BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

RAPBN 2011 Tidak "Nendang"

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.19

A Tony Prasetiantono

Semula saya sangat senang mendengar pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie dalam sambutannya menjelang pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011, bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian terhadap pembangunan infrastruktur agar bisa membantu peningkatan efisiensi di bidang ekonomi (16/8/2010).

Optimisme saya kian kuat tatkala pidato Presiden Yudhoyono juga mengemukakan hal yang sama, bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting. Namun, tak lama kemudian saya menyadari, itu semua ternyata cuma sebatas wacana. Baru menjadi kesadaran, visi, dan cita-cita bersama, tetapi belum tampak komitmen kuat untuk mengupayakan implementasinya. Apa buktinya?

Dari volume belanja Rp 1.202 triliun, pemerintah menganggarkan belanja modal (capital expenditure) Rp 121 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk menunjang infrastruktur, termasuk irigasi dan transportasi. Ketika Presiden mengemukakan ini, dirinya menuai tepuk tangan meriah. Apalagi dikatakan bahwa angka ini naik 28 persen (Rp 26,6 triliun) dari anggaran tahun sebelumnya.

Tentu saja hadirin tidak terlalu menyadari angka tersebut sesungguhnya kecil, dan sangat diragukan kemampuannya untuk mendorong pembangunan infrastruktur, sebagaimana visi yang dikemukakan Ketua DPR dan Presiden. Memang pemerintah mempunyai keterbatasan untuk membelanjakan lebih banyak anggarannya bagi pembangunan infrastruktur. Pemerintah sangat konservatif dan berhati-hati sehingga APBN 2011 hanya ”diizinkan” defisit 1,7 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp 115 triliun.

Sikap konservatif ini tentu saja positif di satu sisi, yakni mengerem terjadinya penambahan utang pemerintah. Namun, di sisi lain, APBN menjadi tidak cukup bertenaga untuk menjalankan fungsinya sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi.

Padahal, sebagaimana dianut para pengikut Keynesian (ekonom terbesar abad ke-20 dari Inggris, John Maynard Keynes, 1936), ketika sektor swasta mengalami kebuntuan, pemerintah harus sigap mengambil alih tugas menstimulasikan perekonomian melalui kebijakan fiskal. Dengan kata lain, belanja pemerintah menjadi tumpuan harapan untuk menggerakkan ekonomi karena sektor swasta kedodoran atau kelelahan.

Alternatif yang kini ditempuh, pemerintah meminta tolong sektor swasta untuk membangun infrastruktur. Itu sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah sibuk menyelenggarakan infrastructure summit agar dapat mengundang sebanyak mungkin minat investor swasta (domestik dan asing). Pemerintah juga menawarkan kerja sama dengan swasta, melalui skema public-private partnership (PPP).

Tak cukup

Namun, itu semua ternyata tidak cukup. Kombinasi antara pemerintah dan swasta ternyata hanya mampu membelanjakan dana pembangunan proyek infrastruktur setara 3 persen terhadap PDB. Idealnya, negara berkembang seperti Indonesia belanja infrastrukturnya 5 persen terhadap PDB. Ironisnya, pencapaian Indonesia masih lebih rendah daripada negara berpendapatan rendah seperti Laos (4 persen) dan Mongolia (7,5 persen).

Bahkan India—yang sering dikritik sebagai negara pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia sesudah China, tetapi infrastrukturnya jelek (poor)—belanja infrastrukturnya mencapai 4,5 persen terhadap PDB. Sedangkan Brasil, negara dengan perekonomian terbaik di Amerika Latin, belanjanya 5 persen. Yang paling top di dunia adalah China, dengan 10 persen.

Akhir-akhir ini komplain terhadap kemacetan di Jakarta kembali marak. Semula saya berharap agar momentum ini bisa menginspirasi pemerintah untuk membelanjakan APBN-nya ke infrastruktur. Misalnya dengan meneruskan proyek monorel yang sesungguhnya biayanya ”hanya” Rp 7 triliun. Jika diasumsikan proyek ini diselesaikan dalam empat tahun, maka beban setahunnya maksimal Rp 2 triliun.

Proyek yang lebih mahal adalah kereta bawah tanah (subway). Sepintas ongkosnya memang mahal. Satu segmen subway rute Blok M-Jalan Jenderal Sudirman, biayanya Rp 16 triliun. Jika proyek ini diamortisasikan enam tahun, anggaran per tahun maksimal Rp 3 triliun. Jika dibandingkan volume APBN yang Rp 1.200 triliun, ini bukan apa-apanya.

Memang, dibandingkan belanja modal 2011 Rp 121 triliun, biaya pembangunan monorel dan subway tampak besar. Namun, dengan amortisasi, dan pemerintah bersedia menaikkan belanja infrastruktur, pembangunan ini masuk akal dan layak secara ekonomis. Pembangunan infrastruktur semacam itu punya dua urgensi. Pertama, sebagai upaya mengurai kemacetan yang sudah kelewatan di Jakarta. Kalau tidak dimulai sejak sekarang, kemacetan akan kian mengerikan. Persis yang digambarkan mantan Gubernur DKI Sutiyoso: ketika keluar dari rumah menuju tempat kerja, kita langsung kena macet.

Kita selama ini sibuk berdebat, sementara pembangunan monorel terhenti. Padahal, produksi mobil 2010 terus meningkat, akan mencapai 700.000 unit, yang berarti mengalahkan Thailand dan terbesar di Asia Tenggara.

Kedua, berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia (Global Competitiveness Index 2009-2010), ketersediaan infrastruktur yang lemah merupakan kendala nomor dua bagi investasi. Problem nomor satu adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, sedangkan kendala lain di bawah infrastruktur: (3) instabilitas kebijakan ekonomi, (4) korupsi, (5) lemahnya akses terhadap sumber pembiayaan, (6) regulasi tenaga kerja yang restriktif, (7) regulasi pajak yang memberatkan, dan (8) inflasi.

Pemerintah seyogianya lebih fokus dan memberikan prioritas tinggi terhadap pembangunan infrastruktur, terutama jalan, sedangkan infrastruktur lain, terutama jaringan telekomunikasi dan energi, sudah banyak diminati investor swasta. Listrik, dalam skala tertentu, juga sudah kian diminati. Namun, infrastruktur sangat mendesak ditangani pemerintah. Menunggu swasta tampaknya seperti ”menunggu Godot” dalam naskah Samuel Beckett. Artinya: tak kunjung datang.

Celah itu masih ada, tetapi pemerintah kurang berani melakukan. Defisit RAPBN 2011 ditetapkan 1,7 persen. Berdasarkan pengalaman, realisasi defisit ini paling hanya 1,4 persen. Artinya, RAPBN 2011 benar-benar miskin stimulus. Defisit bisa kita naikkan menjadi 2 persen terhadap PDB, tetapi dengan syarat.

Pertama, tambahan utang ini masih sanggup dibayar kembali (affordable). Kedua, alokasinya tepat, dalam hal ini digunakan untuk membangun infrastruktur yang kelak akan memberi multiplier effect tinggi. Ketiga, penggunaannya dikawal ketat agar tidak dikorupsi. Jika tidak, pembangunan infrastruktur cuma sekadar wacana sehingga RAPBN 2011 pun menjadi tidak ”nendang”, alias kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM.

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03044041/rapbn.2011.tidak.nendang

Negeri yang Lupa Investasi Sosial

A Prasetyantoko

Beberapa hari menjelang pidato presiden di depan DPR, The New York Times (5/8/2010) menurunkan berita impresif tentang Indonesia. Tidakkah kita bangga, harian terkemuka itu menyebut Indonesia sebagai perekonomian terbesar kawasan Asia Tenggara yang layak dijadikan ”model”?

Ironinya, pidato Presiden justru ditanggapi dengan dingin: terlalu konservatif, normatif, dan tidak subtantif. Simptomnya cukup jelas, perekonomian yang sebenarnya penuh potensi mengalami kemandekan yang diiringi dengan kian menurunnya kredibilitas pemerintah di mata publik. Mestinya, fakta ini menjadi bahan refleksi penting di ulang tahun kemerdekaan ke-65.

Gegap gempita perekonomian kita memang terasa di luar sana. Semester II-2010, perekonomian tumbuh 6,2 persen. Minat melakukan investasi rupanya tak sebatas investasi portofolio, tetapi juga investasi langsung. Para investor global tengah mengalami fase euforia terhadap perekonomian Indonesia, apalagi dengan proyeksi tahun depan akan masuk investment grade. Suatu penilaian dari lembaga pemeringkat investasi yang menempatkan Indonesia menjadi target untuk menanamkan modal, baik jangka pendek maupun panjang.

Tak heran jika realisasi investasi asing langsung hingga kuartal II sudah melampaui target 2010. Sementara, investasi portofolio tetap bergairah, terbukti indeks bursa saham sudah naik lebih dari 20 persen sejak awal tahun. Meski ada pengetatan pada instrumen investasi Sertifikat Bank Indonesia, investor asing tak mau pergi dengan memindahkan portofolio ke Surat Utang Negara.

Target investasi

Dalam ritual pidato kenegaraan menyambut Hari Kemerdekaan RI, Presiden Yudhoyono tak hanya mencanangkan target pencapaian tahunan, tetapi juga target perekonomian 2014. Pada akhir kepemimpinannya sebagai presiden, ekonomi diprediksi tumbuh 7,0 hingga 7,7 persen. Dengan begitu, angka pengangguran bisa ditekan, karena diperkirakan akan tercipta 10,7 juta lapangan kerja baru, sementara angka kemiskinan bisa ditekan menjadi 8-10 persen.

Dalam rangka merealisasikan target tersebut, sederet kalkulasi sektoral sudah dilakukan, mulai dari target investasi, konsumsi domestik, pengeluaran pemerintah, hingga ekspor. Namun, tetap saja pidato itu dianggap tak berjiwa. Mengapa demikian?

Dalam rangka mencapai target pertumbuhan tersebut, komponen penting yang akan digenjot pemerintah adalah investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal menghitung, paling tidak investasi asing langsung (PMA) akan naik 3-4 kali lipat dari pencapaian 2009 pada empat tahun mendatang.

Untuk itu, pembenahan infrastruktur juga dilakukan secara progresif. Pada anggaran 2011, pembangunan infrastruktur ditargetkan Rp 1.500 triliun, sebagian besar menggunakan metode patungan pemerintah-swasta atau public-private partnership (PPP).

Kita semua sudah paham, salah satu hambatan terbesar perekonomian Indonesia adalah infrastruktur. Dalam Global Competitiveness Index 2009/2010, peringkat daya saing Indonesia berada di peringkat ke-54, jauh di bawah Malaysia (24) dan Thailand (36). Infrastruktur menjadi penghambat utama, terlihat dari peringkatnya yang begitu buruk, yaitu ke-88. Dan penyumbang terburuk komponen infrastruktur adalah kualitas jalan (peringkat ke-94) dan pelabuhan (95).

Meski pemerintah sudah mencanangkan target percepatan program pembangunan infrastruktur, masih saja ada banyak tanda tanya. Pertama, isu tersebut sama sekali bukan isu baru. Ada kemungkinan target seperti ini akan terus diulang pada tahun-tahun ke depan. Artinya, tidak ada perubahan berarti. Kedua, metode PPP tidak selalu mudah, karena dalam banyak kasus, partisipasi swasta akhirnya gagal, karena eksekusi yang bertele-tele.

Kalaupun program percepatan pembangunan infrastruktur bisa diraih dalam tahun-tahun mendatang, apakah persoalannya selesai? Dalam perspektif jangka panjang, sebenarnya ada investasi lain yang juga sangat mendesak untuk diperbaiki. Kualitas pembangunan manusia kita berada pada peringkat cukup rendah. Pada 2009, Human Development Index Indonesia berada pada level 111, jauh tertinggal dari negara tetangga (Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina).

Memang, investasi sosial telah diterjemahkan dengan peningkatan anggaran pendidikan. Situasi yang sama terjadi dalam hal peningkatan anggaran program penanggulangan kemiskinan. Meskipun budgetnya dinaikkan ratusan persen sejak beberapa tahun terakhir ini, bukan berarti angka kemiskinan bisa ditekan secara maksimal.



Prasyarat

Investasi sosial memiliki prasyarat penting, yaitu selain komitmen dan visi yang kuat dari pemimpin tertinggi, juga perangkat yang rapi di tingkat bawah untuk merealisasikannya. Sayangnya, dua hal ini semakin hari semakin terasa lemah. Mungkin itulah mengapa pidato gegap gempita ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat.

Mungkin benar, kita masih berada dalam tataran yang artifisial. Kalaupun target-target normatif dibeberkan, rasanya hambar tak berjiwa. Ibaratnya, dalam perspektif hukum, kita punya seluruh aturan hukum yang bersifat legal formal, tetapi tak pernah berpikir bagaimana menjalankannya. Bangsa kita adalah bangsa yang legalistik. Begitu pun di dunia politik. Meski menganut demokrasi, tetapi masih sebatas pada prosedur-prosedurnya. Substansi tentang demokrasi masih jauh panggang dari api.

Di bidang ekonomi, meski setiap pidato disiarkan tentang komitmen kesejahteraan rakyat, bisa jadi hal itu tidak bermakna apa-apa. Perekonomian berjalan begitu saja, mengikuti irama dinamika global. Kita belum beranjak dari perekonomian yang mengandalkan pada faktor-faktor ekonomi sumber daya alam dan belum mengarah pada perekonomian yang berbasis pada efisiensi. Begitu kata-kata dalam World Competitiveness Report 2009/2010.

Itulah mengapa ketika rupiah menguat, ada wacana untuk memperlemah agar penghasilan ekspor tidak menurun. Jika kita sudah menjadi bangsa yang bertumpu pada efisiensi, menguatnya nilai tukar rupiah akan diimbangi dengan peningkatan produksi, karena bahan baku impor yang semakin murah.

Meski prospek ekonomi jangka menengah kelihatan cerah, bisa jadi sebenarnya secara fundamental tidak ada perubahan yang berarti. Perekonomian kita masih saja mengandalkan faktor-faktor produksi primer untuk diekspor guna menghasilkan devisa, sementara sektor industri semakin tertatih-tatih, bahkan proporsinya dalam perekonomian semakin mengecil. Itulah gejala deindustrialisasi yang sudah mulai terasa.

Pada kuartal II-2010, meski pertumbuhan cukup tinggi, tetapi didominasi sektor jasa yang tidak padat karya, seperti sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sementara sektor industri manufaktur masih belum optimal. Sektor industri memang harus dibenahi secara benar, jika tidak, pidato Presiden hanya akan jadi buih (bubble) yang setiap saat bisa meletus.

A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03062092/negeri.yang.lupa.investasi.sosial

Imajinasi Keindonesiaan

Oleh Boni Hargens Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

DI sebuah seminar yang menarik di Berlin (Jerman) beberapa waktu lalu, diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia (KMKI), seorang mahasiswa yang hadir mengajukan pertanyaan yang sinikal: sampai kapan Indonesia bisa benar? Kata benar di sini bermakna plural sehingga jawabannya pun jamak.

Namun, pertanyaan itu memaksa kita membongkar tesis tua soal apa itu bangsa. Ernest Renan (1882) dan para penganut nasionalisme konstruktivis lainnya mengingatkan kita dari dulu bahwa entitas kebangsaan itu ditentukan oleh kesamaan nasib di masa lalu dan kesamaan visi dan misi. Dalam bahasa Kymlica (1992), bangsa adalah a historical community, sebuah paguyuban sejarawi.

Apakah setelah 65 tahun merdeka, Indonesia sudah menjadi paguyuban historis yang memiliki masa lalu dan visi dan misi yang sama? Skeptisisme ini muncul setelah melihat untaian masalah sosial maupun politik yang cenderung ingin membelah Indonesia secara tragis berdasarkan haluan parsial. Padahal, Pancasila yang dianggap sebagai pandangan hidup mesti mengikat segala perbedaan dalam satu kesadaran yang sama, yakni kesadaran keindonesiaan. Ikatan integratif antarkelompok sosial sering kali longgar, entah karena permainan politik atau karena kepemimpinan politik yang tak kuat.

Sementara itu, pada aras elite, kita masih sulit menemukan praktik politik yang berpihak sepenuhnya pada rakyat. Sering kali elite bekerja untuk

kelompoknya atau sekadar untuk popularitas. Dalam hal pembangunan, yang diutamakan adalah kepentingan material sehingga politisi mudah berselingkuh dengan korporasi besar dalam berbagai aktivitas pertambangan, bahkan dalam `proyek penghijauan', yang akhirnya menghancurkan alam dan manusia. Setidaknya, penilaian ini datang dari tokoh-tokoh Watch Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Berlin, seperti Alex Flor, Marianne Klute, dan Pipit D Kartawidjaya yang serius menangani masalah ini di Indonesia.

Kalau ditarik ke sumbu pokok, masalah kita adalah bagaimana mengisi kemerdekaan yang autentik. Setidak nya, nasionalisme dirasakan sebagai kekuatan yang membebaskan (Anthony D Smith, 1994: 3-23). Terkandung di dalamnya semangat membebaskan setiap orang dari segala bentuk hambatan, penindasan, dan keterikatan yang membatasi potensi untuk hidup merdeka. Nah, apakah nasionalisme keindonesiaan telah membebaskan kita, baik secara individu maupun kelompok, dari segala hambatan atau kesulitan untuk hidup merdeka sepenuhnya?
Jawaban atas pertanyaan tak pernah tuntas. Masih ada kelompok agama yang kesulitan beribadah karena rumah doanya diserbu atau dibakar kelompok tertentu yang sering kali bergerak melampaui hukum; yang ‘kewenangannya’ sering membingungkan karena tak diatur dalam konstitusi namun tak pernah dihentikan oleh aparat penegak hukum.

Adegan kekerasan horizontal sudah lazim, tetapi sikap diam aparat hukum dan pemerintah juga sudah lazim. Itu sebabnya, sulit bagi sebagian orang memisahkan kelompok radikal dengan kepentingan politik tertentu. Apalagi, politik terus berubah substansinya dari hal yang berkaitan dengan res publica menjadi sekadar kontestasi kekuasaan pragmatis. Prinsip liar machiavellisme

gandrung diterapkan. Pada ruang berpikir ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa simbol agama yang melekat pada berbagai adegan kekerasan sipil ternyata tak ada irisan langsungnya dengan agama an sich.

Maka dari itu, dalam konteks peringatan kemerdekaan Indonesia, di tengah berbagai masalah yang rumit, kita perlu menyepakati dua hal sebagai

solusi ke depan. Pertama, kepemimpinan politik yang kuat dan kedua, perlunya membangun dan menguatkan imajinasi keindonesiaan di tengah masyarakat yang plural.
Kepemimpinan politik Ketika Soehartoisme masih berkuasa, seluruh elemen sosial dan politik membangun konsolidasi untuk menumbangkan otoritarianisme yang bertahan selama 32 tahun. Rezim ini dilawan karena kepemimpinan politik dinilai tak berpihak lagi pada misi kesejahteraan rakyat. Tapi, apa yang terjadi setelah 1998? Konsolidasi demokrasi tak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
G u i l l e r m o O'Donell dan Phillipe C Schmitter (1986) dalam teori transisi politik klasik mereka mengatakan bahwa transisi akan selalu bersifat temporal dan terukur.
Kita gagal membenarkan tesis ini.
Termasuk juga konsep kedua orang ini tentang konsolidasi demokrasi yang mencakup dua tahap, yakni tahap liberalisasi dan demokratisasi, belum berhasil di Indonesia. Kalau mengacu pada statistik Freedom House di Washington, kita sudah berhasil pada tahap liberalisasi sejak kita dimasukkan dalam daftar 89 negara yang disebut `negara demokrasi liberal' pada tahun 2009 lalu. Akan tetapi, dalam hal demokratisasi itu sendiri kita belum berhasil. Ukurannya adalah institusi yang kuat dan keterjaminan hidup warga negara yang optimal.

Perubahan hanya bisa sukses kalau ada kepemimpinan politik yang kuat.
Suatu kepemimpinan yang berlandaskan pada konstitusi dan bekerja secara total untuk bangsa dan negara secara total dan konstitusional tanpa promiskuitas dengan kepentingan parsial atau dengan kartel politik apa pun di balik layar.
Imaginasi keindonesiaan Perubahan juga bisa terjadi kalau ada integrasi sosial yang kuat di tengah masyarakat yang plural. Pada konteks ini, kita perlu mengingat tesis Benedict Anderson tentang The Imagined Community. Bahwa identitas kebangsaan ditentukan oleh kemampuan seluruh elemen untuk membayangkan diri sebagai satu entitas.

Historisisme Anderson adalah sebuah logika linear yang tentu saja debatable.
Setidaknya, dalam seluruh analisisnya, Anderson tak sempat membayangkan bahwa logika kebangsaan mengikuti gerak kurva Cartesian (x,y). Bahwa kalau kemampuan membayangkan diri sebagai bangsa adalah sebuah gerak +x, maka akan selalu ada kemungkinan gerak itu berbalik menjadi ­x ketika potensi memecah-belah bangsa lebih besar daripada kemampuan memperkuat kesatuan.

Persis ini tantangan kita, bagaimana membangun imajinasi keindonesiaan pada saat kekuatan destruktif makin besar. Harus ada kehendak alamiah dari setiap kelompok berbeda untuk saling menghargai dan saling membutuhkan sehingga konflik bisa diminimalisasi. Selain itu, yang paling utama adalah adanya kepemimpinan politik yang kuat yang bisa menertibkan ruang publik agar selaras selalu dengan konstitusi demokratis.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/18/ArticleHtmls/18_08_2010_026_014.shtml?Mode=0

Merdeka (untuk) Korupsi

Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Kalau skandal-skandal di atas tadi berhasil digelapkan para `politisi hitam' yang bersekongkol dengan makelar hukum, berarti negara ini kian mendekatkan dirinya pada stasiun akhir yang bernama colapse state (negara gagal)."
APA yang bisa diendapkan dari reminisensi peringatan 17 Agustus RI? Sudah 65 tahun merdeka, dan satu dekade reformasi terlampaui, tetapi jiwa rakyat Indonesia masih tersekap dahsyatnya kemiskinan dan keterbelakangan. Cita-cita kemerdekaan yang membebaskan direduksi kegagalan kolektif elite mereakumulasi spirit kejujuran, pengorbanan, dan kerja cerdas sehingga hasilnya: kekuasaan yang hanya memberi makan para koruptor.
Bukan rakyat kecil! Memperingati dirgahayu RI, momentum sakral yang juga dirayakan semarak para koruptor di Indonesia.
Jalan tol korupsi Ibarat jalan tol, negeri ini sudah `dibayar' para koruptor guna meluapkan syahwat `predator'-nya menjarah harta negara tanpa hambatan. Kalau tahun 2007 ada kasus anggota DPR yang mendapat karcis bebas bayar tol, kini kejaksaan, pengadilan, kepolisian, bahkan partai (penguasa) pun ramairamai merebut `karcis tol' korupsi guna melipatgandakan kekuasaan dan kekayaannya. Mirip seruan Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey's end, bagi bangsa pejuang (korupsi) tidak ada stasiun terakhir. Melalui pemberitaan media massa dan TV kita melihat koruptor menancapkan kaki nya dari pusat sampai daerah.

Wabah korupsi di Indonesia kian mengafirmasi teori kejahatan negaranya Green dan Ward (2004) bahwa di dalam negara ada potensi kejahatan. Ini tecermin dalam ketidakmampuan negara menyejahterakan rakyat di mana rakyat menjadi korban substratsi korupsi terutama white-collar-crime (Mustofa, 2010). Padahal Pasal 1 ayat 6 UU No 39/1999 tentang HAM menegaskan kegagalan mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan pelanggaran/kejahatan HAM yang kian memuskilkan terwujudnya salus populi suprema lex.

Cairnya peluru perlawanan korupsi pada aksi fakultatif zero corruption membuktikan impotensi pemerintah menunaikan hak-hak dasar rakyat. Meski tiga tahun silam Presiden SBY mencanangkan reformasi birokrasi dimulai dari Depkeu, BPK, dan MA, lalu di Hari Antikorupsi Internasional (8/12/2009) berjanji me mimpin langsung jihad pemberantasan korupsi, ini pun tak meredupkan predikat kita sebagai bangsa terulung yang membidani lahirnya-­modus--koruptor baru.

Kita mestinya minder dengan pemimpin di China yang berani menghukum mati koruptornya. Pada Maret 2000 misalnya, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi China menghukum mati Hu Chang-ging karena terbukti menerima suap Rp5,1 miliar. Dua tahun kemudian, Li Yushu, Deputi Wali Kota Leshan, satu dari 4.300 warga China yang dieksekusi mati karena suap dan tindakan memperkaya diri.

Sebaliknya, Indonesia sibuk mengumbar citra di dalam dan di luar sebagai negara bersih dan demokratis. Kita lebih bangga dianugerahi komunitas internasional sebagai `juara demokrasi' dalam forum komunitas demokrasi di Krakow, Polandia, belum lama ini `mengalahkan' China yang oleh Hillary Clinton disejajarkan dengan negara yang memiliki pemerintahan tidak toleran (a-demokratis).

Apa artinya citra yang dibumbui proforma, tetapi selalu kehilangan respons berhadapan dengan tentakel korupsi yang menyelinap di institusi hukum, birokrasi dari pusat sampai daerah. Politik kebijakan nirkorupsi pemerintah hanya menjadi dirty bussiness, menanak citra dalam tungku kebohongan sistematis kekuasaan.

Mestinya Presiden SBY meniru Presiden Nigeria Goodluck Jonathan memecat dua pejabat tinggi perusahaan minyak Nigeria milik negara (NNPC) yang dilanda utang Rp45 triliun akibat korupsi. Karena warga mengeluhkan maraknya praktik memperkaya diri pejabat partai dan pemerintahan, sejak 11 Juli lalu pemerintah China mewajibkan para pejabat dan petinggi badan usaha milik negara melaporkan kekayaannya. Sayang di sini, tenggorokan pers, aktivis antikorupsi malah `ditikam' ketika meneriakkan rekening gendut oknum Polri.

Tak kalah ironisnya, ketika para bupati berkeluh soal aparat yang asal main tangkap dalam penanganan dugaan korupsi, di pertemuan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Madiun, Presiden langsung meresponsinya `jangan main tahan, kalau tidak perlu kenapa dilakukan'. `Pembelaan vulgar' ini bisa dipahami dalam intensi menjaga kontinuitas pemerintahan daerah. Tapi problemnya, penguasa dari level pusatdaerah agaknya telanjur menerjemahkan kekuasaan sebagai momentum memelihara egoisme dan tribalitas politik (Felson & Calrke,1998) sehingga proteksi Presiden SBY ini berpeluang dijadikan tameng para bupati/wali kota berkompromi dengan aparat penegak hukum. Maka hari-hari ini kita `menikmati' musim megalomania kejayaan para terduga korupsi di daerah memenangi pilkada seperti di Rembang, Kepulauan Aru, Lampung, dan Bengkulu.

Hobbes (Leviathan: 376) pernah berpremis, secara kodrati manusia (politisi) punya hasrat atau nafsu (appetie) dan keengganan (aversions) yang menuntun perilaku mereka. Appetites berbicara tentang nafsu kekuasaan, kekayaan, kehormatan, sedangkan aversions soal keengganan manusia untuk hidup sengsara dan mati. Dua karakter ini yang memudahkan kita memahami matinya konsolidasi demokrasi pasca-1998. Secara institusional kita mampu mengonsolidasi elemen-elemen progresif, tetapi tidak demikian dengan perilaku. Bahkan Cecep Hidayat, pengamat politik dari Universitas Indonesia mengatakan bangsa Indonesia memerlukan tiga generasi untuk membangun aksentuasi perilaku berdemokrasi yang jujur.
Kenapa harus ada demokrasi?
Saat Herbert Feith mengkritik perkembangan demokrasi liberal di Indonesia tahun 1955: kenapa demokrasi Indonesia gagal? HJ Benda justru membalik pertanyaan, `kenapa harus ada demokrasi di Indonesia?' (Jurdi, 2008).
Persisnya, kenapa harus demokrasi jika rakyat masih menyaksikan politisi kasus berkelit ria dari standar moral dan jeratan hukum di atas cerobong oligarki kekuasaan. Intelektual, kaum agamawan/moralis, kriminolog, pendekar hukum, para aktivis reformasi di negeri ini justru teremajakan dalam aliansi najis yang mentransformasi patologik Orde Baru dari pemilu ke pemilu pasca-1998 lewat perilaku predatorik mereka.

Mestikah niat luhur mereduksi korupsi harus digadaikan di tangan mereka? Kadang-kadang skeptisisme amat kita butuhkan untuk menyediakan sekaligus menjustifi kasi legitimasi sebagai basis upaya perbaikan dari kekurangan yang ada (Akard, 1995).

Persoalannya, bagaimana skeptisisme ini mampu dikonstruksi dalam iktikad yang konstruktif. Di batas ini kita sering kehabisan energi meski lokomotif redemokratisasi harus terus bergerak.

Skandal korupsi yang dimurkakan rakyat tak bisa selesai tanpa disertai tindakan nyata (the secreet of getting things done is to act) pemimpinnya, bahkan sekadar menyalakinya dalam ritusritus politik-kenegaraan. Spirit kemerdekaan hendaknya menyemangati negeri ini untuk bangkit dari romantisme kejayaan semu selama 32 tahun yang nyaris menimbun rakyat Indonesia dalam reruntuhan keterpurukan.

Cukup sudah vandalisme korupsi menguasai kerajaan tontonan (kingdom of spectacle) negara yang memerdekakan para bandit-bandit korup ini.

Presiden sebagai empu (craftmen) pemberantasan korupsi harus berani menciptakan pemerintahan yang bersih. Misalnya, segera membersihkan institusi penegakan hukum terutama kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun parpol dari tabiat korupsi (politik) sebab pada terobosan progresif inilah tersimpan asa 234 juta rakyat akan terwujudnya negara demokratis, adil dan sejahtera. Responsibilitas politik sebagai kepala negara yang berdiri di atas semua kepentingan sejatinya dituntut untuk memperjelas sejauh mana kasus-kasus hukum besar (kriminali sasi pimpinan KPK, Centurygate, kasus Anggodo) ini diproses sehingga kepastian hukum yang didengung-dengungkan dari bilik pencitraan pemerintah bukan prokreasi politik belaka.

Kalau skandal-skandal di atas tadi berhasil digelapkan para ‘politisi hitam’ yang bersekongkol dengan makelar hukum, berarti negara ini kian men dekat kan dirinya pada stasiun akhir yang bernama colapse state (negara gagal). Hawa kemerdekaan pun sirna meninggalkan rakyatnya yang menggigil dalam selimut kemiskinan. It is a nightmare!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/18/ArticleHtmls/18_08_2010_026_015.shtml?Mode=0

Pidato Antikorupsi

Teten Masduki

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2010 di Gedung DPR, Presiden Yudhoyono kembali menegaskan komitmen pemberantasan korupsi sebagai prioritas dalam era yang disebutnya reformasi gelombang kedua.

Ditegaskan, ini merupakan kelanjutan dari reformasi gelombang pertama (1998-2008) yang telah berhasil dilewati melalui program antikorupsi yang telah dilakukan secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, dan tanpa pandang bulu, dengan berbagai rintahan dan resistensi.

Komitmen baru Presiden tersebut ditegaskan ingin jauh lebih efektif dalam membasmi segala bentuk praktik korupsi dari lingkungan birokrasi negara, termasuk praktik kolusi antara pejabat negara dan pengusaha. Disinggung pula pentingnya agenda pemberantasan mafia hukum sebagai landasan mewujudkan konsep keadilan untuk semua.

Kita belum tahu sejauh mana wibawa pidato Presiden itu bisa meyakinkan publik terhadap agenda pemberantasan korupsi yang dalam setahun pertama pemerintahannya tidak cukup membangun optimisme publik, menyusul mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan, rekening gendut jajaran perwira tinggi Polri, mafia hukum, mafia pajak, dan seterusnya.

Kita juga belum tahu sejauh mana pidato Presiden itu bisa membangkitkan semangat jajaran aparat pemerintah untuk menggenjot indeks persepsi korupsi dari skor 2,8 mencapai 5,0 atau setara dengan Malaysia saat ini, seperti dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Untuk sementara waktu barangkali kita harus memandang pidato itu sebagai sebuah peneguhan janji politik baru, boleh percaya boleh tidak, meskipun ini bukan pidato yang pertama kalinya soal antikorupsi.

Tak seindah realisasi

Yang kita khawatirkan, janji politik itu jauh lebih indah dalam bentuk pidatonya ketimbang realisasinya. Sampai saat ini barangkali tidak berlebihan kalau Presiden Yudhoyono yang memiliki dukungan politik mayoritas belum menunjukkan kepemimpinan dan visi yang kuat untuk menggerakkan seluruh perangkat pemerintahan, terutama kejaksaan dan kepolisian, menjadi sarana perang melawan korupsi yang efektif. Presiden sepertinya menghindari konflik untuk membersihkan birokrasi kita dari pejabat-pejabat kotor, sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi selain penyederhanaan kelembagaan dan sistem merit. Bahkan belakangan mulai diadili korupsi yang melibatkan mantan anggota kabinetnya, padahal kita masih ingat janji Yudhoyono yang bertekad memulai pemberantasan korupsi dari lingkungan istana.

Persoalan itu harus diuji betul untuk melanjutkan reformasi birokrasi, dengan menempatkan pegawai negeri sebagai agen perubahan, untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif, transparan dan akuntabel (good governance).

Akhiri persekongkolan?

Ada yang menarik dari pidato Presiden kali ini, yaitu disinggung persoalan kolusi antara pejabat dan pengusaha, yang sudah dibangun sejak era pemerintahan Soeharto dan melahirkan penguasaan sumber daya ekonomi pada segelintir orang, dan kini mereka sedang mencari pola hubungan yang baru yang sesuai dalam situasi fragmentasi kekuasaan politik pascaera demokratisasi.

Ini merupakan isu strategis dalam pemberantasan korupsi, yang boleh kita katakan sebagai mother of corruption di Tanah Air, meskipun bukan fenomena Indonesia saja. Tidak hanya penguasaan sumber daya ekonomi, persekongkolan elite itu juga pengaruhnya luar biasa dalam mendistorsi penegakan hukum dan demokratisasi yang partisipatif.

Dari sini kita bisa memahami bagaimana program pembangunan mass rapid transportation (MRT) sulit direalisasikan, masalah korban lumpur Lapindo terkatung-katung, kredit perbankan publik dikuasai korporasi besar, bahan bakar gas diekspor ketimbang dipakai oleh PLN, dan seterusnya.

Realisasi dari gagasan ini barangkali akan ditentukan oleh sejauh mana para pejabat atau politikus kita berhasil keluar dari masalah pendanaan politik, yang seperti diungkapkan Marcus Mieztner (2007), pada pascareformasi masih berasal dari sumber-sumber korupsi dan dana publik. Lihat fenomena tekanan terhadap dana publik dalam pilkada yang marak belakangan ini.

Kita berharap-harap cemas masalah ini bisa jadi perhatian serius Presiden. Sebab, seperti kata ahli, hambatan utama pemberantasan korupsi di Tanah Air selama ini sesungguhnya permasalahan politik dan tidak ada solusi teknis untuk masalah ini.

Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03051122/pidato.antikorupsi

Di Bawah Bendera Reformasi

Orang tua-tua itu sudah marah! Begitu pesan yang disampaikan Adhie Masardi lewat Polemik Radio Trijaya dengan judul bahasan Merdeka tapi Cemas, Sabtu Minggu lalu (14/8).

Yang dimaksud adalah tokoh Syafii Ma’arif, Franz Magnis Suseno, Salahudin Wahid, dan kawan-kawan. Mereka berkumpul Jumat malam (13/8) di Tebet membicarakan kemerdekaan. Tidak spesifik mengatakan, pemimpin harus mundur tapi kita bisa mengartikan sendiri. Mencermati banyak masalah di negeri ini memang akan memunculkan diskusi-diskusi warung kopi.Namanya juga diskusi tidak resmi,ngomong asal ngebul sah-sah saja.

Makin lama diskusi, pembicaraan bisa jungkir balik. Ada yang masuk akal,banyak juga yang ngawur.Diskusi baru selesai ketika pemilik warung sengaja menjatuhkan nampan seng, breng! Protes tidak langsung karena pengunjung tidak nambahkopi tapi tidak pergipergi. Kesimpulan diskusi, pokoknya, pemimpin harus mundur! Saya tidak berani lebih jauh membahas gagasan pemimpin harus mundur.

Sebab, saya bukan politisi dan tidak paham politik. Saya hanya ingin menulis, setiap tahun menggelar talkshow terkait HUT Kemerdekaan RI, kok, selalu muncul pertanyaan, apakah kita sudah merdeka? Ini seperti pertanyaan ngawur, asal mangap, ironis, gombal! Wong sudah jelas memperingati HUT Kemerdekaan, kok, masih ragu?

Masih Sama

Usai makan sahur pakai sayur lodeh jantung pisang dengan lauk ikan asin, seperti zaman revolusi, iseng saya buka-buka buku warisan orang tua, Dibawah Bendera Revolusi- nya Bung Karno.Sekedar ingin tahu catatan dahulu itu seperti apa? Ternyata, cerita dalam buku tersebut, saya yakin Bung karno tidak bohong, membuat saya melongo.

Bacaan itu memaksa mengingat- ingat tamu-tamu saya pada siang sebelumnya, yaitu Ketua PP Muhamadiyah Din Syamsuddin, Ketua DPD Irman Gusman, Ekonom Faisal Basri, dan Adhie Masardi dari Gerakan Indonesia Bersih. Mereka berdiskusi dan sampai pada kesimpulan bahwa kita belum merdeka seratus persen.

Lho,berarti sebelum kemerdekaan dengan sesudah merdeka sama saja? Simak, dalam artikel berjudul Mencapai Indonesia Merdeka halaman 271 Buku Dibawah Bendera Revolusi,Bung Karno berkisah ada orang gantung diri di Desa Banaran, dekat Tulung Agung.Kutipannya begini:

“Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sekali sering diemiskan nasi pada orang sedesa situ. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia tiada orang yang butuh kuli.Kemarin dulu ia tidak bepergian, Cuma duduk termenung di rumahnya saja, rupa-rupanya sudah putus asa dan bingung mendengar anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati. Gantung diri.”

Kisah tragis tersebut dimuat media Aksi 14 November 1931.Empat belas tahun sebelum Indonesia merdeka. Tapi, setelah 65 tahun merdeka, ternyata, sama! Pekan lalu, tanggal 12 Agustus 2010, lima hari menjelang Hut Kemerdekaan RI,seorang ibu,Khoir Umi Latifah, 25,bunuh diri karena tidak mampu bayar utang Rp20.000 di Buyengan, Klaten,Yogyakarta.

Kejadian semacam ini bukan hanya di Klaten. Banyak! Tidak lama setelah beduk subuh, Koran Seputar Indonesia datang,seperti biasa langsung saya baca. Di halaman pertama, ada berita Kapolri minggat dari acara serah terima jabatan petinggi Polri. Kemudian jadi polemik, karena simpang siur keberadaannya. Petinggi Mabes Polri bilang Kapolri ada tugas luar, tapi staf ahlinya bilang ada di rumah, sakit perut, mulas. Itu berita biasa. Simpang siur informasi dan kebohongan publik di negeri ini kerap terjadi. Katanya ada rekaman, ternyata tidak.

Pokoknya, terkesan negeri dikelola dengan guyon.Yang mengejutkan, ketika hendak menutup koran di halaman belakang ada berita,“Ibu Tega Menjual Bayi Rp300.000”. Itu kejadian di Desa Jengik, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Baiq Suryani, 38, menjual bayinya yang baru dua hari di-lahirkan. Sejatinya, saya bukan terkejut dengan seorang ibu menjual bayi tersebut. Ini juga bukan berita baru.

Banyak berita semacam ini di Indonesia dengan alasan kemiskinan.Yang membuat saya kembali bengong, belum satu jam saya membaca hal yang sama diceritakan Bung Karno dalam bukunya. Pada halaman 272 Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengutip media Siang Po terbitan 23 Januari 1933.Kutipannya begini:

“Di dekat Kota Karawang sudah kejadian barang yang sangat bikin ngenes hati. Ada orang janda namanya Upi,punya anak kecil.Dia punya lelaki barusan mati,sebab sakit keras yang cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya dia punya laki ada sangat melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda kemelaratan rupanya tidak ada bates lagi.Lama-lama Upi sudah jadi putus asa, dan anaknya yang ia cintai itu sudah ia tawarkan sama Tuan LKB di Karawang.Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tidak jawab apa-apa, Cuma menjatuhkan air mata bercucuran.Tuan LKB sangat kasihan sama dia, dan kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang.”

Waktu untuk Memperbaiki

Nekat gantung diri, nekat bakar diri dan berbagai nekat lainnya untuk mengakhiri hidup karena sengsara di negeri gemah ripah loh jinawi ini, boleh jadi dinilai orang sebagai tindakan bodoh.Tapi kalau sudah merasa tidak mampu lagi, maka jalan pintas terpaksa dilakukan. Kita tidak layak menyebut mereka melakukan tindakan bodoh. Memang ada yang masih mampu berpikir “cerdas” tertuang dalam buku Bung Karno tersebut.

Masih sekitar tahun 1932 itu dikisahkan cara sejumlah orang mengatasi kelaparan. Begini kutipannya; “Banyak orang menyamperi pintu bui minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui masih kenyang makan, sedang di luar belum tentu makan.” Tanpa mengesampingkan kemajuan yang ada di Indonesia pada masa sekarang, tetapi kisah di tingkat masyarakat bawah, kaum miskin pada masa sebelum revolusi dan sesudah reformasi ternyata masih relevan.

Kemiskinan mendorong orang mencuri ayam,menjual bayi,bunuh diri pada era reformasi masih kerap terjadi. Ini yang memunculkan pertanyaan,apakah kita sudah merdeka? Bukan hanya pengelolaan negara yang menjadi sorotan tetapi korupsi edan-edanan faktor pencetus kemiskinan.Kadang kita harus bertanya, apakah pemerintah serius atau memang tidak mampu? Kesan negara dikelola seperti perusahaan angkot menjadi sangat nyata.

Bayangkan,tiba-tiba muncul seorang Gayus, anggaplah sebelumnya hanya orang biasa,mendadak punya apartemen, mobil mewah, tabungan miliaran, pelesiran tiap minggu ke luar negeri. Para “Gayus” makin kaya raya, tapi negaranya–kalau kita ibaratkan angkot pengangkut rakyat miskin yang disusun mirip ikan pindang itu–makin terseok-seok, makin rombeng. Kalau direm, itu angkot, baru berhenti di tiang listrik karena tidak ada dana untuk ganti onderdil.

Lucunya, Gayus yang tampak lugu dengan mata melolok itu mengaku terima uang dan uangnya pun ada, tapi yang kasih uang mirip hantu, tidak ada. Betulbetul kacau! Kita memang tidak harus selalu sinis kepada pemerintah dan pemimpinnya. Kita wajib mendoakan.Doa kan juga bermacam bentuknya. Meminjam doa yang sering diucapkan musisi jazz, almarhum Bill Saragih, kepada penonton yang tidak memberikan tepuk tangan. Semoga diberikan kelancaran dalam memimpin dan masuk surga kepada mereka yang melindungi rakyat,bekerja sesuai amanah.

Semoga kembali ke jalan yang benar kepada pemimpin yang menyengsarakan rakyat. Pemimpin yang membuat rakyat selalu cemas walau hidup di alam merdeka harus segera disadarkan sebelum wafat. Sebab, kalau sudah keburu ke alam baka, susah melacak hasil korupsinya. Walau tiba-tiba anak cucunya kaya raya tanpa kerja, tetap susah dibuktikan. Indonesia sudah 65 tahun merdeka dan berada dalam orde reformasi. Kecemasan masih ada dan tidak mengenal tempat serta waktu.

Di udara,naik pesawat tidak ada jaminan bisa mendarat tepat. Di laut, faktanya, anggota DPR yang punya wewenang bikin aturan tewas karena kapalnya melanggar aturan, tanpa pelampung. Yang naik kapal juga nekat. Di darat, tabung gas meleduk. Begitulah Indonesia di bawah bendera reformasi. Dirgahayu negeriku!(*)

Eddy Koko
Praktisi Media

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345357/

Kemerdekaan Ekonomi RI Ada di Tangan Kita Sendiri

Setelah 65 tahun merdeka,masih banyak orang meragukan bahwa ekonomi Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan atau kemandirian ekonomi Indonesia dikatakan sudah sirna dan bahkan tergadaikan.

Pengelolaan ekonomi Indonesia dikatakan masih dijajah oleh negara lain atau sekelompok negara lain atau ideologi lain. Banyak cabang-cabang ekonomi Indonesia juga sudah dikuasai asing dan perusahaan multinasional sehingga kita tidak berdaya mengaturnya. Pasar modal dikuasai oleh investor asing yang pada umumnya mementingkan keuntungan jangka pendek semata.

Perbankan sudah dikuasai asing sehingga banyak dana dalam negeri mengalir keluar. Harga produk ekspor Indonesia diatur oleh pembeli di luar negeri dan menguntungkan importir di luar negeri.Indonesia sudah kebanjiran buah-buahan, elektronik,dan pakaian jadi impor.Banyak produkproduk asli Indonesia yang sudah dipatenkan di luar negeri, dan seterusnya dan seterusnya.

Ekonomi yang Merdeka

Kemerdekaan ekonomi atau kemandirian ekonomi dapat diartikan bahwa pengelolaan ekonomi atau unit usaha betul-betul diserahkan kepada kemampuan sendiri, tidak diintervensi apalagi diserahkan pada pihak lain.Kalau itu definisinya, maka sejatinya saya masih yakin bahwa Indonesia telah merdeka secara ekonomi.Saya punya tiga alasan mengapa berkesimpulan demikian.

Pertama, perencanaan ekonomi kita saat ini telah dibuat oleh bangsa Indonesia yang diinisiasi oleh pemerintah pusat dan daerah. Pengelolaan ekonomi telah didisain sendiri,kemudian disahkan sendiri, dilaksanakan sendiri, dan diawasi sendiri melalui sistem pemerintahan yang modern dan demokratis. Pengaturan kepemilikan atas aset-aset dan cabang produksi strategis sudah banyak yang diatur dengan mengedepankan aspek nasional.

Harga-harga kebutuhan pokok tetap diatur oleh negara sehingga tidak merugikan rakyatnya sendiri.Kontrak-kontrak baru dengan investor asing, khususnya kontrak pertambangan yang dulunya melalui kontrak privat, sekarang sudah menggunakan dasar UU yang disahkan oleh DPR-RI dan tunduk pada aturan dalam negeri. Kedua, memangpada1999–2004, pengelolaan ekonomi Indonesia berada dalam kendali IMF.

Tetapi, sejak dilunasinya semua pinjaman kepada pihak IMF dan juga pembubaran Consultative Group on Indonesia (CGI), maka tidak ada lagi campur tangan IMF ataupun lembaga multilateral dan bilateral dalam mengurus ekonomi kita. Meski demikian, pengaruh dari program IMF pada pengelolaan ekonomi Indonesia,misalnya dampak dari program rekapitalisasi perbankan dan BLBI pada menggelembungnya utang Indonesia telah berakibat jangka panjang.

Sehingga,mau tak mau hingga saat ini ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh program yang didisain oleh IMF. Siapa pun pemerintah yang menjabat pada masa pascaprogram IMF harus menelan pil pahit akibatnya dan tetap harus melanjutkannya hingga tuntas,suka atau tidak suka terhadap program tersebut. Kesan ini juga telah memberikan kesimpulan tidak adanya kemandirian ekonomi Indonesia saat ini. Ketiga,dalam era di mana kerja sama ekonomi antarnegara secara bilateral,regional,dan global yang dilakukan untuk mengatasi masalah bersama,maka sebagian pengelolaan ekonomi memang harus didisain bersama.

Tujuannya adalah agar kerja sama tersebut menguntungkan kedua belah pihak ataupun secara regional dan global. Indonesia melakukan kerja sama kemitraan dengan Jepang (EPA), negara-negara ASEAN telah bersepakat untuk melakukan kerja sama regional 2015 belum tentu memberikan keuntungan maksimal bagi Indonesia.Dampak kesepakatan perdagangan ASEAN dengan China (ACFTA) dan ASEAN dengan Korea (AKFTA) tentu ada pihak yang dirugikan dan ada pula yang diuntungkan namun secara nasional telah terjadi winwin.

Indonesia juga melakukan kerja sama dengan ASEAN dan mitranya plus tiga (China, Jepang, dan Korea) dalam pencegahan krisis tertentu. Kerja sama tersebut dalam beberapa hal mengurangi derajat kemandirian kita tetapi tetap diperlukan karena ukuran potensi krisis dapat terjadi di luar kemampuan satu negara saja untuk mengatasinya.

Negara-negara G20, di mana Indonesia menjadi anggota aktif, menyepakati beberapa langkah global untuk melakukan pemulihan dan stabilisasi perekonomian global. Ini juga menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun, termasuk AS, Uni Eropa, China, dan Jepang yang mampu mengelola ekonominya sendiri.

Memanfaatkan Kemerdekaan Ekonomi

Akhirnya kemerdekaan ekonomi harus diterjemahkan lebih luas dari sekedar kepentingan keterlibatan unsur nasional dalam pengelolaan ekonomi. Pengelolaan ekonomi dapat dikatakan merdeka apabila disusun sendiri dengan mengingat konstelasi global dan bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sendiri.

Sekali lagi saya sungguh yakin bahwa SDM kita mampu untuk berikhtiar memerdekakan ekonomi kita, dan kita belum terlambat untuk mengemban amanat rakyat demi kepentingan nasional yang mandiri di atas kepentingan atau intervensi pihak luar. Kemerdekaan ekonomi sungguh ada di tangan kita sebagai bangsa, pemerintah, DPR, LSM, media, akademisi.Dan kembali kepada kitalah arah perkembangan ekonomi yang maju dan mandiri,bebas dari intervensi. Merdeka...!(*)

Anggito Abimanyu
Dosen FEB-UGM,
Yogyakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345350/

Kemerdekaan dan Nestapa Rakyat Miskin

Bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada pedagang kaki lima di mana tempat berjualannya digusur semenamena, atau warungnya dirobohkan paksa di depan mata penghuninya, di sela-sela teriakan dan tangisan, maka kemerdekaan merupakan omong kosong.

Begitu pula bila ditanyakan kepada para buruh yang ditipu oleh majikannya, dan pemerintah yang diminta untuk membela tak bisa berbuat apapun, kemerdekaan hanyalah fakta sejarah. Kemerdekaan tidak berhasil menjiwai perikehidupan masyarakat karena ia hanya berhenti sebagai fakta sejarah formal.Kemerdekaan adalah cerita masa lalu dan tidak terlalu berkaitan dengan masa kini.

Keharuan maupun keceriaan di dalam berbagai perlombaan, pemutaran film, upacara pengibaran bendera, kerja bakti memerahputihkan kampung seringkali hanya merupakan seremoni agustusan. Rutinitas yang mencoba memaknai heroisme. Makna kemerdekaan itu terasa begitu sempit bila hanya merasa merdeka dari penjajah pada 17 Agustus 1945. Seolah-olah setelah kemerdekaan itu kita tak lagi memiliki musuh bersama,atau tak ada lagi yang bisa kita jadikan sebagai musuh bersama.

Padahal seiring dengan perubahan era, masih banyak musuh yang harus dihadapi bersama. Menengok kehidupan masyarakat yang kian sengsara di dalam bangsa yang merasa merdeka ini, sudah sepatutnya evaluasi dan koreksi diri.Kemerdekaan bukanlah sekedar upacara di tanah lapang, melainkan memberikan kelapangan yang luas kepada segenap rakyat untuk mengisi kemerdekaan ini tanpa gangguan. Keadilan yang kian hari kian melepuh ibaratnya api dalam sekam.

Ketidakadilan merupakan musuh yang terus-menerus menggerogoti jiwa kemerdekaan 1945. Siapakah tidak khawatir bila jiwa kemerdekaan 1945 suatu ketika akan runtuh karena kesadaran elite untuk bersikap adil terhadap rakyatnya tergerus oleh sikap egois, cinta kekuasaan, dan nafsu serakah golongan. Tanpa meremehkan arti kemerdekaan 1945,inilah fakta kehidupan bangsa ini sepanjang merdeka.

Dialektika ”mengisi kemerdekaan” selama 66 tahun itu seringkali berisi pepesan kosong bagi kaum miskin papa.Mereka seolah bukan pribadi yang berhak menikmati kemerdekaan ini. Para pahlawan yang telah gigih berjuang di masa lalu sudah tentu tak pernah membayangkan kehidupan anak yang kesulitan untuk mengakses pendidikan.

Faktanya, berapa juta anak-anak kita yang justru merasa sengsara karena harus berpendidikan,atau bahkan lebih sengsara karena sulitnya berpendidikan? Para elite bangsa ini harus bertanggungjawab atas berbagai permasalahan yang menyangkut nestapa kehidupan rakyat di masa kemerdekaan ini.

Mereka telah banyak memperlakukan negara dan kekuasaan bukan untuk membuktikan kesungguhan kemerdekaan 1945, melainkan meremehkannya dengan cara berbuat tidak adil dan menghambat kreativitas masyarakat. Para elite bangsa yang tidak merasa keliru mengelola negara ini, dengan menghamba pada neoimperialisme asing maupun utang luar negeri, sudah saatnya menyadari dampak yang semakin parah dari ketidaksiapan bangsa ini menghadapi globalisasi.

Kita nyaris tidak memiliki nilai tawar di mata internasional. Bahkan lebih buruk, pembangunan yang telah dijalankan sepanjang masa ini sebagian besar sudah jelas diperuntukkan siapa,ialah untuk kepentingan orang kaya dan penguasa semata. Masyarakat miskin tetap menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite-elite kekuasaan.Kemiskinannya bahkan menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk keuntungan tertentu.

Ini semua dilakukan dalam situasi dan kondisi yang disebut merdeka ini. Merdeka bermakna bebas dari penjajahan, siapapun penjajah itu, secara fisik maupun mental. Merdeka bukan hanya bebas dari penjajah di suatu periode tertentu. Merdeka bermakna kolektif, di mana kemerdekaan kolektif menjadi cerminan dari kemerdekaan individual.Bukan sebaliknya.

Kaum miskin butuh hak untuk menikmati kemerdekaan.Kemerdekaan bukan hanya milik elite politik dan orang kaya saja.Kemerdekaan yang terjadi saat ini masih belum merata.Tidak semua jiwajiwa yang hidup di tanah air ini bisa menikmati kemerdekaan dalam arti sesungguhnya. Semakin tua umur kemerdekaan bangsa ini sudah sepatutnya melahirkan sebuah bangsa dengan elite yang lebih bijak.

Semakin tua umur kemerdekaan sudah sewajarnya menambah kedewasaan berpikir, merasa dan bertindak. Kemerdekaan 1945 memiliki makna yang teramat dalam bagi sebuah pembebasan umat manusia dari belenggu.Ketidakadilan ekonomi, agama, sosial, budaya dan politik adalah bentuk ketidakmerdekaan. Membiarkan ketidakadilan terus berkembang menghiasi bumi pertiwi sama saja dengan membiarkan pengkhianatan terhadap arti kemerdekaan.(*)

Benny Susetyo
Sekretaris Eksekutif
Komisi HAK KWI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345348/

RAPBN 2011 Tanpa Reorientasi Kebijakan

Selain menyampaikan Pidato Kenegaraan menyambut Hari Kemerdekaan Ke-65 RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah memberikan penjelasan singkat sebagai Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011.

Seperti biasa temanteman media meminta saya untuk menganalisis dan mengomentari target-target makroekonomi yang telah disampaikan Presiden. Saya sebenarnya kurang nyaman bila hanya memberikan tanggapan atas besaran-besaran makroekonomi seperti misalnya target pertumbuhan ekonomi,nilai tukar dan inflasi, yang ditetapkan dalam Nota Keuangan. Alasannya tentu karena angka-angka tersebut hanyalah target antara bukan ukuran keberhasilan yang sebenarnya.

Pencapaian angka target-target RAPBN tidak otomatis menggambarkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Bisa jadi target pertumbuhan ekonomi tercapai,tapi dengan kualitas pertumbuhan yang rendah. Pada Kabinet Indonesia Bersatu I, pertumbuhan ekonomi terus terjaga, tapi pertumbuhan tiga sektor yang menyediakan lapangan kerja terbesar, yakni pertanian, perindustrian, dan pertambangan melambat.

Bahkan terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan dari ketiga sektor tersebut. Fakta ini dapat memberikan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi belum tentu memberikan peningkatan kesejahteraan yang sama bagi sebagian besar masyarakat karena lebih dari separuh penduduk bekerja di tiga sektor tersebut. Sangat mungkin target nilai tukar rupiah dalam RAPBN berhasil dicapai dan cadangan devisa dapat terus ditingkatkan.

Penguatan nilai tukar dicapai bukan karena perbaikan daya saing ekspor dan peningkatan daya tarik investasi. Sebaliknya, penguatan nilai tukar dan penumpukan cadangan devisa justru lebih didorong oleh banjirnya dana-dana jangka pendek. Penyebabnya tentu pilihan pemerintah untuk membiayai APBN dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) dengan imbal hasil sangat tinggi atau suku bunga SBI terus dipertahankan tinggi. Artinya, bisa jadi target tercapai, tapi bukan berarti prestasi dalam pengelolaan kebijakan ekonomi. Kebijakan tersebut akhirnya justru menghambat swasta dalam mencari pembiayaan.

Tidak Menjawab Masalah

Target pertumbuhan penerimaan negara dalam RAPBN 2011 sebesar 9,5%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan belanja yang hanya 6,7%, merupakan isu yang menarik untuk dikomentari.Demikian juga prioritas alokasi anggaran yang sangat besar pada Kementerian Pekerjaan Umum, ESDM, Keuangan dan Pertanian. Walau begitu, sejatinya tidak ada yang istimewa dari angka-angka tersebut karena besarnya alokasi belanja dan pendapatan negara hanyalah terjemahan dari arah kebijakan yang akan dipilih pemerintah.

Artinya,yang lebih penting dan ingin diketahui oleh masyarakat adalah alasan di balik angkaangka pada RAPBN 2011 tersebut. Bila masyarakat yakin dengan arah kebijakan yang direncanakan pemerintah dan diyakini dapat menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi, maka akan tumbuh optimisme terhadap kebijakan dan rencana anggaran yang diajukan pemerintah.

Sebaliknya, bila masyarakat tidak yakin dengan pemaparan rencana kebijakan pemerintah yang disampaikan dalam pidato, angkaangka dalam RAPBN tersebut tidak akan memiliki makna karena tidak dapat mengerek optimisme masyarakat. Sebagai contoh, sudah lama masyarakat resah dengan deindustrialisasi yang terjadi sejak 2004. Turunnya daya saing industri nasional akibat meningkatnya biaya produksi telah mempercepat deindustrialisasi.

Telah sering didiskusikan bahwa lemahnya dukungan kebijakan energi bagi industri dalam negeri telah menjadi penyebab utama naiknya biaya energi dan menyebabkan turunnya daya saing. Pada pidato Pengantar Nota Keuangan Presiden SBY menyebutkan bahwa pada Tahun Anggaran 2011 Kementerian ESDM akan dijadikan sektor prioritas.

Tentu masyarakat akan sangat berharap ada pernyataan dari Presiden bahwa pemerintah tidak hanya memberikan alokasi anggaran yang besar pada Kementerian ESDM, tapi juga akan melakukan reorientasi kebijakan energi dengan memutuskan prioritas pemanfaatan sumber daya alam energi bagi kepentingan industri nasional. Sayang, SBY sama sekali tidak menyinggung masalah yang sangat penting ini.

Contoh lain, masyarakat saat ini sangat resah dengan gejolak harga pangan yang terus terjadi. Sejak peran pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga pangan strategis dikebiri pada 1998 dengan Letter of IntentIMF,masyarakat terus menghadapi beban kenaikan harga pangan yang tidak sebanding dengan peningkatan daya belinya.Dengan menyerahkan harga pangan pada mekanisme pasar, instrumen stabilisasi harga pangan saat ini hanya mengandalkan operasi pasar dan PPN ditanggung pemerintah untuk beberapa komoditas terbatas.

Nyatanya strategi ini pun terbukti tidak efektif. Masyarakat tentu menunggu terobosan kebijakan apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah gejolak pangan yang sangat sensitif bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia karena separuhnya masih terkategori miskin dan mendekati miskin.Namun, dalam Pidato Kenegaraan maupun Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 Presiden SBY sama sekali tidak menyampaikan sedikit pun tentang solusi kebijakan yang akan dilakukan untuk menghentikan gejolak harga pangan.

DepartemenPertanianmemang menjadi salah satu yang mendapat prioritas alokasi anggaran pada RAPBN 2011.Itu pun tidak cukup, stabilisasi harga pangan memerlukan reorientasi kebijakan yang saat ini cenderung hands-off menjadi kebijakan dengan pendekatan hands-on,baik dalam produksi,distribusi, peran lembaga penyangga pangan,dll. Memang Nota Keuangan bukan rencana kebijakan dan program detail.

Tapi yang paling penting dalam Pengantar RAPBN adalah pemaparan orientasi strategi dan kebijakan pemerintah yang akan dilakukan pada tahun anggaran yang akan datang, bukan pada detail angka-angka alokasi anggaran sebagaimana fokus pidato Presiden selama ini.

Dalam pidato kita memang tidak mendapatkan jawaban tentang reorientasi kebijakan yang akan dilakukan oleh kabinet SBY untuk menyelesaikan berbagai masalah yang bersifat mendasar,tapi belum terlambat. Bola telah berpindah. Menjadi tanggung jawab DPR dan DPD untuk memberikan masukan dan dorongan bagi kabinet SBY untuk melakukan perubahan orientasi kebijakan pada saat melakukan pembahasan RAPBN 2011.(*)

Hendri Saparini
Ekonom Econit

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345349/

Pidato Kegalauan Presiden

CUKUP lama saya merenung untuk memberi penilaian terhadap Pidato Kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (16/8).

Saya kurang tertarik dengan pernyataan-pernyataan normatif seperti yang sudah sering kita dengar. Saya juga sudah terbiasa dengan retorika yang disampaikan Presiden. Saya justru lebih tertarik dengan apa yang disebut pada bagian akhir pidato tersebut, ketika Presiden menyampaikan,“Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mari kita sikapi hasilhasil pembangunan secara lebih wajar dan proporsional. Memang masih banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, namun sesungguhnya telah banyak pula prestasi pembangunan yang berhasil kita raih.”

Tak pelak, kesan bahwa Presiden sedang berusaha “membela diri” menjadi menonjol.Benar, sebuah pidato harus mampu membangkitkan semangat dan optimisme, sehingga capaian perlu lebih ditonjolkan ketimbang catatan kelam. Mudah pula dipahami apabila sebuah pidato memenuhi tuntutan untuk mengulang-ulang prinsip dan jargon yang sifatnya normatif. Namun, pilihan kata yang digunakan menunjukkan bahwa Presiden sedang resah, sedang mengalami kegalauan.

Bagaimana tidak? Pidato disampaikan Presiden di tengah persoalan bangsa yang begitu menekan dari segala arah.Ada persoalan mafia hukum yang tak kunjung tuntas,teror elpiji,kenaikan harga pangan,koordinasi dan sinergi antarsektor dan antardaerah yang lemah, ancaman terorisme dan ekstremisme, dan seterusnya. Belum hilang pusing, sarasehan para ekonom terkemuka membuat kesimpulan mengagetkan bahwa ekonomi sedang kehilangan arah, sedang mengalami krisis kebijakan,sehingga pembangunan berjalan tanpa roh, tanpa keberpihakan yang jelas dan tegas kepada rakyat (5/7/10).

Kritik Megawati Soekarnoputri,yang menilai tata kelola negara kacau-balau (4/8/10), memperkuat intensitas kegalauan Presiden. Hasratmembeladiridapatmembahayakan logika dan keruntutan pemaparan.Presiden menyatakan era reformasi telah memasuki Reformasi Gelombang Kedua yang memiliki aspek ganda yaitu perubahan dan kesinambungan (change and continuity). Perubahan paling hakiki yang diharapkan adalah perubahan cara pandang (mind-set).

Tanpa perubahan ini kita tidak akan mampu mengatasi tantangan yang begitu berat di hadapan kita.Sayang, perubahan cara pandang seperti apa yang dibutuhkan ke depan tidak disampaikan dalam pidato tersebut. Bahkan Presiden seperti sengaja menghindar dari persoalanpersoalan sensitif yang selama ini banyak kita rasakan, seperti tingkat ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat yang kian melebar, penggunaan tolok ukur kemiskinan dan pengangguran yang begitu lunak dan longgar,

persoalan birokrasi negara yang bermetamorfosis menjadi penyebab utama ekonomi biaya tinggi (kleptokrasi), ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindak tegas aksi premanisme atas nama agama, menipisnya modal sosial sebagai akibat wabah keserakahan yang semakin hari semakin dilembagakan (infectious greed), dan kesalahan manajemen sumber daya alam yang membuat negara dalam posisi dirugikan.

Tidak pula dijelaskan apakah perubahan cara pandang juga terkait dengan perubahan paradigma pembangunan? Presiden hanya menegaskan,tujuan Reformasi Gelombang Kedua bukan untuk mengubah haluan, melainkan untuk mempertegas haluan.Bagaimana dengan haluan pembangunan yang selama ini terlalu menekankan pada utang (debt-led development) dan eksploitasi sumber daya alam?

Apakah strategi industrialisasi hulu sampai hilir yang terintegrasi, yang mensyaratkan kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (domestic market obligation) dalam mata rantai proses produksi, tidak perlu dijadikan prioritas? Presiden menyebut hakikat kemerdekaan sebagai penentuan nasib bangsa berada di tangan kita sendiri. Bila demikian, mengapa amanat konstitusi dalam pengelolaan ekonomi tidak menjadi fokus dan prioritas kita?

Mengapa ada gejala, setiap kita mengingatkan hal-hal mendasar seperti yang diharapkan para pendiri bangsa, kita justru dianggap romantis dan nostalgis? Bukankah sesungguhnya kita mulai takut dengan otentisitas kita sendiri dan menilai apa yang dari luar selalu superior? Dalam Pidato tentang Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara 2011 di depan DPR, Presiden melihat arti penting intervensi langsung negara untuk memastikan agar manfaat pembangunan mengalir, tidak hanya menetes, kepada rakyat.

Tapi Presiden tidak menyinggung mengapa perbankan nasional begitu sulit menurunkan suku bunga kredit, sehingga melahirkan rentenirisasi ekonomi dan ekonomi pengisapan ke atas (trickle-up economy). Hal yang justru mengentak adalah pidato pengantar yang disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie. Marzuki menyinggung hal-hal yang selama ini terasa melilit kehidupan bangsa seperti persoalan kemiskinan struktural, kekhawatiran kemunculan kantong-kantong kemiskinan baru dalam proses pemekaran wilayah,hukum yang belum bisa menjadi ”panglima”,

wabah korupsi yang menjalar ke daerah-daerah, dan kekhawatiran tidak tercapainya sasaran-sasaran tujuan pembangunan milenium (millenium development goalsatau MDGs). Isi sebuah pidato tentu bukan sekadar persoalan selera. Kalau hanya soal selera,berlaku apa yang dikatakan Becker dan Stigler (1977),de gustibus non est disputandum (tak ada perdebatan sepanjang soal selera).Tapi memang benar, perubahan riil dan perubahan cara pandang tak bisa lahir hanya dari sebuah upacara pidato.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D
Pengamat Ekonomi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345358/

OTONOMI DAERAH, BERKAH ATAU BENCANA

Farid Gaban, PENGGIAT EKSPEDISI ZAMRUD KHATULISTIWA

Jika Indonesia terlalu luas dan beragam untuk bisa dikelola secara tersentral dari Jakarta seperti pada zaman Orde Baru, benarkah otonomi daerah, yang mengemuka sejak Reformasi, merupakan solusi bagi negeri ini? Itulah salah satu pertanyaan yang ingin saya cari jawabannya dari perjalanan setahun saya keliling Indonesia (Juni 2009Juni 2010), Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, mengunjungi sekitar 80 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Dari pulau ke pulau, kabupaten ke kabupaten, saya menyaksikan antusiasme besar kampanye pemilihan langsung gubernur, bupati, dan wali kota. Itu sesungguhnya merupakan penanda paling menonjol gairah akan otonomi daerah, bahwa kini warga di tingkat kabupaten pun tak perlu hanya mengandalkan Jakarta untuk berbuat dan memikirkan sesuatu.

Poster kampanye kandidat dan partai, lengkap dengan janji-janji, mewarnai jalanan, bahkan laut. Di Selayar, Sulawesi Selatan, misalnya, saya melihat poster besar di sebuah pulau kecil tanpa penghuni menawarkan wajah kandidat bupati.

Namun, di tengah “pesta-pora politik lokal”itu, saya juga masih banyak mendengar ketidakpuasan. Di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, misalnya, masyarakat daerah selatan masih merasa tidak diperhatikan sehingga ada pemikiran untuk memecah kabupaten baru itu menjadi dua, Kepulauan Banggai Utara dan Selatan. Padahal Kabupaten Banggai kepulauan baru beberapa tahun terakhir me

misahkan diri dari Kabupaten Banggai daratan.

Di Maluku Selatan terjadi pemecahan kabupaten beruntun dalam beberapa tahun terakhir. Tak hanya terpecah dengan munculnya Kabupaten Maluku Tenggara, tapi kini muncul Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya.

Di samping motif ekonomi, geografis, dan aspirasi politik, pemecahan wilayah diilhami oleh perbedaan budaya dan bahasa. Ini mengingatkan saya pada kecenderungan sama di pulau-pulau besar, termasuk Jawa. Provinsi Jawa Barat kini telah terpecah dengan munculnya Banten, namun ternyata tidak cukup. Belakangan, muncul aspirasi baru untuk pembentukan Provinsi Cirebon, yang berisikan Kabupaten Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Majalengka.

Fakta bahwa pemecahan daerah tidak efektif sehingga diperlukan pemecahan lebih jauh lagi hingga ke wilayah lebih kecil menunjukkan bukti bahwa argumen “otonomi daerah”selama ini sering kali hanya menyembunyikan motif tersembunyi: egoisme politikus elite lokal. Kabupaten baru hanya berarti pembangunan kompleks kantor baru, fasilitas baru bagi elite politik lokal, dan infrastruktur baru lain yang fisik sifatnya dan mudah dikorup, ketimbang menegakkan manajemen substansial dalam “mengelola wilayah sendiri”—alasan awal otonomi daerah.

Motif egosentris itu diperburuk oleh dua hal. Pertama, tradisi politik rusak di tingkat nasional yang makin menonjol


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/08/18/ArticleHtmls/18_08_2010_336_004.shtml?Mode=1

Merdeka Tapi Tetap Sengsara

Catatan Agus Pambagio

Agus Pambagio - detikNews

Jakarta - Tepat pada tanggal 17 Agustus 2010 kemarin Republik Indonesia genap berusia 65 tahun. Kalau manusia usia 65 tahun sudah termasuk dalam kelompok purna karya dan manula. Dalam sistem ekonomi usia 65 tahun merupakan usia sudah tidak menguntungkan atau istilah kerennya sudah masuk ke kelompok cost center.

Kalau Negara, tentunya usia 65 tahun memang masih tergolong sangat muda dan belum dianggap dewasa. Amerika Serikat saja yang sudah merdeka selama 234 tahun memerlukan ratusan tahun untuk bisa seperti saat ini. Apakah memang harus demikian lama bangsa kita merdeka baru kita bisa makmur seperti bangsa-bangsa lain?

Tentunya, pendek atau panjangnya usia kemerdekaan suatu bangsa tidak bisa dipakai sebagai acuan tingkat kesejahteraan bangsa tersebut. Namun paling tidak ada peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyatnya, bukan hanya bagi segelintir elitnya. Jangankan kesejahteraan rakyat diperhatikan, yang ada penderitaan demi penderitaan muncul silih berganti.

Semakin sulitnya hidup di Indonesia bagi sebagian besar rakyat karena minimnya lapangan pekerjaan, kecuali di sektor informal. Lapangan pekerjaan sunyi senyap akibat terhambatnya pembangunan infrastruktur karena ketidakmampuan Negara melawan calo tanah serta stagnannya ketersediaan ketenagalistrikan akibat tidak jelasnya kebijakan energi primer Pemerintah.

Selain rakyat dibiarkan berharap akibat tidak jelasnya tiga persoalan besar di atas, masih ditambah penderitaannya dengan terus meledaknya gas subsidi yang berasal dari tabung 3 kg, meningkatnya harga kebutuhan pokok termasuk cabai, semakin mahalnya harga listrik, buruknya kualitas bensin bersubsidi (Premium), penggusuran, mahalnya biaya kesehatan, sulit dan mahalnya air bersih, banjir dan sebagainya.

Akar Permasalahan

Akar permasalahan selama ini sebenarnya kalau dilihat dari sudut kaca mata awam, sangat sederhana tetapi ketika masuk pada wilayah politik dengan jumlah partai sebanyak 44 dan tumbuhnya ormas-ormas yang tersebar di seluruh Indonesia akibat minimnya lapangan pekerjaan, membuat sebuah persoalan menjadi sulit dipecahkan. Apalagi ketika saat ini Indonesia juga sedang miskin kepemimpinan.

Kasus ledakan gas LPG bersubsidi sampai tulisan ini dibuat belum ada langkah pasti dan tegas dari Pemerintah, selain hanya rapat dan rapat. Ledakan masih terus berlangsung dan korban terus bergelimpangan karena ada lebih dari 45 juta tabung telah beredar di masyarakat. Seperti biasa Pemerintah lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada operator penyalur gas LPG, yaitu Pertamina.

Bagaimana Pertamina dapat memikirkan keberlangsungan bisnisnya dengan baik dan bersaing, misalnya dengan Petronas jika mereka disibukkan dengan penanganan ledakan LPG bersubsidi. Sementara Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian ESDM tidak melakukan langkah-langkah konkret. Kebijakan konversi gas bersubsidi ini dibuat selain tanpa ada penelitian yang lengkap secara ekonomi, sosial dan budaya juga tidak dilengkapi dengan pos anggaran di APBN untuk sosialisasi.

Dampak negatifnya bagi Pertamina banyak, selain pusing harus menangani kerusakan yang terjadi juga harus mengeluarkan biaya yang tidak pernah dibahas dalam Rencana Kebutuhan Anggaran Perusahaan (RKAP). Patut diduga Direksi yang ada sekarang harus mempertangungjawabkan penggunaan dana korporasi di luar RKAP ke KPK dengan tuduhan korupsi.

Selagi belum ada kebijakan tentang Domestic Market Obligation (DMO) untuk gas dan batubara sebesar minimal 35% dan dijual dengan harga ekspor terendah, jangan harap ketenagalistrikan Indonesia akan tumbuh dan terjangkau oleh rakyat. Yang ada Pemerintah selalu membebani rakyat dengan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) ketika subsidi membengkak. Belum lagi program percepatan listrik 10.000 MW tahap I yang tak kunjung selesai.

Tanpa kebijakan DMO gas dan batubara yang tegas, jangan pernah bermimpi ketenagalistrikan di Indonesia akan mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Patut diduga jika Pemerintah Indonesia masih mengakomodasi pemilik kilang BBM di Singapura dan pedagang BBM Indonesia, selama itu pula Indonesia akan tergantung suplai BBM-nya dari Singapura. Bayangkan Negara pemilik kilang bisa mengatur Negara pemilik sumber migas. Apa ini yang namanya kemerdekaan?

Menjelang lebaran semua harga bahan kebutuhan pokok merangkak naik, namun tidak ada langkah nyata dari Pemerintah selain melakukan operasi pasar. Dari zaman Orde Baru sampai sekarang pendekatan untuk menanggulangi kenaikan harga-harga selalu operasi pasar, tidak ada yang lain. Mengapa tidak pernah dilakukan penindakan pungutan liar di jalan raya yang jumlahnya triliunan, mengapa tidak diberantas para tengkulak yang merugikan banyak petani dan pada akhirnya merugikan rakyat karena membuat harga harga komoditas terus naik.

Langkah Konkret

Supaya rakyat bisa menikmati kemerdekaan yang sudah berusia 65 tahun ini, ada baiknya Pemerintah segera melakukan beberapa langkah berikut. Pertama, untuk menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan di atas, upayakan perbaikan di sisi koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Daerah serta antar intansi Pemerintah. Di negara ini yang paling sulit adalah koordinasi. Untuk koordinasi yang baik kita perlu pemimpin yang kuat, tegas dan berorientasi aksi bukan hanya wacana dan pencitraan.

Kedua, tegakkan pelaksanaan hukum di semua lini. Tanpa pelaksanaan hukum yang kuat dan tegas segala penyimpangan sulit ditindak dan akibatnya membuat preseden tidak baik dan merugikan rakyat. Dengan pelaksanaan hukum yang baik, pungli di semua lini akan hilang dan harga komoditi bisa ditekan.

Ketiga, segera reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, terutama Kementerian yang tidak banyak membantu Presiden dalam mengurus publik, misalnya Kementrian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Negara Kominfo, Kementerian Negara Koperasi dan sebagainya.

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).

(nrl/nrl)

http://us.detiknews.com/read/2010/08/18/081000/1422186/103/merdeka-tapi-tetap-sengsara

Pertumbuhan dan Ketimpangan

Oleh Agus Suman

HARI-hari ini kita sedang merayakan hari ulang tahun ke-65 kemerdekaan RI. Di tengah kemeriahan itu, kita juga mendapat informasi yang menggembirakan. Misalnya, informasi tentang pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Diperkirakan, tahun ini ekonomi akan tumbuh sekitar enam persen.

Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni dari 8,14 persen menjadi 7,41 persen (2/2010). Selain itu, tingkat kemiskinan berkurang dari 14,15 persen (2009) menjadi 13,33 persen (2010). Atau menurun sekitar 1,51 juta pada periode yang sama.

Data yang dirilis BPS beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa secara nasional rasio gini Indonesia pada 2010 menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari 0,357 menjadi 0,331. Seperti diketahui, ukuran ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat tecermin, misalnya, dalam rasio gini. Semakin kecil angka rasio gini, berarti distribusi pendapatan semakin merata dan demikian pula sebaliknya.

Jadi, penurunan angka rasio gini di atas mengindikasikan adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan hasil kajian Bank Dunia tentang semakin membaiknya distribusi pengeluaran penduduk Indonesia (Agust Supriadi, 2010).

Hasil kajian lembaga tersebut mencatat bahwa kontribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terendah meningkat dari 18,96 persen (2009) menjadi 19,88 persen (2010). Demikian pula halnya dengan kelompok penduduk 40 persen menengah, meningkat dari 36,14 menjadi 37,97 persen.

Sebaliknya, kelompok penduduk 20 persen teratas menurun dari 44,90 persen menjadi 42,15 persen. Tentu itu semua menjadi berita yang menggembirakan bagi kita semua.

***

Sungguh pun begitu, tanpa menafikan kenyataan positif yang ada, tampaknya, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian kita. Beberapa catatan tersebut, antara lain, pertama, tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih besar daripada di kota. Angka kemiskinan di desa memang menurun sekitar 690 ribu jiwa, dari 20,62 juta (3/2009) menjadi sekitar 19,93 juta (3/2010).

Tetapi, pada periode yang sama, angka kemiskinan di kota menurun lebih besar, sekitar 810 ribu jiwa, dari 11,91 juta menjadi 11,1 juta. Padahal, hingga saat ini komposisi penduduk di Indonesia masih didominasi penduduk desa yang mencapai 56 persen, sedangkan penduduk kota hanya sekitar 44 persen.

Karena itulah, rasio gini di pedesaan cenderung meningkat, yakni dari 0,288 persen menjadi 0,297persen. Sedangkan rasio gini di perkotaan menurun, yakni dari 0,362 persen menjadi 0,352 persen.

Kedua, kontribusi produk domestik bruto (PDB) masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Dari data BPS juga terungkap bahwa sekitar 80 persen kontribusi PDB dalam struktur ekonomi pada kuartal kedua 2010 masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera.

Jawa memberikan kontribusi 57,5 persen, sedangkan Sumatera 23,7 persen. Kalimantan 9,6 persen dan Sulawesi 4,6 persen. Sementara Bali dan Nusa Tenggara 2,7 persen. Sedangkan Maluku dan Papua hanya memberikan kontribusi 1,9 persen.

Ketiga, ketimpangan antarsektor juga tinggi. Sektor pertanian pada semester I 2010 ini tercatat paling rendah tingkat pertumbuhannya jika dibandingkan dengan sektor usaha lainnya, yakni hanya tumbuh 3 persen. Bandingkan dengan sektor-sektor lain seperti pengangkutan dan komunikasi yang mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi, yaitu 12,4 persen.

Kemudian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 9,6 persen; konstruksi 7,1 persen; listrik, gas, dan air bersih 6,4 persen; keuangan, realestat, dan jasa 5,7 persen; jasa-jasa 4,9 persen; industri pengolahan 4 persen; serta pertambangan dan penggalian 3,4 persen.

Padahal, dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB pada kuartal II-2010 ini, yakni 15,9 persen. Posisi tersebut berada di bawah industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar, yakni 24,9 persen. Sedangkan perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang 13,7 persen, pertambangan dan penggalian 11 persen.

Itu menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih cukup tinggi, tetapi menghadapi pertumbuhan yang sangat lambat.

Kondisi tersebut masih diperparah oleh semakin berkurangnya lahan pertanian di tengah pertambahan penduduk yang cukup tinggi. Hal itu terlihat dari data perkembangan lahan dan pertambahan penduduk yang terlihat bertolak belakang.

Ketika jumlah penduduk mencapai 147.490.298 (1980), lahan beririgasi dan nonirigasi tersedia 7 juta ha. Dan ketika penduduk berjumlah 179.378.946 (1990), lahan beririgasi dan nonirigasi tersedia sekitar 8,2 juta ha.

Tapi pada 2000, ketika jumlah penduduk mencapai 205.132.000, lahan sawah malah berkurang dan tinggal 7,75 juta ha (2002). Antara 2000 hingga 2002 saja konversi lahan sawah mencapai 563.000 ha atau rata rata 188.000 ha per tahun.

Jadi, tampak bahwa lahan pertanian, baik yang beririgasi maupun yang tidak beririgasi, semakin lama semakin berkurang dengan tingkat pertumbuhan yang semakin cepat, sementara penduduk terus bertambah. Tidaklah mengherankan jika pertumbuhan sektor itu menjadi begitu lamban dan tentu saja memprihatinkan kita semua.

Perkembangan desa dan kota yang tidak seimbang tersebut menyebabkan tumbuhnya kesenjangan. Saat ini, seperti disampaikan Direktur Perkotaan dan Pedesaan Bappenas Hayu Parasati (2010), ketimpangan antara desa dan kota di wilayah barat Indonesia mencapai 200 persen, sedangkan di wilayah timur Indonesia mencapai 100 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu patut disyukuri, tapi akan lebih baik lagi bila pertumbuhan ekonomi berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penurunan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Seperti yang diungkapkan Dudley Seers bahwa pembangunan tidak cukup hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dilihat dari seberapa pertumbuhan tersebut mampu menjawab persoalan kemiskinan (poverty), pengangguran (unemployment), dan ketidakmerataan (inequality). Jika itu belum terjawab, pembangunan masih berada di posisi yang jauh dari harapan. (*)

*) Agus Suman, guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Urgensi Menjaga Hubungan Serumpun

Oleh Ali Maksum

UNTUK kali kesekian, hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kembali panas. Apalagi kalau bukan masalah perbatasan. Kali ini mungkin tidak sepanas sengketa Ambalat yang memancing emosi semua lapisan masyarakat Indonesia.

Namun, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau, menunjukkan sebuah kekhawatiran akan masa depan hubungan kedua negara. Kabar terakhir, sengketa yang dipicu tangkap-menangkap antara satgas DKP dan Polis Diraja Malaysia (PDRM) akan berakhir damai (Jawa Pos, 17/8).

Masalah perbatasan ini memang tidak akan terselesaikan jika kedua negara tidak melakukan langkah konkret untuk mengatasi. Namun, hal tersebut juga menjadi ironi jika kedua negara akan menyelesaikannya dalam waktu singkat. Tidak hanya akan menimbulkan gejolak baru seputar perbatasan. Bahkan, yang paling krusial, masalah akan dialami masyarakat di daerah perbatasan seperti di daerah Kalimantan dan tentunya Sumatera. Hal tersebut tidak lepas dari keterkaitan yang erat antara masyarakat di daerah perbatasan itu. Meski terpisah oleh status kewarganegaraan, banyak di antara mereka yang merupakan satu keluarga dan kerabat dekat.

Menurut penelitian seorang teman penulis yang merupakan warga Malaysia, daerah perbatasan tidak dibatasi secara jelas. Bahkan, ada rumah yang dapurnya di Malaysia namun ruang tamunya di Indonesia. Begitu juga dengan masalah perbatasan laut. Kasus terakhir itu, penulis yakin, merupakan sebagian kecil kasus saja yang ''sengaja'' di-blow up. Masih banyak kasus yang sebenarnya ada dan itu merupakan kasus ''biasa'' yang akan mudah ditemukan.

Bahkan, ketika penulis menghadiri konferensi Peringatan Hubungan Malaysia-Indonesia 2009 di Kuala Lumpur, sebuah pernyataan mengejutkan diungkapkan salah seorang anggota Eminent Persons Group (EPG) dari Malaysia sebagai organisasi yang menaungi hubungan kedua negara. Si anggota EPG tersebut mengungkapkan pengalamannya ketika ''sengaja'' menaiki boat dari Sumatera menyeberang ke Johor, Malaysia, yang ditumpangi pendatang ilegal Indonesia. Orang itu mengatakan, ''Pak sopir boat dengan bangganya mengatakan, wah kemarin lebih banyak lagi Pak yang saya bawa ke Johor!''

Peristiwa tersebut mungkin hanya sebagian kecil dan masih banyak kasus yang, jika prosedur perbatasan berlaku, akan sangat merepotkan saudara-saudara kita di perbatasan.

***

Lalu, apa sebenarnya pemicu pasang surutnya hubungan Indonesia-Malaysia? Menurut penulis, kasus-kasus yang saat ini sedang marak antara Indonesia dan Malaysia ditentukan beberapa faktor. Pertama, pasca pemerintahan Soeharto, kedua negara ''kehilangan'' sosok yang mampu meredam ketegangan.

Mungkin pendapat ini menimbulkan kontroversi, namun kenyataan memang demikian. Sepanjang 32 tahun Soeharto memegang kekuasaan, hubungan kedua negara sangat romantis dan nyaris tanpa masalah serius. Faktor Soeharto juga yang membuat orang Indonesia ''diundang'' berkarya ke Malaysia dan bahkan banyak yang menjadi ''orang penting'' di Malaysia. Tidak saja dalam kerangka hubungan Indonesia-Malaysia, bahkan secara de facto Indonesia menjadi ideologi ASEAN.

Kedua, adanya perubahan politik global pasca-Perang Dingin dan menurunnya tekanan politik internasional. Pasca-Perang Dingin dengan Amerika Serikat sebagai adidaya tunggal, skenario Asia Tenggara juga ikut berubah. Khususnya mencuatnya isu-isu baru seperti globalisasi, demokrasi, dan pasar bebas. Isu-isu itu membuat skenario politik di kedua negara ikut berubah. Kedua negara juga semakin terbuka, termasuk media massa yang juga ikut menentukan pencitraan kedua negara.

Zaman Soeharto yang ''tertutup'', tampaknya, justru menguntungkan bagi hubungan Indonesia-Malaysia. Sebaliknya, reformasi degan segala ''keterbukaan'' ternyata memunculkan dilema. Sebab, sedikit saja ada isu, hubungan kedua negara akan menjadi panas.

Ketiga, faktor konfrontasi. Setelah terjadinya G 30 S dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden kedua RI, tampaknya, kedua negara semaksimal mungkin menghindari konflik. Karena itu, persoalan perbatasan, termasuk sengketa beberapa pulau terluar, memang ''sengaja'' dibiarkan oleh kedua pemerintahan untuk menghindarkan konflik. Tampaknya, hal itu juga dilakukan atas desakan Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menjaga stabilitas politik Asia Tenggara pascakonfrontasi.

Karena itu, diperlukan sikap bijak dari kedua negara dan khususnya masyarakat untuk saling memahami akan pentingnya menjaga hubungan kedua negara. Tidak bisa dinafikan, kedua negara juga saling membutuhkan. Jangan sampai hanya karena masalah-masalah sepele kedua negara akan berkonflik. Jalur-jalur diplomasi dan kerja sama kalangan media massa sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas politik kedua negara. Ibarat pepatah, apa pun bentuk konflik, ''yang menang jadi arang yang kalah jadi abu''. Wallahu a'lam.

*). Ali Maksum, research fellow, International Relations, School of Social Sciences, UMS, Malaysia

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151003

Stop, Wacana Amandemen UUD 1945 Soal Perpanjangan Jabatan Presiden

WAWANCARA
Marzuki Alie:



RMOL. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa menjabat tiga periode, asalkan diamandemen dulu UUD 1945 terkait pasal yang mengatur soal masa jabatan Presiden.

Kalau mayoritas anggota MPR menginginkan agar masa jabatan itu tiga periode, maka tinggal diamandemen saja. Ini artinya, SBY bisa menjadi calon presiden (Capres) Pemilu 2014.

Wacana perubahan periodisasi jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode menge­mukan akhir-akhir ini.

“Hasil seminar bersama (MPR dan Mahkamah Konstitusi) untuk mengevaluasi pelaksanaan hasil reformasi konstitusi, bisa mem­buka peluang bagi perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945 yang telah diamandemen, utama­nya soal periodesasi jabatan pre­siden,” kata Wakil Ketua MPR, Hajrianto Y Thohari, di Jakarta, belum lama ini.

Namun wacana penambahan satu periode masa jabatan ini di­tentang Ketua Dewan Per­wakilan Rakyat (DPR), Marzuki Alie. Menurutnya, di negara demo­krasi, seorang kepala negara cu­kup memimpin selama dua periode. Apalagi, Presiden SBY saat ini juga tidak menghendaki adanya perubahan konstitusi tersebut.

“Di negara demokrasi, itu Presiden cukup dipilih dua kali. Kalau tiga kali, saya kira itu sudah berlebihan waktunya be­kerja untuk rakyat,” katanya ke­pada Rakyat Merdeka di Jakarta, Sabtu (14/8).

Berikut kutipan selengkapnya:

Bukannya Partai Demokrat se­harusnya senang dengan wa­cana soal dimungkinkannya Pre­­siden menjabat tiga pe­riode?
Presiden SBY kan tidak pernah menyatakan itu. Tidak ada ke­ingi­nan beliau sebersit pun atau sekata pun untuk merubah kons­titusi dengan memperpanjang masa jabatan seorang kepala ne­gara. Cukuplah dua kali.

Menurut Anda, seberapa pen­­­ting sih membuka kembali wa­cana itu?
Saya kira dua kali bekerja ka­lau didukung rakyat, kemudian jalannya pemerintahan tenang, partai-partai politik itu tidak ter­lalu banyak berpolemik, mem­poli­tisasi isu, saya kira dua kali itu cukup. Dan sudah berlebihan waktunya itu bekerja bagi kema­slahatan rakyat kalau tiga perio­de. Makanya tentu harus ada penggantian.

Kenapa?
Karena bagaimanapun perlu ada koreksi.

Tapi koreksi ini kan menjadi­kan seorang pemimpin makin sempurna jika terpilih ketiga kalinya?
Ya tergantung. Perlu diingat, se­tiap pemimpin itu kan tidak sempurna. Makanya perlu peng­gantian kepemimpinan untuk lakukan koreksi. Kalau pemim­pin yang sempurna, ya sekali jalan saja sudah selesai. Nggak ada manusia sempurna kecuali Rasulullah.

Artinya MPR tidak perlu me­­wacanakan itu?
Nggak usahlah ikut cawe-cawe. Lebih baik membahas yang lain sajalah.

O ya, bagaimana dengan wa­cana agar pemilihan kepala dae­rah dikembalikan ke DPRD?
Kalau saya sih lebih ekstrem lagi. Gubernur itu kan perpan­jangan pemerintah pusat, dinas-dinas di sana dibuang saja. Jadi tidak perlu ada pemerintahan di provinsi. Lagipula propinsi itu kan cuma kantor perwakilan ke­menterian dalam negeri atau apalah. Wakil Presiden yang mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan kabupaten/kota untuk pusat. Kalau itu berlaku, tak perlu ada dinas pendidikan, tak perlu ada dinas Pekerjaan Umum (PU) karena semua di­kembalikan pada kab/kota saja. Itu ekstremnya. Tapi masalahnya kan itu melanggar konstitusi. Makanya konstitusi diubah dulu.

Artinya gubernur dipilih Pre­siden saja?
Tapi alternatifnya merubah kons­titusi dulu. Prinsipnya gu­bernur sebagai apa dulu. Kalau otonomi kita langsung ada di kabupaten/kota, provinsi kan tidak punya wilayah pemerin­tahan. Pemerintahan daerah itu ada di kabupaten/kota, bahkan sebaiknya gubernur itu ya hanya perwakilan dari pemerintah pusat. Jadi yang ada itu hanya pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota.

Sedangkan di UUD 1945 kan menyatakan bahwa pemerintahan itu terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabu­paten/kota. Bila perlu kita turun­kan ke bawah. Kalau kita mau otonomi murni, yaitu pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa. Itu bila perlu. Dengan demikian desa itu bisa dibangun. Jadi anggaran bisa dikucurkan sampai ke desa. Tapi masalahnya mampu tidak kita mengawasi itu.

Kalau begitu gubernur nggak perlu ada dong?
Karena merasa dipilih lang­sung rakyat, kadang-kadang mem­posisikan bukan sebagai per­wakilan pusat. Seringkali gu­bernur itu beroposisi dengan pemerintah pusat, kan aneh. Ke­bijakan pemerintah pusat sering­kali tidak dijalankan.

Memang itu sistem demokrasi kita, perlu penyempurnaan su­paya konsolidasi demokrasi lebih bagus. Yang jelas demokrasi itu kan untuk kesejahteraan rakyat.

Itu terjadi karena gubernur­nya didukung partai oposisi?
Makanya di situ kita harusnya paham. Begitu dia terpilih men­jadi gubernur harusnya menjadi negarawan. Sama dengan SBY, kan dari Demokrat, tapi begitu terpilih dia negarawan. Dia me­nga­yomi semua rakyat. Jadi tak ada lagi rakyatnya PDIP, tak ada lagi rakyatnya Golkar, karena semua rakyat Indonesia.

Apakah parpol-parpol yang ada sekarang menghendaki se­perti itu?
Saya nggak tahu. Yang jelas, gubernur itu nggak punya penga­ruh banyaklah untuk masalah pemilu. Yang punya pengaruh itu ya bupati/walikota, yang punya jaringan sampai ke desa. Kalau gubernur nggak punya. Dia mau mempengaruhi camat, bagai­mana caranya, nggak bisa. Untuk kepentingan politik menurut saya gubernur nggak punya kekuatan politik. Artinya yang didukung rak­yat langsung itu ya bupati/walikota.

Apakah wacana yang dike­mu­­kakan itu tidak mempe­ru­mit tata kelola negara?
Makanya ini kan wacana, ya dikaji dulu oleh para ahli, seluruh stakeholder, seluruh pemegang kepentingan ya bicara. Nggak bisa kita bolak balik sistem de­mokrasi kita rubah begitu saja. Perlu waktu. Memang sekarang ini banyak kelemahan terutama cost politiknya yang terlalu besar. Cukup banyak dana yang harus disiapkan pemerintah di setiap pilkada.

Apakah ada kepastian di balik perubahan tersebut rak­yat menuai keuntungan?
Rakyat itu kan mau disejah­terakan. Demokrasi merupakan wahana untuk mensejahterakan rakyat. Demokrasi diraih lewat Pemilu. Kalau tidak ada demo­krasi tidak ada pemilu. Kalau tak ada demokrasi, pemimpin itu semaunya saja. Dengan demokra­si kepentingan rakyat akan di­perhatikan. Sebab, kalau tidak diperhatikan, rakyat tak akan me­milihnya dalam pemilu. Artinya demokrasi itu tujuannya untuk kesejahteraan rakyat. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=1396

Kontroversi Korupsi dan Pelayanan Publik

Pelayanan publik yang baik oleh aparat birokrasi tidak selalu harus bersinggungan dengan tindak pidana korupsi atau manipulasi keuangan untuk memperkaya diri.

Banyak pelayanan publik yang disubkontrakkan kepada pihak swasta justru memperbaiki citra dan meningkatkan kualitas pelayanan publik instansi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Namun, saat ini di Indonesia belum ada kebijakan yang pasti dari pemerintah apakah suatu pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab suatu instansi pemerintah dapat atau tidak dapat dikontrakkan? Hal ini sering kali menimbulkan kontroversi dan perdebatan publik yang berkepanjangan dan menyerap banyak energi dan waktu. Padahal program pembangunan semesta perlu diimbangi adanya efisiensi,kecepatan, efektivitas, dan tidak berteletele.

Polemik

Mengingat belum ada kebijakan yang jelas dari pemerintah mengenai hal tersebut, masalah sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) menjadi begitu marak diperdebatkan sampai pada masalah penegakan hukum.Posisi sisminbakum yang disubkontrakkan kepada swasta cq PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) itu diperdebatkan, apakah termasuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak?

Bahkan telah menjadi polemik berkepanjangan sampai menyebabkan Jaksa Agung Hendarman Supandji dituding tidak sah menjabat sebagai jaksa agung dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Padahal,para notaris dan pengusaha merasakan manfaat sisminbakum yang memotong jalur panjang birokrasi yang penuh intrik, pungutan liar, dan bertele-tele. Dalam satu minggu, urusan pendaftaran badan hukum seperti perseroan terbatas dan yayasan dapat rampung.

Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan berbulan-bulan pada masa lalu. Namun, para penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung, menganggap penyelenggaraan proyek sisminbakum ini merugikan keuangan negara. Sebaliknya pihak yang dituding bersikukuh dengan menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan proyek sisminbakum tidak ada kerugian atas keuangan negara dan tidak bertentangan dengan hukum sehingga proyek sisminbakum bukanlah merupakan tindak pidana korupsi.

Rekayasa?

Melihat pada kepuasan publik dan para notaris, jelas proyek sisminbakum memuaskan dan memberikan pelayanan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.Terdapat dugaan bahwa perkara sisminbakum telah direkayasa oleh para penegak hukum dan santer terdengar di DPR dan di antara para pengamat walaupun terdapat pro dan kontra. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengambil sikap dalam meningkatkan pelayanan publik yang baik dan cepat?

Di Australia sebagai misal, jasa pos atau pengiriman surat diserahkan kepada swasta dan masyarakat puas atas pelayanan itu. Saat ini terdapat rencana jasa perkeretaapian akan diserahkan kepada swasta asing di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan angkutan darat cq kereta api sebagai jasa angkutan massal yang vital bagi masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah.

Hal tersebut dilatarbelakangi banyaknya kecelakaan dan ditutupnya beberapa rute karena merugi serta keterlambatan jadwal keberangkatan kereta api.Hal itu menjadi isu sentral dan bukti lemahnya kebijakan pelayanan publik di Indonesia. Belum lagi kalau dibicarakan bagaimana pelayanan air minum yang jauh dari bermutu dan higienis, maka perlu pembenahan menyeluruh dalam kebijakan pelayanan publik di Indonesia.

Sisminbakum ditengarai tidak melawan hukum, tidak merugikan keuangan negara, tidak memperkaya seseorang atau badan hukum, dan malahan bermanfaat bagi masyarakat sehingga sulit untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk mencegah polemik berkelanjutan yang menghabiskan waktu dan energi,sebaiknya pemerintah mengambil langkah konkret dan tegas untuk memperbolehkan instansi pemerintah mensubkontrakkan jasa-jasa pelayanan publik tertentu kepada swasta dan penanaman modal asing demi kesejahteraan rakyat.

Selama itu tidak membebani keuangan negara (APBN) dan mendatangkan banyak manfaat bagi rakyat kebijakan itu perlu diambil sehingga rekayasa kasus seperti diduga terjadi dalam perkara sisminbakum sebagai tindak pidana korupsi tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Pelayanan publik yang baik tidaklah identik dengan tindak pidana korupsi.

Suatu hal yang penting adalah bagaimana pengawasan itu harus dilakukan secara ketat dan terorganisasi. Selama kebijakan itu tidak melanggar hukum dan tidak merugikan keuangan negara, swasta dapat berperan dalam meningkatkan pelayanan publik.Untuk itu,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mempunyai mata dan telinga yang jeli yang tersebar di mana-mana.(*)

Dr Frans H Winarta
Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345615/

Akumulasi dan Eskalasi Ketidaknyamanan

Telah 65 tahun merdeka,tapi tidak nyaman.Ketidaknyamanan kita terus berakumulasi, bahkan tereskalasi.Hal itu mencapai puncaknya hari-hari ini ketika tak ada satu pun kekuatan di negara ini yang bisa mengerem lonjakan harga kebutuhan pokok, termasuk pemerintah sebagai regulator.

Beberapa tokoh mengkritik situasi mutakhir itu.Menurut mereka, keadaan sekarang kacau balau. Saya sependapat dengan mereka. Wajar jika pemerintah dikritik. Bukankah kritik itu mengingatkan kita untuk realistis menyikapi fakta? Belum lama ini, Presiden sempat mengecam balik pers yang dituduhnya menjelek-jelekkan kinerja pemerintah.

Presiden kemudian meminta semua pihak tidak tutup mata atas banyak hal yang sudah dicapai walaupun Presiden sendiri mengatakan pihaknya terbuka atas kritik yang dialamatkan pada beberapa hal yang memang buruk. Memang, itu hak Presiden untuk membela kinerja pemerintahannya. Saya dan semua pihak harus menghormati hak serta sikap dan posisi yang diambil Presiden.

Itulah dinamika demokrasi. Saling kritik pemerintah/Presiden versus pers dan para analis bukan hal luar biasa.Karena itu,saya tak mau ikut-ikutan mengecam balik Presiden, misalnya dengan mengatakan Presiden terlalu sering curhat. Kalau saya dikritik, saya pun akan tampil menjelaskan apa yang perlu dijelaskan, tentu saja dengan respons yang proporsional.

Kritik kepada pemerintah, Presiden,dan para menterinya bukanlah hal yang mengada-ada, setidaknya untuk hari-hari ini. Bukan juga tanpa alasan riil. Kritik publik kepada Presiden dan para pembantunya mengacu pada fakta-fakta riil yang memengaruhi langsung beban hidup dan derajat kesejahteraan rakyat.

Sebab, fakta-fakta yang mengganggu kenyamanan hidup orang banyak itu bersumber dari atau disebabkan oleh “kehendak” pemerintah yang sering disebut dengan kebijakan itu. Pada akhirnya, rangkaian kritik masyarakat itu hanya bermuatan satu pesan yang sangat strategis kepada Presiden dan para menteri:

bahwa rangkaian kehendak pemerintah akhir-akhir ini telah mengakumulasi ketidaknyamanan hidup sebagian besar masyarakat kita, yakni mereka yang berpenghasilan tidak tetap, berpenghasilan pas-pasan, dan mereka yang miskin.Selain aspek keekonomian rakyat kebanyakan, rasa keadilan rakyat pun mulai terusik lagi sehingga mengeskalasi ketidaknyamanan itu.

Bukti Riil

Sebelumnya, alat-alat pemerintah yang berfungsi melakukan penegakan hukum mencampakkan rekomendasi dan keputusan sidang paripurna DPR tentang proses hukum skandal Bank Century. Penegak hukum mengklaim tidak cukup bukti.Ketidakyakinan publik terhadap integritas penegak hukum pun memuncak setelah mereka ingkar janji dalam perkara percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK dengan terdakwa Anggodo Widjaja.

Mereka akhirnya mengaku tak punya bukti rekaman pembicaraan telepon Ary Muladi-Ade Raharja. Padahal, publik mencatat bahwa kepada DPR,Polri maupun Kejaksaan Agung dengan yakin mengatakan memiliki rekaman dimaksud dan siap diperdengarkan manakala pengadilan memintanya. Lain lagi cerita kompor gas di dapur puluhan juta rumah tangga yang penggunaannya “dipaksakan” pemerintah kini malah berubah menjadi sumber teror.

Ledakan kompor terjadi di mana-mana dengan korban dan kerugian tidak sedikit. Hari-hari ini, masyarakat masih dihantui kemungkinan ledakan kompor di rumah. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji tak salah, tapi pelaksanaannya asal-asalan sehingga terjadi ekses. Keawaman puluhan juta ibu rumah tangga terhadap penggunaan kompor gas dan perlengkapannya tidak diperhitungkan.

Urgensi sosialisasi dan edukasi masyarakat tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Baru setelah terjadi serangkaian ledakan, masyarakat diberi pemahaman bahwa kompor gas dan perlengkapannya punya batas maksimal usia atau durasi pemakaian. Ketika durasi pemakaian jatuh tempo, tabung dan selang harus diganti. Pertanyaannya, mengapa halhal teknis seperti itu tidak diedukasi dan disosialisasikan sejak awal?

Mengapa risiko itu tidak diinformasikan secara berkesinambungan guna membangun kewaspadaan setiap rumah tangga? Kita ingat bahwa ketika program konversi serentak dimulai, kita hanya menyaksikan pembagian tabung gas di semua pelosok. Tidak ada edukasi tentang penggunaan kompor yang aman.Tidak juga ada informasi tentang usia pemakaian semua perlengkapan dapur itu.

Pun tidak ada penjelasan tentang risiko terjadi ledakan jika usia pemakaian terlampaui. Setelah korban berjatuhan dan kerugian yang tidak kecil, kita disadarkan bahwa pelaksanaan konversi bahan bakar di dapur itu ternyata asal-asalan. Kita makin prihatin karena pertanggungjawaban pemerintah begitu minimal. Bahkan menyalahkan masyarakat karena tidak segera mengganti perlengkapan yang sudah kedaluwarsa.

Ketidaknyamanan makin menjadi- jadi bagi jutaan keluarga dengan penghasilan pas-pasan dan mereka yang miskin karena harus membayar Rp35.000 untuk mengganti perlengkapan kompor gas. Cengkeraman suasana teror menjadi berkepanjangan karena pemerintah bukan hanya sangat lamban, tetapi juga bingung mencari solusi. Bahkan di televisi atau surat kabar, rakyat menyaksikan aksi saling menyalahkan di antara sesama pejabat pemerintah.Tak ada kementerian yang mau memikul tanggung jawab.

Tak Mau Peduli

Belum lagi teror ledakan kompor berakhir, pemerintah mewacanakan kenaikan harga energi di dalam negeri.Gelisah akan wacana itu, hampir semua komponen masyarakat, termasuk komunitas pengusaha, mengimbau pemerintah untuk tidak menaikkan harga energi.Tidak tanggung-tanggung, sebab diwacanakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL),harga gas,pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sampai kenaikan tarif tol.

Siapa sih yang bisa merasa nyaman dengan kenaikan harga atau tarif ini itu? Ketidaknyamanan kita menjadi berlipat ganda karena kenaikan TDL memicu kenaikan harga barang dan jasa. Bukannya mengada- ada,tetapi kurva kenaikan harga itu berbanding terbalik dengan daya beli rakyat.Kurva harga melesat ke atas, sementara daya beli rakyat menukik ke bawah. Kontradiksi dua kurva ini cukup jelas menggambarkan penderitaan banyak orang.

Seperti belum puas “menyiksa” rakyat, dimunculkan lagi isu kenaikan harga gas elpiji 3 kg. Saya menilai pemerintah seperti orang yang sangat cuek yang tidak mendengar erangan derita rakyat. Saya juga berpendapat bahwa pemahaman pemerintah tentang psikologi massa amat minim. Kalau kenaikan harga gas elpiji 3 kg direalisasikan sekarang, jangan kaget kalau langkah itu memicu gerakan berskala Tritura di tahun 1960-an.

Tentang lonjakan harga kebutuhan pokok sekarang ini, respons pemerintah benar-benar memprihatinkan saya dan banyak orang. Bayangkan, rakyat mengeluhkan lonjakan harga yang sudah di luar batas kewajaran, pemerintah malah menjawabnya dengan pernyataan bahwa stok kebutuhan pokok aman sampai Lebaran mendatang.

Para ibu rumah tangga mengumpat ketika dikatakan bahwa skala kenaikan harga masih dalam batas wajar. Menurut saya, jawaban seperti itu manipulatif, sama sekal tidak menyelesaikan masalah. Bahkan coba mengalihkan persoalan, yakni dari soal lonjakan harga ke isu stok pangan. Secara moral, perilaku regulator seperti itu tak layak dipuji.

Langkah Nyata

Di sejumlah forum dan dalam kesempatan kunjungan kerja ataupun reses ke daerah,saya sering disodori pertanyaan yang gampanggampang susah untuk menjelaskannya. Beberapa kali saya gelagapan ketika ditanya perihal nasib Susno Duadji yang whistle blower itu. Begitu juga saat ditanya isu rekening gendut oknum polisi.

Tak sedikit yang mempertanyakan apa yang bisa dilakukan DPR untuk menuntaskan beberapa kasus penggelapan pajak yang telah diungkap di ruang publik? Bahkan, terpilihnya Darmin Nasution sebagai Gubernur Bank Indonesia pun mengusik perhatian banyak orang. Sebab, pilihan itu dinilai sejumlah kalangan sebagai tidak masuk akal sehat.Kok bisabisanya DPR memilih Darmin,padahal DPR sendiri sebelumnya menilai Darmin sebagai sosok bermasalah karena posisinya dalam skandal Bank Century.

Ada yang berseloroh dengan mengatakan skandal Bank Century sendiri akhirnya benar-benar dibawa ke laut oleh para penegak hukum. Mereka sudah menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk memproses hukum skandal itu. Kalau unsur dalam DPR sendiri plus institusi penegak hukum sudah berani mencampakkan keputusan dan rekomendasi Sidang Paripurna DPR, bukankah sudah lebih dari cukup alasan bagi kita untuk gelisah karena potensi rusaknya tatanan negara kita? Saya pribadi menilai alat bukti perampokan Century lebih dari cukup.

Barangkali, Presiden dan para pembantunya menilai keadaan atau situasi sekarang sudah ideal. Namun, saya mengatakan dan memastikan bahwa keadaan serta situasi sekarang jauh dari ideal. Bahkan nyaris tidak keruan. Itu sebabnya saya sajikan beberapa fakta masalah mutakhir.Bukan hanya sebagai ilustrasi,tetapi dengan harapan pemerintah tidak terusmenerus mengingkari fakta tak menyenangkan itu. Selama bulan puasa Ramadan dan menuju persiapan perayaan Idul Fitri tahun ini,masyarakat sudah merasa sangat tidak nyaman.

Gerak naik harga diperkirakan berlanjut hingga mendekatnya momentum Idul Fitri. Akumulasi dan eskalasi ketidaknyamanan sekarang ini berimplikasi negatif terhadap Presiden dan para pembantunya.Masyarakat sering menggunjingkan dan mempertanyakan efektivitas kepemimpinan Presiden.

Presiden terkesan tak peduli dengan keluh kesah rakyat tentang lonjakan harga kebutuhan pokok. Sementara para menteri tampak tak berdaya menghadapi para pemain besar di pasar kebutuhan pokok. Muncul pertanyaan, di mana peran pemerintah sebagai regulator di pasar dalam negeri? Pasca pemberlakuan TDL baru, mulai muncul aksi protes di manamana. Pesannya jelas, turunkan harga! Pesan itu merefleksikan ketidaknyamanan hidup rakyat.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III,
Anggota Badan Anggaran DPR

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345614/