BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Memaknai Seruan para Pemuka Agama

Written By gusdurian on Senin, 24 Januari 2011 | 10.45

Jeffrie Geovanie:

"JIKA kamu melihat ke jahatan, perbaikilah dengan tanganmu. Bila tidak
mampu (dengan tangan), lakukanlah dengan lisan. Bila tidak mampu (baik
dengan tangan maupun lisan), lakukan dengan hati, dan yang demikian
itu selemah-lemah iman."

Ini merupakan salah satu kutipan dari sekian banyak sabda Rasulullah
SAW yang menjadi panduan moral bagi semua orang agar terhindar dari
kebusukan yang ada di sekitarnya.

Ada tiga cara bagaimana memperbaiki kebusukan di tengah-tengah
masyarakat. Pertama, dengan tangan. Artinya dengan kekuasaan. Apabila
kejahatan dan dekadensi moral sudah merebak di tengah-tengah
masyarakat, penguasa berkewajiban untuk memperbaiki keadaan dengan
tangan (kewenangan) yang dimilikinya, misalnya dengan menegakkan hukum
sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, dengan lisan. Artinya dengan seruan secara lisan (juga dengan
tulisan). Cara ini biasanya ditempuh oleh para cendekiawan dan pemuka
agama untuk mengoreksi para penguasa yang dinilai telah melenceng dari
kebenaran seperti korupsi, berbuat zalim, dan/atau menyelewengkan
amanat yang telah diem bankan ke pundak mereka.

Dalam sejarah, cara kedua ini pernah ditempuh antara lain oleh Imam Al-
Ghazali ketika berhadapan dengan penguasa yang korup pada masa
pemerintahan Seljuk, yakni pemerintahan Islam Suni pada abad
pertengahan.

"Tidakkah Anda sadari betapa kekacauan telah terjadi di negeri ini.
Para pemungut pajak yang korup menindas rakyat yang bodoh untuk
kepentingan mereka sendiri," demikian seruan Al-Ghazali dalam surat
yang disampaikan kepada wazir (menteri) pemerintahan Seljuk.
"Pikirkanlah rakyat Anda yang menderita karena digerogoti ke miskinan
dan kelaparan."

Dalam suratnya yang lain, yang juga dikirimkan kepada seorang menteri,
Al-Ghazali menulis, "Bertafakurlah selama 1 atau 2 jam, dan
berpikirlah secara mendalam mengenai (nasib) orang-orang miskin yang
darah dan keringatnya diisap oleh para aparat pemerintah."

Ketiga, dengan hati. Artinya dengan keteguhan agar tidak larut dalam
kejahatan yang ada.
Melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyendiri (eskapisme) juga
masuk dalam kategori ini. Cara seperti ini disebut selemah-lemah iman
karena sama sekali tidak memberikan solusi. Dampaknya bagi masyarakat
juga tidak ada kecuali sekadar cari selamat bagi dirinya sendiri.

Merujuk pada ketiga cara tadi, apa yang dilakukan oleh para pemuka
agama di negeri ini kurang lebih `serupa tapi tak sama' dengan yang
pernah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali. Situasinya agak mirip, yakni
pada saat para penguasa melakukan korupsi, atau membiarkan para
aparatnya korupsi sehingga membuat rakyat kian terpuruk.

Seperti juga Al-Ghazali, seruan yang disampaikan para pemuka agama
tidak bermaksud untuk meruntuhkan pemerintahan.
Mereka hanyalah memberi nasihat agar penguasa menyadari kesalahan-
kesalahannya untuk kemudian berupaya memperbaiki.

Oleh karena itu, tidak tepat jika pemerintah-­dan para pendukungnya---
menyebut seruan pemuka agama sebagai gerakan politik. Apalagi sebagai
upaya untuk menjatuhkan pemerintah.
Seruan itu merupakan gerakan moral yang sudah menjadi kewajiban bagi
para pemuka agama di mana pun di muka bumi ini.

Sejatinya pemerintah mengapresiasi seruan moral itu, dengan cara
introspeksi dan berupaya memperbaiki diri, memenuhi janji-janji yang
pernah diucapkan, menjalankan tugastugas sesuai yang diamanatkan
undang-undang, dan bicara sejujur-jujurnya kepada rakyat.
Jangan hanya mau mendengar laporan para punggawa bermental `asal bapak
senang' dengan menampilkan angka-angka semu yang menipu.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/19/ArticleHtmls/19_01_2011_002_021.shtml?Mode=0

Distorsi Statistik dan Kesenjangan Nasional

Satryo Soemantri Brodjonegoro Anggota Komisi Ilmu Rekayasa Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia



MENJELANG akhir 2010 masyarakat disuguhi data capaian pembangunan
ekonomi dan sosial selama tahun 2010 dan prediksinya untuk tahun 2011.
Data tersebut menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai 6%-7%, suatu angka yang cukup tinggi untuk ukuran negara
besar seperti Indonesia. Ironisnya, di masyarakat masih terjadi
berbagai musibah akibat kemiskinan, utamanya akibat kelaparan dan
kesehatan yang sangat buruk. Pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya
terjadi dan mengapa sampai terjadi ketidaksesuaian antara gambaran
nasional dan kondisi masyarakat?
Dampak pendekatan statistik Data pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata
tidak membumi, tidak menggambarkan keadaan riil di masyarakat karena
diperoleh secara statistik.
Padahal metode statistik mempunyai banyak celah kelemahan apabila
tidak cermat dan hati-hati menggunakannya.
Data statistik adalah data agregasi yang menggambarkan kondisi makro,
sehingga informasi detail tidak tergambarkan. Bahkan dalam banyak hal
data agregasi tersebut justru mengaburkan informasi detail yang riil.
Data riil yang detail yang diperoleh dari hasil survei lapangan dan
sensus responden kemudian diolah dan dimanipulasi secara statistik
untuk menghasilkan gambaran makro. Pertanyaannya adalah bagaimana
menghasilkan gambaran makro yang riil dan kredibel sehingga bermanfaat
bagi masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinyatakan relatif tinggi padahal
masyarakatnya sebagian besar masih miskin, artinya terjadi kesenjangan
ekonomi yang cukup besar di masyarakat.
Pendapatan dan aset kelompok masyarakat kaya dan sangat kaya saat ini
terusmenerus meningkat secara signifikan padahal populasi mereka
sangatlah kecil, tidak lebih dari 5% penduduk Indonesia.

Sementara pendapatan kelompok masyarakat miskin berkurang terus secara
signifikan padahal populasi mereka sangatlah besar, lebih dari 60%
penduduk. Secara ratarata nasional, jika dihitung berdasarkan
statistik, terjadi kenaikan pendapatan nasional dan pertumbuhan
ekonomi, namun pada kenyataannya tidak terjadi peningkatan
kesejahteraan nasional, bahkan yang terjadi sebenarnya adalah
peningkatan kesenjangan nasional. Hal ini tentunya tidak diinginkan
karena kesenjangan yang besar akan dapat mengganggu stabilitas
nasional.

Gambaran tersebut menunjukkan betapa data statistik dapat memberi
informasi yang distortif dan menyesatkan, yang tidak menunjukkan
keadaan masyarakat yang sebenarnya.
Untuk menghindarkan pengambilan kebijakan yang salah, penggunaan data
statistik harus dicermati dan diwaspadai. Data statistik tidak
seharusnya digunakan mentah-mentah untuk penetapan kebijakan yang
bersifat nasional. Data statistik seharusnya hanya digunakan sebagai
alat bantu untuk melihat tren perkembangan secara makro dan untuk
melakukan ekstrapolasi makro atau prediksi makro. Upaya mengatasi
kesenjangan Dalam hal program pengentasan t kemiskinan, data yang
digunakan g adalah data kemiskinan yang diperoleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Pertanyaannya adalah bagaimana ketajaman dan
kecermatan BPS dalam menyusun data tersebut.

Pada kenyataannya data BPS menunjukkan bahwa kemiskinan berkurang,
padahal masyarakat miskin saat ini semakin menderita dan kemiskinan
bertambah terus.
Secara sederhana saja, kenaikan harga terus terjadi sedangkan
pendapatan masyarakat miskin tidak lebih baik dari waktu ke waktu.
Data statistik sangat bergantung pada cara penjaringan data dan jenis
pertanyaan yang ditujukan kepada responden. Di sisi lain cara
penjaringan data dapat diarahkan untuk kepentingan tertentu termasuk
kepentingan politik. Dengan demikian sangat mungkin terjadi bahwa data
statistik sangat bias dengan kepentingan tertentu sehingga menjadi
tidak realistis. Para pengambil kebijakan kemudian hanya mengandalkan
data BPS untuk kebijakan nasionalnya, dan karena data BPS tersebut
tidak akurat, terjadilah kesenjangan di masyarakat.

Data statistik akan sangat bermakna apabila diterapkan pada komunitas
yang homogen dengan distribusi normal, data tersebut akan dapat
menggambarkan keadaan riil komunitas tersebut. Untuk Indonesia,
sebagai negara yang majemuk dan yang kesenjangannya luar biasa, metode
statistik harus diterapkan per komunitas yang homogen dengan
distribusi normal.

Dengan demikian, nantinya kebijakan nasional yang diambil berdasarkan
data tersebut berlaku untuk komunitas yang bersangkutan. Artinya,
kebijakan nasional pembangunan tidak harus seragam untuk seluruh
wilayah, tetapi bersifat spesifik unik untuk tiap wilayah sesuai
potensi dan keunikan masing-masing, yang seragam adalah tujuannya,
yaitu menyejahterakan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat hanya dapat
diatasi dengan meminimalkan kesenjangan sosial, dan ini hanya dapat
diwujudkan jika menggunakan data dan informasi riil di masyarakat.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/19/ArticleHtmls/19_01_2011_027_003.shtml?Mode=0

Menyemai Nasionalisme dari Sekolah

Benni Setiawan Pemerhati pendidikan, tinggal di Sukoharjo



ADALAH Kenichi Ohmae dan Thomas Friedman yang mengumandangkan
berakhirnya nation-state.
Ohmae dalam The End of the Nation-State menyatakan negara adalah `the
artifact of the 18th and 19th centuriesÊ (batu peninggalan abad ke-18
dan ke-19). Pada waktu itu tapal batas masih jelas dan penting.
Mereka merasa pasti di mana garis sebuah tapal batas. Ini rakyat kami,
itu bukan. Ini kepentingan kami, itu bukan. Ini industri kami, itu
bukan. Di masa lampau orang berperang atas nama negara dan senjata
sebuah negara diacungkan kepada negara lain.

Namun, kini negara telah lenyap karena tidak ada lagi tapal batas.
Kini sulit untuk menentukan siapa masuk tapal batas apa karena
kegiatan ekonomi di tingkat global telah menerjang tapal batas itu dan
merusak garis-garis peta politik tradisional. Ohmae menunjuk kenyataan
global capital markets yang tidak lagi minta permisi kepada negara
untuk menentukan nilai tukar mata uang.

Ditunjukkan pula bagaimana sebuah produk tidak lagi dapat dikatakan
dihasilkan sebuah negara. Produk sebuah perusahaan Amerika dihasilkan
dari komponen-komponen yang dibuat dari pabrik-pabrik yang tersebar di
seluruh dunia. Itu berakibat lunturnya label nasional, tidak relevan
lagi mengatakan sebuah produk adalah buatan negara tertentu.

Dalam nada yang tidak kalah garang, Thomas Freidman, wartawan New York
Times, mengatakan hal yang sama dalam bukuya, The Lexus and the Olive
Tree. Kata Freidman, semua negara di dunia kini harus berpakaian sama,
yaitu the Golden Straitjacket. Artinya, negara harus menjalankan pasar
bebas, membuka lebar-lebar pasar mereka untuk produk-produk dari mana
saja di dunia. Dengan kata lain, ia juga mendukung borderless world,
seperti yang dikumandangkan Ohmae. Bahkan dikatakan bahwa negara-
negara yang menolak untuk mengenakan the Golden Straitjacket akan kena
hukuman mereka sendiri. `Those countries that put on the Golden
Straitjacket and keep it on are rewarded by the herd with investment
capital. Those that donÊt put it on are disciplined by the herd·
either the herd avoiding or withdrawing its money from that
country' (I Wibowo: 2010).

Benarkah apa yang dikumandangkan Ohmae dan Friedman? Walaupun
berakhirnya nation-state tidak terlalu kentara, hal itu setidaknya
telah melunturkan semangat nasionalisme sebuah bangsa. Lihatlah betapa
kumandang kata nasionalisme di Indonesia seakan hanya bergairah ketika
ada momentum-momentum besar seperti kemenangan tim nasional sepak bola
pada ajang Piala AFF lalu.

Atau Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus, dan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan
10 November; ketika kedaulatan bangsa diusik Malaysia; ketika banyak
tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga babak belur, dan
seterusnya. Namun, selebritas nasionalisme masih belum menjiwai setiap
warga bangsa. Ia hanya dipekikkan dalam kata tanpa makna.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menumbuhkan semangat
nasionalisme di tengah gempuran modernisme dan globalisme yang
ditandai dengan sikap individualisme dan semangat kesukuan yang
mengalahkan rasionalitas, terutama di kalangan peserta didik?
Pendidikan kebangsaan Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah,
pertama, per lunya menggiatkan kembali pendidikan kebangsaan di
sekolah. Pendidikan kebangsaan adalah proses pendidikan yang dilakukan
di sekolah dengan mengancang kurikulum nasional berbasis kearifan
lokal.

Pendidikan itu tidak gelap mata oleh kecanggihan dan kemajuan sistem
pendidikan di luar negeri dan berkiblat secara taklid kepadanya.

Pendidikan kebangsaan diharapkan mampu menumbuhkan semangat peserta
didik untuk berkreasi dan menunjukkan kepada dunia bahwa keindonesiaan
belum hilang dari Bumi Pertiwi dan generasi muda. Peserta didik
diharapkan tidak malu lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Peserta didik diharapkan tetap menjadi pionir atau garda depan
dalam membela tumpah darah Indonesia yang berkepribadian di tengah
gempuran globalisasi dan gaya hidup individualisme.

Format pendidikan kebangsaan tidak menjadi hak mutlak pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Namun,
itu harus berakar dan bertumpu kepada kreativitas guru di sekolah.
Pendidik (guru) tidak hanya mengajarkan nama-nama suku bangsa atau
pakaian adat Indonesia. Namun, lebih dari itu guru harus menjadi
pendidik yang mendidik. Mereka mendidik peserta didik agar memahami
bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam budaya. Ragam budaya Indonesia
tidak kalah dengan budaya asing. Bahkan, ragam budaya Indonesia lebih
memiliki nilai (luhur) daripada kebudayaan asing (Benni Setiawan:
2008).

L e b i h d a r i i t u kreativitas
pemimpin daerah pun perlu dihargai. Sebagaimana yang dicanangkan Wali
Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Mulai tahun ajaran 2010/2011 seluruh
sekolah di wilayah Kota Yogyakarta diharapkan memulai dan mengakhiri
pelajaran dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (karya WR Soepratman)
dan Padamu Negeri (karya Koesbini). Pemikiran yang cerdas itu patut
diapresiasi se luruh masyarakat Indonesia.

Menyanyikan lagu kebangsaan dan perjuangan memang bukan perkara sulit.
Namun, ketika tidak ada perhatian dan kesanggupan komponen sekolah
untuk memulainya ini terasa berat.

Menyanyikan lagu di sekolah tentunya akan semakin menguatkan semangat
belajar dan kebangsaan peserta didik.
Mereka akan merasa bangga dengan Indonesia dan keindonesiaan. Dalam
jiwa mereka akan tertanam rasa kecintaan yang mendalam terhadap
Indonesia. Mereka tidak akan hanya hafal lagu-lagu pop dari artis
papan atas dalam dan luar negeri, tetapi juga mengerti dan memahami
sejarah perjuangan bangsa melalui sebuah lagu.

Proses memahami sebuah lagu memang tidak dengan serta-merta atau dalam
waktu singkat. Proses itu membutuhkan waktu dan proses pengenalan yang
dapat dimulai dari seorang guru.

Seorang guru dapat menyelipkan pemahaman tentang kebangsaan atau
tafsiran terhadap lagu-lagu tersebut dalam mata pelajaran yang
diampunya. Jadi, peserta didik secara tidak langsung mengerti dan
memahami arti kegiatan yang dilakukan di pagi hari dan siang hari itu.
Menyanyikan lagu kebangsaan secara tidak langsung juga merupakan bahan
ajar pendidikan karakter yang kini menjadi agenda pemerintah.
Revitalisasi pelajaran sejarah Kedua, revitalisasi pelajaran sejarah.
Pelajaran sejarah yang sering kali hanya berupa hafalan nama, tempat,
dan fokus kejadian sudah saatnya diubah. Mata pelajaran sejarah sudah
saatnya diajarkan secara benar dan baik oleh guru.
Model pengajaran sejarah saat ini seolah menafikan sejarah sebagai
peristiwa yang sarat makna kehidupan. Alhasil, peristiwa sejarah yang
seharusnya dipenuhi nilai-nilai perjuangan, kegagalan dan
keberhasilan, kesalahan dan keunggulan, serta semangat tak terpatahkan
untuk memperjuangkan suatu kebenaran yang dilakukan para pelaku
sejarah justru tidak diajarkan kepada peserta didik.

Penggalian nilai dan makna dalam setiap peristiwa sejarah merupakan
keniscayaan. Materi pendidikan sejarah tidak boleh menempatkan pelaku
sejarah sekadar sebagai sebuah nama yang berupaya mengubah jalannya
kehidupan umat manusia, tanpa mengindahkan nilai-nilai yang dimiliki
pelakunya (Kompas, 9 Juli 2010).

Mata pelajaran sejarah merupakan pintu gerbang mengobarkan semangat
nasionalisme dalam diri peserta didik. Peserta didik diajak untuk
merenung betapa bangsa ini dibangun dengan keringat, darah, dan
semangat perlawanan tanpa henti. Dengan demikian, peserta didik akan
paham bahwasanya tugas merekalah saat ini untuk melanjutkan perjuangan
itu, tidak hanya dengan rajin belajar, tetapi juga berprestasi dan
menjadi kebanggaan bangsa dan negara.

Pembelajaran sejarah juga harus mampu membawa kesadaran siswa ke dalam
kenyataan bahwa Indonesia negara majemuk. Tidak seperti di masa Orde
Baru yang menggiring kesadaran keragaman budaya sebagai bentuk yang
paling formal (soft multiculturalism), orientasi pembelajaran sejarah
ke depan tidak hanya harus mampu memetakan kesadaran budaya dan
geografi s yang statis, tetapi juga memberikan spirit dan kesadaran
kritis siswa terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme tidak boleh mati. Ia harus selalu
disemai dan dipupuk agar senantiasa hidup dalam sanubari bangsa
Indonesia.

Harus selalu ada energi kreatif dari para guru dalam menciptakan ruang
perenungan proses belajar-mengajar yang berorientasi pada pemihakan
jati diri bangsa Indonesia sebagai kesatuan entitas keragaman budaya.
Dengan demikian, bangsa ini pun dapat berdiri tegak sehingga tidak
mudah dipermainkan (dilecehkan) bangsa lain.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_013_018.shtml?Mode=0

Sekali Merengkuh Dayung

oleh Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta



Jika semua dibongkar, seperti pepatah sekali merengkuh dayung, dua-
tiga pulau terlampaui, kita dapat membuka semua kebobrokan di negeri
ini. Selain itu, negeri ini akan semakin jaya dan pemerintahnya
semakin dipercaya rakyatnya, dan bukan sebaliknya."
BERITA utama Me dia Indonesia Kamis (20/1) amatlah tepat, episode
kasus mafia pajak dan hukum Gayus Tambunan belum selesai. Ibarat
sinetron atau opera sabun, masih akan ada episodeepisode lanjutannya,
jika misteri kasus itu benar-benar diungkap.

Kita tak perlu berpikiran macam-macam terhadap majelis hakim yang
dipimpin Albertina Ho yang hanya memvonis tujuh tahun penjara (dan
denda Rp300 juta) terhadap mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Gayus HP Tambunan atau hanya sepertiga dari tuntutan tim jaksa
penuntut umum kasus tersebut. Kita mafhum, tim jaksa penuntut umum
hanya memberi tuntutan atas kasus yang kecil.

Seperti diungkapkan penasihat hukum Gayus Tam bunan, advokat Adnan
Buyung Nasution, putusan hakim itu sesuai dengan bobot kasusnya, yakni
terkait dengan kasus PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang hanya merugikan
negara Rp570,92 juta.

Padahal, kita tahu masih ada kasus-kasus lain terkait dengan
pendapatan Gayus dari para wajib pajak yang berhubungan dengannya,
antara lain dari tiga perusahaan Grup Bakrie sebesar US$3 juta atau
setara dengan Rp28 miliar dan dari 148 perusahaan lainnya senilai Rp74
miliar, serta pengeluaran Gayus untuk polisi (US$10.000), para hakim
Pengadilan Negeri Tangerang (US$40.000), pengacara (Rp20 miliar),
Kepala Rumah Tahanan Brimob (Rp368 juta), dan calo paspor (Rp900 juta)
(Kompas, Sabtu, 22/1).

Hal yang menarik lainnya, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Rabu (19/1), Gayus membuat konferensi pers yang didampingi
kuasa hukumnya, Adnan Buyung Nasution.

Pada kesempatan tersebut Gayus menyebutkan ia kecewa berat pada Satuan
Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas), khususnya kepada Denny
Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein yang disebutnya
sebagai dalang di balik kasus yang membuatnya duduk di pengadilan
sebagai pesakitan.

Ia juga menuduh satgas telah memanfaatkan kasusnya untuk kepentingan
politik, terutama terkait dengan soal asal usul uangnya yang berasal
dari tiga perusahaan Grup Bakrie PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan
PT Bumi Reso urces. Satgas dituding tidak serius dalam membongkar
kasus mafia pajak dan mafia hukum karena hanya terfokus pada kasus
tiga perusahaan Grup Bakrie. Gayus juga menuding bahwa satgas telah
menghembuskan isu yang tidak benar, seperti ia bertemu dengan Aburizal
Bakrie di Bali dan seringnya ia pergi ke luar negeri.

Gayus juga menyebut nama jaksa Cirus Sinaga dan kaitannya dengan kasus
mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar.
Gayus juga menyebut nama John Jerome Grice, warga negara Amerika
Serikat yang diduga sebagai aktor di balik pembuatan paspor palsu un
tuk Gayus ke Makau Kuala Lumpur, dan Singapura atas nama Sony Laksono,
adalah agen B a d a n Pusat Intelijen AS (CIA).
Hal yang menarik, Gayus me nyebutkan segala aksi John Grice diketahui
dan disetujui seorang anggota satgas.

Satgas tentu saja menolak berbagai tuduhan Gayus tersebut. Wakil Duta
Besar AS untuk Indonesia, Ted Osius, juga membantah John Jerome Grice
adalah agen CIA.
Tidak semuanya bohong Tidak semua apa yang diucapkan Gayus pada
konferensi pers itu mengandung unsur kebohongan. Semua perlu
ditelusuri untuk mengetahui aspek kebohongan dan kebenarannya. Sebagai
contoh, jika Gayus mengatakan satgas terus-menerus mendesak istrinya
untuk memberi informasi apakah Gayus bertemu dengan Aburizal Bakrie di
Bali atau tidak, kita patut bertanya, siapa yang benar dan siapa yang
berbohong. Dalam soal pertanyaan satgas kepada istri Gayus tersebut,
pastinya Gayus benar. Namun dalam soal apakah Gayus bertemu Aburial
Bakrie di Ubud, Bali, bersamaan dengan kepergian Gayus ke Bali untuk
menonton pertandingan tenis internasional, kita pun patut bertanya
apakah benar motif Gayus ke Bali hanya untuk menonton tenis atau ada
motif lain.

Hal yang sama juga patut kita pertanyakan mengapa Gayus dan istrinya
pergi ke Makau, Singapura, dan Kuala Lumpur. Jika ada unsur CIA
seperti yang dituduhkan Ga yus, apakah tidak ada kemungkinan Gayus
sengaja dibawa ke luar negeri untuk memberi informasi atau tutup mulut
mengenai nama nama perusahaan Amerika Serikat (AS) yang menyuap
pejabat publik Indonesia untuk memanipulasi pajak-pajak perusahaan me
reka? Dari 151 per usahaan yang di duga berhubungan atau menjadi klien
Ga yus, ada nama-nama per usahaan asing yang bukan mustahil ber pusat
di AS. Kita tahu hukum di AS amatlah ketat ter hadap perusahaan AS
yang menyuap atau menggelapkan pajak di luar negeri.

Merek akan terke na hukuman sesuai dengan aturan hu kum yang berlaku
di `Negeri Paman Sam' itu.

Namun, kita juga jangan mudah terke coh bahwa seolah olah mafia
pembuat paspor itu didalangi agen CIA semata dan dibuat di luar negeri
kar ena faktanya toh kepala kantor imigrasi di Jakarta ang
mengeluarkan paspor tersebut langsung dico pot. Kita juga perlu
mencermati kebe naran adanya berita beserta foto yang menggambarkan
dua paspor Guyana atas nama Yosep Mor ris dan Ann Morris yang fotonya
mirip Gayus Tambunan dan istrin ya, Milana Anggrae ni (Media
Indonesia, 19/1).

Jika berita itu benar, bukan mustahil ada upaya-upaya sindikat yang
terkait dengan kasus Gayus untuk membuat Gayus dan istrinya hilang
atau kabur ke luar neg eri. Namun aneh nya, mengapa menggunakan paspor
Guyana yang bahasanya saja Gayus tidak menlnya dan apakah dengan
genalnya dan apakah dengan menggunakan paspor Guyana kedua orang itu
akan dengan mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya?
Gayus dan istrinya adalah aset untuk menguak tabir mafia pajak dan
mafia hukum sehingga keberadaan mereka harus dijaga. Jangan sampai
mereka `hilang' (melarikan diri ke luar negeri) atau
`dihilangkan' (dibunuh) agar kasus itu lenyap bersama lenyapnya
mereka.

Kita tahu kasus Gayus bukanlah kasus kejahatan pajak semata. Ini
menyangkut bukan saja pegawai rendahan di Kantor Direktorat Jenderal
Pajak, melainkan juga para atasan Gayus dari tingkat direktur sampai
ke direktur jenderal! Kita harus tetap memfokuskan diri pada
penuntasan kasus ini, berapa pun harganya dan apa pun harga politik
yang harus kita tanggung ber sama. Kita tentunya tidak se pakat dengan
pandangan mantan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang dikutip
Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR-RI Benny K Harman (Partai Demokrat),
bahwa jika kasus ini terkuak seluruhnya, negeri ini akan gonjang-
ganjing atau terjadi instabilitas politik.

Kita juga tak sepakat dengan pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal
(Kabareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi bahwa jika
semua penyimpangan di instansi pemerintah dibuka secara terbuka, akan
menurunkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

Kita tentunya sepakat, jika semua penyimpangan di instansi pemerintah
dibuka habis, negeri ini akan berubah secara drastis dari negeri yang
terkategori paling korup nomor sekian di dunia menjadi negeri paling
bersih di dunia. Selain itu, kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan
meningkat secara drastis! Kita patut curiga bahwa apa yang dituduhkan
Gayus bahwa satgas melakukan rekayasa pertemuan di Singapura ternyata
bukan dilakukan satgas, melainkan dilakukan instansi Polri.

Kita juga patut bertanya, mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyerahkan kasus itu kepada Polri sementara dari hasil pemeriksaan
baik di Jakarta, di Singapura, dan di dalam berita acara pemeriksaan
(BAP), Gayus menyebut nama-nama pejabat polri dari yang berpangkat
perwira pertama sampai ke perwira tinggi.

Mengapa pula hanya perwira-perwira berpangkat rendahan yang diusut,
diadili, dan divonis penjara, sementara atasan-atasan mereka yang
jenderal dapat dengan tenang tak terjerat oleh hukum? Siapa saja
jenderal-jenderal Polri yang mendapatkan aliran uang dari Gayus?
Apakah jika semua itu diungkapkan, Indonesia dan citra Polri akan
runtuh? Apakah jika para pejabat di Direktorat Jenderal Pajak yang
terkait dengan kasus Gayus dan lainnya yang nakal dibuka semua, negeri
ini akan runtuh?
Apakah jika kasus Gayus dan Bank Century dibuka tuntas, negeri ini
akan gonjang-ganjing dan stabilitas politik di Indonesia akan
terganggu? Justru dengan penyingkapan kedua kasus itu, negeri ini akan
bersih dari pejabat negara yang korup, pemimpin partai politik yang
busuk, para wajib pajak yang nakal, dan penegak hukum yang nakal pula.
Dua-tiga pulau terlampaui Apa yang diucapkan Gayus setelah sidang usai
19 Januari 2011 itu merupakan informasi yang perlu ditindaklanjuti,
walaupun ada juga upa ya Gayus untuk mengalihkan publik dari persoalan
pemberantasan mafia pajak dan mafia hukum ke persoalan politik antara
satgas dan dirinya dan satgas dan Aburizal Bakrie.

Kalau memang pernyataan Gayus benar bahwa Cirus Sinaga tahu banyak
soal kasus Antasari Azhar, ini dapat menjadi pintu masuk untuk membuka
tabir apakah memang ada rekayasa untuk menghabisi Antasari Azhar agar
kasus-kasus yang mungkin menyerempet penguasa negeri, seperti kasus
teknologi informasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak dibuka KPK.

Bagaimana pula dengan kasus mantan Kabareskrim Mabes Polri Komisaris
Jenderal Susno Duadji yang membongkar adanya uang Rp28 miliar dalam
kasus Gayus HP Tambunan dan mengakui dalam beberapa kesempatan bahwa
ia diperintahkan atasannya untuk merekayasa kasus dua Wakil Ketua KPK
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah agar dijerat kasus suap?
Apakah Susno Duadji juga harus menghadapi kasus hukum uang keamanan
pemilu saat ia menjadi Kapolda Jawa Barat untuk mencegahnya membuka
tabir berbagai ra hasia hukum di negeri ini yang dia miliki saat ia
masih menjabat Kabareskrim Mabes Polri? Jika semua ini dibongkar,
apakah negerti ini akan runtuh?
Kita tentunya tidak ingin terjadi tukar guling kasus, baik antara
Kejaksaan Agung dan Polri dalam kasus Brigjen Edmon Elyas dan Brigjen
Raja Erizman yang terkait dengan kasus Gayus dan Jaksa Cirus Sinaga
dalam kasus Antasari Azhar.

Semua ditutupi agar nama institusi Polri dan kejaksaan tidak terlalu
buruk. Kita juga tidak mau terjadi tukar guling kasus antara Partai
Demokrat yang diduga terkait dengan kasus Bank Century dan Partai
Golkar (khususnya ketua umumnya) yang diduga terkait dengan kasus
Gayus Tambunan.

Jika semua dibongkar, seperti pepatah sekali merengkuh dayung, dua-
tiga pulau terlampaui, kita dapat membuka semua kebobrokan di negeri
ini. Selain itu, negeri ini akan semakin jaya dan pemerintahnya
semakin dipercaya rakyatnya, dan bukan sebaliknya!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_014_028.shtml?Mode=0

Memburu Koruptor lewat Entry Denial

SELAIN pertukaran narapidana, pergaulan internasional juga mengenal
istilah kerja sama ekstradisi antarnegara.
Kerja sama itu sangat bermanfaat dalam upaya penegakan hukum karena
begitu banyak tersangka kriminal yang memilih kabur ke luar negeri
untuk bersembunyi dari hukum.

Indonesia sendiri sudah punya payung hukum untuk mengatur ekstradisi
itu. Lewat UU No 1/1979, pemerintah diizinkan untuk kerja sama
ekstradisi dengan negara lain.

Namun mengapa realisasinya begitu sulit? Sebut saja Anggoro Widjojo,
tersangka kasus suap pengadaan sistem komunikasi radio terpadu
Departemen Kehutanan, yang sejak Oktober 2008 disebutsebut bersembunyi
di Singapura, negara yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari
Indonesia.

"Syarat ekstradisi dengan Singapura begitu banyak. Salah satunya, kita
tidak ada perjanjian bilateral dengan Singapura," kata Kasubdit
Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri
Abdul Kadir Jailani saat ditemui Jumat (21/1) lalu.

Dipaparkannya, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura menemui jalan
buntu pada tahap ratifikasi. Singapura meminta agar perjanjian
ekstradisi digabung dengan persetujuan kerja sama Pertahanan (Defense
Cooperation Agreement/DCA).
Di sisi lain, Indonesia menolak menggabungkan perjanjian ekstradisi
dengan DCA itu.

"Kita tidak mau meratifikasi DCA. Karena itu, Singapura juga tidak mau
meratifikasi perjanjian ekstradisi," terang Abdul.

Namun, perjanjian ekstradisi ternyata bukanlah satu-satunya pintu
masuk untuk memburu tersangka kriminal yang lari ke luar negeri. Masih
ada kerja sama internasional bagi negaranegara yang mengikatkan diri
pada United Nations Convention on Against Corruption (UNCAC).

"Kita punya UNCAC yang bisa dijadikan dasar untuk mengajukan
permintaan. Jadi untuk kasus korupsi, kita bisa mengekstradisi dari
ratusan negara. Kita bisa ke negara mana pun," ungkapnya.

Ia mengatakan saat ini anggota UNCAC berjumlah sedikitnya 148 negara.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC pada 2008 silam. Selain
Kemenlu yang tengah bekerja keras lewat jalur diplomatik, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tengah menjajaki kerja sama dengan
negara-negara G20, untuk mempersempit ruang gerak koruptor. Salah satu
kerja sama yang ingin dicapai adalah mencegat para koruptor begitu
tiba di pintu masuk negara tujuan (entry denial).

Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan M Jasin memaparkan, kerja sama ini
dilakukan sebagai tindak lanjut dari pertemuan antikorupsi antarnegara
G-20 yang digelar akhir 2010 silam. "Setiap negara dalam G-20 paling
tidak menerapkan daftar nama yang dianggap bermasalah karena dianggap
terkait tindak pidana korupsi."

Dengan demikian, KPK akan melakukan pencegahan ganda. Mekanisme entry
denial tersebut, menurut Jasin, akan dibakukan dalam pertemuan negara-
negara G-20 yang akan digelar di Prancis pada Februari mendatang.
"Meski secara informal sebenarnya sudah dilaksanakan, bagus kalau ada
kesepakatan biar lebih kooperatif," tuturnya.

Langkah KPK itu mendapat dukungan penuh dari Trans parency
International Indonesia (TII). Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki
memandang Indonesia sudah saatnya punya perjanjian entry denial dengan
negara-negara yang diduga menjadi tujuan pencucian uang dan pelarian
kekayaan hasil korupsi.

Langkah itu dinilai le bih mutakhir ketimbang kerja sama dengan
Interpol. "Interpol itu terlalu kuno karena hanya kerja sama antara
polisi Indonesia dengan polisi internasional.
Kalau dengan entry denial, tidak hanya polisi, tetapi lembaga
perbankan Tanah Air bisa bekerja sama dengan lembaga perbankan
internasional."

Ia juga mendesak Presiden bisa membujuk Singapura untuk menandatangani
perjanjian itu. Menurutnya, Singapura selama ini menjadi surga bagi
para koruptor untuk menyimpan aset-asetnya termasuk melakukan
pencucian uang.

"Di sana ada Syamsul Nursalim dan Sutanto Tanoto yang kabur ke
Singapura. Selama ini, negara itu belum mau bekerja sama dengan kita.
Ini yang harus kita dorong," ujar Teten. (Nav/Wta/Ide)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_023_004.shtml?Mode=0

DPR BIDIK RAJA DAN EDMON

"Ini pertaruhan Kepala Polri."
Panitia Kerja Mafia Perpajakan di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat
akan menelisik keterlibatan Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir
Jenderal Raja Erizman dalam kasus Gayus Halomoan P. Tambunan. "Banyak
hal yang terkesan ditutupi terkait dugaan keterlibatan dua jenderal
ini," kata anggota Panitia dari Fraksi Partai Hanura, Syarifuddin
Sudding, kepada Tempo kemarin.

Panitia, kata Sudding, juga akan mendesakkan pemeriksaan lebih
lanjut." Ketua Panitia Tjatur Sapto Edy juga mempersoalkan pengusutan
sejumlah penegak hukum yang pernah memeriksa Gayus. "Seperti dua
jenderal itu dan jaksanya," ucap politikus Partai Amanat Nasional ini.
Maka hari ini Panitia Kerja memanggil Kepala Polri Jenderal Timur
Pradopo.

Sejumlah penegak hukum diduga disuap pada 2009 ketika Gayus menghadapi
perkara suap Rp 349 juta oleh PT Surya Alam Tunggal dan pencucian uang
di Pengadilan Negeri Tangerang.
Bekas ketua majelis hakim Muhtadi Asnun yang membebaskan Gayus
menerima Rp 50 juta. Ia divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Timur.

Namun dua mantan Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri, Edmon dan Raja, masih melenggang. Begitu juga jaksa
peneliti yang diduga melemahkan tuntutan: Cirus Sinaga, Poltak
Manulang, dan Fadil Reegan. Gayus telah mengakui menggelontorkan fulus
Rp 20 miliar untuk menyogok hamba hukum lewat pengacaranya kala itu,
Haposan Hutagalung.

Polri berkeras menyatakan bahwa Raja dan Edmon bersih. "Belum ada
indikasi menerima suap," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes
Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar kemarin. Tapi mereka kini tak
memiliki jabatan. Yang terbukti bersalah cuma bekas penyidik Komisaris
Besar M.
Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Sri Sumartini.

Komisi Kepolisian Nasional pun mendorong Timur agar serius mengusut
anak buahnya. "Agar tahu siapa yang terlibat," kata anggota Komisi
Kepolisian Nasional, Novel Ali, di Semarang. "Ini pertaruhan bagi
Kepala Polri."

SANDY IP| PITO AGUSTIN R | FEBRIYAN | ROFIUDDIN | JOBPIE S.


Pengusutan dugaan suap Gayus Halomoan Tambunan terhadap sejumlah
petinggi kepolisian janggal karena dilakukan tanpa memeriksa bekas
Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji.

Penilaian itu diberikan oleh Indonesia Police Watch (IPW).

“Susno yang membuka kasus ini, dia saksi kunci,” kata penasihat IPW,
Johnson Panjaitan, di Jakarta kemarin.

Penilaian itu, menurut dia, mengacu pada penjelasan Susno kepada tim
IPW ketika berkunjung ke tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua,
Depok, belum lama ini.Tim IPW datang untuk mengevaluasi kasus Gayus
setelah dia divonis 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada Rabu
pekan lalu.

Johnson menjelaskan, Susno menyatakan bahwa kasus mafia pajak dan
hukum telah dibelokkan. Pria yang menjadi terdakwa perkara korupsi
dana pemilihan Gubernur Jawa Barat itu juga mengungkap keterlibatan
dua mantan anak buahnya, Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir
Jenderal Raja Erizman, para bekas Direktur II Ekonomi Khusus Badan
Reserse Kriminal.“Mereka di balik kasus ini.” Menurut Johnson,
keduanya berperan dalam penghilangan pasal korupsi dan penambahan
pasal penggelapan dalam berkas penyidikan Gayus. “Mereka yang
berkoordinasi dengan jaksa Cirus Sinaga dan Fadil Reegan,” katanya
menirukan Susno.

Edmon juga mencoret Roberto Santonius dari daftar tersangka dan
“memutar” perkara suap Rp 28 miliar menjadi hanya Rp 395 juta.
“Dari data PPATK yang dicurigai Rp 28 miliar.”Adapun Raja dinilai
mengetahui pembukaan blokir dua rekening Gayus yang berisi uang Rp 28
miliar. “Itu uang yang dibagikan kepada polisi, jaksa, dan
Haposan,”katanya.

Lalu apa peran Susno? Menurut Johnson, Susno mengaku tak terlibat
karena Edmon dan Raja tak pernah melapor kepadanya.

Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi
memastikan tak akan memeriksa Susno. “Pak Susno sudah membantah
mengetahui masalah ini, melalui kuasa hukumnya,” ucapnya kemarin. Ito
akan berfokus menyidik tiga kasus Gayus, yakni lari dari tahanan,
dugaan suap dari sejumlah perusahaan,serta asal uang Rp 74 miliar di
safe deposit box di rumah Gayus di Kelapa Gading.

Susno pun membantah penjelasan Johnson. Pengacaranya, Henri
Yosodiningrat,
menjelaskan, kliennya dan Johnson hanya membicarakan aliran uang Rp 28
miliar dan asal uang Rp 74 miliar.

Tapi Susno ogah membicarakan uang Rp 28 miliar karena publik sudah
tahu dari pengakuan Gayus. Susno juga mengusulkan, jika Gayus tak
mengakui, sebaiknya uang Rp 74 miliar tersebut disumbangkan ke panti
asuhan.

Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli
Amar menyatakan Polri tak keberatan kalau Komisi Pemberantasan Korupsi
mengusut sejumlah polisi.“Silakan diperiksa jika ditemukan
keterlibatan mereka,” katanya. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch
meminta KPK menyelidiki permainan sejumlah petinggi Polri. Menurut
Boy, pekan ini mulai digelar sidang kode etik bagi sejumlah polisi
yang terlibat dalam kasus Gayus tapi bukan tindak pidana. ● FEBRIYAN |
ISMA SAVITRI | JOBPIE S

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_001_014.shtml?Mode=1

INVESTIGASI MAJALAH TEMPO Wajah Buruk Sepak Bola Indonesia

Hanya dua klub yang punya NPWP.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Nurdin Halid
membantah penilaian bahwa kompetisi di bawah PSSI penuh kecurangan.

Saat membuka Kongres PSSI di Pan Pacific, Nirwana Bali Resort,
Tabanan, Jumat lalu, ia mengklaim adanya peningkatan kualitas
kompetisi.

Hal itu dibuktikan dengan tingginya animo penonton, kepercayaan
sponsor, serta lahirnya pemain-pemain idola baru. Tapi Investigasi
Majalah Tempo menemukan hal sebaliknya. Kompetisi di bawah PSSI justru
diwarnai banyak hal buruk: tim tuan rumah yang cenderung menang lewat
cara mencurigakan serta adanya indikasi pemain dan wasit yang bisa
disuap.

Keanehan kompetisi itu bisa dilihat di Liga Super Indonesia.

Pada musim 2009/2010, kompetisi level tertinggi di Indonesia itu
menyajikan 306 pertandingan. Dari jumlah itu, sebanyak 196 kali tim
(64 persen) yang berposisi tuan rumah menang
dan hanya 44 kali tim tamu (14 persen) bisa menang.

Bukti kesaktian tuan rumah bisa dilihat dari penampilan Persisam Putra
Samarinda saat jadi juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 2008/2009.

Sebagian besar kemenangan tim itu diperoleh lewat penalti.

Dari 15 pertandingan di kandang, Persisam mendapat 20 kali penalti.

Pengelola klub itu membantah kalau dikatakan bahwa hal tersebut karena
ada “faktor nonteknis”.“Kami punya ambisi menang. Kalau main di
kandang, semua klub pasti ingin menang dengan segala cara. Hadiah
penalti bagian dari sepak bola,”kata Aspian Noor, Manajer Persisam.

“Faktor nonteknis” dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan
pengganti “pengaturan” dari luar lapangan—sesuatu yang tak ada
urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke
gawang lawan.
Temuan Tempo menunjukkan bahwa pemain dan wasit merupakan unsur
penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Kedua unsur
ini bisa “dibeli” untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Permainan kotor biasanya melibatkan 3-5 pemain, yang disuap lewat
calo. Tarifnya umumnya Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi I
dan II. Pemain di level ini lebih mudah dipengaruhi karena gajinya
sering terlambat. Di Divisi Utama dan Liga Super, harga pemain minimal
Rp 25 juta per pemain.

Pemain yang sudah dibeli lawan ini biasanya melakukan berbagai aksi
merusak timnya di lapangan. Berpura-pura emosional dan marah paling
mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain tersebut diganjar kartu atau
menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling
sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri.

Klub juga bisa mengharapkan
hasil yang menguntungkan pihaknya dengan memesan wasit tertentu yang
telah dikenalnya.

Tarifnya Rp 20-50 juta, bergantung pada tawar-menawar dan penting-
tidaknya pertandingan.

Wakil Ketua Umum PSSI Nirwan Dermawan Bakrie menegaskan, PSSI sudah
memiliki Komisi Disiplin untuk mengawasi praktek seperti itu. “Tapi
memang susah untuk mengatur soal suap, karena sulit
dibuktikan,”katanya.

Praktek tak terpuji lain juga terungkap dalam investigasi Tempo itu.
Salah satunya adalah soal keharusan “setor dana” kepada pengurus PSSI
bagi klub yang ingin berpromosi ke level lebih tinggi. Laporan
keuangan klub Liga Super juga tak memenuhi standar akuntansi.

Dari 16 klub peserta kompetisi 2009/2010, cuma empat kesebelasan yang
berbadan hukum.

Dari empat klub itu, hanya Arema Malang dan Persebaya yang memiliki
nomor pokok wajib pajak (NPWP). ● WAHYU DYATMIKA | NURDIN

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_005_016.shtml?Mode=1

Indonesia dan Gayusnesia

Andi Irawan, PEMINAT MASALAH EKONOMI-POLITIK


Pada sistem yang totaliter, seperti dalam kasus penguasa di era Orba
dan Ben Ali-Tunisia, butuh waktu 20-30 tahun akumulasi energi shock
untuk menumbangkan kekuasaan.

Tapi, dalam era keterbukaan dan demokrasi, waktu yang dibutuhkan akan
jauh lebih singkat.
agaimana kalau kita "B usulkan nama negara ini diganti saja men jadi
GAYUSNESIA.

Dasar negaranya: Panca-Bakti Korupsi, Korupsi adalah kepercayaan kami,
kemanusiaan yang berperadaban korup, persatuan koruptor, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat berkorupsi dalam permusyawatan dan
perwakilan, kebebashukuman bagi seluruh koruptor".

Kutipan di atas adalah e-mail yang saya terima dari seorang teman.
Saya yakin pandangan sarkastis dan sinistis lainnya yang senada dengan
kutipan di atas banyak yang disampaikan oleh anggota masyarakat, baik
lewat dunia maya maupun dalam pembicaraan sehari-hari. Semuanya
berawal dari keheranan dan ketakjuban melihat kekuatan-kekuatan para
mafia yang mampu mempecundangi semua lembaga yang menjalankan fungsi
negara dalam penegakan hukum.

Bagaimana mungkin eksekutif bisa dipecundangi begitu mudah.
Sebagaimana yang diketahui, kejaksaan dan kepolisian adalah unsur
penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif. Publik melihat
bagaimana kekuatan kejaksaan serta Polri menjadi lumpuh, bahkan
terkesan terkooptasi, oleh kekuatan the unseen hand (tangan yang tidak
kelihatan) mafia pajak dan hukum.

Bagaimana mungkin penjara, yang berada di bawah pengawasan kepolisian,
bisa begitu mudah mengakomodasi pelayanan personal yang begitu
eksklusif untuk seorang Gayus (dengan bebas keluar-masuk 68 kali
penjara serta pelesiran ke luar negeri). Bagaimana mungkin daya
investigasi Polri dan Kejaksaan RI menjadi hilang saat berhadapan
dengan masalah Gayus.

Ketika berhadapan dengan kasus terorisme, kemampuan investigasi dan
eksekusi penegakan hukum Polri, misalnya, sangat bernas dalam
mengungkap jaringan terorisme tersebut dan melumpuhkan aktor-aktor
pentingnya.
Tapi mengapa, ketika berhadapan dengan kasus Gayus, mereka kehilangan
semua kecerdasan, ketangkasan, dan kekuatannya untuk mengungkap
jaringan Gayus ini.

Bagaimana mungkin anggota legislatif tidak merasa perlu ikut
berpartisipasi secara signifikan mengungkap mafia pajak dan hukum
dalam fenomena Gayus ini. Kalau DPR bisa merasakan keresahan rakyat
yang mereka wakili, tentu mereka akan menggunakan hakhak konstitusi
yang mereka miliki secara total untuk menekan eksekutif agar bekerja
total mengungkap jaringan mafia yang berada di belakang Gayus.
Konstitusi kita memberi hak pengawasan penyelenggaraan negara kepada
DPR. Mereka antara lain diberi senjata dalam bentuk hak untuk
melakukan investigasi/interpelasi dan hak untuk menyatakan pendapat
dari investigasi yang dilakukannya.

Sedangkan kekuatan yudikatif kita memang sudah lama dirasakan hilang
eksistensinya dalam menghadirkan ke adilan masyarakat. Publik
merasakan bahwa pengadilan adalah institusi negara yang hanya bernas
menegakkan hukum ketika berhadapan dengan mereka yang berstatus duafa
(kaum lemah) dari sisi kekuatan sosial-politik dan finansial.
Menghadapi mereka yang punya kekuasaan, penegakan hukum menjadi
tumpul, bahkan hilang.

Mengapa lembaga-lembaga negara tersebut menjadi tidak berdaya ketika
berhadapan dengan korupsi? Jawabnya singkat, karena telah terjadi
salah penempatan ideologi dalam menjalankan fungsi dan perannya.
Ideologi penyelenggara negara kita dalam bidang hukum bukanlah "hukum
untuk keadilan", melainkan "hukum untuk uang".

Negara adalah entitas peradaban yang diberi hak monopoli dalam
menetapkan hukum dan menegakkannya dengan tujuan hadirnya keadilan
bagi seluruh masyarakat. Ketika negara berubah menjadi pasar, hukum
berubah menjadi komoditas. Seperti yang kita ketahui, ideologi pasar
adalah maksimalisasi profit dan self interest. Maka, ketika ideologi
tersebut masuk menjadi ideologi pelaku negara, sempurnalah perubahan
fungsi dari entitas negara menjadi pasar. Dan celakalah warga ne gara
yang duafa. Mengapa? Sebab, ketika hukum identik dengan komoditas,
sedangkan pasar untuk komoditas yang bernama "hukum"tersebut adalah
pasar monopoli, keadilan adalah sesuatu yang sulit diraih. Ukuran
kebenaran hukum adalah uang. Dan hukum pasar berlaku bagi para pencari
keadilan: siapa yang ingin hukum berpihak kepadanya, dia harus
membayar. Semakin tinggi uang yang Anda keluarkan, semakin hukum
berpihak kepada Anda.

Saya ingin mengingatkan para elite lembaga-lembaga negara, kiranya
tidak mati rasa dan bisa bergegas mengurangi kegalauan serta keresahan
masyarakat dari tidak berfungsinya peran lembaga negara dalam
mengatasi korupsi. Gayus dan Century adalah megafenomena yang
mencerminkan hal tersebut. Akumulasi kegalauan dan kekecewaan
masyarakat akan menjadi energi shock perubahan sosial yang akan
merugikan pemilik kekuasaan. Pada sistem yang totaliter, seperti dalam
kasus penguasa di era Orba dan Ben AliTunisia, butuh waktu 20-30 tahun
akumulasi energi shock untuk menumbangkan kekuasaan. Tapi, dalam era
keterbukaan dan demokrasi, waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih
singkat.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_012_003.shtml?Mode=1

Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi

Jakarta, Kompas - Hampir semua provinsi di negeri ini tersandera
korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus
tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan Kompas, hanya lima dari
33 provinsi di Indonesia yang hingga Minggu (23/1) tak ada kepala
daerahnya yang terjerat perkara hukum.

Temuan itu seperti membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi, Senin lalu. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di
Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah
hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan,
seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1).

Dari 17 gubernur yang dipaparkan Gamawan itu, tak semuanya kini masih
menjabat. Tinggal empat gubernur yang masih menjabat dan tersangkut
kasus korupsi. Mereka adalah Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin
(terdakwa korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta bea
penerimaan hak atas tanah), Gubernur Sumatera Utara Syamsul Ariffin
(terdakwa korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran), Gubernur
Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (tersangka korupsi dana
pengelolaan dana bagi hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal), dan
Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin (tersangka korupsi
pengembalian dan pemanfaatan lahan bekas pabrik kertas Martapura).
Kini Syamsul Ariffin ditahan.

Anggaran untuk golf

Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi
Temenggung menuturkan, sebagian besar kepala daerah terjerat kasus
korupsi yang terkait penyimpangan APBD, terutama pada pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Dalam
evaluasi APBD provinsi, Kemdagri sebenarnya sering memberikan catatan
terhadap anggaran yang tak sesuai dengan aturan.

”Kesalahan bisa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa yang
seharusnya mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu juga pengelolaan dan
pertanggungjawaban dana hibah, perjalanan dinas, dan bantuan sosial,”
katanya.

Awal 2011, Kemdagri sudah selesai mengevaluasi 30 APBD provinsi. Tiga
APBD provinsi lainnya, yaitu Bengkulu, Papua Barat, dan Aceh, masih
dalam proses evaluasi. ”Tahun 2011 cukup baik pada awal tahun anggaran
ini,” ujarnya.

Direktur Anggaran Daerah Kemdagri Hamdani menambahkan, provinsi dan
kabupaten/kota mempunyai kewenangan keuangan daerah. Namun, ada
beberapa anggaran yang diberi catatan untuk tak dianggarkan lagi di
APBD. ”Misalnya anggaran untuk hibah kepada persatuan golf. Apa
hubungan pemerintah daerah dengan golf? Setelah ditelusuri, ternyata
ketuanya gubernur atau sekretaris daerah,” ujarnya. Contoh lain,
kendaraan untuk anggota DPRD tidak boleh dianggarkan dalam APBD.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin juga mengakui,
modus korupsi di daerah kebanyakan berupa penyalahgunaan APBD dan
APBN, yaitu berupa bantuan sosial fiktif, penggelembungan harga, dan
mengubah spesifikasi teknik dalam pengadaan barang dan jasa. KPK pun
mengusulkan perubahan sistem anggaran. KPK juga menyampaikan kajian
untuk perbaikan keuangan darah ke Kemdagri, bahkan langsung terjun ke
daerah untuk memperbaiki sistemnya. ”Kami mengusulkan transparansi
anggaran dengan memakai e-budgeting dan mendorong transparansi
pengadaan barang dan jasa,” katanya.

Belum dirasakan di daerah

Sebaliknya, Agus Sunaryanto, Koordinator Divisi Investigasi Indonesia
Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Minggu, menilai, upaya
pemberantasan korupsi belum dirasakan di daerah. Karena itu, tren
korupsi di daerah terus meningkat dan jumlah kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi juga semakin banyak.

Berdasarkan kajian ICW, tren korupsi di daerah memang terus meningkat.
Keuangan daerah juga menjadi sektor yang paling rawan dikorupsi dengan
APBD sebagai obyek korupsi.

Selain keterlibatan pejabat lokal dalam kasus korupsi di daerah, Agus
juga menemukan peningkatan keterlibatan aktor dari sektor swasta,
khususnya dengan latar belakang jabatan komisaris/ direktur perusahaan
swasta. Aktor dari swasta umumnya terkait pengadaan barang dan jasa.
”Itu artinya ada upaya masif di kalangan swasta untuk menggerogoti
anggaran daerah melalui kegiatan pengadaan,” katanya.

Selama Januari-Juli 2010, potensi kerugian negara akibat korupsi
sektor keuangan daerah mencapai Rp 596,232 miliar (38 kasus).
”Semester II-2010, trennya meningkat,” katanya.

Agus mengatakan, ICW baru merampungkan kajian di sembilan dari 33
provinsi dan menemukan tak kurang dari 90 kasus korupsi baru selama
Juli-Desember 2010. Sembilan daerah yang selesai dikaji adalah Papua,
Gorontalo, Maluku, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Riau, dan Kepulauan Riau.

”Masih ada 24 provinsi yang belum dimasukkan, tetapi sudah menunjukkan
adanya kenaikan jumlah kasus korupsi yang signifikan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

Menurut Agus, penindakan yang dilakukan KPK dengan menangkap kepala
daerah yang disangka korupsi seperti tak memberikan efek jera. ”Upaya
pemberantasan korupsi belum menyentuh ke daerah. Pemerintah gagal
membangun sistem keuangan daerah yang baik,” katanya.

Akarnya pilkada

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam
mengatakan, maraknya korupsi di daerah berakar dari kekeliruan dalam
penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada). Pilkada dijadikan
ajang transaksional. Biaya tinggi dalam pemilihan membuat calon kepala
daerah mencari sumbangan dari sektor swasta.

Arif menyebutkan, biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi
calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10
miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. ”Itu belum sumbangan
dana dari pengusaha lokal,” katanya.

Akibatnya, setelah calon terpilih, dia sibuk mengembalikan uang yang
dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang
diberikan pihak swasta yang membantunya.

Gamawan Fauzi, Minggu di Jakarta, menambahkan, banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah di berbagai tingkatan adalah konsekuensi
dari kesalahan bersama dalam pelaksanaan pilkada. Kesalahan itu
seharusnya ditanggung individu calon kepala daerah, partai politik,
dan masyarakat.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan menghentikan maraknya korupsi di
daerah, Mendagri meminta jangan membebani calon kepala daerah dengan
materi dan ada undang-undang tentang pilkada yang ketat mensyaratkan
pencalonan kepala daerah. Sikap dan orientasi partai dan masyarakat
dalam pilkada pun perlu berubah.

”Andai terpilih menjadi gubernur dan harus mengganti dana yang
dikeluarkan selama pilkada sampai terpilih, sebesar Rp 60 miliar, dari
mana uang itu harus diambil? Minimal Rp 1 miliar sebulan? Gaji
gubernur hanya Rp 8,7 juta,” ujar Gamawan yang juga mantan Gubernur
Sumatera Barat. (sie/aik/har)

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/24/04412275/aceh.sampai.papua.tersandera.korupsi

Republik Tersandera Korupsi

Oleh Eko Prasojo

Negeri ini seakan tak henti dilanda penyakit korupsi. Setelah berbagai
kasus korupsi tak kunjung reda di tingkat nasional, beberapa hari lalu
Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa 155 kepala daerah menjadi
tersangka dalam kasus korupsi dan 17 di antaranya adalah gubernur.

Tulisan ini tak akan mengupas kasus Gayus Tambunan dan kasus korupsi
yang terjadi di tingkat nasional. Selain sudah banyak yang memberi
perhatian, kasus Gayus ini sangat pelik, kompleks, dan cenderung
menjadi the untouchable. Yang lebih besar dan penting perkaranya
adalah gejala para kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebab
hal ini benar-benar dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah.

Inovator dan koruptor

Sebagai salah seorang yang memberi perhatian kepada perkembangan
otonomi daerah, sebenarnya penulis sangat miris membaca banyaknya
kepala daerah yang dijadikan tersangka kasus korupsi.

Beberapa kepala daerah adalah para inovator yang telah tercatat
namanya tidak saja oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta sejumlah
media massa sebagai penerima kusala untuk pelayanan prima dan daerah
otonom percontohan; tetapi juga oleh Bank Dunia, UNDP, dan beberapa
organisasi internasional lain.

Penulis sendiri tidak berani meyakini bahwa semua kepala daerah itu
koruptor meski tentu saja harus dibuktikan secara hukum. Bahkan, hasil
penelitian yang dilakukan penulis terhadap beberapa daerah yang
inovatif sangat meyakinkan: kemajuan daerah-daerah itu sangat
dilandasi oleh komitmen kepala daerah.

Mereka adalah para kepala daerah yang tak saja sangat memiliki
kompetensi, legitimasi besar dari masyarakat, tetapi juga kemauan
politik memberi manfaat otonomi daerah yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat. Para kepala daerah yang inovatif memang cenderung tak bisa
terpaku pada ketentuan hukum normatif yang sangat membatasi ruang
gerak bagi kemajuan daerah. Batasan inovasi dan pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan menjadi sangat kabur.

Mungkin dalam kasus ini para kepala daerah terjebak dalam
penyalahgunaan wewenang yang sering dijadikan logika dasar penegakan
hukum, baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Para kepala daerah
yang demikian sebenarnya sangat disayangkan: karena kesalahan prosedur
atau penyalahgunaan wewenang, mereka telah berganti status dari
inovator menjadi koruptor. Tentu hal ini jadi ancaman bagi kepala
daerah lain untuk menggagas berbagai inovasi pemerintahan daerah.

Pengamatan penulis di beberapa daerah juga menunjukkan bentuk paradoks
lain. Selain menghasilkan kepala daerah yang inovatif dan pro-kemajuan
daerah, otonomi daerah juga melahirkan kepala daerah yang memang
secara genetis berpotensi jadi koruptor.

Para kepala daerah ini biasanya sangat suka dengan kekuasaan dan
cenderung menyalahgunakan wewenang atau mungkin juga berbuat sewenang-
wenang. Bukan saja tak inovatif, kepala daerah yang haus kekuasaan ini
memang tak punya komitmen untuk kemajuan daerah yang ia pimpin. Hal
ini disebabkan modal menjadi kepala daerah sangat besar sehingga harus
dikembalikan melalui berbagai cara dalam pemerintahan. Mereka memang
pantas disebut sebagai koruptor.

Lima faktor utama

Pemilihan langsung kepala daerah bukan satu-satunya penyebab banyaknya
kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi. Seperti disampaikan
berulang kali oleh Mendagri dan juga Dirjen Otonomi Daerah, mahalnya
biaya pilkada menjadi penyebab utama mengapa para kepala daerah
melakukan korupsi.

Sangat tak masuk akal jika seorang calon kepala daerah menghabiskan
puluhan miliar rupiah berkompetisi dalam pilkada untuk mengejar gaji
plus segala macam tunjangan yang maksimal dapat diperoleh hingga Rp
100 juta per bulan.

Ada paling tidak lima penyebab banyaknya kepala daerah yang jadi
tersangka korupsi, selain mahalnya biaya pilkada. Pertama, penggunaan
diskresi oleh kepala daerah yang tak terkontrol. Sebagaimana diketahui
bahwa setiap pejabat—baik yang dipilih maupun diangkat—memiliki
kewenangan diskresioner. Mayoritas korupsi di Indonesia yang terjadi
dalam arena birokrasi disebabkan oleh penggunaan kewenangan
diskresioner yang tak berbatas dan tak terkontrol.

Diskresi membutuhkan rambu-rambu, antara lain asas-asas umum
pemerintahan yang baik, dan sesuai dengan tujuan pemberian diskresi
itu sendiri. Desentralisasi yang memberikan kewenangan dan legitimasi
besar kepada kepala daerah tak disertai dengan kesadaran mengambil
keputusan dan tindakan yang benar dan baik.

Kedua, oligarki dan dinasti kekuasaan. Seperti disampaikan oleh Manor
dan Crook (2000), pemilihan langsung kepala daerah yang tak disertai
dengan penguatan kontrol masyarakat dalam pemerintahan daerah
cenderung menyebabkan oligarki kekuasaan. Oligarki ini membentuk blok
korupsi yang sangat sulit diatasi. DPRD tidak berperan, kontrol
masyarakat absen, dan kongkalikong kejahatan sistemis antara penegak
hukum, politisi, dan birokrasi.

Tidak mengherankan banyak hal lucu yang terjadi di daerah. Mulai dari
dinasti kekuasaan keluarga, mantan kepala daerah menjadi calon wakil
kepala daerah, dua istri kepala daerah menjadi calon kepala daerah,
sampai dengan istri berkompetisi dengan suami dalam pilkada. Rasanya
sulit menilai dengan logika normal semua keserakahan kekuasaan dan
ketidaketisan ini.

Ketiga, inkompatibilitas sistem. Persoalan dalam kasus tersangka
korupsi sejumlah kepala daerah sebenarnya adalah fenomena gunung es.
Pemerintahan daerah tidaklah berada dalam ruang hampa, tetapi fungsi
bekerjanya berbagai macam sistem yang ada: sistem politik, sistem
hukum, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem budaya.

Sistem politik yang tidak berbasis ideologi dan sistem merit kader
ternyata telah melahirkan calon-calon kepala daerah yang oportunis,
tidak memiliki visi kenegarawanan, dan tidak berbasis pengetahuan
pemerintahan. Sistem hukum yang lemah ternyata telah menyebabkan
proses penegakan hukum sebagai cara dan alat produksi sumber
penerimaan.

Sistem sosial yang rapuh telah pula menyebabkan sikap permisif
masyarakat atas pelanggaran korupsi dan segala bentuk ketidaketisan
yang terjadi di daerah. Adapun sistem ekonomi yang sangat berpihak
kepada pemilik modal telah menghasilkan rentenir politik dan
pemerintahan yang rela menjual tanah dan air Ibu Pertiwi untuk
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Berbagai inkompatibilitas
sistem ini ternyata menyuburkan perilaku koruptif di daerah.

Keempat, lemahnya pengawasan pusat. Otonomi daerah seluas-luasnya,
sebagaimana menjadi semangat konstitusi dan UU Nomor 22 Tahun 1999
yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, ternyata ikut menghancurkan tatanan sistem pemerintahan.

Pada satu sisi kepala daerah jadi sangat berkuasa, sedangkan
pemerintah pusat tak memiliki cukup kemampuan mengawasi dan membina
kewenangan yang diserahkan. Akibatnya adalah penggunaan kewenangan
yang tak sesuai dengan tujuan pembangunan, baik karena ketidakmampuan
maupun karena penyalahgunaan wewenang.

Kelima, lemahnya pengawasan masyarakat madani. Otonomi daerah belum
mampu menguatkan peran masyarakat dalam pemerintahan. Yang terjadi
saat ini adalah penyempitan makna otonomi daerah hanya semata-mata
menjadi milik elite daerah. Bahkan, baik aktor maupun lembaga-lembaga
pengawasan masyarakat menjadi mandul.

Sistem komprehensif

Berbagai faktor itu telah mengakibatkan republik ini tersandera oleh
korupsi. Mengatasinya tidak cukup berpikir linier pada mahalnya biaya
pilkada. Dibutuhkan satu pendekatan berpikir sistem yang komprehensif.

Penyalahgunaan diskresi oleh kepala daerah sejatinya sedang diatasi
melalui pengaturan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Sedangkan
oligarki kekuasaan hanya mungkin dihilangkan jika terjadi penguatan
kontrol masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui
jaminan akses hukum dan penguatan jaringan lembaga masyarakat.

Perlu pula dipikirkan penguatan hukum administrasi negara agar tidak
semua pelanggaran prosedural administratif oleh kepala daerah serta-
merta dimasukkan ke dalam rezim hukum pidana. Semoga.

Eko Prasojo Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia


http://cetak.kompas.com/read/2011/01/24/03182551/republik.tersandera.korupsi

Kebohongan atau Strategi Politik Representasi?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) benarbenar merasa gerah ketika
dia dituding melakukan kebohongan.

Terlebih lagi,pihak yang menggulirkan hal itu adalah kalangan pemuka
agama. SBY pun menggelar pertemuan untuk meredakan persoalan krusial
itu. Dalam pertemuan tersebut,SBY menyatakan bahwa dia tidak
antikritik.Hanya, kata SBY, kritik yang diarahkan kepada dirinya dan
pemerintah haruslah bertanggung jawab (SINDO, 18/1).Apakah ini berarti
tudingan kebohongan (sebagai kritik) yang ditujukan kepada SBY tidak
dapat dipertanggungjawabkan? Para pengkritik SBY yang menggulirkan
tuduhan kebohongan itu menggunakan fakta dan data statistik.
Sebaliknya, SBY juga menyampaikan teknik serupa untuk menunjukkan
keberhasilan pemerintahannya.

Dalam domain semacam ini, tepatkah SBY dituding telah melakukan
kebohongan? Ataukah tuduhan kebohongan itu tidak lain merupakan cara
untuk mengemas kecaman yang demikian keras? Lantas, apakah definisi
kebohongan? Apakah kebohongan sama dengan tidak menyampaikan fakta
yang sebenarnya? Apakah semua kebenaran (truth) yang tidak dikemukakan
adalah sama halnya dengan kebohongan? Kebohongan (lying), ungkap
filosof Sissela Bok, adalah “pesan tipuan apa pun yang dinyatakan
secara sengaja”. Kebohongan sebagai tindakan etis harus dibedakan dari
penyesatan yang dilakukan seseorang karena ketidaktahuan tentang fakta
yang benar atau menolak memberikan keterangan yang benar.

Kebohongan hanya boleh dilakukan sejauh memberikan keselamatan untuk
orang yang tidak berdosa. Dalam situasi peperangan, misalnya,
seseorang diperkenankan melakukan kebohongan yang sangat disengaja
karena bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang tidak bersalah.Namun,
jika seorang pemimpin atau pemerintah menyampaikan fakta maupun data
yang tidak sebenarnya, memang,pantas disebut telah berbohong. Apalagi,
tujuan dari tindakan itu adalah meraih popularitas dan menutup-nutupi
kegagalan.

Siasat Penghadiran

Hanya, dalam menyampaikan kebohongan itu pemerintah menjalankan
strategi politik representasi (politics of representation).Konsep ini
biasanya dipakai dalam kajian budaya untuk menyoroti bagaimana media
massa menghadirkan realitas.Apa yang disebut sebagai representasi,
merujuk pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary( 2010),berarti
tindakan menghadirkan seseorang atau sesuatu dalam suatu cara
tertentu. Representasi dapat juga dimaknai sebagai sesuatu yang
menampilkan atau mendeskripsikan sesuatu yang lain.Politik
representasi memang tidak secara total melakukan kebohongan, melainkan
sebagai siasat penghadiran realitas sosial.

Hasil dari politik representasi yang sangat berlawanan dengan
kenyataan sosial itulah yang layak disebut sebagai kebohongan. Data
statistik yang biasa digunakan pihak pemerintah untuk membuktikan
keberhasilan program- program ekonomi dan politik sangat mungkin
digunakan untuk berbohong.Angka-angka yang ditampilkan dalam statistik
bukanlah cerminan yang sempurna dari realitas.Angka-angka sekadar
tanda yang paling gampang disepakati karena memiliki pemaknaan yang
cenderung tunggal.Angka-angka statistik, dengan demikian, sekadar
menampilkan kembali realitas yang selalu berubah (dinamis) dalam
kehidupan masyarakat.

Angka-angka statistik tidak lebih merupakan pembekuan atau penetapan
terhadap kenyataan yang bergerak liar tanpa henti. Kerentanan angka-
angka statistik sebagai bukti keberhasilan bisa terjadi ketika
pemerintah dan para pengkritiknya menetapkan definisi kemiskinan dan
pengangguran secara berlainan. Pemerintah, misalnya, mendefinisikan
kemiskinan sebagai konsumsi setiap penduduk dalam satu hari sebanyak
dua dolar.Pada pengangguran, pemerintah mendefinisikannya sebagai
penduduk berusia kerja yang memiliki pekerjaan saat survei
dilakukan.Tidak peduli apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau
sementara. Jika itu yang terjadi, maka angka kemiskinan dan
pengangguran yang diklaim pemerintah pastilah rendah.

Itulah contoh politik representasi melalui angka-angka statistik.Hal
ini lebih tepat disebut sebagai manipulasi sebagai ungkapan halus dari
kebohongan. Pertanyaannya adalah mengapa representasi cenderung
manipulatif? Jawaban yang memuaskan disampaikan oleh David Croteau dan
William Hoynes (2000) ketika mengamati kebiasaan media massa dalam
menyampaikan realitas. Pada kasus tuduhan kebohongan yang ditujukan
kepada SBY,gagasan dari kedua sosiolog media itu dapat dirujuk
kembali.

Pada dasarnya, representasi merupakan hasil seleksi dari kenyataan
sosial yang sangat beragam.Konsekuensinya adalah terdapat berbagai
aspek realitas yang sengaja ditonjolkan, tapi pada saat yang sama ada
pula aspek-aspek kenyataan sosial yang sengaja diabaikan.Fakta yang
ditonjolkan pasti memberikan keuntungan bagi rezim SBY. Sementara itu,
fakta yang diabaikan atau disembunyikan tentu saja adalah yang
merugikan pemerintahannya. Itulah sifat dasar politik representasi
yang menunjukkan strategi kekuasaan dalam menyodorkan realitas sosial.

Pembacaan Tandingan

Terdapat tiga pendekatan dalam representasi, urai Stuart Hall (1997),
yakni: Pertama, reflektif, yang berarti makna dipahami terdapat dalam
objek, persona, ide, atau kejadian yang berlangsung pada dunia yang
riil. Bahasa berfungsi sebagaimana layaknya cermin yang merefleksikan
arti yang sebenarnya. Kedua, intensional, yang menunjukkan makna unik
tertentu yang disampaikan oleh seorang pembicara kepada khalayak. Kata-
kata merupakan maksud dari yang dikehendaki sang pembicara
itu.Ketiga,konstruksionis, yang menunjukkan tidak ada satu pun
pengguna bahasa yang mampu menetapkan makna tertentu dalam bahasa.

Para pemakai bahasa membentuk makna dalam sistem representasional yang
berupa konsep-konsep dan tandatanda. SBY dan pemerintahannya
menggunakan representasi dalam pengertian yang pertama dan kedua.
Gejala itu dapat dilacak ketika dalam berbagai kesempatan SBY
memaparkan data serta fakta tentang keberhasilan rezimnya. Data serta
fakta tersebut diklaim SBY bisa mencerminkan kenyataan sosial yang
sesungguhnya.Di sisi lain, para pengkritik SBY justru menerapkan
pengertian representasi ketiga. SBY sekadar dianggap membentuk,
mengonstruksikan, dan bahkan menciptakan kembali realitas yang sama
sekali tidak mencerminkan kenyataan sosial yang hakiki.

Representasi dari para pengkritik SBY adalah sebentuk pembacaan
tandingan yang melakukan subversi (perlawanan) terhadap klaim-klaim
keberhasilan pemerintahannya. Dalam domain ini, politik representasi
SBY menghadapi representasi oposisional para pengkritiknya. Akibat
dari siasat pembacaan tandingan itu adalah SBY dituding melakukan
kebohongan. Diksi (pilihan kata) kebohongan itulah yang menjadikan SBY
merasa kegerahan luar biasa.Kinerja yang dilakukan rezimnya seakan-
akan tidak dihargai. Pada situasi semacam ini, ada baiknya kita
merenungkan pemikiran Jean Baudrillard (1929–2007) yang menyodorkan
gagasan tentang fase-fase suksesif citraan (image).Pada fase pertama,
citraan adalah cerminan dari realitas dasar.

Fase kedua, citraan menopengi dan menyimpangkan realitas dasar.Fase
ketiga, citraan menopengi absen atau ketidakhadiran realitas
dasar.Fase keempat, citraan tidak memiliki kaitan dengan kenyataan apa
pun, yang disebut sebagai simulakra. Gejala itu terjadi ketika citraan
dibuat untuk menipu dan membohongi pihak lain. SBY boleh saja
bersikeras bahwa data dan fakta yang disampaikannya berada pada fase
pertama citraan.Namun, secara berlawanan, para pengkritiknya
beranggapan bahwa SBY dan rezimnya telah melakukan citraan pada fase
keempat, yakni sekadar menggelar simulakra yang demikian menipu dan
membohongi publik.Peristiwa ini membuktikan politik representasi yang
dijalankan SBY telah gagal.

Pernyataan, data statistik,dan fakta yang ditunjukkan SBY justru
menghantam kekuasaannya sendiri. Politik representasi memang rawan
dijalankan. Maksud awal dari politik representasi adalah
mempertontonkan keberhasilan. Tapi,kalau politik representasi terlalu
banyak mengklaim kesuksesan suatu rezim justru bisa dituding sebagai
kebohongan.(*)

Triyono Lukmantoro
Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Undip Semarang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377730/

Rumah Dinas DPR

Kalau Anda bolak-balik kliping koran-koran,sudah amat banyak cerita
tentang rumah dinas DPR, terutama yang di Kalibata.


Ceritanya bisa menyangkut suka dan duka yang tinggal di kompleks itu,
tapi yang lebih banyak adalah cerita yang menyangkut biaya atau
anggarannya. Misalnya soal pengadaan barang-barang inventaris, dana
pemeliharaan,dan kini tampaknya menyangkut biaya renovasinya yang
membengkak. Apalagi sepanjang renovasi itu, setiap anggota DPR diberi
bantuan sebesar Rp15 juta per bulan. Di masa saya menjadi anggota DPR,
1999-2004, saya pernah menempati rumah dinas itu selama empat
tahun.Saya harus akui bahwa banyak di antara rumah-rumah dinas itu
yang tidak ditempati penghuninya. Bisa jadi ditempati keluarga,
kerabat, teman, atau malah orang lain.Tapi,sudah tidak ada lagi yang
dikontrakkan. Kami pernah juga menghitung-hitung, sekitar 30% dari
rumah-rumah dinas itu tidak dimanfaatkan anggota DPR.

Pilihan tinggal di rumah dinas DPR disebabkan beberapa hal. Pertama,
letaknya di tengah kota, memudahkan untuk menjangkau Gedung DPR di
Senayan. Kedua, kualitas bangunannya jauh lebih bagus dari rumah
saya.Ketiga, fasilitasnya lebih lengkap.Kamar-kamarnya dilengkapi AC
dan mebelmebelnya baru.Yang dibeli sendiri cuma mesin cuci, bukan
karena diributkan oleh media masa di kala itu.Keamanan tinggal di
kompleks itu terjamin karena dijaga 24 jam. Tetapi, biaya pemeliharaan
rumah- rumah dinas itu memang tidak murah.

Pada saat itu saja tidak kurang dari Rp50 juta per rumah per
tahun.Artinya,untuk merawat 500 rumah dinas itu dibutuhkan dana Rp25
miliar per tahun. Kini jumlahnya bertambah menjadi 550 unit, dan yang
50 unit lagi dibangun di Srengseng.Pembangunan di Srengseng ini juga
pernah bermasalah. Biaya pemeliharaan kedua kompleks itu tentu jauh
lebih mahal lagi. Ketika itu pun telah muncul perdebatan, apakah perlu
mempertahankan rumah-rumah dinas itu? Sampai-sampai ada niat untuk
menjualnya.Kepada siapa? Yang mampu jelas anggota DPR sendiri karena
kemakmurannya sudah membaik.Tetapi, semua pasti sepakat itu akan
menimbulkan masalah di kemudian hari.

Tidak Perlu

Setelah saya menjadi anggota BPK, saya makin yakin pada pendapat tidak
perlunya memelihara rumah dinas untuk pejabat. Kebetulan saya juga
tidak menempati rumah dinas saya sebagai anggota BPK di Kemayoran. Ada
empat alasannya. Pertama, menempati rumah dinas itu amat merepotkan.
Ketika “hanya”menempati empat tahun rumah dinas anggota DPR, yang
menyulitkan justru tatkala pindah rumah. Lagi pula, bukankah kita
lebih bahagia menempati rumah sendiri? Kedua, bukankah para pejabat
publik, termasuk pejabat-pejabat di berbagai instansi dan perusahaan,
telah memiliki kemampuan untuk memiliki rumah sendiri.Apalagi untuk
kelas pejabat negara. Pada dasarnya mereka sudah kaya.

Buktinya, seperti yang pernah ditelusuri sebuah koran nasional,
sekitar 65% anggota DPR itu memiliki rumah di Jabodetabek. Ketiga,
kalau hasrat untuk membangun rumah dari setiap instansi dipenuhi,
Jakarta dan sekitarnya akan dipenuhi rumahrumah dinas dari berbagai
lembaga, instansi, atau institusi, apakah itu lembaga negara, lembaga
p e m e r i n t a h , perusahaan,dan berbagai pemilik modal lainnya.
Keempat, dengan membangun rumah dinas, berbagai masalah di sekitar
perumahan dan penghuniannya itu kelak tidak ada selesaiselesainya.
Buktinya, renovasi rumah dinas DPR yang menelan biaya Rp445 miliar
sekarang ini kembali diperdebatkan.

Apalagi DPR kian rumit cara berpikirnya. Ketua Badan Urusan Rumah
Tangga (BURT) dirangkap oleh Ketua DPR. Padahal pembangunan setiap
sarana dan prasarana yang dimiliki DPR mestilah s e p e n g e t a h u
a n BURT.Tidak mungkin pihak Sekretariat Jenderal DPR bekerja
sendiri.Pembengkakan anggaran justru acapkali terjadi karena campur
tangan para anggota BURT yang tak lain dari anggota DPR sendiri.
Bagaimana mungkin pimpinan DPR (Ketua atau Wakil Ketua DPR) menegur
BURT dan Sekjen DPR jika yang bersangkutan juga ikut di dalamnya?
Bahkan menjadi Ketua BURT.

Kekacauan Audit

Yang lebih aneh lagi penunjukan lembaga yang melakukan audit
(pemeriksaan) pengelolaan keuangan negara dalam renovasi rumah dinas
DPR itu.Yang diminta Ketua DPR adalah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Padahal Pasal 23 E ayat (1) UUD1945 menegaskan
“untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri”. Pesan
UUD 1945 inilah yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai undang-
undang yang setelah dibahas bersama pemerintah ditetapkan oleh
DPR.Tentang pemeriksaan keuangan negara diatur melalui Undang-Undang
(UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.

Undang-undang itu mengatur bahwa yang memeriksa keuangan
negara,termasuk yang dikelola dan dipertanggungjawabkan DPR,adalah
Badan Pemeriksa Keuangan. BPK merupakan lembaga negara, lembaga yang
kewenangannya diatur tersendiri di UUD 1945.Sementara BPKP merupakan
lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang diatur melalui peraturan
presiden. Oleh pemerintah, BPKP disebut sebagai pengawas internal.
Melalui kata ‘internal’ menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan
BPKP adalah di lingkungan pemerintahan yakni badan, institusi, atau
instansi yang berada di bawah presiden (eksekutif).

Karena itu, terasa aneh jika DPR meminta BPKP untuk memeriksa
(mengaudit) pengelolaan keuangan negara di lingkungan DPR, khususnya
yang menyangkut renovasi rumah dinas DPR.Langkah ini tentu akan
mengacaukan sistem penyelenggaraan negara yang ingin kita bangun.
Sesungguhnya Ketua DPR yang merangkap Ketua BURT DPR dapat meminta
pengawas internal di lingkungan DPR untuk melakukan pengawasan,
termasuk audit renovasi rumah dinas ini. Jika tidak, DPR bisa meminta
BPK, sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang saya kutip di
atas.

Pemeriksaan itu bisa menyangkut laporan keuangan, kinerja, maupun
pemeriksaan untuk tujuan tertentu (investigasi dan lainnya). Jika
Pengawas Internal DPRatauBPKdianggapkurang memiliki kemampuan atau
kurang dipercaya, tugas kitalah membenahinya agar memiliki kemampuan
dan bisa dipercaya. Apalagi anggota BPK dipilih oleh DPR (dengan
pertimbangan DPD). Renovasi rumah berjalan,audit BPKP juga
berjalan.Tapi,persoalan ternyata belum selesai.Terhitung sejak Januari
2011 para anggota DPR diminta untuk menempati rumah dinas (jabatannya)
masingmasing, dan sejalan dengan itu dana bantuan sewa rumah sebesar
Rp15 juta sebulan dihentikan.Tapi, teman-teman dari Fraksi PAN
mempertimbangkan untuk menolak menempati rumah jabatan itu sebelum ada
kepastian hasil audit BPK.

Tak heran bila Sekjen DPR mengatakan bahwa sudah ada audit dari BPKP.
Yang aneh nanti, kalau salah satu mengatakan tidak ada penyimpangan,
sedang yang lainnya mengatakan terjadi penyimpangan. Jika demikian
halnya, lantas mana yang menjadi pegangan? Tapi, memang begitulah
biasanya DPR, selalu ada persoalan. Jika sudah tidak ada lagi
persoalan,apa salahnya dicari.(*)

Baharuddin Aritonang
Mantan Anggota BPK (2004-2009) dan Anggota DPR/ MPR (1999-2004)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377726/

Agung Klaim Kemiskinan Turun

LAMPUNG (SINDO) – Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
mengklaim tingkat kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia dalam
lima tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan.


Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan,
tingkat kemiskinan ma-syarakat Indonesia pada 2010 menjadi 13,33%
turun dibandingkan dengan 2004 lalu yang mencapai 16,7%. Selain
tingkat kemiskinan, angka pengangguran juga mengalami hal yang sama.
Di mana tingkat pengangguran terbuka pada 2004 mencapai 9,9%.
Sedangkan pada akhir 2010 lalu angka pengangguran menurun menjadi
7,41%. “Diperlukan upaya keras untuk menurunkan tingkat kemiskinan
rata-rata minimal 1% per tahun,” ujar Menkokesra Agung Laksono saat
pemberian bantuan langsung kepada masyarakat Way Kanan, Lampung,Sabtu
(23/1).

Menurut Agung, berdasarkan Global Outlook2009yang dibuat oleh Bank
Dunia,upaya penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dinilai lebih
baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena itu, pemerintah
menargetkan pada 2014 tingkat kemiskinan mengalami penurunan hingga
mencapai 8–10% dibandingkan dengan saat ini. Adapun upaya yang
dilakukan pemerintah adalah melaksanakan program-program
penanggulangan kemiskinan dalam tiga kelompok program, seperti program
bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, program penanggulangan
kemiskinan berbasis masyarakat, dan program penanggulangan yang
berbasis pada pemberdayaan usaha mikro dan kecil.

Hal ini diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Mantan Ketua DPR ini
mengatakan, dalam program bantuan sosial berbasis keluarga pada 2011,
pemerintah mengembangkan program keluarga harapan untuk 1,3 juta rumah
tangga sangat miskin. Di luar program ini, pemerintah mengembangkan
program sistem jaminan sosial nasional. Di mana masyarakat mendapat
perlindungan berupa jaminan kesehatan untuk 76,4 juta penduduk,
jaminan hari tua, kematian, keselamatan kerja,dan jaminan pensiun.
”Program tersebut untuk mempertajam sasaran kegiatan demi mempercepat
penanggulangan dan menurunkan tingkat kemiskinan sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan rakyat,”paparnya.

Sedangkan program yang berbasis pada masyarakat, pemerintah
menerapkannya dalam bentuk pemberian bantuan langsung masyarakat (BLM)
berupa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung misalnya,
pemerintah pada 2011 ini mengucurkan memberikan BLM sebesar Rp437,225
miliar yang tersebar melalui PNPM Mandiri. Wakil Gubernur Lampung Joko
Umar Said menyambut baik program pemerintah dalam upaya menurunkan
tingkat kemiskinan.

Diakuinya, selain pemberian bantuan dari pemerintah,masyarakat di
empat kabupaten di Kabupaten Way Kanan, Lampung Timur dan Utara, dan
Kabupaten Pesawaran mendapatkan bantuan berupa empat unit ambulans
dari PT Askes. (sucipto)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377741/

Belum Bisa Saya Beberkan Strategi Berantas Mafia Pajak

WAWANCARA
FUAD RACHMANY


RMOL. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru, Fuad Rachmany, belum
mau membeberkan strateginya untuk memberantas mafia pajak, sehingga
kasus Gayus Tambunan tidak terulang lagi.

Bekas Kepala Badan Penga­wasan Pasar Modal (Bapepam) itu hanya
berujar merasa tertan­tang untuk memberantas mafia pajak di
institusinya.

“ Soal strateginya seperti apa, ya ntarlah, belum bisa saya beber­kan.
Saya masuk dulu-lah. Ini kan masalah organisasi, nanti saya pelajari
dulu orang-orang­nya, lihat dulu semua organisasinya. Saya kan orang
birokrasi juga. Jadi saya tahu bagaimana meng-handle yang seperti
itu,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kapan disampaikan infor­masi menjadi Dirjen Pajak?
Saya diberitahu saja sebelum­nya. Tapi kalau ditanya soal itu, saya
bilang tidak tahu. Selama belum dilantik, saya selalu meng­anggap, ya
belum bisa komentar. Jadi, nggak enaklah ngomong, gitu saja, ha-ha-ha.

Apa Anda nggak grogi mene­rima jabatan ini karena selalu mendapat
sorotan publik?
Saya sebagai birokrat yang su­dah senior di Kementerian Ke­uang­an,
saya anggap ini sebagai tu­gas saja. Buat saya ini meru­pakan
tantangan bagi saya. Ka­rena tugas ini saya anggap seba­gai amanah dan
juga suatu tan­tangan, maka saya ha­rus beri­kan yang terbaik un­tuk
menjadi­kan Direk­torat Jen­deral Pajak lebih baik. Tapi yang ada seka­
rang juga sudah bagus.

Anda menempati po­sisi stra­tegis sebagai Kepala Bapepam, kenapa me­ne­
rima jaba­tan Dir­jen Pajak?
Itu karena me­mang penugasan, yang namanya jabatan ya tidak ada tawar
menawar. Kalau Pre­siden sudah instruksi­kan, ya kita kerjakan, kita
lak­sanakan.

Kasus Gayus bikin citra pa­jak jadi hancur?
Masyarakat itu kadang-kadang keliru menilai, seolah-olah kalau ada
kasus Gayus, lalu dianggap di Direktorat Jendral Pajak ba­nyak Gayus.
Tapi saya berani jamin deh sebenarnya yang kayak Gayus itu tidak
banyak. Masih banyak orang pajak yang jujur. Masih banyak dan itu
keyakinan saya bahwa sebagian besar me­reka nggak berbuat seperti
Gayus. Jadi nggak semuanya itu berada di tempat yang bisa mem­buat
uang gitu loh. Kan banyak yang kerja di Informasi Tekno­logi (IT), di
bagian lainnya. Jadi tidak semua punya kesempatan.

Kalau pun punya kesempatan ada juga yang jujur. Jadi itu tidak banyak
seperti Gayus. Maksud saya dalam bentuk persentasenya kecil. Makanya
saya mengajak orang-orang di Direktorat Pajak, ya mari sama-sama kita
awasi yang kayak Gayus. Jangan sam­pai muncul lagi.

Upaya apa yang Anda laku­kan untuk memulihkan citra Ditjen Pajak?
Nanti dong kalau saya sudah masuk. Saya ini kan belum tahu petanya di
dalam.

Tapi punya kiat-kiat untuk menghentikan mafia pajak?
Saya mendingan masuk dulu-lah. Ini kan masalah organisasi, nanti saya
pelajari dulu orang-orang­nya, lihat dulu semua organisasinya. Saya
tidak bisa kasi komentar, wong ke sana saja belum. Pindah kantor saja
mulai Senin kok, belum ketemu pega­wainya.

Apakah Anda melakukan ro­tasi di tempat Gayus ?
Nggak gitu persisnya. Saya ini kan sudah lama di birokasi, jadi
pendekatan yang saya lakukan agak beda. Jadi gini deh, belum waktunya
juga saya beri komen­tar soal ini. Saya ini kan orang kerja, jadi saya
tuh tidak mau berkoar-koar dan menceritakan apa yang sudah saya
lakukan. Yang penting hasilnya sudah jadi tanpa saya harus bicarakan.

Apa ada instruksi khusus ke­pada Anda terkait pemberan­tasan mafia
pajak?
Instruksi itu kan Keppres. Jadi saya harus menerima dong. Itu kan
tugas. Jadi saya harus mene­rima karena merupakan tugas. Kalau ada
tugas, ya kita harus laksanakan. Gitu saja. Tidak ada istilah saya
menerima apa tidak menerima. Kalau jabatan politik masih bisa terima
atau tidak terima, jadi menteri masih bisa kita tolak, tapi di pegawai
negeri ya harus dilaksanakan. Di Ba­pepam itu kan saya eselon I,
Dirjen Pajak juga eselon I. Jadi sama saja kan. Saya bermutasi saja.
Saya memang sudah lama di Bapepam, hampir lima tahun.

Untuk stop kasus Gayus teru­lang, apakah ada kajian-kajian intensif
terhadap peraturan-pe­raturan pajak?
Oh ya. Saya akan kaji aturan-aturan perpajakan, saya akan lihat aturan
perpajakan mana yang perlu direvisi. Saya juga akan banyak mendengar
dari ka­la­ngan-kalangan pengusaha untuk mendapatkan masukan tentang
peraturan-peraturan perpajakan. Dan juga saya akan mendengar keluhan-
keluhan masyarakat, itu juga akan saya dengarkan. Dari situ kita bisa
dapat masukan untuk perbaikan.

Ada target khusus waktu de­kat ini?
Nanti dulu, saya kan belum masuk.

Bagaimana strategi Anda mengatasi mafia perpajakan?
Makanya belum bisa saya omongin dulu. Yang pasti saya akan coba
mengembangkan suatu analisis atau metode tentang potensi perpajakan.
Itu akan kita coba dalami. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=16007

Kami Terus Lakukan Pengawasan Agar Situs Porno Tak Bisa Diakses

WAWANCARA
Tifatul Sembiring:


TIFATUL SEMBIRING


RMOL. Setelah Research In Motion (RIM) BlackBerry memenuhi komitmennya
untuk memblokir seluruh jaringan situs porno, Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring berupaya agar dibangun
server di sini.

“RIM mengakui Indonesia seba­gai pangsa pasar terbesarnya di Asia.
Mereka bilang akan mem­­pertimbangkan pembangu­nannya di Indonesia.
Nah, kalau relay server ini jadi dibangun di sini, tarif BlackBerry
bisa turun. Jadi, menguntungkan rakyat kan,’’ ujar Tifatul Sembiring
ke­pada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Dikatakan, RIM BlackBerry telah memenuhi komitmennya untuk memblokir
seluruh ja­ringan situs porno yang masuk ke Indo­nesia. Pusat
informasi data­base BlackBerry yang ber­kantor di Ka­nada ini
memastikan 100 persen patuh pada ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11/2008 Ten­tang Infor­masi dan Transaksi Elektronik
(ITE).

“Oh iya dong. Itu kan perintah Undang-Undang. Undang Un­dang ITE
mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi Indonesia itu tidak
boleh men­distribusikan contain pornografi. Itu larangan ya,’’
ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah mem­beri batas waktu hingga 21 Ja­nuari kepada
RIM agar menutup akses pornografi dalam komuni­kasi perangkat
BlackBerry. Pe­me­rintah akan memberlakukan proses hukum kepada RIM
apa­bila tenggat waktu tersebut di­abai­kan. “Proses hukum bisa
berujung di pencabutan. Dua minggu itu sampai tanggal 21 Januari
2011,” ujar Tifatul.

Selain meminta penutupan ak­ses pornografi, menurut Tifatul,
pemerintah juga meminta RIM agar membuka server di Indone­sia,
sehingga aparat hukum di Indonesia bisa melacak kebera­daan pelaku
kejahatan, khusus­nya pelaku tindak pidana korupsi. RIM, lanjut dia,
tidak berhak men­dapatkan keistimewaan ka­rena semua operator teleko­
munikasi di Indonesia harus mematuhi dan menghormati hukum yang
berlaku di Indone­sia. “Tidak ada toleransi. Masa sama dalam negeri
kita tegas, masa sama asing tidak boleh,” katanya.

Sayangnya, ketika dimintai tanggapannya soal sanksi yang akan
diberikan jika RIM me­langgar komitmennya, Tiffatul tidak menjelaskan
secara ekspli­sit. Yang jelas, Menteri PKS ini bersama jajarannya akan
menga­wasi agar situs porno jangan sam­pai masuk dalam jaringan Black­
Berry. “Ya kita awasi sajalah,” ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Semua ketentuan yang di­minta kepada RIM BlackBerry apakah semuanya
sudah terpe­nuhi?
Kalau blokir itu sudah dilaku­kan oleh mereka. Sekarang situs-situs
pornografi sudah tidak bisa lagi diakses melalui BlackBerry. Artinya
sesuai dengan komitmen mereka. Kan pemerintah mem­beri­kan batas waktu
sampai 21 Januari mereka sudah melakukan pemblokiran terhadap situs-
situs porno.

Ke depannya bagaimana me­kanisme pengawasannya, apa perlu membangun
server di In­do­nesia?
Itu urusannya mereka. Yang penting BlackBerry tidak bisa muncul
pornografi itu. Soal teknisnya bagaimana, itu urusan pihak RIM. Yang
penting kalau beroperasi di Indonesia tidak bisa mendistribusikan
contain porno­grafi. Jadi, kami terus lakukan pengawasan agar situs
porno tidak bisa diakeses di BlackBerry.

Jadi 100 persen RIM mene­rima permintaan Kemenko­minfo?
Oh ya dong. Karena itu kan perintah Undang-Undang No­mor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) mengatakan bahwa
penye­lenggaraan telekomunikasi Indo­nesia itu tidak boleh mendistri­
busukan contain pornografi. Itu larangannya. Jadi harus dipatuhi tanpa
terkecuali.

Kerja sama dengan RIM itu apakah hanya sebatas pemblo­kiran situs
pornografi?
Komitmen dia yang lain itu bisa saja. Tapi yang kita kasih batas
per-21 Januari itu kan pornografi. Komitmen mereka yang lain terkait
dengan pemba­ngunan server di Indonesia. Ini tentu untuk kepentingan
sean­dai­nya aparat hukum melaku­kan penyelidikan terhadap suatu
kasus. Itu Bisa dilakukan. Nah sekarang kan Black­Berry tidak bisa.

Pembangunan ser­ver itu bagaimana?
RIM akan membuka node re­gional network aggregator di Asean. RIM
mengakui Indonesia seba­gai pangsa pasar ter­besarnya di Asia. Mereka
bilang akan mem­pertimbangkan pemba­ngu­nannya di Indonesia. Nah,
kalau repeater atau relay server ini jadi dibangun di Indonesia, tarif
BlackBerry bisa turun, tenaga kerja lokal bisa terserap, dan kita juga
lebih mudah untuk melaku­kan lawful interception.

Pengawasan seperti apa yang kelak dilakukan Kemenko­min­fo untuk
memastikan bahwa akses Black Berry sama sekali tak ada pornografi?
Ya kita awasi nanti. Kita awasi dengan sebaik-baiknya.

Apa akan ada tindakan serius jika RIM melanggar komit­men­nya?
Kita awasi saja dulu. Nanti kalau nggak komitmen, ya kita larang saja.

UKP4 belum lama ini menye­rahkan hasil evaluasi menteri ke Presiden,
apa sudah tahu apa hasil penilaiannya terhadap Kemenkominfo?
Tidak tahu saya. Satu-satu dulu ya. Evaluasi nanti dulu.

Tapi yang jelas Kemenko­minfo raportnya tidak merah kan?
Kita bicara masalah RIM dulu, evaluasi nanti ya. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=16001

10 Negara yang Penduduknya Paling Bahagia

Besar Kecil Normal
foto

Norwegia. Foto: corbisimages.com

TEMPO Interaktif, Coba pikirkan sejenak: Apa yang membuat Anda
bahagia? buat sebagian orang bahagia dimulai dari memiliki uang untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rumah yang nyaman, makanan,
baju, mobil, jalan-jalan.

Tapi sejatinya, bahagia lebih dari sekadar uang. Bahagia juga berarti
sehat, bisa mengurus diri sendiri dan punya waktu untuk teman juga
keluarga. Lebih jauh lagi, bahagia artinya Anda bisa menyuarakan apa
yang ada di pikiran tanpa rasa takut, bahagia juga merasa aman dan
tentram di rumah sendiri.

Bahagia juga bisa berarti mendapat berbagai kesempatan, apakah itu
pendidikan, atau kesempatan menjadi pengusaha. Dengan dasar ini, sejak
lima tahun lalu, sejumlah peneliti di Legatum Institute di London
membuat peringkat negara-negara yang penduduknya paling bahagia di
dunia.

Baru-baru ini Legatum menyelesaikan indeks 2010 negara-negara yang
penduduknya paling bahagia dan sejahtera. Legatum menggandeng Gallup
sebagai kelompok yang membuat survei, juga Heritage Foundation dan
Forum Ekonomi Dunia. Ada 89 variabel untuk menentukan peringkat ini.
Di antaranya, ekonomi, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keamanan,
kebebasan individu dan modal sosial.

Dari 110 negara yang disurvei, inilah 10 negara yang penduduknya
paling bahagia.

1. Norwegia
Norwegia menjadi negara yang penduduknya paling bahagia. Pendapatan
perkapita penduduknya paling besar di dunia yakni US$53.000 per tahun.
Negara ini menghabiskan anggaran untuk kesehatan paling besar nomor
dua setelah Amerika Serikat. Penduduknya bahagia dengan keindahan alam
dan lingkungannya. Norwegia juga memiliki cadangan minyak dan gas yang
besar.

2. Denmark
Berbisnis di negara ini tak membutuhkan banyak uang. Denmark tercatat
sebagai negara yang paling rendah biayanya bila seseorang ingin
membuat bisnis. Pendidikan bagi penduduknya juga terjamin begitu juga
kebebasan bagi individu.

3. Finlandia
Damai, pendidikan yang terjamin, kesehatan juga terjamin, kebebasan
berekspresi dan pemerintah yang bisa dipercaya. Inilah Finlandia.
Ekonominya juga kuat.

4. Australia
Ekonomi Australia tergolong kuat, ditopang oleh berbagai macam ekspor.
Australia menjadi negara yang bagus untuk memulai sebuah bisnis.
Konektivitas internet bertebaran, pendidikannya bagus dan penduduknya
mempercayai pemerintah.

5. Selandia Baru
Selandia Baru adalah negara dengan gesekan sosial paling rendah.
Penduduknya saling percaya dan saling bantu. Sebanyak 94 persen
penduduknya puas dengan kondisi lingkungan sekitar.

6. Swedia
Swedia berada di peringkat kedua untuk kesempatan dan usaha mandiri.
Swedia adalah negara yang sangat cocok untuk memulai usaha. Kebebasan
individu sangat dilindungi di Swedia.

7. Kanada
Di negara ini nyaris tidak ada korupsi. Kanada juga sangat terbuka
bagi para imigran. Penduduk Kanada juga terkenal sangat baik dan gemar
membantu sesama. Kanada juga negara yang tepat untuk memulai sebuah
bisnis.

8. Swiss
Pemerintah Swiss dikenal bersih, kesempatan mendapat pendidikan bagi
penduduknya sangat terbuka. Institusi keuangannya sangat kuat dan
dipercaya.

9. Belanda
Penduduk Belanda hampir pasti bahagia, kebebasan individu sangat
dilindungi oleh pemerintah. Sebanyak 88 persen penduduknya sangat puas
karena bisa memilih apapun yang mereka suka dan mereka jalani.

10. Amerika Serikat
Hampir 90 persen penduduk Amerika Serikat puas dengan jaminan
kesehatan. Anggaran untuk kesehatan rakyatnya juga tercatat terbesar
di dunia. Sebanyak 90 persen penduduknya yakin dengan kerja keras
mereka bisa hidup lebih baik.

FORBES | POERNOMO G. RIDHO

http://tempointeraktif.com/hg/eropa/2011/01/24/brk,20110124-308388,id.html