BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

WIKILEAKS Menolak Rahasia yang Disalahgunakan

Written By gusdurian on Sabtu, 22 Januari 2011 | 09.48

Hanya dalam kurun empat tahun sejak diluncurkan, situs peniup peluit
(whistle blower) WikiLeaks sangat terkenal. Kiprah termutakhirnya
membocorkan lebih dari 250.000 dokumen kawat diplomat AS membuat
”Negeri Paman Sam” serta banyak pemimpin dunia pusing kepala.

Kehebohan terus terjadi seiring dengan bocoran dokumen, mulai dari
Arab Saudi meminta AS menyerang Iran atau bagaimana AS menyebut Rusia
sebagai ”Negara Mafia” dan para pemimpinnya diibaratkan tokoh komik
Batman dan Robin.

Fenomena WikiLeaks juga menunjukkan bagaimana negara adidaya
memperlakukan negara lain, sekaligus ”wajah” sebenarnya negara Barat,
yang antikebebasan informasi, demokrasi. Ini tampak dalam reaksi
mereka atas kebocoran tersebut.

Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, mengatakan, sebenarnya dia tidak
anti terhadap kerahasiaan. Assange menyebut kerahasiaan sangat penting
bagi WikiLeaks, terutama untuk melindungi sumber pemasok berbagai
informasi rahasia ke mereka.

”Dalam banyak hal kerahasiaan sangat penting. Namun, kerahasiaan
jangan dipakai untuk menutup-nutupi sebuah penyalahgunaan, yang
kemudian membawa kita pada pertanyaan soal siapa yang memutuskan atau
bertanggung jawab terhadap kerahasiaan,” ujar Assange.

Situs WikiLeaks membangun sistemnya sendiri. Setiap data yang masuk
otomatis terenkripsi dan langsung anonim. Orang dalam WikiLeaks pun
tidak tahu identitas si pengirim bocoran. ”Namun, memang kadang ada
sumber yang mencoba langsung menghubungi kami dan mengaku punya
dokumen rahasia untuk disebar,” ujar Assange.

Dalam kondisi seperti itu WikiLeaks memintanya mengirim dokumen dengan
proses yang tetap anonim. ”Kami bisa saja mengira-ngira siapa
pengirimnya. Namun, hal itu tetap sebatas dugaan tanpa bisa
dibuktikan,” ujar Assange, akhir Juli lalu di depan Frontline Club di
London, Inggris.

Bagaimana WikiLeaks mendapat bocoran? Pemerintah AS menangkap seorang
analis intelijen Angkatan Darat AS, Bradley Manning (22), yang diduga
membocorkan dokumen rahasia ke WikiLeaks.

Salah satu dokumen rahasia yang dibocorkan Manning itu berisi rekaman
video soal helikopter tempur AS, Apache, yang menembaki dan menewaskan
12 warga sipil di Baghdad, Irak, tahun 2007. Selain itu juga 90.000
dokumen sepanjang tahun 2004-2009 terkait perang AS di Afganistan.

WikiLeaks juga digugat soal keotentikan dan keorisinalan dokumen
rahasia yang diperoleh. Namun, WikiLeaks mengatakan, badan itu juga
mengembangkan mekanisme verifikasi terhadap data atau informasi
bocoran yang diperoleh.

Selain dengan menerapkan teknik jurnalisme investigatif, mereka juga
mengembangkan sejumlah teknik verifikasi lain, termasuk mencari
kemungkinan apakah data itu palsu dan siapa kira-kira yang punya motif
atau siapa yang akan diuntungkan.

Terkait video serangan helikopter tempur AS di Irak, WikiLeaks bahkan
menelusuri data, informasi, kesaksian, dokumen rumah sakit, dan fakta-
fakta eksternal lain sebelum memastikan keaslian rekaman dan
memublikasikannya.

WikiLeaks juga mengirim dokumen mentah ke sejumlah media utama yang
dipilih untuk bersama-sama memublikasikan bocoran. Dengan menyerahkan
bocoran dalam bentuk data mentah, WikiLeaks mencoba membuktikan
informasi yang mereka punya itu otentik dan tidak disensor untuk
kepentingan tertentu.

Taktik militer

”Jurnalis lain bisa jadi melihat sudut pandang lain yang tidak kami
lihat sebelumnya. Dengan mencantumkan pula data asli, kami berharap
analisis dan tanggapan yang muncul bisa jauh lebih luas dan masyarakat
bisa tahu kebenaran sekaligus menentukan pilihan mereka sendiri,”
papar Assange dalam situsnya itu.

Lalu, siapa di balik WikiLeaks dan apa kira-kira rencana besarnya.
Teori konspirasi sempat dilontarkan pembawa acara talkshow sekaligus
komentator politik terkenal AS, Glenn Beck, yang meyakini keterkaitan
Assange dengan filantropis dan hartawan dunia, George Soros.

Keduanya mencintai dan menginginkan sebuah ”masyarakat terbuka”. Bukti
lain, Assange didukung oleh para pengacara pro bono (tak dibayar),
yang bekerja untuk Open Society Institute yang didirikan Soros. Teori
konspirasi Beck berujung pada tuduhan, keduanya mencoba menciptakan
kondisi kacau dengan mendestabilkan seluruh pemerintahan di dunia.
Akibatnya, keduanya dianggap tak berbeda dengan jaringan Al Qaeda.

Tuduhan lain dilontarkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, yang
menyatakan pembocoran itu membahayakan nyawa orang lain. Tuduhan itu
langsung dibantah Assange.

”Well, hal itu tidak masuk akal. Soal nyawa yang kemungkinan berada
dalam bahaya, selalu didengung-dengungkan organisasi militer atau
intelijen, yang terekspos. Empat tahun kerja kami, belum pernah
terjadi seseorang secara fisik terluka atau dipenjarakan karena
kerjaan kami,” ujar Assange. (BBC/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/04162484/menolak.rahasia.yang.disalahgunakan

Imperialisme Bahasa dalam Sepak Bola

Sumarno, AKTIVIS KOALISI PENDIDIKAN

Sepak bola mampu memS bangkitkan semangat nasio nalisme. Antusiasme
masyarakat dalam mendukung tim nasional selama laga Piala ASEAN
Football Federation (AFF) 2010 menunjukkan bentuk nasionalisme di saat
bangsa tanpa memiliki suatu kebanggaan.

Euforia masyarakat Indonesia mendukung timnas pada Piala AFF masih
diwarnai oleh hal-hal kontroversal. Pertama, masalah kepengurusan
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, induk organisasi sepak bola
nasional.
Kedua, soal naturalisasi beberapa pemain asing. Dua hal yang
bersinggungan dengan persatuan dan kesatuan serta nasionalisme bangsa.

Namun ada satu hal yang terlupakan dan seolah tidak disadari, yaitu
mengenai bahasa.
Persoalan bahasa tercecer di kancah persepakbolaan nasional.
Lalu apakah hubungannya antara bahasa dan sepak bola? Indonesia, di
samping memiliki kekayaan budaya, di antaranya berupa keanekaragaman
bahasa daerah, mempunyai bahasa nasional yang merupakan bahasa resmi
negara: bahasa Indonesia. Selain fungsi utamanya sebagai sarana
komunikasi, sebagaimana sepak bola, bahasa nasional merupakan
pemersatu dan simbol nasionalisme bangsa. Tentu di samping simbol-
simbol lain.

Bahasa juga merupakan bentuk kebudayaan sebagai cermin jati diri
bangsa. Kenyataannya, persepakbolaan nasional bukan hanya dibanjiri
oleh pelatih dan pemain asing, tapi banyak pula digunakan istilah
asing, terutama bahasa Inggris. Penggunaan istilah atau bahasa asing
baik oleh penyelenggara, media massa yang meliput, kelompok suporter,
maupun tim-tim sepak bola itu sendiri. Sebuah televisi swasta yang
berlangganan menyiarkan pertandingan Liga Super Indo nesia (LSI),
misalnya, walaupun siarannya berbahasa Indonesia, pembawa acaranya
selalu menyebut pelatih dengan istilah coach.

Musim kompetisi 2010/2011, di Indonesia setidaknya terdapat tiga
kompetisi sepak bola berskala nasional, yakni Divisi Utama Liga
Indonesia, LSI, dan Liga Primer Indonesia (LPI). Jika mencermati nama-
nama klub sepak bola peserta pada ketiga kompetisi itu, dari 39 klub
dalam Divisi Utama Liga Indonesia semua menggunakan bahasa Indonesia.

Dari 18 klub LSI, dua di antaranya menggunakan istilah asing atau
bahasa Inggris, yakni Sriwijaya Football Club dan Bontang Football
Club. Football club biasa disingkat FC.

Adapun di LPI lebih banyak lagi. Dari 19 klub peserta kompetisi, 10 di
antaranya menggunakan nama bahasa asing. Kesepuluh klub sepak bola itu
adalah Aceh United, Bali Devata, Bandung FC, Batavia Union,
Cendrawasih FC, Ksatria XI Solo FC, Manado United, Medan
Chiefs, Real Mataram, Semarang United, dan Tangerang Wolves.

LPI disebut-sebut kompetisi yang dikelola lebih profesional daripada
dua kompetisi nasional lainnya dan punya kumpulan klub yang lebih
profesional pula.
Sudah menjadi anggapan umum bahwa yang berbau asing dianggap lebih
hebat, lebih profesional. Penggunaan istilah asing dianggap lebih
membanggakan dibanding istilah dalam bahasa Indonesia.

Ada pendapat; kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme sebagai
penyebab suatu bahasa bisa mendunia. Pendapat tersebut sesuai dengan
fakta sejarah bahwa negara seperti Jerman, Jepang, Prancis, dan
Inggris adalah negara-negara yang terlibat dalam Perang Dunia II dan
mereka melakukan ekspansi atau penyerangan terhadap beberapa negara
lain.

Dalam kajian tentang bahasa, bahasa itu sendiri bukan domain dari
faktor-faktor lain, melainkan faktor yang berdiri sendiri, sehingga
timbul istilah imperia lisme linguistik. Dalam bukunya, Linguistic
Imperialism, Giles dan Middleton (1999) mendefinisikan imperialisme
linguistik sebagai suatu bentuk kolonialisme yang terjadi melalui
media bahasa, ketika bahasa mayoritas menjajah bahasa minoritas.

Dampak imperialisme linguistik sangat hebat, terutama bahasa Inggris
memegang hegemoni dunia dewasa ini. Pemerintahan Soeharto pada suatu
saat pernah melarang pemberian nama perusahaan atau kompleks perumahan
menggunakan bahasa asing. Akibatnya, terjadi upaya penggantian papan
nama di setiap perusahaan atau perumahan. Misalnya perumahan Modern
Land diganti menjadi Kota Modern, bukan Tanah Modern atau Daratan
Modern. Kata "modern", jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi II cetakan kesepuluh (1999), memiliki padanan, yaitu terbaru
atau mutakhir.

Namun kini, karena tidak ada pelarangan penggunaan bahasa asing,
penggunaan bahasa Inggris masuk ke berbagai lini. Nama perusahaan,
gedung-gedung perkantoran, perumahan, pusat belanja, hotel, dan
restoran nyaris semua menggunakan bahasa Inggris. Tak terkecuali dalam
dunia sepak bola, seperti nama-nama klub sepak bola nasional di
berbagai daerah yang tersebut di atas.
Bukan sekadar nama Bukan hanya nama, penggunaan bahasa Inggris juga
merambah pada aktivitas di dalamnya. Di restoran, daftar menu yang
disodorkan menggunakan bahasa Inggris. Kalau menyebut menu asing
mungkin maklum, bisa jadi tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa
Indonesia. Untuk menyebut jenis minuman yang sudah familiar di
kalangan masyarakat Indonesia pun menggunakan bahasa Inggris.

Demikian pula dalam persepakbolaan nasional. Tendangan pojok atau
tendangan penjuru di Indonesia sering disebut dengan corner kick,
tendangan bebas dengan istilah free kick, pelatih biasa disebut coach.
Memang, tak beda dengan seni, olahraga, khususnya sepak bola, bersifat
universal, mampu menembus batas wilayah dan sekat-sekat perbedaan suku
bangsa, ras, dan agama.

Dalam sejarahnya, sepak bola mampu mempertemukan berbagai bangsa dalam
suatu event yang besar. Namun, manakala nama-nama klub sepak bola yang
notabene klub daerah yang lahir di wilayah Indonesia beramai-ramai
menggunakan bahasa asing, sesungguhnya mereka telah terjebak dalam
imperialisme bahasa. Imperialisme bahasa telah merasuk ke berbagai
sendi kehidupan, dari politik, ekonomi, pendidikan, sampai olahraga
sepak bola.

Sepak bola di Tanah Air dikenal sebagai olahraga paling merakyat,
digandrungi masyarakat dari anak-anak hingga orang dewasa, dari
pelosok desa di pucuk gunung hingga perkotaan. Ia adalah kekuatan
besar sebagai modal yang mengandung spirit nasionalisme. Ironisnya,
tak satu pun orang menyadari bahwa sepak bola menjadi celah terjadinya
imperialisme bahasa, yang tidak tertutup kemungkinan akan mengubah
spirit nasionalisme menjadi fanatisme berlebihan yang berujung pada
tindak kekerasan. Fenomena tersebut tampak pada seringnya sepak bola
diwarnai perkelahian antarpenonton, antarpemain, bahkan perseteruan
antar-elite pengurus organisasi sepak bola nasional karena saling
berebut kepentingan.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/22/ArticleHtmls/22_01_2011_010_013.shtml?Mode=1

Bencana Iklim: Fakta atau Fantasi?

Agus Supangat
PENELITI KELAUTAN YANG BEKERJA DI SEKRETARIAT DEWAN
NASIONAL PERUBAHAN IKLIM

Sudah terbukti bahwa manusia adalah tersangka utama terjadinya
pemanasan global. Mari segera bertindak! Jangan sampai kita mengulangi
sejarah kelam geologi yang pernah dialami planet ini.
anjir yang terjadi di Australia B sungguh mengenaskan. Seperti yang
diramalkan para ilmuwan, perubahan iklim menyebabkan Australia dilanda
hujan lebat di bawah pengaruh La Nina yang kuat di Samudra Pasifik dan
siklon tropis. Pada saat yang hampir bersamaan, Benua Eropa mendadak
dilanda musim dingin berkepanjangan. Sejumlah bandar udara utama di
Eropa tertutup lapisan salju tebal, menahan warga yang hendak mudik
Natal. Dengan fenomena makin ekstrem yang terjadi, masihkah kita
bertanya bahwa bencana iklim adalah fakta atau hanya fantasi manusia?
Belahan Bumi Utara saat ini sedang mengalami fenomena cuaca yang
ekstrem.
Fenomena ini diindikasikan oleh beberapa kejadian ekstrem, seperti
angin beku yang berasal dari Kutub Utara dan Siberia serta udara
dingin yang membentang di sepanjang Greenland dan Islandia yang
menghalangi aliran udara moderat dari Samudra Atlantik. Fenomena ini
diketahui sebagai arctic oscillation dan North Atlantic oscillation,
yang pernah terjadi pada 1981 dan 1962-1963 tapi tidak sekuat yang
terjadi saat ini. Fenomena serupa terjadi di Beijing, yang mengalami
musim dingin terburuk sepanjang 40 tahun terakhir dengan jumlah salju
terbanyak sejak 1951.

Akibat fenomena ini adalah cuaca di belahan Bumi Utara berbeda dari
pola normalnya. Aliran udara yang seharusnya mengalir dari barat ke
timur melalui Samudra Atlantik mengalami perubahan.
Aliran udara yang mengalir di dekat Inggris justru berasal dari utara.
Sebagai gambaran, jika Kutub Utara dipandang dari atas, akan tampak
sirkulasi padat dengan udara dingin berada di atasnya. Udara tersebut
kemudian menyebar ke selatan melalui Inggris, sebagian Cina, dan
sebagian Amerika Serikat.

Analisis mengenai fenomena tersebut muncul, yaitu El Nino sebagai
penyebab perubahan iklim. El Nino memang menyebabkan gangguan pada
pola cuaca di belahan Bumi Utara selama musim dingin. El Nino
membalikkan udara di selatan Pasifik dan arus laut. Akibatnya, terjadi
gangguan aliran udara di sepanjang osilasi Atlantik Utara. Aliran
udara hangat ke Eropa berkurang. Fenomena musim dingin yang ekstrem
merupakan bukti terjadinya pemanasan global. Pada dasarnya, udara di
atmosfer bergerak dari barat ke timur me ngelilingi dunia antara Kutub
Utara dan daerah tropis sehingga udara di Kutub Utara terperangkap.

Akhir-akhir ini aliran udara tersebut membentuk pola tak beraturan
yang meningkat dari waktu ke waktu secara alami.
Perubahan pola tersebut menguat. Berbagai kalangan menilai fenomena
yang terjadi pada skala regional dalam kurun waktu pendek, termasuk
pola cuaca yang tidak normal, justru menguatkan indikasi perubahan
iklim. Sejumlah ilmuwan bahkan berpendapat bahwa musim dingin yang
ekstrem menunjukkan tren perubahan iklim jangka panjang.
Iklim ke depan?
Masih ingatkah Anda kepada film Hollywood berjudul The Day After
Tomorrow (2004), yang pada awal 2011 kembali ditayangkan beberapa
stasiun televisi Indonesia? Film ini menggambarkan bagaimana bencana
iklim melanda Amerika Utara dalam wujud zaman es baru. Kita disuguhi
suatu kemasan fenomena alam yang berkaitan dengan iklim ekstrem,
seperti angin topan, banjir, dan gelombang badai, yang melanda New
York yang sangat mendebarkan. Dari segi saintifik dan bagi para
pemerhati isu perubahan iklim, film itu merangsang pikiran, apakah
bencana iklim tersebut sungguh mulai terjadi?
Badan riset di seluruh dunia di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa mempunyai program internasional tentang pengamatan sirkulasi
arus laut dunia sebagai salah satu pertanda awal perubahan iklim
global. Hasil pengamatan ini kemudian digunakan dalam proyek pengujian
dan simulasi untuk melihat jalannya mesin iklim bumi di masa depan
dengan bantuan model komputer. Hasilnya, tahun 2100 arus laut yang
hangat akan melemah, tapi arus hangat tersebut tidak mengalami
penurunan drastis. Pendinginan akibat melam batnya sebagian sirkulasi
arus laut dunia mengganggu sebagian penghangatan permukaan di Eropa
akibat gas rumah kaca.

Mesin iklim bumi juga akan terganggu setelah tahun 2100. Sirkulasi
arus laut dunia dapat berhenti sepenuhnya dan bahkan mungkin berbalik
arah di salah satu belahan bumi. Semua berpotensi terjadi jika
pemanasan gas rumah kaca berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu
yang cukup lama.

Bagaimanapun, masih belum jelas apakah pemanasan dan peningkatan curah
hujan akan memicu mesin iklim melewati ambang batas iklim yang lebih
dingin. Melemahnya aliran arus laut dunia tidak secara otomatis
menjadi penyebab terjadinya zaman es pada masa mendatang. Posisi garis
edar bumi saat ini dan tingginya karbon dioksida di atmosfer
menandakan bahwa zaman es baru dengan lapisan es yang luas di belahan
Bumi Utara mustahil terjadi dalam kurun ribuan tahun, melainkan jutaan
tahun mendatang.
Keadaan di Indonesia?
Indonesia juga tak luput dari fenomena pemanasan global. Hasil
analisis dampak pemanasan global terhadap tinggi muka laut (TML) dan
variabilitas iklim, yang terdiri atas El Nino dan La Nina,
menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami kenaikan tinggi muka laut yang
berkisar 0,2-1 sentimeter per tahun dengan rata-rata kenaikan sebesar
0,6 cm per tahun.

Kenaikan TML tertinggi terjadi di Samudra Pasifik sebelah utara Pulau
Papua, yang mencapai 1 cm per tahun. Kenaikan terendah terjadi di
Pantai Selatan Pulau Jawa, yang berkisar 0,2-0,4 cm per tahun.
Model IPCC menunjukkan bahwa tingkat kenaikan tinggi muka laut
berkisar 0,7-0,8 cm per tahun.

Berdasarkan hasil penelitian sejak 2006 (dengan memasukkan perubahan
massa es dinamis dari mencairnya es di Greenland dan Antartika),
tingkat kenaikan TML akan mencapai 175 cm pada 2100 relatif terhadap
TML tahun 2000. Sementara itu, tinggi muka laut pada tahun 2030 naik
sebesar 52,5 cm, tahun 2050 naik sebesar 87,5 cm, dan naik 140 cm pada
tahun 2080.

Kecenderungan ini mendorong makin tingginya abrasi, erosi, dan
genangan air laut yang tidak hanya disebabkan oleh makin tingginya
TML, tapi juga oleh gelombang badai, pasang surut akibat gravitasi
bulan dan matahari, serta La Nina, yang termodulasi dengan tingginya
TML tersebut.

Hasil analisis kejadian extreme events (ENSO) sampai tahun 2100 dengan
menggunakan hasil model untuk SPL di daerah NINO3, menunjukkan
terjadinya kenaikan frekuensi ENSO dari 3 sampai 7 tahun sekali
menjadi 2 tahun sekali. Artinya, Indonesia akan makin sering mengalami
kejadian alam yang luar biasa.

Pada saat terjadi El Nino, tinggi muka laut akan terdepresi sebesar 20
cm di bawah normal. Pada periode La Nina, tinggi muka laut akan
terelevasi sebesar 10-20 cm. Hal ini berpengaruh terhadap risiko
erosi, abrasi, dan genangan air laut, terutama saat terjadi La Nina
dengan intensitas hujan yang lebih tinggi.

La Nina dan El Nino mengakibatkan terjadinya gelombang pasang dengan
variasi dari 2,1 meter sampai 5 meter, meski El Nino tak menimbulkan
dampak signifikan terhadap tinggi gelombang di Samudra Hindia.
Tingginya gelombang laut pada fase El Nino dan La Nina akan
meningkatkan intensitas erosi dan abrasi dengan tingkat kerusakan yang
tinggi. Akhirnya, intensitas El Nino dan La Nina yang makin tinggi
dapat mengakibatkan tingkat perubahan garis pantai yang makin tinggi,
meski tingkat kenaikan tinggi muka laut hanya 1 cm per tahun.

Masihkah Anda bertanya apakah semua fakta ini adalah fantasi yang
dibuat-buat oleh aktivis lingkungan dan ilmuwan-ilmuwan yang paranoid?
Sepertinya tidak.
Sudah saatnya tindakan-tindakan nyata yang sinergis dari individu,
swasta, media, dan pemerintah dilakukan sesegera mungkin. Dimulai dari
hal sederhana, kita harus sadar dan turut andil dalam usaha
menghentikan pemanasan global yang terus terjadi. Sudah terbukti bahwa
manusia adalah tersangka utama terjadinya pemanasan global. Mari
segera bertindak! Jangan sampai kita mengulangi sejarah kelam geologi
yang pernah dialami planet ini.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/22/ArticleHtmls/22_01_2011_009_003.shtml?Mode=1

Ironi dan Ilusi Jawa

TEROKA



BANDUNG MAWARDI

Bahasa menjadi penentu Jawa. Mantra kekuasaan kolonial membuat Jawa
terbuka untuk dibongkar-dibentuk. Jawa sebagai pengetahuan juga
memungkinkan para Javanalog mengurusi Jawa dalam intimitas dengan
politik kolonial. Jawa mirip adonan ganjil dari ulah ”tuan” dan
”tukang masak” dalam geliat modernitas abad XX dan utopia mendikte
nostalgia. Kisah pelik ini kerap terlupakan oleh klaim-klaim kultural
dan afirmasi identitas eksklusif.

Solo merupakan ruang fenomenal untuk membentuk Jawa. Kekuasaan
tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik. Raja
merasa memiliki otoritas secara simbolis dan riil untuk mengantarkan
rakyat mencapai utopia. Pemerintah kolonial Belanda melalui agen dan
institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa, sastra, seni,
ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, pakaian, ekonomi, dan gaya
hidup.

Gelagat perubahan dikisahkan dengan apik oleh Takashi Shiraishi dalam
Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997).
Intervensi kolonial tampak dari pembentukan Instituut voor het
Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) sejak abad XIX. Lembaga ini
bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui
perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas
Leiden, Belanda. Bahasa Jawa model Solo pun menjadi ukuran baku.

Ironi bahasa

Legitimasi kultural oleh Javanalog dari Belanda dan pemerintah
kolonial mengakibatkan Jawa abad XX adalah bentukan fenomenal.
Shiraishi secara eksplisit memberi konklusi: ”Javanalog Belanda-lah
yang ’menemukan’, ’mengembalikan’, dan membentuk serta memberikan
makna terhadap masa lalu Jawa.” Konsekuensi dari takdir ini adalah
kajian Jawa terpusat di Leiden. Orang Jawa belajar Jawa untuk
menemukan ”harta karun” justru harus pergi ke sarang Javanalog di
Belanda.

Ki Padmasusastra (1843- 1926) juga membenarkan ironi kultural itu
dengan contoh bahasa. Tokoh ini terlibat dan sadar risiko. Ki
Padmasusastra lantang mengungkapkan bahwa telah berlangsung ironi
ketika pengelolaan bahasa Jawa dilakukan oleh ahli linguistik Belanda
atau elite sarjana di bawah restu politik kolonial. Bahasa sebagai
operasionalisasi kekuasaan dan kultural telah luput dari orang Jawa
sendiri. Kolonial menjadi tuan. Bahasa bisa digunakan untuk
menundukkan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.

Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keraton, priayi, dan
elite politik. Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda dengan
risiko membenarkan ulah kolonial. Institusi pendidikan, media massa,
penerbitan, dan perpustakaan menjadi agen sistematis.

Agenda yang menafikan

Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka. Bahasa Jawa
tertinggal. Sastra Jawa tanpa sapaan. Tradisi Jawa dalam balutan ilusi
kolonial merana. Keprihatinan ini pun secara intensif dilaporkan pada
negara, lalu disodorkan pada publik agar menjadi beban.

Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkan kembali Jawa
digulirkan dengan modal besar, kebijakan politik, dan seruan. Salah
satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa
yang tidak memperlihat geliat kemajuan.

Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini sedikit sekali teraplikasi
atau mengindikasikan pencerahan pikiran. Karena beberapa kesalahan
mendasar, seperti ditempatkannya sastra Jawa hanya sebagai wacana
pinggiran atau catatan kaki. Peminggiran peran ini menciptakan
resistensi di kalangan para pekerja sastra Jawa. Mereka yang kemudian
merancang Kongres Sastra Jawa, dengan modal seadanya dan dengan
perhatian nol dari penguasa. Negara menjadi salah satu pelupa
terbesar, dengan mengabsenkan sastra Jawa dari perhatiannya.

Dan kritik pantas terus diajukan karena nasib bahasa dan sastra Jawa
masih sekarat. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tampak setengah
hati. Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet. Kejawaaan pun terimpit
oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme. Jawa terkapar dalam sandiwara
penyelamatan para birokrat dan kaum akademisi.

BANDUNG MAWARDI Pengelola Balai Sastra Kecapi Solo

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04241472/ironi.dan.ilusi.jawa

Indonesia Krisis Pangan?

Siswono Yudo Husodo

Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan
pangan mulai merebak di dunia.

Hal itu terutama sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan
buku An Inconvenient Truth yang sangat impresif dan menyadarkan para
pemimpin dunia mengenai bahaya perubahan iklim.

Saat ini badai salju dahsyat di belahan utara telah mengganggu
produksi pangan. Di Queensland, Australia, banjir hebat merusak kebun
tebu dan menghambat ekspor gula. Eropa, AS, dan Australia adalah
produsen sekitar 65 persen pangan dunia. Di Tanah Air hujan
berkepanjangan. Harga produk pangan meningkat.

Di Tanah Air hiruk pikuk wacana publik tentang potensi kelangkaan
pangan cenderung dipersempit pada beras semata. Jenis pangan lain
kurang diperhatikan, padahal manusia makhluk omnivor. Beragam
pangannya bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur,
pakis, porang).

Harga cabai mahal luar biasa. Hujan berkepanjangan bikin banyak cabai
rusak di kebun. Mayoritas penggunaan cabai di Indonesia adalah cabai
segar. Kita belum biasa membuat produk pertanian yang tak tahan lama
menjadi tahan lama, seperti membuat stok cabai kering.

Harga pangan lima tahun terakhir dan harga energi meningkat. Era harga
pangan murah sudah berlalu. Produk pertanian, terutama jagung, ubi
kayu, minyak sawit, dan tetes tebu, bersaing antara penggunaan untuk
pangan manusia, pakan ternak, dan kini untuk energi (etanol).

Andalan dunia

AS pada 2009 menggunakan 40 juta ton jagung untuk etanol. Produksi
jagung nasional kita (2009) sekitar 17,6 juta ton. Sebagai bangsa
berpenduduk nomor empat di dunia, Indonesia harus serius menetapkan
langkah sistematis untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi
sepanjang tahun, Indonesia harus terpanggil jadi pemasok pangan tropis
bagi dunia. Masyarakat di berbagai belahan dunia tak dapat hidup
nyaman tanpa produk pangan tropis, seperti kopi, cokelat, lada, pala,
minyak sawit, dan gula tebu. Andalan produsen pangan tropis untuk
memenuhi kebutuhan dunia terutama RI dan Brasil.

Krisis pangan di Indonesia bukan karena pasokan pangan berkurang
drastis, melainkan lebih karena daya beli rakyat yang tak mampu untuk
pangan yang harganya meningkat serta manajemen stok pangan yang kurang
baik. Sekitar 17,4 juta keluarga (70 juta jiwa) termiskin di Indonesia
tak mampu membeli pangan dengan nutrisi memadai. Ini kontras dengan
kelas menengah ke atas yang leluasa mengonsumsi pangan. Restoran
berkelas di kota besar penuh, juga warung pinggir jalan.

Mengatasi kondisi itu, pemerintah mengadakan program beras untuk
rakyat miskin (raskin). Dalam APBN 2011, program raskin menyediakan
subsidi buat 17.483.989 rumah tangga sasaran sebesar Rp 17 triliun: 15
kg beras per keluarga per bulan. Program raskin yang sudah lima tahun
sejak 2005 terbukti cukup membantu. Beberapa aspek perlu diperbaiki.
Misalnya, mengenai kualitas raskin.

Rumah tangga sasaran membeli raskin Rp 1.600 per kg. Dari harga itu,
pemerintah menyubsidi Rp 4.685 per kg. Harga yang dibeli rakyat miskin
sesungguhnya Rp 6.285 per kg. Di pasar umum, beras seharga itu
berkualitas baik. Kenyataannya di berbagai tempat kualitas raskin
memprihatinkan: coklat, bau apek, persentase yang pecah terlalu
banyak, sebagian berulat, dan tak layak makan.

Perlu diingat, bagi kelompok warga berpendapatan rendah, beras adalah
sumber pemenuhan nutrisi utama. Kemampuan mereka terbatas mengonsumsi
jenis pangan lain. Pemerintah perlu jaga kualitas raskin: selain
mengandung karbohidrat, juga protein (meski sedikit) dan vitamin.

Surplus

Seperti laporan Kementerian Pertanian dan BPS, produksi beras kita
meningkat dan surplus dibandingkan dengan kebutuhan. Selama 12 bulan
dalam setahun surplus beras di Indonesia sekitar 2 juta ton: Januari-
Juli surplus 5 juta ton dan Agustus-Desember defisit 3 juta ton.
Manajemen stok yang baik menjadi kunci bagi pengamanan persediaan
sepanjang tahun. Sewaktu bulan surplus, Bulog paling tidak harus beli
beras dalam negeri 4 juta ton dan melepas pada masa defisit. Sisanya
agar tak rusak bisa diekspor. Gudang pun dapat diisi kembali.

Bulog punya 1.160 gudang dan tersebar di lebih dari 400 kabupaten/kota
yang dibangun lebih dari 30 tahun lalu dan merupakan generasi pertama
sistem gudang penyimpanan beras. Dengan kondisi gudang kita, beras tak
bisa bertahan baik lebih dari empat bulan. Artinya, beras di gudang
Bulog maksimum empat bulan harus didistribusikan ke konsumen.

Total kapasitas simpan gudang Bulog 4 juta ton. Sepuluh tahun terakhir
maksimum pembelian beras dalam negeri oleh Bulog hanya 3 juta ton.
Untuk 2010 bahkan kurang dari 1,5 juta ton. Itu sebab di beberapa
tempat gudang Bulog dipakai untuk futsal. Pada 2011 ini, Bulog
berencana mengimpor 1,25 juta ton beras. Sungguh aneh!

Krisis pangan bagi Indonesia dapat juga dilihat dari ketergantungan
kita pada pangan impor yang terus meningkat. Lebih dari 11 miliar
dollar AS dikeluarkan saban tahun untuk impor pangan. Dari Maret 2007
ke Maret 2008 kita mengimpor gula 37,48 persen dari kebutuhan
nasional; garam rata-rata 1,5 juta ton per tahun senilai sekitar Rp
900 miliar dan merupakan 50 persen kebutuhan garam nasional; 70 persen
dari kebutuhan nasional kedelai; 11,23 persen kebutuhan jagung; 15
persen kebutuhan kacang tanah; daging sapi setara lebih dari 750.000
sapi dan merupakan 23 persen kebutuhan nasional.

Krisis pangan juga bisa dilihat dari meningkatnya konsumsi gandum yang
belum bisa ditanam di Tanah Air. Krisis itu akan lebih parah apabila
kebijakan yang tak memberi insentif pada peningkatan produksi terus
dijalankan: bebas bea masuk impor pangan, jeroan Australia dan paha
ayam Amerika murah masuk karena merupakan limbah di negara asalnya.

Kunci keberhasilan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman
pangan. Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim
basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Ide menjadikan Indonesia
produsen pangan tropis untuk dunia tak bisa direalisasikan tanpa
perbaikan aspek fundamental, seperti peningkatan skala ekonomi petani
kita.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04443289/indonesia.krisis.pangan

Dosa Perencana Pembangunan

Bagong Suyanto

Terlepas dari cara dan pilihan kalimat yang mungkin terkesan keras,
apa yang dikemukakan para tokoh itu sebetulnya mencoba mengajak
pemerintah untuk tidak terlalu larut dalam indikator makro pembangunan
yang acap kali kurang memerhatikan realitas di tingkat mikro.

Mahbub ul Haq (1983), salah seorang ahli kemiskinan dari kubu teori
ketergantungan, jauh-jauh hari telah mengingatkan, betapa bahayanya
jika para perencana pembangunan terlalu percaya dan memuja angka
statistik, sebaliknya tidak peka pada isu-isu dan persoalan nyata
masyarakat miskin sehari-hari.

Ketika pemerintah atau negara mengklaim telah berhasil menghela laju
pertumbuhan ekonomi dan asyik menghitung tingkat penanaman modal,
biasanya yang dilupakan adalah apakah arus investasi yang masuk itu
dipergunakan untuk kegiatan industri yang ramah tenaga kerja lokal
atau tidak?

Tidak sedikit kasus membuktikan bahwa industrialisasi, yang berhasil
didorong perkembangannya di sejumlah wilayah, ternyata sering kali
lebih banyak menguras kekayaan sumber daya alam, menyebabkan kerusakan
lingkungan, dan bahkan memarjinalkan masyarakat lokal.

Salah satu dosa perencana pembangunan yang paling tidak bisa
dimaafkan, menurut Mahbub, adalah ketika para perencana pembangunan
terlalu terpukau oleh tingginya laju pertumbuhan produk domestik bruto
dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan.

Kritik Mahbub memang tidak ditujukan kepada Indonesia, tetapi
pertanyaan kritis yang dikemukakan Mahbub kepada negara tempat ia
melakukan studi—Pakistan—sebenarnya bisa juga menjadi bahan
introspeksi bagi Pemerintah Indonesia: Apalah artinya pertumbuhan
ekonomi tinggi jika di sisi yang lain masih terjadi polarisasi tingkat
kesejahteraan dan kesenjangan antardaerah yang mengusik rasa keadilan?

Indikator makro

Mengacu indikator kinerja pembangunan yang diekspos Badan Pusat
Statistik dan bahkan sejumlah lembaga internasional, harus diakui apa
yang dilakukan pemerintah selama ini telah membuahkan hasil:
mendongkrak kembali angka pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah
absolut penduduk miskin. Semua itu bukanlah hal mudah sehingga apa
yang dicapai pemerintahan SBY-Boediono tetap perlu untuk diapresiasi.

Akan tetapi, masyarakat miskin tentu bukan sekadar membutuhkan laporan
keberhasilan pembangunan dan angka-angka statistik, bukan pula sekadar
perencanaan program pembangunan yang diskenariokan untuk kepentingan
masyarakat miskin. Mereka terutama membutuhkan program pembangunan
yang benar-benar berjalan efektif, bisa diakses, dan yang tak kalah
penting program itu harus pula bersifat kontekstual.

Di tengah kondisi perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih,
tekanan kebutuhan hidup yang makin mahal, iklim persaingan usaha yang
makin ketat, dan lapangan kerja masih sulit didapat, kita tentu
sepakat bahwa di Tanah Air ini masih banyak keluarga miskin yang
kehidupannya makin terpuruk dan terjebak dalam spiral kemiskinan yang
membelenggu. Sebuah keluarga miskin yang sumber penghasilannya makin
kecil, sementara biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup makin melambung,
tentu akibatnya bisa dengan mudah diprediksi: mereka makin rentan dan
papa.

Dalam beberapa kasus, yang disebut keluarga miskin memang terkadang
mampu tetap bertahan dan bahkan bangkit kembali, terutama jika mereka
memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan
menyelamatkan. Tidak sedikit pula keluarga miskin yang berhasil
memberdayakan diri dan keluar dari tekanan kemiskinan setelah mereka
memperoleh dukungan dana dan program dari pemerintah. Namun, seseorang
atau keluarga yang jatuh pada spiral atau perangkap kemiskinan,
umumnya, sulit untuk bangkit kembali.

Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan acap kali tidak bisa ikut
menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan,
rapuh, tak meningkat kualitas kehidupannya, dan bahkan acap kali
justru mengalami penurunan kualitas kehidupan.

Di daerah di mana industrialisasi tengah berkembang sangat pesat,
tidak selalu ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi juga melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat
miskin yang ada di daerah itu justru hanya menjadi penonton dan
mengalami penurunan taraf kehidupan karena terjadinya proses invasi
dan suksesi pemilikan aset produksi penduduk asli kepada para
pendatang.

Rakyat tak butuh janji

Dalam posisi yang serba tidak berdaya, rentan, dan mengalami proses
marjinalisasi, apa yang dibutuhkan masyarakat miskin bukanlah janji-
janji politik, apalagi klaim-klaim yang sifatnya reaktif. Yang lebih
penting adalah bagaimana pemerintah bersedia turun ke bawah, mendengar
dan menyaksikan langsung berbagai problem yang mereka alami sehari-
hari dan mengembangkan pendekatan yang disebut Robert Chambers (1987)
sebagai pendekatan learning from the people, yakni pendekatan yang
menempatkan masyarakat miskin benar-benar sebagai subyek pembangunan.

Dengan demikian, tugas pemerintah adalah bersedia mendengar apa
sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat miskin, dan sekaligus belajar
dari masyarakat miskin tentang cara yang paling efektif dan
kontekstual untuk memberdayakan taraf kehidupan dan meningkatkan
posisi tawar mereka.

Berdebat apakah pilihan kosakata ”pemerintah telah berbohong” itu
terlalu keras dan cenderung provokatif, mungkin perlu dilakukan dalam
rangka menumbuhkan etika berdemokrasi dan untuk menghindari kekeliruan
dalam proses penyampaian pesan.

Akan tetapi, alangkah lebih arif jika kritik sekeras apa pun tidak
lantas disikapi dengan reaktif, tetapi justru diperlakukan sebagai
masukan yang berharga untuk memperbaiki dan memastikan agar program-
program pembangunan yang disusun pemerintah lebih bisa dijamin
efektivitas dan implementasinya di lapangan.

Angka statistik dan kehidupan nyata, bagaimanapun, adalah dua hal yang
berbeda. Bagi masyarakat miskin, apa yang mereka butuhkan adalah
bagaimana pemerintah bisa segera menerjemahkan angka-angka statistik
yang makro itu dalam kehidupan nyata secara berkeadilan.

Bagong Suyanto Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Departemen
Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04455412/dosa.perencana.pembangunan

Jangan Bohong Lagi, Sayang!

SETO MULYADI

Bukan yang congkak, bukan yang sombong/ Yang disayangi handai dan
taulan/ Hanya anak yang tak pernah bohong/ Rajin belajar, peramah dan
sopan

Lagu ini cukup populer beberapa puluh tahun silam dan banyak diajarkan
oleh para guru taman kanak-kanak kepada murid-muridnya.

Selain lagunya indah dan mudah diingat, isinya juga amat bagus untuk
pendidikan karakter anak-anak. Pesannya pun jelas. Mengajak anak-anak
untuk tetap rendah hati dan tidak sombong. Juga selalu bersikap jujur
dengan berani mengatakan apa adanya alias tidak berbohong.

Bisa saja seseorang berbuat salah, tetapi ia berani untuk mengakui
kesalahannya. Mengakui kesalahan bukan berarti lemah. Justru
sebaliknya, berani mengakui kesalahan menunjukkan adanya kekuatan
untuk berani mengungkapkan kejujuran dengan tetap rendah hati.

Rajin belajar juga dapat diartikan sebagai kemauan untuk belajar dari
kesalahan. Bahwa setiap orang bisa salah, tetapi dengan belajar dari
kesalahan, seseorang bisa berbuat lebih baik lagi di masa depan dan
tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Itulah inti pelajaran lagu
yang ditularkan oleh para guru TK beberapa puluh tahun lalu kepada
murid-muridnya.

Kini, para murid itu tentu sudah besar. Sudah tumbuh menjadi manusia
dewasa yang tersebar di mana-mana. Ada yang menjadi artis,
olahragawan, guru, politisi, bupati, gubernur, menteri, bahkan
presiden. Sementara para guru TK tentunya juga sudah berusia lanjut.
Tidak lagi mengajar dan tinggal di rumah menikmati masa tuanya.

Ingat nasihat

Meski miskin materi, para guru akan bahagia apabila murid- muridnya
tersayang tetap ingat akan nasihat-nasihatnya dulu, termasuk moral
dari lagu anak-anak yang diajarkan.

Bahwa meski sudah menjadi orang penting, janganlah lalu menjadi
congkak atau sombong. Tetaplah rendah hati, peramah, dan sopan. Maka,
kalau sudah menjadi pemimpin dan diberi kepercayaan oleh rakyat, tentu
juga harus tetap ingat akan amanat rakyat yang memercayainya sebagai
pemimpin.

Apabila gagal menjalankan tugas atau belum dapat memenuhi janjinya
saat kampanye, pemimpin juga harus berani mengakuinya secara jujur.
Bahkan bila perlu berani meminta maaf. Bukannya justru hanya sibuk
mencari- cari alasan atau bahkan kemudian berbohong lagi dengan
memanipulasi data.

Apabila memperoleh kritik sebagai upaya untuk mengingatkan atau
menyadarkan adanya hal yang tidak benar, juga tidak harus kebakaran
jenggot. Lalu berputar- putar mempersoalkan istilah yang kurang
berkenan di hati. Kalau ajaran para guru itu masih diingat, para
pemimpin justru dengan jiwa besar menyampaikan terima kasih dan
kemudian bersama-sama memperbaikinya.

Ini semua yang sangat diharapkan oleh para mantan guru TK terhadap
murid-muridnya yang kini sudah menjadi orang besar. Namun sayang
seribu sayang, harapan tersebut tampaknya hanya tetap tinggal harapan.
Kenyataan di lapangan banyak berbicara lain.

Kesombongan dalam bentuk tindak kekerasan seolah merebak di mana-mana
bagai cendawan di musim hujan. Sejumlah tindak kekerasan muncul di
mana–ma - na. Apakah itu di dalam keluarga, di sekolah, ataupun di
tengah masyarakat. Tengok saja saat berlangsung pemilihan kepala
daerah, pertunjukan musik, pertandingan sepak bola, sampai ke kasus
perusakan tempat-tempat ibadah, semua penuh kekerasan karena merasa
paling ”benar” dan paling kuat.

Masih bohong

Kebohongan pun seolah menjadi nyanyian merdu yang terdengar hampir di
seluruh negeri. Tengoklah berita tentang 155 kepala daerah, di mana 17
di antaranya adalah gubernur, tersangkut masalah hukum. Belum lagi
kasus narapidana yang dengan mudahnya bisa melenggang berwisata ke
Bali dan mancanegara, kasus bank bermasalah yang masih menggantung,
sampai para calon kepala daerah yang bisa berkampanye dengan biaya
puluhan miliar. Semua adalah cerita kebohongan.

Betapa sedih para mantan guru TK saat melihat itu semua. Untunglah
masih ada angin segar yang mengembus dari para tokoh lintas agama.
Mereka dengan hati jernih berani lantang menyuarakan kebenaran. Maka,
para guru pun akhirnya bisa tersenyum bahagia: ternyata sebagian murid
masih ingat dan berani menyuarakan ajarannya.

Terlebih apabila akhirnya para pemimpin dengan jiwa besar berani
mengakui kesalahan, memperbaiki kesalahan, dan menghentikan berbagai
kebohongan.

Lengkaplah sudah kebahagiaan para mantan guru TK itu. Mereka akan
mengacungkan jempol sambil berkata, ”Jangan berbohong lagi ya,
sayang!”

SETO MULYADI Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04490631/jangan.bohong.lagi.sayang

Quo Vadis Aturan tentang Rokok

Banyak negara-negara berpenghasilan rendah yang terkena dua wabah
besar, yaitu tuberkulosis dan tembakau. Tuberkulosis sudah menyebabkan
penderitaan dan kematian sebagai wabah pertama.

Apalagi, meningkatnya kasus HIV (human immunodeficiency virus)
terutama pada anak muda menambah jumlah penderita tuberkulosis.Wabah
kedua yang penting pada negara berpenghasilan rendah adalah tembakau.
Bahkan, World Bank tahun 1999 pernah mengeluarkan pernyataan, “Dengan
pola merokok sekarang ini, 500 juta orang yang hidup hari ini akhirnya
akan terbunuh oleh penggunaan tembakau.Lebih dari separuh di antaranya
saat ini adalah anak dan remaja.

Hingga tahun 2030,tembakau diperkirakan akan menjadi penyebab tunggal
terbesar kematian di seluruh dunia.” Di Indonesia sendiri,kebiasaan
merokok pada masyarakat semakin lama semakin tinggi tingkat
konsumsinya. Data dari Tobacco Control Support Centre (TCSC) Ikatan
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia bahwa konsumsi rokok di Indonesia
tahun 2008 sebanyak 240 miliar batang.

Jika kita lihat fakta lain terhadap prevalensi merokok tahun 2001,
sebanyak 31,5% orang dewasa merokok dan meningkat menjadi 34,4% pada
tahun 2004. Hal yang lebih memprihatinkan adalah prevalensi merokok
pada usia 15-19 tahun 2001 sebanyak 12,7% dan meningkat 4,6% menjadi
17,3% pada 2004.Data dari WHO tahun 2008,Indonesia menempati peringkat
ketiga jumlah perokok terbesar setelah China dan India.Hampir sama
seperti penderita tuberkulosisparu (TBC paru) yang juga menduduki
peringkat ketiga setelah India dan China.

Biaya Ekonomi

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2004, 71%
keluarga Indonesia punya minimal 1 perokok dengan 84% berusia 15 tahun
ke atas. Ini akan meningkatkan kerentanan perokok pasif di rumah
karena perokok pasif memiliki risiko tiga kali lebih berbahaya untuk
menderita penyakit akibat rokok dibandingkan perokok aktif.Kematian
akibat rokok sebanyak 427.948 orang/ tahun, yang berarti sama dengan
1.172 orang per hari.

Ada sekitar 1,5 juta orang dari rumah tangga perokok yang berobat
penyakit hipertensi dengan biaya yang dihabiskan mencapai Rp219 miliar
sebulan atau Rp2,6 triliun lebih setahun. Survei yang sama juga
menggambarkan bahwa rumah tangga perokok juga mengeluarkan belanja
untuk berobat penyakit asma sebanyak Rp1,1 triliun, penyakit TBC
sebesar Rp636 miliar, penyakit pernafasan lain Rp4,3 triliun, dan
penyakit jantung Rp2,6 triliun.

Tanpa subsidi biaya rawat inap, maka total biaya yang dikeluarkan oleh
masyarakat karena penyakit yang berkaitan dengan tembakau berjumlah
Rp15,44 triliun. Perhitungan ini di luar kerugian tidak langsung
akibat rokok yang lebih besar. Bahkan, penelitian dari Kementerian
Kesehatan mendapatkan angka kerugian ekonomi total penduduk Indonesia
Rp338,75 triliun atau enam kali penerimaan pemerintah dari cukai
rokok.Angka itu sendiri senilai dengan anggaran belanja Kementrian
Kesehatan selama 15 tahun.

Kerugian dihitung dari jumlah uang yang dibelanjakan untuk rokok,biaya
berobat penyakit akibat rokok, biaya yang hilang akibat tidak bekerja
karena sakit,dan penghasilan yang tidak diterima dari anggota keluarga
yang meninggal karena penyakit akibat rokok. Sering kita berpikir
bahwa jika terjadi regulasi rokok yang ketat maka akan terjadi defisit
pemasukan negara dari cukai rokok dan pengurangan penerimaan
pemerintah karena industri rokok memberikan sumbangan besar pada
penerimaan pemerintah.

Selain itu,ada pemikiran dengan semakin meningkatkan cukai rokok
dampak lainnya akan menurunkan angka ekspor rokok.Hal lain yang
menjadi alasan penolakan terhadap regulasi rokok adalah regulasi yang
ketat terhadap rokok akan mengakibatkan petani tembakau dan industri
rokok menjadi mati. Ini sebagian dari beberapa argumentasi yang
didengungkan pemangku kepentingan industri rokok.

Boleh saja para pemangku industri rokok tersebut berargumentasi
demikian tapi fakta di lapangan berbicara beda. Pemasukan negara dari
cukai rokok jika dibandingkan dengan penerimaan negara hanya sekitar
6-7%, dan ini jauh di bawah penerimaan dari PBB dan PPh. Jika cukai
dinaikkan sebesar 10%, volume penjualan akan berkurang 0,9-3% tetapi
penerimaan cukai akan bertambah Rp29-59 triliun.Cara yang paling
efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dari rokok adalah
dengan meningkatkan cukai rokok.

Dengan tetap mempertahankan cukai rokok maka konsumsi akan cenderung
meningkat pada anakanak dan remaja. Sementara pada sisi ekspor pun tak
akan begitu terpukul.Faktanya ekspor rokok selama tahun 1999- 2007
hanya sebesar 0,22-0,31% dibanding jumlah seluruh nilai ekspor. Tahun
2006 jumlah rokok yang diekspor sebanyak 41 juta batang padahal yang
diproduksi di dalam negeri 244 juta batang, artinya sebagian besar
(83%) rokok produksi Indonesia untuk konsumsi domestik.

Fakta lain tentang tembakau adalah semakin lama lahan pertanian
tembakau semakin susut dalam periode tahun 2002-2005 areal pertanian
tembakau turun dari 261.000 hektar menjadi 198.000 hektar. Jumlah
petani tembakau pun mengalami penyusutan selama tahun 2002-2007
sejumlah 808.897 menjadi 582.093 petani sementara pekerja buruh
industri rokok tahun 2006 sebanyak 316.991 pekerja, ini hanya 1,4%
dari seluruh sektor industri.

Regulasi Ketat

Bagaimana peran pemerintah dalam mengintervensi kebijakan terhadap
rokok? Sudah seharusnya pemerintah melakukan regulasi terhadap
tembakau dan produknya (rokok) lebih ketat. Mengingat beban ekonomi
dan sosial yang diakibatkan oleh rokok makin lama makin meningkat dan
beban ini akan ditanggung oleh masyarakat miskin. Hampir 80% perokok
mulai merokok pada usia kurang dari 19 tahun.

Sebagian mereka merokok akibat terpengaruh gencarnya iklan rokok yang
umumnya menunjukkan tampilan prilaku sukses, sementara pada usia
tersebut kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan secara benar
masih belum dimiliki. Umumnya mereka belum mengerti bahaya merokok
sejak muda dan bahaya adiktif merokok. Keputusan konsumen tidak
didasarkan atas informasi yang cukup mengenai dampak produk yang
dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan kepada
orang lain.

Salah satu cara pemerintah untuk melindungi anakanak dan remaja
mengonsumsi rokok adalah dengan menaikkan cukai rokok, melarang
penjualan rokok pada anak usia di bawah 18 tahun, dan melarang
penjualan rokok secara eceran. Sampai saat ini terlihat belum ada
ketegasan pemerintah terhadap aturan mengenai rokok. Saat ini
rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan produk tembakau
sebagai zat adiktif bagi kesehatan masih mengalami pembahasan
antardepartemen.

Informasi terakhir yang diterima oleh penulis RPP yang diajukan oleh
Kementerian Kesehatan ini mengalami penolakan dari kementrian lain
terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Pertanian. Hal ini yang menjadi dilema bagi Kementerian
Kesehatan karena RPP tersebut merupakan turunan dari UU Kesehatan No
36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif
bagi Kesehatan.

Hal yang sama dialami undangundang penanggulangan dampak produk
tembakau terhadap kesehatan (UU-PDPTK). Undangundang ini sudah masuk
ke dalam prioritas Prolegnas 2009-2014. Isi undang-undang ini
diharapkan membawa perubahan positif terhadap dampak merokok. Tetapi,
hingga akhir tahun 2010 tidak ada pengesahan dari paripurna DPR
meskipun secara substansi sudah tidak ada masalah. Ada beberapa hal
yang mungkin menjadi penghalang.

Salah satunya adalah penolakan yang amat kuat dari kalangan industri
rokok secara masif dengan cara mengerahkan massa untuk menolak
pembahasan undang-undang ini. Beberapa fraksi di DPR RI pun ikut
melakukan penolakan kuat. Mereka ini mengkhawatirkan dampak negatif
terhadap ekonomi dan industri jika undang-undang ini jadi disahkan,
yang sebenarnya jika merujuk pada data-data di atas tak
mengkhawatirkan sama sekali.

Selain itu, kita semua tahu salah satu kendala dalam terbentuk hingga
disahkannya sebuah undangundang di DPR adalah birokrasi yang rumit.
Jadi sekarang kita tinggal lihat bagaimana DPR dan pemerintah agar
bisa berperan untuk segera menyelesaikan aturan tersebut mengingat
dampak yang berbahaya terutama bagi generasi muda. Tentunya, pihak
pemerintah juga harus memberikan solusi yang terkait dengan kalangan
industri, buruh, dan petani terhadap dampak yang ditimbulkan oleh
regulasi rokok.

Kementrian Pertanian misalnya sudah memberikan alternatif bagi para
petani tembakau yang ingin menanam tanaman semusim yang memiliki nilai
jual sebanding dengan tanaman tembakau jika ingin dilakukan substitusi
tanaman. Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, maupun
Kementeerian Keuangan sebaiknya memikirkan untuk menaikkan harga cukai
rokok sehingga nilai profit menjadi lebih tinggi tanpa harus
meningkatkan produksi rokok.

Karena dengan naiknya harga rokok,segmentasi rokok diubah dari
mayoritas kalangan kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke
atas tanpa harus kehilangan keuntungan perusahaan karena sifat rokok
bagi penggunanya adalah inelastis. Pengawasan dari Kementerian
Kesehatan terhadap iklan rokok dan penjualan rokok di tingkat anak
remaja juga harus kuat sehingga aturannya menjadi efektif dan dampak
dari merokok bisa benar- benar diminimalisasi. Mudahmudahan harapan
sebagian rakyat Indonesia untuk bisa terbebas dari jeratan rokok bisa
segera terealisasi dengan disegerakannya regulasi tentang rokok.(*)

Satria Pratama
Dokter Spesialis Paru,
Mahasiswa S3
Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377395/

Inpres Antimafia Hukum

DALAM minggu ini ada dua peristiwa besar terkait penanganan kasus
mafia hukum Gayus Tambunan. Senin (17/1),Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengeluarkan instruksi lisan untuk tuntasnya kasus
Gayus.

Dua hari kemudian,Rabu (19/1),vonis Gayus dibacakan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.Pascaputusan tersebut Gayus mengeluarkan
pernyataan yang hingga kini terus meramaikan diskusi publik. Saya
tidak ingin mendedikasikan ruang kolom yang sangat berharga ini untuk
menuliskan tuduhan-tuduhan Gayus yang tak berdasar. Terlebih Satuan
Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum telah mengklarifikasi tuduhan
tersebut dengan bukti dan data otentik dalam siaran pers pada Rabu
yang sama.

Saya akan fokus kepada instruksi Presiden SBY, yang pastinya lebih
bermanfaat untuk mengungkap tuntas mafia pajak dan mafia peradilan
terkait Gayus Tambunan. Instruksi Presiden lisan dalam Sidang Kabinet
terbatas pada hari Senin itu telah diterbitkan dalam Inpres Nomor 1
Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum yang Berkaitan
dengan Penyimpangan Pajak–kasus Gayus Tambunan termasuk di dalamnya.
Inpres berlaku sejak 17 Januari 2011.

Di dalamnya ada 12 instruksi, sebagian besar sudah diulas dalam banyak
pemberitaan. Saya akan menambah titik tekan pada beberapa instruksi.
Pertama, Presiden SBY dengan jelas membuka ruang kepada KPK untuk
masuk dalam penanganan kasus Gayus. Taufiequrachman Ruki, dalam satu
talk show dengan saya mengatakan, Presiden memang tidak dapat
menginstruksikan KPK—sebagai lembaga negara yang independen—namun
dengan mengatakan KPK lebih dilibatkan Presiden sudah membuka pintu
lebar-lebar bagi KPK untuk masuk.

Tentu ini menjadi tantangan sendiri bagi KPK untuk menjawab tingkat
kepercayaan publik yang paling tinggi,di antara semua penegak hukum.
Masuknya KPK dalam kasus ini selain merupakan peluang, juga perlu
diantisipasi kemungkinan gesekan, utamanya dengan kepolisian. Karena
itu pilihan model penanganannya bukanlah ”pengambilalihan”. Meski KPK
mempunyai kewenangan untuk mengambil alih penanganan suatu kasus
korupsi, dalam praktiknya hal demikian jarang sekali dilakukan oleh
KPK.

Karenanya, instruksi lebih mendorong KPK untuk memeriksa kasus-kasus
yang belum tuntas ditangani kepolisian.Apalagi perkara yang belum
tuntas itu, menurut analisis saya, justru inti tindak pidana korupsi
yang belum terungkap. Instruksi selanjutnya yang menarik adalah
diperintahkannya audit kinerja dan audit keuangan kepada lembaga-
lembaga penegak hukum.Perintah ini sangat penting untuk memberantas
praktik korupsi peradilan (judicial corruption) atau lebih populer
disebut mafia peradilan.

Saya berpendapat, audit kinerja lebih mengarah pada kinerja
institusional; sedangkan audit keuangan lebih mblejeti kekayaan
personal lembaga dan aparat penegak hukum. Melalui audit kinerja pada
ujungnya dapat dilakukan pembenahan sistem yang lebih antimafia
hukum.Misalnya bagaimana alur manajemen perkara yang lebih imun dari
virus mafioso. Sedangkan melalui audit kekayaan, langkah lanjutan
berupa penindakan hukum kepada pejabat yang mempunyai harta dari hasil
korupsi,wajib ditegakkan.

Untuk membuktikan kekayaan yang diperoleh secara korup, pembuktian
terbalik menjadi metode yang layak digunakan, sebagaimana
diperintahkan dalam inpres tersebut.Memang ada perdebatan hukum
tentang efektivitas aturan pembuktian terbalik yang saat ini ada di
dalam Undang-Undang (UU) Antikorupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian
Uang, namun kita harus memaksimalkan regulasi yang tersedia, ketimbang
memubazirkannya karena alasan aturannya belum sempurna.

Dalam rapat kabinet terbatas, Senin lalu,saya senang mendengar Jaksa
Agung telah dan akan menggunakan metode pembuktian terbalik tersebut,
khususnya dalam menangani perkara korupsi dan money laundering. Namun,
pembuktian terbalik sebagai salah satu upaya pengembalian aset—
utamanya hasil korupsi— adalah pekerjaan yang hasilnya baru akan
terasa dalam jangka panjang. Karena itu, Presiden memerintahkan dalam
jangka waktu seminggu sejak inpres dikeluarkan, harus ada tindakan
administrasi dan disiplin kepada semua pejabat yang nyatanyata
melakukan penyimpangan, pelanggaran, dan kejahatan.

Khusus untuk pelaku kejahatan,selain tindakan administrasi berupa
pencopotan atau pemecatan, proses agar tindak pidananya juga perlu
dilakukan. Last but not least, untuk memastikan agar inpres ini
berjalan dengan efektif,Presiden menerima usul perlunya monitoring &
evaluation. Karena itulah Wakil Presiden diberi kewenangan untuk
memimpin pengawasan, pemantauan,dan penilaian dengan dibantu oleh
Satgas.

Tentu saja bagi saya dan tim Satgas, instruksi Presiden ini merupakan
kehormatan dan kebijakan Presiden yang tegas untuk membela semangat
antimafia hukum di tengah-tengah derasnya arus desakan pembubaran
Satgas. Segera setelah inpres, Satgas sudah melakukan koordinasi
dengan berbagai kalangan. Utamanya dengan Wakil Presiden dan
KPK.Diskusi intensif terus dilakukan agar koordinasi dan gotongroyong
mengungkap kasus Gayus ini dapat efektif dijalankan.

Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk bermain-main dengan kasus hukum
yang telah menyandera kita selama hampir satu tahun terakhir. Kasus
Gayus harus tuntas. Yang bersalah harus bertanggung jawab di hadapan
hukum dan divonis seberat-beratnya sesuai dengan kesalahannya.
Akhirnya, proses perjuangan penuntasan kasus mafia pasti ada lika-
likunya, termasuk kemungkinan mafia fights back. Itu semua adalah
risiko juang yang harus dihadapi sebagai konsekuensi. Tetap doa and do
the best. Keep on fighting for the better Indonesia.(*)

DENNY INDRAYANA
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377433/

Korupsi Dana PNPM Mandiri Meningkat

JAKARTA (SINDO)– DeputiVIIMenko KesraBidangKoordinatorPenanggu
langan
Kemiskinan Sujana Ruyat mengatakan,sejak 2007–2010 korupsi dana
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mengalami
peningkatan.

Menurut dia, jumlah dana PNPM Mandiri yang sudah dikorup sejak 2007–
2010 mencapai Rp110 miliar. Namun, secara statistik angka korupsi di
PNPM Mandiri hanya 0,1% jika dibandingkan dengan tingkat korupsi
lainnya.Penyalahgunaan dana PNPM Mandiri tidak dilakukan oleh oknum
dalam birokrasi pemerintah. Biasanya penyalahgunaan dilakukan oleh
fasilitator lapangan dan masyarakat sendiri.”Itu dilakukan oleh
masyarakat sendiri,” ungkap Sujana di Jakarta kemarin.

Menurut Sujana, pihaknya tidak akan main-main lagi dan akan menindak
tegas siapa pun yang melakukan korupsi di PNPM Mandiri. ”Jika ada yang
ketahuan melakukan tindakan korupsi terhadap dana PNPM, baik itu
dilakukan oleh oknum dari pemerintah maupun masyarakat, maka akan
diproses secara hukum.Kami tidak akan toleran lagi terhadap pelaku
korupsi di PNPM Mandiri,”tegasnya. Untuk menindak pelaku penyelewengan
dana PNPM Mandiri, pihaknya akan konsentrasi pada pemberian efek jera
terhadap pelaku sesuai hukum yang berlaku.

Di samping itu, dia meminta kepada sejumlah pihak seperti
kepolisian,pemerintah daerah, beserta masyarakat, untuk ikut membantu
memberikan pengawasan terhadap penggunaan dana PNPM Mandiri yang
disalurkan kepada masyarakat. Hal yang terberat dalam pelaksanaan PNPM
Mandiri, lanjut Sujana, bukan hanya pada sistem pengawasannya, tetapi
sikap permisif masyarakat yang melakukan pembiaran terhadap pelaku
penyalahgunaan dana hanya karena yang melakukan adalah tetangganya
atau tokoh yang disegani di daerah setempat.

”Ke depan diharapkan dengan bantuan dari sejumlah pihak dalam
mengawasi proses penyaluran dan penggunaannya, korupsi dana PNPM
Mandiri tidak ada lagi,”ujar Sujana. Dia menambahkan,bahwa pada 2011
anggaran dana yang dialokasikan untuk PNPM Mandiri sebesar Rp12
triliun.Jumlah tersebut mengalamipenurunanjikadibandingkan dengan PNPM
Mandiri pada 2010.

”Target pada 2011, kami akan berusaha mengintegrasikan PNPM
Mandiri.Sebab,masih ada sejumlah kementerian yang memiliki program
pemberdayaan yang belum mau diintegrasikan ke dalam PNPM Mandiri. Kami
juga akan terus meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan PNPM
Mandiri,”imbuhnya. Peneliti SMERU Muhammad Syukri menilai, model
pencairan dari pemerintah pusat memang tidak ada masalah tetapi proses
pencairan di tingkat daerah terhadap kelompok penerima bantuan sangat
rentan dimanipulasi, terutama terkait syarat penerima dana PNPM
Mandiri.

”Proses pencairan memerlukan perhatian secara serius dan teliti,
jangan sampai terjadi manipulasi data kelompok penerima,”terangnya.
Tak hanya itu,menurut Syukri, program PNPM Mandiri dalam konteks
pembangunan infrastruktur seperti pembangunan sekolah, jalan, dan
jembatan belum berdampak secara langsung pada upaya pengentasan rakyat
miskin.Bahkan, pemberian PNPM Mandiri hanya berdampak pada masyarakat
yang tinggal di daerah, itu pun belum bisa dikatakan berhasil. (andi
setiawan)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377410/

"Dua Indonesia"

KOLOM POLITIK-EKONOMI



BUDIARTO SHAMBAZY

Rakyat telah berpaling ke tokoh lintas agama karena aspirasi mereka
tidak lagi tersalurkan melalui DPR, partai-partai—kecuali kelompok
oposisi—atau para politisi. Daftar 18 kebohongan pemerintah plus data
yang disiapkan badan pekerja akurat adanya.

Tolong dipahami tokoh lintas agama tidak memiliki kepentingan politik
transaksional. Fungsi utamanya, seperti kata Buya Syafii Maarif,
mengingatkan pemimpin/pejabat/politisi yang ”merasa benar walaupun
berada di jalan yang sesat”.

Pesan sentral/esensial pernyataan-pernyataan tokoh lintas agama: kini
terjadi pengingkaran UUD 1945 di bidang ideologi, sosial, politik,
ekonomi, hukum, dan lain-lain.

Dua immediate problem yang mengingkari UUD 1945, yaitu Gayusgate dan
Centurygate. Belum lagi masalah laten, seperti pemberantasan korupsi
yang tebang pilih, rekening gendut jenderal-jenderal polisi,
kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan intoleransi agama.

Pemerintah tersentak, tersinggung, reaktif, defensif, bahkan terkesan
panik. Istana segera mengundang tokoh lintas agama, langkah awal untuk
saling dialog yang, sayangnya, kurang cair, serba protokoler, dan
tertutup.

Masuk akal sebagian masyarakat kecewa karena pola komunikasi Istana
belum juga berubah. Sebagian menganggap barangkali pertemuan itu masih
ada manfaatnya. Sebagian lagi tak peduli.

Idealnya, tokoh lintas agama mengundang Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk dialog (bukan monolog) yang cair dan informal. Lebih
ideal lagi dialog berlangsung terbuka dan disiarkan langsung agar
rakyat dapat menyaksikan.

Kita perlu konsensus baru agar pemerintah berjalan selamat sampai
tahun 2014. Di lain pihak, ada rasa khawatir akan terjadi gejolak
politik yang hasil akhirnya bisa tidak terkirakan oleh siapa saja.

Sebagian kritik tokoh lintas agama menyebut ancaman kita memasuki
periode negara gagal. Sejatinya negara dan bangsa belum gagal. Namun,
para pemimpinlah yang gagal.

Kita memasuki proses pembusukan politik (political decay) yang diawali
oleh legitimasi Pemilu/Pilpres 2009 yang disengketakan sampai ke
Mahkamah Konstitusi. Setelah itu terjadi peristiwa sosial dan politik
yang absurd, yaitu cicak vs buaya, Centurygate, rekening gendut,
Gayus, serangan terhadap kebinekaan, dan seterusnya.

Kita menunggu-nunggu penyelesaian berbagai masalah. Namun, yang
terjadi malah penantian sia-sia yang membuat masyarakat otomatis
kehilangan harapan. Kita malah menyaksikan sinetron politik yang tidak
lucu yang dimainkan oleh pemimpin dan politisi amatiran.

Pembusukan politik itulah yang menjadi ancaman karena sejatinya
pembusukan politik akan dilanjutkan oleh proses delegitimasi pemegang
kekuasaan, dan itu sudah terjadi di berbagai kalangan masyarakat yang
makin hari makin dipusingkan oleh frustrasi sosial.

Memang sejak 2009 pemimpin, pejabat, dan politisi bangsa ini
kehilangan akal sehat, hati nurani, dan budi pekerti. Kita tidak lagi
menaungkan diri pada kebajikan-kebajikan (virtues) sebagai bangsa
besar, seperti sikap patriotis, asas musyawarah mufakat, demokratis,
dan religius.

Penguasa selalu merasa benar, padahal keliru. Mereka enggan berdialog,
hanya kuat bermonolog untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan semata.
Nyaris tidak ada deal politik transformatif yang mencerahkan. Semuanya
bersifat transaksional belaka.

Mereka abai terhadap penderitaan rakyat. Pada saat pengemplangan pajak
merugikan negara sampai triliunan rupiah, mereka bicara tentang
rencana memajaki warung tegal.

Ketika Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara yang mengalami
kelaparan pada tingkat yang gawat, DPR sudah menghabiskan uang
konsultasi Rp 18 miliar untuk membangun gedung baru. Belum-belum sudah
bicara Pemilu/Pilpres 2014 yang jelas politically incorrect and
morally wrong.

Tampak jelas mulai muncul tabiat negara yang mengabaikan nasib rakyat
miskin yang butuh pelayanan publik memadai, fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang terjangkau, serta tempat tinggal yang nyaman. Pendek
kata, mereka sudah kehilangan elan untuk mengemong rakyat.

Mungkin tepat sekali jikalau kata ”mafia” kini telah merasuki alam
pikiran dan praksis kita. Ternyata pemegang kekuasaan di negeri ini
bukan pemerintah, daulat juga bukan lagi milik rakyat. Kedua-duanya
sudah dikuasai mafia.

Mafia adalah dunia bawah tanah yang gelap, sumpek, dan kurang waras.

Jika diibaratkan, mafioso tak lebih dari sekadar makhluk bernama ”Uruk-
hai” di film The Lord of the Rings yang berasal dari bawah tanah yang
gemar memangsa manusia biasa.

Jangan heran dalam kondisi berbahaya ini tokoh lintas agama turun
tangan untuk mengambil alih peran memimpin bangsa. Mereka sama seperti
mahasiswa pada 1998 yang menjadi the higher power yang menentukan apa
yang akan terjadi ke depan.

Sudah tepat jika tokoh lintas agama mengintroduksi kata ”pengingkaran
UUD 1945” yang dibalut erat dengan satu kata yang teramat penting:
bohong. Kata itu benar adanya dan berkhasiat agar kita jangan terus
saja meracau dan merana.

Kita sedang menjalani kisah tentang ”Dua Indonesia” karena elite yang
memerintah (the ruling elite) telah menarik garis berseberangan dan
nekat bertentangan dengan rakyatnya. Satu Indonesia yang bergelimang
rekening-rekening miliaran rupiah versus satu Indonesia yang mau
bekerja dan makan saja susah.

Satu Indonesia yang menutup telinga versus satu Indonesia yang
berteriak nyaring menuntut hak-haknya. Satu Indonesia yang
mempermainkan agama versus satu Indonesia yang merindukan kejayaan
bendera dwiwarna.

Satu Indonesia yang bekerja mati-matian versus satu Indonesia yang
enggan menyingsingkan lengan baju karena lebih doyan berwacana. Satu
Indonesia yang sudah terlalu boros dengan tabungan politiknya versus
satu Indonesia yang telanjur putus asa.

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/03302619/dua.indonesia

Polisi Zaman Kumpeni

Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi,
dan Hoegeng.

DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa
kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi
barang langka. Benarkah demikian?

Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang
keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut,
hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga
kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang
kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping
ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.

Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja
polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah”
saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara.
Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan
manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah
benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?

Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di
Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda,
menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia
Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman
lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak
awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada
1942.

Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung
dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai
membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena
bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat
di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas
kulit putih.

Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi
pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan
tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi
kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di
Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit
pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda
mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya.
Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa
urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan)
negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status
quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.

Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian.
Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat
tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan
masyarakat akan rasa aman.

Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri
induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di
negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak
ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana
seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota
kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96
persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian
besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai
petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam
struktur kepolisian yang hierarkis.

Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi
yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid
Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari
pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu
menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester,
untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat
kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah
yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.

Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan
dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu
dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud
dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah
kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu
menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan
yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.

Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda
melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup
memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi
kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi
kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar
ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.

Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni
2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang
dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja
kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.

Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun
ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan
dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas
yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah
gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari
Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang
dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual.
Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap
homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian
kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka
memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.

Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt
sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan
kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini
praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang
bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde”
atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya
telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman
kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan
politik dan polisi moral. Peran yang luas dan menggurita itu membuat
sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi
(politiestaat).

Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil
memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian
modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan
holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di
masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku
Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit
Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana
dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga
kepolisian dari beragam perspektif keilmuan. [BONNIE TRIYANA]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-398-polisi-zaman-kumpeni.html

Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965

KABAR KONFERENSI HARI I



Rekonsiliasi sebuah keniscayaan untuk Indonesia tapi tak mudah
mewujudkannya

Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan
rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga
kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai
upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani
dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya
oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini.

Tentu tidak adil membandingkan upaya dan hasil rekonsiliasi kedua
negara. Meskipun sama-sama bekas negara jajahan, Indonesia dan Afrika
Selatan punya banyak perbedaan. Dalam banyak hal, Indonesia jauh lebih
beragam dibanding Afrika Selatan. Yang tidak kalah penting adalah,
pemahaman terhadap Peristiwa 1965 sendiri.

Sebagaimana berwarnanya kehidupan yang dimiliki Indonesia, masalah
1965 pun sangat berwarna sudut pandang dan penafsirannya. Peristiwanya
sendiri pun sangat kaya warna kepentingan. Tidak hanya kepentingan-
kepentingan dari dalam negeri, dari luar negeripun turut serta,
berkait kelindan.

Konteks perpolitikan global dekade 1960-an yang diwarnai oleh makin
meningginya intensitas Perang Dingin, jelas sangat berandil terhadap
kondisi perpolitikan di Indonesia. Kedua blok berupaya mempengaruhi
Indonesia menjadi sekutunya. Berbagai upaya terus mereka lakukan.

Bagi Indonesia sendiri, kemerdekaan dari “cengkeraman” kedua blok
tetap masih kuat. Presiden Sukarno yang sejak Juli 1959 menjadi
semakin kuat, terus mencoba menjaga keseimbangan posisi Indonesia.
Sukarno bahkan menggalang negara-negara baru untuk membentuk blok
tersendiri di luar Blok Barat dan Timur. Bersama PM Nehru (India),
Marsekal Tito (Yugoslavia) dan beberapa tokoh negara-negara dunia
ketiga lain, Sukarno berhasil membentuk Non Blok. Sepakterjangnya di
pentas perpolitikan global kian menguat. Sukarno terus mengupayakan
terbentuknya satu tatanan global yang baru. Soekarno terus membangun
kesan sebagai motor terwujudnya dunia baru. Selain Ganefo, “Ganyang
Malaysia” menjadi salah satu kampanye terpopuler Sukarno saat itu.

Bagi Barat, upaya pengencangan pengaruh kepada Indonesia makin
penting. Melalui jenderal-jenderal di Angkatan Darat dan beberapa
intelektual, kerjasama terus mereka upayakan. Bantuan juga terus
mereka kucurkan –dan yang lebih besar tetap mereka janjikan. Mereka
juga aktif merekayasa berita. Inggris melakukannnya dengan tujuan
untuk membuat situasi jadi chaos. Dengan begitu, “Ganyang Malaysia”
bisa dilupakan. Sedangkan AS, selain tetap tidak menginginkan
Indonesia jadi komunis, juga tetap ingin mengendalikan sumber daya
alam Indonesia yang begitu melimpah.

Halangan terbesar bagi Barat dalam mewujudkan kepentingannya, tentu
saja Sukarno dan PKI. Tidak bisa tidak, keduanya harus disingkirkan.
Mereka terus memanfaatkan orang-orang yang berseberangan dengan
Sukarno dan PKI, terutama yang di Angkatan Darat. Mereka juga terus
menunggu momentum yang tepat.

Dalam periode yang sama, perpecahan antara Soviet dan China terjadi.
China tidak ingin kekuasaan terpusat di Moscow saja. Selain itu, China
menganggap dirinya merupakan satu kekuatan tersendiri. Soviet
terancam. Baginya, ancaman dari China jauh lebih penting diperhatikan.

Indonesia yang awalnya condong ke blok Timur, terpaksa harus lebih
keras menjaga keseimbangan terhadap kedua negara itu. Ada kalanya
Indonesia lebih “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih
“romantis” dengan China. Dan, “mereka saat itu berhasil mengatur hal
tersebut,” tulis Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold
War”, yang dipresentasikan pada Konferensi internasional “Indonesia
and the World in 1965” yang dihelat dari 18 -21 Januari 2011. Dan, “di
situlah PKI memainkan peran, PKI lebih condong ke China,” tulis
Schafer.

Kondisi dalam negeri Indonesia sendiri terus memanas sejak kabar
sakitnya Sukarno tersiar luas. Pihak-pihak yang berada di sekitar
Sukarno mulai resah mengenai siapa penggantinya. Yang juga tidak kalah
penting, perekonomian nasional terus memburuk hari demi hari. Inflasi
membumbung hingga 600 persen. Pemotongan nilai uang terpaksa
dilakukan. Pihak-pihak yang tidak puas kepada Sukarno terus
memanfaatkan momentum tersebut untuk terus merongrong Sukarno. Dari
dalam, terutama perwira-perwira di AD terus bermanuver. Dari luar, AS
pun makin aktif mengontak orang-orangnya –ini dibuktikan dari
banyaknya dokumen yang kemudian ditemukan. Lalu ada China yang
memanfaatkan hubungan partai komunisnya dengan PKI. Sementara Soviet
sendiri hubungannya dengan Indonesia kian menurun semenjak Indonesia
lebih condong ke Peking. Ketika G30S pecah, sebagaimana ditulis Ragna
Boden dalam “The Soviet Union and the Gestapu Events” yang
dipresentasikan, Soviet hampir tidak memiliki keterlibatan. “Dukungan
Soviet kepada PKI itu tidak bersifat resmi. Jadi reaksi pada saat itu
bersifat oportunistik,” tulis Boden.

Pecahnya G30 menjadi titik balik bagi kekuatan-kekuatan utama di dalam
segitiga politik Indonesia saat itu –PKI, Sukarno, dan Angkatan Darat
– dan juga banyak orang di tingkat bawah. PKI dipecundangi, Sukarno
disingkirkan, dan Angkatan Darat memegang kendali kekuasaan.

Orang-orang yang terkait atau yang dikaitkan dengan PKI, lalu diburu
dan ditangkapi. Partainya dibubarkan dan jutaan dari anggota atau
simpatisannya dibunuh atau hilang tanpa pernah diadili. Momen tersebut
juga dijadikan ajang balas dendam orang-orang yang tidak suka kepada
PKI atau dalam banyak kasus, ajang fitnah. Sebagaimana dikatakan
Baskara T. Wardaya, perintah pembunuhan datang dari atas. Pembantaian
terhadap mereka menjadi peristiwa berdarah terkelam dalam sejarah
perjalanan Republik.

Apa yang terjadi pada 30 September (dini hari 1 Oktober) dan
pembantaian massal yang mengikutinya, menurut John Roosa merupakan dua
hal yang berlainan. Dalam paper-nya, “Soeharto, Faust, Yudhisthira and
the Killing of Prisoners”, Roosa tetap ingin mempertahankan argumennya
bahwa G30S merupakan dalih untuk membantai para anggota PKI dan mereka
yang dituduh PKI.

Pemahaman lebih jernih atas kedua peristiwa tersebut bagi Roosa sangat
penting. Sebab, hingga kini banyak hal yang belum bisa kita pahami.
Tujuannya, untuk mencapai harmonisasi antara internal-internasional.
“Dikotomi tersebut,” jelas Roosa, “tidak bisa kita tiadakan, tetapi
kita bisa memandangnya lebih terstruktur.”

Demikian antara lain benang merah konferensi hari pertama “Indonesia
and the World in 1965”, yang dihelat di Goethe Institute Jakarta.
Dalam konferensi hari pertama ini, pemakalah yang hadir adalah, Bernd
Schafer dengan makalah “The Setting of the Cold War”, Baskara T.
Wardaya dengan makalah “The 1965 Massacre in Indonesia and Its
Context, John Roosa dengan makalah “Soharto, Faust, Yudhisthira and
the Killing of Prisoners”, Bradley Simpson dengan makalah Introductory
lecture ‘International Dimensions of the 1965-66 Killings in
Indonesia’”, Yosef Djakababa, Ragna Boden dengan makalah “The Soviet
Union and the Gestapu events”, Susanto Pudjomartono.

Sementara itu pada sesi kedua, yang menghadirkan pemakalah Jovan
Cavoski dengan makalah “On the Road to the Coup: Indonesia between the
Nonaligned and China, 1955-1965”, dan Natalia Soebagjo, antara lain
mengetengahkan keterlibatan China yang masih misterius. Sebagaimana
yang umum diketahui, pra G30S Aidit dan beberapa pimpinan PKI
berkunjung ke China. Oleh lawan politiknya, itu dijadikan dalih
sebagai bukti bahwa China memang resmi mendukung. Salah satu bukti
dalih mereka yang sebetulnya rumor, China pernah mengirimkan bantuan
untuk membantu PKI. “Selama arsip-arsip pemerintah China dan Indonesia
tidak dibuka, maka kita tidak akan bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini.”[TIM MAJALAH HISTORIA ONLINE]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-404-menjernihkan-pemahaman-tragedi-1965.html

Kriminal atau Pahlawan

Jakob Sumardjo

Indonesia gudangnya cerita absurd, paradoks, dan irasional. Kita
sekarang tahu negeri ini semakin merosot justru karena pengelola
negara semakin kaya dengan kekayaan yang juga absurd.

Bayangkan seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan
diri mendidik para sarjana selama 40 tahun! Ia mendapatkan pesangon
pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta.
Bandingkan dengan seorang pegawai pajak berusia 30 tahun yang berhasil
meraup uang negara puluhan—mungkin ratusan—miliar rupiah dan dihukum
tujuh tahun penjara. Belum lagi ribuan cerita absurd lain di negeri
ini.

Benarlah cerita pendek Somerset Maughan tentang belalang yang rajin
dan belalang yang malas menghadapi musim dingin. Tak usah rajin
bekerja di republik ini sebab para pemalas yang akan menikmati kerja
keras orang lain. Para pemalas itu bisa berstatus pejabat apa pun. Tak
mengherankan bahwa banyak kandidat pejabat yang rela menjual sawah,
ternak, bahkan rumah buat merintis jalan menduduki kursi jabatan.

Jabatan adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan yang tak terkontrol siapa
pun, meski tersedia lembaga kontrol, Anda akan jadi despot gurem yang
cukup ampuh menilep hasil kerja keras belalang-belalang bodoh yang
masih percaya kisah moral macam itu.

Kekuasaan tidak bermoral

Rakyat negeri ini dikenal dan mengaku diri religius serta menjunjung
tinggi moral. Namun, apabila kekuasaan sudah tak bermoral, orang-orang
baik menjadi orang-orang bodoh. Di tengah belalang bodoh semacam itu,
si jahat bebas melakukan hukumnya sendiri yang berbalikan dengan
moralitas.

Terjadilah hukum terbalik di Indonesia: yang kerja keras tetap miskin,
yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur
selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah
kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.

Hukum terbalik inilah yang membuat negara dan bangsa bukan berjalan
maju, melainkan berjalan mundur. Bukan tak ada menjadi ada, tetapi
dari ada semakin tak ada. Indonesia pun menjadi tidak-Indonesia.

Hukum terbalik Indonesia ini hanya dapat dikembalikan dengan hukum
kewarasan kembali, yakni yang ditindas menjadi penindas, yang miskin
menjadi kaya dan yang kaya dimiskinkan, yang profesional mengganti
yang amatir, yang kriminal adalah kriminal, dan yang pahlawan adalah
pahlawan. Belalang rajin makan saat paceklik serta belalang malas dan
bodoh akan kelaparan.

Sekarang ini absurditas masih realitas bahwa kriminal adalah pahlawan
bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal. Negara ini
sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk
penjara, justru menjadi para pahlawan bangsa. Apa beda antara pahlawan
dan kriminal?

Logika sekarang menyatakan: tidak ada bedanya. Semakin Anda brutal
dalam kriminal, dan dengan demikian kaya raya, Anda akan mendapatkan
pemuja-pemuja. Mereka bagai anjing-anjing yang setia menanti remah-
remah kriminalitas Anda.

Itulah sebabnya, para syahid korban kriminal ini menjelang kematian
tidak mau dikuburkan di taman makam pahlawan. Taman makam pahlawan
telah menjadi taman kriminal. Kalau mau menengok kuburan orang-orang
syahid Indonesia, lebih baik pergilah ke kuburan-kuburan rakyat
jelata, korban dari para pahlawan bangsa sekarang ini.

Semar gugat

Ada cerita dalam wayang Jawa tentang Semar gugat. Tokoh yang dipuja
orang Jawa ini hanyalah abdi atau hamba para kesatria Pandawa.
Wujudnya paradoks, lelaki tetapi ditampilkan berpayudara seperti
perempuan dalam fisiknya yang kebulat-bulatan. Dia adalah wakil rakyat
kecil. Namun, sebenarnya Semar yang juga bernama Ismaya atau Maya
adalah saudara kembar Manik atau Batara Guru yang berkuasa atas dunia
dan isinya.

Dalam cerita itu, Batara Guru sering memutuskan secara tidak adil
nasib manusia. Kita lihat bahwa para dewa saja bisa tidak adil,
apalagi dewa-dewa Indonesia sekarang. Melihat para majikan Semar
diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru, Semar marah besar. Pandangan
matanya yang senantiasa berair dan kabur itu tiba-tiba mengalirkan air
mata terus-menerus. Perutnya menjadi mual dan kembung oleh
ketidakadilan sehingga kentut terus-menerus.

Bau kentut Semar bisa membuat mabuk para dewa, bahkan mematikannya.
Semar, yang hamba dina ini, akan naik ke swargaloka untuk menghajar
kembarannya, Batara Guru. Dengan mudah sang dewa penguasa itu dibekuk,
minta ampun, dan akhirnya berjanji akan berbuat adil.

Para guru besar, pengusaha jujur, atau petani yang keras bekerja di
terik matahari adalah Semar. Mereka cuma hamba-hamba pelayan
masyarakat yang telah lama diperlakukan tak adil oleh para dewa
kriminal.

Mata mereka tak rembes alias berair dan tak bisa kentut. Namun, mereka
adalah kekuatan terpendam: bisa marah seperti Semar berkulit hitam
legam. Si hitam ini akan mampu membekuk Batara Guru yang kuning.

Yang kuning dijadikan hitam dan yang hitam menjadi kuning. Hukum
terbalik itu sudah kodrati, tak bisa dihindari seperti hukum kematian
manusia. Begitu juga kriminal tak selamanya pahlawan.

Negeri ini tinggal tunggu waktu kapan jam 12 malam akan tiba, saat
Semar dan anak-anaknya muncul di layar wayang. Itulah saat Semar
menggugat kekuasaan yang sungsang terbalik ini.

Jakob Sumardjo Esais

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/0445175/kriminal.atau.pahlawan

Percaya Sama Ucapan Gayus Golkar Kalah Pemilu 2014

RUHUT SITOMPUL


RMOL.Partai Golkar bakal kandas Pemilu 2014. Sebab, partai yang
dikomandoi Aburizal Bakrie itu percaya terhadap ucapan Gayus Tambunan
seusai vonis terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Rabu (19/1).

“Siapa pun yang percaya Ga­yus, apalagi partai politik, tanda-tandanya
partai itu tidak akan menang Pemilu 2014,” kata Juru Bicara Partai
Demokrat, Ruhut Sitompul, kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Soalnya, kata anggota DPR itu, Gayus itu seorang terpidana ka­sus
pajak kelas kakap yang telah mengelabui banyak lem­baga di negeri ini.
Seenaknya saja keluar masuk penjara, bahkan bisa ngacir ke luar
negeri.

“Gayus itu tidak disukai rakyat. Jadi, kalau Golkar percaya sama
ucapan Gayus, partai itu tidak bakal dapat simpati rakyat. Jadi, bakal
kalah dalam Pemilu 2014,’’ ucapnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa Anda begitu senti­men terhadap Partai Golkar?

Ini bukan sentimen, tapi pre­diksi. Tapi diyakini begitu fakta­nya
nanti. Golkar kan percaya ucapan Gayus, lalu berencana mau menggugat
Satuan Tugas Pembe­rantasan Mafia Hukum (Satgas PMH). Itu berdasarkan
ucapan Gayus. Ini tentu tidak mendapat simpati rakyat. Sebab, rakyat
itu merasa gemes, sebel, dan marah terhadap Gayus yang begitu gam­
pangnya memper­main­kan aparat hukum di negeri ini.

Jadi Anda lebih percaya Sat­gas begitu?

Ya dong. Su­dah jelas ter­pi­dana be­gitu, dan banyak aparat yang
‘dimainkannya’. Ini berarti dia itu licik dan lihai. Padahal, dia kan
sudah jelas bersalah dalam kasus pajak. Gayus juga bukan whistle
blower, tak perlu ada pengam­punan, terang-terangan rampok kok. Saya
sangat percaya 100 per­sen terhadap Satgas. Saya malah sangat sedih
lihat orang yang percaya sama ucapan Gayus.

Kenapa Anda be­gitu per­caya sama Satgas?

Orang-orang di Sat­gas itu kan punya in­tegritas yang memiliki rasa
nasionalisme terhadap bang­sa ini, makanya bersedia mengab­di di
Satgas. Sedangkan Gayus kan sudah jelas terpidana. Jadi, sangat jelas
perbedaannya kan.

Lagipula, saya tidak bisa keba­yang kalau tidak ada Satgas PMH dalam
hal ini Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa. Bisa kebayang nggak,
Gayus nggak bisa dibujuk pulang ke tanah air. Gayus kan begitu lihai,
saat dita­han saja bisa keluar masuk pen­jara dengan mudahnya. Dia
tidak merasa sedi­kitpun sudah meru­sak citra hukum di negeri ini. Uca­
pan­nya pun berubah-ubah. Masa orang seperti itu di­percaya. Saya
tidak tahu siapa yang mengajari dia mencabut semua omongan­nya setelah
men­jadi terpidana.

Golkar bakal menggugat Satgas, komentar Anda?

Silakan saja. Di situ nanti bakal terbongkar siapa yang se­sungguh­nya
yang benar, Gayus atau Satgas. Bagi saya itu yang menjadi pahlawan itu
adalah Satgas.

Anda ingin mengatakan bah­wa gugatan itu menjadi bu­me­rang bagi
Golkar?

Ya, begitulah. Di situ nanti ba­kal terungkap kejahatan-kejahtan Gayus
lainnya. Ini tentunya membuat rakyat kian sebel dan gemes. Rakyat
sudah teraniaya, sudah bayar pajak, tapi kenapa kok ada 151 perusahaan
yang mem­permainkan pajak. Jadi ba­yangkan berapa triliun kita dirugi­
kan. Lihat, Ibu Megawati saja kecewa dengan putusan itu. Bang Taufik
Kiemas bilang, waduh kalau ada yang percaya Gayus, dia heran.
Bayangkan, Gayus bisa dijadikan pahlawan, amit-amit deh. Maling teriak
maling mau dijadikan pahlawan. Gayus masih menunggu putusan-putusan hu­
kum lainnya seperti film Rambo. Sekarang baru putusan Rambo Jilid I,
nanti masih ada kasus paspor, kasus menyuap polisi, me­nerima hadiah,
dan lainnya. Jadi, hukumannya bisa seumur hidup.

Tapi masa dengan percaya ucapan Gayus, Golkar bisa ka­lah Pemilu 2014?

Bayangkan semua rakyat su­dah muak dengan yang namanya Gayus Tambunan
dan semua rakyat mendukung dan mengelu-elukan Satgas PMH. Saya ini kan
anggota account twitter, semua membela Satgas, tak satupun yang acungi
jempol buat Gayus. Anggota twitter itu kan semua cerdik pandai, tokoh-
tokoh yang mempunyai akar rumput. Mereka semua memuji Denny dan Mas
Achmad Santosa. Jadi, rakyat itu tidak simpati sama partai yang
percaya sama Gayus.

Komisi III DPR akan dengar pendapat dengan institusi ter­kait kasus
Gayus ya?

Kemungkinan Kapolri kita undang. Kemudian karena ada bicara Cyrus,
Jaksa Agung kita undang. Menkumham juga, kalau perlu Ketua Mahkamah
Agung kita undang karena terkait dengan putusan hakim. Begitu juga
Dirjen Pajak yang lama dan baru. Kemudian perusahaan-perusa­haan yang
disebut-sebut itu. Jadi, nanti kita kembangkanlah.

Apakah ada rencana me­manggil Satgas?

Boleh saja. Di situ nanti bisa ditanyai semuanya. Yang jelas, se­ka­
rang ini sadar atau tidak sadar, yang namanya Satgas, khu­susnya Denny
dan Mas Achmad sudah dizholimi dengan orang-orang kalap. Kenapa kalap
karena mereka kebakaran jenggot deng­an instruksi presiden di mana
salah satu butirnya meminta ada pembuktian terbalik. Dan saya anggap
pembuktian terbalik ini ide yang sangat cemerlang. Di sini terlihat,
Pak SBY tidak main-main lagi dengan pencegahan dan pemberantasan
korupsi.

Sekarang silakan ngomong apa saja, tapi ingat ada pembuktian terbalik,
mirip di China yang sangat berhasil memberantas ko­rupsi. Saya sebagai
anggota DPR tinggal perkuat dasar hukum pembuktian terbalik itu.

Dipanggil ke DPR, bukannya Satgas bisa dipermalukan?

Ooo nggak dong. Di situ nanti bisa diungkap semuanya. Bahkan sudah ada
beberapa stasiun tele­visi mau siaran langsung, silakan biar rakyat yg
menilai. Seperti pansus Century. Ibu Sri Mulyani nyatanya diambil oleh
Bank Dunia sebagai orang nomor dua. Sedagkan Pak Boediomo sema­kin
berwibawa menjalankan tugas­nya sebagai wapres. Artinya apa? Rakyat
itu cerdas, dia bisa lihat. Begitu juga nanti, silakan berhadapan
dengan kami-kami yang mendukung Satgas. Ayo, kita adu argumentasi.

Nanti biar rakyat yang menilai permainan ini.

Bukannya malah bisa-bisa makin menguat keinginan DPR agar Satgas
dibubarkan?

Yang ingin Satgas dibubarkan, saya hanya bisa mengatakan ’mimpi kali
yee’ karena ada yang kebakaran jenggot. Saya ingin garisbawahi bahwa
Satgas PMH itu bukan lembaga penegakan hu­kum, tapi keberadaannya
sangat penting.

Coba lihat, Satgas bisa mem­buka kasus Ayin yang memiliki ruangan
mewah di penjara. Ba­nyak prestasi satgas. Yang ter­akhir, mengajak
Gayus Tam­bu­nan dengan cara mereka untuk kembali ke tanah air.
Bayangkan kalau tidak ketemu Satgas di Singapura, maka tidak terbong­
kar kasus ini. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=15834