BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pidato Keadilan dan Pemerataan

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Februari 2011 | 11.51

KOLOM POLITIK-EKONOMI


Andi Suruji

Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto pada 2010 meningkat sebesar 6,1 persen terhadap 2009. Artinya, jauh dari target semula yang hanya 5,8 persen.

Besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2010 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 6.422,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (2000) mencapai Rp 2.310 triliun.

Dari besaran PDB atas dasar harga berlaku tersebut, jika dibagi dengan jumlah penduduk tengah tahun (sesuai dengan teori ekonomi), diperoleh PDB atau pendapatan per kapita penduduk Rp 27,0 juta atau 3.004,9 dollar AS, sementara pada 2009 sebesar Rp 23,9 juta (2.349,6 dollar AS).

Tentu saja angka-angka itu menjadi kebanggaan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Pemerintah bisa mengatakan ”telah berhasil” meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Angka itu cukup bagus walaupun banyak kritik bahwa pemerintah belum melakukan upaya maksimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Artinya, kinerja pemerintah biasa-biasa saja.

Pertumbuhan perekonomian yang diukur dengan PDB itu bisa jauh lebih tinggi lagi andaikan ada program kerja yang masif dan simultan secara besar-besaran sebagai big bang-nya. Tentu saja bukan proyek menara gading, melainkan program yang menyentuh lapisan bawah dengan penghasilan pas-pasan yang jumlahnya banyak sekali.

Ekonom senior Faisal Basri berulang kali menyatakan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen saja, pemerintah tidur pun dapat terjadi. Mengapa? Kontribusi swastalah yang mendongkrak perekonomian menggelinding. Kebutuhan stimulasi dari pemerintah yang cukup signifikan belum tampak juga. Kalaupun pemerintah tidak mampu menstimulasi perekonomian, paling tidak jangan merecoki dunia usaha. Misalnya, perizinan yang seharusnya mudah, ya janganlah menjadi sulit. Pungutan yang tak perlu sebaiknya dihindari. Berikanlah kemudahan dunia usaha bergerak secara luas dengan aturan dan tingkah yang tak macam- macam, seperti dalam hal perpajakan dan aturan ketenagakerjaan.

Akan tetapi, apa arti pertumbuhan ekonomi? Ya, perekonomian Indonesia makin maju. Lihat saja gedung-gedung tinggi menjulang di Jakarta semakin banyak. Kendaraan roda dua ataupun roda empat dari segala macam merek semakin berjejal di jalan-jalan protokol dan di jalan-jalan tikus Jakarta serta kota-kota besar lainnya.

Dua indikator itu memang tidak bohong. Namun, di balik itu, tersisa rasa sesak yang cukup berat manakala kita menelisik lebih jauh dan lebih dalam angka-angka yang dipaparkan di awal tulisan ini.

Apakah betul penduduk Indonesia semuanya berpendapatan Rp 27,0 juta setahun pada tahun lalu? Tentu tidak. Ada segelintir orang kaya raya yang kontribusinya dalam pembentukan PDB bisa mencapai 70-80 persen. Sementara ada orang yang populasinya 80 persen dari jumlah penduduk hanya mampu menyumbang sekitar 20 persen PDB.

Jadi, antarpenduduk ada kesenjangan penghasilan yang sangat lebar. Ada orang yang kaya raya sekali dan ada pula yang sangat miskin. Jangankan berpendapatan 3.000 dollar AS setahun, orang yang masuk kategori berpenghasilan atau berkebutuhan hidup senilai 2 dollar AS per hari (730 dollar setahun), konon masih ada sekitar 100 juta orang.

Jadi, janganlah kita terkecoh dengan angka-angka semacam itu walaupun teori ekonomi memang mengajarkan cara mendapatkan angka pendapatan per kapita tersebut.

Artinya, ada kesenjangan yang sangat lebar. Kata- kata adil, merata, kesejahteraan, dan kemakmuran terasa semakin redup dan sayup-sayup terdengar.

Sektor yang mencatat pertumbuhan tertinggi adalah pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 13,5 persen. Padahal, kita tahu dunia telekomunikasi di Indonesia telah dikuasai pihak asing. Sementara sektor pertanian, yang merupakan ladang kehidupan sekitar 42 juta orang, hanya tumbuh 2,9 persen.

Selain kesenjangan pendapatan antarpenduduk, ketimpangan antarwilayah (struktur perekonomian) dalam perekonomian Indonesia juga terjadi. Betapa tidak, 57,8 persen dari PDB triwulan IV-2010, misalnya, masih merupakan kontribusi Pulau Jawa. DKI Jakarta masih berada di urutan pertama (16,5 persen), disusul Jawa Timur (14,8 persen) di urutan kedua yang telah menggeser peringkat Jawa Barat (14,3 persen).

Tidak heran jika Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, makin sesak dan menjadi tujuan utama arus urbanisasi. Pekerjaan, kehidupan, seolah hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar Jawa lainnya. Secara kuantitatif, kegiatan di sektor sekunder dan tersier masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sektor primer lebih diperankan oleh luar Jawa.

Kalimantan, yang kaya sumber daya alam, hanya berkontribusi 9,1 persen, Sumatera 23,2 persen, dan Sulawesi 4,7 persen. Mana peran Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku?

Selama tidak ada desain besar berjangka panjang yang dirancang dengan visi kuat serta komitmen penuh untuk melaksanakannya, selama itu pula ketimpangan dan kesenjangan akan terus terjadi. Bukannya makin mengecil, justru akan makin menganga kian lebar. Kata adil dan merata sebagai hakikat pembangunan ekonomi akan makin jauh, bahkan mungkin bakal lenyap dalam kamus. Hanya akan ada dalam retorika politis, tak akan pernah terwujud.

Patut dicamkan ungkapan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa sumber utama konflik di masyarakat, dalam bidang apa pun, adalah hanya dipidatokannya keadilan, tanpa bukti nyata.

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/04045020/pidato..keadilan.dan.pemerataan.

Populisme Dr Cipto Mangunkusumo "Si Kromo"

TEROKA


BANDUNG MAWARDI

Cipto Mangunkusumo dengan gairah melafalkan petikan puisi dari F Van Eeden: Semua manusia punya nama / tetapi semua bernama satu / Semua bernama ”aku”.... Aku adalah semua manusia.

Puisi itu dibacakan Cipto ketika dibuang ke negeri Belanda. Di sana, ia terus mengabarkan dan mengobarkan nasionalisme bersama Indische Vereeniging. Ia dijuluki Mirabeau.

Banyak julukannya di Hindia Belanda, antara lain een begaafd leerling (si anak berbakat), anak si kromo, dokter Jawa berbendi, si Jawa kurang ajar, manusia tanpa tedeng aling-aling, sado-koetsier (tukang sado), ksatria, dan demokrat sejati.

Nama menentukan nasib seseorang atau bangsa. Cipto adalah bukti dari pengakuan diri sebagai manusia dan penghormatan terhadap idealisme politik dan kultural. Haluan politik dan pengetahuannya kerap berkiblat Barat, tetapi dalam dirinya masih tertanam spirit Jawa klasik.

Cipto mengaku mengambil hikmah dari teks sastra klasik Nitisastra: ”Tugas hidup adalah menjadi manusia utama”. Itu diterjemahkannya dalam politik, kesehatan, sosial, dan kultural.

Kejanggalan politik

Cipto contoh satir politik dan heroisme. Bintang penghargaan dari kolonial untuk jasa mengatasi wabah pes ditaruhnya di pantat celana. Kesempatan menjadi pimpinan atau kunci dalam pergerakan tak diambil dalam pamrih pragmatis. Ia memilih menempuh jalan minor meski menanggung risiko politik.

Etos menjadi manusia itu susah ditemukan lagi pada politik mutakhir. Orang berpolitik menjual nama. Penghargaan dan gelar dilekatkan berderet. Politik jadi jalan aib. Sementara Cipto memahami politik sebagai jalan penyadaran menjadi manusia.

Ia menolak memakai pakaian dokter Jawa resmi versi kolonial. Ia memilih lurik dan belangkon. Penampilan itu tipikal rakyat Jawa kebanyakan. Jenis pakaian menentukan martabat tanpa harus meninggikan diri secara artifisial dan angkuh.

Hari ini, para politikus justru memamerkan pakaian sebagai perayaan pragmatisme politik. Panggung politik sesak persaingan identitas tetapi lupa martabat. Cipto tak mungkin bisa hidup dalam lakon politik mutakhir karena keganjilan dan keeksentrikan susah diterima sebagai sisi lain pementasan teater politik. Savitri Prastiti Scherer (1985) dengan pas menyebutkan Cipto berada dalam ketegangan keselarasan dan kejanggalan.

Anak rakyat (kromo)

Cipto kerap memproklamirkan diri: ”Aku adalah anak dari rakyat. Anak si kromo.” Sekarang, orang-orang mengakui diri melenggang ke jalan politik karena menjadi anak ”si anu”, para pejabat dan aktor-aktor politik. Pengakuan itu bisa saja normatif, tetapi mungkin menimbulkan prasangka politik. Mereka bermukim di parlemen tanpa susah. Apa proklamasi Cipto masih mungkin berlaku?

Episode kehidupan Cipto di Solo jadi momentum kemanusiaan dengan membuka praktik pengobatan. Ia berbaur dengan rakyat secara egaliter dan laku memberi. Keintiman dengan rakyat diekspresikan mengejek simbol kekuasaan Jawa.

Ia melarikan bendi di alun-alun, yang berarti pelanggaran berat karena tempat itu milik keraton. Cipto dijatuhi hukuman. Kini, para politisi pamer mobil di jalanan dengan angkuh, minta dihormati dan dilayani. Mobil jadi penanda kekuasaan dan praktik korupsi. Ironis!

Cipto menjalani hidup dengan getir. Pernikahan dengan perempuan peranakan Belanda di Solo pada 1916 membuat orang-orang sinis sekaligus kagum. Pemikiran progresif nasionalisme Hindia Belanda disempurnakan oleh alienasi dan sepi. Penyakit asma menghentikan hidupnya. Prasangka ideologi dan politik membuatnya susah diterima dalam pergerakan.

Ia bergaul intensif dengan tokoh-tokoh kunci pergerakan tanpa harus jadi hero. Soejitno menulis surat pembelaan kepada E Du Perron, 22 Maret 1940. ”Dia bukan komunis, tidak juga fasis dan kalau dia demokrat, maka ini lebih banyak disebabkan oleh soal-soal kemanusiaan daripada politik.”

Petikan surat itu mengandung penyadaran politik, meski untuk hari ini susah direalisasikan. Aktor-aktor politik justru vulgar memuja partai, arogan dengan ideologi, angkuh dalam politik, dan abai terhadap fondasi humanisme. Cipto mengajarkan garis politik dengan humanisme.

Pelajaran itu mungkin masuk keranjang sampah di negeri ini. Politik nyaris tak mengenal lagi misi kemanusiaan dan cenderung jadi buldoser. Biografi politik negeri ini telah kehilangan etika dan kesadaran terhadap proyek demokrasi manusiawi.

Cipto mewariskan pelajaran politik meski hampir tak ditekuni para politisi. Soetomo (1935) dengan agak sinis menganggap pelajaran-pelajaran Cipto bisa dihargai hanya dari jauh. Cipto meninggal 8 Maret 1943 dalam sepi dan getir. Ia cuma mewariskan buku-buku termakan rayap. Warisan Cipto tekun dipelajari oleh rayap tapi bukan rakyat negeri ini?

Bandung Mawardi Peneliti Kabut Institut Solo, Redaktur Jurnal Kandang Esai, Koordinator Bale Sastra Kecapi Solo

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/03463358/populisme.dr.cipto.mangunkusumo.si.kromo

Dubes AS Memuji Kekuatan Twitter

JEJARING SOSIAL


SAN FRANCISCO, JUMAT - Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Susan Rice memuji kekuatan media sosial dunia maya, Twitter, terutama dalam menyuarakan dan mendukung sentimen publik terkait suatu isu, seperti terjadi beberapa pekan belakangan di Mesir.

Pernyataan itu disampaikan Rice, Kamis (10/2) pagi, di kantor pusat Twitter di San Francisco, AS. Dia berbicara di depan sedikitnya 370 karyawan yang sebagian besar berusia muda dan berpakaian kasual.

Selain Rice, Twitter juga pernah mengundang tokoh politik kelas dunia untuk berbicara tentang berbagai isu di kantor pusatnya itu. Tokoh yang pernah datang antara lain Gubernur California yang juga aktor laga Arnold Schwarzenegger dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.

Dalam diskusi dengan Rice, topik yang dibahas terkait peran Twitter dalam pergerakan politik di Mesir dalam dua pekan terakhir. Rice menerima pertanyaan dari berbagai penjuru dunia melalui Twitter.

”Kekuatan dan kemampuan teknologi Twitter, yang sanggup menyalurkan sekaligus mendukung gerakan dan sentimen publik, semakin nyata dalam beberapa pekan belakangan. Hal itu bisa kita lihat di Mesir. Kemampuannya (Twitter) jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya,” ujar Rice.

Namun, ketika ditanya tentang spekulasi seputar lengsernya Presiden Mesir Hosni Mubarak, Rice menjawab secara diplomatis. Mubarak pada Kamis malam berpidato, yang isinya menolak mundur, tetapi bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Omar Suleiman.

”Kita semua perlu melihat prosesnya, terutama ketika seluruh kekuatan dan elemen oposisi bernegosiasi dengan pemerintah secara konstitusional dan bertanggung jawab demi mencapai pemilihan umum yang demokratis, adil, dan bebas. Semua proses itu harus berjalan dan tak bisa mundur lagi,” ujarnya.

Kedatangan Rice memang terkait erat dengan menguatnya diskusi di tingkat global terkait peran media sosial belakangan ini. Pemerintah AS sendiri telah menggunakan media sosial yang ada sebagai salah satu alat diplomatik, termasuk dengan meluncurkan Twitter berbahasa Arab, Rabu lalu.

Walau fokus membahas peran media sosial dunia maya dalam mengorganisasikan protes di Mesir, Rice mengatakan, kehadirannya itu tidak bermaksud untuk menyampaikan simbolisasi apa pun sebagai bentuk penghormatannya terhadap unjuk rasa yang masih terus berjalan di Mesir.

Adapun Twitter merasa terhormat dengan apa yang dilakukan rakyat Mesir, menggunakan Twitter untuk berkomunikasi antarmereka dan dengan dunia. (AP/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/03135478/dubes.as.memuji.kekuatan.twitter

PK Bukan Hak Jaksa

Secara umum konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara dibuat secara tertulis untuk menjamin dan melindungi hak individu atau lebih populer sebagai hak asasi manusia dari kesewenang- wenangan negara c.q. pemerintah yang diberi kekuasaan begitu besar untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Selain itu, konstitusi juga biasanya mengatur kekuasaan negara agar dilakukan secara wajar dan tidak berlebihan (detournement de pouvoir) atau digunakan secara salah (abus de pouvoir). Untuk itu, agar kekuasaan negara tidak berlebihan atau disalahgunakan, kekuasaan negara dibagi tiga: kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif, yang dikenal sebagai Trias Politika, di mana kekuasaan tadi saling mengawasi satu terhadap yang lain (checks and balances). Pengaturan kekuasaan seperti ini pun diatur dalam UUD 1945 walaupun tidak persis seperti Trias Politika yang diperkenalkan oleh Montesquieu beberapa abad yang lalu (1689-1755).

Atas ide persamaan negara dan individu itulah maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) yang diundangkan pada 1981 dianggap sebagai master piece karena menjamin hak individu atau hak asasi manusia individu. Seorang tersangka/ terdakwa/terpidana dianggap sebagai subjek hukum dan bukan objek hukum sebagaimana dianut Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR). Hak-hak tersangka/ terdakwa/terpidana dihormati sehingga dalam proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan, tuntutan, peradilan, dan pelaksanaan putusan (hukuman) pengadilan diatur secara cermat dan rinci. Hak asasi manusia individu dijamin dari abuse of power oleh negara c.q. pemerintah.

KUHAPidana sebagai hukum acara pidana Indonesia menjamin hak individu dari kesewenangwenangan negara antara lain melalui Pasal 263 tentang Peninjauan Kembali (PK) sebagai hak individu dan ahli warisnya.Pasal 263 ayat (1) KUHAPidana mengatur PK sebagai berikut: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Sedangkan alasan-alasan untuk dapat mengajukan PK ada tiga hal dan diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAPidana: Pertama,apabila ada “keadaan baru” atau novum.

Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan. Ketiga, apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Kesetaraan dan perlindungan individu terhadap kesewenangwenangan negara dikenal secara universal dalam konstitusi suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari buku The Supreme Court and The Constitution: Readings in American Constitutional History (edisi ketiga), yang diedit oleh Stanley L Kutler.Dalam buku itu dinyatakan: “…written constitution were deemed essential to protect the rights and liberties of the people against the encroachments of power delegated to their governments,… They were limitation upon all the power of government, legislative as well as executive and judicial.” Jadi kekuasaan negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif dibatasi konstitusi agar tidak diselenggarakan secara salah dan sewenang-wenang.

KUHAPidana sebagai produk legislasi Republik Indonesia membatasi kekuasaan negara terhadap individu atau hak asasi manusia individu. Dengan paradigma seperti itulah, KUHAPidana harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Penyimpangan dan pengecualian asas penerapan KUHAPidana merupakan abuse of power atau excessive power.

Persamaan di Hadapan Hukum

Sebagai negara hukum (rechsstaat), Republik Indonesia menjamin dan melindungi hak asasi manusia tersangka/terdakwa/terpidana dari kepastian hukum, perlakuan yang sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, pengakuan sebagai pribadi (subyek hukum) di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.

Semua itu dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) (tentang kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum), Pasal 28 G ayat (1) (tentang hak atas perlindungan serta atas rasa aman dari ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu), Pasal 28 I ayat (1) (tentang hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum),(2) (tentang perlindungan dari perlakuan diskriminatif), (4) (tentang perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) dan ayat (5) (tentang pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan pemerintah) Bab XA UUD 1945.

Merujuk pada Pasal 263 ayat (1) KUHPidana, alasan PK hanya diberikan kepada terdakwa/terpidana atau ahli warisnya adalah berasal dari paradigma individu perlu dilindungi dari kekuasaan negara yang begitu dominan dan mengancam terdakwa/terpidana sebagai individu.Kedudukan negara vs individu menjadi timpang apabila negara c.q. pemerintah yang dilengkapi dengan fasilitas lembaga penyidikan (polisi), lembaga penuntutan (jaksa),lembaga peradilan (hakim),dan pelaksana putusan pengadilan (lembaga pemasyarakatan) dihadapkan dengan tersangka/ terdakwa/terpidana yang tidak dilengkapi dengan perangkat yang sama dengan negara.

Maka, terdakwa/terpidana perlu mendapatkan perlindungan dari kekuasaan negara berupa kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum. Karena itu, PK hanya diberikan kepada terdakwa/ terpidana atau ahli warisnya dan bukan kepada jaksa.

Hak Peninjauan Kembali

Atas dasar teori kekuasaan negara yang superior itulah kenapa PK diberikan hanya kepada terdakwa/ terpidana atau ahli warisnya, dan tidak kepada jaksa atas nama negara. Pemberian hak PK kepada jaksa dalam perkara Muchtar Pakpahan,Syahril Sabirin,Djoko Tjandra, dan terakhir terbetik berita Kejaksaan Agung RI sedang mempertimbangkan PK dalam perkara sisminbakum khususnya dalam perkara Prof Romli Atmasasmita, yang dibebaskan atas dasar ontslag van alle rechtsvervolging (tuntutan tidak diterima).

Pemberian PK dalam perkaraperkara di atas merupakan kesalahan fundamental Mahkamah Agung RI karena PK bukanlah hak jaksa tetapi hak terdakwa/terpidana dan ahli warisnya sebagai perlindungan atas hak asasi manusia terdakwa/terpidana, kepastian hukum,dan persamaan di hadapan hukum.Lebih lanjut,PK bukan hanya hak hukum terdakwa/terpidana semata, tetapi juga merupakan hak konstitusional terdakwa/terpidana. Prof Romli Atmasasmita selayaknya mendapatkan rehabilitasi atas nama baik dan reputasinya sebagai dosen, ahli hukum, dan tokoh hukum pidana yang tercoreng dalam perkara sisminbakum.Cara mengenai bagaimana rehabilitasi inilah yang belum diatur secara rinci oleh KUHAPidana dan bagaimana negara merehabilitasi nama baik Prof Romli Atmasasmita.

Apalagi dia pernah ditahan selama ±5 bulan tanpa alasan sah menurut KUHAPidana, yaitu untuk mengulang perbuatan waktu itu tidak masuk akal dan apalagi melarikan diri.Hal ini dikarenakan selain dia tidak menjabat lagi sebagai Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum di Departemen Hukum dan HAM, juga beliau merupakan dosen dari Universitas Padjajaran dan mempunyai tanggung jawab mengajar. Mahkamah Agung RI khususnya majelis yang memberikan hak PK kepada jaksa telah melakukan kesalahan mendasar yang melanggar konstitusi dan mengabaikan hak asasi manusia terdakwa/terpidana, yang akan menjadi preseden buruk dalam sejarah peradilan pidana kita.Begitu pula “due process of law” sebagai inspirasi pembentukan KUHAPidana telah dilanggar.

Justru KUHAPidana mengharuskan adanya penghormatan “due process of law”. Pemberian hak PK kepada jaksa telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan hilangnya makna perlindungan hak individu dan hak asasi manusia yang menjadi paradigma pembentukan KUHAPidana.

Kepastian Hukum

Diberikannya terdakwa/terpidana atau ahli warisnya hak mengajukan PK bukan hanya sebagai perlindungan hak asasi manusia, tetapi juga demi kepastian hukum. Jika jaksa diperbolehkan mengajukan PK,sama saja perkara yang sama diperiksa dua kali (nebis in idem) karena terdakwa yang sudah bebas baik karena bebas murni (vrijspraak) maupun tuntutan tidak diterima (ontslag van alle rechtsvervolging) diminta jaksa untuk diperiksa kembali. Ini sama saja dengan mengadili kembali perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam perkara sisminbakum yang menyangkut Prof Romli Atmasasmita, dia dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.Kalau sampai jaksa mengajukan PK itu sama saja jaksa meminta tuntutan diulang dan diperiksa kembali oleh pengadilan. Lalu di mana letak perlindungan hak asasi manusia individu.

Ini akan menjadi preseden buruk dan terjadi pengabaian hak asasi manusia, hak konstitusional, dan ketidakpastian hukum bagi terdakwa/terpidana yang sudah diputus final tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Apabila Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengajukan PK dan Mahkamah Agung RI menerima PK tersebut, dengan kata lain kedua institusi tersebut telah mengabaikan hak asasi manusia dan hak konstitusional Prof Romli Atmasasmita. PK adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional seorang terdakwa/ terpidana dan bukan hak jaksa.Hakim tidak boleh membiarkan perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap dikenakan PK oleh jaksa.

Pemeriksaan PK dalam perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap berakibat peradilan mengabaikan hak asasi manusia dan pengabaian asas due process of law yang menjadi jiwa KUHAPidana. Semoga ini tidak terjadi karena jika terjadi akan menimbulkan lembaran hitam dalam sejarah peradilan pidana di Indonesia.(*)

Dr Frans H Winarta
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381387/

Metamorfosis Demokrasi

Sepanjang sejarah ketatanegaraan, bangsa Indonesia pernah menerapkan tiga sistem demokrasi: Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998).

Mari kita cermati praktik demokrasi dengan merujuk pada tiga sistem tersebut. Bagaimana pula pemerintah Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) menerapkan demokrasi sebagai elemen pokok dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu ditekankan,pelaksanaan demokrasi antara 1945-1950 tidak menjadi pokok bahasan.Pada masa itu, para pemimpin bangsa lebih banyak memusatkan perhatian dan upaya pada perjuangan fisik dan diplomasi melawan Belanda untuk memperoleh pengakuan kedaulatan bagi negara Indonesia yang lelah diproklamasikan.

Demokrasi Liberal

Sebagai bangsa yang baru merdeka, bangsa Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal yang mengacu pada liberalisme politik model demokrasi Barat. Pada periode ini, Undang-Undang Dasar (UUD) yang diterapkan adalah UUDS 1950 (bukan UUD 1945).

UUD 1945 memberlakukan sistem presidensial (kabinet bertanggung jawab kepada presiden), sedang UUDS 1950 menerapkan sistem parlementer (kabinet bertanggung jawab kepada parlemen).Presiden, menurut UUDS 1950, lebih berstatus sebagai kepala negara, sementara pelaksana pemerintahan sehari-hari dipegang oleh perdana menteri. Rezim Orla dan Orba mempersalahkan demokrasi liberal sebagai sumber konflik politik yang mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan. Ketidakstabilan pemerintahan terlihat pada jatuh bangunnya kabinet dalam waktu singkat dan gagalnya Majelis Konstituante menyusun UUD baru sebagai realisasi hasil Pemilu 1955.

Orla dan Orba berpendapat,demokrasi liberal tidak cocok diterapkan di Indonesia. Itulah sebabnya, Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Orba memberlakukan Demokrasi Pancasila (dengan menolak tidak saja Demokrasi Liberal, tetapi juga Demokrasi Terpimpin). Sementara demokrasi liberal dikecam sebagai sumber antagonisme politik, Herbert Feith melihat segi-segi positif pelaksanaan sistem Demokrasi Liberal di Indonesia. Feith mengatakan, pelaksanaan demokrasi konstitusional pada masa empat kabinet pertama cukup efektif.Dalam melaksanakan tugasnya, kabinet tersebut bertangung jawab kepada parlemen,walaupun ia bukan badan yang dibentuk berdasarkan pemilihan umum.

Pers sangat bebas.Pengadilan menjalankan tugasnya secara mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah. Tuntutan loyalitas nasional jarang digunakan untuk membungkam para pengkritik terhadap kinerja kabinet.Dan urusan administrasi yang tidak bersifat politis berjalan saling terkait,paling tidak beberapa bagian penting dari tugas yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah.

Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin dilaksanakan Presiden Soekarno sebagai antitesis terhadap demokrasi liberal yang menimbulkan malapetaka politik.Menurut Soekarno,Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang dilaksanakan tanpa anarki liberalisme dan tanpa kediktatoran otokrasi. Soekarno berteori, demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya pada prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang dipimpin oleh satu kekuasaan sentral di tangan seseorang yang lebih tua yang dihormati, yang bisa membimbing dan mengayomi rakyat. Terdapat jurang pemisah antara teori dan praktik dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Dalam praktiknya, unsur komando kepemimpinan (kekuasaan) jauh lebih dominan daripada porsi demokrasinya. Hanya ada satu kali pemilu (1955) yang dinilai fair di bawah kepemimpinan Soekarno.Para politisi (bekas) Partai Masyumi (yang dibubarkan karena dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Permesta) seperti Mohamad Natsir, Mohamad Roem,dan Burhanuddin Harahap dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Mereka baru dibebaskan pada masa awal Orba. Dengan sistem Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakom-nya, Soekarno telah menempatkan diri sebagai pemegang kekuasaan yang hampir tak terbatas.

Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya Indonesia: Social and Cultural Revolution(terjemahan BR Anderson) menggambarkan, posisi Soekarno sebagai presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia (yang memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sedikit berbeda dari posisi raja-raja absolut pada masa lalu, yang mengklaim sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di dunia. Mohammad Hatta (pernah menjabat wakil presiden) dalam bukunya Menuju Negara Hukum mengecam, Demokrasi Terpimpin bertentangan dengan jiwa Pancasila yang diciptakan Soekarno sendiri.

Hatta bahkan menyatakan, Soekarno telah mengubur Pancasila yang digalinya sendiri. Sebagai kritik terhadap Demokrasi Terpimpin,Hatta menulis buku Demokrasi Kita yang membela nilai-nilai hakiki demokrasi yang tidak bisa ditindas. Boleh jadi dapat ditindas untuk sementara waktu di bawah rezim Demokrasi Terpimpin, tetapi nilai-nilai itu akan tetap bertahan hidup. Di bawah rezim Demokrasi Terpimpin, Harian Abadi dan majalah Pandji Masyarakat pimpinan Hamka diberangus.Pada akhirnya, sistem Demokrasi Terpimpin runtuh bersamaan dengan tumbangnya Orla (1966).

Agar fair, perlu pula dikemukakan kekuatan Soekarno yang utama dan pertama yaitu sebagai pencipta Pancasila.Pancasila merupakan kontribusi Soekarno yang paling besar dan signifikan yang dapat mempersatukan seluruh bangsa Indonesia walaupun berbedabeda dalam kesukubangsaan, tradisi, bahasa daerah, budaya, dan agama.Pancasila mampu mempertahankan bangsa Indonesia untuk selalu eksis di atas prinsip kesatuan dalam keragaman atau keragaman dalam kesatuan.Di atas bangunan pilar-pilar Pancasila yang kukuh inilah, kohesi sosial dan integrasi nasional menjadi semakin kuat.

Demokrasi Pancasila

Menolak Demokrasi Terpimpin, Orba pada 1966 menerapkan sistem Demokrasi Pancasila. Presiden Soeharto dalam bukunya Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya mengemukakan, Demokrasi Pancasila tidak ditentukan oleh paksaan kekuatan,melainkan lewat proses musyawarah-mufakat yang bersumber dari prinsip hikmat kebijaksanaan. Demokrasi Pancasila menolak kediktatoran, baik kediktatoran perorangan, golongan,kelas,maupun militer.

Ada jurang pemisah antara teori dan praktik dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya di Kompas Pancasila dan Liberalismemengatakan, perlu dipertegas dan diperjelas aspek-aspek apa yang terkandung dalam demokrasi liberal yang harus ditolak dan seharusnya diterima oleh Pancasila. Gus Dur melihat, banyak pendapat rakyat yang berbeda dengan pendapat pemerintah sering dianggap menentang kebijakan pemerintah. Dengan gaya bahasa retoris,Gus Dur mempertanyakan, bukankah sikap Orba seperti itu justru “membunuh” impuls-impuls demokrasi yang muncul dari Pancasila itu sendiri? Di bawah Demokrasi Pancasila ala Orba, posisi DPR saat itu loyo dan tidak berdaya, sementara posisi presiden terlalu kuat dan melampaui batas yang ditentukan UUD 1945.

Contoh sederhananya, DPR saat itu menolak usul pemerintah tentang kenaikan tarif listrik, tetapi pemerintah tetap menaikkannya. Posisi DPR/MPR tersubordinasi di bawah kekuasaan eksekutif.Fenomena terpuruknya posisi DPR-MPR dapat dilihat misalnya pencalonan para anggota kedua lembaga negara itu harus melalui screeningsecara ketat yang kriteria dan kualifikasinya ditetapkan sendiri oleh rezim. Pertanyaan yang wajar adalah: siapa yang sesungguhnya diwakili oleh para wakil rakyat itu? Pemerintah atau rakyat? Screening itu dipakai oleh rezim Orba sebagai alat pukul yang mematikan untuk memblokade calon-calon wakil rakyat yang sama sekali tidak mempunyai potongan yes-men terhadap selera kemauan rezim.

Demokrasi Pancasila di tangan rezim Orba tak ada bedanya dengan Demokrasi Terpimpin. Mungkin lebih vulgar. Benar, sudah ada pemilu dalam lima tahunan, tapi banyak rekayasa dan kecurangan politik untuk tetap melanggengkan kekuasaan rezim. Partai politik seperti PPP dan PDI saat itu ba-gaikan kosmetika demokrasi,sekadar ada,tapi tetap dibonsai.Rezim bertindak sebagai regulator dan sekaligus aktor atau eksekutor dalam pemilu sehingga pemilu berlangsung kotor dan tidak ‘jurdil’, hanya menguntungkan the ruling party. Saat itu belum ada KPU dan KPUD seperti sekarang ini.Oposisi dan partai oposisi tidak dibenarkan.

Para pegawai dan karyawan secara beramai-ramai sehabis apel bendera sudah diskenariokan membacakan pernyataan politik untuk tetap mendukung presiden yang sudah berpengalaman dalam pemilu mendatang.Presiden yang berpengalaman hanya satu orang, tentunya calonnya ya itu-itu juga. Mana mungkin ada dua presiden atau lebih (yang berpengalaman) dalam satu negara? Demokrasi Pancasila di tangan besi Orba juga mencatat pemberangusan beberapa surat kabar dan majalah di negeri ini seperti Abadi, Kompas, Sinar Harapan, dan Tempo. Tiga media cetak yang disebut terakhir akhirnya dapat terbit kembali. Tokoh-tokoh vokal seperti Mahbub Djunaidi dan AM Fatwa dibui karena menyuarakan pandangan yang berbeda dengan penguasa Orba.

Walaupun tidak lagi memakai label Pancasila, demokrasi pasca- Orba sudah mengalami metamorfosis ke arah yang lebih baik.Walaupun belum maksimal,demokrasi di Era Reformasi mengalami kemajuan. Kekuasaan presiden dibatasi hanya dua periode. Media cetak bebas, tak ada yang diberangus. Partai tidak didikte.Yang menyuarakan pendapat berbeda dengan pemerintah tidak ditangkap atau ditahan.Partai yang memosisikan sebagai partai oposisi dibiarkan. Sudah ada KPU dan KPUD yang netral dalam pelaksanaan pemilu dan pemilukada.

Demokrasi memang memerlukan proses pembelajaran yang panjang. Kita berharap, ke depan demokrasi di negeri ini makin matang dan mantap disertai pemerintahan yang bersih dan baik.(*)

Prof Dr Faisal Ismail MA
Guru Besar UIN Yogya dan Mantan Duta Besar

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381383/

Demokrasi Minus Regulasi

DEMOKRASI bukanlah kehidupan tanpa regulasi.Aturan main justru adalah keniscayaan untuk berjalan sehatnya kehidupan yang demokratis.


Demokrasi adalah kehidupan dengan aturan main yang tepat. Demokrasi dengan regulasi yang terlalu longgar akan cenderung menghadirkan tindakan masyarakat yang anarkistis. Sebaliknya, regulasi yang terlalu banyak mengekang akan mematikan demokrasi dan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Maka negara yang demokratis membutuhkan adonan yang pas antara: kebebasan dan peraturan.Masyarakat yang terlalu bebas tanpa aturan akan cenderung anarkistis. Sebaliknya,pemerintahan yang terlalu ketat dengan aturan tanpa kebebasan akan mematikan kehidupan yang demokratis.Maka pemerintah harus toleran dengan kebebasan, sedangkan masyarakat harus memberi ruang bagi peraturan.

Kita pernah mengalami kehidupan berbangsa dengan aturan yang terlalu mengekang,dan agaknya sedang mengarah kepada kebebasan yang mulai tanpa batas. Kedua-duanya bukanlah kehidupan yang demokratis, dan masingmasing menyimpan problematikanya sendiri.Pada kesempatan kali ini mari kita lihat tiga contoh pelaksanaan kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat,kebebasan beragama,dan kebebasan pers. Dahulu, pengekangan dalam kebebasan berorganisasi sangat terasa. Asas berorganisasi tidak boleh ada yang lain, kecuali Pancasila. Perbedaan pendapat dikekang dan dilarang. Sedikit saja ada organisasi yang kritis dan menentang pemerintah, Undang-Undang (UU) Subversi dan tuduhan makar diterapkan.

Tidak heran penjara diisi dengan tahanan dan narapidana politik (tapol dan napol). Karena,berbeda pendapat,utamanya dengan penguasa, sama dengan tindak pidana. Saat ini organisasi bebas hadir. Perbedaan pendapat lahir dengan merdeka. Diskusi tidak jarang menjadi debat kusir yang memenuhi pemberitaan media cetak dan elektronik.Tapol dan napol dibebaskan, utamanya sejak zaman Presiden Habibie. UU Subversi telah dicabut. Pendapat bisa dilontarkan siapa saja, bahkan yang berbau makar, menentang, hingga menyerukan penggulingan pemerintah sekalipun. Demonstrasi ada di mana-mana meskipun lebih banyak demo bayaran dan demo tandingan, bukan lagi demo perjuangan. Demonstrasi massal bahkan berujung pada kekerasan dan kematian.Lambang negara bisa diperlakukan apa saja.

Mulai dari fotonya yang dicoreng-moreng, dibakar, bahkan disimbolkan sebagai kerbau. Kebebasan berpendapat dan berorganisasi itu pun akhirnya berimbas pada kebebasan beragama. Dulu kehidupan beragama sangat dibatasi oleh negara.Agama Konghucu tidak dapat hidup bebas.Kebudayaan Tionghoa dikembangkan secara sembunyi-sembunyi. Adalah Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Kebhinnekaan yang membuka keran kebebasan. Saat ini negara memberi ruang kebebasan beragama yang luas. Batasan justru datang dari dalam masyarakat sendiri.Atas nama kebebasan berpendapat dan berorganisasi, kekerasan berkembang dan mencederai keberagaman kita dalam beragama. Perbedaan pendapat dan pemahaman dalam beragama sudah ada sejak zaman “kuda makan besi”. Namun, perbedaan demikian seharusnya tidak menjadi dasar pembenar bagi kekerasan apalagi pembunuhan.

Di negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, ber-Pancasila, keberagaman dalam beragama harus disikapi dengan toleransi yang tinggi, bukan dengan pengerahan massa,apalagi pembunuhan yang keji. Maka kepada siapa pun yang menggunakan kekerasan, hukum harus ditegakkan. Pelanggaran hukum tidak dapat ditoleransi meski berlindung di balik pembelaan agama sekalipun. Demikian pula halnya dalam kebebasan pers. Dahulu, pers dikekang dengan berbagai aturan. Termasuk dengan sistem perizinan yang ketat. Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) adalah alat kontrol pemerintah yang kuat, Departemen Penerangan yang ketat menyensor pemberitaan.

Sejak era reformasi, dimulai dengan pelonggaran perizinan oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah,di masa Presiden Habibie, kebebasan pers berkembang amat pesat. Sekarang, kebebasan pers kita sewajibnya diakui lebih baik dibandingkan di era otoritarian dahulu. Bukan berarti tidak ada masalah. Bukan sedikit ancaman dihadapi oleh wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Beberapa bahkan merenggang nyawa karena mengungkap kejahatan, utamanya kasus korupsi.Namun, kehidupan pers juga mulai menghadirkan tantangan. Pengaturan agar bisnis pers tidak dikuasai oleh sekelompok pengusaha atau politisi, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya,adalah salah satu contoh tantangan tersebut.

Bukan berarti media tidak boleh berpolitik. Setiap kita pasti berpolitik,dengan kadar yang berbeda. Namun, politik-media dan media-politik seharusnya dilaksanakan dengan fair, dan tidak melanggar hukum.Menjadi tidak fair jika kebebasan pers kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melindungi kepentingan bisnis dan politiknya saja, terlebih jika kepentingan bisnis dan politik tersebut sebenarnya berpotensi koruptif. Pergeseran dari ketatnya aturan kepada longgarnya regulasi; serta pergeseran dari minimnya kebebasan menjadi kebebasan yang kebablasan; adalah tantangan demokrasi kita saat ini.

Kita tentu tidak ingin demokrasi kita terlalu sarat regulasi sehingga kembali terjerumus ke jurang kehidupan yang otoriter.Namun,kita tidak boleh juga mengarahkan perahu kebangsaan ini kepada demokrasi yang minus regulasi sehingga kita menjadi masyarakat yang tanpa aturan, menjadi negara yang bebas-bablas. Pada titik mencari adonan yang tepat inilah arti pentingnya membuat regulasi yang pas, dan mempunyai penegakan hukum yang efektif. Pengantar Ilmu Hukum, ilmu yang dipelajari setiap sarjana hukum mengajarkan tujuan utama hukum adalah menciptakan law and order di dalam kehidupan bermasyarakat. Regulasi kita saat ini sudah relatif lebih baik dan demokratis.

Tentu masih banyak yang perlu dibenahi karena tidak mungkin ada aturan yang sempurna tanpa cacat.Karena itu,upaya perbaikan terus dilakukan sehingga apresiasi layak diberikan. Kalaupun ada regulasi yang antidemokrasi, mekanisme pengujian ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung telah disediakan. Yang lebih problematik adalah penegakan hukum kita. Selama praktik mafia hukum masih merajalela, penegakan hukum yang efektif tidak akan pernah hadir, dan keadilan akan selalu menjadi ajang jual beli. Keadilan yang harusnya hadir bagi yang benar menjadi mahal dan transaksional, bergantung siapa yang kuat membayar. Jadi demokrasi harus hadir dengan regulasi.Tidak boleh dibiarkan demokrasi minus regulasi.

Regulasinya adalah aturan yang pas. Yang menghormati hak asasi dan tidak menolerir penegakan hukum yang transaksional.Indonesia yang lebih baik mensyaratkan demokrasi dengan regulasi yang pas dan efektif diterapkan, tanpa praktik mafia di dalamnya.Tetap doa and do the best.Keep on fighting for the better Indonesia.(*)

DENNY INDRAYANA
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381412/

Lingkar Satu Istana

DIPO Alam bicara bak berorasi. ”Mereka bagai gagak hitam pemakan bangkai, tapi berbulu merpati putih,” kata Sekretaris Kabinet itu.


Demikian ditulis majalah Tempo edisi 7–13 Februari 2011. Agaknya suasana yang semakin membingungkan dewasa ini telah membuat gerah kalangan lingkar dalam Istana. Seorang pejabat tinggi di lingkungan satu, mantan aktivis dan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pun merasa perlu buka mulut, meluruskan apa yang mereka—orangorang di sekeliling Presiden—telah bengkok atau bahkan telah dibengkokkan. Penjelasan dari ”ring satu”, istilah yang selalu digunakan untuk kelompok yang dekat dengan kekuasaan, memang perlu dicermati. Karena bukan mustahil kata-kata tersebut adalah ungkapan hati Presiden sendiri. Pada masa Orde Baru,kalangan Istana memang sangat irit berbicara.

Bahkan selalu berusaha menghindar dalam memberikan penjelasan yang terlalu panjang lebar.Berusaha berbicara sekadarnya dan kalau perlu dengan nada tergagap-gagap agar pendengar atau yang berusaha mengorek keterangan menjadi bosan untuk meneruskan pertanyaan.Hal biasa yang sangat dimengerti para pemburu berita.Para pejabat ini tahu bahwa setiap kata yang mereka ucapkan bisa dianggap mewakili suatu kebijakan ataupun putusan yang masih dalam pertimbangan. Karenanya, ungkapan diam itu emas menjadi pegangan mereka. Mereka yang berada di lingkar dalam Istana merupakan para pejabat terpilih,tidak boleh diragukan intelektualitas dan integritasnya. Kalau tidak memenuhi persyaratan ini, sebaiknya jangan bercita-cita menjadi kalangan dekat Presiden.

Karena itu,pada masa pemerintahan Soeharto,pemilihan para pejabat di lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet dilakukan sangat teliti dan hati-hati. Ibarat organ tubuh, Setneg dan Setkab adalah kedua tangan Presiden. Bisa menunjuk ke sana-kemari,mengambil dan meletakkan yang diinginkan. Di sisi lain juga mampu merangkul sahabat setia yang loyalitasnya tak diragukan. Pemilihan selektif atas para pejabat lingkar dalam Istana memang perlu dilakukan. Ini karena sosok mereka yang berada di lingkaran satu itu juga merupakan perwujudan dari negara dan pimpinannya sendiri. Ketelitian dan kehati-hatian diperlukan untuk mencegah kebocoran karena mata dan telinga Presiden terletak di sana.

Kalau mata kurang awas dan telinga tersumbat kepentingan s e n d i r i , sudah bisa dipastikan informasi yang sampai kepada Presiden tidak akan efektif. Hal ini tentu berlaku juga bagi seluruh jajaran lingkar dalam yang pada masa Orde Baru memang sangat dibatasi jumlahnya.Ketertiban administrasi yang merupakan ciri utama pemerintahan almarhum Soeharto memang patut mendapat acungan jempol ke atas. Pejabat di lingkungan ”ring satu” Istana memang memiliki kekhususan. Bukan saja karena mereka bertugas menjadi pembantu terdekat Presiden, tetapi juga karena hampir seluruh atau bahkan semua rahasia negara berada di lingkungan Sekretariat Negara.

Sebagai kepala pemerintahan, seorang Presiden dibantu oleh Sekretaris Kabinet yang bertugas memonitor dan melakukan koordinasi para anggota kabinet.Sedangkan Sekretaris Negara melayani Presiden sebagai kepala negara, terutama dalam hubungan dengan negara-negara sahabat di seluruh dunia. Itulah alasannya kenapa jajaran pejabat dalam lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet perlu diisi oleh mereka yang berwawasan luas. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jumlah pejabat ”ring satu” ini cukup besar sejak periode pertama. Pada periode kedua,mulai Oktober 2009, jumlah tersebut bukan berkurang, justru bertambah.

Berbagai institusi dalam lingkaran Presiden ditambah dan banyak pejabat yang diangkat. Kalau sudah demikian kenyataannya, kapan perampingan akan dilakukan? Bila lingkaran dalam Istana sendiri tidak mau dan mampu melakukan reformasi birokrasi,apa mungkin dapat menjadi contoh dan panutan bagi instansi pemerintah yang lain? Agaknya suatu reformasi birokrasi perlu dilakukan untuk langkah awalnya menyangkut institusi dan personalia ”Lingkar Satu Istana”terlebih dulu.(*)

PROF PRIJONO TJIPTOHERIJANTO
Mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara (1998-2000)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/381302/

Cikeusik di Banten dan Temangung di Jawa Tengah Satu Skenario?

Ibnu Dawam Aziz
pensiunsn PNS
Konspirasi Biadab, Menjual Nyawa Manusia dan Merusak Agama (Cikeusik di Banten dan Temangung di Jawa Tengah Satu Skenario)



Setelah mencermati perkembangan terakhir dari berbagai Mas Media , semakin nyata bahwa Konspirasi BIADAB telah berjalan di Negeri ini. Konspirasi ini menggiring kearah satu opini bahwa terjadi pergolakan dikalangan Islam Fundamentalis untuk menjadikan Indonesia menjadi Tunisia/Mesir. Sehingga kekuatan Kebangsaan/Nasionalis harus berwaspada. Menggiring pada satu opini bahwa pelaku kerusuhan di Temanggung dan Cikeusik didalangi oleh Ormas Islam Garis Keras.
1297439406650833828



Temanggung yg dulu Bersenyum

Temanggung , Kota kecil di lereng Sumbing itu saya kenal sampai kerumput-rumputnya, karena selama tigapuluh tahun masa Dinas saya , saya habiskan di Temanggung. Bahkan saya kenal di satu kampung di Kecamatan Ngadirejo tinggal seorang mantan Pegawai DepPen yang dia adalah aktivis Kristen Evengelis berskala Nasional seorang konseptor yang wara wiri ke Jepang dan Eropa berbekal Proposal. Satu aliran Kisten yang juga dianut oleh Anthonius Richmord Bawengan

Ø Bahwa para perusuh yang datang keTemanggung dari Desa Sigedong Kec. Tretep itu bukan aktifis Islam, menunjukkan bahwa si penggerak masa tidak dapat menembus basis Islam yang dianggap fundamental.

Ø Bahwa umat Islam di Temanggung didominasi oleh kaum Nahdlyin , Muhammadiyah dan ada PERSIS bahkan di dua Kecamatan berbasis Islam Garis Keras tidak ambil peran. Ini membuktikan bahwa provokatornya dari luar Islam. Karena umat Islam disini hanya bisa digerakkan oleh panutannya. ( Terus terang saya tanyakan per telepon pada salah seorang Tokoh Islam Garis Keras yang menjadi panutan di Kec Tembarak & Parakan yang saya kenal dia seperti dia kenal saya , jawabnya “ Bukan ulah teman-teman kita , tolong cari dalangnya di Jakarta “ saya sekarang memang di Jakarta.

Ø Pemicu kerusuhan , hukuman maksimal 5 th. Bagi penoda Agama Islam pada umumnya telah diterima oleh Tokoh Islam di Temanggung, bahkan yang berhalua keras sekalipun.
12974396481836588949

Kec. CiKeusik mengapa dipilih?

Satu-satunya yang membuat Temanggung layak dijual adalah bahwa Temanggung telah dikenal sebagai tempat tertangkap dan terbunuhnya seorang teroris. Bagaimana dengan Cikeusik ? Apa kaitannya ? Berbagai keanehan yang telah diungkap oleh berbagai Media dimana Polisi seakan melakukan pembiaran terjadinya kerusuhan. Dan Peliputan terhadap kerusuhan yang telah dipersiapkan oleh LSM yang sama.

Hampir semua korban di Cikeusik adalah bukan orang Cikeusik diambil gambarnya oleh seorang Jamaah Ahmadiyah yang datang dalam satu rombongan dengan para korban. Yang langsung diamankan oleh LBH dan Komnasham. Di DesaKecil Ci Keusik yang jauh dari kota dalam waktu yang singkat berkumpul berbagai elemen masyarakat dari berbagai kepentingan proffesi, sungguh tidak akan ada serba kebetulan seperti itu.

Kasus Cikeusik dan Temanggung adalah BUKAN masalah yang dirancang ditempat kejadian , tapi dirancang dari Kota Pusat Pemerintahan . Saya hampir yakin akhir dari cerita ini, yang ditangkap hanyalah pemain lokal yang ikut-ikutan melakukan kekerasan tanpa tahu maksudnya. Kemudian kisah ini akan ditutup dengan satu opini bahwa kaum Islam Fundamentalis telah melakukan PEMBANTAIAN di Cikeusik dan Kekerasan di Temanggung , sehingga Ormas Garis keras harus diberi sanksi . yang akan memunculkan polemik berkepanjangan sehingga orang akan LUPA pada , Jkasus Century, Mafia Hukum, Cirus, Gayus, Rekening Gendut ,Suno Duaji dan Rekayasa Antasari


Disini jatuh korban

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/09/cikeusik-banten-temangung-jateng-berbeda-tapi-satu-skenario/

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/skenario-menjijikkan-di-cikeusik-banten-dan-temanggung-jawa-tengah-kalau-polisi-cerdas-dan-tidak-terlibat-otak-kerusuhan-sudah-ditangan/





KOMENTAR BERDASARKAN :

*

Dedy Riyadi
11 February 2011 23:09:48


Maaf Pak, Saksi Yehova itu bukan denominasi dalam agama Kristen. Mereka sudah seperti agama sendiri karena menganggap Yehova adalah Allah atau Tuhan yang sesungguhnya menurut Kitab Taurat. Karena konsepsi ketuhanannya seperti itu, maka Saksi Yehova bukan saja menyerang iman Kristen tetapi juga Islam. Jika para perusak gereja itu paham akan hal ini, tentulah mereka tidak akan pernah merusak gereja.

Soal para korban yang luka dan meninggal di Cikeusik, saya rasa tidak arif bagi seorang yang sudah sepuh seperti Bapak mengatakan bahwa mereka hanyalah korban suatu itikad buruk untuk mencoreng sebuah ormas Islam belaka. Saya yakin para janda dan anak-anak yang ditinggalkan akan sangat sedih mendengar pernyataan seperti ini.

Perlu Bapak ketahui juga, hampir bersamaan dengan Cikeusik dan Temanggung, di Tasik dilakukan penyisiran terhadap Jemaah Ahmadiyah, sedangkan di Bekasi 16 Ormas Islam bersatu padu menyegel pembangunan Gereja Galilea di Taman Galaxi dengan alasan yang tidak jelas : kecurigaan ijin pembangunan yang tidak sah, adanya kegiatan pembagian sembako berkedok Kristenisasi.

Logikanya, jika bukan sebuah organisasi masyarakat yang besar dan menyebar di seluruh Indonesia, mana mungkin bisa melakukan gerakan serentak di beberapa daerah sekaligus. Di mana letak konspirasinya?

Jika dihubungkan dengan kasus-kasus Century, Antasari Azhar, dll. toh buktinya pemeriksaan dan pengadilan mereka tetap digelar sampai hari ini.

Salam anti konspirasi!

*

Leak
11 February 2011 23:41:17


biadab mungkin itu kata yang tepat…..!!
saya sebagai umat non muslim jadi takut dan was was…!

dan dari pernyataan temanku yang muslim mereka sendiri merasa malu ada saudaranya yang merusak citra islam dengan berbuat biadab…!

apakah memang ormas seperti fpi sengaja membuat image bahwa islam identik dengan kekerasan….??

*

Telo Kaspo
11 February 2011 23:41:25


jika disetujui bahwa ada provokatornya, lalu juga disimpulkan pada kesimpulan kedua bahwa provokator itu di luar Islam: apakah ada gerakan lempar batu sembunyi tangan? menggunakan massa beratribut Islam supaya dikira itu aksi Islam?

*

Robjanuar
12 February 2011 04:05:37


Sekedar sharing ya mas…

Saya lahir n besar di Situbondo dan saya Katolik. Pas kejadian bakar2 gereja tahun 96 di kota saya, itu juga awal mulanya dari sidang penistaan agama. Waktu itu sya sudah SMA, dan sekolah di Malang.

Hari itu juga saya langsung pulang. Ketemu sama keluarga dan keluarga, teman, tetangga baik Katolik, Muslim, maupun agama lain. Kebetulan sy punya bebrapa teman (dari Mudika) yg tugas di Batalyon 514 dan bapak seorang teman (gereja) yg kerja di Polwil Besuki. (sy yakin mereka pnya akses intel dr komando masing2 selain info dr lapangan)

Dari mereka, saya dapet info yg seragam bahwa orang-orang itu “Di-drop” dari luar daerah. Plus, keterangan dari para tetangga (orang-orang etnis Madura, Muslim, tukang becak, petani yang pas kejadian jagain biar gerombolan perusuh ga sampe masuk ke lingkungan kami) bahwa mereka ga pernah lihat orang-orang ini. (sedikit gambaran, pada saat itu di Situbondo seseorang masih bisa “mengenali” orang lain yang tinggalnya 5-10 km dari kampungnya).

Mungkin ada orang lokal yang terpancing untuk ikut bakar2. Nah, orang2 ini yang biasanya “dimakan” aparat, dijadikan tersangka. Kalau gini, bukankah mereka korban juga?

Apakah orang-orang itu MENGAMALKAN Islam/Kristen/dll atau tidak itu urusan (pribadi) mereka masing2, yang jelas mereka TERLIHAT MENGGUNAKAN atribut Islam. Itu dua hal yang sangat berbeda.

Lalu, kenapa mereka mengenakan ATRIBUT Islam? Ilmu kamuflase paling dasar, mas: berbaur secara visual dengan lingkungan dengan cara mengadopsi unsur (warna, bentuk)dominan di suatu lingkungan. Setelah itu baru unsur audio, yel2, teriakan, dsb.

Setelah ada kejadian serupa susul-menyusul, termasuk pembantaian dukun santet di Banyuwangi, th 96 akhir saya sudah bisa memprediksi ini permainan Rezim yang berkuasa waktu itu: politik mengalihkan perhatian. Dan saat itu saya sudah bisa merasakan kalau kejadian2 itu bakalan “hilang” tanpa penyelesaian hukum, seperti banyak kasus berlatar belakang politik lain.

Kesimpulan saya, semua kejadian di atas menggunakan isu2 Agama demi kepentingan/motif politik golongan tertentu, biasanya sih yang lagi berkuasa

Bahkan, OOT ya mas, saya juga yakin, dulu gereja katolik berani mendanai Perang Salib juga karena motif politis: memperkuat legitimasi sebuah INSTITUSI agama, lebih dari sekedar mempertebal iman, atau hal2 lain dari agama yang sifatnya PERSONAL-vertikal

*

Leak
11 February 2011 23:42:58


biadab mungkin itu kata yang tepat…..!!
saya sebagai umat non muslim jadi takut dan was was…!

dan dari pernyataan temanku yang muslim mereka sendiri merasa malu ada saudaranya yang merusak citra islam dengan berbuat biadab…!

apakah memang ormas seperti fpi sengaja membuat image bahwa islam identik dengan kekerasan….??

*

Odi Shalahuddin
12 February 2011 01:33:28


Peristiwa yang terjadi
kekerasan dan pembunuhan
harus dihukum

ada provokator, konspirasi, permainan tingkat tinggi,
itu juga perlu diungkap dan diumumkan secara terbuka

Jangan rakyat hanya menjadi pion-pion yang terus digerakkan
hingga membuat bumi basah dengan darah yang sia-sia
rakyat sama sekali tidak diuntungkan, justru sangat dirugikan

semogalah segera terbuka kesadaran bagi semua
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
menyatukan diri pada alam, mendekatkan diri pada Tuhan
semangat dalam karya dan kerja demi bangsa
Mungkinkah?

*

Henry Multatuli
12 February 2011 03:16:31


rakyat adalah pion, bang. kalau bukan pion, dia adalah pemimpin.

Begitulah realitas yang selalu terjadi.

*

Nyonyo -
12 February 2011 02:06:06
0

“binggung” itu kata kuncinya.

*

Niji No Saki
12 February 2011 03:47:20


Setahu saya Antonius itu tidak hanya melakukan penghinaan agama Islam tapi juga Kristen. Tentang keyakinan Antonius sendiri saya tidak tahu, saya pikir dia di sini adalah oknum. Dengan demikian tindak perusakan gereja itu, selain tidak dapat dibenarkan, juga sangat memalukan dan salah sasaran. Umat Kristen di Temanggung yg agamanya telah disinggung oleh Antonius malah harus menanggung akibatnya.

Saya pun yakin jika dua peristiwa yang terjadi dalam waktu berdekatan ini juga digerakkan oleh pihak tertentu, tapi saya tidak mau menduga2 sebelum ada bukti yg jelas.


“Bahwa umat Islam di Temanggung didominasi oleh kaum Nahdlyin , Muhammadiyah dan ada PERSIS bahkan di dua Kecamatan berbasis Islam Garis Keras tidak ambil peran. Ini membuktikan bahwa provokatornya dari luar Islam..”

Premis bahwa ormas Islam Temanggung tidak terlibat maka ini membuktikan provokator dari luar Islam, menurut saya adalah kesimpulan yang terlalu cepat diambil. Memang benar bahwa ormas Islam di Temanggung menyatakan ketidakterlibatan mereka, dan melihat sejarah kota Temanggung yg adem ayem dan kerukunan antar agamanya terjaga, saya percaya bahwa provokator kemungkinan besar berasal dari luar daerah. Tapi soal apakah provokator berasal dari kalangan Islam atau bukan siapa yg tahu? Bisa jadi provokator tidak beragama dan hanya memainkan isu agama untuk melancarkan aksinya. Perkawinan antara agama dan politik bukanlah barang baru di dunia ini. Dan jika kita sudah jatuh pada dikotomi agama A - agama B dalam menyikapi konflik antar agama, maka misi sang provokator sudah berhasil dalam menyusupkan kecurigaan di benak tiap2 orang pada golongan yg berbeda. Semoga kita tidak jatuh pada pemikiran seperti itu.

Kita sama-sama orang Indonesia. Saya yakin saudara2 di sini baik yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, tidak ingin Indonesia terpecah karena isu agama. Jangan mudah terprovokasi oleh isu2 agama karena sebenarnya kita semua adalah korban, korban dari pihak2 oportunis yg memainkan kartu agama untuk memecahbelah kita semua.

Salam damai,
Niji

*

Selsa
12 February 2011 04:28:39


ijin share di fb buat teman2 ya pak…?
sy warga temanggung yang sangat mengutuk kejadian itu, krn secara tidak langsung kami akan “ikut” menanggung akibatnya yaitu malu, seperti waktu permasalahan teroris. setiap pergi ke luar kota trus ada yg tanya asal kota mana? mereka pasti bilang oh kota teroris ya…?
kalau sekarang mungkin akan mendapat komentar oh kota brutal ya? ….

*

Gilang Pratama
12 February 2011 05:16:16


Memang sulit menebak manuver pialang kebiadaban. Manusia yang tidak berlaku selayaknya manusia. Semoga Tuhan segera menunjukinya ke jalan yang benar, amin.

*

Isaro Tarabhalaga
12 February 2011 06:28:34


Boleh juga share, pada waktu kerusuhan di Ambon juga sama. Ada teman kantor saya yang kebetulan pulang ke Menado untuk merayakan Natal, suaminya tidak ikut hanya mengantarkan ke Tanjung Priok, disamping suaminya beragama Islam. Menurut teman saya di dalam Kapal ada sebuah grup yang mencurigakan kayak preman dan bahasa yang dipakai bukan bahasa Indonesia, mereka turun di Ambon, dan tak lama kemudian terdengarlah berita bakar-bakaran dan pertikaian antar Agama.

Padahal menurut teman saya yang asli berasal dari Ambon, belum pernah ada kejadian seperti itu. Masyarakat yang beragama Kristen bila membangun Gereja dibantu oleh orang Islam, demikian pula orang Islam yang akan mendirikan Mesjid dibantu oleh saudaranya yang beragama Kristen. Mereka sudah ada perjanjian untuk saling tolong menolong karena meskipun beda agama, tapi mereka masih bersaudara.

Dari keponakan saya yang pada saat itu bekerja di Ternate, banyak orang yang kelihatannya bukan penduduk dari daerah Ambon/Maluku berjaket sibuk ber-HP, dan pernah terlihat didalam jaket tsb gepokan uang Rupiah, yang kemungkinan untuk dibagikan ke penduduk yang ikut memancing keributan.

Mungkin saja skenario-nya sama, untuk mengalihkan perhatian…..dan hebat sekali sudah disiapkan Video-nya buat memanasi-manasi masyarakat melalui tayangan TV, pasti ada LSM yang terlibat (karena dapat uang tentunya!). Yang paling rentan sekarang adalah isue agama, gampang diobok-oboknya.

Zaman dulu kan isue Etnis China, sekarang China/Tionghoa sudah merapatkan barisan, dan sudah tahu hanya dijadikan korban Politik, mereka sekarang sudah dewasa tidak mau lagi dijadikan kambing hitam.

Salam

*

Irsyal Rusad
12 February 2011 06:30:37


Tindakan Machiavellis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Begitu biadab perilaku mereka…akhirnya agama Islam yang rahmatan lilalamin, rahmat bagi seluruh alam menjadi tercoreng..

*

Isaro Tarabhalaga
12 February 2011 06:49:38


Cepat atau lambat, pasti Tuhan Yang Maha Kuasa akan menurunkan Azab-nya, kepada mereka yang suka memancing/membuat skenario keributan. Begitu menjelang tua lihat saja mereka akan kena penyakit yang sukar disembuhkan atau membuat mereka menderita, percayalah Hukum Tuhan atau hukum Karma akan menimpanya kelak….. atas ulah perbuatannya.

Salam

*

Erfan Adianto
12 February 2011 06:58:32


Terima kasih sahabat kompasianer yg sudah share disini, terima kasih pak Ibnu. Saya jadi mengerti bahwa beberapa peristiwa yg lalu2 terindikasi rekayasa tingkat tinggi, sehingga sangat sulit utk dibuktikan. Korban2nya adlh kita semua ini, umat beragama yg biasanya rukun berkecendrungan mjd saling curiga, semoga hal ini tdk terjadi.saya berharap (jika hal ini benar adanya) otak perekayasa yg memanfaatkan isu agama ini segera terungkap dan diganjar hukuman yg setimpal, walaupun hal ini hanyalah utopia belaka.salam.EA

*

Andi Harianto
12 February 2011 07:49:27


kalau dilihat dari pakaiannya, orang-orang itu beratribut Islam. Tetapi caranya sama sekali tidak islami.

Orang Islam maupun agama lain rindu akan surga. Apakah dengan membunuh seperti itu akan masuk surga?
sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Mereka mungkin orang yang ber KTP Islam. Saya muslim, tetapi tidak pernah diajarkan untuk membunuh, karena membunuh adalah dosa besar. Islam, Rahmatan Lil Alamin, rahmat seluruh alam. Rahmat bagi semua manusia, tidak peduli latar agama, suku dan rasnya. Semua sama.

Tentang apakah mereka dari non muslim, perlu diverifikasi. tetapi kalau tabiatnya, saya sepakat mereka dari non muslim. mereka hanya pereman bersorban yang (mungkin) dimanfaatkan untuk pengalihan perhatian.

Aparat melakukan pembiaran
pemerintah hanya bisa berpidato dan menghimbau
bosan!

Tidakkah mereka belajar dari kasus Ambon, Poso dan kasus-2 lainnya?
hebat benar intelejen bisa mengendus teroris yang bergerak senyap
tetapi bisa mengendus massa yang demikian nyata
apakah ini juga bagian dari gerakan intelejen?

Kalau Iya
ck ck ck ck

sadis betul mereka

*

Telo Kaspo
12 February 2011 08:09:31


tetapi kalau tabiatnya, saya sepakat mereka dari non muslim.
========

kalau tabiatnya tidak sesuai dengan ajaran islam = non Muslim?

*

Isaro Tarabhalaga
12 February 2011 08:16:55


Kagak tahu orang sono Ilmu-nya tinggi, bisa dibikin pusing tujuh keliling itu Andreas Harsono yang meng-upload Video-nya, mengutak-atik masyarakat Banten! saya mengingatkan saja, karena Andreas katanya mengalihkan tanggung jawabnya kepada Elaine yang berada di Perth, dia bekerja di LSM dibawah Elaine.

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/konspirasi-biadab-menjual-nyawa-manusia-dan-merusak-agama-cikeusik-di-banten-dan-temangung-di-jawa-tengah-satu-skenario/