden,
sesudah Ibu Mega lengser. Kan tidak mungkin ada perkara di zaman Presiden Megawati, tapi seakan-akan perkara ini ada di zaman Presiden SBY. Mana ada perkara yang disebut-sebut perkara besar dan siap ditangkap dalam waktu dua bulan, apalagi Taufiq Kiemas tidak pernah dipanggil.

Jadi tidak ada perkaranya di Kejagung?

Wong kita lihat saja, ada gubernur yang kena perkara itu butuh dua tahun untuk ditetapkan sebagai tersangka, dipanggil dahulu, baru setelah dua tahun ditangkap. Kok ini tiba-tiba ada persoalan TK yang tidak tahu apa perkaranya, sudah siap ditangkap. Jadi saya kira ini betul-betul berita sampah.

Lalu disebutkan di situ bahwa Presiden SBY baik langsung atau melalui saya
meminta Hendarman untuk menyetop perkara itu pada bulan Desember 2004. Lah kita
nggak tahu siapa itu Hendarman dan apa perkaranya. Yang penting kita tidak hanya
menyanggah, tapi sampaikan bukti-bukti yang ada. Dari situ, buktinya di koran itu
ngawur. Saya kira, mari menafsirkan itu adalah motif politis saja.

Tapi bagaimana kalau memang ada penyelidikan di internal Kejagung saat itu?

Kita berpegang pada penyataan Marwan Effendi yang sekarang menjadi Jamwas bahwa
disebutkan tidak ada sama sekali catatan, aktivitas di Kejaksaan Agung yang berhubungan dengan Taufiq Kiemas atau penyelewengan apa pun. Kita berpegang pada
itu saja. Jangan sampai tersesat dengan berita itu.

Motif politik yang dimaksud Bapak, khususnya bagi Australia?

Kita bisa saja, yang namanya koran-koran ini kan bukan dari pemerintah, tapi LSM-LSM dari Australia yang sering negatif kepada pemerintah RI, ya masalah kasus Timor Timur dan peristiwa lainnya. LSM ini banyak yang simpati kepada pemerintahan sekarang. Walau hubungan antara negara dan pemerintah kita dan Australia bagus.

Tapi itu di antara LSM ada yang ekstrem, sedangkan koran itu koran LSM. Kalau mengangkat kasus itu sudah lama. Masalahnya kenapa kita lebih percaya kepada media luar negeri, apakah media asing lebih hebat dari media kita?

Wikileaks tiga bulan lalu soal tudingan kepada negara-negara Timur Tengah, tapi tidak pernah ditanggapi. Tapi kenapa di kita heboh. Padahal masih banyak persoalan besar yang dihadapi bangsa, masalah kemiskinan, masalah pangan, bencana dan sebagainya. Kita jangan terkuras pikiran menghadapi isu-isu dari koran luar negeri yang menyesatkan.

(vit/nrl)

http://us.detiknews.com/read/2011/03/15/125246/1591977/158/tb-silalahi-ada-motif-politik-terkait-berita-yudhoyono-abused-power?nd991107158