BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Hilangnya Kebebasan Nurani

Written By gusdurian on Sabtu, 16 Oktober 2010 | 15.42

Menarik yang disampaikan Komaruddin Hidayat dan Adnan Buyung Nasution
dalam seminar tentang IJ Kasimo di Jakarta, Selasa (12/10).

Dengan rumusan berbeda, menurut mereka, harus dihidupkan kembali
hilangnya kebebasan nurani. Pernyataan mereka menukik ke pengabdian
dan pengorbanan tokoh-tokoh pergerakan, taruhlah Kasimo sebagai
kapstok. Hati nurani menjadi kata kunci.

Dalam era pra-kemerdekaan, nurani bebas adalah terbebasnya dari
penjajahan. Sebaliknya, di era pasca-kemerdekaan, bahkan di era
reformasi, di mana kebebasan nurani punya ruang lebih longgar secara
politis, ironisnya justru dirasakan hilangnya kebebasan hati nurani.

Dibawa ke perkembangan aktual, pertanyaan-pertanyaan itu menggelegak
diungkapkan. Bahwa, kok, rasanya kita sebagai bangsa makin merosot
dari sisi kualitas. Democracy in the making, oke, tetapi ketika jargon
itu jadi justifikasi atas praksis ademokratis, nurani kita menggugat:
apakah begitu? Taruhlah contoh privilese-privilese yang dinikmati
mereka yang berstatus tervonis, kasus Bibit-Chandra yang berlarut-
larut. Dampaknya tereduksi kewibawaan Komisi Pemberantasan Korupsi
yang dari sisi lain berarti terkikisnya kebebasan nurani.

Kalau politik boleh disederhanakan sebagai perjuangan untuk
kepentingan polis (negara), dalam hal ini kebaikan umum-rakyat, maka
politik adalah pengabdian, pengorbanan. Karena itu etis, dengan
demikian bermartabat. Sebaliknya, kalau praksis berpolitik menjadi
arena jual beli suara, arena jual beli kursi dan jabatan, dominasi
uang dan balas jasa jadi ukuran tunggal.

Simplifikasi pemerian nurani di atas menunjukkan, mengembalikan
kebebasan hati nurani merupakan keharusan. Itulah pekerjaan rumah
bersama senyampang kita belum terpuruk-puruk dalam banalisasi
demokrasi.

Tidak jemu-jemu diingatkan suri teladan para tokoh pergerakan sebagai
bahan belajar. Sekalian di saat yang sama generasi penerus dibiarkan
menafsirkan ketokohan para bapak bangsa dengan perspektif masing-
masing, sesuai dengan perkembangan zaman. Belajar bahwa para bapak
bangsa dan penerusnya kemudian bukanlah monster-monster, tetapi
manusia-manusia biasa yang dilandasi hati nurani tulus-bersih.

Dalam konteks itulah, kebenaran sejarah tidaklah langgeng. Kalau dalam
pemikiran spekulatif, setiap kebenaran menyimpan asumsi
ketidakbenaran, dalam kebenaran sejarah pun mengundang gugatan dan
peninjauan kembali, entah yang menyangkut ketokohan Syafruddin
Prawiranegara, Amir Syamsuddin, Soekarno, bahkan Soeharto.

Untuk jangka jauh ke depan, ketika kebebasan hati nurani terkikis,
mutu bangsa merosot. Terjadi ”penjungkirbalikan nilai-nilai”, kata
Friedrich Nietzsche. Batas kebaikan dan kejahatan kebur. Kalau
keterusan, artinya kita gali lubang kubur sendiri. Jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan negara-bangsa!

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03121621/tajuk.rencana

Hilangnya Kebebasan Nurani

Menarik yang disampaikan Komaruddin Hidayat dan Adnan Buyung Nasution
dalam seminar tentang IJ Kasimo di Jakarta, Selasa (12/10).

Dengan rumusan berbeda, menurut mereka, harus dihidupkan kembali
hilangnya kebebasan nurani. Pernyataan mereka menukik ke pengabdian
dan pengorbanan tokoh-tokoh pergerakan, taruhlah Kasimo sebagai
kapstok. Hati nurani menjadi kata kunci.

Dalam era pra-kemerdekaan, nurani bebas adalah terbebasnya dari
penjajahan. Sebaliknya, di era pasca-kemerdekaan, bahkan di era
reformasi, di mana kebebasan nurani punya ruang lebih longgar secara
politis, ironisnya justru dirasakan hilangnya kebebasan hati nurani.

Dibawa ke perkembangan aktual, pertanyaan-pertanyaan itu menggelegak
diungkapkan. Bahwa, kok, rasanya kita sebagai bangsa makin merosot
dari sisi kualitas. Democracy in the making, oke, tetapi ketika jargon
itu jadi justifikasi atas praksis ademokratis, nurani kita menggugat:
apakah begitu? Taruhlah contoh privilese-privilese yang dinikmati
mereka yang berstatus tervonis, kasus Bibit-Chandra yang berlarut-
larut. Dampaknya tereduksi kewibawaan Komisi Pemberantasan Korupsi
yang dari sisi lain berarti terkikisnya kebebasan nurani.

Kalau politik boleh disederhanakan sebagai perjuangan untuk
kepentingan polis (negara), dalam hal ini kebaikan umum-rakyat, maka
politik adalah pengabdian, pengorbanan. Karena itu etis, dengan
demikian bermartabat. Sebaliknya, kalau praksis berpolitik menjadi
arena jual beli suara, arena jual beli kursi dan jabatan, dominasi
uang dan balas jasa jadi ukuran tunggal.

Simplifikasi pemerian nurani di atas menunjukkan, mengembalikan
kebebasan hati nurani merupakan keharusan. Itulah pekerjaan rumah
bersama senyampang kita belum terpuruk-puruk dalam banalisasi
demokrasi.

Tidak jemu-jemu diingatkan suri teladan para tokoh pergerakan sebagai
bahan belajar. Sekalian di saat yang sama generasi penerus dibiarkan
menafsirkan ketokohan para bapak bangsa dengan perspektif masing-
masing, sesuai dengan perkembangan zaman. Belajar bahwa para bapak
bangsa dan penerusnya kemudian bukanlah monster-monster, tetapi
manusia-manusia biasa yang dilandasi hati nurani tulus-bersih.

Dalam konteks itulah, kebenaran sejarah tidaklah langgeng. Kalau dalam
pemikiran spekulatif, setiap kebenaran menyimpan asumsi
ketidakbenaran, dalam kebenaran sejarah pun mengundang gugatan dan
peninjauan kembali, entah yang menyangkut ketokohan Syafruddin
Prawiranegara, Amir Syamsuddin, Soekarno, bahkan Soeharto.

Untuk jangka jauh ke depan, ketika kebebasan hati nurani terkikis,
mutu bangsa merosot. Terjadi ”penjungkirbalikan nilai-nilai”, kata
Friedrich Nietzsche. Batas kebaikan dan kejahatan kebur. Kalau
keterusan, artinya kita gali lubang kubur sendiri. Jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan negara-bangsa!

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03121621/tajuk.rencana

Kisah Sekuntum Mawar

KOMPAS/LASTI KURNIA
Membaca Rumi, saling berbagi.

Oleh Maria Hartiningsih

Mata menangkap bunga sebagai elemen tunggal. Namun, tanda dan bentuk
selalu mengecoh ketika hanya ditatap sekilas. Bunga tak akan menjadi
bunga tanpa elemen yang lain, meski- pun hanya satu elemen yang
hilang.

”Untuk mewujud menjadi bentuk, segala sesuatu membutuhkan segala
sesuatu yang lain,” tutur Thich Nhat Hanh (84), Guru Zen terkemuka
dari Plum Village, Perancis, dalam ceramah-ceramahnya di Caringin,
Bogor, beberapa waktu lalu.

Ia memperlihatkan sekuntum mawar, lalu menyentuh kelopak demi
kelopaknya. ”Kalau menatapnya dengan berkesadaran, penuh konsentrasi
dan kedamaian, kita melihat di dalam sekuntum bunga ada awan,
matahari, udara, mineral, tanah, waktu, ketekunan, dan cinta orang
yang menanam dan merawat sampai bunga itu mekar. Seluruh isi kosmos
ada di situ. Tanpa awan yang menjadi hujan, bunga tak akan mekar.
Tanpa waktu, tanpa ruang, tak ada bunga,” ungkap Thay, atau Guru,
dalam bahasa Vietnam.

”Kenyataannya, bunga terwujud dari seluruh elemen nonbunga. Tidak ada
eksistensi atau keberadaan yang berdiri sendiri di dunia ini. Di dalam
diri kita ada segala sesuatu yang lain yang ada di dalam Semesta.
Itulah interbeing...”

”Interbeing”

Interbeing adalah terminologi baru, yang artinya kira-kira, segala
sesuatu yang hidup, terikat, terkait, tergantung pada segala sesuatu
di Semesta Raya. ”Ketika melihat sifat alamiah dari ’interbeing’, maka
penghalang antara ’kita’ dan ’mereka’, antara ’saya’ dengan ’yang
lain’, lebur,” ujar Thay.

Hakikat interbeing dapat menyentuh kearifan nondiskriminasi. Seperti
diungkapkan Thay, Buddhisme adalah bunga yang terwujud dari elemen
Buddhisme dan non-Buddhisme. Islam adalah bunga yang sangat indah. Pun
Kristiani dan agama-agama lain. Buddhis harus belajar Islam untuk
memahami tradisi-tradisi besar di dalamnya. Begitu pun sebaliknya.
Kalau Yahudi, Islam, dan Kristen kembali ke akarnya, banyak persoalan
pelik bisa diselesaikan. ”Anda harus duduk bersama untuk saling
berbagi,” Thay melanjutkan.

Retret hidup berkesadaran di Plum Village diikuti peserta dari semua
keyakinan, agama, dan non-believers. Di Barat, sebagian besar
pesertanya beragama Kristen. ”Kami menyelenggarakan retret bagi pihak
yang sedang bertikai, seperti Israel dan Palestina, untuk mendorong
kesalingpengertian dan kearifan nondiskriminasi. Perdamaian sangat
mungkin terwujud dengan kesalingpengertian.”

Yang terpenting, menurut Thay, para aktivis perdamaian harus damai
terlebih dahulu dengan dirinya sebelum melakukan aktivisme secara
politik. Tidak ada jalan menuju kedamaian, karena kedamaian adalah
jalan, dan berkesadaran adalah kuncinya.

Latar belakang para peserta retret di Caringin, Bogor, juga menarik.
Rave Ward dari Amerika Serikat adalah seorang Buddhis, suaminya
pejabat gereja. ”Konservatisme ada di dalam semua agama,” ujar Peggy,
begitu ia disapa, ”Hanya dengan latihan berkesadaran, kita mampu
melihat secara mendalam, menyentuh secara mendalam.”

Perjumpaan

Thay menggunakan kearifan Buddhis untuk memberi pemahaman tentang
kearifan nondiskriminasi; suatu gagasan, niat dan tindakan terkait
upaya-upaya perdamaian di dunia.

Perang, konflik, besar, kecil maupun personal, kecurigaan, kebencian,
dendam, dan berbagai bentuk kekerasan terhadap diri sendiri maupun
”yang lain”, berawal dari persepsi keliru, dan menganggap persepsi
sendiri sebagai satu-satunya kebenaran. ”Itu adalah sumber segala
penderitaan,” ujar Thay.

Berbeda dengan pendekatan politik, pendekatan Thay tentang perdamaian
di ranah publik menukik lebih dulu ke ranah personal, ke ranah
individual secara lengkap, sebagai tubuh dan sebagai diri.

Ia menyatukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sejarah,
astronomi, antropologi, dan biologi, untuk menjelaskan
kesalingterkaitan di dalam ”interbeing”, antara tubuh, diri, manusia
lain, tumbuhan, satwa, semua makhluk hidup, bumi, laut, udara, seluruh
isi alam semesta sebagai suatu keutuhan (”wholeness”).

Sebagai intelektual, pemikir, penulis, penyair dan aktivis perdamaian,
ia tidak steril dari dunia luar. Salah satu karya terbarunya —dari 100
buku lebih yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa—adalah
merespons terorisme, dalam Calming the Fearful Mind: A Zen Response to
Terrorism (2005).

Tak sulit menengarai sumbangan pemikiran Thay dalam membangun dan
mengembangkan Etik Global untuk keadilan dan perdamaian yang
dipromosikan Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung.
Pendekatan interbeing dan esensi berkesadaran menjawab pernyataan Kung
tentang kekosongan orientasi yang dihadapi manusia saat ini, baik
terlepas maupun terkait dengan globalisasi.

Hidup berkesadaran membuat Thay mengalami ”perjumpaan” dengan para
mistikus, seperti Thomas Merton (alm), yang menyebut Thay sebagai
”saudaraku”. Mereka berbagi pandangan tentang ”wholeness” dan kearifan
nondualisme untuk mewujudkan kearifan ”nondiskriminasi” dan cinta
tanpa syarat terhadap ”yang lain”; cinta yang memeluk seluruh isi
kosmos. Kearifan itu pula yang mempertemukan pemikiran Thay dengan
para sufi, termasuk penyair Persia abad ke-11, Mevlana Jalaluddin
Rumi.

Simak salah satu puisi Rumi ini, ”Out beyond ideas of wrongdoing and
right doing, there is a field. I’ll meet you there.” (Melampaui
gagasan tentang benar atau salah, adalah dataran. Kujumpai kau di
sana….)

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/02494144/kisah.sekuntum.mawar

Politik yang Bermartabat

Oleh F Budi Hardiman

Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang
paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo
Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji,
tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan.
Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan
kemuliaan.”

Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak
digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat
memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang
pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati
rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para
pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan
politis.

Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh
hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di
pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah”
cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat
kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai
praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo
anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak
lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi
barang dagang dalam pasar kuasa.

Di tengah situasi macam itu, sosok IJ Kasimo, salah seorang tokoh
pergerakan kemerdekaan RI, menginspirasi kita tentang politik yang
bermartabat.

Kedaulatan kepemimpinan

Lazimnya martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-
aset. Berapa rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya?
Tidak atau kurang mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang
bermartabat, maka juga kurang disegani dan seolah tanpa busana. Selama
dikaitkan dengan pemilikan material macam itu, martabat disempitkan
menjadi kekuasaan atau bahkan kekerasan belaka. Ada jiwa kerdil yang
bersembunyi di belakang segala lencananya.

Keterlibatan IJ Kasimo dalam politik menunjukkan hal berbeda. Martabat
dalam politik tak semata-mata terletak pada status atau atribut sang
pemimpin, tetapi pada keagungan sikapnya. Keagungan itu menyembul
keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan karakternya. Karakter
kepemimpinan seperti ini nyaris punah dalam masyarakat kita ditelan
gelombang konsumtivisme dan oportunisme.

Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin
adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap
dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa
seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya
jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta
rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya
daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli,
kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati,
tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan
keparat memalukan.

Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri
kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual
keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok
dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak.

Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik
kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan.
Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak
diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga
keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal
plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan
kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan.

Dari ”bare life” ke ”good life”

Tentu Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik
hanya terletak pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa
politik seseorang bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa
keputusannya tidak bisa dibeli, melainkan juga bahwa ia memiliki
keutamaan yang membangun kehidupan bersama, seperti keadilan,
kearifan, dan solidaritas sosial.

Mengacu pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat
dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang
baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari
keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu
kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukumnya
sendiri. Itulah hidup yang baik.

Manusia menjalani hidup belaka apabila tidak ada hukum yang
melindunginya, tanpa hak dan tanpa martabat, sehingga ia secara
konstan berada dalam keadaan darurat. Di mana kita dapat menemukan
manusia yang menjalani hidup belaka?

Hannah Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben
menunjuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-
tempat itu manusia memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek
permainan kekuasaan belaka. Tak terlindung hukum, tahanan boleh
dibunuh tanpa alasan. Baik hidup publik maupun privat para tahanan itu
dirampas dari mereka. Yang mereka miliki hanya hidup belaka. Mereka
diempaskan ke dalam keadaan darurat yang konstan.

Dalam kadar berbeda-beda, hidup belaka dijalani oleh penduduk di tanah-
tanah jajahan, pengungsi, minoritas yang didiskriminasikan, korban
pelanggaran HAM, serta mereka yang hak-haknya diabaikan dan menjadi
permainan kekuasaan. Kehidupan kaum marjinal menyingkapkan kepada kita
bahwa keadaan darurat telah jadi aturan harian bagi mereka. Namun,
hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara alamiah. Hal itu
adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang mengubah politik
menjadi sekadar alat kesintasan.

Ketika keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu
sendiri kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang
yang menganga di antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya
dengan serta-merta berubah menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan
rakyat ke dalam hidup belaka.

Zona itulah tempat yang sangat rentan untuk kesewenangan permainan
kekuasaan. Percaloan, mafia, dan premanisme yang merajalela di
birokrasi, peradilan, dan parlemen melemparkan rakyat ke dalam keadaan
darurat yang konstan. Wajah mereka kita saksikan di mana-mana. Suatu
politik yang bermartabat menyangkut upaya-upaya penuh keutamaan untuk
mengubah hidup belaka menjadi hidup yang baik.

Kita boleh mengatakan bahwa para tokoh pergerakan kemerdekaan kita,
antara lain IJ Kasimo, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang
bermartabat, yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana
pun. Perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis
untuk memartabatkan rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup
belaka menjadi hidup yang baik. Di zaman kita, ketika keputusan para
pejabat publik dijualbelikan dan banyak anggota masyarakat kita
menjalani hidup belaka karena menjadi permainan kekuasaan, contoh
politik berintegritas, berkarakter, dan prorakyat yang memancar dari
tokoh seperti Kasimo menjadi normatif.

Hanya politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut
bermartabat. Sebaliknya, untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu
lagi merampas atau mengabaikan hak-hak rakyat demi kepentingan
sendiri, yaitu politik yang menjerumuskan rakyat ke dalam hidup
belaka, tidak ada sebutan lain selain—maaf, agak kasar—politik keparat
para bajingan yang lemah karakter. Politik macam itu bahkan kiranya
akan dicibir oleh Machiavelli sebagai tidak gagah.

F Budi Hardiman Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03132814/politik.yang.bermartabat

Melawan Kelaparan

Melawan Kelaparan
Muhammad Ikhwan, KETUA DEPARTEMEN LUAR NEGERI SERIKAT PETANI
INDONESIA

Mengikutsertakan petani kecil sebagai subyek perubahan bisa menjadi
upaya menepuk tiga lalat. Selain di sisi produksi membaik, corak
produksi agro-ekologi dan/atau organik juga ramah lingkungan, dan
tentunya berkontribusi melawan masalah kelaparan dunia.
Bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober ini, saya
ingin mengangkat kembali beberapa pertanyaan yang sangat mengganggu
banyak orang sejak terjadinya krisis pangan pada 2008: apakah di dunia
ini tak cukup pangan? Lalu mengapa angka kelaparan terus meningkat
hingga melewati 1 miliar pada 2009? Menurut banyak pihak, termasuk
FAO, pelapor khusus Perserikatan BangsaBangsa untuk hak atas pangan,
serta gerakan petani internasional, La Via Campesina, dunia
memproduksi cukup pangan.

Sementara itu, akses terhadap pangan tersebutlah yang sulit—terutama
rakyat miskin yang tak sanggup membeli makanan.

Lebih lanjut lagi, sejak 2006 hingga 2008 terjadi banyak spekulasi
komoditas pangan di pasar internasional. Bertepatan dengan fenomena
tersebut, terjadi pula eskalasi promosi agrofuel—yang mengubah
produksi pangan menjadi bahan bakar. Jika merunut pada pertanyaan di
atas, potongan kunci dari puzzle penyebab masalah kelaparan bisa kita
lihat dari corak produksi dan pasar komoditas pangan.

Dengan jumlah kelaparan pada tahun ini yang mencapai 925 juta jiwa,
artinya ada yang salah pada sistem produksi pangan. Faktanya, dengan
corak produksi konvensional saat ini, pangan dialirkan dari daerah
yang penuh kemiskinan dan kelaparan menuju daerah yang makmur dan
kelebihan pasokan. Dalam pasar domestik, pangan diproduksi dari daerah
pedesaan dan dialirkan ke daerah perkotaan.

Dalam pasar internasional, banyak komoditas pangan juga diekspor dari
negaranegara miskin dan berkembang serta dialirkan ke negara-negara
maju. Produksi pangan juga cenderung menjadi homogen dan tidak sehat,
ditandai dengan busung lapar dan malnutrisi di satu sisi ekstrem—
serta obesitas, diabetes, jantung, dan kanker di sisi ekstrem lain.

Pada masa Revolusi Hijau, produksi pangan membeludak. Namun, dalam
tiga dekade belakangan, hasil produksi pangan cenderung fluktuatif dan
ada kecenderungan menurun di beberapa daerah, seperti kasus India
(Kundu et al., 2007). Masalah lain yang tak kalah pelik adalah
ketergantungan petani pada input eksesif agrokimia, serta degradasi
lingkungan. Produksi pangan konvensional juga cenderung diusahakan
dengan model estate atau agrobisnis. Tanah-tanah subur jadi didominasi
oleh negara atau perusahaan swasta.

Dalam corak produksi macam ini, pemenuhan pangan domestik sering kali
diacuhkan. Dalam aturan pasar, pangan harus dijual untuk meraup profit
sebesar-besarnya. Inilah yang terjadi pada krisis pangan 2008, juga
terjadi pada kasus minyak goreng di Indonesia pada tahun yang sama.
Pada umumnya di negara-negara berkembang seperti kita, orientasi untuk
corak produksi ini adalah ekspor—terutama pasca-rezim Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).

Jika pangan masuk sebagai obyek spekulasi pasar dan orientasi ekspor
mendorongnya menjadi mahal, yang sangat dirugikan adalah orang miskin.
Di Indonesia,
pendapatan keluarga di bawah garis kemiskinan 2010 (Rp 212.210 per
orang per tahun) tersedot 73 persen hanya untuk konsumsi pangan. Kita
semua bisa membayangkan sisanya yang tidak mencukupi kebutuhan lain,
seperti pendidikan dan kesehatan.

Yang lebih menyedihkan, menurut Gugus Kerja Millennium Development
Project PBB, 80 persen dari penderita kelaparan di dunia adalah rakyat
pedesaan.

Sekitar 50 persen dari mereka adalah petani kecil (UNDP, 2005).
Masalah ini sangat khas ditemui, terutama di negara-negara berkembang
dan
produsen pangan--istilahnya "tikus mati kelaparan di lumbung padi".
Ironis, mereka yang merupakan tulang punggung produksi pangan adalah
mereka yang paling rentan menderita kelaparan dan malnutrisi.

Menurut laporan ETC berjudul "Peasants Feed the World Today"(2009),
ada sekitar 1,5 miliar petani kecil dengan 380 juta usaha tani di
seluruh dunia, 800 juta berkebun, 410 juta berburu dan meramu, 190
juta menggembala, serta 100 juta menjadi nelayan. Sekitar 370 juta
dari mereka adalah masyarakat adat. Jika dikumpulkan, jumlahnya
mewakili 50 persen total populasi dunia. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian kecil untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, dengan catatan
corak produksi dan sistem pasar bisa dikoreksi.

Hal ini penting karena hingga saat ini terjadi miskonsepsi yang
menyatakan sistem pertanian konvensional adalah yang paling produktif.
Studi pada beberapa tahun belakangan menyatakan bahwa: (1) pertanian
skala kecil lebih produktif dari skala besar (Rosset, 1999); dan (2)
pertanian agroekologi, berkelanjutan dan/atau or ganik juga produktif,
dan dalam banyak kasus lebih produktif dari sistem pertanian
konvensional (Badgley et al., 2007).

Dengan demikian, sudah tidak seharusnya kita menggantungkan diri pada
model pertanian konvensional. Kaum tani (dan pemerintah) harus mulai
menggeser corak produksi menuju agroekologi dan/atau pertanian
organik. Bayangkan potensi ekonomi desa jika input produksi seperti
pupuk (jika disinkronkan dengan peternakan) dan pestisida bisa
diusahakan sendiri di sana. Selain biaya produksi bisa dipotong,
ekonomi desa bisa semakin bergairah.

Selanjutnya, pemerintah harus memperhatikan petani kecil—yang saat ini
secara nasional rerata kepemilikan tanahnya tinggal 0,4 hektare.
Program seperti food estate di Indonesia harus dievaluasi ulang.

Sebab, selain memakai mindset usang, sistem ini hanya akan membuat
rakyat Indonesia menjadi kuli di atas tanahnya sendiri. Kurang jelas
apa lagi pengalaman kita, dari cultuurstelsel hingga krisis pangan
2008.

Kita harus mulai mengubah pandangan.

Lebih baik berkonsentrasi saja pada produksi pertanian kecil berbasis
keluarga sembari melaksanakan redistribusi tanah dan suntikan insentif
untuk mereka.

Mengikutsertakan petani kecil sebagai subyek perubahan bisa menjadi
upaya menepuk tiga lalat. Selain di sisi produksi membaik, corak
produksi agro-ekologi dan/atau organik juga ramah lingkungan, dan
tentunya berkontribusi melawan masalah kelaparan dunia. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/16/ArticleHtmls/16_10_2010_010_011.shtml?Mode=1

KPK Seabadi Korupsi

Mungkin Anda, atau beberapa dari kita, pernah dengarwajah
“takberdusta” berargumentasi pada pacar atau istri kita bahwa—suatu
kali—kita terlambat menemui atau menjemputnya karena lupa, tertidur,
atau alasan lainnya.

Padahal sesungguhnya kita pada saat itu tengah ada bisnis lain,bertemu
teman lain, atau mungkin wanita lain.Kejadian seperti ini banyak
dianggap sebagai “kelumrahan” atau romantika dalam sebuah
hubungan,katakanlah semacam sambal di semangkuk bakso, pedas yang
membawa nikmat. Atau mungkin pernah sebagai anak, bisa juga anak Anda,
tanpa berani melapor hal sebenarnya pada orangtua, telah membelanjakan
uang pembeli buku atau alat tulis untuk bersenang-senang, jajan, atau
main video game.

Tentu kita akan menyebutnya sebagai “kenakalan” anak-anak atau remaja.
Bagian normal dari kehidupan seorang anak, bahkan sebagian
menganggapnya sebagai bias atau bisa jadi tanda dari sebuah jiwa yang
kreatif. Namun, tidakkah sesungguhnya semua hal itu adalah sebuah
tindakan— yang sengaja atau tidak,diakui atau tidak—merugikan orang
lain melalui satu modus menyelewengkan hak/milik orang lain? Bukankah
itu sebenarnya tak lain contoh dari sebuah tindak yang tergolong
koruptif?

Pertanda-pertanda hidup dan nyata di sekitar—bahkan di diri—kita
sendiri, yang cenderung koruptif. Lain kata, tidakkah korupsi itu,yang
semula natural kemudian kita anggap natural; ia ada dalam
kecenderungan hidup beradab kita,jadinaluriatauinsting yang
dibudayakan? Dalam sejarah peradaban manusia, korupsi mungkin telah
menjadi sebuah azab atau kekeliruan (civilization fallacy) yang paling
rumit dan sulit diselesaikan, bahkan hanya untuk mengidentifikasinya.

Panjangnya riwayat kebudayaan di dunia ini membuat korupsi bukan lagi
sekadar sebuah tindak ekonomi,politik,atau hukum yang terlihat dan
terukur,namun ia tersembunyi begitu rapat dalam pikiran, bahkan dalam
tata nilai di pikiran dan hati kita.Korupsi adalah kejahatan yang
melekat, terintegrasi, setua peradaban yang kita miliki. Bahkan
mungkin korupsi sudah setua manusia itu sendiri.

Seperti kisah Adam dan Eva, dalam kitab kejadian, atau juga dalam
kepercayaan Pagan atau Babylonia: Tuhan menciptakan makhluk pertama
dengan kesadaran bahwa ia memiliki sifat/potensi untuk tidak
mematuhinya, mengorupsi kepercayaan terhadap-Nya. Karena itulah buah
dari Pohon Pengetahuan yang terlarang itu dicuri dan dimakan oleh Adam
sehingga dia harus turun ke Bumi bersama Hawa. Dan –“bersyukurlah”—
karena itu kita ada,kebudayaan dan adab tercipta. Korupsi,bisa
jadi,adalah salah satu dosa asal manusia.

Korupsi di Kapitalisme

Tapi, tanpa alasan atau sebab religius, mesti diakui korupsi memang
adalah sisi negatif dari koin kehidupan manusia, bersama dengan
prostitusi, perjudian, atau penyimpangan dan kriminalitas purba
lainnya. Hanya korupsi menempati posisi kedegilan yang utama karena
bukan hanya akibatnya, tapi juga sifat dan bentuknya yang sangat penuh
variasi, dan menembus semua dimensi.

Bila prostitusi, kata Karl Kraus, pengarang dan wartawan Austria abad
19, merusak moral pribadi, korupsi merusak moral sebuah bangsa.
Ungkapan Lord Acton yang sangat popular itu tentang kekuasaan yang
cenderung korup sesungguhnya mesti dikoreksi karena tanpa kekuasaan
pun seseorang dapat melakukan korupsi, kecil atau besar, gelap atau
terang-terangan.

Dan dia bergerak,menurut istilah Charles C Colton,pengarang ternama
Inggris awal abad 19, seperti bola salju: terus membesar ketika dia
menggelinding. Sampai suatu saat dia membukit lalu kita menerimanya
sebagai fenomena alam yang tak terhindarkan, dan hidup bersamanya
sepanjang waktu. Apa yang kemudian membuat korupsi semakin tak
terelakkan adalah ketika di mana kebudayaan atau sistem kemasyarakatan—
termasuk sistem ekonomi di dalamnya— kemudian menciptakan mekanisme
bahkan logika yang mengabsahkannya.

Ia legitimate bahkan reasonable. Sejarah beberapa peradaban besar
seperti China, Yunani, atau Romawi mengajarkan hal itu.Di mana,“aturan-
aturan hidup bernegara semakin banyak, ketika negara semakin kuat
dikorupsi oleh pejabatnya”. Konstatasi yang dibuat Publius Tacitus,
negarawan dan sejarawan Romawi dari abad pertama Masehi itu, memberi
ironi bahkan tragis yang tak terhindarkan dari proyek pembangunan
manusia, hingga di masa modern.

Demokrasi dan kapitalisme, yang menjadi produk atau anak kandung
terbaik dari rasionalisme oksidental, bukan saja tidak mampu mengatasi
kecenderungan buruk manusia itu, tapi justru di banyak bagiannya yang
esensial ia malah melanggengkannya. Proyek kesejahteraan rakyat dan
negara yang sesungguhnya lebih memperkuat keuntungan dan dominasi
elite, membuat korupsi menjadi norma atau nilai dasarnya.
“Kemakmuran,” kembali kata Tacitus, “telah membuat kita terkorupsi”.

Dan sejarah pun memberi kita daftar yang panjang,bagaimana praksis
dari demokrasi dan kapitalisme tidak dapat berlangsung tanpa tindakan-
tindakan yang mengorupsi kemanusiaan, ideal-ideal yang ada di balik
jargon-jargon sistem-sistem itu sendiri.Produksi sebagai etos utama
dari kapitalisme, misalnya, menciptakan prasyarat yang berat untuk
menciptakan konsumen.

Dan proyek penciptaan konsumen dan konsumerisme inilah yang bagi, Ben
Nicholson, menjadi inti dari korupsi dalam jiwa masyarakat di belahan
Barat. Hal sebangun terjadi dalam demokrasi, di mana kekuasaan dipilin
dan ditentukan oleh mekanisme peralihan suara, yang sepanjang
sejarahnya, tak pernah luput dari suap dan manipulasi. Tak
mengherankan bila seorang Mahatma Gandhi harus menyatakan, “Korupsi
dan kemunafikan adalah produk yang tak terhindarkan dari demokrasi”.

Atau seperti yang dikatakan anggota parlemen, negarawan ternama
Inggris abad ke-18, Edward Gibbon, bahwa “Korupsi adalah simbol yang
paling sempurna dari kebebasan konstitusional”. Kebebasan yang dengan
hebat dan penuh rasa syukur kita selebrasi hari ini, bertahun setelah
reformasi. Tragis kebebasan itu sepatutnya membuat kita merenungkan
kembali pilihan-pilihan dari cara kita hidup bermasyarakat dan
bernegara, seperti yang terjadi di masa belakangan ini.

Tak dapat lagi, misalnya, kita begitu naif meng-anggap cara hidup
modern kita saat ini bertujuan dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur
untuk manusia jika pada saat yang bersamaan kita juga
menghancurkannya. Ia menjadi simalakama atau siklus yang kejam bagi
sebuah pemerintahan, bahkan lebih mengerikan ketimbang seorang
pemimpin yang otoriter. Karena pemimpin yang “demokratis” ini
melakukan pemalsuan dan penipuan— yang paling “beradab”—dengan
menggunakan rasio atau logika yang terkemas sempurna; memakai topeng
malaikat di balik wajah iblis sebenarnya.

KPK yang Permanen

Pemahaman historis dan kultural di atas mungkin dapat menjadi
pertimbangan kita dalam mengevaluasi tindak korupsi dan program
pemberantasannya di negeri ini. Benar, bila sebagian orang—parlemen di
antaranya— yang menolak menyatakan korupsi sudah jadi budaya di negeri
ini. Namun, bukan dengan alasan apologetik, melainkan dengan
penjelasan sosiologis bahwa korupsi adalah sebuah tindakan, tindakan
sosial.

Sebuah produk dari adanya hubungan sosial, produk dari sebuah sistem
berpikir, sistem nilai, yang kita golongkan sebagai kebudayaan.
Korupsi adalah produk budaya. Karenanya,secara substantif ia lebih
mengiriskan. Kebudayaan macam apa yang kita pelihara, bangun dan
kembangkan, hingga nilai, norma, dan etika mempermisikan bahkan
melegitimasi korupsi? Jawabannya akan menyadarkan kita bahwa
pemberantasan korupsi akan sia-sia jika hanya mengarah pada
tindakannya, menghukum koruptornya, bukan pada sistem nilai dari cara
berpikir di baliknya.

Tak ada obat yang berguna bila hanya melenyapkan gejala, bukan jantung
dari penyakitnya. Untuk itu, sebenarnya sangatlah tidak memadai jika
sebuah lembaga, macam KPK,dibentuk hanya sebagai komisi yang ad
hocsifatnya. Ia semestinya menjadi lembaga yang permanen, semacam
badan atau dewan, karena apa yang diurusnya adalah hal yang juga
permanen, melekat erat pada kebudayaan, pada diri kita.

Ia abadi. Setidaknya selama sistem hidup kita saat ini dipertahankan.
Seperti rumah sakit yang senantiasa berdiri selama penyakit tetap ada
dan terus membiak. Maka, penyelesaian apa pun terhadap kasus Bibit-
Chandra, misalnya, akan menjadi non sense karena bukan hanya kedua
pejabat KPK itu dibuat canggung, bahkan lembaganya sendiri pun
diposisikan nanggung (medioker) untuk melakukan tindakan yang tegas
dan komprehensif misalnya.KPK semestinya menjadi alat utama bernegara,
tak cukup dalam undangundang, tapi dalam konstitusi. Ia harus menjadi
penjaga abadi dari kedegilan kita sebagai manusia, yang tak dapat
dicegah oleh sekadar regulasi,bahkan oleh sebuah konstitusi.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/357656/