BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Ditanggalkan oleh orang Cina, dilestarikan oleh muslim di Indonesia.

Written By gusdurian on Senin, 27 September 2010 | 14.25

DALAM novel The Da Peci Code karya Ben Sohib, tokoh utamanya Rosid menggugat baju koko. Kepada ustadz Holid, si Rosid kribo bilang, “Tadi ane lihat, semue orang di masjid ini pake baju koko. Baju koko dianggap baju Islam. Emang sejak kapan baju koko masuk Islam? Dulu kagak ade orang yang bilang itu baju Islam. Semue orang juge tau kalau itu baju asalnye dari negeri Cina...Terus kenape jadi dikaitin ame Islam, seolah-olah kalau yang pake baju koko itu berarti orang Islam yang Islami? Di mane letak kaitannye?”

Rosid benar, baju koko berasal dari Cina. Menurut sejarawan JJ. Rizal, baju koko itu berasal dari baju tui-khim. “Itu baju harian cokin, diadopsi oleh macam-macam suku bangsa di Nusantara. Ingat baju Teluk Belanga (pakaian adat pria Kepulauan Riau-Red), itu juga hasil modifikasi dari tui-khim. Jadi, modifikasi tui-khim ada kaitannya dengan Islam di tanah Melayu. Baju koko sendiri saya rasa itu diadopsi dari masyarakat Tionghoa, karena ada konsep tanpa kancing, atau paling banter bungsel pala capung,” kata Rizal yang mengelola penerbit Komunitas Bambu kepada Majalah Historia Online (20/8).


Sementara itu, menurut pengamat budaya Tionghoa peranakan, David Kwa seperti dikutip Pradaningrum Mijarto dalam “Tui-Khim dan Celana Komprang Berganti Jas dan Pantalon,” di kalangan warga Betawi, tui-khim juga dipakai dan dikenal dengan sebutan baju tikim. “Baju ini seperti baju koko, bukaan di tengah dengan lima kancing. Padanannya, celana batik. Untuk acara khusus dikenal thng-sa (baju panjang), sepanjang mata kaki. Hingga awal abad ke-20 pria Tionghoa di Indonesia masih menggunakan kostum tui-khim dan celana komprang (longgar) untuk sehari-hari,” kata David Kwa.


Bagaimana ceritanya tui-khim menjadi baju koko? Menurut Remy Sylado, karena yang memakai tui-khim itu engkoh-engkoh –sebutan umum bagi lelaki Cina– maka baju ini pun disebut baju engkoh-engkoh. “Dieja bahasa Indonesia sekarang menjadi baju koko,” kata Remy dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.


Menurut David Kwa, sejak berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Perhimpunan Tionghoa –perhimpunan modern pertama di Hindia Belanda pada 1900; kemudian runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada 1911; serta makin banyaknya pria Cina yang diperbolehkan menggunakan pakaian Belanda setelah mengajukan gelijkstelling (persamaan hak dengan warga Eropa), baju tui-khim, celana komprang, dan thng-sa mulai ditanggalkan oleh orang-orang Cina sendiri dan berganti dengan pakaian gaya Eropa atau Belanda, kemeja, pantalon, dan jas buka serta jas tutup.


Baju koko terkadang suka disamakan dengan “baju takwa”, padahal berbeda. “Baju takwa” tidak diadopsi dari pakaian thui-kim, tapi hasil modifikasi dari baju tradisional Jawa, yaitu Surjan. Surjan merupakan salahsatu pakaian adat Jawa yang khusus dipakai pria sehari-hari. Pakaian jenis ini bisa dipakai untuk menghadiri upacara-upacara resmi adat Jawa dengan dilengkapi blangkon dan bebetan.


“Surjan berasal dari kata Su dan ja, yaitu nglungsur wonten jaja (meluncur melalui dada), sehingga bentuk depan dan belakang panjang,” tulis AM. Hidayati dalam Album Pakaian Tradisional Yogyakarta.


Adalah Sunan Kalijaga yang kali pertama memodifikasi surjan menjadi “baju takwa”. Dari sembilan wali, hanya dia yang pakaiannya beda. Menurut Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga tidak menggunakan jubah dan sorban. Tapi merancang sendiri bajunya yang disebut “baju takwa”. Yaitu, baju jas model Jawa dengan kerah tegak dan lengan panjang. “Sunan menciptakan baju yang disebut ‘baju takwa’. Surjan Jawa yang semula lengan baju pendek, diganti dengan lengan panjang. Dengan kreasi semacam inilah Sunan mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.


Namanya saja “baju takwa” pasti disimbolisasikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Menurut M. Jandra dalam Perangkat/Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta, “baju takwa” pada lehernya terdapat tiga kancing yang melambangkan Iman, Ikhsan dan Islam. Tiga kancing yang terdapat pada bahu kanan dan bahu kiri melambangkan dua kalimat sahadat. Enam kancing yang terdapat pada kedua lengan kiri dan kanan melambangkan rukun Iman. Dan lima kancing depan melambangkan rukun Islam.


Sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga dekade 1980-an, Soeharto mempersempit ruang gerak Islam –termasuk simbol-simbol keislaman– karena dianggap akan mengganggu kemapanan kekuasaan. Namun, sejak dekade 1990-an, berbagai unsur Islam memperoleh kesempatan luas dalam struktur negara dan ruang publik. Ini disebut “politik akomodasi Islam”. Dari empat jenis akomodasi, salahsatunya adalah akomodasi kultural berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah-wilayah publik. “Seperti pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalamu’alaikum,” tulis M. Imadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal.


Sejak saat itu hingga kini pemakaian baju koko kian masif. Ia hampir menjadi pakaian resmi beribadah. Seperti kata Rosid, sebagian besar yang salat di masjid pakai baju koko. Baju koko menjadi komoditas yang menggiurkan, terutama menjelang lebaran, karena tradisi tunjangan hari raya (THR), salahsatunya dengan baju koko untuk dipakai salat Id.


Pemakaian baju koko tidak hanya untuk beribadah. Tapi, menjadi seragam sekolah SMP dan SMA setiap hari Jumat. Juga, di beberapa daerah seperti di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan; Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Indramayu Jawa Barat; baju koko menjadi seragam wajib bagi pegawai negeri sipil setiap hari Jumat.


Baju koko yang tiada lain adalah modifikasi dari tui-khim, baju harian cokin dan telah ditanggalkan, kini begitu Islami. [HENDRI F. ISNAENI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-302-koko-masuk-islam.html

Sebelas Tahun Perjalanan UU Pers

OLEH ATMAKUSUMAH

Hari ini, 11 tahun yang lalu, Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang ditandatangani dan disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, pas 10 hari setelah disetujui dalam Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketentuan hukum ini dianggap signifikan oleh pengamat pers dan Associate Professor George Washington University di Washington DC, Amerika Serikat, Janet E Steele, karena ”untuk pertama kali membalikkan kedudukan pers Indonesia dari posisinya yang berbeda pada masa sebelumnya. Undang-undang itu memberikan sanksi pidana denda atau penjara bagi yang berupaya membatasi kebebasan pers, bukan sebaliknya mengancam pers”.

Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini menjamin kemerdekaan pers, menghapus sistem lisensi berupa perizinan yang membatasi kebebasan pers, dan menghapus kekuasaan pemerintah untuk melarang penerbitan pers. Untuk tindakan penyensoran, pemberedelan, dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik media pers, baik cetak maupun elektronik, dikenai sanksi pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

UU ini memberikan kebebasan kepada pers untuk mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi. Wartawan diberi hak tolak atau hak ingkar, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan narasumber anonim atau konfidensial yang perlu dilindungi, baik dalam pemberitaannya maupun ketika menghadapi pemeriksaan oleh penegak hukum.

Selain itu, UU ini menghapus pembatasan tentang siapa yang dapat bekerja sebagai wartawan dan mereka bebas memilih organisasi wartawan untuk menjadi anggotanya. UU ini juga memungkinkan pers mengatur dirinya sendiri dengan mendirikan Dewan Pers yang independen.

Satu dasawarsa agaknya belum cukup lama bagi masyarakat, termasuk pejabat negara dan penegak hukum, untuk sepenuhnya memahami makna kemerdekaan pers yang dilindungi oleh ketentuan hukum itu. Kelahiran UU ini pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengakhiri tekanan terhadap pekerjaan pers, baik tekanan hukum maupun tindakan kekerasan, agar pers tidak terbelenggu dalam tugasnya sebagai salah satu pelaksana kebebasan berekspresi masyarakat.

Sebaliknya, dari harapan para perancang dan pemutus UU Pers, sampai sekarang masih ada jaksa dan hakim, bahkan hakim agung, yang tidak menghargai UU ini dengan hanya menggunakan KUHP yang dapat memenjarakan pengelola media pers.

Ini bertentangan dengan pandangan (mantan) Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, yang dijelaskan dalam Rapat Kerja MA di Kuta, Bali, 19 September 2005. Ia telah memberikan petunjuk kepada para hakim agar dalam putusan hukuman pidana bagi pers diterapkan denda sebagai ganti rugi, bukan hukuman badan, apalagi sampai menutup perusahaan pers. Tujuannya, kata Bagir Manan, sebagai pendidikan bagi pers, bukan untuk menghukum pers, apalagi mematikan kebebasan pers.

Tindakan kekerasan oleh masyarakat terhadap pers dan wartawan, sebagai protes terhadap karya jurnalistik yang tak mereka sukai, masih terjadi walaupun sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun awal Reformasi. Sikap pihak kepolisian selama beberapa tahun terakhir telah lebih melindungi lembaga pers dibandingkan dengan masa awal Reformasi, dengan menahan demonstran yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pers.

Komitmen lemah

Bermacam-macam kenyataan seperti dialami oleh pers kita selama satu dasawarsa terakhir merupakan gambaran tentang masih tertekannya kebebasan pers di negeri ini. Berbagai hambatan yang dialami pers dalam menjalankan tugasnya menyebabkan kebebasan pers kita mengalami kemerosotan dibandingkan dengan keadaan pada masa awal Reformasi.

Berdasarkan penelitian lembaga pengamat pers internasional yang berbasis di Paris, Reporters Sans Frontieres (Reporter Tanpa Perbatasan), selama delapan tahun terakhir kebebasan pers di Indonesia tidak pernah sebaik tahun 2002. Tahun itu kebebasan pers kita berada pada peringkat ke-57 dari 139 negara yang diteliti. Sesudah itu terus merosot ke peringkat ke-100 sampai peringkat yang lebih rendah lagi dari itu.

Berbagai kenyataan, yang mendukung atau sebaliknya tidak mendukung perkembangan kebebasan pers, menentukan peringkat ini. Apakah di negara itu terdapat perlindungan yang memadai, baik dari hukum maupun dari penegak hukum dan pemerintah, terhadap praktik pers yang bebas serta para pengelolanya. Apakah terdapat gangguan terhadap keselamatan pengelola media pers dan apakah gangguan itu dapat ditanggulangi dan diselesaikan oleh penegak hukum. Apakah terdapat tekanan serta tindakan kekerasan oleh publik dan pejabat pemerintah terhadap media pers dan pengelolanya.

Kemerosotan peringkat kebebasan pers di negeri ini mencerminkan masih lemahnya komitmen kita dalam upaya menegakkan kebebasan pers. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah masih lemahnya pemahaman kita tentang makna dan manfaat kebebasan pers dalam masyarakat demokratis.

ATMAKUSUMAH Pengamat Media; Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo; Mantan Ketua Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03290973/sebelas.tahun.perjalanan.uu.pers

Indonesia Lumbung Pangan Dunia?

Oleh Murniaty Santoso

Memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional, 24 September, sebagai anak bangsa kita bertanya, masihkah Indonesia disebut negara agraris mengingat negara ini masih mengimpor beras, kedelai, dan gandum dalam jumlah yang besar?

Sekalipun mi instan telah menjadi makanan pokok rakyat kita selain nasi, tahu, dan tempe, gandum yang merupakan bahan baku mi instan merupakan produk impor. Padahal, Indonesia mestinya berswasembada pangan mengingat potensi agrarisnya yang begitu menjanjikan.

Pertama, ketersediaan lahan pertanian yang luas. Indonesia memiliki lahan pertanian lebih kurang 30 juta hektar (Departemen Pertanian, 2009). Kedua, ketersediaan air yang melimpah. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat curah hujan di Indonesia sangat tinggi, rata-rata 2.000-3.000 milimeter per tahun.

Persoalannya, apakah pemerintah mempunyai rencana jangka panjang 10-20 tahun ke depan untuk mengatasi krisis pangan? Rencana tersebut secara komprehensif mencakup pembibitan, pemupukan, perbaikan struktur tanah, reformasi irigasi, penggunaan mesin besar, hingga panen. Bagaimana pula dengan penggunaan teknologi nano di sektor pertanian, reformasi pertanahan (land reform), modernisasi lahan pertanian menjadi berskala besar (di atas 10.000 ha), penyediaan infrastruktur penunjang, dan pemberian insentif pemerintah? Semua ini sangat penting dalam mencapai ketahanan pangan.

Belajar dari Brasil

Kita harus mencontoh Brasil. Brasil kini muncul sebagai lumbung pangan dunia. Negara ini 15 tahun lalu adalah negara pengimpor bahan pokok dalam jumlah masif, seperti kedelai, gandum, dan daging. Namun, tahun 2010 Brasil menjadi negara tropis pengekspor gandum terbesar di dunia, di mana gandum merupakan makanan pokok dunia hari ini. Tak hanya itu, Brasil juga menyuplai seperempat total kebutuhan kedelai dunia (hanya dari sekitar 6 persen lahan pertaniannya), pengekspor kapas terbanyak, penghasil gula tebu, kopi, dan etanol terbanyak di dunia (The Economist, 28/8).

Padahal, potensi agraris Brasil jauh di bawah Indonesia. Brasil hanya memiliki sekitar 400.000 hektar lahan pertanian, jauh lebih kecil dibanding 30 juta hektar lahan pertanian Indonesia (FAO). Begitu pula dengan ketersediaan air. Curah hujan di Brasil Utara (daerah pertanian gandum dan kedelai) mencapai 975 mm per tahun, setara dengan curah hujan di Afrika yang kering, sedangkan curah hujan di Indonesia 2.000-3.000 mm per tahun.

Apa yang membuat Brasil mampu membalikkan nasib? Brasil sangat memerhatikan peningkatan populasi dunia yang diproyeksikan naik dari 7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050 sehingga perencanaan pertanian dibuat sesuai dengan asumsi tersebut.

Embrapa (Lembaga Penelitian Pertanian Pemerintah Brasil) secara kontinu mencari sistem pertanian yang cocok bagi Brasil sejak 1970-an. Mereka meneliti kondisi tanah, tingkat keasamannya, kebutuhan air, dan campuran material untuk setiap jenis tanah, peningkatan intensitas tanaman pangan, serta pemilihan dan rekayasa benih. Semuanya memakan waktu dan percobaan panjang di laboratorium nanoteknologi Embrapa. Hasilnya, total nilai produksi pertanian Brasil selama periode 1996-2006 meningkat dari 26 miliar dollar AS menjadi 108 miliar dollar AS. Tak heran, padang sabana Brasil hijau dengan kedelai dan gandum.

Pekerjaan rumah kita

Belajar dari Brasil, penyebab utama Indonesia tidak bisa berswasembada pangan sekalipun memiliki potensi agraris yang menjanjikan adalah karena Indonesia tidak lagi punya rencana jangka panjang di bidang pertanian. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I-VII) telah ditinggalkan bersama berlalunya Orde Baru. Padahal, garis besar perencanaan semacam inilah yang membuat Brasil berhasil.

Perencanaan pertanahan jangka panjang (land reform) harus dibuat untuk jangka waktu paling tidak 10-20 tahun mendatang. Perencanaan ini harus dirancang agar melibatkan pemerintah dan swasta. Kedua pihak harus berfokus pada pertanian yang mengedepankan economy of scale. Untuk itu, pihak swasta harus diberi ruang untuk mengembangkan pertanian skala besar dan berteknologi tinggi.

Pertanian pola tradisional tak lagi mumpuni untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik, dan tidak efisien, apalagi untuk mimpi menjadi lumbung pangan dunia. Mencontoh Brasil, perusahaan swasta di sektor pertaniannya terbukti mampu mengoptimalkan sekitar 15 persen dari total lahan pertanian dengan economy of scale yang sangat tinggi, produktivitasnya mencapai 365 persen!

Selain signifikannya swastanisasi pertanian, penyediaan infrastruktur penunjang sektor pertanian penting dimasukkan dalam rencana jangka panjang tersebut. Sebagai perbandingan, Brasil membangun jalan-jalan raya untuk memuluskan distribusi bahan mentah dan produk pertanian dari pedalaman sampai pesisir. Brasil bahkan membangun sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan bagi keluarga petani. Peran pemerintah juga dapat diwujudkan dalam pemberian insentif pajak, tingkat bunga rendah, dan kemudahan birokrasi.

Mengenai pembibitan, perlu dikaji ulang apakah monopoli bibit menguntungkan petani dalam jangka panjang. Penelitian-penelitian untuk penyediaan bibit unggul yang paling produktif, tahan hama dan perubahan cuaca, serta sesuai dengan struktur tanah di Indonesia sebaiknya didukung pemerintah. Bila petani masih menanam bibit rapuh tak tahan perubahan cuaca seperti hari ini, maka gagal panen akan semakin mengorbankan rakyat banyak.

Perencanaan jangka panjang dengan mempertimbangkan multifaktor sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan oleh setiap negara yang ingin survive dari krisis pangan dunia. Brasil telah berbenah sejak 30 tahun lalu untuk menjadi lumbung pangan dunia hari ini. China sedang secara khusus mendorong penelitian agrikultur agar 1,3 miliar rakyatnya tak perlu lagi mengimpor gandum 10-20 tahun mendatang.

Ini saatnya Indonesia menata diri. Dan rencana jangka panjang adalah batu penjurunya. Maju Indonesiaku!

Murniaty Santoso Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society: Alumnus MIT Sloan School of Management

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/0349580/indonesia.lumbung.pangan.dunia

Harapan di Hari Tani




Oleh Henry saragih

Saat hendak menulis refleksi Hari Tani Nasional, 24 September, yang terbayang adalah keadaan kelam, suram, dan seram.

Bulan depan di Roma, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) akan bersidang membahas kelaparan yang saat ini dialami lebih dari satu miliar jiwa. Padahal, tahun 1996 jumlahnya 825 juta. Target Millennium Development Goals (MDGs) untuk menghapus kelaparan 50 persen pada tahun 2015 tidak tercapai.

Awal Desember 2010 akan berlangsung sidang Conference of Parties (COP) Ke-16 tentang Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko. Banyak pihak yang pesimistis karena Copenhagen Accord yang dihasilkan COP sebelumnya tidak bisa menjadi pegangan.

Di Tanah Air, rakyat yang antre berdesak-desakan saat pembagian zakat menjadi bukti betapa kemiskinan lebih suram daripada angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik.

Cuaca tidak menentu telah menggagalkan rencana tanam dan panen. Adakah harapan bagi petani di tengah kekelaman itu?

Umumnya orang miskin di Indonesia adalah mereka yang tinggal di desa. Banyak penduduk desa yang menganggur karena tak memiliki tanah untuk bertani. Mayoritas hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar atau 0,5-1 hektar. Mereka masuk kategori orang miskin dan rawan miskin. Merekalah yang mendapat jatah beras untuk orang miskin (raskin), penerima bantuan langsung tunai (BLT), dan pengobatan gratis. Banyak orang menilai, semua program itu bersifat karikatif, tidak membebaskan rakyat dari kemiskinan. Akan tetapi, sangat sedikit yang memberikan alternatif yang sungguh membebaskan.

Tanah untuk petani

Untuk menyejahterakan petani, pemerintah perlu segera melaksanakan landreform dengan membagikan tanah kepada orang-orang yang tak bertanah dan petani gurem. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu ragu menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah dicanangkan pada awal Januari 2007 dan awal Januari 2010.

Kalau sebelumnya pemerintah menyebut angka 9,6 juta hektar untuk landreform, sebaiknya jumlahnya digenapkan menjadi 10 juta hektar. Target ini harus dicapai selama lima tahun ke depan, dengan syarat tanahnya subur dan tidak merusak hutan lindung.

Rencana harus dimulai dengan membentuk badan khusus pelaksana landreform. Badan ini langsung di bawah presiden dan diharapkan tahun 2012 petani sudah bisa menerimanya. Jika lahan 10 juta hektar itu didistribusikan kepada empat juta kepala keluarga petani, masing-masing akan menerima 2,5 hektar. Multiefek positif akan terjadi mulai dari lapangan kerja yang tersedia hingga jumlah penduduk miskin yang meningkat kesejahteraannya.

Pemerintah bisa mengambil tanah perusahaan perkebunan yang telah berakhir masa hak guna usahanya atau melanggar undang-undang. Bisa juga tanah subur yang ditelantarkan. Yang penting, jangan mengulang kesalahan pemerintahan Orde Baru yang membagikan tanah tidak subur kepada transmigran.

Dasar hukum dilaksanakannya landreform adalah Undang- Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945. Sementara landasan kebijakan internasionalnya adalah hasil International Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang dihasilkan FAO tahun 2006.

Target organik

Pemerintah Indonesia telah menetapkan tahun 2010 sebagai tahun ”Go Organic”. Kalau pemerintahan Orde Baru sejak 1970 mentransformasikan pertanian tradisional ke pertanian industrial lewat revolusi hijau, pemerintahan SBY harus mentransformasikan yang ada ke pertanian organik yang berkelanjutan atau agroekologis. Tanah yang didistribusikan melalui PPAN bisa untuk mengembangkan pertanian organik. Sistem pertanian ini diyakini dapat mengurangi pemanasan global sebagai alternatif atas pertanian industrial yang menyebabkan pemanasan global.

Selanjutnya, pemerintah harus membatasi dan impor pangan. Ketergantungan pada pasar pangan dunia harus dihentikan. Kalau tidak, Indonesia akan terus dalam cengkeraman spekulan pangan dunia.

Kebijakan membatasi impor beras sejak 2004 harus diikuti dengan bahan pangan lain, seperti kacang kedelai, gandum, jagung, gula, daging, dan susu. Karena itu, rencana mengimpor beras akhir tahun ini hendaklah dihentikan.

Kaum tani Indonesia tidak meragukan komitmen Presiden Indonesia terhadap petani meskipun pada rangkaian pidato Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2010 tidak ada satu patah kata pun yang menyebut petani. Kesalahan ini masih bisa ditebus kalau Presiden Indonesia pada peringatan Hari Tani, 24 September 2010, menyatakan kesungguhannya untuk melaksanakan ketiga program di atas: landreform, go green, dan pembatasan impor beras. Semoga kepercayaan petani tidak sia-sia.

Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dan Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional (La Via Campesina)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/0351483/harapan.di..hari.tani

Memaknai Putusan MK

Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

Jaksa Agung dipecat oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD lebih cepat dari rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Mahfud menyatakan, sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan masa jabatan Jaksa Agung, Rabu (22/9) pukul 14.35, Hendarman Supandji bukan Jaksa Agung dan tugasnya dilaksanakan oleh Wakil Jaksa Agung. Hebat. Pemecatan Jaksa Agung dan penugasan wakilnya tanpa keputusan presiden. Putusan MK Nomor 049/PUU-VIII/2010 memuat amar ”masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”. MK tak mengadili Hendarman dan putusannya tidak expressis verbis mengakhiri masa jabatan Jaksa Agung.

Penafsiran Mahfud berbeda dari hakim Maria Farida. Menurut Maria, Hendarman tak serta-merta inkonstitusional dan ilegal karena tidak berhenti saat berakhirnya kepresidenan 2004-2009 (Oktober 2009). Saat itu MK belum memastikan masa jabatan Jaksa Agung seumur kabinet.

Konvensi ketatanegaraan

Sebetulnya pertimbangan MK kabur. Dalam persidangan terungkap, pembahasan RUU Kejaksaan 2004 tidak menegaskan berapa lama masa jabatan Jaksa Agung. MK menyatakan, penyusun UU dari kalangan DPR dan pemerintah menyepakati bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga pemerintah”, padahal UU itu tegas menyebutnya ”lembaga pemerintahan”.

Tak sahih pula cara MK merujuk konvensi ketatanegaraan. Menurut MK, ”sejak tahun 1961 Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden di awal dan di akhir kabinet, kecuali terjadi reshuffle kabinet dan Jaksa Agung digantikan dengan pejabat yang baru. Namun, pejabat yang baru ini hanya akan meneruskan sisa masa jabatan Jaksa Agung yang digantikannya”.

Sejarah itu bertunduk pada implementasi primary rule bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah prerogatif Presiden petahana. Selain itu, Jaksa Agung Singgih menjabat pada 1987-1996 dalam beberapa periode jabatan Presiden Soeharto (1983-1988, 1988-1993, 1993- 1998). Sebelumnya, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) tidak diangkat berkali-kali meski kabinet silih berganti.

Putusan MK hendak mengatur masa jabatan Jaksa Agung lebih definitif dengan cara mendudukkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet. Padahal, Kejaksaan diatur legislatif meski fungsinya terkait yudikatif (Pasal 24 UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman 2004). UU Kejaksaan menegaskan, fungsi pokok Kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan negara untuk menuntut hukuman dan fungsi itu harus dijalankan secara merdeka (Pasal 2). Kejaksaan menyandang independensi kelembagaan.

Maka, Kejaksaan disebut lembaga pemerintahan atau berjenis eksekutif, tetapi bukan bagian dari lembaga kepresidenan (presidency). Independensi Kejaksaan ditandai oleh kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara, yang sumber perekrutannya bukan hanya pejabat karier dalam hierarki Kejaksaan. UU Kejaksaan tidak mengharuskan Jaksa Agung dari jaksa aktif (PNS). Jaksa Agung mirip hakim agung karena bisa berasal dari luar institusi, pensiunan, atau karier.

”Juristocracy”

Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung tidak mengangkat dan memberhentikan diri sendiri meski boleh meminta berhenti. UU Kejaksaan 2004 menentukan, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat oleh Presiden apabila ”berakhir masa jabatannya”. Ketiadaan angka definitif pada masa jabatan itu diuji oleh MK. Sebetulnya ketiadaan angka definitif itu unimplementable dilihat dari jarak waktu, tetapi tetap bermakna bahwa masa Jaksa Agung menjabat bertunduk pada pemberhentian oleh Presiden.

Ternyata MK mendudukkan Jaksa Agung sebagai anggota kabinet sehingga masa jabatannya dibatasi konvensi tentang keanggotaan kabinet, yaitu paling lama seumur kabinet atau kalau saat sedang menjabat ia diberhentikan oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.

Akan tetapi, UU MK menyatakan putusan MK berlaku sejak dibacakan di muka umum. Putusan MK tidak berlaku surut (nonretroaktif). Masa jabatan Jaksa Agung versi MK berlaku dan diimplementasikan setelah putusan dibacakan. Jadi, Jaksa Agung saat ini akan mengakhiri jabatannya pada akhir masa jabatan Presiden tahun 2014 atau kalau ia diberhentikan oleh Presiden.

Pemahaman tersebut sesuai dengan sejumlah prinsip dan hukum konstitusi serta doktrin yudikatif. Konstitusi mengandung prinsip distribusi kekuasaan. Pengadilan berkuasa melakukan ajudikasi, pada umumnya tentang fakta hukum empirik (decision on empirical facts). Namun, pengujian UU di MK adalah tentang norma hukum (normative facts). Jadi, sifat erga omnes (berlaku umum) putusan MK bermakna bahwa yang sah (valid) berlaku umum adalah norma untuk diimplementasikan pasca-putusan, bukan automatically having legal efficacy sejak pra-putusan. Ke depan, seseorang menjabat Jaksa Agung paling lama seumur masa jabatan Presiden atau kalau diberhentikan oleh Presiden dalam masa jabatan kepresidenan.

Peradilan mengenal principle of judicial restraint. Hakim seharusnya menahan diri tentang persoalan yang bukan kompetensinya. Kalau perkara itu termasuk kompetensinya, pengadilan dilarang menolak mengadili dengan alasan tidak ada hukumnya. Kompetensi MK menguji UU dan dapat membatalkannya. Akan tetapi, UUD 1945 dan UU mana pun tidak memberikan wewenang MK memberhentikan Jaksa Agung. Menafsirkan putusan MK aquo memiliki empirical and immediate legal efficacy berarti memaksa pengawal konstitusi itu bermain juristocracy, bukan demokrasi.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/03534831/memaknai.putusan.mk

Ulama dan Pemberantasan Korupsi


YANG namanya ulama pasti antikorupsi. Namun ulama tetap juga manusia yang tidak imun dari salah dan dosa. Mengapa di Indonesia, yang meriah dengan forumforum pengajian,korupsi masih saja subur?

Mampukah ulama memberantas korupsi? Pertanyaan ini saya angkat karena sering saya mendapatkan keluhan dan kritik, mengapa di Indonesia banyak ulama, ustaz, mimbar agama, bahkan ada Kementerian Agama, tapi korupsi tetap saja subur. Diperkirakan mimbar agama di televisi Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jumlah jam siaran serta variasi acaranya, terlebih lagi di bulan Ramadan.

Lagi-lagi, pertanyaannya, mengapa korelasi antara mimbar agama dan perilaku sosial tampak kurang signifikan? Korupsi selama ini terjadi di wilayah birokrasi pemerintahan. Aktornya pun para pejabat negara. Mereka itu yang mendapat tugas dan memiliki legalitas mengatur administrasi pemerintahan serta keuangan negara. Jadi, karena wilayah serta aktor serta regulasinya dalam tubuh birokrasi pemerintah, maka peran ulama berada di luar.

Tidak memiliki legalitas untuk mencampuri administrasi negara. Paling banter hanya menyampaikan kritik, khotbah dan teguran moral, tetapi mereka bukan eksekutor bidang hukum dan administrasi pemerintahan. Penjelasan di atas tidak berarti saya mengecilkan peran ulama,tetapi justru ingin melakukan pembelaan.

Adalah berlebihan mengharapkan ulama dan intelektual untuk memberantas korupsi karena yang paling berwenang dan strategis adalah aparat dan lembaga penegak hukum, terutama jajaran polisi, hakim, jaksa, dan sekarang ditambah lagi dengan KPK dan beberapa komisioner terkait. Kalau untuk menggerakkan demonstrasi jalanan mungkin sekali peran ulama dan intelektual cukup efektif.

Tetapi itu tak ubahnya seperti tukang ronda kampung berkeliling desa: memukul kentungan di malam hari, tidak jelas target malingnya, Pesan moral agama tanpa diterjemahkan dan didukung oleh hukum positif dan instrumen lembaga negara tak akan mampu memberantas korupsi. Begitu pun lembaga- lembaga keagamaan yang ada, tugas mereka bukan memberantas korupsi, tetapi menyampaikan pesan moral dan pendidikan masyarakat agar memilih jalan kebenaran dan kebaikan.

Kalau masyarakat tidak mau menerima ajakannya, lembaga keagamaan tidak memiliki hak paksa. Kalau masyarakat melakukan pelanggaran hukum, lembaga dan ormas keagamaan juga tidak dibenarkan berperan sebagai polisi atau hakim. Di Indonesia sering terjadi kerancuan berpikir, ketika terjadi wabah korupsi yang jadi sasaran kekecewaan adalah tokoh-tokoh agama.

Agama dan tokoh-tokohnya diharapkan sebagai agen “tukang cuci piring” setelah koruptor berpesta. Padahal, belajar dari beberapa negara tetangga, misalnya saja Singapura dan RRC, pemberantasan korupsi di sana tidak melibatkan tokoh dan lembaga agama, melainkan ketegasan penegak hukum. Di berbagai negara maju yang berjasa menekan korupsi itu bukan pendeta,pastur atau ulama, tetapi aparat resmi pemerintah yang memang diberi tugas dan wewenang untuk itu.

Bisa dimaklumi mengapa orang berharap semuanya pada agama, karena berbagai khotbah agama selalu menekankan bahwa agama itu mengatur segala-galanya.Mereka memandang agama itu di atas negara dan di atas semuanya, maka agama mesti bisa mengatur dan menyelesaikan semua persoalan hidup.

Benarkah demikian? Kalau memang betul,mengapa negara-negara sekuler tingkat korupsinya rendah, sedangkan Indonesia yang memiliki organisasi keagamaan, majelis taklim, dan partai politik yang berciri agama dalam jumlah banyak justru tingkat korupsinya tinggi? Saya kira di sini ada salah persepsi, harapan, pembagian peran, dan penempatan relasional antara agama,negara dan masyarakat.Ketika negara lemah dalam menegakkan aturan hukum, ormas keagamaan lalu ingin menggantikannya.

Tentu keduanya salah. Kalau ada pelanggaran hukum dan tidak segera diselesaikan, demonstrasi sebaiknya dialamatkan ke lembaga kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, agar mereka segera bertindak tegas.Jangan ormas keagamaan ataupun ulama lalu seenaknya mengadili sesama warga. Itu sama saja pelanggaran hukum hendak diselesaikan dengan pelanggaran hukum. Jika begitu, yang terjadi malah menambah pelanggaran.

Lain halnya kalau Indonesia itu negara teokrasi, yang dikuasai dan dipimpin oleh lembaga agama. Saya sendiri tidak bisa menjawab dengan pasti, adakah pemerintahan teokrasi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad? Terlepas dari perdebatan teori kenegaraan,yang namanya korupsi tetap merupakan penyakit dan musuh peradaban. Bahkan negara-negara yang mengaku sekuler, tidak peduli agama, justru lebih serius memberantas korupsi.

Ini suatu tantangan dan tamparan bagi sebuah bangsa dan negara yang begitu tinggi kepeduliannya pada agama seperti Indonesia. Rasanya memang ada yang salah dalam pendidikan agama dan dalam membangun relasi antara agama dan negara di Indonesia.Tokoh agama dan organisasi keagamaan sangat rawan terkena korupsi karena penguasa selalu ingin merangkul dan membeli mereka sebagai penyangga kekuasaan politik.

Sebaliknya, tokoh-tokoh agama juga banyak yang berminat? Yang repot kalau ormas atau tokoh yang menyandang label keagamaan terkena korupsi, maka yang ikut merasa terluka adalah masyarakat. Mereka akan kehilangan kepercayaan kepada aparat pemerintah maupun pemimpin masyarakat. Dalam berbagai kasus sulit dipisahkan antara tokoh agama dan aparat pemerintah ketika seorang bupati, misalnya, adalah juga berasal dari ormas keagamaan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/352709/

Mencari Pemimpin Amanah


PADA September ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengganti pucuk pimpinan tiga lembaga negara yang punya peran strategis. Tiga jabatan itu adalah Kapolri, Jaksa Agung, dan Panglima TNI. Dua jabatan pertama menentukan arah penegakan hukum. Sedangkan Panglima TNI menjalankan tugas pertahanan dan keamanan untuk menjamin tegaknya kedaulatan RI.

Dari tiga jabatan tersebut, Presiden SBY menetapkan Kepala Staf TNI-AL Laksamana TNI Agus Suhartono sebagai calon tunggal panglima TNI. Agus dipastikan lolos menjadi orang nomor satu di tubuh TNI menggantikan Jenderal TNI Djoko Santoso. Saat ini Agus menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di depan anggota Komisi I DPR (membidangi politik, luar negeri, dan pertahanan keamanan).

Calon Kapolri saat ini masih di meja presiden. Ada dua calon kuat, yakni Komjen Pol Imam Sudjarwo dan Komjen Pol Nanan Soekarna.

Sedangkan calon jaksa agung masih menjadi perdebatan, antara yang berlatar karir (orang dalam) dan nonkarir (orang luar). Kejaksaan Agung sudah menjagokan delapan jaksa karir untuk menggantikan Hendarman Supandji. Sekitar delapan ribu jaksa yang diklaim Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) menginginkan orang dalam. Namun, keputusan akhir ada di tangan presiden.

Proses seleksi calon Kapolri dan jaksa agung sama dengan panglima TNI, yakni nama yang masuk ke Istana akan diserahkan ke DPR. Bedanya, calon Kapolri dan jaksa agung menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan jajaran Komisi III DPR (membidangi penegakan hukum).

Presiden SBY dan kalangan DPR memang sedang diuji untuk memilih sosok yang tepat menduduki tiga jabatan tersebut. Sebab, bila salah memilih, bukan tidak mungkin hal itu menjadi bumerang bagi masa depan bangsa. Proses pemilihan pejabat baru tersebut harus dihindarkan dari segala bentuk kepentingan politis, apalagi menjadi ajang politik dagang sapi untuk kepentingan uang.

Sosok Kapolri, misalnya, harus mampu menjawab tantangan masalah keamanan yang belakangan menjadi perhatian masyarakat. Mulai gangguan terorisme, kejahatan perbankan, keamanan beribadah, dan pembinaan internal di tubuh Polri. Kapolri baru tak boleh hanya dipilih untuk mengamankan kepentingan politis kelompok tertentu.

Khusus calon jaksa agung, Presiden SBY wajib mempertimbangkan berbagai aspek. Jaksa agung baru harus mampu mengembalikan kejaksaan sebagai motor pemberantasan korupsi. Seperti yang kita tahu, kejaksaan saat ini terasa lamban dalam menangani kejahatan menyangkut keuangan negara. Kejaksaan hanya menangani kasus korupsi itu-itu saja. Kasus yang lebih besar, sebut saja kasus dana bailout Bank Century, hanya dipandang sebelah mata.

Siapa sosok ideal, tentu yang bisa menjawab adalah presiden dan kalangan DPR. Meski demikian, bukan berarti masyarakat tidak mempunyai akses untuk menentukan siapa pemimpin kepolisian dan kejaksaan yang terbaik. Masyarakat dapat berpartisipasi dengan terus-menerus mengingatkan Presiden SBY dan kalangan DPR untuk tetap menggunakan hati nurani dalam menentukan jaksa agung dan Kapolri baru.

Kuncinya hanya satu, yakni pemimpin yang amanah. Dia harus berkarakter kuat yang tidak mudah goyah oleh segala bentuk intervensi. Semua calon memang tidak bisa lepas dari sisi negatif. Namun, itu bukan berarti kita tidak mampu mencari sosok terbaik dari calon yang sudah ada. Semoga Presiden SBY dan kalangan DPR mampu mengemban misi tersebut. (*)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=156821

Tafsir Progresif MK

Undang-Undang (UU) Kejaksaan, sebagaimana UU lain,adalah produk manusia. Thomas Aquinas menyebutnya sebagai lex humana. Terkait dengan sifat dan hakikat manusia sebagai makhluk yang lemah,tidak sempurna, maka pada segala produk yang dihasilkan sering melekat ketidaksempurnaan juga.

Artinya, UU Kejaksaan pun menjadi wajar kalau tidak sempurna, ada cacatnya.Cacat tersebut kini tampak jelas, terlihat oleh publik, yaitu tidak mengatur dengan jelas dan tegas perihal masa jabatan dan keabsahan jabatan jaksa agung. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 22 September 2010, mengeluarkan putusan No 49/PUUVIII/ 2010 yang membenarkan sebagian permohonan Yusril Ihza Mahendra tentang uji tafsir Pasal 16 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dihadapkan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Oleh Ketua MK Mahfud MD dikatakan bahwa jabatan jaksa agung itu dibatasi.Salah satu pilihannya disesuaikan dengan jabatan kabinet. Dengan putusan itu mestinya kedudukan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung sudah berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada 20 Oktober 2009. Berhubung sejak saat itu tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengangkatan Jakgung,maka kedudukan Hendarman Supandji sebagaijaksaagung “mengambang”, dan dipersoalkan.

Namun,sejak putusan MK diketok pada Rabu 22 September 2010 jam 14.35 WIB, maka sejak saat itu Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung . Tulisan ini mencoba melihat peristiwa hukum itu dari sudut pandang ilmu hukum, khususnya tentang penafsiran hukum. Hal demikian menjadi penting karena sesungguhnya pola perilaku dan pelaksanaan hukum sampai dengan penegakannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas keilmuan dari manusia di belakangnya dalam menafsirkan hukum.

Konvensional

Sejak sistem peradilan di negeri ini dibawa ke dalam dunia modern yang senantiasa menghendaki hukum tertulis (written law), maka institusi kejaksaan sebagai bagian dari sistem harus memiliki UU Kejaksaan. Upaya mewujudkannya dilakukan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2004.Pada sisi proses, selama ini tidak ada permasalahan. Akan tetapi dilihat pada sisi produk, ternyata ada permasalahan, yakni ketidakjelasan tentang masa jabatan jaksa agung.

Tidak perlu saling menyalahkan atau lempar tanggung jawab atas produk hukum yang cacat tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa UU merupakan produk hukum hasil karya bersama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat? Jadi pada dua lembaga pemerintahan itulah terletak kesalahan dan mereka yang mestinya bertanggung jawab secara konstitusional atas cacatnya UU Kejaksaan tersebut.

Kecacatan UU No 16/2004 tentang Kejaksaan merupakan bukti bahwa memang UU tersebut dibuat bukan oleh para ahlinya. Boleh jadi mereka miskin ilmu tentang perundang- undangan dan miskin hati nurani.Target waktu, kurang rasa tanggung jawab, dan berbagai bentuk transaksi politis maupun materi sering mewarnai perilaku para legislator. Jadilah UU Kejaksaan yang jauh dari kualitas ideal.

Benarlah sebuah ungkapan bahwa “rusaklah suatu urusan apabila diurus oleh bukan ahlinya”. Barangkali kecacatan UU Kejaksaan tidak perlu berlanjut dan menjadi heboh apabila kekurangan yang melekat pada pasal tentang masa jabatan jaksa agung direspons dengan tafsir hukum progresif. Kita sadar bahwa pembacaan pasal-pasal tidak cukup hanya tekstual saja, melainkan perlu dilakukan dengan membaca keseluruhan unsur-unsurnya.Dalam teori organisme, UU dipadankan sebagai organ manusia.

Di dalamnya ada jiwa dan di luarnya ada raga. Jiwa dan raga merupakan satu kesatuan utuh.Apabila di antara keduanya terpisahkan, matilah manusia. Identik dengan itu, UU Kejaksaan pun harus dibaca secara utuh,baik jiwa maupun raganya. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak dilakukan oleh para pelaksana dan penegak hukum agar pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya sampai pada sasarannya.

Pada UU Kejaksaan, pesan moral hukum yang perlu dikedepankan selain adanya kepastian hukum mengenai masa jabatan dan keabsahan jabatan jaksa agung, juga peran untuk aktif dalam pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, walaupun tidak ada teks tertulis yang tegas mengamanatkan hal itu, tetap saja ada kewajiban (moral) hukum bagi Presiden untuk mengatasi kekurangan Pasal 16 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dengan membuat keppres pengangkatan jaksa agung.

Apabila hal demikian dilakukan, Presiden dan keppres diberlakukan bersamaan dengan pelantikan Kabinet Bersatu jilid II,saya kira keabsahan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung tidak dipersoalkan oleh siapa pun.Sayang, hal demikian tidak dilakukan. Sayang pula justru ada pembelaan untuk melegalkan jabatan jaksa agung dengan berpolemik di media antara Staf Khusus Presiden Bidang Hukum berhadapan dengan Mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang keduanya menempatkan diri sebagai pakar hukum tata negara.

Apabila polemik di antara kedua pakar tersebut dicermati,nyata betul bahwa mereka berkutat pada tafsir hukum konvensional, yaitu tafsir hukum yang mengakar pada tradisi civil law,bahwa hukum positif (tertulis), sekalian penalaran hukum, senantiasa dikembalikan kepada a finite-closed scheme of permissible justification yang tidak lain UU Kejaksaan yang dihadapkan dengan UUD 1945. Model tafsir hukum demikian pada hemat saya sudah amat ketinggalan zaman.

Mengapa? Karena konstelasi politik, hukum, dan kehidupan pada umumnya telah berubah dengan cepat serta berpengaruh cukup signifikan dalam menjalankan hukum (pemberantasan korupsi) sehingga hal demikian tidak mungkin bisa dikategorikan sebagai schemeyang finite-closed lagi. Yusril Ihza Mahendra sebenarnya tidak akan mempersoalkan model tafsir hukum dan dari lembaga kepresidenan, Kejaksaan Agung atau siapa pun asalnya apabila dirinya tidak dijerat masalah sistem administrasi badan hukum pada kementerian yang pernah dipimpinnya.

Dikatakan,“…adalah hak konstitusional saya untuk menolak penetapan itu serta semua tindakan yang merupakan turunannya”(SINDO,21 Juli 2010). Ternyata, kepentingan pribadi seorang Yusril tersebut pada gilirannya membawa berkah,yaitu melahirkan putusan MK yang berimplikasi luas, baik pada dimensi hukum, politik maupun pemerintahan. Mengapa bisa demikian?

Progresif

MK dengan tafsir hukum progresif memutuskan Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung sejak keluarnya putusan MK. Sebelum momen itu kedudukannya tetap sah (legal). Putusan MK tidak berlaku surut. Mengapa ? Pada hemat saya,ini persoalan normatif terkait dengan UU MK,tetapi bukan hal substantif. Legalitas Jaksa Agung dipersoalkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan mengangkat ranah logika hukum linier,bahwa jabatan jaksa agung wajib ada masa berlakunya dan keabsahannya wajib dengan Keppres.

Permainan bahasa (language game) yang dilancarkan sebagai serangan balik bahwa keharusan seperti itu tidak ada secara tekstual dalam UU Kejaksaan, dimentahkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan logika linier tersebut. Logika linier ini diterima oleh MK. Namun,pada sisi lain MK pun membenarkan language game dan sikap “diam” Presiden, tanpa mengangkat dan melantik jaksa agung sebagai bagian Kabinet Bersatu jilid II.

Tampaknya MK memahami betul bahwa kapasitas keilmuan (ilmu hukum) Yusril Ihza Mahendra dan Denny Indrayana amat menentukan konklusi pembacaan (tafsir) atas pasal-pasal UU Kejaksaan maupun UUD 1945 yang dipersoalkan tersebut. Oleh karenanya kedua pihak tidak bisa dipersalahkan. Di situlah putusan MK berada pada sebuah pengakuan bahwa kedua belah pihak berada pada kebenaran dalam sudut pandang masing-masing.

Jadi, tidak benar bahwa putusan MK tersebut sekadar untuk tidak mempermalukan di antara mereka, melainkan ada argumentasi ilmiahnya. Saya sangat setuju bahwa dalam kasus ini MK bertendensi memberikan pendidikan hukum bagi segenap komponen bangsa agar aktivitas penafsiran hukum bukan semata-mata pembacaan peraturan dengan logika linier dan bukan pula soal language game, melainkan juga harus membaca realitas kehidupan bangsa yang sedang mengalami krisis hukum, politik, ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.

Penafsiran hukum wajib dilakukan dengan visi ke depan dalam rangka membebaskan bangsa dan negara dari krisis multidimensional yang korup tersebut.Di situlah kita bersama-sama MK perlu percaya diri untuk melakukan inovasi, kreativitas, dan progresivitas penafsiran hukum sebagaimana dikenal dengan sebutan penafsiran hukum progresif. Penafsiran hukum progresif demikian sungguh merupakan keniscayaan bagi bangsa yang ingin maju mengejar keadilan substansial dan tidak berkutat pada kepastian hukum saja.

Ini bukan tradisi baru, apalagi mengada-ada. Kita bisa menengok bahwa di Belanda tradisi ini telah ada sejak tahun 1916 ketika Hoge Raad Belanda membuat putusan revolusioner tentang onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).Walaupun tidak ada teksnya, dalam putusan itu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dimasukkan sebagai melawan hukum. Bukankah hal demikian merupakan tafsir hukum kreatif,inovatif,dan progresif? Tidak hanya itu.

Aliran realisme hukum di Amerika yang berkembang pada abad ke-19 dan didukung oleh Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) dari Eropa kontinental telah memberi jalan baru bagi berkembangnya penafsiran hukum progresif di negara tersebut.Maka, kita pun perlu secara berani dan bijak belajar cara-cara berhukum kepada bangsa-bangsa yang telah maju itu.

Mari kita terima, patuhi, dan laksanakan putusan MK tersebut secara konsisten. Mudah-mudahan putusan MK tentang keabsahan Jaksa Agung ini dapat dimaknai sebagai aktivitas mengurai kusutnya (UU) kejaksaan sekaligus sebagai momentum kebangkitan bangsa dalam berhukum dengan menerapkan konsep dan penafsiran hukum progresif. Wallahu a’lam.(*)

Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UGM
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/352862/

Ekologi Politik Pesisir


Oleh Arif Satria

Tanggal 24 September 2010 adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Namun, ada hal yang sering terlupakan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengatur hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 16 dan 47). Air yang dimaksud adalah perairan pedalaman ataupun laut wilayah Indonesia. Salah satu spirit penting dalam UUPA adalah adanya pengakuan negara atas hak ulayat yang dimiliki masyarakat, baik hak pemanfaatan maupun hak pengelolaan. Di wilayah pesisir kedua jenis hak penting sebagai prasyarat menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Masalahnya adalah kedua jenis hak di atas sering kali diabaikan. Kerusakan sumber daya pesisir ataupun konservasi yang sentralistik akan berdampak pada tak berfungsinya hak-hak mereka. Bagaimana memperkuat hak-hak masyarakat pesisir tersebut sesuai spirit UUPA?

Akses terbuka

Hardin mengeluarkan istilah tragedy of the commons untuk menggambarkan ketidakjelasan hak-hak penguasaan sumber daya karena sumber daya bersifat akses terbuka (open access) yang berdampak kerusakan sumber daya. Namun, kini, ketika hak-hak penguasaan semakin jelas, ternyata kerusakan sumber daya tetap terjadi.

Dalam ekologi-politik, ekologi bukanlah masalah teknis, tetapi lebih merupakan akibat dari tatanan politik dan ekonomi yang ada serta proses politik dari aktor-aktor yang berkepentingan. Inilah yang disebut Bryant dan kawan-kawan (2001) sebagai bentuk politicised environment.

Aktor yang dominan umumnya adalah negara dan swasta besar. Ternyata dominasi ini justru menyebabkan apa yang oleh Bryant disebut tragedy of enclosure, yakni tragedi akibat dominasi negara dan swasta yang menyebabkan akses masyarakat pada pemanfaatan dan pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses ini membuat masyarakat makin marjinal.

Dari sinilah Bryant membuat tesis baru bahwa: (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi ini mengubah relasi kekuasaan antaraktor. Apakah tragedy of enclosure juga terjadi di wilayah pesisir? Bagaimana mengatasinya?

Politik pesisir

Tentu wilayah pesisir tak bisa lepas dari tragedi ini. Praktik kegiatan pertambangan oleh swasta di wilayah pesisir terbukti memperlemah akses nelayan untuk melaut karena lautnya tercemar. Juga rencana adanya kluster perikanan berupa konsesi khusus bagi segelintir pengusaha perikanan bisa berdampak pada melemahnya hak-hak nelayan.

Begitu pula praktik konservasi laut yang sentralistik bisa membatasi akses nelayan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sangat sentralistik dan minim pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat pesisir.

Tragedi ini mestinya bisa diakhiri dengan legislasi pesisir yang populis. Kini pemerintah sudah punya UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang dalam proses revisi. Diharapkan revisi tersebut bisa menggunakan spirit UUPA dengan memerhatikan beberapa hal berikut.

Pertama, bagaimana revisi UU No 27/2007 bisa memperkuat posisi masyarakat dalam berbagai proses perencanaan pesisir, yaitu (a) rencana strategis, (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan, dan (d) rencana aksi untuk pengelolaan pesisir.

Rencana zonasi—yang harus ditetapkan dengan peraturan daerah—merupakan titik paling kritis karena memuat peruntukan wilayah pesisir. Perencanaan pesisir itu bukan merupakan arena yang netral, tetapi merupakan arena kontestasi kepentingan antarpelaku. Oleh karena itu, persoalan kritis berikutnya adalah bagaimana memperkuat akses masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan zonasi sehingga menjamin akses mereka pada pemanfaatan sumber daya.

Nelayan dalam posisinya seperti sekarang sering merupakan aktor terlemah sehingga diduga sulit untuk bisa dominan dalam pengambilan keputusan zonasi. Bila posisinya lemah, nelayan berpotensi menjadi korban.

Kedua, meninjau kembali pasal tentang Hak Pemanfaatan Perairan Pesisir (HP-3) yang saat ini bisa berlaku untuk masyarakat dan swasta selama 20 tahun, bisa dialihkan, serta diagunkan. Ada kekhawatiran dengan berlakunya pasal ini akan terjadi ”komoditisasi” perairan pesisir, dan tidak mempertimbangkan hak asal-usul masyarakat adat. Padahal, ada sejumlah hak yang melekat pada masyarakat adat. Begitu pula menurut UUPA, sumber-sumber agraria seperti tanah dan air memiliki fungsi sosial sehingga mestinya tidak bisa diprivatisasi secara monopolistik oleh swasta.

Ketiga, memperkuat Pasal 61 yang menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, serta kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau kecil yang dimanfaatkan secara turun-temurun. Pasal ini bagus sekali sehingga perlu diperkuat dan dielaborasi pada peraturan turunannya untuk implementasi.

Oleh karena itulah, pemberdayaan masyarakat pesisir tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingannya. Bila masih yakin bahwa kita adalah bangsa bahari, jaminan terhadap hak-hak masyarakat pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.

Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03082957/ekologi.politik.pesisir

Memahami Putusan MK


Oleh Refly Harun

Pagi-pagi sekali, dua orang rekan mengirim pesan singkat (SMS). Dua-duanya mengenai tulisan Mohammad Fajrul Falaakh berjudul ”Memaknai Putusan MK” (Kompas, 24/9) yang mengomentari putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.

Yang pertama, SMS dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra. Ia mengundang saya untuk ikut memolemikkan tulisan Mohammad Fajrul Falaakh atau yang biasa saya panggil dengan Pak Fajrul. Saldi tidak saja berkeberatan terhadap isi tulisan Pak Fajrul, tetapi juga pada posisi beliau yang notabene adalah ahli pemerintah ketika kasus ini diperiksa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Yang kedua, SMS dari Staf Khusus Kepresidenan Denny Indrayana. Denny ”menyuruh” membaca tulisan Pak Fajrul karena saya memiliki perspektif yang berbeda terhadap putusan MK tersebut dibandingkan dengan posisi yang diambil pemerintah hingga tulisan ini dibuat.

Bagi saya, dengan terbitnya putusan MK, Hendarman Supandji bukan lagi Jaksa Agung. Ini konsekuensi dari putusan MK apabila dibaca dengan cermat, konsekuensi yang juga disampaikan Ketua MK Mahfud MD dalam berbagai kesempatan. Bahkan, menurut Mahfud MD, begitu pulalah pendapat para hakim dalam rapat permusyawaratan hakim.

Keppres berakhir

Dalam putusannya atas pengujian Pasal 22 Ayat (1) Huruf d UU No 16/2004, MK menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Putusan MK ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak dibacakan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif).

Bagi Pak Fajrul, karena putusan MK berlaku ke depan, masa jabatan Hendarman berlangsung hingga 2014, sesuai dengan periode kedua Presiden Yudhoyono (2009-2014) apabila ia tidak diberhentikan di tengah jalan. Pemikiran inilah yang menurut saya keliru. Perlu diingat, Hendarman diangkat sebagai Jaksa Agung menggantikan Abdul Rahman Saleh pada periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004-2009), tepatnya 7 Mei 2007.

Ketika anggota-anggota kabinet lainnya diberhentikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/P Tahun 2009, Hendarman dikecualikan karena pemikiran Istana pada waktu itu Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Hendarman terus menjabat dengan bekal keppres tahun 2007. Presiden tidak lagi mengeluarkan keppres baru.

Apa yang dilakukan Presiden tersebut tidaklah keliru karena memang tidak ada kejelasan mengenai masa jabatan Jaksa Agung di UU No 16/2004. Ketidakjelasan inilah yang diluruskan MK dengan menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung mengikuti periodisasi jabatan Presiden. Karena Hendarman diangkat pada periode Kabinet Indonesia Bersatu I, berdasarkan tafsir baru UU No 16/2004, masa jabatan itu berakhir pada 20 Oktober 2009 pada saat presiden baru dilantik. Otomatis keppres tahun 2007 tersebut tidak berlaku dengan sendirinya pada saat presiden baru dilantik walaupun presiden tetap orang yang sama.

Ini adalah konvensi ketatanegaraan yang berlaku di mana pun. Misalnya, Presiden diberhentikan bulan depan, semua anggota kabinet, termasuk Jaksa Agung, menjadi demisioner. Mereka boleh saja tetap berkantor, tetapi tidak boleh mengeluarkan keputusan atau kebijakan strategis. Mereka tinggal menunggu datangnya pejabat baru.

Putusan prospektif

Makna prospektif putusan MK tersebut adalah bahwa masa jabatan Hendarman mulai dari 20 Oktober 2009 hingga sebelum putusan MK dibacakan (22 September 2010) tetap dianggap sah karena belum ada putusan yang menafsirkan tentang periodisasi masa jabatan Jaksa Agung. Hendarman sah menjadi Jaksa Agung karena berbekal keppres tahun 2007.

Begitu ada putusan MK, keppres tahun 2007 yang mengangkat Hendarman tidak bisa digunakan lagi karena telah berakhir pada 20 Oktober 2009. Untuk periode Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), Presiden harus mengeluarkan keppres baru untuk posisi Jaksa Agung, bisa dengan mengangkat kembali Hendarman atau menunjuk pejabat lain.

Perlu dicatat, MK tidak mengabulkan semua permohonan Yusril yang ingin mengilegalkan Hendarman mulai dari 20 Oktober 2009. Putusan itu sudah tepat karena apabila dikabulkan semua permohonan Yusril, akan terjadi kekacauan hukum (legal disorder). Semua tindakan Jaksa Agung mulai 20 Oktober 2009 hingga hari ini akan dianggap ilegal.

Sikap negarawan

Justru putusan MK tersebut memberikan jalan bagi Presiden untuk dapat mengganti Jaksa Agung. Apabila mengacu pada UU No 16/2004 sebelum ditafsirkan MK, Jaksa Agung tidak dapat diganti jika tidak memenuhi salah satu syarat yang disebut dalam Pasal 22D Ayat (1), yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, berakhir masa jabatannya, dan tidak lagi memenuhi salah satu syarat.

Wacana penggantian Hendarman dengan mengaitkannya dengan masa pensiun akhir-akhir ini bertentangan dengan UU No 16/2004 karena masa pensiun tidak masuk salah satu klausul dapat diberhentikannya Jaksa Agung.

Presiden juga tidak dapat menggantikan Jaksa Agung sewaktu-waktu dengan alasan subyektif, misalnya karena buruknya kinerja, sebagaimana anggota kabinet lainnya. Dengan adanya putusan MK, Presiden sekarang memiliki ruang yang lebih terbuka terhadap jabatan Jaksa Agung.

Untuk menutup tulisan ini, saran saya kepada Presiden, ambillah sisi positif dari putusan MK. Janganlah merasa kalah karena sepak terjang seorang Yusril yang mempersoalkan keabsahan tindakan Anda. Keluarkan saja keppres baru, baik yang mengangkat kembali Hendarman maupun menunjuk orang lain sebagai Jaksa Agung. Sewaktu-waktu, apabila merasa tidak puas dengan kinerja Hendarman dan orang lain itu, Anda tetap bisa menggantikannya berdasarkan putusan MK.

Tindakan mengeluarkan keppres baru akan mengakhiri polemik tentang keabsahan Jaksa Agung. Apabila bersikukuh dengan posisi sekarang, bahwa Hendarman tetap Jaksa Agung, Anda akan dianggap membangkang terhadap putusan MK. Lawan-lawan politik Anda, bisa jadi, mulai berimajinasi tentang pemakzulan.

Refly Harun Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03105610/memahami.putusan.mk

Jaksa Agung


Oleh Eddy OS Hiariej

Saling silang pendapat perihal keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung terjawab sudah, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tertanggal 22 September 2010.

Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).

Yaitu, konstitusional sepanjang dimaknai ”masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden RI dalam satu periode bersama-sama jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode bersangkutan”.

Berdasarkan amar putusan tersebut, haruslah dipahami bahwa putusan itu tidak memengaruhi keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Tegasnya, Hendarman Supandji tetap sah sebagai Jaksa Agung selama belum ada keputusan presiden (keppres) yang memberhentikannya. Hal ini didasarkan pada beberapa argumen. Pertama, dalam amar putusan MK, tidak ada satu kata pun yang menyatakan bahwa Hendarman Supandji tidak sah sebagai Jaksa Agung sejak 20 Oktober 2009. Artinya, MK menganggap keppres tahun 2007 yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung tetap sah.

Kedua, putusan MK tersebut bersifat prospektif, yang berarti berlaku bagi Jaksa Agung baru yang akan menggantikan Hendarman Supandji. Ketiga, kalau ditafsirkan berdasarkan amar putusan MK yang memaknai Pasal 22 Ayat (1) Huruf d bahwa masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden, maka Hendarman Supandji masih sebagai Jaksa Agung. Masa jabatan Presiden yang mengangkat Hendarman Supandji baru berakhir pada tahun 2014, maka secara mutatis mutandis, masa jabatan Hendarman pun masih sah sampai tahun 2014.

Terlepas dari keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, putusan MK tersebut tidak berpengaruh apa pun terhadap penegakan hukum dalam konteks sistem peradilan pidana. Institusi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan pidana yang mewakili negara adalah satu kesatuan. Penetapan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa termasuk penuntutan yang dilakukan terhadap seseorang adalah berdasarkan hukum dan tidak ada kaitannya dengan keabsahan jabatan seseorang. Terlebih dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil.

Kasus Yusril

Dalam konteks kasus hukum Yusril Izha Mahendra yang menolak diperiksa sampai ada putusan MK terhadap keabsahan Jaksa Agung, sebenarnya suatu hal yang tidak relevan. Perihal penetapan dan pemeriksaan terhadap Yusril sebagai tersangka adalah hal yang berdiri sendiri dengan legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.

Bahkan, kalaupun Hendarman Supandji adalah Jaksa Agung yang ilegal sejak 20 Oktober 2009, tidak berarti penetapan Yusril sebagai tersangka lalu gugur begitu saja. Terlebih pasca-putusan MK yang menolak permohonan provisi Yusril.

Selanjutnya, putusan MK ini pun memberikan kepastian hukum terkait masa jabatan Jaksa Agung di tengah wacana pergantian Hendarman Supandji, khususnya berkaitan dengan isu Jaksa Agung karier-nonkarier. Jika bersandar pada kepastian hukum dengan pemikiran normatif-sistematis, seyogianya Jaksa Agung adalah jabatan karier. Sebab, syarat Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 20 juncto Pasal 9 Undang-Undang Kejaksaan secara implisit mensyaratkan bahwa Jaksa Agung adalah seorang jaksa. Selain itu, Jaksa Agung karier juga dianggap lebih menguasai secara teknis yuridis tugas dan kewenangannya.

Akan tetapi, jika bersandar pada asas kemanfaatan dengan tujuan membersihkan kejaksaan dari praktik-praktik mafia hukum, Jaksa Agung nonkarier perlu dipertimbangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mafia hukum dalam suatu institusi penegak hukum—termasuk kejaksaan—biasanya dilakukan secara sistematis. Artinya, sulit bagi kita untuk mengharapkan seorang Jaksa Agung karier akan memperbaiki institusi kejaksaan di tengah semangat melindungi korps yang begitu kuat dari institusi kejaksaan itu sendiri.

Perihal figur Jaksa Agung nonkarier, Presiden Yudhoyono dapat saja menunggu hasil pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Komisi III DPR, terlebih dalam kerangka berpikir pemberantasan korupsi. Bukankah kedua calon pemimpin KPK yang dihasilkan oleh Panitia Seleksi, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, adalah dua figur yang tidak perlu diragukan lagi integritas moralnya berikut keberanian dalam bertindak? Artinya, salah satu dari mereka yang tidak terpilih sebagai pemimpin KPK-lah yang kemudian diangkat Presiden sebagai Jaksa Agung.

Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03112951/jaksa.agung

Sang Pencerah (Bukan) Film Sejarah

Mu'arif, JURNALIS DAN PENULIS LEPAS

Meskipun skenario film Sang Pencerah ditulis berdasarkan catatan perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, apakah karya Hanung Bramantyo ini dapat disebut sebagai film sejarah? Hanung dan krunya memang telah melakukan riset berbulan-bulan, bahkan sampai harus pergi ke Leiden (Belanda), untuk mengumpulkan informasi mengenai karakter tokoh utama dalam film terbarunya ini. Tetapi apakah proses pembuatan film ini dapat dikatakan sebagai penelitian sejarah?
Beruntung penulis termasuk orang yang mendapat kesempatan menyaksikan gala premiere Sang Pencerah pada 7 September pukul 19.00 WIB di Cinema XXI,Yogyakarta.
Film Sang Pencerah berkisah tentang tokoh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, kata Hanung dalam sambutannya sebelum film diputar. Sebagai seorang hasil didikan salah satu sekolah Muhammadiyah, Hanung telah terinspirasi oleh sepak terjang sosok KH Ahmad Dahlan semasa muda. Karena itulah, film besutannya ini bercerita tentang bagaimana perjuangan pendiri Muhammadiyah selagi berusia muda, kira-kira usia 21 tahun.

Kehadiran film Sang Pencerah di belantika perfilman nasional memang menjadi sesuatu yang spesial karena mampu mengangkat jenis film berdasarkan sumber-sumber sejarah.
Biasanya, film-film yang diangkat dari sejarah tertentu dijamin tidak laku di pasar. Peminat film jenis ini sangat sedikit. Tidak jarang para produser yang sok idealis menanggung kerugian besar karena nekat melayarlebarkan sebuah kisah berdasarkan sumbersumber sejarah. Akibatnya, amat sedikit produser di Tanah Air yang melirik untuk mendanai film jenis ini. Kenyataan ini pun dialami Hanung ketika dia menawarkan proposal pendanaan film Sang Pencerah, tak ada satu pun produser muslim yang berminat terhadap film ini. Beruntunglah dia bisa meyakinkan Raam Punjabi, pemilik Multivision Plus, yang bersedia menyediakan dana untuk pembuatan film Sang Pencerah.

Selain faktor pendanaan, proses penyusunan skenario Sang Pencerah juga tidak mudah.
Harap diketahui, sosok dan karakter KH Ahmad Dahlan bukanlah tokoh imajinatif yang murni buah karya Hanung. KH Ahmad Dahlan adalah tokoh sejarah, ia manusia yang lahir di Kauman (Yogyakarta) dan hidup pada 1868-1923. Sialnya, Hanung mendapati tokoh utama yang akan difilmkan tidak didukung oleh sumber-sumber informasi yang akurat.
Minimnya sumber-sumber primer dan lemahnya verifikasi terhadap sumber-sumber sekunder membuat kualitas isi film ini jauh dari kebenaran sejarah. Kenyataan ini jelas menjadi problem tersendiri ketika banyak kalangan memberikan penilaian bahwa Sang Pencerah adalah film sejarah.
Bukan Sejarah merupakan serangkaian peristiwa di masa lampau, demikian menurut Baverley Southgate (lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, 2003: 34). Dengan demikian, sejarah bukanlah rekayasa imajinasi, melainkan fakta atau peristiwa. Menulis sejarah jelas berbeda dengan me nulis karya fiksi, sekalipun sama-sama membutuhkan sumber-sumber yang akurat.

Penulisan skenario film Sang Pencerah hanya mengandalkan sumber-sumber yang terbatas. Hampir tak ada sumber primer yang dapat menjadi rujukan dalam penyusunan skenario film ini, kecuali catatan Haji Syuja'.
Sumber-sumber lisan tak banyak membantu dalam penulisan skenario ini karena satu narasumber justru berbeda dengan narasumber lain ketika memberikan informasi tentang sebuah peristiwa, sehingga membingungkan.
Sedangkan sumber dari catatan Haji Syuja' masih butuh kritik untuk menguji validitas data-data sejarah yang disuguhkan. Selain tidak memenuhi standar penulisan sejarah, catatan Haji Syuja' masih perlu dikomparasikan dengan sumber-sumber lain. Misalnya, dalam catatan Haji Syuja' disebutkan Boedi Oetomo berdiri pada 1907 (lihat Syuja', 2010: 55). Padahal pendapat umum menyebutkan kelahiran Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Sekalipun sejarah adalah fakta atau peristiwa, manakala ditulis oleh seorang sejarawan jelas ia membutuhkan sentuhan imajinasi kreatif.Yang membedakan sejarah dengan karya fiksi adalah keterbatasan sejarawan dalam berimajinasi, bergantung pada banyak atau sedikitnya sumber-sumber sejarah. Di sinilah seorang sejarawan mengalami apa yang disebut "situasi limit"--meminjam istilah Louis Gottschalk (2006). Imajinasi Hanung pun dibatasi oleh sumber-sumber sejarah yang minim manakala menyusun skenario film ini.
Apalagi sumber-sumber sejarah tentang kehidupan masa kecil dan masa remaja KH Ahmad Dahlan hampir tak ditemukan hingga sa at ini. Dikhawatirkan, Hanung terlampau jauh melakukan interpretasi terhadap sumbersumber sejarah yang sangat minim, sehingga ia melampaui situasi limit. Pertanyaannya, benarkah sosok Mohammad Darwis kecil seperti yang ditampilkan dalam film tersebut? Dalam menginterpretasikan sumber-sumber sejarah, Hanung Bramantyo juga kurang akurat. Dalam sebuah scene film ini, misalnya, Mohammad Darwis naik haji pertama kali pada 1889 dalam kondisi masih lajang.

Padahal, menurut sumber catatan Haji Syuja’, Mohammad Darwis naik haji pertama kali setelah beberapa bulan menikah dengan Siti Walidah (lihat Syuja’, 2009: 7).

Beberapa adegan dalam film Sang Pencerah juga kelihatan tidak sejalan dengan napas zamannya. Misalnya, papan nama untuk musala milik KH Ahmad Dahlan jelas kelihatan rancu. Dalam adegan film terpampang tulisan “Langgar Hadji Ahmad Dahlan”(dikenal dengan sebutan Langgar Kidul). Tulisan tersebut memang menggunakan ejaan lama, seolah-olah untuk menyesuaikan setting waktunya. Tetapi penulisan tersebut jelas keliru. Sebab, ejaan lama untuk menyebut nama pendiri Muhammadiyah adalah “Hadji Achmad Dachlan”. Ejaan seperti ini ditemukan dalam surat-surat resmi yang ditandatangani oleh KH Ahmad Dahlan. Begitu juga adegan ketika KH Ahmad Dahlan menandatangani rechtpersoon Muhammadiyah, bentuk tanda tangannya berbeda jauh dengan aslinya. Tanda tangan pendiri Muhammadiyah memakai namanya sendiri: HA Dachlan (lihat Junus Salam, 1962).

Barangkali, kekeliruan paling fatal adalah ketika Hanung Bramantyo menginterpretasikan kelahiran Muhammadiyah tanggal 12 November 1912. Bagi warga Muhammadiyah, interpretasi ini jelas cukup kontroversial. Dalam Statuten Muhammadiyah 1912 (disahkan lewat besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914), kelahiran Muhammadiyah adalah pada 18 November 1912. Salah satu kru film ini sempat berdalih kepada penulis bahwa kelahiran Muhammadiyah tanggal 12 November 1912 mengacu pada peristiwa ketika KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya mendeklarasikan organisasi ini di Malioboro. Dengan tegas penulis menjawab bahwa Deklarasi Malioboro bukan pada November, melainkan Desember. Tepatnya pada hari Sabtu malam akhir Desember 1912 di Loodge Gebouw Malioboro (sekarang gedung DPRD DIY).

Walaupun banyak catatan kritik, terutama seputar minimnya sumber-sumber sejarah, proses verifikasi data yang lemah, dan interpretasi terhadap data yang menimbulkan kontroversi, penulis harus jujur mengatakan bahwa film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo telah berhasil memuaskan para penontonnya. Hanya, perlu dicatat di sini, Sang Pencerah bukanlah film sejarah. Minimnya sumber-sumber sejarah dan lemahnya kritik terhadap akurasi data-data sejarah menyebabkan proses penyusunan skenario film ini melampaui situasi limit. Sang Pencerah lebih tepat disebut sebagai film yang diadaptasi dari riwayat hidup KH Ahmad Dahlan dan sejarah berdirinya Muhammadiyah. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/09/25/ArticleHtmls/25_09_2010_010_011.shtml?Mode=1

Kemiskinan Struktural dan Bantuan Hukum

Firoz Gaffar, DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA, DAN ADVOKAT

Tampak banyak pekerjaan rumah advokat tidak selesai, namun kita sedikit lega. Meski terhambat biaya, Perhimpunan Advokat Indonesia mulai mewajibkan anggotanya, yang berjumlah 21 ribu orang, melayani secara cuma-cuma pencari keadilan.

Dada kita bergemuruh. Dengar sajakisah dramatis Indra Aswan, loper koran yang mengais keadilan un tuk bocahnya yang tewas 15 ta hun silam akibat ditabrak oknum polisi tapi hingga saat ini tidak tersentuh hukum. Sebelum diterima Presiden SBY, ia sempat "mengadukan nasib"kepada gorila di kebun binatang. Lain lagi cerita tragis Soetarti Soekarno, 78 tahun, dan Roesmini, 78, janda pahlawan yang didakwa dalam kasus penyerobotan rumah dinas dengan hukuman penjara 2 tahun 4 bulan. Beruntung, pengadilan memvonis mereka bebas.

Ini potret kelabu kondisi segelintir kaum papa. Dalam kenyataan, kasus terlanggarnya hak konstitusional, terhambatnya penegakan hukum, dan tertutupnya akses keadilan makin menggunung. Spontan jari kita menuding kemiskinan sebagai biang keladinya. Ia membuat orang tak berdaya dan terpinggirkan. Di sini kita menunggu hadirnya bantuan hukum yang secara universal diusung profesi advokat. Namun kita bertanya, apa sesungguhnya bara di balik api kemiskinan ini? Sebagian kita juga mungkin sangsi kepada role of play kepengacaraan.
Akar dan jenis Dengan derajat terendah dalam strata ekonomi, pertumbuhan jumlah orang miskin dari waktu ke waktu membuat kita miris. Kalkulasi Badan Pusat Statistik menunjukkan, dengan penduduk 237 juta pada tengah tahun ini, Indonesia bakal disesaki 32 juta orang miskin. Lebih spektakuler, kalau dipakai patokan lembaga internasional bahwa penghasilan US$ 2 dolar adalah orang miskin, maka sejatinya ada 100 juta orang miskin.

Tapi mengapa terjadi kemiskinan? Pangkalnya ialah kegagalan distribusi ekonomi yang adil. Melalui kategorisasi, faktor kegagalan ini lebih terungkap. Pertama, kemiskinan natural yang bergulir secara alami, akibat minimnya mutu manusia dan langkanya kekayaan alam. Kedua, kemiskinan kultural yang dipicu budaya atau mental yang mendorong orang hidup miskin, seperti malas bekerja, nihil kreativitas, dan absen gairah hidup untuk maju. Ketiga, kemiskinan struktural, yang dibuat tangan manusia dalam wujud kebijakan negara, sehingga lahir kesenjangan struktur ekonomi. Bisa jadi kebijakan diam-diam mengangkangi konstitusi demi kelanggengan kekuasaan, atau kebijakan yang dijadikan alat dominasi faktor produksi guna kejayaan bisnis.

Kemiskinan struktural bukan isu baru.
Pada 1970-an kalangan intelektual menyitir eksklusi sosial atas golongan ekonomi lemah dalam struktur ekonomi global. Eksklusi ini akibat dependensi ekonomi negara berkembang ke negara industri. Hal ini tergambar dalam relasi antara daerah periferi dan daerah pusat. Teori ini ditinggalkan karena terbukti pada era ini banyak negara yang tadinya terbelakang tapi kemudian mampu merebut pasar global. Contohnya, Taiwan, Korea, atau Cina.

Namun eksklusi sosial terhadap lapisan akar rumput dalam struktur ekonomi nasio nal bukan isapan jempol. Hasil pembangunan ekonomi masih jatuh kepada segelintir orang. Hubungan sosial-politik pun terkadang tidak sepenuhnya demokratis pada sejumlah tataran. Praktek kongkalikong dalam kegiatan di parlemen, pemerintah, asosiasi usaha masih dirasakan. Di sini peran bantuan hukum mendapatkan salurannya.
Bantuan hukum Masalahnya, secara eksistensial bantuan hukum belum mendapat pijakan formal yang jelas dari segi historis dan regulasi.
Implikasinya, ia belum sepenuhnya melekat dalam skema kerja advokat kita. Jadi, tidak aneh bila ia tidak masuk agenda utama kepengacaraan. Belum lagi melihat kumulasi pekerjaan internal advokat, seperti belum tuntasnya wadah tunggal, keterlibatan dalam mafia peradilan, dan profesionalitas yang kurang mumpuni.

Masalah lain, secara ideal bantuan hukum menuntut fokus perhatian luas advokat, karena konsepnya yang berwatak emansipatoris. Berasal dari Barat dan berkembang hampir serentak pada 1970-an sebagai salah satu aksi negara kesejahteraan (welfare state) yang terlambat ditunaikan, mengingat gelombang perhatian atas kemiskinan dimulai 1960-an. Indonesia--meski resminya bukan negara kesejahteraan melainkan negara hukum--juga mengadopsi pentingnya bantuan hukum (Aswab Ma hasin: 1981). Gelombang ini membuat bantuan hukum dikaitkan dengan pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, dalam watak aslinya, bantuan hukum menuntut wawasan politik.

Itu sebabnya, bantuan hukum tidak boleh dianggap sebagai perbuatan karitatif dengan pertimbangan perikemanusiaan semata. Ia bukan sekadar tugas formal advokat yang lebih mempertimbangkan profesionalitas, keahlian, atau bahkan imbalan. Ia adalah tuntutan melakukan minimalisasi akibat buruk yang terjadi dalam criminal justice process dengan kacamata lebar. Di sini advokat harus menjadi mesin pembaru hukum yang menyikapi secara kritis produk legislasi nasional, proses peradilan pidana, serta praktek sosialisasi hukum dalam kerangka melindungi mereka yang rentan dan buta hukum. Mereka yang harus dibela tidak lagi terbatas karena lemah secara finansial, tapi juga mencakup anak-anak, manula, wanita, suku terasing, atau masyarakat adat.

Ambil contoh. Produk legislasi nasional tidak lengkap tanpa Undang-Undang Bantuan Hukum. Apakah sudah mencukupi UU Advokat dan PP Bantuan Hukum Cuma-cuma? Praktek peradilan pidana juga diragukan telah menjalankan habeaus corpus (kehadiran tersangka) atau pre-trial hearing (pengujian sebelum sidang) untuk mengetahui alasan penahanan. Apakah kezaliman yang dialami pesakitan sudah terhapus? Praktek sosialisasi hukum selama ini dijalankan banyak pihak, mulai kementerian sampai pemda. Apakah segala penyuluhan atau kampanye ini telah mengena ke kelompok sasarannya?
Awal karya Tampak banyak pekerjaan rumah advokat tidak selesai, namun kita sedikit lega.
Meski terhambat biaya, Perhimpunan Advokat Indonesia mulai mewajibkan anggotanya, yang berjumlah 21 ribu orang, melayani secara cuma-cuma pencari keadilan.
Misalkan hanya 1 persen dari 32 juta orang miskin yang menghadapi problem hukum.
Supaya semua terlayani, dalam hitungan sederhana, 1 orang advokat bakal menangani 15 orang miskin. Kita tunggu realisasinya. Ini bukti awal karya. Ingat kata pepatah, kebajikan itu terwujud dalam karya (virtus in actione consistit).

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/09/27/ArticleHtmls/27_09_2010_012_019.shtml?Mode=1

Sebelum Prahara Politik Tiba

Oleh Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

Jakarta Presiden Yudhoyono untuk sementara waktu memang lolos dari lubang jarum prahara politik, namun lambannya ia dalam mengambil keputusan akan menimbulkan prahara hukum dan politik di negeri ini."


PRAHARA politik bukan mustahil akan datang jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak cepat memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung Hendarman Supandji dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Darmono se bagai pelaksana tu gas jaksa agung melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 104/P/2010 yang ditandatangani pada Jumat (24/9) lalu. Keppres tersebut juga mengakhiri polemik di antara para ahli hukum tata negara mengenai sampai kapan masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji akan berakhir. Dalam putusannya atas pengujian Pasal 22 Ayat (1) Huruf d UU No 16/2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diajukan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, pada Rabu 22 September 2010, Mahkamah Agung (MK) menyatakan masa jabatan jaksa agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan presiden dalam satu periode bersama-sama dengan masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh presiden dalam periode yang bersangkutan. Putusan MK itu tidak dapat digugat karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak dibacakan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif). Ini berarti sejak pukul 14.35 WIB pada Rabu (22/9) siang itu Hendarman Supandji tidak lagi sah sebagai jaksa agung.
Terbelah Namun, para ahli hukum tata negara ternyata terbelah dua.
Kubu pertama, dari Universitas Gadjah Mada, yang diwakili pengajar hukum tata negara Mohammad Fajrul Falaakh (Kompas, 24/9), pengajar hukum pidana FH-UGM Eddy OS Hiariej (Kompas, 25/9), dan juga pengajar hukum tata negara FH-UGM merangkap Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi Denny Indrayana (Seputar Indonesia, 25/9) berpandangan bahwa masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji baru akan berakhir sesuai dengan masa jabatan kabinet, yakni pada Oktober 2014. Kubu kedua yang diwakili antara lain oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (Seputar Indonesia, 25/9), Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Prof Dr Saldi Isra, serta pengamat dan praktisi hukum tata negara Refly Harun (Kompas, 25/9), memandang masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji berakhir setelah amar putusan MK dibacakan.
Alasannya, Jaksa Agung Hen darman Supandji diangkat Presiden Yudhoyono pada 7 Mei 2007 menggantikan Jaksa Agung Abdul Rah man Saleh pada periode Kabinet Indonesia Bersatu I (Oktober 2004-Oktober 2009).

Presiden Yudhoyono benarbenar lolos dari lubang jarum prahara politik karena di kalangan politikus di Senayan sudah ada suara-suara yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) akan mengajukan hak interpelasi yang akan berlanjut dengan hak menyatakan pendapat jika Presiden Yudhoyono mengabaikan keputusan MK tersebut. Kita semua mafhum, jika itu benar-benar terjadi, meski kecil kemungkinannya, dapat saja itu berlanjut dengan pemakzulan (impeachment) karena Presiden dianggap melanggar undang-undang dan konstitusi negara.

Drama keputusan MK tersebut sebenarnya belum berakhir.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi tidak dapat bercuci tangan seolaholah keppres pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji dan penunjukan Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai pelaksana tugas jaksa agung merupakan wujud dari penghormatan Presiden Yudhoyono atas amar putusan MK. Jika kita menengok ke belakang sejak putusan MK dibacakan, betapa dua orang dekat presiden itu ngotot bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji masih legal dan ada atau tidak adanya putusan MK, Presiden Yudhoyono pasti akan mengganti Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kalimat-kalimat yang mereka gunakan seolaholah mengabaikan keputusan MK tersebut dan baru pada Jumat (24/9) nada pernyataan Sudi Silalahi dan Denny Indrayana baik intonasi maupun substansinya berubah dengan menyatakan Presiden Yudhoyono menghormati putusan MK lalu karena itu keluarlah Keppres No 104/P/2010 pada 24 September itu.

Di sini tampak jelas betapa `keangkuh an kekuasaan' yang ditunjuk kan Sudi Sila lahi dan Denny Indrayana akhirnya luluh karena me reka melihat ke nyataan betapa tidak sedikit pa kar hukum tata negara yang sepandangan dengan Ketua MK Mahfud MD bahwa masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji berakhir setelah Ketua MK selesai membacakan amar putusan MK. Persoalan hu kumnya telah selesai dan berganti dengan ranah politik yang membuka peluang akan dilakukannya hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Jika itu terjadi, bukan mustahil prahara politik akan datang menghadang Presiden Yudhoyono.
Lamban Kita juga bertanya-tanya mengapa begitu lamban Presiden Yudhoyono menyikapi putusan MK. Apakah benar untuk membuat keppres tersebut dibutuhkan satu setengah hari untuk mempelajari putusan MK terlebih dahulu?
Apakah masih kurang orang di lingkungan Sekretariat Negara yang paham atau ahli mengenai hukum tata negara?
Sadarkah orang-orang di lingkungan istana bahwa putusan MK bukan sekadar putusan hukum semata, melainkan juga mengandung urusan ketatanegaraan dan sistem politik yang kita anut? Penulis sepakat dengan pandangan Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan mengapa setelah putusan MK dibuat terjadi kegaduhan, padahal untuk menyikapinya amatlah mudah dan sederhana, yakni Presiden tinggal membuat keppres pemberhentian jaksa agung lama dan pengangkatan jaksa agung baru yang orangnya bisa saja sama, Hendarman Supandji, atau orang lain baik dari internal ataukah eksternal Kejaksaan Agung.

Jika benar komentar Denny Indrayana bahwa ada atau tidak ada putusan MK, Presiden Yudhoyono akan mengganti jaksa agung, itu berarti persoalan ini sudah lama berkembang di kalangan istana. Pertanyaannya, lalu mengapa untuk menggantinya harus dibutuhkan waktu yang begitu lama, sampaisampai kita tidak memiliki jaksa agung mulai Rabu siang 22 September 2010 sampai Jumat 24 September 2010? Di usia republik yang sudah 65 tahun ini mengapa urusan pergantian pejabat tinggi negara semakin rumit dan amburadul, ibarat Indonesia seperti negeri `Acakadut'! Begitu rumitkah mencari seorang jaksa agung dari 10.000 jaksa yang ada di Indonesia dan tidak sedikit ahli hukum yang kapabel dan respektabel yang berasal dari luar Kejaksaan Agung?
Di sini tampak jelas betapa posisi jaksa agung bukan lagi soal penunjukan atau pengangkatan orang yang akan menjadi nakhoda yang baik di Kejaksaan Agung, melainkan sudah berbaur dengan kepentingan politik penguasa, baik yang terkait dengan citra politik maupun yang terkait dengan masa depan nasib politik penguasa.

Jika Presiden Yudhoyono semakin memperlambat pengangkatan jaksa agung definitif yang baru, kita juga semakin bertanya, politik penegakan hukum apa lagi yang akan dijalankan pemerintah saat ini?
Benarkah Presiden Yudhoyono begitu peduli pada penegakan hukum di negeri ini? Presiden Yudhoyono untuk sementara waktu memang lolos dari lubang jarum prahara politik, namun lambannya ia dalam mengambil keputusan akan menimbulkan prahara hukum dan politik di negeri ini.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/09/27/ArticleHtmls/27_09_2010_015_003.shtml?Mode=0

PERJALANAN WAPRES


Aroma Minyak Gosok dan Diskusi Era Twitter



Sebagian rombongan yang mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden Boediono di New York, Amerika Serikat, dari tanggal 22 sampai 24 September 2010 adalah tujuh wartawan media cetak dan media elektronik.

Para wartawan ini, antara lain, meliput kegiatan Wapres mengikuti acara pertemuan Clinton Global Initiative (CGI/Gagasan Global Clinton). CGI digagas mantan Presiden AS Bill Clinton untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang. Tema diskusi saat itu adalah meningkatkan akses ke teknologi mutakhir. Lebih dari 14 pengusaha kelas dunia hadir dalam acara diskusi.

Wanita dan Twitter

Wartawan Kompas dan Endy Bayuni dari The Jakarta Post berdiri selama satu jam menghadiri salah satu kelompok diskusi berjudul ”Demokrasi dan Pemilih: Teknologi Pemberdayaan Warga dan Hak Asasi Manusia”.

Ruang diskusi penuh. Di panggung tampil Nicholas Kristof, kolumnis The New York Times. Kemudian ada wanita cantik berusia 60 tahun, Arianna Huffington, penulis dan pendiri The Huffington Post, sebuah situs berita, komentar, dan blog liberal. Ia duduk tidak jauh dari pembicara lainnya, yakni Ashton Kutcher, Wakil Ketua Demi and Ashton Foundation (Yayasan Demi dan Ashton). Ia diperkenalkan oleh Arianna kepada hadirin sebagai suami bintang film terkenal Demi Moore.

Dalam diskusi yang menarik perhatian hadirin ini, Arianna ketika mempersilakan Ashton bicara melontarkan pertanyaan seperti ini, ”Bagaimana kita bisa membuka peluang lebih banyak wanita dewasa dan gadis mengakses dan memeluk teknologi?”

Ashton yang baru diterpa berita gosip selingkuh dengan wanita lain mengungkapkan kekuatan e-mail, Facebook, dan Twitter dalam mendemokratisasi manusia di dunia ini. Ia mengatakan, 80 persen pengguna Twitter yang ia catat adalah wanita. Sementara, katanya, dunia perbudakan modern saat ini 80 persen korbannya adalah perempuan.

Ashton dengan suara serius mengatakan, dengan masuknya sistem Twitter, Facebook, dan e-mail, suara perempuan akan membahana. Pepatah lama yang mengatakan ”women and children first” bisa menjadi kenyataan yang mencengangkan. ”Mungkin pria akan berdiri dan mengatakan tidak lagi nyaman membeli perempuan”.

Ashton juga mengkritik media massa dunia saat ini yang mengabaikan perdagangan anak-anak perempuan di bawah umur dari negara-negara miskin untuk perdagangan seks dunia.

Kemudian dua orang Iran yang lari dari negerinya dan menetap di AS, Omid Memarian (wartawan) dan Pierre Omidyar, mengungkapkan berbagai kecurangan dalam pemilihan umum di Iran bisa terpampang di permukaan dunia karena adanya telepon genggam, Facebook, e-mail, dan Twitter.

Pembicara terakhir dalam diskusi interaktif ini adalah wanita cantik asal Bolivia, Maria Otero, yang sekarang menjabat Wakil Menteri Luar Negeri AS bidang demokrasi dan masalah global yang berkaitan dengan hak asasi manusia, perburuhan, kelautan, lingkungan hidup, kesehatan, pengungsi, migrasi, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Ia menanggapi pernyataan Arianna yang mengatakan, kekuatan teknologi komunikasi telah mengubah suasana gerakan sosial dunia, termasuk dalam rangka hubungan antara rakyat dan pemerintah serta media massa tradisional. Hak istimewa bukan lagi di tangan pemerintah dan sekelompok kecil media massa berkuasa.

Maria Otero mengatakan, pemerintah di dunia bisa tetap berperan positif di era Facebook dan Twitter ini, yakni memberikan fasilitas kepada rakyat untuk ikut masuk secara proporsional dan tidak lagi menjadi korban. Ia juga mengingatkan kekuatan komunikasi telepon genggam dalam pemilihan umum di Nigeria.

Ketika meninggalkan acara diskusi, Endy Bayuni sempat mengatakan, Arianna tampak lebih cantik ketimbang di layar televisi. Diskusi yang menampilkan dua orang cantik ini tentu berbeda dengan suasana debat kusir dalam tayangan-tayangan televisi berita di Indonesia.

Endy Bayuni juga mengatakan, diskusi di CGI ini mengingatkan kasus Prita serta Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Prita adalah seorang pasien yang menghadapi kekuatan rumah sakit besar, sedangkan Bibit-Chandra menghadapi lembaga penegak hukum pemerintah.

Pemerintah harus siap

Kini pemerintah dunia mesti siap menghadapi era Twitter. Arianna mengingatkan hal itu dengan mengatakan, ”Kita sekarang punya alat yang mampu menyentuh hati manusia yang bernama rakyat.”

Perjalanan udara selama 24 jam New York-Jakarta adalah kesempatan untuk merenungkan makna dan suasana diskusi itu. Akan tetapi, perenungan terganggu ketika aroma minyak gosok menyengat tersebar di dalam pesawat terbang. Rupanya seorang perempuan juru kabar berita tidak bisa meninggalkan kebiasaannya mandi minyak angin Cap Kapak. (J Osdar)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03031770/aroma.minyak.gosok.dan.diskusi.era.twitter

PERJALANAN WAPRES


Aroma Minyak Gosok dan Diskusi Era Twitter



Sebagian rombongan yang mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden Boediono di New York, Amerika Serikat, dari tanggal 22 sampai 24 September 2010 adalah tujuh wartawan media cetak dan media elektronik.

Para wartawan ini, antara lain, meliput kegiatan Wapres mengikuti acara pertemuan Clinton Global Initiative (CGI/Gagasan Global Clinton). CGI digagas mantan Presiden AS Bill Clinton untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang. Tema diskusi saat itu adalah meningkatkan akses ke teknologi mutakhir. Lebih dari 14 pengusaha kelas dunia hadir dalam acara diskusi.

Wanita dan Twitter

Wartawan Kompas dan Endy Bayuni dari The Jakarta Post berdiri selama satu jam menghadiri salah satu kelompok diskusi berjudul ”Demokrasi dan Pemilih: Teknologi Pemberdayaan Warga dan Hak Asasi Manusia”.

Ruang diskusi penuh. Di panggung tampil Nicholas Kristof, kolumnis The New York Times. Kemudian ada wanita cantik berusia 60 tahun, Arianna Huffington, penulis dan pendiri The Huffington Post, sebuah situs berita, komentar, dan blog liberal. Ia duduk tidak jauh dari pembicara lainnya, yakni Ashton Kutcher, Wakil Ketua Demi and Ashton Foundation (Yayasan Demi dan Ashton). Ia diperkenalkan oleh Arianna kepada hadirin sebagai suami bintang film terkenal Demi Moore.

Dalam diskusi yang menarik perhatian hadirin ini, Arianna ketika mempersilakan Ashton bicara melontarkan pertanyaan seperti ini, ”Bagaimana kita bisa membuka peluang lebih banyak wanita dewasa dan gadis mengakses dan memeluk teknologi?”

Ashton yang baru diterpa berita gosip selingkuh dengan wanita lain mengungkapkan kekuatan e-mail, Facebook, dan Twitter dalam mendemokratisasi manusia di dunia ini. Ia mengatakan, 80 persen pengguna Twitter yang ia catat adalah wanita. Sementara, katanya, dunia perbudakan modern saat ini 80 persen korbannya adalah perempuan.

Ashton dengan suara serius mengatakan, dengan masuknya sistem Twitter, Facebook, dan e-mail, suara perempuan akan membahana. Pepatah lama yang mengatakan ”women and children first” bisa menjadi kenyataan yang mencengangkan. ”Mungkin pria akan berdiri dan mengatakan tidak lagi nyaman membeli perempuan”.

Ashton juga mengkritik media massa dunia saat ini yang mengabaikan perdagangan anak-anak perempuan di bawah umur dari negara-negara miskin untuk perdagangan seks dunia.

Kemudian dua orang Iran yang lari dari negerinya dan menetap di AS, Omid Memarian (wartawan) dan Pierre Omidyar, mengungkapkan berbagai kecurangan dalam pemilihan umum di Iran bisa terpampang di permukaan dunia karena adanya telepon genggam, Facebook, e-mail, dan Twitter.

Pembicara terakhir dalam diskusi interaktif ini adalah wanita cantik asal Bolivia, Maria Otero, yang sekarang menjabat Wakil Menteri Luar Negeri AS bidang demokrasi dan masalah global yang berkaitan dengan hak asasi manusia, perburuhan, kelautan, lingkungan hidup, kesehatan, pengungsi, migrasi, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Ia menanggapi pernyataan Arianna yang mengatakan, kekuatan teknologi komunikasi telah mengubah suasana gerakan sosial dunia, termasuk dalam rangka hubungan antara rakyat dan pemerintah serta media massa tradisional. Hak istimewa bukan lagi di tangan pemerintah dan sekelompok kecil media massa berkuasa.

Maria Otero mengatakan, pemerintah di dunia bisa tetap berperan positif di era Facebook dan Twitter ini, yakni memberikan fasilitas kepada rakyat untuk ikut masuk secara proporsional dan tidak lagi menjadi korban. Ia juga mengingatkan kekuatan komunikasi telepon genggam dalam pemilihan umum di Nigeria.

Ketika meninggalkan acara diskusi, Endy Bayuni sempat mengatakan, Arianna tampak lebih cantik ketimbang di layar televisi. Diskusi yang menampilkan dua orang cantik ini tentu berbeda dengan suasana debat kusir dalam tayangan-tayangan televisi berita di Indonesia.

Endy Bayuni juga mengatakan, diskusi di CGI ini mengingatkan kasus Prita serta Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Prita adalah seorang pasien yang menghadapi kekuatan rumah sakit besar, sedangkan Bibit-Chandra menghadapi lembaga penegak hukum pemerintah.

Pemerintah harus siap

Kini pemerintah dunia mesti siap menghadapi era Twitter. Arianna mengingatkan hal itu dengan mengatakan, ”Kita sekarang punya alat yang mampu menyentuh hati manusia yang bernama rakyat.”

Perjalanan udara selama 24 jam New York-Jakarta adalah kesempatan untuk merenungkan makna dan suasana diskusi itu. Akan tetapi, perenungan terganggu ketika aroma minyak gosok menyengat tersebar di dalam pesawat terbang. Rupanya seorang perempuan juru kabar berita tidak bisa meninggalkan kebiasaannya mandi minyak angin Cap Kapak. (J Osdar)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03031770/aroma.minyak.gosok.dan.diskusi.era.twitter