BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Tragedi 1965?

Written By gusdurian on Sabtu, 09 Oktober 2010 | 12.06

Sebuah pertanyaan besar perlu dikedepankan: apakah malapetaka kemanusiaan pada 1965-1968 adalah sebuah tragedi?


Pada tahun 1972 sebagai mahasiswa sarjana yang sedang menulis skripsi, saya mengumpulkan materi di Bali. Topik skripsi saya berkaitan dengan sejarah politik Bali. Pada saat itulah untuk kali pertama saya mendengar langsung cerita saksi mata, bahkan pelaku pembantaian politik yang terjadi pada tahun 1965. Dia bercerita tentang orang-orang anti-kominus dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masuk ke penjara di salah satu kabupaten dan menembak mati puluhan tahanan politik menggunakan senapan mesin. Dia juga menyaksikan sendiri bagaimana seorang elemen anti-komunis memotong kepala aktivis-aktivis ormas Partai Komunis Indonesia (PKI) di desanya dengan menggunakan pedang.


Bagi siapa saja yang berusaha menyelidiki apa yang terjadi pada tahun 1965-1968, betapa pun sedikitnya, bisa dipastikan akan menemui ratusan, bahkan ribuan cerita tentang keganasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh orang Indoensia terhadap bangsanya sendiri. Sekira 500 ribu orang tewas dalam tragedi itu, tapi ada juga estimasi bahwa yang tewas di atas dua juta orang. Belum lagi ratusan ribu yang ditahan tanpa proses – dan sering disiksa – pada kurun tahun 1965-1968. Paling sedikit ada 20 ribu anggota dan simpatisan PKI yang ditahan tanpa proses sampai 1979, termasuk 15 ribu yang dibuang ke kamp konsentrasi di pulau Buru.


Proses pembantaian ini sudah sering sekarang disebut sebagai “tragedi kemanusiaan 1965”. Tetapi pemakaian kata tragedi adalah sebuah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa Inggris “tragedy” yang berarti sebuah peristiwa sedih dan malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang sedih. Tetapi sebuah tragedi terkesan seolah sebuah kecelakaan, seolah tak ada kesengajaan di dalamnya.


Dalam kasus pembantaian 1965, pembunuhan dan teror dijalankan sepenuhnya dengan sengaja. Harus dicatat bahwa dari 500 ribu orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September. Dari tujuh orang itu, tiga meninggal ditembak di rumah (juga termasuk anak perempuan Jenderal nasution) dan lainnya memang dieksekusi sama sekali di luar proses hukum.


Sementara itu pembantaian terhadap pendukung Sukarno yang kemudian terjadi pun bukan bagian dari sebuah konflik atau perang saudara. Tidak ada niat atau kemampuan dari pihak pro-Sukarno dan pro-PKI untuk melawan balik. Pembantaian yang terjadi adalah pembantaian terencana yang dilakukan oleh militer di bawah pimpinan Suharto bersama-sama beberapa milisi partai anti-Sukarno dan anti-PKI yang dilatih dan dipersenjati oleh militer.


Menyebut peristiwa pembantaian 1965 sebagai tragedi sama artinya dengan menutupi kenyataan sejarah. Sebuah tragedi adalah sesuatu yang harus ditangisi dan disesali. Tetapi pembantaian 1965 bukan hanya sesuatu malapetaka yang meyedihkan, melainkan juga sebuah tindakan kriminal yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang berlaku. Karena yang terjadi saat itu bukan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit tetapi suatu kesengajaan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.


Sebaiknya kita semua berhenti menggunakan istilah “tragedi” lantas menggantinya dengan istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. Tentu saja penggantian istilah juga tidak cukup. Kalau memang terjadi pembunuhan sengaja yang sistematik terhadap orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, mestinya masih ada keadilan yang seharusnya ditegakkan.


Istilah “tragedi” juga menciptakan kesan seolah-olah apa yang terjadi pada tahun 1965 juga tanpa sebab, tanpa asal-usul. Kesan ini juga harus dihilangkan. Karena selama kesan itu ada generasi manusia Indonesia sekarang ini – kaum muda khususnya – tak akan terangsang untuk bertanya: Kenapa? Bagaimana bisa itu terjadi?


Kata “tragedi” menyebabkan sumirnya pengertian bahwa apa yang terjadi mulai Oktober, 1965 adalah bagian dari sebuah sejarah pertarungan yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an. Pertarungan itu terjadi pada soal akan kemana Indonesia dibawa setelah kemerdekaan terjadi pada 17 Agustur 1945? Pertarungan itu semakin menajam pada tahun 1960-an. Dua kubu tumbuh berkembang sama kuatnya saat itu: kubu pertama, dipimpin secara ideologis oleh Sukarno yang menginginkan sosialisme ala Indonesia, sementara kubu lain dipimpin oleh elemen militer yang menginginkan Indonesia berkiblat ke kapitalisme.


Untuk bisa memahami pertarungan tersebut, tidak cukup berhenti dengan rumusan konflik yang sederhana. Kita harus lebih dalam meneliti apa yang dimaksud oleh dua faham itu. Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh kubu sosialis Sukarno? Apa programnya pada waktu itu? Hal itu merupakan sebuah studi kolektif yang perlu diadakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia secara terbuka dan bebas sensor dan bebas dari beban adanya sebuah “sejarah resmi” Indonesia. Dalam sebuah suasana bebas, semua ini harus digali bersama.


Beberapa hal telah diketahui bahwa sebelum 1965 kubu pro-Sukarno mencoba lakukan reformasi agraria; juga kita tahu bahwa pendidikan diusahakan gratis. Kita tahu bahwa keterlibatan rakyat kecil di dalam kegiatan politik sangat meningkat melalui gerakan-gerakan ormas-ormas besar kiri. Tetapi itu semua harus lebih diperdalam untuk mengetahui mutu dan keterbatasannya. Juga harus dipelajari ini semua mau dibawa kemana, mengingat bahwa PKI dan kiri di Indonesia sebelum 1965 belum mempunyai kedudukan di pemerintahan yang signifikan.


Mengingat juga bahwa semua ini berkembang di zaman Perang Dingin dan zaman di mana Stalinisme, baik yang berkiblat ke Moskwa maupun yang ke Beijing, sangat kuat dan di mana populisme pasca-kemerdekaan juga sangat kuat di berbagai negeri. Kontradiksi-kontradiksi di dalam politik kubu pro-Sukarnosime dan pro-PKI juga bisa ditemukan dengan mudah. Antara lain, misalnya, prinsip pemilihan perwakilan elektoral dikorbankan oleh Sukarno dengan tak ada pemilu antara tahun 1957 dan 1965. Perdebatan dan diskusi internal di tubuh organisasi PKI juga sangat tertutup.


Tanpa pengetahuan dan pengertian tentang semua sejarah ini, persitiwa 1965 tetap akan merupakan sebuah “tragedy” yang akan ditangisi – dan itupun hanya oleh sebagian orang yang masih dibuat bingung oleh selubung misteri peristiwa itu sendiri. Seharusnya, selain urusan menagih pertanggungjawaban atas perbuatan kriminal pembunuhan massal itu, bangsa Indonesia juga harus mampu mengambil pelajaran dari pengalaman itu demi kemajuan bangsa. Dan itu menjadi hal mustahil tanpa adanya suasana bebas untuk mempelajari sekaligus memperdebatkan kembali secara terbuka dan bersama-sama tentang peristiwa 1965-1968. Suasana yang bebas yang disertai rasa aman untuk kembali mengkaji malapetaka itu mutlak diperlukan. - DR.Max Lane

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-319-tragedi-1965.html

Membiarkan Masalah Tanpa Masalah

Ada tiga hal yang akhir-akhir ini terasa sangat mahal dan mewah. Hal
pertama adalah harga barang dan jasa. Kebutuhan hidup semakin melangit
di tengah krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Di tengah ekonomi dunia yang terpuruk,ekonomi Indonesia masih tumbuh
relatif tinggi.Pemerintah bahkan berani menargetkan pertumbuhan
ekonomi di atas 6%. Berdasarkan Sensus penduduk 2010, jumlah
pengangguran menurun dari 9,43% (2008) menjadi 9,26% (2009), 8,59%
(2010). Jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dari 32,53 juta
(2009) menjadi 31,03 juta (2010). Realitas ini adalah sebuah
pencapaian yang patut disyukuri dan diapresiasi.

Walau demikian, beberapa pihak mencatat pencapaian tersebut masih
menyisakan beberapa pertanyaan. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak
memiliki akar yang kuat pada dua sektor padat karya: pertanian dan
industri.Kehidupan petani dan nelayan belum beringsut jauh dari ambang
garis kemiskinan. Harga pupuk yang masih membumbung, lahan yang kian
sempit dan anomali cuaca membuat masa depan mereka tidak menentu.

Dengan sistem ekonomi terbuka yang lebih kapitalistik dari negara-
negara ”nenek moyang” kapitalis, rakyat jelata semakin terhimpit di
tengah proses pemiskinan yang sistematis. Kehidupan yang serba
hedonistik dan konsumtif terus memperlebar kesenjangan antara
mayoritas orang miskin dengan beberapa gelintir orang kaya.Angka
kematian bayi dan ibu saat persalinan juga masih tinggi.

Kemelaratan adalah pemandangan kehidupan yang semakin kasatmata.
Risiko sosial yang ditimbulkan oleh problematika sosial ini secara
teoretis dan empiris sudah sangat jelas. Jumlah orang bunuh diri
karena tekanan ekonomi kian bertambah. Demikian pula pengidap gangguan
jiwa.Walau demikian, respons para pemimpin di negeri ini terlihat
biasa-biasa saja.

Mahalnya Rasa Aman

Hal kedua yang semakin mahal adalah rasa aman.Di balik religiusitas
dan religiosasi masyarakat terpendam ketakutan massa.Ada gejala di
mana keberagamaan dan puber spiritual hanyalah eskapisme dari
kehidupan yang kian terancam. Tiga ancaman setiap saat bisa merampas
kehidupan dan rasa aman siapa saja.Pertama, kriminalitas yang semakin
sadistis dan brutal.Kekerasan menjadi pemandangan keseharian yang
menakutkan. Berbagai tindak kejahatan menghantui siapa saja, di mana
saja.

Perang antargeng, tawuran antarkampung, dan bentrokan antarsuku bukan
lagi khayal tontonan dunia maya, tetapi bagian dari dunia nyata.
Budaya amuk tumbuh subur di tubuh masyarakat yang mengidap frustrasi
sosial. Kita tentu saja patut mengapresiasi kerja keras polisi untuk
menangkap para penjahat dan memburu para teroris. Tetapi,dari hari ke
hari angka kriminalitas tidak kunjung berkurang.

Ada gejala di mana aparat keamanan seakan tidak berdaya dan tidak
berwibawa di hadapan para mafia kejahatan. Beberapa kali Presiden SBY
nguda rasa,menyampaikan kepada khalayak bahwa ada sekelompok orang
yang berniat jahat membunuhnya. Selain pesan politik,pernyataan
Presiden tersebut mengandung pesan betapa susahnya hidup aman. Ancaman
keamanan yang kedua adalah bencana alam.

Di balik kesuburan, kekayaan, dan kemolekannya, alam Nusantara
menyimpan potensi musibah yang bisa merenggut puluhan, ratusan, bahkan
ribuan nyawa seketika. Masyarakat mengalami trauma dan ketakutan
terhadap bencana alam, terutama sejak tsunami di Aceh yang menghempas
di ”boxing days” 2004, Yogyakarta, Padang, Jawa Barat, dan kawasan-
kawasan lainnya. Demikian halnya dengan gunung berapi.Dua bencana alam
tersebut adalah ”kehendak” Yang Maha Kuasa.

Tetapi,jika bangsa ini memiliki kesiapan rasional dan ikhtiar ilmiah
seperti mitigasi bencana dan kecanggihan teknologi early warning
system sangat mungkin lebih banyak kehidupan yang bisa terselamatkan.
Masyarakat juga terancam oleh tanah longsor dan banjir
bandang.Penyebab utama kedua bencana ini adalah perilaku manusia (man-
made disasters) yang tamak, ceroboh, dan masa bodoh terhadap alam.
Ancaman keamanan yang ketiga adalah kecelakaan lalu lintas.

Budaya tertib, teliti, dan tenggang rasa seakan menghilang dari denyut
nadi kehidupan bangsa.Tingginya kecelakaan di darat,laut,dan udara
adalah cermin budaya ugalugalan, teledor, dan tidak bertanggung
jawab.Keadaban publik begitu rendah mendekati titik nadir. Banyak
acara wisata berubah petaka.”

Ritual”pascakecelakaan selalu sama: sesama bangsa mulai saling
menuding, menyalahkan, dan mencari kambing hitam. Dan, terjadilah
”seleksi alam”: siapa lemah dia kalah, siapa kuat dia selamat. Sudah
pasti, dalam kasus kecelakaan kereta di Pemalang, masinis akan menjadi
pesakitan. Padahal, kealpaan masinis yang berujung tragedi kecelakaan
adalah produk dari sistem ”kerja rodi” ala kompeni.

Mencari Keadilan

Hal ketiga yang semakin mahal adalah keadilan. ”Yang benar dipenjara,
yang salah tertawa”. Barangkali lirik lagu Rhoma Irama, Narapidana,
tepat menggambarkan peradilan di negeri ini. Secara harfiah,hakim
bermakna penegak hukum,orang yang bijaksana atau pengadil. Di tengah
kegetiran hidup, hakim mengalami makna peyoratif. Di tengah mafia
peradilan yang merajalela, Hakim adalah akronim: Hubungi Aku Kalau
Ingin Menang.

Hukum kapitalisme tidak hanya berlaku di lantai bursa efek, tetapi
juga di lantai pengadilan. Adagium: ”maju tak gentar membela yang
bayar”seakan telah menjadi hukum ”pasar” yang dikuasai para markus
(makelar kasus).Perlahan- lahan kekerasan menjadi pilihan dan jalan
hidup untuk memuaskan ketamakan ekonomi, politik, kekuasaan, dan
keagamaan. Ringkihnya penegakan hukum dan keadilan yang mati suri
mendorong sebagian masyarakat main hakim sendiri.

Epidemi Narsisme

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendramatisasi keadaan. Bukan pula
menghakimi dan merendahkan mereka yang telah bekerja keras siang malam,
24 jam sepekan. Tulisan ini hanya berusaha menggugah dan menghidupkan
kesadaran berjamaah kita sebagai bangsa bahwa konstruksi
sosialkebudayaan kebangsaan Indonesia mengalami malaise. Jika kondisi
seperti sekarang ini berlarut- larut, bangsa dan negara Indonesia bisa
roboh (breaking down).

Berbagai problematika kebangsaan sebagaimana dipaparkan dalam tulisan
ini sudah sangat mengemuka dan luar biasa (extra-ordinary). Tetapi,
sikap dan penanganan pemerintah terasa sangat biasa-biasa saja, bahkan
cenderung lambat.Mahfud MD,ketua Mahkamah Konstitusi, menilai
pemerintah seakan tidak hadir. Penegakan hukum yang diharapkan menjadi
penyelesai masalah, justru memunculkan ketidakadilan (Kompas, 4/10).

Tugas pemerintah, sesuai amanat Konstitusi adalah melindungi segenap
bangsa. Artinya, pemerintah berkewajiban menciptakan kehidupan yang
aman,damai dan sejahtera. Dalam situasi seperti sekarang ini,
pemerintah seharusnya lebih tegas dan trengginas.Para pejabat negara
adalah barisan eksekutif, aktor utama yang memimpin dan menjalankan
pemerintahan. Mereka bukan guru yang tugasnya mengajar, atau akademisi
yang sibuk meneliti, berteori dan berwacana.

Pemerintah bukanlah ustad yang tugasnya memberikan tausiah.Tugas
pemerintah adalah untuk bekerja dan berkarya nyata. Beberapa saat
setelah kekerasan Monas (Juni,2009) Presiden SBY menegaskan: negara
tidak boleh kalah.Tetapi, kekerasan yang kurang lebih sama dengan
Monas berulang kali terjadi.Kepercayaan dan harapan masyarakat kepada
pemerintah sesungguhnya masih relatif tinggi.

Walau demikian, jika tidak cepat terselesaikan,masalahmasalah sosial
akan menjadi timbunan penyakit sosial yang merusak kesehatan dan
ketahanan bangsa. Cendekiawan Syafii Maarif mengingatkan: negara tidak
boleh gagal. Tetapi, negara tidak boleh keliru dan lambat
menyelesaikan masalah.Persoalan mafia peradilan tidak cukup
diselesaikan dengan membentuk satgas atau pernyataan verbal semata
(Republika, 5/10).Kehidupan kebangsaan kita seakan penuh sesak oleh
retorika, bukan hiruk-pikuk pekerja keras. Dalam sidang Tanwir di
Lampung (2009),

Muhammadiyah dengan tegas menyampaikan urgensi kepemimpinan publik
yang transformatif dan hadir. Mereka yang bisa memimpin negeri ini
dengan kearifan, kecerdasan, keberanian dan keteladanan. Sayangnya
banyak pemimpin di negeri ini yang mengidap gejala
narsisme.Sebagaimana ditengarai Jean M.Twenge dan W.Keith Campbell
(2010) masyarakat dunia sedang mengalami ”Narcissism Epidemic”. Mereka
ingin sekali tampil di muka publik laksana selebriti,sibuk berjam-jam
mengisi talk-show di televisi.

Alihalih membuat langkah-langkah kerja konkret, banyak departemen yang
menghabiskan dana bermiliar rupiah untuk beriklan yang memuat
keberhasilan programnya. Hampir semua memiliki akun Facebook, Twitter,
dan komunitas gaul di dunia maya lainnya sebagai upaya personal
entertainment. Era ABS (Asal Bapak Senang) mungkin saja sudah selesai.
Feodalisme sudah tamat.Tetapi, reinkarnasi ABS dalam bentuk narsisme
dan neo-feodalisme mulai jelas teramati.

Kegemaran mengagumi diri sendiri tumbuh menjadi penyakit yang akut
sehingga mereka kehilangan sensitivitas sosial. Penyakit sosial ABG
(Asal Bukan Gue) tidak hanya menghinggapi kalangan remaja, tetapi juga
sebagian pemimpin bangsa.Mereka cuek-bebek dan cenderung membiarkan
masalah tanpa masalah. Sekali lagi, pemerintah perlu lebih percaya
diri dan tegas memimpin penyelenggaraan negara.

Sebelum mewabah lebih luas, epidemi narsisme harus dicegah. Sekarang
waktunya kita hidupkan kembali slogan: sedikit bicara banyak bekerja,
bukan sebaliknya. Walaupun letih, rakyat siap bekerja dan bekerja sama
dengan pemerintah menuju negeri impian: adil dan makmur dalam rida
Tuhan Yang Maha Esa.(*)

Abdul Mu’ti
Sekretaris PP
Muhammadiyah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355606/

Demokrasi dan Pertumbuhan Ekonomi


Hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tema kajian menarik yang menyita perhatian para sarjana dan kaum intelektual sejak lama.Tema ini sudah menjadi isu klasik dalam debat akademis di kalangan ilmuwan politik dan ahli ekonomi, yang melahirkan beragam pandangan dan kesimpulan (lihat John Helliwell 1992; Robert Barro 1996; Dani Rodrik 1997).

Karena itu, dapat dimaklumi bila publik demikian bersemangat menyambut proses demokratisasi di Indonesia setelah kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru pada 1998, dengan harapan sistem politik demokrasi dapat memacu percepatan kemajuan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan yang lazim diajukan adalah: apakah demokrasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi? Jika ada, bagaimana pola hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi?

Pengaruh Tak Langsung

Sebagian ahli meyakini, demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Sebagian lagi menyatakan keduanya tak ada hubungan kausalitas, bahkan diskoneksi antara satu dengan yang lain. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa demokrasi sejatinya berkorelasi—sekalipun lemah— dengan pertumbuhan ekonomi. Ilmuwan lain mengatakan bahwa demokrasi berpengaruh secara tidak langsung atau bersifat indirect impact terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi.

Sebab, ada sejumlah variabel determinan lain: modal sosial,modal manusia,dan kualitas pemerintahan yang ikut berkontribusi pada pertumbuhan. Robert Barro (1996) menyimpulkan: the established links between democracy and growth are a result of the connections between democracy and other determinants of growth such as human capital and social capital, as the relationship is mediated by the quality of government.

Penting dicatat,ketiga variabel determinan tersebut hanya dapat berpengaruh langsung bila ditopang oleh sistem politik demokrasi. Jelas,sistem politik demokrasi menjadi semacam prerequisite bagi penataan struktur pemerintahan agar dapat beroperasi dengan baik sehingga membuka ruang yang kondusif bagi aktivitas perekonomian. Argumen pokok yang dibangun adalah,demokrasi sepanjang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pemerintahan akan berpengaruh terhadap total factor productivity (TFP) dan pertumbuhan GDP per kapita.

Klaim ini punya bukti empiris berdasarkan hasil studi di hampir semua kawasan: Asia, Afrika, Amerika Latin,Eropa,dan Amerika Utara. Studi ini membuat perbandingan di 65 negara yang mencakup negara maju dengan sistem politik demokrasi dan negara berkembang dengan sistem politik otoriter (lihat Rivera-Batiz, Democracy, Governance, and Economic Growth, 2000; Tavares & Wacziarg,How Democracy Affects Growth, 2000).

Survei ini menggunakan indeks penilaian berskala 0 (full autocracy) sampai 1 (full democracy) untuk mengukur kualitas pemerintahan yang dihubungkan dengan TFP dan pertumbuhan GDP per kapita. Variabelvariabel yang diteliti antara lain mencakup: (i) stabilitas politik, (ii) kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan, (iii) modal manusia, (iv) tingkat investasi,(v) keterbukaan perdagangan, (vi) log initial income, dan (vii) belanja publik/pengeluaran pemerintah.

Hasil survei dengan jelas menunjukkan, negara-negara industri maju dengan sistem demokrasi yang mapan memiliki indeks paling tinggi seperti Swiss (1,00),Amerika (0,97), dan Kanada (0,96).Adapun negara sedang berkembang yang umumnya otoriter dengan kualitas pemerintahan rendah memiliki indeks rendah pula seperti Myanmar (0,184), Sudan (0,167), Somalia (0,160),dan Zaire (0,113).

Freedom House juga melakukan survei serupa dengan indikator kurang lebih sama dengan skala penilaian 0 sampai 7 dan mem-peroleh hasil yang sama pula. Negaranegara industri maju dengan sistem demokrasi mendapat indeks paling tinggi: Jerman, Prancis,dan Kanada masing-masing dengan skor 7,0.

Demikian pula negara sedang berkembang yang menganut sistem demokrasi mendapat skor tinggi seperti Kosta Rika (7,0),Barbados (7,0),Venezuela (6,3), dan Bostwana (5,9).Adapun negara sedang berkembang yang menerapkan sistem politik nondemokrasi seperti Afrika Tengah, Somalia, dan Mali berindeks rendah,masingmasing dengan skor 1,0.

Tata Kelola Pemerintahan

Hasil survei di atas sesungguhnya merupakan afirmasi atas argumen lama.Demokrasi yang mapan dapat menjamin peralihan kekuasaan lebih tertib, lancar, dan aman sehingga stabilitas politik dapat terjaga. Stabilitas politik merupakan prasyarat dasar pelaksanaan agenda pembangunan. Di sini berlaku aksioma klasik: there is no development without political stability and there is no political stability without sustainable development. Bahkan sistem demokrasi dapat menjamin terwujudnya good governancetecermin pada berfungsi- efektifnya lembaga-lembaga politik: parlemen, pemerintah, institusi penegak hukum, dan media massa.

Untuk itu,harus ada jaminan aturan main dan proses penegakan hukum, kebebasan pers dalam melakukan kritik dan menjalankan fungsi advokasi publik dan kontrol sosial, serta kualitas pelayanan publik terkait dengan peluang berinvestasi. Good governance merupakan prasyarat mutlak agar pemerintah dapat membuat kebijakan publik untuk memfasilitasi percepatan pertumbuhan, memperluas pasar, dan meningkatkan ekspansi ekonomi.

Karena itu, sistem demokrasi harus ditransformasikan ke tata kelola pemerintahan yang baik. Sistem politik demokrasi harus dapat melahirkan pemerintahan yang bersih, mencegah praktik korupsi di kalangan pejabat negara dan aparatus birokrasi, serta meningkatkan mutu pelayanan publik. Semua itu hanya bisa terjadi bila ada kontrol publik yang ketat melalui pers, yang merefleksikan kebebasan dalam mengartikulasikan pendapat umum.

Pemerintahan yang bersih tanpa korupsi akan menciptakan iklim yang kondusif bagi aktivitas bisnis,investasi,perdagangan,dan pergerakan modal yang kemudian mengantarkan pada pertumbuhan ekonomi. Jadi, pengaruh demokrasi pada pertumbuhan itu mensyaratkan kualitas pemerintahan yang menerapkan prinsip dasar good govenance: transparansi,partisipasi, akuntabilitas,dan penegakan hukum. Inilah yang disebut pengaruh bersyarat demokrasi terhadap pertumbuhan—terms and conditions of the relations between democracy and growth.

Pengalaman Indonesia

Pengalaman negara-negara Barat menunjukkan, sistem demokrasi modern menjadi basis sosial bagi ikhtiar untuk mencapai kemajuan ekonomi, yang membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan sosial. Kemajuan ekonomi berjalan paralel dengan kemapanan sistem demokrasi negara bersangkutan. Namun, pengalaman Indonesia dalam membangun sistem politik demokrasi justru melahirkan fenomena ganjil.Sistem demokrasi yang berhasil dibangun selama lebih dari satu dasawarsa ternyata belum membawa dampak signifikan pada kemajuan ekonomi.

Sistem politik Indonesia memang merujuk pada sistem demokrasi modern.Semua kelembagaan politik yang menjadi pilar utama demokrasi telah tersedia dan terbangun dengan baik,bahkan presiden dan anggota parlemen pun dipilih langsung oleh rakyat.Namun, pemerintahan demokratis tak disokong oleh institusi publik-organis yang bersih (birokrasi, aparat kepolisian, institusi peradilan). Lembaga parlemen yang sangat vital dalam proses perumusan kebijakan publik justru menjadi salah satu episentrum praktik korupsi akut dan sistemik sehingga memberi andil pada sulitnya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.

Parlemen dihuni politisi korup yang hanya berorientasi mengumpulkan modal untuk membiayai kegiatan politik dan memperkaya diri. Diyakini sepenuhnya, praktik korupsi berskala gigantis yang merajalela di lembaga-lembaga politik dan pemerintahan menjadi faktor negatif dan diskredit bagi ikhtiar akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Sistem demokrasi di Indonesia tak menyumbang pada pertumbuhan ekonomi karena terhalang oleh praktik korupsi berjenjang dan berkelanjutan sehingga tak mampu menciptakan iklim kondusif bagi aktivitas bisnis, investasi,serta pertukaran dan lalu lintas modal domestik maupun asing.(*)

Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,
University of Sussex, UK

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355971/

PEMILIHAN KEPALA DAERAH


Politik Uang, Sisi Gelap Demokrasi


Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007 tidak hanya berlangsung tanpa gejolak, tetapi juga membuka sisi gelap demokrasi. Dari kisah tercecer pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin dan Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro terang-terangan menagih uang mereka, yang telah diberikan kepada partai politik. Keduanya mengaku menjadi ”korban” politik.

Djasri mengaku menyetor Rp 50 juta saat mendaftar sebagai bakal calon. Setelah itu, ia dimintai uang oleh sejumlah pengurus partai untuk musyawarah kerja, rapat pimpinan, sosialisasi, dan alasan lain. Ia mengeluarkan Rp 3 miliar. Sebagian disertai tanda terima. Slamet juga mengaku memiliki bukti dari dana yang ditransfer kepada pengurus partai. Keduanya ditawari menjadi calon gubernur atau wakil gubernur (Kompas, 16/6/2007).

Keberanian Djasri dan Slamet membuka permainan parpol itu menjadi semacam konfirmasi bahwa selama ini memang ada ”jual beli” dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Nilai ”perdagangan politik” itu tak murah, miliaran rupiah.

Kisah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2005, yang pada periode pertama dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lalu berganti partai pengusung, diduga juga terkait mahalnya biaya untuk partai itu. Meski tak pernah terbuka diakui, ketika mencalonkan kembali, Sukawi diusung Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah tahun 2009, Sukawi diusung Partai Demokrat.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pun pernah disebut-sebut sebagai calon gubernur Banten tahun 2007. Namun, akhirnya ia tidak pernah maju sebagai calon. ”Enggak punya uang,” katanya saat itu.

Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, Senin (4/10) di Jakarta, mengakui, untuk menjadi calon kepala daerah, ada bantuan dari partai. ”Tetapi tak banyak karena saya diusung satu partai saja,” katanya. Apalagi ia adalah petahana. PDI-P mendukung sepenuhnya.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, ada perbedaan menjadi calon kepala daerah pada masa lalu dan sejak masa reformasi tahun 1998. Ia tak mengeluarkan sepeser uang pun saat menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, periode 1995-2000. Ia dipilih anggota DPRD dan lancar karena disetujui tiga jalur, yakni ABRI, birokrasi, dan Golongan Karya.

Namun, situasi berubah. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Barat tahun 2005, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Jumlah ini relatif kecil untuk pencalonan gubernur.

”Dana Rp 3,5 miliar itu hasil sumbangan banyak orang. Ada yang membawa stiker ke posko. Posko pun hanya saya sewa selama tiga bulan,” kata Gamawan, peraih Bung Hatta Anticorruption Award tahun 2004.

Ia mengakui, ada calon gubernur yang harus menyediakan uang Rp 50 miliar untuk membiayai pencalonannya. Sumber dana bisa macam-macam, termasuk ”investasi” pengusaha.

Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, juga mengakui sempat gamang saat ada beberapa pengusaha di daerah asalnya menawarinya siap menjadi sponsor untuk pencalonan dirinya sebagai bupati. Namun, tawaran itu tak gratis. Mereka meminta proyek di daerah itu harus diserahkan kepada promotor. Hadi menolak. Ia juga kalah pada Pilkada Banjarnegara tahun 2006.

”Pilkada masih menjadi ajang percaloan. Bahkan, sepertinya lebih parah lagi sekarang,” kata Hadi, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan. ”Pilkada butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Bagi yang tak menjabat, pasti cari dana dari sponsor. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.

Teras Narang mengakui, tidak jarang kepala daerah yang masih menjabat, saat mencalonkan diri lagi, memainkan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Dana bantuan sosiallah yang bisa dimainkan. ”Sebab itu, setahun sebelum pilkada, saya tidak mengeluarkan dana bantuan sosial. Pemberian bantuan, dengan dana bantuan sosial, menjelang pilkada, dapat saja dianggap politik uang,” katanya. Tak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait APBD.

Beban biaya

Selain bantuan dana dan barang dari pendukung, tak jarang calon kepala daerah terpaksa berutang atau menjual harta bendanya untuk membiayai pencalonan dan kampanye. Jika menang dan terpilih, ia bisa mengembalikan pinjaman itu. Namun, jika gagal, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.

Kisah pengusaha Sutoto Agus Pratomo, yang Juni 2010 ditemukan tewas gantung diri di kantornya, bisa menjadi bahan renungan. Istri Sutoto, Dasih Ardiyantari, adalah calon wakil wali kota Semarang pada Pilkada 2010. Dasih kalah. Kematian Sutoto diduga terkait beban biaya politik yang harus ditanggungnya setelah istrinya gagal.

Juni 2010, Memet Rochamad juga ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Memet adalah calon bupati Bekasi pada pilkada tahun 2007, tetapi gagal. Kematiannya juga diduga terkait dengan depresi atas kekalahannya dan penyakit stroke yang dideritanya.

Sebaliknya, Yuli Nursanto tahun 2008 tak sampai melakukan tindakan fatal. Namun, calon bupati Ponorogo, Jawa Timur, itu pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga. Namun, ia akhirnya dinyatakan sehat sehingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Bisa jadi, uang itu adalah biaya pencalonannya. (aik/ato/tra)

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/03450411/politik.uang.sisi.gelap.demokrasi

IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

TOKOH PERGERAKAN


ST SULARTO

Nama Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual.

Bersama orang-orang seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih, untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan.

Kasimo memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu memakai beginsel atau prinsip yang harus dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat.

Moto salus populi suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo seorang negarawan sejati.

Menyambung Jakob Oetama, di mata Harry Tjan Silalahi, Kasimo adalah manusia berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan ”milik negara”, mine and yours.

Dari Jawa mengindonesia

Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi, memperkuat sikap dan pandangan idealisme.

Meskipun selalu berpakaian Jawa lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan.

Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem-Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk. Partai Katolik bukanlah partai konvensional, melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik.

Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae—Pemimpin Redaksi Majalah Prisma—di Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.

Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak orang bumiputra.

Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”

Kasimo juga ikut serta dalam Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan.

Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.

Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972.

Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur. Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Akan tetapi, mengapa hingga kini IJ Kasimo belum juga dianugerahi gelar pahlawan nasional? Ya, mengapa belum? Dua seminar tentang Kasimo yang digelar pada 8 Oktober 2010 di Yogyakarta dan 12 Oktober 2010 di Jakarta merupakan salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut.

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/03453520/ij.kasimo.dan..politik.bermartabat..

TNI dan Demokrasi

Anas Urbaningrum, KETUA UMUM DPP PARTAI DEMOKRAT

Kita juga berharap agar militer kita dapat disejajarkan dengan angkatan bersenjata dari negara lain. TNI dapat menjadi bagian dari pranata demokrasi dengan menegakkan profesionalitas dan tidak terlibat dalam politik praktis.

alam 12 tahun perjalanan demokratiD sasi, Tentara Nasional Indonesia me rupakan salah satu elemen bangsa yang dengan tekun melaksanakan reformasi internal. Kita semua mengharapkan hasil positif dari proses reformasi ini, yaitu TNI yang profesional dan mampu menjaga serta menegakkan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan segenap bangsa dan negara; TNI yang kita banggakan.

Langkah-langkah reformasi TNI merupakan pencapaian demokrasi yang harus kita apresiasi. Sesuai dengan tuntunan Sapta Marga, yang dengan jelas menyatakan bahwa: "Kami adalah warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila", TNI dan anggota TNI akan menjadi bagian dari pranata negara demokratis yang mengedepankan supremasi sipil, prinsipprinsip demokrasi, hak asasi manusia, serta hukum nasional dan internasional.
Profesionalitas Dalam artiannya yang paling luas, profesionalitas berarti kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan tanggung jawab seseorang atau organisasi. Profesionalitas, dalam konteks ini, berarti sebuah ikhtiar untuk menjalankan amanat yang telah diberikan demi mendapatkan hasil terbaik. Bagi TNI, ikhtiar ini dapat diwujudkan dengan mewujudkan dirinya menjadi instrumen ketahanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan dan ketahanan bangsa dari perpecahan dan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dewasa ini keamanan dan kedaulatan negara tidak hanya mencakup ancaman militer fisik, seperti perang terbuka, terorisme, pelanggaran perbatasan, dan gerakan separatis, namun juga mencakup ideologi, ekonomi, serta budaya. Dalam jangka panjang, ketahanan ideologi, ekonomi, dan budaya ini harus masuk dalam bagian pengelolaan pertahanan kita. Salah satu agenda pembangunan budaya Indonesia yang sangat penting adalah membangun budaya demokrasi yang sehat dan mampu memanfaatkan sebesar-besarnya keberagaman yang ada untuk memperkuat sendi-sendi kebangsaan.

Di sinilah pertanyaan tentang keseimbangan hak dan kewajiban TNI dalam alam demokrasi muncul. Seorang prajurit merupakan warga negara yang mendapat pengecualian khusus: ia menggunakan koersi atau daya paksa untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara sebagai bagian dari kontrak sosial. Namun, sebagai individu, ia juga memiliki hak pilih, yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi. TNI sebagai institusi dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, namun anggota TNI berhak menyampaikan aspirasi yang dimilikinya sebagai warga negara.

Politik pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Jika seorang anggota TNI memiliki sebuah gagasan yang dapat memperbaiki kehidupan berbangsa, alangkah baiknya jika ia dapat menyampaikan gagasan tersebut melalui mekanisme demokratis bernama pemilu.

Tentu masih banyak persiapan yang harus dilakukan agar kita dapat sampai pada tahap di mana seorang anggota TNI dapat memberikan hak pilihnya dalam pemilu. TNI sebagai sebuah institusi yang memiliki struk tur monolitik dan garis komando yang tegas perlu menyiapkan diri agar dapat menyikapi perbedaan pandangan politik individu sebagai sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi, dan bukan sebagai sumber perpecahan.

Mari kita memberikan ruang bagi TNI untuk terus menjalankan proses reformasi yang diamanatkan. Pada akhirnya, kita berharap agar saudara-saudari kita di TNI dapat ikut berperan serta dalam sistem demokrasi yang produktif demi kemajuan bersama. Para elite sipil juga wajib mengembangkan etika yang mengakui kehormatan dan sikap nonpartisan TNI dari politik praktis. Institusi militer tidak selayaknya disusupi oleh kepentingankepentingan politik sempit.

Amanat reformasi juga melarang TNI berbisnis. Kesepakatan ini meminta jaminan bahwa kesejahteraan anggota TNI menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Sesungguhnya ini merupakan situasi krusial karena kesejahteraan juga membantu membentengi para prajurit dari perpecahan akibat praktek politik uang ketika nantinya individu anggota TNI dapat memilih.

Dalam konteks ini, peningkatan anggaran pertahanan bukan hanya dibutuhkan untuk memperbaiki alat utama sistem persenjataan (alutsista) serta kualitas hidup prajurit secara fisik, namun juga menjadi bekal bagi anggota TNI berdemokrasi. Anggaran pertahanan juga harus dilihat sebagai investasi bagi demokrasi.

*** Reformasi TNI merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita semua memiliki harapan agar TNI dapat menjadi organisasi yang profesional dan mampu menjaga kedaulatan negara sesuai dengan jiwa Sapta Marga. Kita juga berharap militer kita dapat disejajarkan dengan angkatan bersenjata dari negara lain.
TNI dapat menjadi bagian dari pranata demokrasi dengan menegakkan profesionalitas dan tidak terlibat dalam politik praktis. Semoga TNI selalu menjadi tentara yang dipercaya dan dicintai oleh rakyatnya, serta terus menghidupkan semangat reformasi.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/08/ArticleHtmls/08_10_2010_012_003.shtml?Mode=1

Sir Azra dan Islam Indonesia


Indonesia patut berbangga. Betapa tidak, salah seorang putra terbaiknya, Prof Dr Azyumardi Azra, mendapat gelar Commander of The Order of British Empire (CBE) dari Kerajaan Inggris Raya.

Pemberian gelar tersebut menjadikan putra kelahiran Sumatera Barat itu menjadi orang pertama di luar negara-negara Persemakmuran (Commonwealth) yang berhak memakai gelar Sirdan mendapat hak-hak istimewa dari Kerajaan Inggris. Di antara hak-hak istimewanya, Sir Azyumardi Azra, CBE, berhak dimakamkan di Inggris (kalau mau) dan juga bisa bolak-balik ke Inggris tanpa visa.

Gelar yang dianugerahkan Ratu Inggris kepada Bung Edi—panggilan akrab guru besar UIN Jakarta—ini lebih tinggi ketimbang gelar yang diberikan kepada David Beckham (Officer of The Order of British Empire/OBE), pemain sepak bola Inggris yang dikagumi Azra. Gelar itu jelas sangat menggembirakan— bukan hanya bagi Azra,tapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebab pemberian gelar ini atas pertimbangan peran Azra dalam mendorong terbentuknya Islam yang moderat dan menghargai pluralisme.

Islam Indonesia

Menurut Azra, para pemimpin muslim Inggris selama ini hanya mengenal kehidupan beragama yang mengacu ke Arab Saudi atau Asia Selatan.Mereka tidak pernah menyangka ada kehidupan dan pemikiran Islam yang sedemikian moderat serta inklusif seperti di Indonesia. Para pemimpin Islam Inggris kagum melihat Indonesia bisa memiliki dasar negara Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada tempat pertama.

”Kita memiliki penduduk muslim terbesar di dunia,tetapi kita tidak membentuk negara berdasarkan agama.Namun,agama dan ketuhanan mendapatkan tempat utama,” ungkap Azra ketika menjelaskan mengapa Ratu Inggris memilih dirinya untuk mendapatkan gelar Sir. Kenapa Islam di Indonesia moderat dan inklusif? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang panjang.

Dalam kata pengantar saya di buku Memahami Islam Jawa (Pranowo, 2009), Azra menulis bahwa perkembangan Islam Indonesia dan masyarakat muslim Nusantara memang tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di tempat-tempat lain, termasuk Timur Tengah.Namun pada saat yang sama,perubahan- perubahan internal pada masyarakat muslim Jawa juga memengaruhi dinamika masyarakat- masyarakat muslim Nusantara.

Dengan melihat komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas berada di Jawa, perkembangan Islam di Jawa sangat memengaruhi kondisi Islam di Nusantara.Pulau Jawa tidak hanya terkenal sebagai tempat di mana masyarakatnya lebih mementingkan harmoni ketimbang militansi, tapi juga tempat di mana organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dilahirkan.

Muhammadiyah maupun NU yang didirikan orang Jawa mampu melakukan dakwah Islamnya dengan pendekatan kultural (Jawa) sehingga bisa meredam reaksi-reaksi dan gejolakgejolak yang mungkin timbul akibat masuknya ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa yang tradisional dan dipengaruhi Hinduisme. Bahkan dalam banyak hal, Muhammadiyah dan NU, mampu menghadirkan Islam yang harmoni dengan kebudayaan Jawa. Kondisi inilah yang menjadikan Islam di Jawa, tulis Azra,sangat unik.

Dalam pandangan Ricklefs, Islamisasi masyarakat Jawa adalah transisi-transisi budaya yang terus berlanjut. Setelah ribuan tahun menerima Hindu, orang Jawa mulai menerima Islam.Hinduisme yang telah memengaruhi budaya Jawa ini ketika bertemu dengan Islam, oleh masyarakat Jawa, ditransformasi sedemikian rupa sehingga Hinduisme dalam beberapa hal bisa berkompromi dengan Islamisme.

Kompromi antara Islamisme dan Hinduisme ini berjalan amat kompleks,penuh degan kejutan dan dinamika,dan sampai sekarang—menurut Azra—terus berlanjut. Dari perspektif itulah, sejak Islam datang ke Jawa pada abad ke- 12,terlihat tensi dan konflik antara Islam dengan kepercayaan dan budaya lokal.Tapi dalam perjalanan Islamisasi selanjutnya, selama sekitar empat setengah abad, orang-orang Jawa akhirnya bisa melihat diri mereka secara alamiah memiliki identitas pokok yang didefinisikan Islam.

Dalam perjalanan Islamisasi selanjutnya, sejak abad ke-19 terjadi perkembangan yang sangat krusial di Jawa, yaitu menguatnya kekuasaan kolonial Belanda yang berbarengan dengan meningkatnya gelombang kebangkitan Islam. Dampaknya,masyarakat Islam terbelah: di satu sisi ada kelompok masyarakat yang merasa perlu atau terpaksa bekerja sama dengan Belanda, di sisi yang lain ada yang justru menerima Islam secara skriptualistis.

Pada saat itulah, tulis Ricklefs, muncul dua kelompok masyarakat Jawa,yaitu “abangan” yang merupakan kelompok muslim nominal dan “putihan” yang merupakan kelompok muslim taat. Kelompok “putihan”ini oleh Geertz disebut kelompok santri. Bahkan Geertz menambahkan satu kelompok lagi, yaitu “priyayi”.Yang terakhir ini adalah kelompok abangan dengan tradisi aristokrat yang cenderung pada Hinduisme.

Pembelahan itu, tulis Azra, terus menguat, khususnya ketika menghadapi kolonialisme Belanda. Menjelang kemerdekaan Indonesia, terjadi perdebatan seru antara kelompok santri dan abangan. Kelompok santri menghendaki syariat Islam tercatat dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan kelompok abangan sebaliknya—meski kedua kelompok ini sama-sama menghendaki Indonesia sebagai negara yang nasionalis religius.

Pada 18 Agustus 1945, terjadi peristiwa penting dalam sidang konstituante: pencoretan tujuh kata (Ketuhanan ”dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya”) dari Mukadimah UUD 1945 dengan imbalan tambahan kata ”Yang Maha Esa”. Dengan pencoretan tujuh kata itu,sila pertama Pancasila pun berubah dari ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Alamsjah Prawiranegara menyatakan, pencoretan tujuh kata ini merupakan hadiah umat Islam taat (santri) kepada negara Republik Indonesia.Dalam perkembangan selanjutnya,masih ada kelompok santri yang berusaha untuk mengembalikan tujuh kata tersebut ke dalam Pancasila,tapi selalu gagal di sidang parlemen. Meski tujuh kata yang menjadi ”simbol santrinisasi” dalam Pancasila itu telah terhapus, proses santrinisasi di Indonesia, khususnya di Jawa,tetap berlanjut,baik di masyarakat abangan maupun priyayi.

Dalam lintasan waktu yang panjang,tulis Sir Azra,orang-orang Jawa telah mengadopsi banyak hal—dari sumber-sumber Timur Tengah, Eropa, bahkan Amerika. Dengan mengadopsi sumber-sumber tersebut,orang Jawa merasa diperkaya, tapi juga sering terperangkap dalam kesulitan dan konflik yang muncul akibat perubahan budaya dan agama.

Hasilnya seperti dilukiskan Ricklefs, banyak orang Jawa dewasa ini dengan penuh kesalehan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam, tapi pada saat yang sama menyukai wayang dengan ceritacerita Hindu. Mereka juga membaca literatur modern, mengendarai mobil Jepang, memakai telepon genggam, mengkritik Israel yang menduduki Palestina, mengkhawatirkan kebangkitan Islam militan, dan memendam kecurigaan kepada Amerika dan Barat; namun diam-diam berharap anaknya dapat belajar di Amerika dan Barat.

Membuka Mata Dunia

Meski apa yang dideskripsikan Sir Azra di atas adalah perkembangan Islam Jawa di Indonesia, tapi menimbang mayoritas penduduk Indonesia dan pemeluk Islam ada di Jawa, maka apa yang dideskripsikannya cukup mewakili ”sejarah terbentuknya moderasi dan inklusivitas”Islam di Indonesia yang dikagumi Ratu Inggris tersebut.

Sir Azra,menurut Dubes Inggris untuk Indonesia Martin Hartfull yang menyerahkan gelar ”Sir dan CBE” di Jakarta, 28 September lalu, berhasil membuka mata dunia bahwa rujukan Islam itu tidak hanya ada di Timur Tengah dan Asia Selatan,tapi juga Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar di dunia.

Dan Islam di Indonesia telah memberi contoh toleransi antaragama yang baik bagi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Islam di Indonesia dapat menjadi acuan baru dalam citra keislaman di Inggris khususnya dan di Barat umumnya. Selamat untuk Sir Azyumardi Azra atas pemberian gelar CBE dari kerajaan terbesar dan tertua di dunia itu. Semoga pemberian gelar Sir ini akan makin membuka mata dunia bahwa Islam adalah agama ramah dan rahmah.(*)

Prof M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Jakarta/
Direktur Lembaga Kajian Islam
dan Perdamaian

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355972/

Administrasi Negara vs Publik

Administrasi negara di mana pun seharusnya adalah representasi publik negara bangsa tersebut. Negara bangsa yang lemah cenderung menghasilkan administrasi negara yang lemah, negara bangsa yang kuat cenderung memiliki administrasi negara yang kuat.

Namun praktik pengalaman sejarah administrasi negara berbagai bangsa di dunia ini ternyata administrasi negara dari sejumlah negara bangsa mampu mendorong kemajuan publiknya sehingga berhubungan timbalbalik. Dengan kata lain, administrasi negara memajukan bangsa (publik)-nya dan akhirnya bangsa yang maju menghasilkan administrasi negara yang maju pula.

Administrasi negara Indonesia dengan demikian cerminan publik negara bangsa Indonesia. Cirinya adalah fragmented, lemah dalam konsensus bersama, feodal, dan terdapat dualisme kemajuan (JD Legge,1955).Kacamata Legge dari tahun 1955 itu tampak masih berlaku hingga kini.Kekerasan sosial sebetulnya berkorelasi dengan keadaan tersebut. Bangsa yang fragmented dan lemah konsensus bersamanya berpotensi bagi munculnya konflik.Kenapa keadaan ini di Indonesia sulit dikelola hingga kini? Itulah persoalannya.

Reduksi Makna

Persoalan dasarnya dalam kacamata ilmu administrasi yang dihadapi sesungguhnya adalah tidak berperannya hubungan timbal balik antara administrasi negara Indonesia dengan kondisi bangsanya. Hal ini disebabkan reduksi konsep administrasi negara dari kata asalnya public administration. Bangsa kita mengenal pengelolaan kepentingan bangsanya yang asli adalah dengan bersukusuku, kemudian yang paling maju adalah administrasi kerajaan.

Namun, faktanya sangat tradisional. Oleh karena itu, jika ada administrasi dari bangsa ini yang bertipe maju harus diakui adalah sejak Hindia Belanda. Administrasi pada masa Hindia Belanda direduksi dalam lingkup negara (state) semata karena kita tahu untuk kepentingan kolonialisme. Praktisi dan ilmuwan lokal yang mempelajarinya pun bermazhab Eropa yang cenderung rechstaat untuk menertibkan atau menghindari machstaat.

Bangsabangsa Eropa pada saat itu sedang melancarkan kegiatan kolonialisme yang menuntut kekuatan negara pusatnya. Kepentingan publik di pusat tentu berbeda publik di koloninya. Publik koloni adalah bangsa yang belum beradab, itu anggapan mereka. Jika administrasi negara yang ada merepresentasikan keinginan publik koloni, niscaya tidak ada kolonialisme, tetapi sekadar kerja sama perdagangan.

Paling jauh, bantuan teknis membantu rajaraja koloni agar bangsanya menjadi maju. Oleh karena itu,terminologi public administration hanya dikenal di pusatnya,sedangkan di koloninya adalah state administration. Perkembangan selanjutnya, publik di pusat yang memiliki akal budi menginginkan adanya visi kemanusiaan global.Politik etis digulirkan. Mereka minta administrasi negara harus mampu mewujudkan politik etis.

Bangsa-bangsa koloni bukan saja “dididik” di tempat negara bangsanya, tetapi dibawa ke Eropa untuk belajar.Dikirimlah mereka ke Eropa untuk belajar hukum, ekonomi,dan bidang eksakta yang dibutuhkan dalam rangka kolonialisme. Sarjana Indonesia yang belajar di Eropa pun lebih dikenalkan dengan administrasi negara karena di pusatnya sendiri sedang digiatkan memperkuat negara.

Kurikulum berlingkup negara diperkuat, sedangkan konsep publik dikuatkan di jurusan ilmu politik yang waktu itu belum berkembang. Konsep shareholder dikenal dalam kajian bisnis entitas semata. Sayangnya analogi shareholder kepada masyarakat- bangsa pada saat itu belum muncul dan belum dibutuhkan seperti sekarang. Jadilah kuat dengan konsep administrasi negara dan bukan administrasi publik.

Implikasi

Dampak yang terasa adalah jarak (gap) yang lebar antara negara dengan aspirasi publik. Gap yang lebar inilah yang menjadikan administrasi negara di koloni yang ditinggalkan sulit membudayakan untuk sensitif terhadap lingkungan. Apa yang diinginkan publik sering berbeda dengan operasi administrasi negara. Dampak yang jauh adalah negara menjadi dominan dan berubah bukan sebagai alat, tetapi menjadi pengendali.

Kekerasan negara dapat terjadi di sini.Proses mengikis gap tersebut membutuhkan gerakan kultural dan struktural yang memakan waktu panjang. Jadilah pelayanan publik kereta api yang merupakan polesan kolonialisme tidak pernah dikelola kualitasnya dengan baik.Begitu pun pelayanan publik lainnya. Yang lebih parah adalah governance yang dilakukan pun tidak beranjak dari paradigma kolonialisme karena sistem hukum yang masih terpengaruh.

Padahal governance ini adalah penentu pelayanan yang dikembangkan.Pada level governanceini pun semestinya harus beranjak pada paradigma “administrasi publik”, bukan “sekadar”administrasi negara. Walaupun negara prasyaratnya adalah adanya masyarakat (publik), di samping wilayah dan pemerintah yang berdaulat,tetapi karena dengan konsep administrasi negara, administrasi yang dikembangkan justru lebih berorientasi pada sistem formal struktur organ negara, maka aspirasi dan kepentingan publik tidak muncul dengan baik.

Publik terpinggirkan dalam konsep ini. Dengan demikian, terminologi kata negara di belakang administrasi negara adalah bentuk rekayasa sistematis mutualisme negara pusat dengan koloninya yang tidak disadari pada saat itu, tetapi kini terasa dampak negatif-nya. Ketika keadaan di Indonesia mulai berubah, dunia konsep administrasi Indonesia masih relatif ajek.Namun,di tingkat internasional konsep administrasi negara berkembang pesat. Pada keadaan yang paling awal adalah kebutuhan akan administrasi pembangunan (development administration).

Kini konsep tersebut juga mendapatkan kritik yang cukup tajam. Praktik Indonesia sendiri dalam derajat tertentu masih terasa cocok pada taraf development. Namun globalisasi menjadikan konsep ini tertinggal karena sudah muncul konsep-konsep baru yang canggih. Pembatalan kunjungan kerja SBY ke negeri Belanda menguatkan dugaan bahwa kita masih memiliki administrasi yang underdeveloped.

Kebijakan terprogram dikalahkan oleh isu sesaat. Sangat berbeda dengan pembatalan Obama ke negeri kita karena adanya masalah dalam negeri yang membutuhkan penanganan cepat dari Obama, yakni soal tumpahan minyak oleh perusahaan dari negara maju lainnya. Pembatalan SBY semakin menguatkan pula asumsi lemahnya sensitivitas administrasi negara RI terhadap lingkungan.

Sebuah gambaran administrasi negara yang inward looking. Kembali ke persoalan dasarnya, administrasi negara semestinya harus mampu ditujukan untuk mengejar tujuan-tujuan publiknya. Sudah saatnya kita memikirkan upaya agar makna administrasi bagi negara bangsa ini tidak tereduksi hanya dalam organ formal semata, tetapi tepat dan asimetris dengan aspirasi,kepentingan, dan keinginan publiknya dan bukan organ negara semata. Karena itu, negara yang maju semestinya bangsa (publik)-nya harus maju dan saling berpengaruh. Sudah saatnya administrasi publik menggantikan gerakan dan konsep “sekadar” administrasi negara.(*)

Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara
FISIP UI dan Dewan Pakar IAPA

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355969/

Indonesia melawan teror melalui komik


Tasa Nugraza Barley
Jakarta – Menyebut kata “terorisme” saja sudah cukup untuk menebar ketakutan di hati orang di seluruh dunia. Kata ini mengingatkan kita bahwa ancaman radikalisme masih ada, dan tak peduli seberapa banyak teroris yang ditangkap, sepertinya selalu ada orang-orang baru yang menggantikan mereka. Mungkin ini karena tidak ada bagian masyarakat yang lebih rentan terkena pengaruh radikalisasi ketimbang remaja. Pikiran mereka masih gampang dipengaruhi, dan ini menjadikan selalu saja ada teroris baru, tak peduli seberapa banyak yang telah ditangkap atau terbunuh.

Namun, sebuah organisasi di Indonesia bernama Lazuardi Birru tengah mencoba memutus siklus negatif ini dengan menggunakan cara-cara kreatif untuk mengarahkan perlawanan langsung ke akar masalah. Lazuardi Birru, yang didirikan dua tahun lalu, adalah organisasi nirlaba di Jakarta yang diabdikan untuk mendorong anti-kekerasan dan pluralisme.

Sepanjang tahun lalu, para penulis, ilustrator dan desainernya telah menciptakan sebuah komik atau novel grafis setebal 130 halaman yang ditujukan untuk anak-anak muda Indonesia yang dilihat sebagai sasaran potensial dari radikalisasi. September lalu, Lazuardi Birru meluncurkan komik, Ketika Nurani Bicara.

“Komik ini dibuat untuk menekankan pentingnya perdamaian, pemahaman yang benar tentang jihad, dan kesadaran akan adanya gerakan-gerakan yang mendorong kekerasan atas nama agama pada anak-anak muda Indonesia,” kata Dhyah Madya, ketua Lazuardi Birru.

Komik ini mengisahkan peristiwa bom Bali di Kuta tahun 2002. Pemboman ini adalah aksi terorisme paling mematikan dalam sejarah Indonesia, yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia dan 38 warga Indonesia.

Cerita dalam komik ini dituturkan dari sudut pandang tiga tokoh utama: Ali Imron, salah satu teroris yang terlibat dalam pemboman itu; Haji Agus Bambang Priyanto, orang yang membantu menyelamatkan orang-orang setelah pemboman; dan Hayati Eka Laksmi, yang suaminya tewas dalam pemboman itu.

Masing-masing cerita yang digambarkan di buku tersebut adalah kisah nyata dan dikumpulkan melalui serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh tersebut.

Dhyah mengatakan bahwa timnya harus bekerja keras melewati hambatan birokrasi sebelum mereka akhirnya bisa mewawancarai Ali Imron di penjara. Ali Imron dikenal sebagai salah seorang otak di balik pemboman itu, tapi karena insyaf dan mau bekerja sama dengan polisi, ia hanya diganjar hukuman penjara seumur hidup. Ceritanya dimulai dengan pemboman. Kemudian, para pembaca diceritakan bagaimana Ali Imron direkrut, bagaimana ia merencanakan pemboman dan, akhirnya, tentang hidupnya setelah ia tertangkap.

Dhyah mengatakan bahwa novel grafis ini didasarkan pada kisah nyata dan diteliti secara cermat. “Semua hal di buku ini akurat dan didasarkan pada pengalaman nyata para tokohnya,” katanya. Ia menambahkan bahwa timnya menghabiskan satu tahun untuk melakukan wawancara dan mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyusun buku ini.

Dalam salah satu adegan, Ali Imron meneteskan air mata selama proses pengadilan, menangis setelah mendengar kesaksian Hayati tentang betapa sulit hidupnya sepeninggal suaminya: “Saya benar-benar minta maaf karena terlibat dalam pemboman,” isaknya. “Saya telah sadar bahwa pemboman itu bukanlah jihad, karena jihad yang benar dalam Islam adalah sesuatu yang sangat keramat dan suci.”

Lazuardi Birru telah mencetak lebih dari 10.000 eksemplar komik itu dan berencana mengedarkan sebagian besar di antaranya secara gratis ke masjid-masjid, pesantren-pesantren, kampus-kampus dan perpustakaan-perpustakaan umum di seluruh 33 provinsi. Sisanya diedarkan melalui toko buku. Masyarakat juga bisa mengunduh versi e-booknya dari situs Lazuardi Birru (www.lazuardibirru.org) dalam beberapa bahasa, termasuk Sunda, Jawa, Melayu dan Arab.

Bambang mengatakan bahwa ia berharap dimasukkannya ceritanya dalam komik tersebut dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak muda Indonesia yang lain, dan membantu mereka “mengerti dan mempelajari bagian penting dalam sejarah negara kita.” Ia mengatakan bahwa para remaja juga “harus hati-hati ketika belajar agama, karena ada banyak kelompok agama garis keras yang berpikir bahwa mereka selalu benar dan paling tahu tentang Tuhan.”

Hayati, yang hadir di acara peluncuran komik itu, juga punya nasihat buat remaja Indonesia: “Jika ingin membela Islam, lakukanlah dengan benar, bukan dengan cara-cara yang membahayakan seperti pemboman di Bali karena Islam adalah rahmat buat semua. Jadi kita tidak boleh melukai orang lain seperti itu.”

Elga S., seorang siswa sekolah menengah, mengatakan,“Ketika Nurani Bicara adalah bacaan yang bagus buat remaja, khususnya mereka yang tidak sepenuhnya memahami Islam. Komik ini menceritakan pada kita tentang jihad yang sesungguhnya.”

Ali Imron muncul dalam sebuah video yang diputar saat makan siang. Dalam rekaman video itu, ia mengatakan bahwa ia tidak ingin melihat anak muda Indonesia yang lain mengikuti jalannya. “Saya berharap anak muda tidak mudah dipengaruhi oleh ajakan-ajakan jihad yang disalahartikan,” katanya dari balik jeruji penjara di mana ia menghabiskan sisa masa hidupnya.

###

* Tasa Nugraza Barley adalah seorang bloger dan jurnalis. Artikel ringkasan ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) seizin The Jakarta Globe. Tulisan lengkap bisa dilihat di www.thejakartaglobe.com.

Angrabeni Iku Kudu Kanthi Laku

Angrabeni Iku Kudu Kanthi Laku
Tandi Skober Penasihat Lingkar Dialog Kebudayaan Cirebon



Kebudayaan lokal sebenarnya juga mengatur hal-hal detail tentang kehidupan manusia.
Ia hadir untuk memandu masyarakatnya agar tidak berperilaku menyimpang. Film, sinetron, entertainment selebritas, karya fiksi, dan entah apalagi telah menempatkan seks sebagai pembentukan modal dagang."

TODAY I get the real video of peterporn,” tulis bintang porno Jepang Miyabi di akun Twitternya. Tentu Anda masih ingat saat jagat media hiburan dihebohkan oleh skandal seks beberapa artis dan musisi papan atas di negeri ini. Sebenarnya setiap hari kejadian serupa itu ada di tengah-tengah masyarakat.

Di situ sebenarnya ada tarian kearifan kultural steril. Sebab dalam konteks kebudayaan Cirebon yang berlaku dari dulu hingga sekarang bahwa angrabeni (seks dalam bahasa Cirebon) itu berasal dari kata dasar rabi. Ini bisa dimaknai merupakan ritual ibadah terhadap rabi (istri), di luar itu, tentu tidak bermakna angrabeni.

Dalam lanskap budaya Jawa Cirebon, misalnya, Sunan Kalijaga pernah berdakwah bahwa angrabeni iku kudu kanthi laku.

Artinya, esensi seks itu adalah amalan perilaku yang utama sekaligus amalan saleh sangu urip nganggo akherat.

Artinya lagi, seks itu agar diyakini bagian dari peribadatan yang dari setiap desah napas yang dikeluarkan akan mengalirkan kearifan ekstase religi.

Dengan begitu, diperlukan tata laku. Konon, tata krama angrabeni tidak bisa dilakukan secara instan dan grasa-grusu.

Dari ruang hangat Keraton Kasepuhan, Cirebon, misalnya, dua hari menjelang angrabeni, sang istri harus melaksanakan lulur lendir penyu. Seusai itu ada acara siraman bunga tujuh warna.

Hal itu diyakini sebagai elmu ambuka gua garba. Tiap kali tubuh disiram air padasan maka akan terdengar suara lirih sang istri, “Niat isun matak ajiku pulung guna pulung sari sun tabukake petiku sawisi. Gemebyar gebyar marang dadaku. Teka welas teka asih marang saliraku.” Sementara sang suami di ruang kontemplasi heneng hgening eling akan sedakep sinuku tunggal seraya berdoa Niat isun angrabeni lir mancur saking awisik manah tan ana sapa,

sing angalangi angrabeni. Temu tinemu asih welas, asih kersaning gusti sing maha welas asih.

Itulah sudah! Itulah ritual seks ketika diposisikan sebagai perilaku agung yang anggun.

Di sini, diyakini seks adalah kesucian fi tri.

Angrabeni adalah ritual kesucian dalam selimut kasih sayang di sebuah kamar steril dicahayai macapatan asmarandana. Dengan begitu, sungguh hal nista ketika seks dilakoni dalam lanskap ketelanjangan hewani. Soalnya, seks adalah kreasi bukan rekreasi. Sebuah tindakan peribadatan.

Maka tak aneh manakala pada tingkat ejakulasi tertinggi yang dialirkan bukan kenikmatan personal, melainkan kemanunggalan kalbu yang steril.

Pada titik didih kulminasi itu

justru yang dialirkan adalah desah doa lirih transendental, ”Benjang amenanging suarga, rabi ningsun dadia wadon widadari temuruna.” Kelak di surga, istriku ini turunkanlah jadi bidadari suci diri hamba. Emban ingemban selawase.” Bidadari temuruna? Benar dan betul! Istri adalah bidadari rumah masa depan di surga kelak. Hal ini mengingatkan saya pada mitos perawan sunti, lais, atau biasa disebut turun sintren.

Mitologi budaya pesisir Cirebon-Indramayu ini mengajarkan banyak hal tentang hal yang banyak seputar persetubuhan angrabeni dunia akhirat.

Ritual kultural ini digelar di bawah lanskap cahaya bulan ndadari ketika seorang perawan sunti-gadis suci yang belum tersentuh manusia dan jin itu-ditelanjangi, diikat dengan

tali, dimasukkan ke dalam kurungan ayam! Ia dibiarkan terperangkap takdir metafisika dalam ruang gelap awang-uwung.

Dalang sintren akan menaruh busana pengantin yang terdiri dari kain sarung tapih bermotif mega mendung, kutang kuning keemasan, kebaya sutra hijau motif bidadari-nadadari, selendang mayang wuyang, gelang emas, dan pernik-pernik aksesori lainnya.

Setelah itu dalang sintren membacakan doa diiringi gending gentong gendul dan tembang pedih para nayaga, "Turun turun sintren/sintrenne widadari/nemu kembang yun ayunan/nemu kembang yun ayunan/kembange batara indra/nemu kembang yun ayunan."

Ritual ini mengabarkan bahwa kesucian yang agung dari seorang perawan sunti dapat dilihat dari apa yang ada dalam kurungan ayam.

Artinya seks adalah hal yang tertutup. Bahkan dalam ajaran kebatinan abad XV tidak diperkenankan angrabeni dilakoni di luar selimut, telanjang bulat, dan dalam ruang benderang.

Konon, ini akan memungkinkan hadirnya makhluk ketiga yang ikut nimbrung angrabeni dari kalangan jin-setan merkayangan.

Saya memosisikan fenomena ini sebagai pesan moral dari ruang steril masa lalu. Kenapa?
Seks telah menjadi kesucian jiwa, kesucian badani juga kesucian ruh yang jauh. Dalam mitos lainnya, angrabeni iku kanthi laku juga pernah dituturkan dalam kasus tak senonoh saat Batara Guru angrabeni Dewi Uma yang dilakukan ketika senja jatuh di kaki langit.

Seks di senja hari ditengarai sebagai lelaku buruk. Saat peralihan warna langit sepatutnya manusia disunyikan dari nafsu.
Saat itu selayaknya manusia luruh memanunggal dalam ruang suci.

Tapi, tidak bagi Batara Guru dan Dewi Uma. Keduanya terlena dalam ambarang angrabeni.
Maka seperti kerap dituturkan para dalang, seks senja hari itu membuat Dewi Uma menjadi raksesi penjaga hutan bernama Batara Durga, sementara `tetes air nafsu' lahirkan jabang bayi bernama Batara Kala. Bayi raksasa itu menjadi adigag adigung adiguna yang kerap mencari mangsa. Salah satu yang dimangsa raksasa Batara Kala itu adalah anak `pancur kaapit sendang' juga `sendang kaapit pancur'.
Primadona, primadosa Kearifan ajaran kultural itu kini tidak lebih dari lukisan pelangi di kaki langit. Kita kerap lupa pada purwadaksina. Ajaran angrabeni kanthi laku itu serasa memberi isyarat agar kita kembali pada ajaran leluhur sebagai pamayung moral. Bahkan, tiap kali di hadapan kita ada cerita penyimpangan angrabeni iku kanthi laku, bisa jadi nalar kita bergetar telusuri masa lalu yang jauh. Bisa jadi kita mantuk-mantuk. "Siapa yang menodai ruang ibadah ketika ruang kamar kita dicaplok raksasa Batara Kala?" Seks di Indonesia dicitrakan bukan lagi sebagai ritual persetubuhan peribadatan. Film, sinetron, entertainment selebritas, karya fiksi, dan entah apalagi telah menempatkan seks sebagai pembentukan modal dagang. Manusia pun tak enggan memuja nafsu sebagai bagian dari pencitraan diri.

Tak aneh bila rating acara televisi menjadi istimewa ketika `dada dan paha' dijual obral murah meriah.

Apa boleh buat, ajaran purba angrabeni iku kanthi laku tidak mustahil kini hanya ada dalam lipatan nalar para budayawan juga para ibad ar rahman.

Bukankah tidak semata-mata diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah? Saya tersenyum. Seks bagian dari ibadah keluarga sakinah tentu lebih indah. (M-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/10/09/ArticleHtmls/09_10_2010_011_003.shtml?Mode=0

PESAN UNTUK KAPOLRI

Dimas Prasidi, PENELITI BIDANG HUKUM, TINGGAL DI JAKARTA

Harapan masyarakat kepada morat-maritnya penegakan hukum oleh kepolisian nasional negara ini telah mencapai titik jenuh.

Tak dinyana, publik dihantam oleh peristiwa tragis hancurnya penegakan hukum di negeri ini dalam interval dua tahun belakangan ini. Gelombang peristiwaperistiwa kebobrokan penegakan hukum mulai muncul bergantian. Tindakan-tindakan malpraktek dalam proses penyidikan dalam perkara mafia pajak, kriminalisasi terhadap rakyat jelata seperti dalam kasus Aan, kasus pencurian buah kakao, pencurian buah semangka, dan kriminalisasi Prita Mulyasari, yang pernah mencuat pada interval pertama tahun 2010, mengiringi kehancuran kepercayaan publik atas institusi penegak hukum. Ditambah dengan perkara-perkara individual yang dialami secara langsung oleh masyarakat sehari-hari, seperti pemerasan, penyiksaan, penjebakan, dan tindakan-tindakan malpraktek aparat kepolisian lainnya, runtuhlah sudah harapan publik akan integritas penegakan hukum di Indonesia.

Musim penggantian pucuk pemimpin beberapa lembaga penegak hukum yang tengah berlangsung sengit saat ini diharapkan berujung pada perbaikan proses penegakan hukum di Indonesia. Dua lembaga yang akan berganti kepemimpinan adalah Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Dua lembaga ini menjalankan peran utama di hulu proses penegakan hukum di Indonesia. Bahkan kedua lembaga ini memiliki diskresi yang besar dan dapat menentukan apakah suatu proses penegakan hukum atas suatu pelanggaran hukum dapat dilanjutkan atau tidak. Maka tidaklah salah apabila corong kritik dan tuntutan perubahan diarahkan kepada kedua lembaga ini. Maka tidak salah kiranya jika saya menitipkan sedikit pesan kepada para pemimpin baru kedua lembaga ini.

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam posisi yang demikian strategis, maka sudah sepantasnya proses ini dijaga agar tidak menyimpang dan menimbulkan malpraktek. Malpraktek penegakan hukum pidana dapat berakibat fatal, yakni perampasan hak konstitusional terdakwa secara tidak sah. Hal ini berkaitan dengan adanya proses perampasan kemerdekaan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan suatu tindak pidana.

Dalam rangka menjaga proses yang sah dalam proses peradilan pidana (due process of law), maka pada ranah ini perlu ada perimbangan pelaksana wewenang penyelidikan dan penyidikan. Artinya, diskresi yang terlampau besar pada satu pelaksana wewenang adalah haram hukumnya. Lebih jauh lagi, proses yang menentukan untuk menerapkan perlakuan yang tepat bagi warga negara yang melanggar hukum haruslah ditentukan lebih dari satu pilar kekuasaan negara dalam rangka perimbangan kekuasaan (checks and balances).

Sejarah Indonesia telah mencatat perjalanan kelam sistem peradilan pidana aki

bat adanya diskresi yang terlampau besar pada kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Dalam hukum acara yang berlaku sekarang, penyidikan dipegang penuh oleh lembaga penyidik, yang terdiri atas kepolisian untuk perkara-perkara pidana umum, kejaksaan untuk sebagian perkara khusus, Komisi Pemberantasan Korupsi untuk sebagian perkara korupsi, serta penyidik pegawai negeri sipil untuk perkara-perkara sektoral, seperti perkara kehutanan, perikanan, dan pajak.

Ketidakpuasan masyarakat atas kinerja penegak hukum di kepolisian dalam melaksanakan penyidikan terbukti setidaknya dapat tecermin dari kuantitas laporan yang masuk ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas menemukan bahwa dari 1.000 laporan yang masuk, 72 persennya adalah berkaitan dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh Divisi Reserse Kriminal Kepolisian. Data ini menguatkan adanya indikasi malpraktek dalam upaya penegakan hukum dalam proses penyidikan dan penyelidikan.

Hasil rekap statistik Laporan Pengaduan dari Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pun menggambarkan bahwa institusi Kepolisian masih menempati posisi "favorit"masyarakat sebagai institusi yang dicantumkan dalam aduan mereka. Per 24 Agustus 2010, sebanyak 439 laporan mengenai ketidakpuasan masyarakat kepada institusi Kepolisian masuk ke Satgas.

Praktek-praktek menyimpang, seperti pemerasan, penyiksaan, jual-beli perkara, dan kriminalisasi, tumbuh subur dalam proses penyidikan di Kepolisian. Laporan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada 2008 menegaskan bahwa 83,65 persen tahanan di Kepolisian mengalami penyiksaan. Angka ini mengagetkan karena hal tersebut terjadi di wilayah pusat pemerintahan (Jabodetabek).

Permasalahan di atas muncul dan telah mengakar dalam sistem peradilan pidana kita. Kita tidak bisa lagi skeptis dengan mengatakan bahwa problematika di atas muncul akibat kesalahan pribadi para “oknum”penegak hukum saja. Akar dari permasalahan di atas adalah besarnya kewenangan dari institusi kepolisian untuk “menggarap”tersangka atau terdakwa suatu tindak pidana, yakni 61 hari tanpa adanya institusi yang berwenang mengawasi proses tersebut. Tradisi pendampingan hukum dan keberadaan penasihat hukum pun telah dihilangkan dalam proses peradilan pidana nasional. Perubahan sistem dan regulasi harus dilakukan dengan menempatkan suatu sistem pengawasan terpadu terhadap setiap proses dalam sistem peradilan pidana. Tidak bisa tidak, perubahan ini akan menyentuh tradisi proses beperkara yang selama ini telah berjalan dengan aturan hukum acara yang ada.

Pada masa awal pemberlakuannya, hukum acara pidana digadang-gadang sebagai masterpiece. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan melalui UU No. 8 Tahun 1981 memperoleh gelar sebagai peraturan yang ramah terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Namun, dalam perjalanannya mendasari jalannya proses peradilan pidana di Indonesia, KUHAP tidak bisa lagi menjaga proses peradilan pidana berjalan secara prinsipiil.

Ide-ide baru, seperti ide membentuk lembaga hakim pengawas (komisaris) untuk mengawal proses peradilan pidana dari hulu sampai hilir, perlu dijajaki. Lembaga ini dinilai sebagai salah satu jalan keluar konkret terhadap pengawasan preventif dalam proses peradilan pidana, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penahanan, pemasyarakatan, dan lain-lain. Undangundang, sebagaimana konstitusi, haruslah dinamis dan bisa mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, perubahan adalah suatu hal yang lumrah, bahkan wajib. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/09/ArticleHtmls/09_10_2010_009_011.shtml?Mode=1

TKI dan Sawit Malaysia


Transtoto Handadhari

Dalam pernyataan yang dikeluarkan, di tengah ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu, tersirat kekhawatiran pemerintah bahwa ketegangan hubungan RI-Malaysia akan berimbas ke tenaga kerja Indonesia di sana.

Menurut data resmi, dari lebih 2 juta TKI yang bekerja di Malaysia, 78 persen bekerja di perkebunan. Terbesar bekerja di ladang sawit, sisanya di kebun karet, cokelat, dan kehutanan. Jumlah TKI di atas belum termasuk TKI ilegal yang bisa mencapai separuhnya.

Malaysia, sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua dunia setelah Indonesia mengandalkan pula hasil karet dan cokelat, jelas-jelas sangat menggantungkan diri pada peran TKI. Lapangan pekerjaan kasar di perkebunan sangat tidak diminati oleh masyarakat lapis bawah Malaysia sekalipun. Artinya, TKI kebun bisa saja menjadi ”mesiu” efektif Indonesia menghadapi arogansi Malaysia.

Kemilau sawit

Sawit (Elaeis sp) memang sedang menjadi primadona. Negeri tropis Indonesia dan Malaysia dengan jenis tanah podsol pada umumnya dan curah hujan 1.000-2.500 milimeter per tahun menjadikan negeri ini ladang yang amat produktif untuk sawit. Devisa yang diraup Indonesia saat ini sekitar 14 miliar dollar AS per tahun, padahal luas kebun sawit baru 7,2 juta hektar. Hasil produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia yang mencapai lebih dari 19 juta ton per tahun menempatkan Indonesia sebagai penghasil minyak CPO terbesar di dunia (44,5 persen).

Malaysia dengan keterbatasan lahan dan tenaga kerja ternyata mampu mendudukkan dirinya sebagai penghasil CPO nomor dua dunia setelah Indonesia. Namun, penghasil 17,35 juta ton CPO (41,3 persen) tersebut hanya mampu berproduksi lantaran dukungan sepenuhnya dari TKI.

Tahun 2050, permintaan global untuk minyak goreng diperkirakan mencapai 240 juta ton, hampir dua kali konsumsi tahun 2008. Produksi dan konsumsi minyak nabati dunia periode 2008-2012 saja diperkirakan 132 juta ton, sedangkan produksinya hanya 108 juta ton sehingga perlu pasokan baru sebesar 24 juta ton. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dunia diperlukan penambahan areal perkebunan kelapa sawit sebesar 12 juta hektar. Indonesia berpeluang besar memenuhi kebutuhan dunia tersebut. Namun, bagi Malaysia akan sangat terkendala untuk bersaing dengan Indonesia.

Malangnya, saat ini kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama akibat serangan ”green gun” dari sebagian lembaga swadaya masyarakat yang seakan memiliki misi menghambat pengembangan sawit Indonesia. Akibatnya, muncul keputusan sepihak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia. Gangguan ini tidak dialami kebun-kebun sawit Malaysia.

Hambatan lainnya, karena Indonesia dianggap ”tidak mampu” dibandingkan Malaysia dalam mempraktikkan produksi minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil production’) oleh dunia internasional sehingga para pengusaha Indonesia seperti dipaksa ”harus” bekerja sama dengan Malaysia dalam mengelola kebun sawit. Malaysia berpeluang menguasai perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

TKI di Malaysia

TKI menduduki jumlah pekerja terbesar di Malaysia. Sebagian bekerja di rumah tangga dan bangunan (20 persen) dan sisanya (80 persen) di perkebunan dan kehutanan. Sektor perkebunan merupakan andalan perekonomian Malaysia yang hampir sepenuhnya ditopang oleh tenaga kerja asal Indonesia. Tanpa pekerja Indonesia, sektor perkebunan akan ambruk.

Sebagai gambaran, Sabah, Malaysia Timur, dengan luas 76.115 kilometer persegi merupakan kantong TKI yang sangat diminati calon pekerja Indonesia karena faktor geografis (jarak), agama, dan bahasa yang memudahkan mereka berkomunikasi.

Jumlah TKI resmi di Sabah mencapai 538.180 orang, TKI ilegal menurut catatan Imigresen Sabah 329.388 orang, belum termasuk WNI ilegal yang keluar masuk Sabah dari Nunukan melalui ”jalan-jalan tikus” di Kalabakan, Tawau. Mereka diperkirakan berjumlah 182.746 orang tahun 2008. Dari kebun sawit di Sabah yang hanya sekitar 1,3 juta hektar, disumbangkan

97 persen PDB dan ekspor CPO merupakan 35 persen ekspor Sabah secara keseluruhan.

Yang berjasa dari proses produksi sawit tersebut adalah para TKI dengan jumlah 90 persen dari total pekerja perkebunan di Sabah. Selain TKI, terdapat pekerja dari Filipina, sementara pekerja dari negara lain seperti India, Banglades, Vietnam, dan Timor Leste, sebagaimana sering digembar-gemborkan Pemerintah Malaysia, belum tampak.

Upah rendah

Malaysia, di samping memiliki keterbatasan luas lahan sawit untuk bersaing dengan Indonesia, sebenarnya juga cemas terkait kebutuhan tenaga kerja kasar di lapangan. Seperti yang disebut di atas, nyaris hanya dipenuhi oleh tenaga kerja asal Indonesia.

Ironisnya, meskipun tingkat upah kotor pekerja perkebunan relatif rendah, rata-rata hanya 500 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp 1,25 juta dan tertinggi 700 RM, TKI tetap saja berebut bekerja di sana. Pekerja lapangan terbesar berasal dari Bugis dan Toraja, disusul NTB dan NTT, serta sisanya dari Banyumas yang dikenal ahli petik buah sawit.

Menjadi PRT pun gajinya juga hanya berkisar 350-500 RM atau sekitar Rp 1 juta per bulan, masih ditambah dengan bonus penghinaan (Rudhito Widagdo, KJRI Sabah, 2010).

Memang, kemudian menjadi mengherankan, mengapa hanya untuk meraih upah sedemikian rendah para TKI rela hidup sulit di kebun-kebun di negeri orang, dengan risiko tersia-sia dan bahkan hilang tak tentu jejaknya. Pemerintah selayaknya melihat keadaan nyata ini sebagai salah satu faktor yang dapat menekan kesemena-menaan Malaysia terhadap bangsa kita.

Kesempatan membuka kebun sawit yang lebih luas harus segera dirancang di atas lahan-lahan telantar ataupun menanami lahan hutan yang rusak. Kebijakan pengembangan kebun dan hutan tanaman yang ramah lingkungan di dalam negeri akan membuka lapangan kerja yang amat luas dan sekaligus mengembalikan para TKI untuk bekerja di negeri sendiri.

Di samping meningkatkan devisa, kebijakan tersebut akan meningkatkan martabat bangsa ini sekaligus memberikan pelajaran yang telak bagi keangkuhan negeri tetangga itu.

TRANSTOTO HANDADHARI Ketua Umum Yayasan GreenNET Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/04134820/tki..dan.sawit..malaysia

TNI untuk Wong Cilik

Oleh M Bashori Muchsin Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang

"DENGAN bedil dan pe luru, kekuasaan bisa direbut," demikian per nyataan Mao Tze Tung yang mengingatkan setiap elemen pemburu (oportunis) kekuasaan, bahwa senjata semacam pedang, parang, tombak, panah, atau bedil bisa digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.

Bedil telah diposisikan sebagai simbol dari suatu komunitas yang punya power seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dulunya ABRI untuk menciptakan atau merekayasa pengaruh, mengondisikan kekuatan, dan mengubah kondisi sesuai dengan yang dirancang, diobsesikan, dan direvolusinya.

TNI yang digolongkan sebagai salah satu elemen kekuatan strategis sudah terbukti. Dalam dinamika historis republik ini, TNI telah memberikan warna yang spesial. Di zaman Orde Baru, misalnya, kehadiran TNI (ABRI) telah mengisi ranah yang (nyaris) mutlak diperhitungkan. Di hampir semua jabatan strategis, elemen TNI, baik yang masih aktif maupun purnawirawan, digiring oleh model `demokrasi komando' untuk memimpinnya. Inilah yang kemudian memosisikannya sebagai elemen `tiga biola satu suara' dalam jalur ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar).

Seiring dengan pergantian rezim dan pemisahan TNI dengan Polri, paradigma baru TNI mencoba diperkenalkan atau disosialisasikan kepada masyarakat. TNI berobsesi memiliki dan menjadi milik rakyat. Sayangnya, TNI terkadang masih `tergoda' menggunakan bedil saat menjawab gerakan perlawanan keberingasan atau problem empirik rakyat kecil, padahal kata Girand dalam Violence and Sacred (1989), keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat. Keberingasan akan begitu saja bisa terjadi akibat frustrasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat. Sikap TNI ini dapat terbaca dalam beberapa kasus konflik antara TNI dan rakyat yang berelasi dengan hak penguasaan (penggarapan) tanah dan lainnya.

Barangkali yang perlu ditakut-takuti dengan bedil (kekuatan) atau sering dijadikan `proyek utama' kinerja represifnya TNI bukan orang kecil itu, melainkan komunitas teroris dan gangguan teritorial.

Pada 5 September 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi amanat di hadapan tentara Indonesia, "Angkatan perang ialah sebagai alat kekuasaan negara melindungi kedaulatan negara ke luar dan ke dalam.
Angkatan perang adalah satu kesatuan di bawah satu pimpinan. Tetap tenang, tenteram dan teratur, dengan meme gang teguh persatuan dan kewajiban dalam menghadapi bahaya dari dalam dan dari luar, mata seluruh rakyat.
Negara dan pemerintah sedang memandang kepadamu dengan penuh harapan dan penuh kepercayaan."

(Sudirman & Sudirman, Pusjarah TNI, Jakarta, 2004).

Salah satu jenis ancaman penyakit adalah `penyakit' yang menindas (menghegemoni) orang kecil. Sebagai sampel, kasus yang membenarkan derita masyarakat adalah jumlah kasus gizi buruk di Indonesia yang hingga saat ini masih memprihatinkan.
Setidaknya, 5 juta balita Indonesia menderita kekurangan gizi. Sebanyak 1,5 juta di antaranya menderita gizi buruk dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Potret buruk Sebagian orang kecil itu mengindikasikan masih banyak elite strategis negeri ini yang butuh disadarkan.
Pasalnya, mereka masih tidur dan bahkan terlelap dari peran-peran yang seharusnya dimainkannya. Elite strategis yang sedang berpenyakitan ini memerlukan elemen kekuatan lain yang bisa dan berani membangunkannya dari tidur atau menyadarkannya.

Gerakan penyadaran itu termasuk bagian dari jihad atau `berperang' yang bisa ditunjukkan dan digalakkan TNI untuk meluruskan sikap-sikap dan mental golongan elite yang sedang terlelap atau tergelincir membelokkan jalur kebenaran, egalitarian, keadilan, dan pengabdian humanitasnya.

Jihad yang bisa ditunjukkan TNI itu . bukan hanya dengan menggunakan senjata (bedil atau pedang), tetapi juga menggunakan tulisan, ucapan atau " kolaborasi strategis, yang ditujukan , untuk memenangkan doktrin kebe naran, supremasi kesederajatan, mengt utamakan tegaknya martabat kemanus siaan, dan pembebasan rakyat kecil, i yang notabene komunitas yang di landa kesulitan ekonomi, bencana s alam, dan kemudaratan lainnya.
a "Jika kamu diseru berjihad, pergi . lah," demikian sabda Nabi Muhama mad SAW, yang mengingatkan tentang k kewajiban elemen strategis masyarakat i (TNI) untuk menegakkan dan menyak lakan ajaran pembelaan terhadap negara dan bangsa. Salah satu harkat yang wajib dibela atau dijadikan objek jihad adalah nasib orang kecil. Kesulit an yang sedang mengimpit orang kecil ini adalah `proyek' jihad yang wajib . hu kum nya digarap TNI dengan mengerahkan kekuatan istimewanya.
g Bagi komunitas elitis seperti TNI yang sedang hidup lebih baik dan i terhormat, yang bahkan di antaranya sudah berada di jalur kemewahan atau berstatus sosial mapan (upper class), . tentulah tak ada jalan lain bagi mereka k kecuali harus berada di garda depan ' perjuangan memperbaiki nasib orang kecil. Golongan akar rumput ini tak akan mampu menggeliatkan diri, g apalagi memperoleh predikat `pemenang' dalam bursa kompetisi , dengan elite strategis, kalau tidak mendapatkan dukungan dari elemen istimewa lainnya (TNI).

Tanpa andil TNI itu, sulit rasanya perjuangan menabur kesejahteraan bagi orang kecil bisa terlaksana. Atau, setidaknya merebut dan melabuhkan makna pemartabatan orang kecil akan banyak menemui batu terjal. Jihad oleh TNI bukan tanpa dukungan kemampuan privilese. Pasalnya, tak sedikit di antara bisnis atau `kreativitas ekonomi' TNI di negeri ini yang terbilang sukses.
Bangkitlah! Dan pikullah amanat ini di atas pundakmu. Embuskan panas napasmu di atas kebun ini, agar harum-haruman narwastu meliputi segala. Janganlah, jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak. Hanya bernyanyi, ketika terempas di pantai.
Tapi, jadilah kamu air bah, menggugah dunia dengan amalmu. Demikian sajak penyair kenamaan Muhammad Iqbal, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa atau pemegang amanat utama untuk tampil sebagai pemainpemain andal yang mampu menghadirkan perubahan dan pencerahan.

Kalau dalam ranah historis, TNI sudah terbukti sangat piawai menjadi pemain dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keutuhan NKRI.
Seharusnya, ketika dihadapkan dengan banyaknya problem kemanusiaan seperti eksplosi bencana yang menimpa orang kecil atau `membanjirkan' mustadh'afin, TNI pun mampu menunjukkan kekuatan dengan mengubah atmosfer ketidakberdayaan atau ketidakbermartabatan orang kecil menuju atmosfer kehidupan yang menyelamatkan, menyehatkan, menyejahterakan, atau memanusiakannya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/10/05/ArticleHtmls/05_10_2010_007_018.shtml?Mode=0

Makam Gus Dur Sederhana



Koran Seputar Indonesiaedisi 28September2010memuat tulisan Dr AS Hikam yang berjudul “Memugar Pusara Sang Penakluk”.Tulisan itu intinya menolak kebijakan pemerintah untuk memugar makam Gus Dur di pemakaman keluarga di dalam kompleks Pesantren Tebuireng.

Tulisan itu mendukung penolakan keluarga Gus Dur terhadap rencana pemugaran makam Gus Dur. Substansi tulisan–yaitu menolak pemugaran makam Gus Dur– itu sungguh benar,tetapi salah alamat kalau ditujukan pada pemerintah. Bahkan, tidak perlu dibuat tulisan untuk menolak pemugaran makam Gus Dur.

Mengapa? Karena tidak ada rencana dari pemerintah maupun dari keluarga Gus Dur serta Pesantren Tebuireng untuk memugar makam itu. Makam Gus Dur tidak akan disentuh sama sekali. Makam Gus Dur akan tetap seperti sekarang, sama dengan makam orangtuanya,mbahnya,dll.Paling jauh dirapikan dengan mengganti pinggirannya yang saat ini adalah conbloc dengan bahan keramik, marmer, atau granit.Tidak akan lebih dari itu.

Paham keagamaan NU tidak memberi toleransi dalam kemewahan makam ulama atau umara, yang dianggap sebagai sesuatu yang amat berlebihan (isyraf). Makam ulama, termasuk makam Gus Dur,bukan berhala yang perlu disembah. Para peziarah tidak (boleh) meminta kepada kuburan atau yang dikubur, hanya bertawassul pada (memohon kepada Allah melalui perantaraan) ulama di kubur.

Sebenarnya tulisan itu tidak perlu dibuat kalau Dr AS Hikam mau membuang waktu untuk bertanya terlebih dulu kepada Menko Kesra, Gubernur/Wagub Jatim, atau saya, mengenai mengapa pemerintah membuat rencana memugar makam Gus Dur.Juga kalau para jurnalis lebih cermat mendengar dan membuat berita. Karena, saya sudah berkali-kali di berbagai kesempatan menjelaskan bahwa makam Gus Dur tidak diapa-apakan.Penjelasan itu saya berikan karena banyak pihak kirim SMS yang menanyakan apa Gus Dur mau jadi seperti raja, kok makamnya dibangun dengan dana Rp180 miliar.

Membangun Museum

Kalau demikian halnya, lalu biaya yang fantastis sebesar ± p180 miliar itu akan dipergunakan untuk apa? Pada akhir Maret 2010, saya diterima oleh Presiden SBY yang didampingi Mendiknas Prof DR Moh Nuh di Cikeas. Dalam kesempatan yang baik itu,saya sampaikan kesulitan yang dihadapi oleh Pesantren Tebuireng dan masyarakat sekitar pasca-adanya makam Gus Dur di dalam kompleks Pondok Pesantren Tebuireng.

Setiap hari ada sekitar 2.000 peziarah dan meningkat menjadi sekitar 7.000 peziarah padahariSabtu/ Ahaddanharilibur. Dalam bulan Agustus 2010, menjelang Ramadan, banyak sekali peziarah yang datang. Dengan sendirinya kegiatan di dalam kompleks pesantren Tebuireng amat terganggu. Para peziarah dan santri rebutan tempat di masjid dan tempat wudhu.Karena itu, pada jam 04.00–07.00 WIB dan jam 17.00–20.00 WIB,kompleks pesantren ditutup bagi peziarah. Ratusan bis dan kendaraan lain parkir di sembarang tempat sehingga mengganggu lalu lintas dan kenyamanan.

Banyak sekali pedagang musiman yang datang dari berbagai kota, yang mengganggu masyarakat sekitar. Jalan menjadi kotor, para pedagang berjualan pada jalan tertentu yang membuat pemilik rumah di situ menjadi amat tidak nyaman. Presiden menanggapi keluhan saya itu dengan baik dan berjanji akan mengirim tim untuk melakukan survei. Menko Kesra diberi perintah lisan oleh presiden untuk berkoordinasi dengan sejumlah menteri, Gubernur Jatim dan Bupati Jombang.

Pemkab Jombang dan Pemprov Jawa Timur merencanakan untuk membuat tempat parkir bagi bis, mobil, dan sepeda motor yang membawa ribuan peziarah. Di tempat itu juga akan dibangun tempat istirahat sopir, tempat berjualan oleh-oleh dan makanan, musala, kamar mandi, pos keamanan, dll. Pembebasan tanah saat ini sedang dalam proses. Rapat koordinasi di bawah Menko Kesra telah setuju untuk membangun semacam museum yang diberi nama “Rumah Islam Nusantara Hasyim Asy’ari” yang di dalamnya terdapat Perpustakaan Abdurrahman Wahid.

Didalam Rumah Islam Nusantara akan disajikan berbagai informasi tentang peran-serta para ulama dalam perjuangan merintis kemerdekaan. Dengan mengunjungi museum itu,para peziarah akan mengetahui bahwa para ulama NU ikut aktif dalam mendirikan NKRI. Mereka akan bisa mengetahui tentang adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU pada 22 Oktober 1945,yang menyerukan umat Islam untuk membela TNI (yang baru berumur 3 minggu) dalam pertempuran menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia dengan mendompleng tentara sekutu.

Terdorong oleh fatwa ulama NU dalam Resolusi Jihad itu maka ribuan pemuda Islam di Surabaya dan sekitarnya tanpa takut menghadapi tentara Belanda dan Inggris di kota Surabaya pada 10 November 1945.Padahal,mereka hampirhampir tidak bersenjata. Dorongannya adalah kalau mereka gugur akan menjadi syuhada (mereka yang mati syahid).Peristiwa heroik itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Dengan mengetahui faktafakta itu,tidak mudah bagi mereka untuk dibujuk oleh siapa pun supaya mendukung gerakan mendirikan negara Islam atau ikut dalam kegiatan Islam radikal yang memahami jihad secara keliru. Bagi saya, jihad dalam arti perang fisik melawan umat agama lain di Indonesia hanya terjadi pada perang kemerdekaan 1945–1949. Itu pun bukan karena alasan perbedaan agama tetapi karena kebetulan kita dijajah oleh Belanda yang beragama Kristen.

Memudahkan Peziarah

DidalamkompleksindukPesantren Tebuireng–di mana terletak makam Gus Dur dan orang tuanya, KH Hasyim Asy’ari–terdapat bangunan pondok (asrama) untuk lebih dari 1000 santri,masjid,gedung sekretariat, rumah pengasuh, dapur, ruang makan, dll.Untuk memberi pelayanan lebih baik kepada peziarah dan tidak mengganggu para santri, pintu masuk bagi peziarah akan diletakkan di sebelah barat. Untuk itu sejumlah bangunan perlu dibongkar.

Sepatutnya perlu dibangun sejumlah bangunan pengganti. Selain itu, perlu upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu lingkungan makam.Akan dibangun sebuah bangunan peneduh bagi para peziarah yang berdoa karena bangunan yang ada sudah tidak bisa menampung. Karena di dalam kompleks pemakaman ada makam dua pahlawan nasional (kakek dan ayah Gus Dur) serta ada kemungkinan besar Gus Dur juga akan menjadi pahlawan nasional,maka halaman di dalam kompleks Pondok yang mengelilingi makam akan ditingkatkan mutunya.

Peningkatan itu dengan rancangan lanskap yang baik,yang menggunakan pola yang lazim digunakan dalam arsitektur lanskap Islam. Upaya itu adalah bentuk penghormatan yang wajar terhadap dua (amat mungkin menjadi tiga) pahlawan nasional, yang notabene adalah kakek,bapak,dan cucu.

Jumlah terbesar (sekitar 70 %) dari anggaran Rp180 miliar itu disediakan untuk memperlebar jalan antarkota dan jalan di dalam Kabupaten Jombang. Langkah itu dilakukan karena ingin meningkatkan pelayanan terhadap para peziarah yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari sejuta orang per tahun, juga untuk meningkatkan kegiatan perekonomian Kabupaten Jombang.(*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/356148/