BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Sinabung dan Manajemen Bencana

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 14.18

Oleh Ade Anggraini

Gunung Sinabung yang kegiatannya meningkat beberapa hari terakhir walhasil meletus pada Sabtu, 28 Agustus, malam.

Fakta yang menarik adalah bahwa sampai beberapa jam sebelum gunung meletus, lembaga yang berwenang mengeluarkan status suatu gunung api bersikukuh bahwa kegiatan Sinabung tidak berbahaya. Berdasarkan informasi ini, otoritas lokal memutuskan tak mengeluarkan perintah mengungsi kepada penduduk yang tinggal di sekitar Sinabung.

Namun, beberapa jam berikutnya, kegiatan gunung api ini meningkat pesat hingga akhirnya meletus pada Sabtu malam. Untungnya, otoritas lokal dibantu sukarelawan berinisiatif mengungsikan warga. Beberapa jam kemudian, staf ahli presiden bidang bencana mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah mengakui telah salah prediksi dalam krisis Sinabung ini.

Gunung Sinabung adalah gunung api—istilah bahasa Indonesia baku untuk volcano—yang terletak di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Menurut sebuh situs di internet, gunung api dengan ketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut itu masih tergolong stratovulkano. Contoh stratovulkano lain ialah Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Masih menurut situs yang sama, walau tak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung ini, pada 1912 diketahui ada kegiatan solfatara di puncak dan lereng sekitar puncak Sinabung. Artinya, Gunung Sinabung sebenarnya hanya tidur panjang sembari mengumpulkan tenaga buat kegiatan seperti saat ini.

Ada syarat

Di dunia sains, salah prediksi wajar dan sangat bisa diterima dengan syarat, saat membuat prediksi, kita memasukkan fakta ilmiah ke dalam proses prediksinya. Prediksi bisa berubah, bahkan gagal, jika kelak ditemui ada fakta lain: bisa data baru bisa juga data yang lebih valid.

Dalam kasus Sinabung, institusi yang terkait terlalu mengandalkan data teknis yang tampaknya tak mutakhir. Jelas, dalam beberapa hari terakhir terjadi kegiatan di luar kebiasaan. Secara intuitif saja bisa disimpulkan, ada yang tak biasa di Sinabung, ditambah lagi dengan observasi visual masyarakat sekitar yang sudah puluhan tahun hidup bersama Sinabung: terlihat semburan lava pijar, asap solfatara yang jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Sinabung yang tidur lebih dari 400 tahun tiba-tiba menggeliat!

Untunglah pemerintah lokal segera mengungsikan warga sebelum letusan. Proses mengeluarkan diseminasi cukup panjang dan berliku. Salah diseminasi memang bisa menimbulkan dampak negatif. Selain besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk memobilisasi ribuan penduduk dan menampung mereka di tempat pengungsian, ada efek psikologis bila diseminasi meleset. Kepercayaan masyarakat bisa hilang. Itu salah satu alasan peringatan tsunami pada teks berjalan siaran TV memuat kata berpotensi.

Namun, kerugian ekonomi maupun dampak psikologis itu tak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatan penduduk yang tinggal di daerah potensi bencana. Semoga kita masih ingat pada gempa 7,7 skala Richter yang mengguncang wilayah laut selatan Jawa, Juli 2006, yang mendatangkan tsunami dan mengakibatkan ratusan orang meninggal.

Sebenarnya saat itu Sistem Peringatan Dini Tsunami Pasifik telah mengirim kawat kepada otoritas pemantau gempa di Indonesia tentang potensi tsunami. Nyatanya diseminasi tak dikeluarkan. Menteri yang berwenang saat itu mengatakan bahwa pemerintah tak ingin menimbulkan panik tak perlu bagi warga.

Di sini terlihat betapa minim keseriusan pemerintah dalam mitigasi bencana. Saat memberi pernyataan tentang Sinabung, staf ahli presiden bidang bencana menyinggung bahwa dalam beberapa bulan terakhir timnya telah keliling Sumatera untuk sosialisasi gempa. Namun, Sinabung luput dari pengamatan.

Sangat pesat

Saat ini riset gempa dan tsunami tumbuh sangat pesat setelah gempa besar Andaman 2004 yang mengakibatkan tsunami dahsyat yang menyapu wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Gempa dan tsunami menjadi isu amat trendi. Namun, sangat disayangkan bila kita terlalu berkonsentrasi pada satu hal lalu mengabaikan bahkan melupakan hal lain yang sebenarnya lebih penting dan segera memerlukan solusi.

Ada beberapa bencana alam yang frekuensinya lebih sering terjadi dan kerap pula menimbulkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang luput dari pengamatan: banjir dan longsor. Pemantauan potensi longsor dengan metode mikroseismik cukup sederhana dan bisa menyelamatkan banyak orang. Sayang, kelanjutan riset ini belum banyak didukung pemerintah.

Memantau kegiatan gunung api jauh lebih mudah daripada memantau gempa. Ada ratusan gunung api di Indonesia yang aktif (tipe A) maupun yang tidur (tipe B). Idealnya, semua tetap perlu dipantau sebab gunung berapi tipe B sebenarnya tetap berpotensi meletus. Tentu perlu biaya. Kalau pemerintah tak mampu pasang seismometer di semua gunung, setidaknya prioritas diberlakukan pada gunung yang tingkat okupansi penduduknya tinggi.

Jika sumber daya dan sumber dana terbatas, badan vulkanologi bisa menjalin kerja sama dengan lembaga lain sehingga salah prediksi yang berpotensi mengakibatkan kerugian, seperti kasus Sinabung, tidak lagi berulang.

Ade Anggraini Kandidat Doktor Geofisika di Universitas Potsdam, Jerman

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/01/03555291/sinabung.dan.manajemen.bencana

APBN adalah Hak Rakyat

Oleh Arif Budimanta

Beberapa waktu lalu, seorang pemilih penulis berkata, ”Bagaimana mau merdeka? Makan saja susah. Senin-kemis. Belum biaya pendidikan anak sekolah. Dana sumbangan pendidikan belum lunas, sudah disuruh bayar dan beli buku pelajaran, 20 buku dikali Rp 8.000, ampun hidup teh.”

Ini fakta kehidupan. Sebuah pernyataan tak terbantahkan yang penulis hadapi dalam menjalankan tugas sebagai anggota DPR yang dipilih langsung pada Pemilu 2009. Salah satu ritus yang dihadapi wakil rakyat dari waktu ke waktu dalam menjalankan fungsinya adalah membahas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU-APBN) dengan pemerintah dan mengawasi pelaksanaannya bila RUU telah disahkan menjadi UU sebagai cermin bahwa kedaulatan rakyat telah dijalankan.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden secara resmi menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 untuk kemudian dibahas bersama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD. Pasal 23 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk itu, APBN harus mampu membuat rakyat bekerja, hidup sejahtera, dan meningkat derajat kemanusiaannya dari waktu ke waktu. APBN juga membiayai pemerintah, organ pendukungnya, dan lembaga negara—termasuk DPR—dengan harapan seluruhnya bekerja untuk mengejar keadilan sosial yang memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, menjalankan amanat dan perintah UUD tidaklah mudah. Jumlah penganggur maupun orang miskin masih sangat banyak dan masih jadi polemik hingga kini.

PDB bertumbuh

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, sebanyak 8,6 juta angkatan kerja masih menganggur dan 31 juta (13,33 persen) penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini masih berpotensi meningkat dengan bertambahnya angkatan kerja baru yang mencapai sekitar 2,2 juta per tahun dan inflasi yang terus mengikis daya beli masyarakat.

Pada sisi lain sebenarnya kita menunjukkan kemajuan dengan bertumbuhnya produk domestik bruto (PDB), yakni nilai semua barang dan jasa yang diproduksi pada periode tertentu. PDB dapat dihitung secara nasional. Di tingkat daerah dinamakan produk domestik regional bruto (PDRB). Pertumbuhan PDB inilah yang selalu dijadikan patokan kemajuan kita dari waktu ke waktu.

Bagi rakyat, pertumbuhan PDB, proyeksi mengenai inflasi, atau nilai tukar adalah suatu ilusi informasi mengenai angka yang bikin bingung dan tidak dekat dengan kenyataan kehidupan. Inilah yang disebut oleh George A Akerlof dan Robert J Shiller (2010) sebagai money illusion.

Akhir-akhir ini kita juga sering melihat dan membaca kesulitan hidup masyarakat di dalam ekonomi, anak-anak putus sekolah, sampai-sampai ada yang bunuh diri karena putus asa akibat penderitaan. Itu terjadi di berbagai daerah dan belahan Nusantara yang kita cintai ini.

Data BPS tahun 2009 mengungkapkan bahwa kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,62 persen dengan PDRB tahun sebelumnya mencapai Rp 677 triliun. Dapat dibayangkan penderitaan saudara-saudara kita di Papua, Papua Barat, dan Maluku yang pada tahun sama tingkat kemiskinannya mencapai masing-masing 37, 08 persen, 35,12 persen, dan 29,66 persen. Atau, Provinsi Gorontalo yang PDRB-nya hanya Rp 5,8 triliun, sementara tingkat kemiskinannya mencapai hampir 25 persen.

Tafsirkan sendiri

Dengan sekian banyak masalah sosial dan ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia ini, silakan ditafsirkan sendiri siapakah yang sebetulnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagaimana yang sering kali dibangga-banggakan pemerintah kita.

Untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan mengejar keadilan sosial, hal utama yang harus segera dilakukan pemerintah ialah menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja yang masih menganggur, yang secara eksplisit diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Lantas, siapa yang akan memelihara fakir miskin dan anak telantar? Siapa yang akan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi rakyat? Siapa pula yang bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak? Hampir seluruh ayat dalam Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa negaralah yang harus melakukan itu semua.

Apakah RAPBN 2011 mengiyakannya? Kalau kita lihat total rencana belanja (pengeluaran) negara pada RAPBN 2011 yang berjumlah Rp 1.202 triliun, maka anggaran belanja pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak rakyat jauh sekali timpang apabila dibandingkan dengan kewajiban pemerintah membayar bunga utang yang telah mencapai Rp 1.16,4 triliun. Ini belum termasuk cicilan pokok utang.

Atas dasar pertimbangan itu, marilah kita menata ulang RAPBN kita. APBN merupakan jelmaan proses kedaulatan rakyat. APBN harus disusun oleh semangat pemenuhan hak-hak rakyat dalam meningkatkan derajat kemanusiaannya.

APBN juga harus mampu memberikan gambaran dan keyakinan kepada kita ukuran-ukuran kemajuan setiap jengkal pengeluaran negara terhadap kemajuan kesejahteraan umum, seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Hanya dengan cara inilah kita bisa berpacu mengejar kemakmuran dan menegakkan kedaulatan rakyat di tengah dinamika persaingan dan globalisasi ekonomi.

Arif Budimanta Anggota DPR Komisi Keuangan dan Perbankan dari F-PDI Perjuangan, Anggota Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/02/03323166/apbn.adalah.hak.rakyat

Ketika Kampung Tidak Bisa Diharapkan Lagi

OTONOMI DAERAH JAWA TENGAH (3)



Desa Sidayu, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, adalah contoh kemurahan Tuhan terhadap bumi Indonesia. Namun, desa itu juga menjadi saksi kesendirian rakyat menghadapi tantangan hidupnya.

Tanah di Desa Sidayu yang dihuni sekitar 900 keluarga itu subur. Sebagian sawah beririgasi teknis sehingga bisa ditanami sepanjang tahun. Sawah sisanya, yang masih tadah hujan, setahun bisa dua kali ditanami padi. Berbagai tanaman pohon produktif, seperti kelapa, juga memenuhi kebun warga.

Sekitar 2 kilometer ke arah selatan dari desa itu terdapat pantai yang indah. Ombaknya bisa dipakai berselancar. Pasir pantainya tak hanya lembut dan bersih karena belum dikunjungi banyak orang, tetapi sebagian juga adalah pasir besi. Sejak beberapa tahun terakhir, di daerah itu mulai datang investor untuk menambang pasir besi.

Namun, berbagai anugerah di Desa Sidayu itu tetap tak cukup bagi Jamilah (43) untuk hidup di dalamnya. ”Saya tidak punya sawah yang luas untuk bertani. Jika ada yang membutuhkan tenaga saat panen atau tanam padi, saya menjadi buruh tani dengan upah Rp 30.000 sehari,” katanya.

Untuk bekerja di bidang lain di Cilacap, Jamilah kesulitan. ”Apa ada pabrik di Cilacap atau Jakarta yang mau menerima lulusan SD seperti saya?” tanya dia.

Berbagai tekanan itu membuat Jamilah tahun 1998 memutuskan pergi ke Arab Saudi, menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Dua anaknya yang saat itu masing-masing berumur 10 tahun dan 7 tahun ditinggal di Sidayu, diurus suaminya. ”Saya tiga tahun ke Mekkah. Tahun 2002, saya pergi ke Riyadh (Arab Saudi) selama lima tahun. Pulang sebentar, pergi lagi ke Riyadh. Namun, dari kontrak dua tahun, yang terakhir ini hanya kuat satu tahun tiga bulan karena pekerjaannya banyak,” papar Jamilah tentang pengalamannya menjadi pembantu di negeri orang.

Saat bekerja di Mekkah, dia digaji 600 riyal (kurs saat ini sekitar Rp 1,4 juta). Ketika bekerja di Riyadh, ia digaji 700 riyal (Rp 1,68 juta) dan 800 riyal (Rp 1,9 juta). ”Pulang dari Mekkah, saya membeli tanah seharga Rp 9 juta. Ketika pulang dari Riyadh, saya membeli lagi tanah Rp 20 juta,” tuturnya.

Jamilah sadar, pendapatan sebagai TKI sering kali tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi. Cerita perlakuan sewenang-wenang yang dialami TKI menjadi menu rutin. Ia juga tahu ada tetangga desanya yang meninggal karena jatuh saat bekerja di Arab Saudi.

Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perisai Kebenaran, Kabupaten Banyumas, daerah yang bertetangga dengan Cilacap, mencatat, dua warga Banyumas, yaitu Eni Supriani dan Dewi Usianah, hampir 11 tahun tidak diketahui keberadaannya. Terakhir, mereka diketahui menjadi TKI di Malaysia.

”TKI itu untung-untungan. Jika majikannya baik, ya aman saja,” kata Jamilah tentang nasib buruk yang menimpa sebagian rekannya sesama TKI.

Dengan pertimbangan itu, juga sulitnya mencari pekerjaan di Cilacap, Jamilah mengizinkan Nurjanah, anak pertamanya, untuk mengikuti jejaknya menjadi TKI. Sejak 2,5 tahun lalu, Nurjanah, yang saat itu berumur 20 tahun, pergi ke Taiwan, menjadi pembantu rumah tangga. ”Tiga bulan lalu Nurjanah pulang, lalu membeli motor. Sekarang ia sudah ke Jakarta, akan ke Taiwan lagi,” ucapnya lagi.

Bukan satu-satunya

Jamilah dan Nurjanah bukan satu-satunya warga Desa Sidayu yang memutuskan menjadi TKI. Suhardi, Kepala Desa Sidayu, menuturkan, dari sekitar 3.350 warganya, sekitar 40 persen di antaranya pernah atau sedang menjadi TKI. ”Melihat ada TKI yang pulang membawa uang membuat warga lain

tertarik menjadi TKI. Apalagi, mencari pekerjaan di sini tidak mudah,” tuturnya.

Saking banyaknya warga Sidayu yang menjadi TKI membuat Suhardi tak hafal warganya. ”Ada yang tiba-tiba muncul karena katanya baru pulang dari luar negeri, tetapi juga ada yang tiba-tiba menghilang karena menjadi TKI,” ujarnya.

Bahkan, Suhardi sering kali baru sadar bahwa warganya menjadi TKI ketika ada pengacara yang datang ke rumahnya untuk mengurus surat cerai. Sebab, salah satu pihak yang bercerai menjadi TKI. Selain itu, banyak orangtua di desanya mengasuh anak kecil yang adalah cucunya karena orangtua anak itu menjadi TKI.

Suhardi mengaku sering gelisah ketika melihat dampak negatif dari warganya yang menjadi TKI, berikut risiko dari pekerjaan itu. Dia berharap ada pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Cilacap yang bertanya, mengapa banyak warga desanya menjadi TKI. ”Saat itu saya akan jawab, karena di sini tidak ada pekerjaan,” katanya.

Namun, ditunggu sampai sekarang, jawaban nyata yang ditunggu Suhardi berupa lapangan pekerjaan bagi warganya tidak kunjung datang. Akibatnya, fenomena menjadi TKI yang dimulai di Desa Sidayu sejak 1980 terus berlangsung sampai kini.

Setahun lalu, Suhardi berusaha mengurangi pengiriman TKI dari desanya dengan mengembangkan kerajinan batik. Ia mengundang perajin batik dari Pekalongan, Jateng, untuk melatih warga membatik. Sebanyak 15-25 wanita di desanya sekarang mulai pintar membatik.

Namun, masalah lain menghadang gagasan Suhardi itu. ”Kami kesulitan menjualnya. Pernah batik itu kami coba jual di pasar, tetapi susah tembus. Sekarang kami hanya menjualnya di pameran. Akibatnya, hasilnya belum bisa untuk hidup,” tuturnya.

Gagasan Suhardi sebenarnya sama dengan pemikiran Wakil Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji untuk menggairahkan usaha kecil menengah sebagai jalan keluar menekan pengiriman TKI asal Cilacap. (Madina Nusrat/M Hernowo)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/02/0248369/ketika.kampung.tidak.bisa.diharapkan.lagi

Masa Jabatan Presiden Cukup Satu Periode

Jeffrie Geovanie ANGGOTA KOMISI I DPR RI

Mengapa masa jabatan presiden harus dibatasi?
Sebab, jika tidak diba tasi, berpotensi menjadi alat yang efektif untuk melanggengkan otoritarianisme kekuasaan. Itulah sebabnya, pembatasan masa jabatan presiden menjadi salah satu agenda prioritas gerakan reformasi. Ketika Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat digelar pertama kali pascaOrde Baru, Oktober 1999, pembatasan masa jabatan presiden sudah menjadi salah satu ketetapan dalam amendemen pertama UndangUndang Dasar 1945.

Dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum diamendemen disebutkan, presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan inilah yang membuat Presiden Soeharto dipilih terus-menerus hingga periode ketujuh. Andaikan tak ada gerakan reformasi, sangat mungkin Soeharto bisa menjadi presiden seumur hidup.

Setelah diamendemen, Pasal 7 UUD 1945 menjadi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Dengan ketentuan ini, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal dua periode.

Dengan demikian, memunculkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode sama artinya dengan mengusulkan amendemen (kembali) Pasal 7 UUD 1945. Sebagai wacana, tak ada salahnya. Tapi, untuk menyetujuinya, tentu akan menjadi masalah besar.

Membuka peluang amendemen (kembali) UUD 1945 sama artinya dengan membuka peluang (pula) bagi upaya mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya. Bila ini yang terjadi, berarti arah jarum jam reformasi yang sudah berdetak kencang itu harus kita tarik kembali ke belakang. Kita bisa terperangkap kembali dalam rezim otoriter yang tanpa batas.

Soal masa jabatan presiden, menurut saya untuk dua periode saja sudah terlalu lama dan bisa dipastikan kurang efektif karena pada jabatan periode kedua biasanya lebih buruk daripada periode pertama. Kondisi ini bisa kita pahami, karena pada periode pertama presiden merasa dituntut bekerja lebih baik karena ada harapan untuk bisa terpilih kembali pada periode berikutnya. Sedangkan untuk periode keduanya, harapan itu sudah tidak ada lagi.

Usulan untuk memperpanjang masa jabatan presiden hingga periode ketiga patut dicurigai: pertama, karena ia betul-betul menikmati jabatan itu dengan segala fasilitas dan protokoler yang mengistimewakan dirinya sehingga tak mau melepaskannya kepada orang lain. Ibaratnya, sekali duduk, karena merasa nikmat, ia lupa berdiri.

Kedua, mungkin juga karena ia tak punya lahan pengabdian (pekerjaan) selain menjadi presiden.
Sehingga, ketika berhenti dari jabatan Presiden, hal itu dianggap sebagai akhir dari segalanya. Ketiga, mungkin ia haus kekuasaan.
Bagaikan pengembara di gurun pasir, kekuasaan menjadi seperti telaga pelepas dahaga.

Kemungkinan yang paling buruk, usulan perpanjangan masa jabatan bisa juga karena dilandasi rasa bersalah. Bila jabatannya berakhir, kesalahan-kesalahannya akan terungkap. Dengan kata lain, bila sudah tak punya kekuasaan lagi, siapa pun bisa mengungkap kesalahan-kesalahannya. Tapi, bila masa jabatannya diperpanjang, ia masih punya waktu yang panjang pula untuk menghapus kesalahan, atau untuk merekayasa secara hukum agar kesalahan-kesalahannya bisa dimaafkan.

Sebagai arena pengabdian, jabatan presiden, seperti juga gubernur, bupati, dan wali kota, seyogianya cukup dijalankan dalam satu periode. Dalam satu periode itulah pengabdian bisa dimaksimalkan agar selanjutnya bisa memberikan peluang lebih banyak kepada orang lain untuk memberi pengabdian yang sama. Dan hasil kerja maksimal dalam satu periode yang ia lakukan bisa menjadi contoh yang baik bagi para penggantinya.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/09/02/ArticleHtmls/02_09_2010_011_003.shtml?Mode=1

Secangkir Kopi Sehari = Panjang Umur

Jakarta (ANTARA News) - Meminum secangkir kopi setiap hari ternyata bisa menjadi rahasia memiliki umur panjang, ujar para peneliti seperti dikutip Dailymail.

Sebuah investigasi unik dilakukan untuk mengetahui hal yang dapat membantu orang mencapai usia 100 tahun meski mereka memiliki tekanan darah tinggi. Jawaban yang terungkap adalah meminum kopi secangkir setiap hari.

Berdasarkan sebuah hasil penelitian yang dilansir awal pekan ini, secangkir kopi setiap hari akan dapat membantu elastisitas pembuluh darah, hal yang dapat mencegah penyakit jantung.

Orang yang minum satu atau dua cangkir setiap hari memiliki tingkat elastisitas arteri yang lebih baik ketimbang yang cuma minum kopi sedikit atau sama sekali tak pernah menyentuh kopi.

Subjek penelitian merupakan warga berusia 65 hingga 100 tahun di pulau Ikaria di Yunani. Pulau itu terkenal dengan julukan pulau "umur panjang" dan sepertiga penduduknya mencapai usia 90 tahun.

Pengidap kanker di pulau itu 20 persen lebih sedikit dibandingkan rata -rata penduduk Barat, bahkan tidak ada dari mereka yang menderita dementia (pikun).

Pulau itu juga merupakan tujuan wisata sejak abad ke-6, saat itu turis Yunani kuno dan Romawi mengunjungi air panas legendaris yang bisa menyembuhkan sakit di persendian dan penyakit kulit.

Para ahli di zaman modern mengklaim pola makan ala mediterania yang baik untuk jantung ditambah madu setempat serta teh herbal lokal juga pegang peranan.

Kini, minum kopi reguler juga diteliti oleh para peneliti dari Universitas Athena guna mengetahui apakah hal itu juga membuat hidup lebih panjang.

Mereka meneliti 485 orang dengan tekanan darah yang tinggi, yang secara medis dikenal dengan hipertensi.

Hipertensi membuat beban jantung bertambah dan akibatnya pembuluh darah tak lentur lagi serta berkurang elastisitasnya. Pada tahap lanjut, keadaan itu akan meningkatkan kemungkinan serangan Jantung dan stroke.

Dr Christina Chrysohoou, yang memimpin penelitian itu, mengakui ada bukti yang bertentangan mengenai dampak meminum kopi dengan kesehatan jantung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minum kopi memperparah tekanan darah tinggi.

Tetapi, meminum kopi sudah melekat erat sebagai tradisi dalam budaya Yunani sehingga penting untuk meneliti kaitan minum kopi di pulau itu dengan "harapan hidup yang tinggi". kata Chrysohoou.

Pembuluh darah para subyek diteliti kekenyalan dan kelenturannya. Sekitar 56 persen peminum kopi berkategori moderat yaitu mengkonsumsi kopi antara satu hingga dua gelas sehari, memiliki kesehatan pembuluh darah yang baik, dengan aliran darah yang mereka miliki serupa dengan orang yang lebih muda.

Pembuluh darah mereka lebih lentur ketimbang dari orang yang sedikit atau bahkan tidak mengkonsumsi kopi.

Satu dari sepuluh orang yang meminum tiga atau lebih cangkir kopi sehari paling rendah kelenturan pembuluh darahnya.Temuan itu dilansir pada kongres The European Society of Cardiology di Stockholm.

Dr Chrysohoou mengatakan peminum kopi rata-rata mengkonsumsi 25-50 ml kopi sehari. Kopi Yunani maupun kopi lain punya kasiat yang sama.

Ia memperkirakan, kandungan kopi antara lain kafein dan antioksidan dapat memperbaiki fungsi pembuluh darah dengan meningkatkan kemampuan menyerap nitric oksit, yang penyerapannya terganggu pada pasien hipertensi.

Tetapi, terlalu banyak meminum kopi dapat menyebabkan hilangnya dampak itu. Salah satu temuan kritis bahwa para peminum kopi moderat meminum dengan santai sambil menikmatinya.

"Mereka bermasyarakat, bersama teman-teman di kafetaria atau keluarga di rumah, mendiskusikan persoalan sehari-hari dan santai. Itulah yang terjadi pada jiwa yang sehat, dan hal itu memang penting secara psikologis ," ungkap Chrysohoou.
(yud/A038/ART)

COPYRIGHT © 2010

http://www.antaranews.com/berita/1283347273/secangkir-kopi-sehari-=-panjang-umur

Daya Tempur Surat SBY




Oleh Novri Susan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengirim surat resmi kepada Perdana Menteri Malaysia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan merangkum isi surat itu: sengketa dua negara harus diselesaikan dengan baik dan ”kedua pemimpin berusaha menyejukkan suasana” (Kompas, 28/8).

Ada harapan yang membuncah di hati warga ketika Presiden menyatakan akan mengirim surat resmi kepada Malaysia: pemerintah tegas dan dihormati oleh Malaysia. Namun, harapan itu menipis, bahkan muncul keraguan pada daya tempur surat yang ditulis setelah Menteri Luar Negeri Malaysia mengeluarkan protes keras tentang demonstrasi anti-Malaysia dan mengumumkan rencana saran kepada warganya untuk tak mengunjungi Indonesia.

Surat Presiden seperti memohon kepada Malaysia agar mau berdialog damai dengan Indonesia. Pahit rasanya karena gaya konflik pemerintah tetap cenderung membahayakan kepentingan nasional.

Beban efek ekstrem?

Ada kondisi obyektif yang mungkin sedang menggelayuti pemerintah saat ini yang membuatnya tak bisa tegap dan tegas pada pelecehan kedaulatan bangsa oleh Malaysia. Berdasarkan data Bank Dunia, ada sekitar dua juta TKI legal yang bekerja di negeri serumpun itu. Jumlah ini sangat besar. Itulah barangkali yang mendasari pemerintah khawatir bakal ada efek ekstrem jika Indonesia bersikap tegas. Hubungan bilateral memburuk dan bisa saja terjadi deportasi TKI. Artinya, akan ada tambahan dua juta orang di negeri ini yang tidak memiliki pekerjaan.

Negara merasa belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk mereka bila kembali di Tanah Air sebab 23 juta penganggur yang saat ini tinggal di dalam negeri saja belum bisa ditangani. Keadaan ini harus disepakati sebagai beban tersendiri bagi pemerintah. Pada saat bersamaan ada efek ekstrem lain yang mungkin ditakuti pemerintah. Para TKI Malaysia termasuk penyumbang devisa negara yang cukup besar. Pada tahun 2009 saja pengiriman uang TKI dari Malaysia ke Indonesia sekitar Rp 50 triliun. Pemerintah tentu takut kehilangan devisa ini.

Kondisi obyektif bahwa ada dua juta TKI di Malaysia memang benar. Namun, kemungkinan efek ekstrem mengenai deportasi TKI pulang ke Indonesia juga berlebihan. Malaysia saat ini jelas banyak bergantung pada TKI yang bekerja di berbagai sektor industri dan domestik rumah tangga.

Bisa dilihat bahwa pengaruh TKI terhadap dinamika konstruktif perekonomian Malaysia terlampau besar. Selain tenaga kerja murah yang memberi keuntungan dalam peningkatan akumulasi kapital industri di Malaysia, para TKI merupakan tumpuan kelancaran proses berproduksi. Bayangkan saja kerugian mereka bila dua juta TKI tiba-tiba berhenti dari peran mereka mendukung aktivitas industri Malaysia. Sangat mungkin: sehari saja dukungan tersebut dicabut, maka perekonomian Malaysia akan terguncang. Apalagi jika hal itu ditambah dengan pencabutan semua izin usaha perkebunan sawit Malaysia yang mencapai 2,1 juta hektar di Indonesia.

Efek ekstrem dengan pengertian yang negatif ini jelas tidak hanya akan mengimbas Indonesia, tetapi juga berdampak pada Malaysia. Seharusnya keberadaan para TKI di negeri serumpun itu dan ketergantungan ekonomi Malaysia pada berbagai investasi di Indonesia dijadikan sebagai amunisi diplomasi yang menggetarkan. Sayang, paham pemerintahan SBY ini terbalik dan terlalu merendahkan kekuatan sendiri.

Gaya konflik

Studi konflik mengenal istilah gaya konflik suka bertengkar yang berarti tegas dan berprinsip pada kepentingan internal. Gaya konflik suka bertengkar ini sangat dibutuhkan, apalagi bila pihak lawan gemar menggunakan gaya konflik yang serupa untuk mempertahankan eksistensi internal kelompok atau negara dengan kepentingan. Secara idealis ini bisa menciptakan ayunan posisi politik ke tengah ketika pihak lawan bersedia melakukan negosiasi yang menguntungkan (Zartman, 2009).

Rezim negeri jiran tampaknya lebih menyadari konsep gaya konflik itu daripada Pemerintah Indonesia. Untuk itulah mereka selalu berani bertengkar ria dengan menangkap staf Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang bertugas di wilayah kedaulatan sendiri dan lantang memprotes demonstrasi anti-Malaysia tanpa meminta maaf atas kesalahan mereka. Sebenarnya bisa diprediksi kemauan Malaysia dengan gaya suka bertengkarnya seperti itu: mengayun Indonesia ke proses negosiasi yang menguntungkan mereka dalam sengketa perbatasan.

Pemerintah perlu menepis ketakutan berlebihannya jika menyadari kekuatan yang ia miliki. Ini tentu bukan semata dikarenakan prinsip diplomasi seribu teman tak ada lawan. Namun, lebih disebabkan kegelisahan terhadap efek ekstrem jika hubungan bilateral kedua negara memburuk. Akibat kegelisahan itu, gaya konflik Pemerintah Indonesia saat ini menjadi kerdil dan kompromistis, yang ditandai oleh pragmatisme dalam menghadapi situasi konflik.

Tukar guling pencuri dari Malaysia dengan petugas KKP dan sikap takut tegas pada tingkah buruk Malaysia adalah buktinya. Kegelisahan tersebut jelas salah dan harus segera diperbaiki. Pemerintah tidak perlu ragu menggunakan gaya konflik suka bertengkar karena Indonesia mampu memberi efek ekstrem kepada Malaysia. Publik masih mengharap surat SBY kepada Perdana Menteri Malaysia memiliki daya tempur yang melindungi kepentingan nasional. Toh Indonesia tidak sedang mengajak berperang fisik.

Novri Susan Pengajar di Departemen Sosiologi FISIP Unair, Surabaya

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/03/03312072/daya.tempur.surat.sby

Sekali Lagi, Soal Seksualitas

KEHIDUPAN



Sekelompok pengamen berdandan menor muncul dari kegelapan di perempatan jalan di Kemang, Jakarta Selatan, sekitar pukul 22.00, pekan lalu. Mereka menyebar ke arah mobil yang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah hijau, lalu menyanyi dengan alat musik seadanya, dan menari dengan gaya ekspresif.

”Begitulah cara kami menyambung hidup,” ujar Oni (21). Ia baru bangun tidur ketika dijumpai sekitar pukul 09.30, di rumah kosnya di Jakarta Pusat. Rias wajahnya masih melekat dan dia terlihat masih sangat mengantuk. Dengan celana pendek, kaus oblong, dan rambut tergerai sebahu, Oni terlihat sebagai laki-laki bersuara lembut meski ketika berbicara dengan temannya suara baritonnya sesekali muncul.

”Baru pulang jam empat pagi. Tadi malam dapat dua tamu, setelah beberapa hari tidak ada tamu,” ujar Oni. ”Biasanya kami keluar jam 12 atau jam satu siang, sampai malam. Lalu pulang, mandi, dan ke jalan lagi sampai subuh,” sambung Hanna (21).

Oni, Hanna, Donna, adalah nama yang mengubur nama asli mereka sebagai laki-laki. ”Saya pergi dari rumah karena orangtua malu punya anak seperti saya,” tutur Devi, sebut saja begitu, yang mengenyam pendidikan khusus agama setingkat SMP.

Diskriminasi berganda mulai dari rumah, lingkungan terdekat, masyarakat luas, sampai negara membuat mereka tinggal berkelompok di tempat yang mau menerima mereka. Sebagian pernah bekerja di salon, ada yang menjadi penjaga toko, tetapi sebagian lainnya hanya mengenal jalanan sebagai tempat kerja sekaligus mengekspresikan diri.

”Susah mendapat pekerjaan berkesinambungan dan aman karena penolakan terhadap kami,” ujar Lulu (27) dari Srikandi Sejati, organisasi nonpemerintah oleh dan untuk kelompok transjender, yang secara luas dikenal sebagai waria (wanita-pria)

Tak diakui

Masyarakat yang didominasi norma hitam-putih heteronormativitas yang hanya mengakui laki-laki dan perempuan secara biologis sulit mengakui kenyataan ”abu-abu” dalam seksualitas dan orientasi seksual. Situasi ini membuat mereka yang ada di wilayah itu dianggap liyan. Hak-haknya diingkari.

”Yang sulit mengakui ini adalah institusi agama,” ujar Nadia Ilmira (30) dari Jawa Tengah, yang mendapat pengesahan secara hukum sebagai perempuan setelah operasi pergantian kelamin (M to F trans-sexual) di Surabaya. ”Padahal, secara medis masalah itu bisa dijelaskan dan oleh hukum pun diakomodasi.”

Penolakan terhadap mereka, menurut Dr Risa Permanadeli, ilmuwan yang bergelut dengan teori representasi sosial, merupakan lahan subur bagi hipokrasi. ”Klien mereka laki-laki, sebagian malah laki-laki beristri,” ujar dia.

Ketika melakukan FGD dengan kelompok transjender terkait proses perancangan KUHAP tentang semua proses hukum di Semarang, menurut Soka Handinah Katjasungkana dari LBH APIK Semarang, terungkap mereka juga mengalami pelanggaran dalam banyak hal, termasuk pelecehan seksual dalam proses penangkapan dan penahanan.

Banyak kisah tragis menimpa mereka. Seperti dituturkan Handinah, kliennya, perempuan dengan orientasi seksual laki-laki (F to M transgender) dihukum lima tahun penjara dari 15 tahun tuntutan jaksa dengan tuduhan melakukan hubungan seks dengan anak perempuan remaja. Dalam proses pengadilan, kliennya mengalami pelecehan terkait kondisi keperempuanannya.

”Kami seperti terperangkap di tubuh yang salah,” ujar Nadia yang memutuskan operasi pergantian kelamin setelah psikolog dan psikiater menyatakan dirinya memenuhi berbagai persyaratan operasi.

”Ada beberapa tahapan konseling dan tes sebelum operasi. Dokter tidak begitu saja mau mengoperasi kalau belum ada hasil tes,” ujar Nadia, yang kini kuliah lagi di fakultas hukum sebuah universitas swasta di Semarang.

Menurut Nadia, transjender dan trans-seksual berbeda. ”Kondisi psikologis trans-seksual lebih kompleks karena mereka tidak merasa nyaman dengan alat kelaminnya. Tidak semua transjender adalah trans-seksual. Dokter tak mau begitu saja melakukan operasi meski dibayar mahal kalau hasil tes psikologi tidak memenuhi syarat.”

Dukungan keluarga

Yang terpenting, menurut Nadia, dukungan keluarga. ”Saya selalu sedih saat mendengar kisah teman-teman yang terpaksa berada di jalanan. Sebagai warga negara seharusnya hak-hak kami juga dijamin,” ujar Nadia yang bertahun-tahun terlibat kegiatan pemberdayaan perempuan di pedesaan.

Transjender dan trans-seksual memiliki sejarah panjang. Pun operasi pergantian kelamin, baik laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Raja Henry III dari Perancis (1570-an) sering mengenakan gaun dan disapa sebagai paduka ratu. Ratu Christina dari Swedia (1654) sering mengenakan pakaian laki-laki dan menyebut dirinya Pangeran Dohna. Chavalier D’Eon adalah Charles D’Eon saat dilahirkan. Dia duta besar dan mata-mata Perancis terkemuka.

Pada tahun 1945, dua dokter bedah plastik terkemuka Inggris, Sir Harold Gillies dan Ralph Millard, melakukan operasi kelamin pertama dari perempuan menjadi laki-laki terhadap aristokrat muda, Michael Dillon. Sembilan tahun kemudian ia melakukan operasi trans-seksual laki-laki menjadi perempuan pertama terhadap Roberta Cowell.

”Seksualitas manusia tak bisa didikotomikan hitam-putih. Tuhan menciptakan keberagaman, juga secara seksual,” ujar Muhajir Darwin dari Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dalam dialog internasional untuk menjembatani jurang antara riset soal seksualitas dan advokasi tentang hak-hak seksual di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. ”Diskriminasi atas dasar orientasi seksual adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.” (Maria Hartiningsih)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/03/03172938/sekali.lagi.soal.seksualitas

Yang Indah Baru Janji

KEBIJAKAN ENERGI


Oleh DOTY DAMAYANTI dan EVY RACHMAWATI

Hidup Syamsiah dan Hasbiah, ibu-ibu warga Kampung Atas Air, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, lebih inovatif sejak mereka beralih bahan bakar dari minyak tanah ke elpiji kemasan tiga kilogram. Ada saja masalah yang membuat mereka harus cepat tanggap dan kreatif.

yamsiah mencontohkan ia berinisiatif menyimpan karet pengaman katup tabung yang bagus. Alasannya sederhana, tidak semua karet cocok dengan kepala regulator selang yang ia punya. ”Kalau karetnya tidak bagus, sering ada suara mendesis tanda ada gas keluar,” ujar dia.

Setiap memasak, pintu dapur ia buka lebar-lebar untuk mengantisipasi jika ada kebocoran. Tabung elpiji tidak langsung diletakkan di lantai kayu, tetapi dialasi kain pel. ”Air payau di sini gampang membuat tabung berkarat,” kata Syamsiah.

Lain lagi dengan Hasbiah. Tiap kali membeli elpiji, dia meminta penjual menimbang tabung untuk memastikan isinya sesuai. Dalam enam bulan terakhir ia sudah tiga kali mengganti regulator tabung karena rusak. ”Saya sampai beli yang harganya Rp 100.000, eh, rusak juga,” kata Hasbiah.

Masyarakat tidak punya pilihan selain belajar berimprovisasi mengatasi masalah yang muncul dalam penggunaan elpiji karena alternatif bahan bakar lain sulit diperoleh atau lebih mahal. Kondisi ini terjadi sejak program konversi energi digulirkan tahun 2006.

Dalam Kebijakan Energi Nasional yang dikeluarkan tahun 2006, program konversi energi secara garis besar mencakup pengurangan pemakaian bahan bakar minyak, memperbanyak penggunaan energi fosil yang lebih efisien, mendorong penggunaan energi terbarukan. Sesuai rencana konversi minyak tanah ke elpiji, minyak tanah ditargetkan hanya digunakan untuk keperluan penerangan dan atau untuk daerah terpencil.

Sayangnya, program konversi minyak tanah ke elpiji tidak didasari perencanaan dan persiapan matang. Program itu muncul lebih disebabkan tekanan situasi akibat harga minyak yang tinggi tahun 2005-2006. Pemerintah kemudian lebih mengedepankan aspek penyelamatan anggaran daripada diversifikasi dan konservasi energi.

Dari perhitungan di atas kertas, penggunaan elpiji menggantikan minyak tanah bisa menghemat anggaran subsidi cukup signifikan. Ketika program konversi mulai berjalan penuh tahun 2007, pemerintah masih mengeluarkan subsidi minyak tanah Rp 37 triliun. Jika berhasil mengganti 90 persen minyak tanah ke elpiji, pemerintah hanya perlu mengeluarkan subsidi elpiji Rp 20 triliun per tahun.

Penghematan ini semula ditargetkan bisa dicapai pada 2010, tetapi karena banyak masalah yang muncul, diperkirakan program konversi baru akan selesai tahun 2011. Data PT Pertamina menyebutkan, sampai akhir Agustus 2010 penghematan subsidi dari program konversi baru mencapai Rp 9 triliun dari target Rp 13 triliun.

Luput

Fakta program yang menyasar 52-55 juta konsumen rumah tangga ataupun usaha kecil hanya dalam waktu tiga tahun itu akan menjadi program yang sedemikian masif, luput dari antisipasi pemerintah.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Huzna Zahir menilai, implementasi program konversi mengabaikan aspek keselamatan, adaptasi masyarakat, keadilan, dan kemandirian energi. Menurut Husna, dalam penyediaan energi, apalagi untuk rumah tangga, pemerintah harus melihat aspek efisiensi, keterjangkauan, dan sebisa mungkin menyediakan sendiri tanpa mengimpor.

”Ini yang menurut saya menjadi kunci karena kita berbicara tentang kontinuitas ketersediaan. Di sisi lain, persoalan pilihan mungkin perlu dipertimbangkan juga. Apakah memang kita benar-benar hanya menetapkan satu bahan bakar, yakni elpiji? Sudah tepatkah? Elpiji mungkin akan jadi pilihan yang mampu secara ekonomi dan sosial. Untuk masyarakat umum yang merupakan tanggung jawab negara untuk menyubsidi mereka, harus dipilih produk-produk paling efisien,” papar Husna.

Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto, sepakat dalam program konversi elpiji negara tidak memberikan alternatif bahan bakar bagi rakyat. Atas nama penghematan anggaran subsidi, rakyat dipaksa beralih menggunakan sumber energi yang belum tentu sesuai dengan kondisi ekonomi, taraf pendidikan, dan cara hidup rakyat saat ini.

Sayangnya, kebijakan ini, oleh sebagian besar kita, dianggap solusi ampuh. Padahal, lanjut Pri Agung, sisi positif penghematan anggaran dari kebijakan konversi elpiji hanya jangka pendek, yaitu ketika volume pemakaian elpiji masih rendah.

Penerapan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji yang tidak dilakukan secara tertutup dari awal, jelas siapa saja akan menggunakan elpiji subsidi. Konsekuensinya, volume pemakaian akan meningkat dengan cepat.

Hal tersebut tidak saja akan menghilangkan dengan cepat sisi positif penghematan anggaran, tetapi juga akan segera berdampak pada jaminan ketersediaan. Sejak konversi digulirkan tiga tahun lalu, konsumsi elpiji meningkat hampir tiga kali lipat. Kenaikan konsumsi itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi elpiji dalam negeri. ”Sekitar 50 persen pasokan elpiji kita sekarang dari impor. Jika tidak diatasi, kita akan mengulangi kesalahan subsidi BBM,” kata Pri Agung.

Tidak serius

Penyediaan infrastruktur bahan bakar menjadi masalah krusial yang tidak ditangani serius pemerintah. Hal ini menjadi ironi bagi pemerintahan yang memiliki program utama pembangunan ketahanan energi dan pangan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Pri Agung mengemukakan, infrastruktur energi seyogianya jadi tanggung jawab pemerintah, bukan pasar. Artinya, jika mekanisme pasar tidak bekerja, pemerintah harus turun tangan. Kalaupun tidak langsung membangun sendiri, pemerintah dapat memakai mekanisme penjaminan. ”Sekarang ini, membangun sendiri pun tidak, memberikan penjaminan pun enggan. Bagaimana infrastruktur bisa ada,” kata Pri Agung.

Meskipun implementasi di lapangan babak belur, pemerintah mengaku memiliki rencana lengkap agar diversifikasi dan konservasi energi berjalan, termasuk dimensi penyediaan energi ke depan akan berpijak pada penggunaan sumber energi paling dekat. Caranya, mengoptimalkan potensi lokal dan lepas dari ketergantungan pada BBM.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh mengatakan, ada dua idiom ke depan yang kalau dilakukan serius akan membawa Indonesia menuju sesuatu yang indah: diversifikasi dan konservasi.

Namun, dalam menuju yang indah itu pemerintah tidak dalam kondisi ideal membuat keputusan. Sejumlah kondisi tidak ideal itu, antara lain, jebakan subsidi bahan bakar minyak yang sulit dilepaskan dan keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur energi.

Ia membantah penilaian bahwa program konversi dilakukan tanpa perencanaan matang. Pemerintah, katanya, sebenarnya sudah melaksanakan kesiapan dan membuat sistem karena menyangkut subsidi dalam jumlah besar. Jadi, sebenarnya ketergesa-gesaan itu sudah disertai persiapan baik. ”Kalau dilihat, angka kecelakaan dibandingkan jumlah penerima konversi sebenarnya jauh sangat kecil. Tetapi, memang urgensi mengatasi subsidi saat program itu dibuat kuat sekali. Waktu itu harga minyak di atas 100 dollar AS per barrel. Kalau subsidi BBM sampai menembus Rp 100 triliun, sulit dibayangkan,” papar Darwin.

Yang indah itu belum juga kelihatan, sementara masyarakat masih harus berkutat dengan ledakan gas dan rencana kenaikan harga elpiji. Penyelamatan anggaran dapat menjadi pembenaran hilangnya nyawa rakyat, bahkan satu jiwa sekali pun.

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/03/03085644/yang.indah.baru.janji

Kisah Anak Yatim


Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

Demi rasa kemanusiaan, seyogianya ada keterlibatan oleh semuanya untuk mengatasi kemiskinan dan memberikan tunjangan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang umumnya hidup telantar."

BERBUKA puasa dengan ratusan anak yatim, bahkan tahun ini dengan ribuan, sudah menjadi ritual selama Ramadan bagi kelompok Media Group.

Kami mensyukuri. Wajar bahwa rasa kepedulian dipertegas sepanjang bulan suci yang penuh kasih. Duduk bersila di antara lautan anak-anak yang malang itu dapat menumbuhkan sejuta rasa iba. Memandang wajah praremaja dan remaja yang inosen, terbayang betapa hampa perasaan mereka ketika merindukan belaian dan pelukan orang tua; apakah ibu, ayah, atau keduanya, lebih-lebih pada hari Lebaran. Dirundung kesepian dan keterpencilan, mereka tanpa sadar dan dengan cemas mengharapkan datangnya surprise, atau tibanya hari-hari yang tidak terlalu kelam. Tentang anak yatim, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Apabila engkau ingin hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu tercukupi, maka sayangilah anak yatim. Belailah kepalanya, dan berilah dia makan, maka hatimu pasti menjadi lembut dan engkau memperoleh kebutuhanmu.” Dalam hal nasib dan keberuntungan, tidak semua terlahir sama. Ada yang lebih berbakat, lebih kaya dan mudahmudahan lebih bijaksana. Takdir menentukan ada yang terlahir sebagai anak raja, ada yang sebagai anak duafa.

Lingkungan memengaruhi. Berulang kali disampaikan lewat media, demi rasa kemanusiaan, seyogianya ada keterlibatan oleh semuanya untuk mengatasi kemiskinan dan memberikan tunjangan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang umum

Bukan tanpa harapan Alam semesta menghadirkan tanaman-tanaman yang tak terhitung jenisnya. Masing-masing dengan sifat, fungsi, dan penampilan yang berbeda.

Tetapi hampir semua ditakdirkan membantu kelangsungan hidup manusia. Ada padi, ada pohon jati. Ada hamparan tumbuhan bunga mawar berduri, ada bentangan tanaman rumput tempat manusia menginjakkan kaki. Dengan fungsi yang beragam, mereka menjalani takdir tanpa daya penolakan. Bila tak mampu bertahan, mereka mati. Hanya dua itu pilihannya. Namun lain tanaman, lain manusia. Bagi manusia, harapan selalu ada.

Kenyataannya, manusia mendapat berkah. Mereka memiliki kemampuan menjalankan kegiatan dan berusaha.

Yang paling ajaib, mereka diberkahi akal yang dapat dikembangkan sepuasnya selama ada niat. Ini patut disyukuri segenap umat, termasuk mereka yang dianggap atau menganggap diri kurang beruntung, baik yang yatim atau yang yatim piatu. Mereka bukan tanpa harapan, tetapi mereka memang membutuhkan bantuan.

Inspirasi semacam itulah yang dicoba ditanamkan dalam acara buka puasa bersama keluarga besar Media Group 26 Agustus lalu, bertemakan Berbagi berkah karunia Ramadan 1413 H”.

Bapak Djafar Assegaf memberi sambutan mewakili CEO Media Group. Dia menyampaikan kisah sukses seorang anak yatim, tanpa menyebut namanya, yang nantinya berhasil menjadi jurnalis

andal dan salah satu tokoh bisnis pers terkemuka Indonesia. Tokoh itu (alm) mendapat penghargaan menjadi wa kil resmi negara sebagai duta besar tiga kali, di tiga negara sahabat.

Sore itu, juga diperkenalkan contoh konkret anak yatim yang sukses, yakni penyanyi cilik praremaja, Kiki (13 tahun), yang dengan wajah ceria dan

gerakan-gerakan lincah menyampaikan sejumlah lagu dan tarian rock `n roll.
Ibunya yang hadir dalam acara itu muncul sebentar di panggung dan menceritakan bagaimana Kiki setelah ayahnya berpulang kemudian dengan serius menekuni profesi itu. Kiki mengawalinya beberapa tahun lalu dengan belajar menari dari video. Dialah yang sekarang mendukung penghidupan keluarga. Kisah singkat itu diakhiri dengan ibu dan anak berpelukan sejenak. Jalan hidup yang mengharukan sekaligus membanggakan.

Tontonan hiburan menjelang buka puasa sore itu, selain dimeriahkan Kiki, juga diisi lagu-lagu syahdu oleh idola cilik Zahra dan Tari Saman dari SMUN 70 Jakarta. Salah satu bocah yatim perempuan yang menonton dengan terpesona ditanya, apa cita-citanya? Kami mengira dia akan menjawab ingin menjadi bintang hiburan atau semacamnya. Tetapi secara tidak terduga, dia menjawab spontan, “Ingin jadi dokter.”

kan bantuan kepada para korban tsunami di Aceh.

Sementara itu, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), bekerja sama de ngan Metro TV, Selasa yang lalu meng adakan kegiatan buka puasa bersama d engan 10.700 anak yatim dan kaum duafa di 10 kota di Indonesia. Baznas dibentuk berdasarkan Keppres No 8 Tahun 2001.

Visinya: menjadi Badan Zakat Nasional yang amanah, transparan, dan profesional. Misinya, antara lain, meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat melalui amil zakat; dan memaksimalkan peran zakat dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia.

Catatan tambahan: Menurut data versi Komnas Anak, hingga situasi tahun 2009: 2,5 juta dari total 26,3 juta anak Indonesia usia 7-15 tahun belum mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun. Sebanyak 1,3 juta dari 18,3 juta anak di bawah 13 tahun belum mendapat pendidikan karena kesulitan akses, kurangnya kesadaran orang tua, dan kemiskinan. Jumlah anak telantar sudah mencapai 2,4 juta, 1,1 juta balita telantar dan 10 juta rawan telantar.

Ahmad Fiqih dari organisasi Rumah Yatim Indonesia menyatakan, sampai Mei lalu, 215 ribu anak yatim belum diberdayakan. Menurut organisasi kemanusiaan Save the Children, bekerja sama dengan UNICEF, 94% dari 500 ribu anak di rumah-rumah yatim piatu dititipkan oleh orang tua mereka karena alasan kemiskinan. Hanya 6% yang benar-benar yatim piatu.

Satu minggu lagi Lebaran tiba. Kami ucapkan ‘Maaf Lahir Batin’. Semoga Tuhan merestui amal jariah kita.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/09/03/ArticleHtmls/03_09_2010_026_022.shtml?Mode=0

Tegarlah Indonesiaku!




Oleh Hikmahanto Juwana

Presiden telah menyampaikan keterangannya terkait dengan ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia pada 1 September lalu.

Berbagai reaksi bermunculan. Ada yang mendukung, banyak pula yang kecewa, bahkan marah. Namun, ada pula yang bergeming karena tahu pidato Presiden, sebagaimana yang sudah-sudah, akan datar dan tidak sensitif terhadap dinamika yang berkembang di publik.

Fakta dapat diinterpretasi paling tidak dalam dua perspektif berbeda. Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Belanda, misalnya, bisa dianggap tindakan heroik, tetapi pada saat bersamaan tindakan pemberontakan. Menerjemahkan fakta tergantung di mana seseorang berdiri. Jika mencermati isi pidato Presiden, keberpihakan tidak ada kepada publik Indonesia. Ada sejumlah hal yang mengindikasikan hal ini.

Presiden membuka pidato dengan mengungkap hal-hal yang justru berpihak kepada Malaysia. Mulai dari dua juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia, investasi Malaysia di Indonesia hingga jumlah pelajar Indonesia yang besar di Malaysia.

Padahal, jika ingin berpihak kepada publik Indonesia, Presiden dapat membuka pidato dengan menggambarkan bagaimana Malaysia bergantung kepada TKI, bagaimana Malaysia mempunyai kepentingan di Indonesia dalam bidang investasi dan betapa Malaysia diuntungkan dengan banyaknya pelajar Indonesia di Malaysia.

Selanjutnya, keberpihakan tidak berada pada bangsa Indonesia yang merasa terkoyak rasa kebangsaannya ketika Presiden pada akhir pidato justru mengedepankan sikap santun yang harus dipertahankan.

Keberadaan Indonesia di ASEAN yang dikenal sebagai juru damai seolah menjadikan alasan agar kita bisa mengedepankan upaya diplomasi. Padahal, tegas dan lugas terhadap negara sahabat tidak berati perang. Amerika Serikat tidak merasa perlu bersikap lunak terhadap Irak ataupun Iran meski ia berperan sebagai juru damai bagi Palestina dan Israel.

Pengedepanan kesantunan justru akan memberi kesan ramah dan bodoh tak ada bedanya. Terpenting, memahami konteks sehingga kita bisa santun dan bisa tegas. Bahkan, santun tak harus mengesampingkan ketegasan dan kelugasan dalam menjalankan hubungan persahabatan.

Pepesan kosong

Bagian lain pidato Presiden mengungkap kronologi peristiwa dan praktik yang ada. Sayangnya, kronologi tersebut melemahkan ketegasan dan kelugasan yang ingin didengar publik Indonesia, bahkan cenderung merupakan pepesan kosong. Presiden mengungkap dalam penyampaian kronologi yang terpenting adalah pengembalian petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Padahal, publik menghendaki tiga hal, yaitu pengembalian, penjelasan atas perlakuan terhadap petugas KKP, dan permohonan maaf dari Pemerintah Malaysia. Memang kalau target hanyalah pengembalian petugas KKP, sukses telah dituai.

Presiden juga tak menunjukkan ketegasan dalam proses investigasi oleh pihak Malaysia terhadap petugasnya dan sikap mereka yang memperlakukan petugas KKP sebagai pelaku kejahatan. Presiden hanya menyerahkan dan memercayakan investigasi kepada otoritas Malaysia. Padahal, banyak perkara menyangkut korban warga Indonesia yang menguap, kalaupun ada penghukuman, penghukuman dari pihak Malaysia sangat ringan.

Presiden seharusnya bisa meminta kepada Pemerintah Malaysia agar investigasi mengikutsertakan otoritas dari Indonesia. Ini pernah terjadi di Indonesia pada saat investigasi atas terbunuhnya warga AS di Papua. Pemerintah AS meminta personel dari Biro Investigasi Federal AS (FBI) turut dalam investigasi yang dilakukan Polri.

Isu lain yang tidak berpihak kepada publik Indonesia adalah keinginan Presiden mempercepat perundingan perbatasan dan kesepakatan dengan Malaysia.

Tidak berpihak karena jika membicarakan perbatasan bisa jadi Malaysia tak ingin terburu-buru. Malaysia tak akan mundur sejengkal pun dari klaim berdasarkan Peta 1979. Ini karena pemerintahnya merasa memiliki akuntabilitas terhadap konstituennya. Mereka akan berhati-hati jika berbicara masalah klaim kedaulatan karena mereka harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, bukan kepada pemerintah negara lain.

Kedua, jika Malaysia menyepakati batas laut dengan Indonesia yang berimplikasi pada klaimnya berdasarkan Peta 1979, tetangga Malaysia, seperti Filipina dan Thailand, akan menuntut hal yang sama.

Karena itu, Malaysia sudah dapat dipastikan tak akan mundur dari klaim Peta 1979. Permintaan Presiden mempercepat proses kesepakatan batas wilayah laut dengan Malaysia justru menguntungkan Malaysia. Malaysia akan setuju mempercepat jika Indonesia mengakui klaim sepihak mereka atas dasar Peta 1979.

Seharusnya Presiden tahu, penyelesaian perbatasan tidak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Prinsip yang harus dipegang, lebih baik sabar daripada kehilangan kedaulatan. Mempercepat perundingan bukan solusi bagi penyelesaian atas insiden yang terjadi pada 13 Agustus lalu.

Di samping itu, keterangan Presiden terkait pelepasan tujuh nelayan Malaysia juga mengesakan terjadinya barter. Para nelayan Malaysia seolah memang melanggar hukum di wilayah kedaulatan Indonesia. Namun, karena ada praktik atau kebiasaan untuk melepas pencuri ikan di kalangan negara-negara ASEAN, mereka dilepaskan.

Padahal, dalam dengar pendapat KKP dan Kementerian Luar Negeri di Komisi I DPR terungkap bahwa pemerintah tidak dapat secara pasti menentukan koordinat penangkapan terhadap pencuri ikan; apakah benar-benar di wilayah kedaulatan Indonesia. Keraguan ini didasarkan pada para petugas KKP yang tak berkoordinasi dengan petugas lain dan global positioning system (GPS) yang tak berfungsi.

Rasional

Pidato telah disampaikan. Reaksi publik pasti beragam. Saatnya sekarang pemerintah berhadapan dan berupaya mengendalikan sebagian publik yang marah dan kecewa. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, saya hanya bisa mengajak publik yang kecewa untuk berpikir rasional.

Kita boleh marah kepada Malaysia, tetapi sebenarnya kita lebih marah kepada para pemegang kekuasaan. Kita hanya bisa meminta pertanggungjawaban mereka melalui koridor hukum dan politik yang ada. Mari kita hindari untuk bertindak anarki. Tegarlah Indonesiaku!

Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/03/03350118/tegarlah.indonesiaku

Tawaduk Harus, Takabur Boleh

Moh. Mahfud M.D.:
Ada anak bertanya pada bapaknya

Buat apa berlapar-lapar puasa, ...

Lapar mengajarmu rendah hati selalu

ITULAH potongan syair lagu karya Trio Bimbo yang berjudul Anak Bertanya pada Bapaknya. Lagu itu begitu populer sejak 1970-an karena selalu dikumandangkan secara meluas, terutama pada hari-hari keagamaaan bagi umat Islam di Indonesia. Seperti halnya lagu Tuhan, lagu Anak Bertanya pada Bapaknya setiap hari-hari besar Islam dinyanyikan, tidak hanya oleh Trio Bimbo, tetapi juga oleh penyanyi-penyanyi lain yang membawakan dengan begitu syahdu dan menyentuh kalbu, dengan berbagai aransemen musik. Lebih-lebih pada bulan puasa seperti sekarang ini.

Sengaja saya ambil potongan syair yang mengatakan bahwa beribadah puasa itu berguna untuk mengajarkan kita selalu rendah hati. Tentu, karena tulisan ini dibuat untuk rubrik khusus di bulan puasa.

Istilah rendah hati adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Arab, yakni tawadhu' yang dilawankan dengan kata takabbur yang berarti tinggi hati (sombong). Islam mengajarkan agar kita selalu tawaduk dan menjauhkan diri dari sikap takabur. Syair lagu Trio Bimbo tersebut secara harafiah bukanlah bunyi ayat Alquran atau hadits Nabi. Tetapi, ia merupakan salah satu ajaran penting yang dapat di-istinbath (digali) dari Quran maupun hadits Nabi. Yakni, ajaran agar selalu berusaha tawaduk dan menjauhi takabur dalam hidup ini.

Kesadaran untuk hidup dengan tawaduk ini penting karena banyak di antara kita yang lupa diri dan menjadi sombong atau takabur karena sedikit kelebihan yang kita miliki. Menurut Bimbo, berpuasa merupakan metode untuk belajar hidup dengan tawaduk. Dengan berpuasa, kita bisa belajar berempati atau ikut merasakan penderitaan orang-orang yang sering lapar karena fakir dan miskin. Maka, menjadi tidak tepat apabila di siang hari kita berpuasa, tetapi setelah magrib dan saat bersahur kita bermewah-mewah dengan biaya menu makan yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan saat tidak berpuasa.

Dengan berpuasa, kita dapat belajar untuk tidak merasa paling pandai karena di atas orang yang pandai selalu ada orang lain yang lebih pandai. Maka, menjadi tidak tepat apabila ibadah puasa ini tidak membangkitkan kesadaran bahwa betapa tinggi pendidikan dan banyak gelar yang dimiliki oleh seseorang, sebenarnya ilmu yang dimilikinya sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan jagat raya ilmu yang diciptakan oleh Allah. Di dalam cerita-cerita silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo, sering diungkapkan bahwa ''di atas langit masih ada langit''. Kalau menurut Quran, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin kuat tingkat keimanannya, dan bukan semakin sombong.

Begitu juga, dengan berpuasa, kita dapat mempertajam nurani kita untuk tidak bersikap sewenang-wenang, menghina orang lain, dan sok paling berkuasa karena sebenarnya apa pun yang kita miliki dan setinggi apa pun jabatan kita di tengah-tengah masyarakat hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh penitipnya (Allah) tanpa bisa dihalangi dengan apa pun.

Tawaduk adalah salah satu prinsip dasar dalam ajaran Islam dalam bidang akhlak. Orang yang akhlaknya bagus pastilah akan selalu bersikap tawaduk dan tak akan pernah merendahkan orang lain, tak akan pernah merasa paling pandai dari orang-orang lain, dan tak akan pernah bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain karena kedudukan atau jabatannya. Bahkan, orang yang tawaduk akan lebih merendah jika ada orang yang merendahkan hati kepadanya. Saya pernah mau mencium tangan seorang kiai besar sebagai rasa hormat ala tradisi pesantren karena kealiman dan kharismanya. Tetapi, sang kiai besar itu justru lebih dulu memeluk saya karena tak mau tangannya saya cium.

Bagi orang Islam, bersikap tawaduk itu adalah keharusan. Sedangkan bersikap takabur adalah larangan. Tetapi, bolehkah kalau sekali-sekali kita bersikap takabur? Baik di dalam Alquran maupun di dalam hadits sahih tidak ada pembolehan takabur. Namun, ada pendapat yang masuk akal untuk mengatakan bahwa sebenarnya dalam keadaan tertentu takabur itu boleh dilakukan, yakni, dalam keadaan kita menghadapi orang takabur yang sulit disadarkan.

Terhadap orang yang selalu takabur itu kita dibolehkan sekali-sekali bersikap takabur sebatas bertujuan menghentikan ketakaburannya agar menjadi tawaduk. Terhadap orang yang selalu merasa paling pandai, kita boleh mengatakan bahwa kita lebih pandai. Terhadap orang yang selalu merasa paling hebat, kita dapat mengatakan bahwa kita lebih hebat. Terhadap orang yang selalu merasa paling kuat dan berkuasa, kita boleh mengatakan bahwa kita lebih kuat dan mempunyai kekuasaan yang tak kalah besar.

Di dalam kitab al-Ta'liem al-Mutaallim ada dalil yang bukan berasal dari Quran maupun hadits sahih, tetapi lebih merupakan kata-kata mutiara islami tentang kebolehan bersikap takabur karena keadaan atau alasan-alasan seperti itu. Dalil itu berbunyi, ''Barang siapa yang bersikap tawaduk terhadap orang yang tawaduk, maka orang itu mendapat pahala seperti bersedekah, dan barang siapa bersikap takabur terhadap orang yang selalu takabur, maka orang itu mendapat pahala seperti bersedekah,'' (man tawaadha'a mutawaadhi' fahuwa shadaqah, wa man takabbara mutakabbir fahuwa shadaqah). Dengan demikian, tawaduk itu ''wajib'', sedangkan takabur itu ''boleh'' asalkan dimaksudkan untuk menghentikan ketakaburan orang lain.

Di negeri ini sekarang banyak orang takabur karena merasa paling pandai sehingga merasa dirinyalah yang paling benar pendapatnya. Di negeri ini tidak sedikit juga orang takabur karena kedudukan dan kekuasaan jabatannya sehingga merasa boleh melakukan apa saja terhadap orang lain. Dengan niat menghentikan ketakaburan orang lain, sambil beristighfar, boleh saja sekali-sekali kita bersikap takabur terhadap orang-orang yang seperti itu.

Dalam hal demikian, kita boleh berkata, ''Saya lebih menguasasi ilmu ini daripada kamu,'' atau ''Saya juga mempunnyai kekuasaan untuk menghentikan kesewenang-wenanganmu.'' Sekali lagi, takabur seperti itu hanya boleh sekali-sekali dilakukan asalkan dimaksudkan untuk menghentikan ketakaburan orang lain.(*)

Moh. Mahfud M.D. , Ketua Mahkamah Konstitusi RI

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=153525

Rakyat yang Letih




Oleh Radhar Panca Dahana

Beberapa berita seperti ini tampaknya bukanlah berita besar. Ia hanya mengisi halaman tengah atau belakang di rubrik kriminalitas atau metropolitan.

Berita itu tak sekali saja. Tak di satu kota belaka. Tampaknya telah jadi gejala. Sebuah tragedi dalam satu rumah tangga yang begitu langka, tak dinyana, menyakitkan, bahkan hampir tanpa preseden. Anda pernah membaca dan mendengarnya: seorang bapak memerkosa anak perempuannya hingga hamil beberapa kali, seorang ibu membunuh kedua anaknya sebelum ia membunuh dirinya sendiri, dan terakhir seorang anak membunuh ibunya dengan tiga pukulan di belakang kepala dan sebuah tusukan dalam di perutnya.

Sebagian dari Anda pasti pernah mendengar atau membacanya. Namun, apa terjadi? Ia berlalu seperti berita pelanggaran hukum dan norma lainnya. Ia tak lebih dari peristiwa perampokan di jalan raya, pembunuhan terencana, korupsi di sebuah lembaga, atau bisa pula sepeda motor yang lancang masuk jalur busway. Kita sudah tak punya kepekaan dalam memahami peristiwa ketika kedegilan dan kekejaman manusia sudah seperti peristiwa sebiasa kita melihat kemacetan sehari-hari di Jakarta.

Namun, coba sekali lagi Anda resap dan renungkan: bagaimana seorang ayah membesarkan putri terkasihnya untuk ia zalimi, memerkosanya puluhan kali hingga hamil tak hanya satu kali. Coba Tuan bayangkan: seorang ibu yang dengan meregang nyawa melahirkan kedua anaknya, tapi satu malam ia menuangkan minyak ke tubuh dua anaknya yang tengah tertidur lalu membakarnya hingga jadi arang.

Imajinasi atau fantasi apa yang ada di dalam dunia abstrak kita ketika seorang anak yang selalu dituruti kehendaknya sekonyong memutuskan membunuh ibu yang mengasuh dan membesarkannya dengan cara telengas hanya karena ekonomi yang runyam membuat sang ibu sulit memenuhi lagi rengekan permintaannya? Hidup seperti apa yang dibela atau ditolak para pelaku di atas? Dunia atau negeri apa yang mereka diami dan alami?

Peristiwa-peristiwa itu terlalu dahsyat untuk tak dihiraukan, untuk tak menciptakan rasa pilu atau air mata di diri kita. Para pemimpin kita sibuk dengan angka-angka. Partai politik ramai dengan jatah di parlemen. Manusia-parlemen tenggelam dalam urusan komisi serta kompensasi. Di puncak pemimpin tertinggal diplomasi, retorika, dan pencitradirian belaka.

Masihkah ada air mata, arti hidup, dan kebudayaan dalam diri mereka? Sementara itu, di satu kota seorang anak menyiapkan belati dan seorang ibu mengintip anaknya mandi.

Para pemimpin itu

Seorang (pemimpin) yang masih memelihara hati, kepekaan, apresiasi terhadap hidup, serta sadar akan kebudayaan yang mendewasakannya akan melihat peristiwa semacam di atas tak lagi dapat dijelaskan oleh kenaikan indeks di bursa, penurunan kurs, tingkat inflasi, jumlah instansi baru, atau kecerewetan tentang ambang batas elektoral. Semua jadi runyam, bahkan tak bermakna sehebat apa pun pencapaiannya ketika hati yang terpelihara itu melihat atau mendengar berita tersebut. ”Apa yang terjadi pada (bangsa)ku?” Dan ia yang memandang hidup serta manusia itu suci, ia yang beriman, yang zuhud, tentu akan berkeringat seolah air mata mengalir di semua porinya.

Peristiwa di atas sudah melampaui keadaban yang paling degil dari sejarah manusia, bahkan binatang. Ia telah jadi simtom atau pertanda puncak luluh lantaknya adab dan budaya sebuah masyarakat atau bangsa. Untuk ukuran negeri ini, untuk negeri yang 5.000 tahun lebih menciptakan dan mengembangkan semacam peradaban dengan respek dari seluruh penjuru dunia, peristiwa di atas seperti sebuah karet penghapus yang meniadakan pencapaian luar biasa adat dan adab negeri itu sendiri.

Tragedi orangtua dan anak di atas tak ada dalam common sense yang paling awam atau paling rendah sekalipun dari masyarakat kepulauan ini, seterpencil atau sepurba apa pun keadaannya. Ia jadi tamparan terkeras pada (kebudayaan dan jati) dirinya sendiri ketika hidup yang harus ia alami sekarang ini, negeri yang ia diami saat ini, telah mengkhianati bahkan menzalimi (kebudayaan dan jati) dirinya itu.

Itu terjadi bukan hanya karena elite atau para pemimpin yang mereka gugu dan tiru tak lagi peduli kepada mereka. Kaum atas itu memperdaya, mengeksploitasi, bahkan dengan sengaja menjadikan rakyat korban kemajuan, pembangunan, dan kejayaan kaum elite bak kaum animis mengorbankan binatang atau perawan untuk keselamatan raja dan bangsawannya.

Sadar tak sadar, semua sistem kehidupan yang elite itu sendiri ciptakan telah jadi semacam bencana, bahkan kutukan bagi rakyat. Sistem yang ternyata memberi risiko dan dampak luar biasa bagi peri hidup dan peri budaya rakyat hingga ke sela-sela gigi, hingga ke kehidupan terintim setiap pribadi. Sistem yang tak terterap, tercerap, dan terserap melalui proses asimilasi atau akulturasi yang alamiah, tetapi lebih lewat semacam proses transplantasi organik yang efeknya menciptakan guncangan luar biasa dari organisme penerima. Seperti transplantasi hati atau ginjal, sang penerima bisa terenggut nyawa karenanya.

Transplantasi koersif

Transplantasi kultural yang sistemik ini tidak baru saja terjadi, tapi sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu (khusus di bagian tertentu) di negeri ini. Ia terjadi bukan atas permintaan, karena misalnya kebudayaan kita sedang sakit parah salah satu organnya, tapi melalui proses yang penuh paksaan, koersif, dan tanpa tawar-menawar. Kolonialisme peradaban kontinental atas adab maritim negeri ini, apalagi jika dihitung sejak kedatangan bangsa Arya di awal Masehi, bikin adat dan adab negeri kepulauan harus berjuang keras menyesuaikan diri hanya untuk sintas.

Berapa adat, bahasa, komunitas, atau suku bangsa telah mati karenanya? Kita tahu itu! Yang sangat menggiriskan adalah ketika justru setelah kemerdekaan, terlebih di masa pascareformasi, transplantasi itu semakin menjadi. Tak hanya seluruh organ, mungkin raut wajah, warna kulit, hingga cara senyum sudah tertransplan elemen luar (asing). Kita begitu sibuk dengan organ baru (asing) dalam berbagai sistem dan cara hidup dan melupakan manusia (serta adab yang menghidupi dan dihidupinya) yang justru jadi subyek, bagian tervital dari proses itu.

Maka, manusia, rakyat, atau bangsa yang ternafikan atau teralienasi itu kini telah mencapai puncak frustrasi atau ketidakberdayaannya. Ia marah dan letih teramat letih, tapi tak mampu melampiaskannya pada sistem yang begitu kuat, kepada para pemimpin yang begitu kuasa. Lalu secara psikotik ia menghamburkan kemarahannya pada diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, budaya, dan peradabannya sendiri. Tentu dengan air mata turun tiada habisnya.

Apakah engkau, wahai pemimpin, masih ada sedikit air mata untuk berbagi dengan mereka? Untuk mereka, air kehidupan yang memilukan ini telah kering. Tinggal api yang membakar. Membakar sekujur tubuhnya. Juga anak-anaknya.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/04/04272322/rakyat.yang.letih

Tuhan dalam Buku Stephen Hawking




London, Jumat - Tuhan tidak lagi mempunyai tempat dalam teori-teori penciptaan alam semesta karena serangkaian perkembangan dalam fisika, kata ilmuwan Inggris, Stephen Hawking, dalam sebuah buku baru.

Dalam buku The Grand Design yang ditulis bersama ahli fisika AS, Leonard Mlodinow, Hawking mengatakan, serangkaian teori baru membuat penciptaan jagat raya tidak memerlukan pencipta, menurut surat kabar The Times yang menerbitkan kutipan-kutipan dari buku itu hari Kamis.

Buku baru itu menantang teori Isaac Newton bahwa Tuhan pasti telah terlibat dalam penciptaan karena tata surya kita tidak bisa terbentuk dari kaos hanya melalui alam, tetapi diciptakan oleh Tuhan.

Menurut Hawking, dalam sikap terhadap agama yang berbeda dibandingkan dalam bukunya tahun 1988 A Brief History of Time, Big Bang hanyalah konsekuensi dari hukum gaya berat.

”Karena adanya hukum seperti gaya berat, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan bahwa ada sesuatu dan bukannya tidak ada, mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada,” tulis Hawking.

”Tidak perlu pertolongan Tuhan untuk membuat alam raya tercipta,” katanya.

Hawking (68), yang memperoleh pengakuan global dengan bukunya A Brief History of Time, sebuah kisah asal mula alam semesta, dikenal karena karyanya mengenai lubang hitam, kosmologi, dan gaya berat kuantum.

Sejak tahun 1974, ilmuwan itu telah berkarya untuk menyatukan dua landasan fisika modern—teori umum relativitas dari Albert Einstein, yang mengenai gaya berat dan fenomena skala besar, dan teori kuantum, yang mengenai partikel tingkat subatom.

Hawking telah mencapai ketenaran dunia atas penelitian dan dokumenter televisinya walau menderita penyakit neuromuskular sejak berusia 21 tahun yang membuatnya lumpuh dan bergantung pada synthesizer suara.

Dalam bukunya tahun 1988, Hawking tampaknya menerima kemungkinan seorang pencipta, dengan mengatakan bahwa penemuan sebuah teori yang komplet akan merupakan ”kemenangan akal budi manusia—karena kita akan mengetahui pikiran Tuhan”.

Namun, The Grand Design tampaknya menjauh dari pendapat itu, dengan mengatakan, fisika dapat menjelaskan hal-hal tanpa perlunya pencipta yang membuat alam semesta demi manusia.

Hawking menyebut penemuan sebuah planet yang mengorbit sebuah bintang di luar tata surya kita membantu mendekonstruksi pandangan bapak fisika Isaac Newton bahwa alam semesta tidak bisa muncul dari kekacauan, melainkan diciptakan oleh Tuhan.

Hawking menderita distrofi neuromuskular yang semakin bertambah parah, yang telah membuatnya hampir lumpuh total.

Dia mulai menderita penyakit itu pada awal 20-an tahun, tetapi mampu membuat dirinya sebagai salah satu tokoh ilmiah utama.

Beberapa bulan lalu dia mengatakan bahwa satu-satunya kesempatan umat manusia untuk bertahan hidup jangka panjang terletak pada kolonisasi ruang angkasa karena manusia menghabisi sumber daya di Bumi dan menghadapi sejumlah ancaman baru yang mengerikan.

Dia juga memperingatkan dalam sebuah seri televisi baru-baru ini bahwa umat manusia harus menghindari kontak dengan makhluk ruang angkasa sama sekali karena konsekuensinya bisa sangat buruk.

Tahun lalu Hawking mundur dari jabatan Guru Besar Matematika Universitas Cambridge, sebuah jabatan yang pernah dipegang Newton. (Reuters/AP/AFP/DI)

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/04/03125889/tuhan.dalam.buku.stephen.hawking

Internet Hilangkan Kemampuan Berpikir Konseptual

he New Scientist/Antara: Internet Hilangkan Kemampuan Berpikir Konseptual





Jakarta (ANTARA News) - Sebelum ini Nicholas Carr mengalami masalah konsentrasi dan sulit fokus saat membaca artikel panjang atau buku. Tapi itulah yang mendorongnya menulis buku "The Shallow What the Internet Is Doing to Our Brains," sebuah buku yang bercerita tentang hubungan internet dengan otak manusia.

"Buku itu mencoba memperoleh dasar dari persoalan itu," kata Carr seperti dikutip New Scientist.

Dia melanjutkan, "Saya sulit fokus lama. Pikiran saya ingin bertindak seperti ketika sedang online, mencari banyak hal dan menggali sedikit informasi, ketimbang fokus pada satu hal."

Keadaan itu mengantarkannya untuk memanfaatkan teknologi komunikasi digital yang disebutnya sangat menarik dan menguntungkan manusia.

"Dulu kita dihargai karena kemampuan kita mengalihkan perhatian secara cepat dan belajar sebanyak yang kita mampu mengenai keadaan sekitar. Kini, internet mengajak kita kembali pada gaya berpikir yang lebih mengalihkan dan menyebarkan, membaca sepintas dan mengamati dari jauh," kata lulusan Darmouth College dan Universitas Harvard ini.

Carr tidak setuju dengan pendapat bahwa memiliki akses ke banyak informasi, mencari banyak hal secara bersamaan, dan bekerja dengan banyak orang, adalah cara ideal untuk menggunakan pikiran.

Menurutnya kebiasaan "memperhatikan" mengantarkan manusia pada gaya berpikir baru di mana dengan cara itu manusia memindahkan ingatan yang sedang berjalan menjadi ingatan jangka panjang.

Itu juga mengaktifkan proses mental yang meningkatkan konsep berpikir, berpikir kritis dan bahkan kreativitas.

Menurut Carr, dari sudut pandang teoritis, sepanjang sejarah, teknologi seperti peta, jam dan alfabet membentuk cara berpikir manusia.

Penemuan neuroplastisitas lalu memberi pandangan mengenai bagaimana teknologi membentuk cara berpikir manusia.

Lingkungan manusia yang berbasis website menekankan membaca hanya sepintas, lalu mengamati, kemudian membaca dan melakukan banyak pekerjaan pada waktu bersamaan.

Keadaan ini menguatkan jaringan sel otaak yang mendukung proses ini. Namun, jika gaya berpikir merenung diabaikan, maka rangkaian mental malah tidak diperkuat.

Carr memang mengakui saat ini tak banyak bukti yang menunjukkan bagaimana internet mempengaruhi otak.

Namun, satu penelitian dari Universitas California, Los Angeles, mesin pencari pada Internet telah mengubah pola aktivasi otak manusia, lewat "attention deficit hyperactivity disorder" (ADHD). Di sini, otak diganggu dan terus mencari banyak rangsangan.

Carr mengatakan setidaknya ada satu teori yang mengaitkan ADHD dengan kapasitas kerja memori manusia.

"Jadi saat kita mengalami kelebihan muatan kognitif, yang terjadi tidak hanya gangguan, tapi juga meningkatkan gangguan yang kita rasakan karena kita tidak bisa mengingat apa yang harus kita perhatikan," kata Carr.

Saat mengalami kelebihan muatan kognitif secara terus-menerus, maka manusia tidak akan bekerja lebih dalam, lebih konseptual, dan berpikir lebih kritis.

"Mungkin cara berpikir ini akan menjadi dominan dan akan bernilai bagi masyarakat. Tetapi, kita kehilangan sesuatu yang penting," kata Carr.(*)

Sumber: New Scientist/Disadur Andrian Henny R.

Konsolidasi Penegakan Hukum


PENEGAKAN hukum yang berkeadilan terus menjadi prioritas yang harus diperjuangkan. Disadari, masalah hukum memang masih perlu pembenahan mendasar.

Terakhir,hari Rabu lalu (31/8) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan rapat kabinet terbatas khusus membahas masalah penegakan hukum. Beliau menggariskan lagi perlunya konsolidasi penegakan hukum yang berujung pada hadirnya keadilan, terkikisnya praktik mafia hukum, dan terus bergulirnya upaya pembenahan sistem peradilan.

Banyak hal yang disampaikan dan dicari solusinya dalam rapat tersebut, tetapi saya akan berbagi beberapa saja di antaranya.Konsolidasi penegakan hukum tetap dilakukan dengan melalui dua pendekatan utama: pembenahan sistem dan perbaikan personel penegakan hukum. Terkait dengan pembenahan sistem,Presiden menyadari benar perlunya reformasi yang dipercepat pada tubuh kepolisian dan kejaksaan.

Salah satunya dengan merevitalisasi peran dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak). Saat ini peran Kompolnas dan Komjak memang masih serbatanggung. Sebagai pengawas eksternal,kewenangannya sangat terbatas dan relatif tidak bergigi.

Ke depan, dengan penguatan kewenangan, anggaran, dan personil,Kompolnas dan Komjak didesain untuk menjadi lembaga yang berperan dalam akselerasi institusi kepolisian dan kejaksaan yang lebih profesional dan berintegritas. Yang juga menarik perhatian khalayak adalah pernyataan Presiden terkait rencana penyegaran kepemimpinan di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI),kepolisian, dan kejaksaan.

Sebenarnya,proses yang akan terjadi adalah proses penggantian normal dan alami. Panglima TNI memang akan memasuki masa pensiun di usia 58 tahun pada awal September, sebagaimana Kapolri juga akan memasuki masa pensiun di usia yang sama pada awal Oktober. Lantaran proses pengangkatan dan pemberhentian keduanya relatif sama–– memerlukan persetujuan DPR––, maka tidak ada salahnya prosesnya dilakukan secara relatif bersamaan.

Apalagi, meskipun Kapolri baru akan memasuki masa pensiun pada awal Oktober, dalam proses memberikan persetujuan, DPR mempunyai waktu 20 hari kerja sehingga dengan berhitung masa persetujuan, ditambah kemungkinan libur Lebaran Idul Fitri,maka proses pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri menjadi pas jika dilakukan relatif secara bersamaan. Lain halnya dengan proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang merupakan hak prerogatif presiden.

Undang- Undang Kejaksaan mengatur, pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan oleh presiden tanpa mensyaratkan perlunya persetujuan DPR.Maka,keputusan Presiden SBY untuk melakukan pergantian posisi Jaksa Agung tentu dalam kerangka melakukan regenerasi dan konsolidasi penegakan hukum.

Tentu saja momentum penggantian Panglima TNI,Kapolri,dan Jaksa Agung sangat penting dalam kerangka konsolidasi penegakan hukum.Mengganti pimpinan institusi kepolisian dan kejaksaan tentu akan mempunyai makna strategis dalam upaya menegaskan kembali mewujudkan upaya penegakan hukum yang berkeadilan.

Maka, proses rekrutmen Kapolri dan Jaksa Agung memang harus dikawal agar tidak justru menimbulkan riak kompetisi yang tidak perlu.Untuk mekanisme pemilihan Panglima TNI, sistem kelihatannya telah bekerja secara lebih efektif dan baik sehingga tujuan menciptakan tentara yang profesional–– dan tidak terganggu dengan suksesi panglima sudah dapat diwujudkan.

Bekerja efektifnya sistem regenerasi demikian juga perlu dilakukan dalam hal suksesi Kapolri dan Jaksa Agung. Yang jelas, sebagaimana Presiden SBY tegaskan dalam penutupan rapat kabinet terbatas tersebut, proses penggantian Panglima TNI,Kapolri,dan Jaksa Agung tidak boleh menimbulkan gejolak konflik, apalagi gerakan politik, karena ketiganya bukan posisi politis. Ketiganya adalah posisi yang harus dijabat secara profesional,independen, dan imparsial.

Untuk calon Kapolri,tentu saja peran Kompolnas menjadi sangat penting untuk memberikan masukan kepada Presiden. Saya mendengar Kontras telah juga memberikan kriteria Kapolri yang ideal ke depan. Beberapa di antaranya sangat berkait erat dengan rekam jejak di dalam semangat antipelanggaran HAM dan integritas antikorupsi. Hal yang sama sebenarnya dapat pula diterapkan pada kriteria Jaksa Agung.

Meskipun ada perbedaan mendasar, untuk Kapolri jenjang kepangkatan karier menjadi sangat penting dan mutlak,sedangkan untuk Jaksa Agung tidak harus berasal dari jaksa karier.Bahkan UU Kejaksaan juga membuka ruang diisinya posisi-posisi jaksa agung muda oleh profesional di luar aparat kejaksaan. Memang, tentu saja,pengisian kursi strategis di kejaksaan itu tidak boleh menimbulkan dikotomi antara karier dan nonkarier.

Namun, tidak ada salahnya melakukan penilaian bahwa untuk kondisi pembenahan kejaksaan sekarang, adalah menarik untuk menimbang memasukkan darah segar dari luar institusi kejaksaan––guna melakukan pembenahan lebih menyeluruh dan mendasar. Pola kerja Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK menarik untuk diadopsi, yaitu dengan mencari informasi sebanyak mungkin, termasuk dari KPK terkait harta kekayaan, dari PPATK terkait kepemilikan rekening, dari Ditjen Pajak terkait pembayaran pajak,dan bahkan dari Badan Intelijen Negara.

Setiap rekrutmen posisi strategis, termasuk Kapolri dan Jaksa Agung, sangat penting melakukan pola yang sama, yaitu mendapatkan informasi dari lembaga-lembaga strategis tersebut–– di samping mendengarkan aspirasi publik. Akhirnya,dalam rangka konsolidasi penegakan hukum, tentu saja memilih Kapolri dan Jaksa Agung yang tepat adalah pekerjaan yang sangat penting. Presiden saya yakin akan memilih orang yang kapabel, berintegritas, dan profesional untuk melakukan percepatan ikhtiar penegakan hukum yang berkeadilan.

Pada saat yang sama, momentum penyegaran di pimpinan kepolisian dan kejaksaan itu juga akan dikuatkan dengan masuknya darah segar baru yang kuat di dalam tubuh pimpinan KPK. Hasil kerja Pansel yang memilih Bambang Widjojanto dan M Busyro Muqoddas telah dikirim Presiden SBY ke DPR. Siapa pun yang dipilih DPR, saya yakin akan memberi kontribusi positif bagi penguatan KPK dan penguatan agenda pemberantasan korupsi.

Dengan regenerasi yang tepat pada kepemimpinan kepolisian, kejaksaan,dan KPK,saya optimistis upaya pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia hukum akan mendapatkan lompatan perbaikan yang menggairahkan.Apalagi ditambah dengan penyegaran personel di Komisi Yudisial, Ombudsman, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan.

Jika semuanya mendapatkan orangorang profesional yang berdedikasi tinggi dan berintegritas mumpuni, harapan konsolidasi penegakan hukum untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan tanpa mafia dan antikorupsi insya Allah akan mejadi kado Lebaran yang membahagiakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Doa and do the best.Keep fighting for the better Indonesia.(*)

DENNY INDRAYANA
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum,
HAM, dan Pemberantasan KKN

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/349044/

Rebutan Kikis Malay Tunggarana


Rohmad Hadiwijoyo Dalang & CEO RMI Group



Penyelesaian dengan perang terhadap suatu sengketa memang harus dilakukan untuk menegakkan wibawa dan kehormatan bangsa. Kesuksesan menjajah Tunggarana, belum membuat Boma Himantaka puas."

PERINGATAN Prokla masi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus tahun ini seharusnya memunculkan rasa kebanggaan dan patriotisme bangsa.

Tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menggelandang tujuh nelayan Malaysia yang melanggar wilayah perbatasan dan diduga sedang mencuri ikan.
Namun, apa yang terjadi?
Mereka justru diborgol petugas patroli Malaysia di wilayah perairan Indonesia. Aksi petugas Malaysia itu jelas-jelas telah menampar harga diri dan martabat Bangsa Indonesia yang sedang merayakan hari ulang tahun ke-65 kemerdekaan.

Peristiwa itu mirip dengan kearifan budaya lokal, yakni dalam cerita wayang Rebutan Kikis Tunggarana. Kocap kacarita, Tunggarana merupakan wilayah yang subur, gemah ripah loh jinawi di bawah pemerintahan Kerajaan Pringgondani, sejak zaman Raja Trembaka, kemudian Arimba hingga Raden Gatutkaca. Yang memimpin daerah otonom istimewa Tunggarana itu adalah Prabu Kala Pustaka dengan patihnya, Samber Katon.

Pada suatu ketika, Kerajaan Pringgondani sedang disibukkan dengan masalah ekonomi yang morat-marit. Seluruh nayaka praja bersama rakyat berjuang keras untuk mengatasi masalah tersebut. Celakanya, di saat semua energi negara dicurahkan untuk memulihkan kondisi ekonomi, muncullah rongrongan politik dalam negeri akibat ulah Brajadenta. Ia memberontak karena tidak menerima kekuasaan Pringgondani jatuh ke tangan keponakannya, Raden Gatotkaca, anak kakak perempuannya, Arimbi.

Tanpa diduga, instabilitas ekonomi dan politik yang me landa bumi Pringgondani itu dimanfaatkan penguasa negara lain. Prabu Boma Himantaka dari Kerajaan Trajutrisna secara terbuka merebut wilayah Tunggarana dari kekuasaan Pringgondani.

Tanpa kesulitan, Prabu Boma sukses menganeksasi Tunggarana sekaligus membunuh rajanya, Prabu Kala Pustaka.
Mudahnya Boma menaklukkan Tunggarana itu karena Pringgondani yang membawahi wilayah tersebut sibuk dengan persoalan dalam negeri.

Setelah berhasil merebut, Prabu Boma kemudian menyerahkan kekuasaan atas wilayah jajahannya itu kepada anak turun Kala Pustaka sendiri, yakni Prabu Kahana.

Kesuksesan menjajah Tunggarana, belum membuat Boma Himantaka puas. Nafsu imperialisnya terus membara dan ingin memperluas jajahan lagi ke negara lainnya. Target berikutnya adalah menaklukkan Kerajaan Dwarawati.

Namun, tampaknya kali ini Boma kurang perhitungan. Ia tidak paham bahwa kekuatan pertahanan Dwarawati jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Tunggarana.

Raja Dwarawati Prabu Kresna cukup mengutus anaknya, Raden Suteja, untuk menghadapi Raja Trajutrisna tersebut.
Singkat cerita, Boma, raja yaksa yang penuh nafsu angkara dan adigang adigung itu tewas di tangan Suteja. Kemenangan itu tentu saja menjadikan Kerajaan Trajutrisna dan segala isinya menjadi barang rampasan.

Prabu Kresna kemudian memberikan Kerajaan Trajutrisna kepada Suteja dengan gelar Prabu Boma Narakasura.
Kisruh Tunggarana Menurut sejarahnya, setelah Prabu Boma Himantaka tewas, Tunggarana semestinya kembali menjadi wilayah andahan (kekuasaan) Pringgondani. Menurut hukum perang, Raden Suteja hanya berhak mendapatkan Kerajaan Trajutrisna peninggalan Prabu Boma Himantaka. Sementara itu, Tunggarana tidak termasuk wilayah Kerajaan Trajutrisna.

Namun, Suteja bersikap lain.
Menurutnya, Tunggarana termasuk kekuasaannya karena wilayah tersebut pernah ditaklukkan atau jajahan Prabu Boma Himantaka. Perbedaan persepsi itulah yang menjadi benih perseteruan lebih lanjut.

Sebagai sebuah wilayah, Tunggarana memang menarik minat bagi siapa pun untuk menguasainya. Selain tanahnya subur, perairannya kaya akan mina atau ikan.

Karena itulah, tidak aneh jika setiap hari para nelayan dan punggawa dari Kerajaan Trajutrisna keluar masuk secara ilegal ke wilayah Tunggarana untuk mencuri ikan. Aksi illegal fishing atau perompakan tangkapan hasil laut para begundal Trajutrisna itu memang sudah diketahui Raja Pringgondani Gatotkaca. Untuk menghentikan aksi mereka, Gatotkaca telah berkali-kali melayangkan nota protes dan surat teguran kepada Prabu Boma Narakasura. Namun, berbagai teguran tersebut tidak digubris Prabu Boma.

Meski demikian, Gatotkaca masih tetap sabar dan tidak pernah lelah untuk mencari cara-cara diplomatis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di antaranya dengan cara kekeluargaan, mengingat antara dirinya dengan Boma Narakasura masih serumpun.

Namun, berbagai cara itu ternyata tetap tidak membuahkan hasil. Boma malah cenderung meremehkan martabat bangsa Pringgondani.
Misalnya, ketika para wadyabala Pringgondani menangkap para maling ikan dari Trajutrisna di perairan Tunggarana, Prabu Boma bukan meminta maaf, melainkan malah mengirimkan surat tantangan kepada Gatotkaca.

Bahkan surat tantangan itu diselipkan ke telinga para wadyabala Pringgondani yang sempat diculiknya.

Namun, meskipun tantangan Prabu Boma bernada keras, Gatotkaca masih dapat mengendalikan diri dan tidak bertindak gegabah. Karena merasa sulit, Gatotkaca meminta petunjuk para sesepuh Pandawa, bagaimana cara penyelesaian yang terbaik.

Di luar dugaannya, para pepundennya (orang yang dihormati) Pandawa itu menyetujui penyelesaian wilayah atau Kikis Tunggarana dengan cara perang tanding. Yakni perang antara Prabu Gatotkaca dari Pringgondani dan Prabu Boma Narakasura dari Trajutrisna.

Prabu Kresna, orang tua Boma, pun menerima cara penyelesaian kemelut perebutan tanah itu. Namun, Kresna meminta siapa pun tidak boleh membantu kedua raja yang akan bertarung tersebut. Kalau terbukti ada yang membantu, yang dibantu itu dinyatakan kalah.

Kedua belah pihak sepakat pula bahwa siapa yang memenangi pertarungan itu, ialah yang berhak atas wilayah Tunggarana.
Solusi perang Arena pertempuran di blabar kawat sudah disiapkan. Gatotkaca siap mati untuk menjaga wibawa dan martabat Kerajaan Pringgondani. Begitu pula, Boma, dengan nada sombong, ia pun siap hancur lebur untuk mengalahkan Gatotkaca.

Dalam hitungan hari, perang tanding berlangsung sama kuat. Namun, kemudian Gatotkaca tahu kelemahan Boma, yakni bahwa lawannya itu tidak akan berdaya kalau pertempurannya dilakukan tidak di atas tanah.

Hal itu mengingat Boma ada lah anak Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi, dewinya Bumi.
Jadi selama Boma menginjak Bumi atau Pertiwi, ia tidak akan bisa dikalahkan karena akan selalu ada kekuatan yang melindunginya.

Tanpa buang waktu, Gatotkaca langsung menarik Boma ke angkasa. Pertarungan di atas Bumi itu pun berlangsung sengit. Namun, dengan kedigdayaannya, Gatotkaca akhirnya mampu mengalahkan Boma.
Dan dengan kemenangan itulah, wilayah Tunggarana kembali masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Pringgondani.

Dudutan atau benang emas dari cerita itu bahwa persoalan ekonomi dan politik yang terus menerus menerpa Kerajaan Pringgondani, tanpa disadari dapat mengakibatkan lepasnya Kikis Tunggarana.

Penyelesaian dengan perang tanding tidak selamanya buruk, asalkan untuk menegakkan wibawa, martabat, dan kehormatan bangsa serta kedaulatan negara.

Namun, perang tanding di blabar kawat itu juga bisa diar tikan peperangan di atas meja tanpa intervensi atau campur tangan dari pihak mana pun.
Yakni bernegosiasi dengan segala kekuatan untuk memenangkannya.

Pertanyaannya, apakah penyelesaian masalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia perlu dengan perang tanding?
Atau apakah kita tetap pasrah kehilangan lagi kedaulatan wilayah kita seperti Pulau Sipadan dan Ligitan? Sumangga...

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/09/04/ArticleHtmls/04_09_2010_014_003.shtml?Mode=0

Lindungi Kebebasan Berserikat




Abdul Hakim G Nusantara

Pemerintah melalui Menko Politik, Hukum, dan Keamanan menyatakan niatnya merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Niat itu tampaknya dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk meningkatkan kewenangannya guna mengawasi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan bilamana perlu membekukan, bahkan membubarkan, ormas-ormas yang dinilai mengganggu ketertiban umum.

Pada masa lalu UU Ormas digunakan oleh rezim Orde Baru untuk membunuh hak atas kebebasan berserikat. Karena itu, revisi UU Ormas itu haruslah diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan hak-hak fundamental yang berkaitan dengan itu, yakni hak atas kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi.

Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang berarti ia senantiasa berkehendak untuk hidup berkelompok. Sejak zaman dulu manusia hidup berkelompok guna melindungi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan berkelompok itulah manusia saling mengomunikasikan gagasan dan menyusun aksi bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepentingan atau kebutuhan bersama melahirkan gagasan untuk melindungi, memperjuangkan pemenuhan kebutuhan bersama melalui wadah organisasi.

Dalam konteks kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial itulah lahir konsep hak atas kebebasan berserikat. Hak atas kebebasan berserikat memampukan tiap-tiap manusia untuk merumuskan, mengekspresikan, dan memperjuangkan hak dan kepentingan bersama dalam berbagai lapangan kehidupan.

Dengan demikian, harus dikatakan hak atas kebebasan berserikat itu merupakan hak yang melekat pada manusia karena harkat, martabat, dan kodratnya. Ia telah lebih dahulu ada daripada negara.

Tiga kebebasan dasar

Hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berkumpul, dan hak atas kebebasan berekspresi merupakan tiga kebebasan dasar yang sangat fundamental bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Sungguh tidak terbayangkan suatu sistem politik demokratis dapat berjalan tanpa kehadiran tiga kebebasan dasar tersebut. Tanpa adanya kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi, mustahil rakyat dapat menjalankan hak- hak politiknya, antara lain hak untuk turut memilih dan hak untuk serta dalam pemerintahan. Tanpa adanya tiga kebebasan dasar itu, mustahil pula bagi rakyat untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Beberapa dasawarsa yang lalu munculnya rezim pemerintahan Korporatis-Otoritarian di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, selalu diawali dengan memberangus atau menghapuskan tiga kebebasan dasar tersebut serentak atau secara bertahap. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana rezim Korporatis-Otoritarian Orde Baru, melalui UU Pers, UU Parpol dan Golkar, serta UU Organisasi Kemasyarakatan membunuh tiga kebebasan dasar, yakni kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat.

Pada tahun 1999 gerakan reformasi nasional berhasil menumbangkan tembok-tembok hukum otoritarian Orde Baru. Kecuali UU Ormas, berbagai UU politik otoritarian dapat dirobohkan digantikan berbagai UU politik demokratis yang kita nikmati sekarang. Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah dan DPR mengapa UU Ormas karya Orde Baru itu masih dipertahankan.

Padahal, sangat nyata UU Ormas (UU Nomor 8 Tahun 1985) mengandung muatan norma yang sangat antidemokrasi: (1) Pancasila sebagai asas tunggal, yang berarti penolakan terhadap pluralitas kultural (Pasal 2 Ayat 1); (2) Keharusan organisasi kemasyarakatan untuk berhimpun dalam satu wadah pembinaan (wadah tunggal), yang berarti penolakan terhadap pluralitas kelembagaan yang merupakan salah satu pilar demokrasi; (3) Penundukan ormas pada pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah qq Kementerian Dalam Negeri; (4) Kewenangan Pemerintah untuk membekukan dan membubarkan Organisasi Kemasyarakatan.

Sebelum Rancangan Undang-Undang Ormas diundangkan pada tahun 1985, Koalisi Ornop, yakni YLBHI, Walhi, dan Infid, menentang keras dimasukkannya pasal-pasal draconian yang antidemokrasi tersebut. Namun, rezim otoritarian Orde Baru menggagalkan usaha Koalisi Ornop tersebut. Pasal-pasal draconian antidemokrasi terus dipertahankan dalam UU itu.

Lebih jauh lagi, Menteri Dalam Negeri pada saat itu merencanakan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hendak mensyaratkan pendaftaran sebagai syarat bagi diakuinya keberadaan ormas oleh pemerintah. Mandatory registration itu bisa disalahgunakan oleh penguasa untuk menolak pendaftaran ormas-ormas yang kritis terhadap penguasa, yang dengan demikian pemerintah mempunyai alasan untuk melarang atau membubarkannya.

Karena itu, Koalisi Ornop pada saat itu mendesak Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan rencana mandatory registration tersebut. Koalisi Ornop menyatakan pendaftaran ormas merupakan proses administrasi dalam rangka pelayanan pemerintah kepada ormas, dan bukan syarat yang menentukan eksistensi ormas.

Terlalu pagi

Sekarang ini berkembang wacana yang mendesak pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang diduga acap terlibat dalam tindakan kekerasan dan anarki. Kita semua warga bangsa setuju bahwa kepada para pelaku tindakan kekerasan dan anarki yang jelas mengancam dan merugikan kepentingan umum harus dikenai tindakan hukum yang setimpal. Di situlah tugas aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan keadilan. Tapi mengapa kekerasan dan anarki terus berulang terjadi di berbagai tempat, dan sepertinya polisi tak berdaya untuk mengatasinya? Ada apa dengan para polisi kita? Di mana mereka ketika kekerasan itu terjadi?

Saya rasa terlalu pagi bagi kita berbicara pembekuan dan pembubaran ormas yang diduga terlibat melakukan kekerasan dan anarki tanpa terlebih dahulu kita audit dan evaluasi kinerja polisi, khususnya dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang diduga melibatkan ormas-ormas tersebut.

Revisi UU Ormas semestinya diarahkan, pertama, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang antidemokrasi tersebut di atas; kedua, memperkuat perlindungan tiga kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berekspresi; ketiga, memperkuat asas due process of law, yang berarti tindakan punitif seperti, membekukan, membubarkan ormas diserahkan kepada pengadilan, dalam hal itu pemerintah melalui Jaksa Agung mengajukan tuntutan pembubaran ke pengadilan dan kepada ormas diberikan hak bela diri; keempat, semua prosedur administrasi ormas, seperti pendaftaran tidak boleh menjadi syarat bagi eksistensi ormas.

Dengan demikian, arah revisi Undang-Undang Ormas sejalan dengan cita-cita Negara Hukum Indonesia.

Abdul Hakim GARUDA Nusantara Praktisi Hukum; Ketua Komnas HAM 2002-2007

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/06/03120783/lindungi..kebebasan.berserikat