BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pidato Keadilan dan Pemerataan

Pidato Keadilan dan Pemerataan

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Februari 2011 | 11.51

KOLOM POLITIK-EKONOMI


Andi Suruji

Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto pada 2010 meningkat sebesar 6,1 persen terhadap 2009. Artinya, jauh dari target semula yang hanya 5,8 persen.

Besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2010 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 6.422,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (2000) mencapai Rp 2.310 triliun.

Dari besaran PDB atas dasar harga berlaku tersebut, jika dibagi dengan jumlah penduduk tengah tahun (sesuai dengan teori ekonomi), diperoleh PDB atau pendapatan per kapita penduduk Rp 27,0 juta atau 3.004,9 dollar AS, sementara pada 2009 sebesar Rp 23,9 juta (2.349,6 dollar AS).

Tentu saja angka-angka itu menjadi kebanggaan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Pemerintah bisa mengatakan ”telah berhasil” meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Angka itu cukup bagus walaupun banyak kritik bahwa pemerintah belum melakukan upaya maksimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Artinya, kinerja pemerintah biasa-biasa saja.

Pertumbuhan perekonomian yang diukur dengan PDB itu bisa jauh lebih tinggi lagi andaikan ada program kerja yang masif dan simultan secara besar-besaran sebagai big bang-nya. Tentu saja bukan proyek menara gading, melainkan program yang menyentuh lapisan bawah dengan penghasilan pas-pasan yang jumlahnya banyak sekali.

Ekonom senior Faisal Basri berulang kali menyatakan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen saja, pemerintah tidur pun dapat terjadi. Mengapa? Kontribusi swastalah yang mendongkrak perekonomian menggelinding. Kebutuhan stimulasi dari pemerintah yang cukup signifikan belum tampak juga. Kalaupun pemerintah tidak mampu menstimulasi perekonomian, paling tidak jangan merecoki dunia usaha. Misalnya, perizinan yang seharusnya mudah, ya janganlah menjadi sulit. Pungutan yang tak perlu sebaiknya dihindari. Berikanlah kemudahan dunia usaha bergerak secara luas dengan aturan dan tingkah yang tak macam- macam, seperti dalam hal perpajakan dan aturan ketenagakerjaan.

Akan tetapi, apa arti pertumbuhan ekonomi? Ya, perekonomian Indonesia makin maju. Lihat saja gedung-gedung tinggi menjulang di Jakarta semakin banyak. Kendaraan roda dua ataupun roda empat dari segala macam merek semakin berjejal di jalan-jalan protokol dan di jalan-jalan tikus Jakarta serta kota-kota besar lainnya.

Dua indikator itu memang tidak bohong. Namun, di balik itu, tersisa rasa sesak yang cukup berat manakala kita menelisik lebih jauh dan lebih dalam angka-angka yang dipaparkan di awal tulisan ini.

Apakah betul penduduk Indonesia semuanya berpendapatan Rp 27,0 juta setahun pada tahun lalu? Tentu tidak. Ada segelintir orang kaya raya yang kontribusinya dalam pembentukan PDB bisa mencapai 70-80 persen. Sementara ada orang yang populasinya 80 persen dari jumlah penduduk hanya mampu menyumbang sekitar 20 persen PDB.

Jadi, antarpenduduk ada kesenjangan penghasilan yang sangat lebar. Ada orang yang kaya raya sekali dan ada pula yang sangat miskin. Jangankan berpendapatan 3.000 dollar AS setahun, orang yang masuk kategori berpenghasilan atau berkebutuhan hidup senilai 2 dollar AS per hari (730 dollar setahun), konon masih ada sekitar 100 juta orang.

Jadi, janganlah kita terkecoh dengan angka-angka semacam itu walaupun teori ekonomi memang mengajarkan cara mendapatkan angka pendapatan per kapita tersebut.

Artinya, ada kesenjangan yang sangat lebar. Kata- kata adil, merata, kesejahteraan, dan kemakmuran terasa semakin redup dan sayup-sayup terdengar.

Sektor yang mencatat pertumbuhan tertinggi adalah pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 13,5 persen. Padahal, kita tahu dunia telekomunikasi di Indonesia telah dikuasai pihak asing. Sementara sektor pertanian, yang merupakan ladang kehidupan sekitar 42 juta orang, hanya tumbuh 2,9 persen.

Selain kesenjangan pendapatan antarpenduduk, ketimpangan antarwilayah (struktur perekonomian) dalam perekonomian Indonesia juga terjadi. Betapa tidak, 57,8 persen dari PDB triwulan IV-2010, misalnya, masih merupakan kontribusi Pulau Jawa. DKI Jakarta masih berada di urutan pertama (16,5 persen), disusul Jawa Timur (14,8 persen) di urutan kedua yang telah menggeser peringkat Jawa Barat (14,3 persen).

Tidak heran jika Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, makin sesak dan menjadi tujuan utama arus urbanisasi. Pekerjaan, kehidupan, seolah hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar Jawa lainnya. Secara kuantitatif, kegiatan di sektor sekunder dan tersier masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sektor primer lebih diperankan oleh luar Jawa.

Kalimantan, yang kaya sumber daya alam, hanya berkontribusi 9,1 persen, Sumatera 23,2 persen, dan Sulawesi 4,7 persen. Mana peran Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku?

Selama tidak ada desain besar berjangka panjang yang dirancang dengan visi kuat serta komitmen penuh untuk melaksanakannya, selama itu pula ketimpangan dan kesenjangan akan terus terjadi. Bukannya makin mengecil, justru akan makin menganga kian lebar. Kata adil dan merata sebagai hakikat pembangunan ekonomi akan makin jauh, bahkan mungkin bakal lenyap dalam kamus. Hanya akan ada dalam retorika politis, tak akan pernah terwujud.

Patut dicamkan ungkapan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa sumber utama konflik di masyarakat, dalam bidang apa pun, adalah hanya dipidatokannya keadilan, tanpa bukti nyata.

http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/04045020/pidato..keadilan.dan.pemerataan.
Share this article :

0 komentar: