BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pelanggar Lalu Lintas Dipajang di Facebook

Written By gusdurian on Kamis, 19 Agustus 2010 | 09.22

NEW DELHI (SI) – Bajaj, sepeda motor,Vespa, mobil, truk, dan bus yang saling berlomba satu sama lain di jalanan New Delhi menjadi pemandangan sehari-hari di ibu kota India itu.

Tetapi, semua pengendara kendaraan bermotor kini harus ekstra hati-hati.Alasannya, jika melanggar lalu lintas,foto mereka bakal dipajang di Facebook. Polisi di New Delhi menggunakan Facebook untuk mendisiplinkan para pengguna jalan yang semaunya sendiri.Mereka yakin,melalui situs jejaring sosial tersebut, warga New Delhi akan merasa malu jika tampil sebagai pelanggar lalu lintas.

Halaman Facebook itu juga menerima foto-foto pelanggar lalu lintas dari masyarakat umum. Dalam kurun waktu dua bulan, akun Facebook tersebut telah memiliki anggota 18.000. Penduduk New Delhi telah mengunggah lebih dari 3.000 gambar yang menunjukkan moda transportasi kelebihan muatan, kendaraan salah memilih tempat parkir,pengendara sepeda motor tak memakai helm, dan polisi yang melanggar aturan.

Menurut Satyendra Garg, Komisioner Bersama Polisi Lalu Lintas New Delhi, sebanyak 700 surat tilang dilayangkan kepada pelanggar lalu lintas yang telah ditayangkan di Facebook sejak Mei lalu.Dia menuturkan, polisi menggunakan nomor kendaraan di gambar untuk melacak para pelanggar lalu lintas. Sebenarnya akun Facebook itu bertujuan untuk mendorong masyarakat umum agar terlibat dalam manajemen lalu lintas.

Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dengan selalu mengaktifkan kamera mereka ketika mengendarai kendaraan di jalanan. Otoritas pun akan menilang siapa pun yang melanggar lalu lintas. “Meskipun banyak yang mengkritik masalah privasi dan keaslian dari foto,respons masyarakat sudah sangat positif,” kata Garg. Dia mengatakan, Facebook memudahkanpolisimengamatipelanggarlalu lintas.

“Kami ingin sebuah forum,di mana orang bisa mengekspresikan pandangan mereka dan menyarankan perubahan,”papar Garg. Polisi Lalu Lintas New Delhi pun menempatkan empat petugas untuk memonitor halaman Facebook tersebut setiap jam. Dalam akun tersebut,polisi juga bertukar informasi mengenai penutupan jalan dan kemacetan lalu lintas.Polisi juga memberikan tips jalanjalan yang harus dilewati untuk mengatasi kemacetan dan menjawab pertanyaan masyarakat.

Penduduk New Delhi pun menyambut gembira langkah itu.“Itu bakal dijadikan sumber polisi untuk menilangparapelanggarlalulintas,” ujar Vijyant Jain, 27, manajer pelayanan bisnis Orange,yang pernah mengunggah sebuah foto mengenai kemacetan lalu lintas.“Hingga saat ini siapa pun pengendara yang akan melanggarlalulintas, termasuk saya, akan selalu melihat sekelilingnya.

Siapa kira ada yang membawa kamera,”ujar Jain.Dia menegaskan, semua orang bisa menjadi polisi dengan akun Facebook milik polisi New Delhi, “Delhi Traffic Police”. Jumlah pengguna Facebook per Juli 2010 di India mencapai 12 juta orang.Hanya satu dari empat orang di India yang mampu mengakses internet. (NYT/CNN/andika hm)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345595/

Merindukan Pemimpin yang Merdeka

Ungkapan “negeri ini (baca juga: saya) belum merdeka” tampaknya kini sudah menjadi klise.Bahkan dalam ruang yang lebih luas, hingga ke tingkat global,kata-kata itu sudah menjadi teriakan yang universal.

Karena siapa manusia yang ada di atas bumi ini,di tingkat apa pun,dari ras atau etnik apa pun, yang dapat mengklaimdirinya sebagaimakhluk yang merdeka? Dengan kata lain: apa pun ekspresi yang mengungkapkan kemerdekaan dapat segera kita pertanyakan makna serta esensinya. Siapa pun Anda,siapa pun kita. Umumnya rakyat jelata,kelas menengah, elite, pengacara, seniman, agamawan, politikus, bahkan para pemimpin yang bertanggung jawab pada ratusan juta manusia, pada sejarah dan peradaban yang diwakilinya.

Betapapun peradaban (teknologi) yang telah menyediakan seluruh perangkat hidup (lunak maupun keras) yang mengisyaratkan kemerdekaan di tingkat individual maupun komunal, tetap saja sistem yang ada dan berlaku di dalamnya membuat kemerdekaan itu tersandera,terpenjara.

Globalisme yang mengasuh serta mengembangkan anak-anak kandungnya seperti demokrasi, liberalisme, materialisme-pragmatis, atau sistem ekonomi pasar telah mencengkeram dunia dalam sebuah permainan––halus dan kasar––yang membuat siapa pun (negeri, bangsa, dan individu) terjebak dalam perangkap yang dibuatnya.

Disadari atau tidak, dikehendaki atau tidak. Dunia kini adalah sebuah penjara, bukan lagi dalam panggung drama,tapi dalam panggung hidup yang sebenarnya. Di negeri ini, negeri yang merayakan selalu kemerdekaannya, semakin hari kita semakin menyadari bahwa kemerdekaan yang kita dapat dan selebrasi itu sesungguhnya adalah sebuah kemerdekaan yang fakultatif dan sementara.

Bahkan mungkin kemerdekaan dalam formalisme kata-kata atau sekurangnya kemerdekaan dalam isi undang-undang dalam euforia sistem yang tiap saat kita pujapuja, kita karnavalkan. Di dalam sistem itu, semua perangkat kenegaraan yang diciptakan (kehakiman, kepolisian, kejaksaaan, parlemen, kabinet, berbagai komisi, dewan, dan sekian banyak institusi lain) memberi kita cermin setiap hari–– melalui berita dan headline media massa—bagaimana mereka sesungguhnya tidak merdeka.

Ketidakmerdekaan akibat tumpang tindihnya wewenang dan otoritas mereka. Ketidakmerdekaan karena himpitan dan tekanan sistem serta sesama institusi di antara mereka. Yang lebih parah: ketidakmerdekaan karena hidup seharihari yang kian menekan karena pragmatisme, oportunisme, dan hedonisme yang kian akut.

Ironi bahkan ketragisan dari situasi itu adalah keadaan yang diciptakan, sengaja atau tidak sengaja, oleh para aparatus dari setiap institusi itu yang demi mendapatkan ruang yang lebih leluasa, lapang dan merdeka, melakukan semacam intervensi atau penerabasan domain atau kewenangan dari institusi tetangganya. Maka konflik pun pecah secara inter-institusional, menciptakan himpitan dan ketidak merdekaan yang lebih akut: sebuah “perang kemerdekaan” dalam skala lebih kecil dan dalam bentuk yang unik.

Di titik itu,pihak yang menjadi korban paling memilukan tentu saja adalah publik, adalah rakyat jelata; pihak yang secara historis, kultural dan konstitusional semestinya menjadi subjek utama, menjadi pihak pertama yang dibela kepentingannya. Korban kedua, tentu saja, adalah negara itu sendiri, yang karena involusi akibat konflik di dalamnya menjadi kian rapuh, rentan, bahkan kesulitan mempertahankan daya hidup bahkan kedaulatan sendiri. Kemerdekaan esensial yang tergambar di sini jelas adalah sebuah kemerdekaan dari sistem yang “merdeka”itu sendiri.

Kemerdekaan yang Tragis

Namun persoalan ketidakmerdekaan secara rasional dan sistemik itu sesungguhnya tidaklah seberapa dibandingkan ketidakmerdekaan kita––di semua tingkat eksistensinya––secara kultural seperti ketidak merdekaan kita secara eksistensial,hubungan antara eksistensi (interpersonal), tradisi berkomunikasi, beradat, dan beradab. Inilah sebuah ketidakmerdekaan yang bermula dari luar biasa dan gigantiknya infiltrasi serta intervensi kultur global (dengan anak-anak kandung seperti tersebut di atas) terhadap kultur lokal-nasional yang sebenarnya sudah berkembang begitu lama.

Begitu lama. Infiltrasi dan intervensi hingga pada transplantasi secara koersif berbagai nilai, norma-norma hingga pada perilaku, cara berpikir, beradat,beradab maupun cara kita menjalankan laku spiritualitas kita itu sungguh-sungguh ampuh untuk melindas, menindas, bahkan sebagian membunuh hal-hal serupa yang selama ini menjadi bagian hidup dan keseharian kita.

Maka dengannya kita pun mengalami semacam persalinan jati diri atau karakter, yang tentu saja sebagian besar rancu serta membingungkan. Disorientasi, dislokasi, distemporerisasi pun terjadi semakin akut di seluruh elemen kebangsaan kita. Tidak mengherankan bila kemudian kita––dari segala lapisan–– merasa heran, takjub, dan tercengang melihat diri kita sendiri.

Melihat perubahan di dalam diri kita sendiri sebagai individu maupun sebagai bangsa. Berbagai perilaku, cara berpikir hingga standar acuan moral, nilai, dan norma seperti tidak menunjukkan diri kita yang sebenarnya.Bagaimana mungkin seorang ibu menjual anaknya dengan hanya Rp300.000, membunuh anaknya yang baru lahir dengan memelintir lehernya, menjerat leher atau membakar anaknya sampai mati karena alasan ekonomi atau meninggalkan bayinya begitu saja di pinggir jalan atau di bak sebuah mobil angkutan? Kita seperti binatang, lebih dari binatang.

Bagaimana kita tidak miris dan giris melihat elite yang sudah puluhan, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah di simpanannya masih saja menggunakan cara-cara jahanam menghisap keuntungan dari publik, dari uang negara? Pejabat,anggota parlemen,hakim, jaksa, apalagi polisi kian menjadijadi menyiasati aturan mengkhianati konstitusi hanya untuk menyengsarakan dan memiskinkan rakyat.

Kelas menengah pun berkelahi sendiri untuk berebut rezeki, tidak peduli persahabatan, bahkan persaudaraan. Dan rakyat? Mereka bergelimpangan mati, ketiban bencana, saat berdesakdesak merebut santunan tak seberapa, ditabrak angkutan umum yang sembrono pengaturannya, yang bunuh diri karena frustrasi dan hilang akal. Oh… betapa tragis dan menyedihkan kemerdekaan itu. Betapa nihil dan omong kosongnya kemerdekaan itu.

Pemimpin Merdeka Itu

Dalam tragedi kemerdekaan itu, sekali lagi, dan sekali lagi, dengan pilu dan keprihatinan sangat dalam, kita harus memalingkan semua itu kepada satu pihak, ya satu pihak, yang paling memungkinkan semua itu dapat berubah. Secara gradual maupun radikal, evolusioner atau revolusioner.Tak lain dia adalah: pemimpin negeri ini. Sebagaimana sejarah modern ribuan tahun bangsa-bangsa di bumi ini mengajarkan, perubahan perubahan substansial,

gradual maupun radikal, menuju satu kehidupan yang lebih baik atau setidaknya menumbuhkan harapan serta gairah perjuangan hanya dapat dilakukan ketika kita memiliki pemimpin yang pantas, mampu, atau berkapasitas untuk itu. Kesengsaraan dan kedurjanaan hidup serta peradaban berulang kali terjadi dalam sejarah manusia. Namun tidak ada perubahan terjadi karena inisiatif itu datang dari awam dari orang kebanyakan.

Tapi dari seorang pemimpin yang mengerti keadaan,mengerti orang kebanyakan, mengerti apa yang seharusnya dilakukan, serta mampu memperjuangkan semua harapan. Apa yang terjadi di negeri ini saat ini,kita mendapatkan pemimpin yang justru kebalikan dari semua yang dibayangkan dan disyaratkan itu. Ungkapan frustrasional di awal tulisan ini menunjukkan betapa pemimpin yang kita miliki saat ini sungguh invalid dan tidak mampu memberi jaminan kemerdekaan kita, memberi harapan, dan menggiring kita ke dalam sebuah perjuangan keras ke masa depan yang kita hendaki bersama.

Bertanyalah pada siapa pun, di mana pun, maka Anda akan menemukan jawaban yang kecewa pada pemimpin kita.Yang begitu lunak, soft,peragu,terlalu kompromi,bahkan kalah melawan tekanan dari dalam maupun luar negeri. Demi keselamatan kekuasaannya, ia tidak hanya berkompromi, tapi juga memberi konsesi dengan mengorbankan semua harta terbaik yang dimiliki negeri ini pada kekuatankekuatan asing (modal terutama) beserta para komprador yang setiap saat siap mengkhianati bangsa dan sejarah sendiri.

Pemimpin seperti itu sungguh menggambarkan ketidakmerdekaan yang paripurna. Ia menjadi representasi sempurna dari ketidakmerdekaan bangsa dan negeri sendiri.Ini tragedi sesungguhnya. Tragedi yang tidak lagi membutuhkan permisi, apologi, pardon dan excusingapa pun.Pemimpin harus tegak atau ditegakkan.Hingga dia memiliki kepercayaan diri sesungguhnya, kekuatan mental, fisikal dan spiritual, teguh dan tough dengan 230 juta lebih manusia di belakangnya.

Pemimpin seperti ini harus mampu pertama memerdekakan dirinya sendiri. Lalu ia mengajak rakyatnya bergerak untuk memerdekakan diri, bangsa, dan negaranya. Apa pun risikonya.Kebahagiaan dan rasa hormat kita pada pemimpin bukan melalui janji atau ukuran-ukuran kedamaian serta kesejahteraan palsu, tapi pada upaya melawan semua pihak yang menindas kemerdekaan kita, secara konstitusional secara kultural. Kita harus mulai bicara dengan bahasa kita sendiri, bergerak dengan cara kita sendiri. Betapapun sulit dan kerasnya,tapi dengannya kita berbangga. Karena harapan kini ada di tangan kita.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345619/

Obral Remisi untuk Koruptor

Oleh Oce Madril

SIAPA yang paling gembira menyambut hari ulang tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia sekarang ini? Jawabannya, tentu seluruh rakyat Indonesia. Namun, ada yang lebih bahagia, yakni para koruptor. Bagaimana tidak. Sebab, pada hari itulah para koruptor menikmati sejumlah pengurangan masa hukuman atau remisi.

Sebagaimana diberitakan bahwa 341 koruptor mendapat remisi dalam rangka peringatan HUT Ke-65 Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya besan Presiden SBY, yang mendapatkan remisi tiga bulan. Bahkan, sebelas di antaranya langsung menghirup udara bebas. Sebuah kebijakan yang dinilai banyak pihak sangat kontroversial di tengah usaha memberantas dan memberikan efek jera kepada koruptor yang telah merugikan negara.

Dasar Hukum

Pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan dalam hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Teknisnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Secara umum, remisi diberikan berdasar dua syarat. Yakni, berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Ketentuan ini sebenarnya telah memperketat pemberian remisi bagi koruptor. Jika sebelumnya, menurut PP 32/1999, remisi dapat diberikan setelah menjalani enam bulan masa hukuman saja, sekarang para koruptor harus menjalani sepertiga masa hukuman jika hendak mendapatkan remisi.

Namun, inti persoalan remisi bagi koruptor bukanlah masalah ketatnya persyaratan. Tapi, substansinya lebih kepada eksistensi kebijakan tersebut. Dengan demikian, pertanyaanya adalah apakah remisi bagi koruptor perlu ada? Jika secara hukum remisi dapat diberikan kepada koruptor, apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak perlu.

Koruptor seharusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Pada kasus tindak pidana biasa, yang dirugikan hanya satu individu. Namun, korupsi memiliki dampak merugikan dalam skala yang sangat luas. Karena itu, cara-cara yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.

Koruptor seharusnya diberi hukuman maksimal, tanpa remisi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat, sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan. Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapat remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.

Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi, selama ini pengadilan selalu memberikan hukuman yang ringan bagi koruptor. Dengan menerima remisi, koruptor tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali.

Oleh karena itu, penghapusan remisi bagi koruptor merupakan keputusan yang layak diterapkan. Alasan berkelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Apalagi, biasanya motif mereka berkelakuan baik di penjara hanya untuk mengejar remisi.

Presiden Harus Batalkan

Komitmen antikorupsi yang baru saja diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPR dan DPD, tidak berarti apa-apa jika koruptor masih menikmati hak-hak istimewa. Dalam pidatonya presiden bahkan menjadikan korupsi sebagai musuh utama dalam memperjuangkan kemerdekaan di masa sekarang ini. Pidato tersebut akan kehilangan makna jika presiden tidak mengambil langkah nyata untuk mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi.

Pemberian remisi jelas merupakan tamparan keras terhadap pidato presiden tersebut. Pesan presiden untuk tidak menoleransi tindakan korupsi tampaknya tidak ditangkap oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Sehari setelah pidato presiden, Menteri Hukum dan HAM justru dengan mudahnya memberikan keringanan hukuman bagi koruptor. Tindakan ini jelas telah melecehkan presiden.

Oleh karena itu, presiden sebaiknya segera membatalkan keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut. Presiden harus menunjukkan konsistensi komitmen antikorupsinya sebagaimana dituangkannya dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Jika remisi tetap diberikan, berarti presiden mengingkari komitmennya sendiri dan menganggap korupsi sebagai kejahatan yang biasa-biasa saja. Dan, itu tentu sangat melukai hati nurani dan rasa keadilan rakyat. (*)

*) Oce Madril, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Paradoks Ramadan

Din Syamsuddin:
SETIDAKNYA ada tiga sikap, perilaku, dan budaya yang ditampilkan sebagian besar umat Islam selama bulan suci Ramadan yang bertentangan secara diametris dengan nilai dan pesan Ramadan itu sendiri. Sikap, perilaku, dan budaya tersebut telah berlangsung bertahun-tahun dan sampai sekarang belum berubah, bahkan semakin bertambah. Itu bisa disebut sebagai paradoks Ramadan.

Pertama, sikap, perilaku, dan budaya yang ignoring terhadap nilai penting Ramadan sebagai kawah candradimuka pengembangan kepribadian. Ini mengejawantah dalam kecenderungan sedih menyambut Ramadan dan gembira saat melepasnya. Sebagian umat menampilkan sikap sedih, bahkan ada yang rejectif terhadap kehadiran bulan suci Ramadan, karena membayangkan lapar dan dahaga dalam ibadah puasa serta beban-beban ibadah lain selama Ramadan.

Sikap dan perilaku itu berbeda dengan yang ditampilkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka gembira menyambut Ramadan dan bersedih saat melepasnya. Gembira karena menemui kembali sang tamu agung yang ditunggu-tunggu. Dan, bersedih saat melepasnya karena belum tentu dapat menemuinya kembali tahun depan.

Kedua, Ramadan menekankan esensi pengendalian diri (imsak). Bahkan, para fuqaha mendefinisikan puasa sebagai ''imsak dari makan minum dan hubungan suami istri pada siang hari Ramadan''. Sebagai esensi Ramadan, budaya imsak akan membawa konsekuensi logis pada penghematan dan kebersahajaan. Termasuk dalam mengonsumsi makanan, minuman, dan pakaian.

Namun, budaya imsak itu nyaris tidak hadir selama Ramadan. Umat Islam justru lebih banyak menampilkan dan terjebak pada budaya konsumtif. Dengan demikian, istilah konsumtivisme Ramadan bukanlah mengada-ada karena telah menjadi fakta.

Selama Ramadan, umat terjebak ke dalam konsumtivisme yang ekstrem. Berpuasa, rupanya, hanyalah mengubah jadwal makan dari tiga kali sehari di luar Ramadan menjadi dua kali, yakni sahur dan buka. Tetapi, dengan makanan yang banyak dan volume makan yang besar. Begitu pula menu Ramadan -baik kuantitatif maupun kualitatif- melebihi menu sehari-hari di luar Ramadan.

Tak pelak lagi, biaya konsumsi masyarakat Indonesia -tentu dengan mayoritas pemeluk Islam- meningkat hampir dua kali lipat pada bulan Ramadan. Apalagi, harga-harga barang pokok meningkat selama Ramadan. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan meningkat pula.

Konsumtivisme Ramadan tersebut masih bertambah pada barang-barang lain di luar makan minum, seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lain. Karena itu, konsumtivisme Ramadan pun tampak melimpah ruah di pasar-pasar, supermarket, dan mal, khususnya pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Di sini terjadi paradoks antara esensi Ramadan atau imsak yang seharusnya mendorong sikap serta perilaku berhemat dan bersahaja dengan fakta praktik yang sangat konsumtif. Konsumtivisme Ramadan itu menunjukkan bahwa umat Islam terjebak ke dalam pemborosan besar-besaran. Padahal, Alquran menegaskan dengan jelas bahwa kaum pemboros (mubazir) adalah kroni setan.

Ketiga, paradoks dalam hal etos kerja dan produktivitas. Yang ditampilkan umat Islam selama Ramadan berbeda dengan yang ditunjukkan Rasulullah SAW dan para sahabat yang terjun ke medan perang (Perang Badar) dalam bulan Ramadan. Berpuasa ternyata tidak harus menjadi kendala untuk melakukan aktivitas fisik. Ramadan tidak harus mengurangi produktivitas. Bahkan, sebaliknya, harus mendorong etos kerja dan peningkatan produktivitas.

Itu berbeda dengan yang ditampilkan umat Islam saat ini. Selama Ramadan -mungkin karena lapar dan dahaga berpuasa atau karena harus mengisi malam Ramadan dengan tarawih, tadarus, dan iktikaf- banyak umat pada siang hari terlena dalam tidur pulas. Itu terjadi di rumah-rumah maupun di masjid dan musala.

Produktivitas umat nyaris macet total. Seperti macetnya jalan-jalan raya banyak kota besar di Indonesia selama bulan suci Ramadan. Sebab, mereka memilih cepat meninggalkan kantor atau tempat bekerja untuk pulang ke rumah.

Itulah paradoks Ramadan. Dan, inilah kendala peningkatan kualitas hidup umat. Untuk mengikisnya, tiada lain kecuali kesediaan melakukan reformasi diri; mengubah sikap, perilaku, dan budaya tersebut sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat, serta sesuai dengan pesan Ramadan itu sendiri.

Reformasi diri tersebut menuntut adanya komitmen kuat untuk berubah dan berorientasi kepada kualitas diri dan pengembangan kepribadian. Inilah yang seharusnya dilakukan umat sekarang, baik secara individual maupun kolektif. Selamat menunaikan ibadah puasa. (*)

Prof Dr Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151333

Terjajah oleh Kaum Kapitalis

KETIKA memperingati hari kemerdekaan ini, ada pertanyaan yang perlu diajukan. Yakni, sudahkah negeri ini benar-benar merdeka?

Hasil sensus BPS tahun 2010 menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa. Nah, yang masuk kategori miskin sebanyak 13 persen (sekitar 30 juta jiwa lebih). Hasil riset PERC (Political Economic Risk Consultancy) di Hongkong menyebutkan, Indonesia memiliki indeks korupsi hampir "sempurna", yaitu 9,07 dari angka tertinggi 10.

Fakta di atas hanya sebagiannya. Masih banyak lagi masalah-masalah menyedihkan di negeri ini yang sangat akut. Kita memang sudah terbebas dari penjajahan fisik oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Namun, apakah kita sudah terbebas dari penjajahan dominasi kapitalisme?

Negeri ini cukup tua untuk menerima beban masalah negara yang tak kunjung usai. Kita menyadari bahwa negeri ini masih terjajah dengan yang namanya kemiskinan, kebodohan, kebobrokan moral, korupsi, dan lain-lain.

Hervilorra Eldira Dwi M Gusta, Gebang Kidul, Surabaya

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151178

Kekalahan Diplomasi Kita

SUNGGUH pahit dan beracun ketika Malaysia memberikan "kado" hari kemerdekaan kita. Kita kalah, ya kalah, dalam konflik penangkapan tujuh terduga pencuri ikan dari Malaysia dan penyanderaan tiga pegawai negara kita oleh Malaysia. Sangat sedih karena penyelesaiannya sangat mengentak perasaan: mereka dibarter.

Boleh saja pemerintahan Jenderal TNI (pur) Susilo Bambang Yudhoyono membungkusnya dengan berbagai basa-basi diplomatik. Bukan barterlah. Kami sudah tegaslah. Orang kita tidak dideportasilah. Nelayan Malaysia yang dideportasilah. Tak ada kompromi wilayah NKRI-lah. Tapi, akal sehat awam mengatakan bahwa terlalu gampang "penyelesaian" kasus ini oleh pemerintah kita tercinta. Kalau gampang sih oke, tapi jelas tidak adil.

Sesaat setelah kasus ini meletus, pihak kita tegas-tegas mengatakan nelayan Malaysia itu mencuri ikan di teritorial RI, bukan di wilayah simpang siur. Tak ada grey area, kata Menlu Marty Natalegawa. Lalu, mengapa begitu gampang model penyelesaian barter ini ditempuh? mengapa tidak kita menegakkan hukum di teritorial kita?

Padahal, barter ini jelas tidak setara. Orang Indonesia yang ditawan Malaysia adalah petugas resmi negara. Sedangkan orang Malaysia yang ditahan polisi kita adalah tersangka pencuri ikan. Lebih nelangsa lagi, pembarteran ini tanpa disertai syarat apa pun. Memang, Menteri Fadel Muhammad menuntut Malaysia minta maaf. Tapi, apa artinya setelah tujuh nelayan Malaysia itu dilepas?

Bukan sekali ini pemerintah kita menunjukkan ketidakgagahan diplomas. Di tenggara wilayah kita, NTT, sudah setahun terjadi kebocoran minyak dari Australia. Ladang minyak Montara (milik konsorsium Thailand-Malaysia) itu meletup pada 21 Agustus 2009. Warga pesisir kita di sana sangat menderita. Tetapi, SBY lagi-lagi belum menunjukkan hasil dalam melindungi segenap rakyat kita di sana.

Memang, kita tak bisa mengharap akan segagah Presiden Obama dalam menyelesaikan pencemaran serupa di Teluk Meksiko. Tapi, setidaknya Indonesia sangat perlu menunjukkan ketegasan. Ya, ketegasan. Rakyat kita perlu merasa berarti menjadi bagian dari republik. Namun, hingga hari ini, pencemar di Celah Timor masih "sukses" menganggap kita angin lalu.

Bisa jadi pemerintah menyadari bahwa berhadapan dengan Malaysia dan Australia tak bisa gagah (kalau dengan Filipina atau Papua Nugini, mungkin bisa lebih gagah). Inilah konsekuensi bangsa yang tak jua kuat berpijak di kemandiriannya.

Dengan Malaysia, yang terpokok, kita belum bisa menyetop orang-orang miskin kita mencari makan di sana (konon jumlahnya sampai dua juta orang). Mereka berpeluh-peluh di kebun-kebun sawit dan sektor konstruksi. Heran juga, mengapa kita tak bisa membangun kebun sawit sehebat Malaysia, padahal tanah kita tak kalah bagusnya.

Dengan Australia kita masih memerlukan dalam berdekat-dekat dengan Barat (Amerika Serikat). Karena itu, tak baik rasanya bertanya terlalu keras kepada mereka, termasuk dalam kasus pencemaran minyak di Celah Timor yang memorakporandakan hidup rakyat kita itu. Sehingga, mohon dimaklumi bila pendekatan kita terhadap malapetaka lingkungan itu "halus" dan "sopan" agar tak menyinggung perasaan si Kanguru.

Bagaimanapun mustahilnya, kita tetap berharap pemerintah mengingat tujuan pertama kemerdekaan RI: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Seperti yang baru saja kita upacarakan, ini amanah pembukaan konstitusi kita. Bukankah kita harus tetap bisa gagah dalam memekik: Merdeka!(*)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151177

Saujana Merdeka Menteri Sederhana

Sempat menduduki beberapa jabatan penting. Hatta mendepaknya karena dia orang kiri.

SOSOKNYA tak terlalu tinggi. Kumis tipis melintang dan jenggot lumayan panjang menghiasi wajah tirusnya. Hanya kacamata bundar dan pakaian sederhana yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Gaya hidupnya bersahaja. Namun sosok pendiam itu memiliki peran yang tidak sedikit dalam hari-hari di sekitar revolusi 17 Agustus. Tekadnya dalam berjuang memerdekakan rakyat begitu kuat. “Rakyat kita belum merasakan benar apa kemerdekaan itu,” ujar Ibrahim Isa, mengutip keterangan Wikana kepada Fransisca C. Fanggidaej –orang yang pernah menumpang di rumah dinas Wikana di Solo– suatu waktu.

Nama Wikana hampir dilupakan orang selama puluhan tahun. Pria kelahiran Sumedang, 16 Oktober 1914, ini tak diketahui nasibnya setelah diculik oleh kawanan tentara tak dikenal pada medio 1966. Jasa-jasanya bagi negeri seakan ikut sirna bersama jiwa-raganya yang hilang entah ke mana.

Tak lama setelah proklamasi, pada 27 Agustus 1945 Wikana –pejuang dari golongan pemuda– terpilih menjadi salah seorang pengurus di dalam PNI (Partai Nasional Indonesia), partai negara yang didirikan dengan maksud sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar rasa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Namun kehadiran partai itu tak lama. Banyak pihak menentang kehadirannya, tak terkecuali Sjahrir.

Wikana lalu masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) di mana dia menjadi ketua organisasi yang berdiri pada 1 September 1945 itu. Bersama Soemarsono, dia mewakili API ke Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta, 10-11 November 1945. Wikana ikut menjadi pembicara di samping Amir Sjarifuddin dan Adam Malik. Agenda terpenting kongres itu adalah rencana peleburan gerakan pemuda dalam satu organsisasi atas dasar prinsip-prinsip sosialis.

Pada 10 November malamnya, beberapa organisasi itu mengadakan rapat. Tujuh dari 29 organisasi yang ikut, sepakat untuk melebur diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sehari kemudian Pesindo bersidang. Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua. Sementara dari hasil kongres, Wikana terpilih menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan. Dewan inilah yang bersama Dewan Pekerja Perjuangan pimpinan Soemarsono –pemimpin pemuda dalam Pertempuran 10 November– menyelenggarakan organisasi hasil kongres: Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI).

Pesindo sendiri dalam perkembangannya terus bergerak menjadi oposisi pemerintah presidensial. Saat Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memimpin kabinet, Pesindo tidak terlalu jelas pro atau kontra pemerintah. “Pesindo itu bukan partai,” ujar Soemarsono. “Pesindo hanya baju.” Di kemudian hari, organisasi ini ikut bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan –perkumpulan banyak organisasi, termasuk TNI, yang digagas Tan Malaka. Belakangan, ketika banyak perbedaan pandangan politik Amir-Sjahrir dengan Tan Malaka, Pesindo keluar dari Persatuan Perjuangan.

Konstelasi politik nasional masa itu sendiri memang rumit. “Revolusi,” sebagaimana ditulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, “merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.” Persepsi Indonesia itu tidak sama dari masing-masing pihak. Dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-luar Jawa pun muncul dengan persepsi dan perannya sendiri-sendiri. Bukan saja menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan sebagaimana mestinya, hal itu seringkali juga membawa republik ke tubir jurang perpecahan. Belum lagi, berbarengan dengan itu semua ancaman dari luar juga kian meninggi: keinginan Belanda kembali menguasai Indonesia. “Tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa baru yang serasi, melainkan suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan,” tulis Ricklefs.

“Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu,” tulis Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Peran kaum muda terutama terlihat jelas dalam pertempuran-pertempuran yang banyak pecah di berbagai daerah tak lama setelah kedatangan NICA.

Partai Sosialis –yang merupakan fusi dari beberapa partai pada 17 Desember– dengan dimotori Sjahrir merasa kecewa terhadap pemerintah dalam memperlakukan KNIP, di mana di dalamnya Sjahrir memegang posisi tinggi. Partai Sosialis juga menggunakan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap penguasa asing –Jepang maupun NICA– sebagai dalih untuk menuntut lebih. Partai Sosialis lalu mengajak para pemuda yang tidak puas terhadap pemerintah, terus mengkritisi pemerintah pusat. Tuntutan yang terpenting adalah pemberian wewenang ekstra kepada KNIP.

Sebagaimana ditulis Ben Anderson, “pada awal Oktober ada suatu konsensus yang meluas di kalangan-kalangan yang sadar politik di Jakarta bahwa masa kelesuan dan kelambanan itu harus diakhiri, dan ia hanya dapat diakhiri dengan merombak pemerintah.” Pemerintah melalui Wapres Hatta lalu menyetujui dengan mengeluarkan Maklumat X tanggal 16 Oktober tentang wewenang legislatif KNIP dan dilanjutkan dengan Maklumat Pemerintah tentang partai politik. Sejak saat itu kabinet tak lagi bertanggung jawab langsung kepada presiden, tapi kepada KNIP. Tak lama kemudian, Kabinet Sjahrir naik “pentas” pada 14 November. Sjahrir yang anti-Jepang, dianggap tepat menjadi wakil republik dalam berunding dengan pihak Belanda.

Dalam masa-masa revolusi fisik yang karut marut itu, Wikana sempat menduduki beberapa jabatan penting. Dalam dua masa pemerintahan Sjahrir dan dua masa pemerintahan Amir Sjarifuddin, Wikana menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Pemuda. Karena kesibukannya sebagai menteri, posisinya di BKPRI dia pasrahkan ke Soemarsono. “Pokoknya saya serahkan kuasa pembangunan ini kepada Bung,” ujar Somarsono mengutip ucapan Wikana.

Ketika menjabat menteri, Wikana tetap mencurahkan perjuangannya terhahap kemerdekaan rakyat. Melalui Ibrahim Isa Fransisca C. Fanggidaej mengatakan bahwa Wikana menyatakan tidak akan berhenti berjuang selama Indonesia belum merdeka betul. Cita-citanya hanya tertuju pada kemerdekaan. Hal itulah yang membuat anak-anaknya bangga. “Saya sangat bangga sekali jiwa nasionalisnya,” ujar putri sulungnya, Lenina Soewarti.

Dari jabatannya sebagai menteri, menurut Lenina, Wikana mendapatkan beberapa fasilitas. “Standar saja: rumah, mobil.” Namun fasilitas-fasilitas itu tidak membuat Wikana berubah gaya hidupnya. “Bapak saya itu sederhana sekali, sederhana sekali,” ujar Tati Sawitri, putri ketiga Wikana kepada Majalah Historia Online 15 Agustus lalu.

Wikana tinggal di Yogyakarta ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Pemerintah sengaja memindahkan ibukota ke sana awal 1946 akibat kondisi keamanan di Jakarta yang tak menentu. Di ibukota “dadakan” itu diskusi mengenai perjuangan tetap Wikana lakukan. Terkadang dilakukan di rumahnya. Wikana juga sering menemui Presiden Sukarno.

Perundingan Linggarjati yang mengerdilkan wilayah RI, mengundang kekecewaan banyak pihak. Kondisi itu kian diperparah dengan dilancarkannya Agresi Militer I oleh Belanda di pertengahan 1947. Reaksi terkuat terutama datang dari militer dan kalangan Tan Malaka, yang menghendaki kemerdekaan 100 persen dan lebih memilih perjuangan fisik ketimbang diplomasi. Akibat perundingan-perundingan yang dilakukannya, Sjahrir sempat diculik tentara-tentara yang berafiliasi kepada Tan Malaka, meski akhirnya dibebaskan lagi. Tan malaka sendiri dipenjara akibat kehadirannya yang dianggap membahayakan lawan-lawan politiknya.

Ketika Kabinet Sjahrir ketiga jatuh dan Kabinet Amir Sjarifuddin naik menggantikan, kondisi politik kian kacau. Dari luar, Belanda terus mendesak RI sedangkan dari dalam, peseteruan antarkelompok perjuangan terus berlangsung. Kabinet Amir lalu jatuh karena menandatangani Perjanjian Renville.

Kabinet Hatta kemudian menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin mulai awal 1948. Salah satu agenda pentingnya adalah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara. Kebijakan ini didukung penuh Kolonel Nasution selaku panglima Divisi Siliwangi. Siliwangi pun menjadi pasukan reguler resmi pemerintah. Pada Februari, Siliwangi mulai hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Ini dilakukan sebagai pelaksanaan hasil keputusan dalam Perjanjian Renville.

Hijrahnya Siliwangi memicu timbulnya sengketa dengan pasukan-pasukan setempat. Pasukan-pasukan setempat merasa terdesak otonominya oleh kehadiran Siliwangi. Terlebih, para laskar itu merasa terancam oleh kebijakan Re-Ra. Siliwangi ditugaskan melucuti laskar-laskar, terutama laskar kiri. Akibatnya, situasi di Surakarta dan Madiun panas. Di Surakarta, Siliwangi terlibat pertempuran dengan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto. Pasukan laskar yang terus didesak terus berlari ke timur. Di Madiun, posisi laskar terdesak. Laskar-laskar yang terdesak itu merupakan laskar yang berafiliasi kiri, kepada Amir Sjarifuddin. Ketika Peristiwa Madiun pecah, posisi laskar dan kaum komunis di ujung tanduk. Siliwangi terus mengejarnya. Banyak dari pemimpin gerakan tewas di tangan tentara reguler. Jumlah yang tewas menurut Soemarsono, “sepenuhnya ada 3000 kader.”

Dalam kondisi yang penuh kekacauan itu Wikana menjabat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Pemerintahan Hatta yang mengangkatnya. Di masa Gubernur Militer itu, banyak teman-teman perjuangan Wikana yang datang ke rumahnya. Sukarni salah satu di antaranya. “Chairul Saleh belakangan,” ujar Lenina Soewarti. Fransisca C. Fanggidaej juga pernah menumpang tidur di rumah dinasnya. Teman seperjuangannya, Soemarsono, jangan ditanya. “Saya sering tidur di tempat dia,” ujar Soemarsono. Menurut Soemarsono, Wikana termasuk kader atasan.

Tapi masa itu tidak lama. Wikana yang kiri, lalu diganti. “Yang memberhentikan juga Hatta,” ujar Soemarsono. Hatta terkenal sangat anti-kiri sedangkan Wikana orang kiri. Pemerintah lalu menggantinya dengan Kolonel Gatot Subroto. Wikana sempat menghilang pasca-Peristiwa Madiun 1948. Tidak jelas ke mana perginya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. “Kita nggak ketemu dua tahun,” ujar Lenina. Dalam Kongres partai ke-4 tahun 1954, Wikana masuk ke dalam CC PKI.

Tahun 1953 Wikana dipercaya menjadi anggota Konstituante. Tapi jejak rekamnya di badan pembuat Undang-Undang itu tidak banyak terungkap. Keluarganya pun tidak tahu. Terbuang dari partai, Wikana sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Saat itu pula keluarganya diboyong ke Jakarta dari Solo. Selang dua tahun-an kemudian, atas ajakan Chairul Saleh, Wikana masuk menjadi anggota MPRS. Itulah karier terakhir pemuda berkumis tipis dan berwajah tirus sebelum akhirnya hilang tak tentu arahnya.[MF MUKTHI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-298-saujana-merdeka-menteri-sederhana.html

Sepakterjang Pemuda dari Sumedang

Dia berperan penting pada hari-hari buncit menjelang proklamasi. Hidupnya berakhir tragis.

PADA lokasi bekas rumah bersejarah di jalan Pegangsaan Timur No. 56 berdiri sebatang tiang menjulang tinggi dengan simbol petir di pucuknya. Sederet kalimat tertera pada dasar tiang itu: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.”

Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!”

Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setahun setelah proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin.

Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan, kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan.

Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.

Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota.

Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu.

Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926.

Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai tahanan politik kolonial.

Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.

Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta. Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus nyawanya.

Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.

Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di dalam partai.

Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana.

Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya. [BONNIE TRIYANA]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-301-sepakterjang-pemuda-dari-sumedang.html

Tersisih dari Perahu Partai

Wikana tersingkirkan oleh para pengagumnya. Garis politik memisahkan mereka.

PERISTIWA Madiun 1948 menyudutkan PKI ke tubir jurang kehancuran. Partai berlambang palu-arit itu dituduh berada di belakang peristiwa yang disebut-sebut sebagai “pemberontakan” itu. Sebelas orang tokoh PKI ditembak, yakni Amir Sjarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku. Sebelum mereka dieksekusi, Musso telah terlebih dahulu ditembak mati oleh tentara.

Peristiwa itu melumpuhkan PKI. Partai yang sempat melancarkan perlawanan pada era kolonial itu harus menemui kenyataan diperangi oleh saudara sebangsanya sendiri saat negeri telah merdeka. Sebagian pengikut PKI kocar-kacir menyelamatkan diri. Aidit dan Lukman dua dari sekian komunis muda yang menyembunyikan diri di tengah hembusan gosip melarikan diri ke negeri Cina.

Dua tahun berselang setelah peristiwa Madiun, anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman, yang tenar disebut “tiga serangkai”, mulai menggeliat, membangun partai yang sempat luluh lantak. Jalan terjal mereka tempuh. Tak mudah membangun partai dalam kondisi traumatik dan serbasulit. Partai punya tiga sampai dengan empat ribu anggota namun nyaris tak bisa berbuat apa-apa karena ketiadaan pemimpin.

Pada 1950 mereka mulai menyusun serpihan kekuatan yang terserak: berupaya mengumpulkan anggota yang tercerai berai dan menerbitkan terbitan berkala partai, seperti Bintang Merah dan kemudian Harian Rakjat. Setelah kembali ke Jakarta, “Mereka berkumpul di sekitar kantor Bintang Merah yang menempati rumah Peris Pardede di gang Kernolong. CC PKI mereka tempatkan di Gang Lontar,” kata Murad Aidit dalam bukunya Aidit Sang Legenda.

Menurut sejarawan Hilmar Farid sejak Januari 1951 Aidit, Nyoto dan Lukman memulai pembangunan partai. “Sejumlah langkah dilakukan dengan agenda rebuilding, front persatuan yang luas, tuntutan moderat dan lain-lain untuk memperkuat posisi partai,” ujar Hilmar Farid melalui pesan singkatnya kepada Majalah Historia Online.

Tapi kerja keras itu bukannya tanpa halangan sama sekali. Bahkan ada resistensi dari dalam, khususnya dari mereka yang tergolong sebagai “golongan tua”. “Tantangan besar lainnya yang mereka hadapi adalah sisa-sisa pimpinan lama termasuk Tan Ling Djie dan Wikana,” kata sejarawan yang kini tengah menempuh program doktor di National University of Singapore itu.

Pengaruh Tan Ling Djie dan Wikana masih terlampau kuat untuk dipatahkan oleh triumvirat muda PKI. Ada perbedaan mendasar yang membuat konflik “golongan tua” versus golongan muda di bawah kepemimpinan Aidit, Njoto dan Lukman: “Aidit lebih kepada front persatuan di bawah Bung Karno sementara Tan Ling Djie cs. lebih cenderung memilih class struggle,” lanjut Farid.

Tentangan keras juga datang dari Alimin, tokoh senior PKI yang mulai kehilangan taring pada usianya yang senja. Pada 1951, bertempat di rumah Trikoyo Ramidjo di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, Aidit dan Lukman berdebat keras melawan Alimin ihwal strategi yang harus dijalankan oleh PKI. Alimin bersikeras bertahan pada pendapatnya bahwa MMC (Merapi Merbabu Complex) tak boleh dibubarkan karena berpotensi sebagai pendukung penting pembangunan partai. “Waktu itu Alimin tak mau membubarkan MMC karena menurut dia ada tiga hal yang harus diperkuat, yakni petani, partai itu sendiri dan tentara merah,” kata Trikoyo. Tentara merah yang dimaksud Alimin adalah MMC. Aidit dan Lukman pun tak kalah keras. “Mereka berdua menolak ide itu,” lanjut Trikoyo.

Keterangan Trikoyo diamini oleh Murad Aidit lewat bukunya. Menurut Murad, Alimin marah besar terhadap garis yang ditempuh oleh Aidit cs. Aidit tak ambil peduli, mereka tetap menyiapkan penyelenggaraan kongres yang urung dilaksanakan. “Kongres baru terlaksana pada bulan Maret 1954, setelah segala persiapan untuk kongres itu dapat dipersiapkan. Kongres mengesahkan pimpinan yang terdiri central comite dan politbironya,” kata Murad Aidit.

Friksi pun berlanjut. Golongan tua seperti Alimin, Tan Ling Djie dan Wikana didomestifikasi peranannya. Mereka diberi tempat dalam kepengurusan CC PKI, namun tanpa kuasa untuk mengambil kebijakan apapun. Kekuasaan partai terpusat di tangan Aidit, Njoto dan Lukman. Mereka bertiga menjalankan kendali tanpa harus menyingkirkan politisi tua, apalagi Aidit dan Lukman mengagumi sosok Wikana.

“Tidak mungkin mereka disingkirkan, karena itu posisinya saja yang tidak penting. Soalnya bukan tua-muda tapi kontrol terhadap kader dan resources partai. Orang tua seperti Wikana dan Tan Ling Djie masih punya pengaruh kuat, karena itu mesti didomestifikasi,” kata Farid.

Tapi keadaan itu tak berlangsung lama. Tan Ling Djie, rekan Wikana, dipecat dari PKI. Dia dianggap keras kepala dengan garis partai yang mengharuskan partai bekerja di bawah tanah sebagai partai pelopor. Tapi keputusan pemecatan itu urung dilakukan karena Tan Ling Djie menganggap hidup-matinya sudah ada di PKI. Dia tetap dikeluarkan dari CC tanpa dicabut keanggotaannya. Agaknya tak ada juga yang bisa diperbuat oleh Wikana dalam menghadapi keadaan internal partai yang telah sepenuhnya dikendalikan oleh trio Aidit, Lukman dan Njoto.

Transisi kepemimpinan dari yang tua kepada yang muda pun dibumbui kabar tak sedap. Aidit cs. banyak disebut-sebut sebagian kalangan melakukan kup terhadap kepemimpinan partai tanpa menghiraukan kepemimpinan golongan tua. “Aidit dianggap kup terhadap kepemimpinan CC PKI yang lama seperti Wikana,” kata Soemarsono.

Pendapat bahwa Aidit cs. melakukan kup dibantah oleh Hilmar Farid. Menurutnya sejak peristiwa Madiun praktis kepemimpinan PKI kosong. Oleh karena itu agak sulit untuk mengatakan kalau triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman melakukan kup. “Trio sulit untuk dibilang kup karena pimpinan memang tidak ada. Mereka sendiri sudah jadi anggota CC per 1 September 1948, termasuk Wikana. Jadi yang tepat mungkin bukan kup tapi ambil alih karena pimpinan kosong dan bukan didongkel. Juga tidak ada serah terima karena tak ada yang menyerahkan,” kata Farid.

Setelah berhasil mengurai benang kusut pada partai yang hampir tercerabut itu trio Aidit, Lukman dan Njoto mulai mendisiplinkan partai. Jejaring partai kembali diaktifkan dan semua lini partai difungsikan kembali. Di tangan mereka orientasi partai kembali digodok. Di bawah PKI, Aidit mendukung kebijakan anti kolonialis dan anti-Barat yang diusung oleh Bung Karno.

Partai Komunis Indonesia berkembang pesat. Tangan dingin Aidit, Lukman dan Njoto yang rata-rata masih berusia 30-an tahun itu berhasil meraih simpati sejuta lebih rakyat Indonesia. Jerih payah mereka membawa PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955.

Suara garang Wikana pun semakin tenggelam di tengah derap langkah PKI yang semakin agresif meraup simpati rakyat. Tapi Wikana bukan Tan Ling Djie yang disingkirkan begitu saja. Dia masih punya posisi penting baik sebagai anggota MPRS maupun anggota DPA sebelum akhirnya tragedi politik pada 1965 menuntaskan kisah hidupnya. [BONNIE TRIYANA]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-297-tersisih-dari-perahu-partai.html

Berpisah di Jalan Dempo

Dikenang sebagai ayah yang hangat dan pendiam. Pergolakan politik memisahkannya dari keluarga.

RUMAH yang terletak di Jalan Dempo No. 7A itu tak begitu besar dan lebih menyerupai paviliun. Ukurannya memanjang ke belakang dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruangan kecil di bagian belakang, dan gudang. Semuanya serbakecil. Wikana menjadikan kamar tidur sekaligus tempat kerja. Pada rumah pemberian Chairul Saleh itu sederet pagar dan pintu berdiri cukup tinggi.

Sejak Wikana terpilih menjadi anggota Konstituante pada 1955 dia harus tinggal di Jakarta. Di Konstituante dia mengetuai Komisi Perikemanusiaan. Pada tahun 1960, dia menjadi anggota MPRS dan DPA.

Masih lekat dalam ingatan Tati Sawitri Apramata betapa bapaknya selalu sibuk untuk mengikuti berbagai persidangan. Namun sebagai anak dia tak pernah berani menanyakan apa pekerjaan bapaknya. “Anak zaman dulu mana berani nanya bapaknya kerja apa,” kenang Tati.

Sebagai anggota MPRS dan DPA Wikana tentu sibuk bukan kepalang. Adakalanya sesekali dia bercerita kepada anaknya kalau Presiden Sukarno memanggilnya. Tapi Wikana yang pendiam itu tak banyak bercerita tentang isi pertemuannya, kepada siapa pun di rumahnya. Yang masih bisa diingat oleh Tati adalah kebiasaan bapaknya membawakan oleh-oleh buku tiap kali datang dari acara persidangan.

“Kadang-kadang saya dan adik-adik saya membuka-buka setiap lembar buku dan biasanya ada uang nyelip,” kata Tati diiringi derai tawa.

Wikana, dalam kenangan anak-anaknya, dikenal baik sebagai pria pendiam yang bersahaja. Kendati demikian dia selalu bersikap hangat kepada anak-anaknya. “Dulu saya masih ingat bapak maen berantem-beranteman sama saya,” kata Tati.

Rumah di Jalan Dempo itu membawa kehangatan bagi seluruh anggota keluarga Wikana. Ketika beredar kabar rencana pengangkatan Wikana sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk Tanzania, Wikana menawarkan kepada anak-anaknya untuk ikutserta. Dia juga menawari Tati untuk berkuliah di luar negeri selulus dari SMA. “Kalau mau kuliah jangan ke Amerika atau Inggris, di sana cuma main-main saja. Lebih baik ke Jerman,” kata Wikana seperti ditirukan Tati. Mungkin ideologi anti-nekolim merasuki jiwa Wikana sehingga untuk menyekolahkan anaknya pun dia menjadikan dua negara itu tabu.

Tapi mendadak semua kisah manis itu luluh lantak ketika sepulang mengikuti Hari Raya Nasional Cina 1 Oktober 1965 suasana politik bergolak. Tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Kabar beredar menyebut PKI ada di belakang insiden berdarah itu. Hidup Wikana di ujung tanduk. Berbeda dengan anggota delegasi lain yang tetap tinggal di Cina, Wikana memilih untuk pulang. Mungkin dia berpikir takkan disangkutpautkan dengan kejadian itu, terlebih perannya yang tak lagi sentral dalam PKI. Tapi Wikana salah.

Chairul meminta KBRI segera mengurus kepulangan delegasi ke Jakarta. Rombongan bertolak dari RRT pada 5 Oktober dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1965. Sebelum berangkat pulang, Chairul meminta Wikana sebaiknya tak usah pulang dulu karena di Jakarta sedang tidak aman. Tapi, Wikana tak menghiraukan saran Chairul. Dia tetap ikut pulang.

“Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang saya tidak tahu, saya tidak dengar lagi bagaimana nasibnya,” kata Chairul mengisahkan penangkapan Wikana kepada AM Hanafi seperti diceritakan dalam AM Hanafi Menggugat.

Menurut anak ketiga Wikana, Tati Sawitri Apramata, Wikana ditahan secara resmi di daerah Kramat. Petugas tentara dari Kramat datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, meminta keluarga untuk menjenguknya. Tati yang menemuinya.

“Bapak perlu apa?” tanya Tati yang saat itu duduk di kelas 1 SMA 4 Jakarta.

“Tikar,” kata Wikana.

“Bapak sehat-sehat saja?” tanya Tati.

“Sehat,” kata Wikana singkat.

Tidak seperti tahanan, Wikana diberikan kebebasan. “Sekitar dua malam diperiksa, lalu dikembalikan ke rumah,” kata Soemarsono.

Pada suatu sore menjelang magrib, tujuh bulan setelah penangkapan pertama, tiba-tiba datang tamu yang mencari kos. Padahal, di rumah Wikana tidak ada kosan. Sebelumnya Wikana sudah mewanti-wanti kepada anaknya agar jangan mengatakan kepada siapapun yang datang bahwa dia ada di rumah. “Tapi, kakak saya malah bilang bahwa bapak ada di rumah,” ujar Tati.

Bencana datang seketika. Tengah malamnya, tak berapa lama setelah kedatangan si tamu tak diundang, tiba-tiba banyak orang melompati pintu pagar dan tembok rumah yang cukup tinggi. Tati terbangun. Dengan kasar, mereka menanyakan di mana bapaknya. “Mereka tentara semua, bawa senjata, tapi tak bisa dikenali,” kata Tati menahan tangis.

Wikana pun dicokok pada 9 Juni 1966. Sejak saat itu keluarga tak pernah mengetahui keberadaannya. “Sebelum dibawa, bapak minta dibungkusin sarung, celana, dan sikat gigi. Dia berpesan agar jaga ibu,” ujar Tati sambil terisak.

Tati tak tega melihat bapaknya digelandang. Dia hendak mengikutinya. Tapi tentara itu menodongkan senjata. “Kamu, anak kecil, ngapain ke luar,” kata salah seorang dari mereka.

“Saya mau lihat bapak saya ke depan,” kata Tati memberanikan diri.

“Masuk!” bentak salah satu dari mereka.

Menurut tetangga sekitar rumah, ada tiga mobil yang terparkir terpisah di depan rumah. Karena itu mereka tahu kalau yang menangkap Wikana lebih dari sepuluh orang.

Malam itu juga, Asminah istri Wikana melaporkan kejadian penculikan suaminya ke Kodam Jaya dan Kostrad. Pihak Kodam Jaya dan Kostrad menyatakan bahwa malam itu tidak ada penangkapan. Dan setiap penangkapan harus ada surat penangkapan. “Memang pada waktu penangkapan pertama ada suratnya,” ujar Tati.

Kodam Jaya dan Kostrad pun membantu mencari Wikana. Namun, nihil. “Kami hanya mendengar desas-desus saja mengenai keberadaan bapak. Namun, nyatanya tidak ada,” ujar Tati.

Menurut Soemarsono, tentara ada dalam setiap gerakan waktu itu. Memang semua bersumber dari tentara. Jadi, penangkapan-penangkapan itu pun bisa dipastikan dilakukan oleh tentara. “Walaupun bukan oleh tentara di belakangnya pasti adalah tentara,” kata Soemarsono.

Setelah penculikan Wikana, setiap hari rumah di Jalan Dempo dijaga oleh sekitar sepuluh orang petugas keamanan dari Kostrad. Keluarga pun diberi surat jaminan keamanan oleh Panglima Kostrad Kemal Idris. Sesudah tidak dijaga lagi, banyak orang-orang militer yang datang. Mereka memaksa agar keluarga mengosongkan rumah Wikana.

“Ibu tambah sakit. Yang menghadapi orang-orang militer itu saya dan adik-adik saya. Setiap mereka datang, saya tunjukkan surat dari Kostrad. Mereka pun tidak berani,” kata Tati.

Berbekal surat dari Kemal Idris, keluarga pun berhasil mempertahankan rumah itu hingga akhirnya dijual sekitar tahun 1996. “Karena ibu sudah tiada, saya putuskan untuk menjual rumah itu. Hasilnya dibagi rata untuk adik-adik saya,” kata Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, anak pertama Wikana.

Pencarian anak-anak Wikana pun tak berakhir begitu saja. Tati dan Lelina sempat bertemu dan menanyakan kepada Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh mengenai keberadaan bapaknya. Tak ada yang mereka bisa perbuat kecuali membesarkan hati agar bersabar dan berdoa kepada Tuhan. “Ya sudah, kamu urus saja anak dan dampingi suamimu. Masalah itu jangan dipikirkan lagi,” kata Adam Malik ke Lenina.

Tati berharap, kalau memang bapak meninggal di mana kuburannya. Kalau masih hidup, ada dimana? “Kadang-kadang ketika saya melihat pengemis-pengemis di jalanan dan kolong jembatan, saya suka teringat apakah mungkin bapak saya seperti itu. Siapa tahu di situ ada bapak saya,” ujar Tati.

Setelah Wikana tiada, keluarga kehilangan penopang hidup. Dia tidak meninggalkan warisan. “Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Dia berjualan segala macam. Yang pernah saya lihat dia jualan es buah. Bahkan sempat menjual pot bunga untuk makan. Karena saya dan Tati sudah menikah, suami-suami kami membantu, meski tidak banyak,” kata Lenina.

Seingat Tati, ada teman-teman bapaknya yang pernah membantu. “Seperti temannya dari Rusia.”

Wikana menyadari risiko perjuangannya. Dia tidak ingin apa yang dialaminya menimpa keluarganya. Dia pun berpesan, terutama ke anak perempuannya, agar tidak menikah dengan orang perjuangan karena khawatir hidup susah seperti yang dialaminya. “Tapi, jika bisa kuat seperti ibu dalam mendampingi bapak, ya, silakan,” kenang Lenina mengutip bapaknya. [HENDRI F. ISNAENI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-296-berpisah-di-jalan-dempo.html

--

Anak Menak Revolusioner

Lahir dari keluarga priayi bukan halangan untuk jadi pejuang. Sangat membenci penjajah.

MUNGKIN Nonoh tak pernah menyangka kalau anak lelakinya itu kelak menjadi seorang pemuda yang punya peran menentukan dalam periode revolusi Indonesia. Dia lahir pada 16 Oktober 1914 di Sumedang, Jawa Barat sebagai anak keempatbelas dari enambelas bersaudara. Ayahnya Raden Haji Soelaiman, seorang pendatang Demak, Jawa Tengah.

Wikana lahir pada tahun yang sama ketika Belanda memperkuat pertahanan kota Sumedang dari serangan musuh. Pada masa Perang Dunia I (1914-1918) Belanda membangun benteng-benteng di sekitar kota Sumedang. Perjuangan politik bukan hal baru buat keluarga menak itu. Kakaknya Winanta, pernah ditahan di Boven Digul atas tuduhan terlibat pemberontakan komunis 1926. Wikana muda belajar politik pada Winanta yang menuangkan pengalamannya selama di Digul dalam buku “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul” yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita Dari Digul.

Menurut Ben Anderson, Wikana mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). “Setelah lulus dari MULO pada 1932, Wikana bergerak dengan penanya dalam mingguan Fikiran Rakjat di Bandung. Dia masuk menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo) cabang Bandung,” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947. Partindo merupakan pecahan dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pascapenangkapan Bung Karno. PNI-Baru yang lain didirikan oleh Bung Hatta dengan mengganti “Partai” menjadi “Pendidikan” sesuai dengan nafas politiknya.

“Wikana (bersama Asmara Hadi, Soepeno, Sukarni, Goenadi, dan SK. Trimurti-Red) pernah menjadi anak didik Sukarno di Bandung (Sukarno bergabung dengan Partindo pada 1 Agustus 1932-Red),” tulis Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.

Wikana juga mempunyai hubungan erat dengan sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Bahkan, “Wikana merupakan produk Taman Siswa yang terkemuka,” tulis LK Hing dalam The Taman Siswa in Postwar Indonesia.

“Wikana kemudian hijrah ke Surabaya pada 1935. Di sana dia memimpin mingguan Pedoman Masjarakat Baroe. Pada 1938, dia kemudian pindah ke Jakarta dan memimpin harian Kebangoenan. Pada tahun itu juga dia diangkat menjadi Penulis Umum II Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo),” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947.

Gerindo yang didirikan pada 24 Mei 1937 di Jakarta oleh Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin lahir setelah gerakan non-kooperatif yang dilancarkan Partindo dibubarkan pada November 1936, dan PNI-Baru lumpuh. Kandasnya gerakan non-kooperatif menimbulkan pemikiran baru yaitu gerakan kooperatif dengan Belanda untuk melawan ancaman fasisme, terutama fasisme Jepang.

Pada Kongres Gerindo pertama di Jakarta, 20-24 Juli 1938, AK Gani terpilih sebagai Ketua dan Amir Sjarifuddin sebagai Wakil Ketua. Dan pada Kongres Kedua, 24-30 Juli 1939 di Palembang, Amir Sjarifuddin terpilih menjadi Ketua dan Wilopo sebagai Wakil Ketua Komite Tetap.

Di bidang kepemudaan dibentuk Barisan Pemuda Gerindo setelah Juli 1938. Azas dari Barisan Pemuda Gerindo ini sama dengan Gerindo itu sendiri. Ia adalah pendukung dan pelaksana putusan-putusan Gerindo. “Wikana terpilih sebagai ketua pertamanya,” tulis Anderson.

Wikana kemudian diganti oleh Ismail Widjaja dan AM Hanafi sebagai Sekretaris Umum. “Saya menjabat Sekretaris Jenderal Pucuk Pimpinan Barisan Pemuda Gerindo sejak tahun 1939, menggantikan saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri oleh Ketua PB. Gerindo Dr A.K. Gani karena tercium keradikalannya yang ‘komunistis’ demi untuk keselamatan dan kelangsungan perjuangan Gerindo,” kata AM Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat.

Kira-kira satu tahun sebelum Jepang datang, Soemarsono kenal dengan Wikana karena kebetulan sama-sama berkegiatan di daerah Kemayoran.

“Di Jakarta, bapak tinggal di Jalan Garuda,” kata Lenina.

Soemarsono kenal Wikana sekaligus kenal temannya yang juga anggota Gerindo, Achmad Azhari dari Palembang. Soemarsono yang baru mau masuk Gerindo juga kenal dengan teman Wikana yang lain, yaitu pelukis S. Sudjojono dan Hariyadi.

“Ahmad Azhari dan Wikana satu tempat kerja sebagai tukang ketik di Percetakan Negara di Salemba. Azhari satu rumah sama saya. Saya banyak dengar mengenai Wikana dari Azhari. Azhari sangat menyanjung sekali Wikana. Wikana dianggap senior di antara pemuda-pemuda Gerindo. Wikana dianggap paling matang mengenai pengertian-pengertian perjuangan dan politik. Di kalangan pemuda pergerakan, Wikana memiliki pengaruh yang kuat. Ketokohannya satu level di bawah Amir Sjarifuddin,” kata Soemarsono.

Saat Wikana menikahi Asminah binti Oesman di Kemayoran pada 1940, Soemarsono datang memberi selamat. “Dia dapat anak Sunter. Saya datang waktu perkawinan itu karena Azhari. Saya kasih salam dan perkenalan sama Wikana,” ujar Soemarsono.

Dari hasil pernikahannya, Wikana dan Asminah dikaruniai enam anak, yaitu Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria (alm.), Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, dan Remondi Sitakodana.

Pekerjaan sebagai organisatoris tak membuat Wikana alpa menulis. “Kalau sudah sampai di rumah, bapak pasti membaca dan menulis. Makan saja sampai dianter. Jadi kalau sudah namanya menulis, mengetik, dan baca buku, gak bisa diganggu,” kata Tati.

“Bapak adalah pembelajar otodidak. Dia bisa bahasa Jerman, Inggris, Rusia dan Prancis. Kalau bahasa Belanda adalah bahasa komunikasi sehari-hari,” kata Lenina.

Lenina menambahkan, kegemaran bapaknya adalah membaca buku. “Kalau anaknya ulangtahun, hadiahnya pasti buku. Kami diajak ke toko buku untuk memilih sendiri buku yang disukai. Kalau saya suka buku biografi dan sejarah,” ujar Lelina.

Melalui penanya Wikana menyebarkan gagasan-gagasan tentang pergerakan dan komunisme. Dia menulis Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena (Oesaha Penerbitan Tengara, 1947), Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (bersama DN Aidit, Legiono, dan Badan Penerangan Pusat SBPI, 1948), Satu Dua Pandangan Marxisme (Revolusioner, 194?). Pada Oktober 1938, Wikana, Amir Sjarifuddin, Asmara Hadi, dan A.M. Sipahutar menjadi dewan redaksi dalam majalah bulanan politik Toedjoean Rakjat.

Menurut Harry Poeze, Wikana juga aktif dalam surat kabar Menara Merah yang diterbitkan oleh PKI bawah tanah. Menara Merah menganut garis Moskow, yang menetapkan pembentukan front rakyat untuk membendung gerakan maju kekuatan-kekuatan totaliter Jerman dan Jepang. Menara Merah kemudian dilanjutkan oleh “generasi ketiga” PKI di bawah pimpinan Widarta dan K. Midjaja.

“Wikana bertugas menyebarkan Menara Merah di Jawa Barat, tapi penanggungjawab utama adalah Pamoedji yang telah menyuruh suratkabar ini dicetak di Surabaya. Pada bulan Juni 1940, satu eksemplar surat kabar ini disita. Dalam hubungan ini, Amir Sjarifuddin, Adam Malik, dan Wikana diduga tersangkut,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1, Agustus 1945-Maret 1946.

“Wikana ditangkap oleh Belanda karena menyebarkan Menara Merah dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna,” tulis Anderson.

Wikana tidak suka sama Belanda. “Karena bapak pernah ditempeleng sama orang Belanda,” kata Tati. Wikana bersama Sukarni, Adam Malik, dan lainnya dibebaskan dari penjara Cilacap setelah penyerahan Belanda kepada Jepang pada 8-9 Maret 1942. Sidik Kertapati mengenang Wikana sebagai orang yang dikenal lama oleh para pemuda pergerakan sejak sama-sama aktif dalam gerakan revolusioner zaman Belanda. Karena aktivitasnya, “Wikana selalu menjadi buronan politik dan sering keluar-masuk penjara di zaman kolonial Belanda,” tulis Sidik dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. [HENDRI F. ISNAENI]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-300-anak-menak-revolusioner.html

Lakon dalam Pusaran Revolusi

Relasi Wikana yang luas di kalangan intelijen Jepang berhasil mengamankan pembacaan teks proklamasi.

KEMAYORAN, pada sebuah sore, 14 Agustus 1945. Beberapa pemuda berkumpul di sebuah kebun pisang dekat lapangan terbang Kemayoran. Saat itu Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M. Hanafi, Sudiro, S.K. Trimurti dan Sajuti Melik berniat menemui Bung Karno dan Bung Hatta yang kabarnya akan mendarat dari Saigon, Jepang. Sesuatu telah membuat mereka gundah. Jepang telah kalah perang sementara kemerdekaan untuk Indonesia direken sebagai hadiah Jepang.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta menapakkan kaki keluar dari tangga dan berjalan menjauhi pesawat tiba-tiba para pemuda itu menghampiri keduanya.

“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung bawa dari Saigon,” kata Chaerul Saleh

“Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap,” sahut Bung Karno.

“Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga Bung,” timpal Chaerul Saleh.

“Kita tidak bisa bicara soal itu di sini, Kempetai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicarakan lagi,” tandas Bung Karno menutup percakapan.

Bung Karno dan Bung Hatta pergi begitu saja dan terkesan tak menghiraukan anak-anak muda itu. Mereka pun membubarkan diri kenang A.M. Hanafi dalam bukunya Menteng 31 Jembatan Dua Angkatan. Bola panas dari pertemuan itu masih terus bergulir pada beberapa jam ke depan.

Dalam pertemuan itu Wikana tidak hadir. Dia masih berada di kantor Subardjo di jalan Kebon Sirih. Menurut Suhartono, dalam buku Kaigun Penentu Krisis Proklamasi, meski saat itu Subardjo termasuk golongan tua dan Wikana golongan muda, namun keduanya dikenal memiliki hubungan yang cukup dekat. Ketika Maeda meminta Subardjo untuk mendirikan sebuah asrama pendidikan pemuda-pemuda Indonesia yang kemudian diberi nama Asrama Indonesia Merdeka, Subardjo meminta Wikana untuk mengepalai Asrama itu yang terletak di Jalan Bungur Raya 56. Di Asrama itu Wikana, atas permintaan Subardjo, mengadakan diskusi-diskusi politik dan kebangsaan yang menghadirkan Sukarno, Mohammad Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Sjahrir, RP Singgih, J. Latuharhary, Maramis, dan Buntaran sebagai pembicaranya.

Malam harinya sekitar pukul 20.00 para pemuda yang sempat menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Kemayoran kembali berkumpul di belakang Eijkman Instituut (Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur No. 17 sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI-Red). Di sana pemuda dari kelompok Menteng 31 seperti Chaerul Saleh, Djohar Noer, Abu Bakar Lubis, Armansyah, dan Subadio Sastrosatomo sudah menunggu. Kali ini Wikana turut serta bersama Aidit. Mereka kembali membahas rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pada pukul 23.00 diputuskan untuk mengirim perwakilan pemuda menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Wikana dipilih menjadi ketua utusan sekaligus juru bicara. Pertimbangannya, dia dianggap sudah kaya pengalaman berorganisasi. Wikana pernah menjadi anggota Barisan Pemuda Gerindo, Laskar Jawa Barat, Angkatan Pemuda Indonesia. “Saat itu Wikana termasuk yang paling senior. Dia sudah menjadi top figure,” kata Soemarsono.

Bersama Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan beberapa pemuda lain Wikana menuju kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Di sana rupanya sudah ada Bung Hatta, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Joyopranoto dan Buntaran. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya Wikana mulai melobi Bung Karno.

“Proklamasi kemerdekaan harus segera dibacakan,” kata Wikana

“Tunggu sebentar…” kata Bung Karno meminta pertimbangan tokoh-tokoh yang lain.

“… Kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara,” Bung Hatta menantang.

“Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, di Jakarta besok akan terjadi pertumpahan darah yang amat dahsyat…”

Mendengar ucapan Wikana yang bernada ancaman, Bung Karno naik darah. Setengah melompat dia berdiri di hadapan Wikana.

“Ini batang leherku. Seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga jangan menunggu besok…” Wikana terkejut mendengar kekukuhan hati Bung Karno. Dia sebenarnya tidak bermaksud mengancam namun “Bung Karno salah paham,” kata Soemarsono

Dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, dia menceritakan alasan penolakannya. Saat itu Bung Karno merasa bahwa para pemuda belum memiliki kesiapan total bila sewaktu-waktu terjadi bentrokan fisik melawan kekuatan senjata Jepang. Sedangkan Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia mengatakan penolakan Bung Karno dan Bung Hatta karena keduanya tak ingin meninggalkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah berada di Jakarta untuk rapat.

Yang jelas lobi Wikana gagal. Menjelang sahur pukul 1.30 dini hari para pemuda akhirnya undur diri. Mereka melanjutkan rapat ke Asrama BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia), Jalan Cikini No. 71, tak jauh dari kediaman Bung Karno.

Saat itu asrama merupakan eksponen penting dalam merancang strategi-strategi perjuangan menuju kemerdekaan. Ada tiga asrama yang saat itu popular sebagai dapur dialektika kebangsaan, rapat-rapat rahasia, dan merancang strategi perjuangan. Asrama Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka, dan Asrama Cikini 71. Menurut Ben Anderson dalam buku Revolusi Pemuda, asrama menjadi tempat yang penting bagi sejarah pergerakan kaum muda Indonesia di zaman pendudukan Jepang.

Hasil rapat para pemuda kemudian memutuskan kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat, jangan menunggu kemerdekaan dari Jepang. Para pemuda juga berencana untuk menjauhkan Bung Karno dan Bung Hatta dari tangan Jepang. Para pemuda sepakat untuk membawa kedua tokoh keluar Jakarta, pilihan lokasi jatuh ke Rengasdengklok, Karawang.

Dari keterangan Sidik Kertapati dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 6.00 pagi sebuah mobil keluar dari Cikini 71 membawa beberapa orang yang akan menculik Bung Karno. Chaerul Saleh, Wikana, dan dr. Muwardi pergi ke Pegangsaan Timur No. 56 untuk membangunkan Sukarno dan menyiapkan keberangkatan. Sementara itu Sukarni dan Yusuf Kunto menuju kediaman Bung Hatta di Miyakodori (sekarang Jalan Diponegoro-Red).

Kepada Bung Karno Wikana mengatakan, “Situasi gawat dan tidak stabil Bung harus disingkirkan!”

“Lalu bagaimana dengan istri dan anakku.”

“Dibawa sekalian saja Bung. Segera kemasi barang-barang.”

Sementara itu, kelompok pemuda yang mendapat tugas mengambil Bung Hatta menggunakan dalih bahwa Bung Karno memanggil Bung Hatta karena ada situasi genting. “Para pemuda tahu Bung Hatta tidak bisa diancam apalagi ditakut-takuti makanya mereka menggunakan nama Bung Karno untuk membawanya,” tutur Soemarsono.

Tapi ternyata di Rengasdengklok para pemuda juga gagal membujuk Bung Karno dan Bung Hatta untuk membacakan proklamasi. Sementara itu di Jakarta muncul kepanikan karena hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta. Subardjo dan Sudiro kemudian membujuk Wikana untuk mengatakan di mana Bung Karno dan Bung Hatta berada. Setelah mendengar janji Subardjo untuk membantu melaksanakan proklamasi kemerdekaan Wikana akhirnya tak kuat hati untuk terus menyimpan rahasia. Kepada Subardjo dan Sudiro dia ceritakan di mana Bung Karno dan Bung Hatta disembunyikan.

“Nyanyian” Wikana ini sempat disesalkan oleh Chaerul Saleh dan A.M. Hanafi. “Saya dan Chaerul Saleh menggasak Wikana habis-habisan. Tapi mau apalagi?! Untunglah dia mengakui kesalahannya kalau tidak habislah namanya sebagai pejuang di mata kami,” kata A.M. Hanafi mengungkapkan kekesalannya.

Setelah mengetahui di mana Bung Karno dan Bung Hatta berada Subardjo langsung menjemput keduanya kembali ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan beberapa pemuda yang memang sengaja ditinggal di Jakarta untuk memantau situasi mengadakan rapat dadakan. Saat itu hadir Wikana, A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar. Masing-masing membagi tugas untuk persiapan penyelenggaraan proklamasi. Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar bertugas menghubungi kantor berita Domei dan kantor Radio Hosokioku. Pardjono mengurus stensil dan penyebaran kabar proklamasi kemerdekaan.

Sementara itu Wikana bertugas mengatur semua keperluan pembacaan proklamasi di rumah Bung Karno. Dia juga memastikan kesediaan Laksamana Maeda untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Wikana pulalah yang mengatur agar para Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk tidak mengganggu jalannya proklamasi. Melalui perantara Subardjo, Wikana memang punya hubungan luas di kalangan Jepang, tidak terkecuali di kalangan intelijen Kaigun. Karena perannyalah perhelatan proklamasi aman dari jamahan Kempetai yang bisa saja menghabisi para tokoh itu sewaktu-waktu.

Dini hari 17 Agustus 1945 setelah kembali dari Rengasdengklok Bung Karno dan Bung Hatta langsung mengadakan rapat bersama beberapa tokoh pemuda lain di antaranya Sukarni dan B.M. Diah untuk merumuskan teks naskah proklamasi. Setelah dirasa pas, Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya menandatangani teks naskah proklamasi pada pukul 04.00 dinihari di kediaman Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Proklamasi baru dibacakan pagi hari pukul 10.00 di teras depan kediaman Bung Karno. Wikana sempat pula ketar-ketir karena si Bung Besar itu sedang kambuh sakit malarianya. Namun kekhawatirannya pupus ketika Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu. Dan Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya.[JAY AKBAR]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-299-lakon-dalam-pusaran-revolusi.html

Jiwa Proklamasi

Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 12.06

HAMENGKU BUWONO X

Kembali kepada Jiwa Proklamasi... kembali kepada sari intinya yang sejati, yaitu, pertama, Jiwa Merdeka Nasional... kedua, Jiwa Ikhlas... ketiga, Jiwa Persatuan... keempat, Jiwa Pembangunan, (Bung Karno, Pidato 17 Agustus 1952).

Pertanyaannya, menjelang 65 tahun kemerdekaan republik ini, apakah keempat Jiwa Proklamasi yang disitir oleh Bung Karno itu masih bersemayam di dada setiap warga bangsa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan kita sendiri itu, ada baiknya kita merefleksi makna proklamasi yang dapat kita baca dari teksnya.

”Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia”. Di sini mengandung pernyataan, Kemerdekaan Indonesia hanya bisa tercapai setelah melewati long-march perjuangan panjang sebelumnya.

Diawali sejak kebangkitannya, berupa cita-cita untuk merdeka yang dicanangkan Boedi Oetomo. Memang ”Indonesia” belum ”menjadi”, tetapi selangkah maju dari sekadar sebagai komunitas- komunitas terbayang, imagined communities versi Benedict Anderson (1991).

Di bagian lain, ”Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain”, makna ”pemindahan kekuasaan” menunjuk transformasi politik, konsekuensi logis kemerdekaan untuk lepas dari penjajahan dalam bentuk apa pun. Reformasi pada dasarnya juga bentuk kemerdekaan. Merdeka dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat penyelewengan.

Kita tentu tidak ingin bangsa ini terpuruk oleh sebab yang sama dalam bentuk lain. Nyatanya, korupsi masih marak dan penegakan hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya, reformasi belum menyentuh aspek hakiki, tetapi membawa kita terus berada dalam pusaran kesulitan serupa.

Anak kalimat ”dan lain-lain” adalah persoalan kita masa kini dan masa depan. ”Dan lain-lain” itu beraspek banyak yang menunjukkan pluralitas dan kompleksitas persoalan bangsa ini, yang harus kita urai lewat tahapan pembangunan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Pertanyaannya adalah sudahkah hasil yang kita capai itu memenuhi amanat proklamasi, yang tersirat dalam ”Tri Sakti Jiwa”? Jawabannya ada pada bagian teks lanjutannya, ”diselenggarakan dengan tjara seksama” dan ”dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”.

Anak kalimat pertama dapat dijabarkan dalam kebijakan, strategi, taktik, program, dan aksi. Dengan cara yang cermat saksama, melalui perencanaan atas dasar data, informasi, dan laporan yang benar. Kita lalu berbicara tentang peningkatan kualitas pemimpin, eksekutif, legislatif, yudikatif, pelaksana, sarana, pendidikan, manajemen, dalam hal profesionalisme, keandalan, kecerdasan, karakter, dan sebagainya.

Yang kedua adalah batasan ruang waktu, tahapan, sifat temporal yang sesegera mungkin dilakukan. Diakselerasi pencapaiannya, tetapi juga harus efisien dan efektif, hasil yang optimal, tanpa bocor. Karena, kalau tidak, kita akan tertinggal oleh percepatan transformasi global. Yang akhirnya, kita akan tinggal jadi penonton di arena perjuangan bangsa-bangsa lain di dunia.

Mimpi bersama

Untuk merefleksi 65 tahun proklamasi, kita harus dibawa kembali ke lorong-lorong sejarah pada awal tahun 1900-an, ketika kaum nasionalis sedang mencari- cari bentuk perjuangan untuk mewujudkan keindonesiaan kita.

Hal ini mengisyaratkan adanya paralelisme sejarah dengan situasi sekarang yang dihadapkan pada banyak permasalahan bangsa, di mana kita juga sedang mencari-cari solusinya.

Peta pluralitas keindonesiaan kita menjadi demikian kompleks, yang dalam dirinya membawa kepentingan, yang juga semakin terfragmentasi, mengancam semangat kebangsaan kita. Keberagaman justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok, dan dimaknai sebatas prinsip bahwa orang lain tidaklah lebih baik daripada kelompoknya sendiri.

Fenomena itu mempertegas pendapat Clifford Geertz (1997) tentang sulitnya melukiskan anatomi sosial-budaya masyarakat karena begitu kompleks dan serba multinya unsur Indonesia yang harus disenyawakan.

Sementara rajutan historis dan ideologis dari pluralitas itu tidak tumbuh dengan baik sehingga keindonesiaan yang terbentuk pun belum sepenuhnya utuh. Meminjam istilah Max Lane (2008), Indonesia adalah bangsa yang belum selesai (unfinished nation). Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas keindonesiaannya pun rapuh.

Politik identitas dalam format identitas suku, daerah, dan agama mudah menguat, yang bisa dilihat, misalnya, dalam radikalisme keagamaan. Tuntutan pemekaran daerah pun sering kali dipicu oleh menguatnya politik identitas. Jika hal tersebut tidak berhasil disinergikan menjadi modal sosial, kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi pembentukan keindonesiaan, melainkan juga dapat mengancam stabilitas dan eksistensi Republik.

Agar itu tidak terjadi, dan sebaliknya, supaya keragaman bangsa memberikan kontribusi signifikan bagi konsolidasi keindonesiaan, ”mimpi bersama” tentang keindonesiaan harus diciptakan kembali. Sebab, menurut Daniel Dhakidae (2001), tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa itu ”lahir”, tetapi ”hadir” dalam sebuah proses ”formasi” sebagai suatu ”historical being”. Bangsa mengisi kehadirannya sendiri dalam suatu ”proyek” yang dikerjakan oleh bangsa itu sendiri.

Jiwa merdeka

Kemerdekaan biasa kita maknai sebagai lepas dari belenggu penjajah dan kita sudah berhasil mewujudkannya 65 tahun yang lalu. Namun, kemerdekaan dalam artian seperti itu ternyata belum memadai dalam konteks kekinian. Dengan pandangan reflektif seperti itu, saat ini kita justru dituntut untuk terus melangkah maju karena bangsa lain sudah jauh di depan kita.

Dalam perspektif budaya, untuk mencapai ”Indonesia yang lebih baik”, konsekuensinya kita harus membangun watak baru yang memihak bangsa sendiri, berakar budaya yang berorientasi progresif agar mampu ”berbicara” di arena percaturan global karena dihormati oleh bangsa- bangsa lain di dunia.

Maka, marilah kita kembali pada Jiwa Proklamasi sebagai bangsa bermartabat, yang memiliki jiwa merdeka, keikhlasan untuk berkorban, tekad bersatu dalam keragaman, serta siap membangun jiwanya, membangun badannya untuk Indonesia Merdeka!

Hamengku Buwono X Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/03083355/jiwa.proklamasi.

Dijajah Sendiri

Paling ironis dalam suasana kemerdekaan berbangsa dan bernegara di tengah kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah dijajah oleh orang-orang dan bangsa sendiri ketimbang diserbu dan didominasi oleh para prinsipal asing yang menikmati sebebas-bebasnya akses ke pasaran Indonesia.

Ini adalah kondisi nyata dan realitas ironisnya kita berbangsa dan bernegara. Kebebasan kita berbangsa dan bernegara selalu saja ditindas atas nama moralitas dan berlindung di balik undang-undang dan hukum yang berlaku, tanpa melihat persoalan kemajuan teknologi komunikasi informasi sebagai sentra untuk menjadikan bangsa dan negara ini berbasis informasi.

Intersepsi informasi digital atas nama moralitas diutamakan ketimbang memperjuangkan hak konsumen dan warga negara mengakses jejaring internet secara cepat, terjangkau, dan efisien mengikuti asas lisensi modern menghargai service level agreement sebagai jaminan hak dasar memperoleh informasi yang dijamin konstitusi.

Para birokrat kita tidak mengerti dan memahami, informasi itu ada setelah teknologi komunikasi berkembang dan tergelar secara luas sehingga terminologinya pun mengikuti asas ini dengan menyediakan teknologi komunikasi memadai.

Birokrat kita pun kebingungan dan takut dibilang latah mengikuti negara-negara lain untuk membatasi akses jasa layanan Blackberry yang dianggap sebagai melanggar wilayah kedaulatan bangsa dan negara seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah dan India.

Tragedi Mumbai, India, akhir 2008 menunjukkan aktivitas terorisme menguasai kota dan serangan frontal ke penduduk sipil menggunakan perangkat Blackberry sebagai cara melakukan komunikasi aman.

Para teroris mengerti dan memahami, Blackberry adalah produk komunikasi informasi paling aman di dunia karena teknologi enkripsi dan kecepatan untuk mengirim dan menerima informasi tidak akan mampu disadap dan diintersepsi oleh pihak keamanan dan kepolisian.

Birokrat kita tidak mengerti, layanan Blackberry menempatkan Research In Motion (RIM) asal Kanada juga berfungsi sebagai perusahaan penyedia akses internet (ISP) yang tidak perlu membayar pajak atau biaya hak penggunaan (BHP) seperti dilakukan perusahaan-perusahaan ISP dalam negeri.

Sedihnya kondisi kita seperti prakemerdekaan. Bedanya, penjajahnya bangsa sendiri yang melakukan intersepsi atas bangsa dan rakyatnya tanpa mempersoalkan masalah keamanan dan kedaulatan negara, dan berkolaborasi dengan orang asing yang menikmati pasar dalam negeri yang menggiurkan. Sedih!

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/04355379/dijajah.sendiri

Benarkah Kita Bangsa yang Berbudaya Tinggi?

Indonesia selama ini disebut-sebut sebagai bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Pernyataan seperti itu sudah berulang kali kita dengar. Baik itu dari orang-orang Indonesia sendiri maupun dari orang-orang asing yang berkunjung ke negeri ini. Dan, semua itu menjadikan kita bangga menjadi bagian dari bangsa ini.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, dan juga melihat betapa banyak peristiwa yang terjadi di negara ini yang membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi?

Ketika Indonesia masuk ke dalam daftar negara-negara yang paling korup di dunia, atau sekelompok anggota masyarakat tertentu melakukan kekerasan atau memaksakan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat lainnya, kita bertanya-tanya benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Melihat kekerasan dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah serta perusakan gereja dan kekerasan terhadap jemaatnya membuat sulit bagi kita untuk dapat menerima pernyataan bahwa bangsa Indonesia ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi.

Argumen yang selalu dikemukakan adalah itu hanyalah ulah sebagian kecil dari komponen bangsa ini, dan bukan gambaran dari sikap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun, kerap terjadinya kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat tertentu menjadikan pernyataan bahwa bangsa Indonesia yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi selalu digugat kembali.

Kita ingin percaya bahwa tindakan yang tidak ramah-tamah, tidak toleran, dan tidak berbudaya itu hanya merupakan ulah sebagian kecil dari komponen bangsa ini, tetapi hal itu sulit dilakukan, apalagi melihat ulah dan perilaku orang-orang Indonesia di jalan raya setiap hari. Jalan raya bagaikan rimba belantara, khususnya pada saat jam-jam sibuk, yakni jam-jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam itu seakan-akan peraturan dan aturan lalu lintas tidak berlaku.

Ketika kenyataan seperti itu diangkat ke permukaan, tidak sedikit orang yang bersikeras mengatakan, pada hakikatnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Namun, begitu mereka menggunakan atribut (seragam) tertentu, atau mengendarai kendaraan bermotor tiba-tiba orang Indonesia akan menjadi orang yang tidak ramah-tamah, tidak memiliki toleransi, dan tidak berbudaya.

Dengan menggunakan atribut tertentu, seakan-akan orang berhak melakukan apa saja. Lihat saja perilaku dan ulah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat akhir-akhir ini. Begitu pula di jalan raya. Lihat bagaimana sulitnya pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan. Jangankan di ruas jalan yang tidak memiliki lajur penyeberangan (zebra cross), yang memilikinya pun tidak digubris. Para pengguna kendaraan motor sama sekali tidak memedulikan lajur penyeberangan. Pengguna sepeda motor lebih parah lagi, lampu lalu lintas pun seakan tidak berlaku bagi mereka.

Pengendara sepeda motor dan pengendara mobil seperti malas mengerem untuk memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang atau memberikan kesempatan kepada pengendara lain untuk membelok dan melintas di depan sepeda motor atau mobil yang mereka kendarai. Itu adalah pemandangan yang dapat dengan mudah ditemui di jalan raya setiap hari.

Lihat juga bagaimana angkutan umum dengan seenaknya sendiri berhenti menunggu penumpang atau dengan tenangnya melaju di jalur yang berlawanan pada saat mobil-mobil di jalurnya mengantre panjang. Tidak sedikit pengendara mobil pribadi yang melakukan hal yang sama. Bahkan, tidak sedikit sepeda motor dan mobil pribadi, termasuk mobil-mobil papan atas, yang melanggar rambu dilarang membelok.

Akan tetapi, jika kita amati dengan saksama, bukan hanya pengendara kendaraan bermotor yang bersikap tidak ramah-tamah, tidak memiliki toleransi, dan tidak berbudaya, melainkan juga pengguna jalan lainnya, seperti pejalan kaki dan pedagang kaki lima.

Pejalan kaki lebih memilih membahayakan keselamatan dirinya dan diri pengendara sepeda motor atau mobil daripada menggunakan jembatan penyeberangan. Bahkan, mereka lebih memilih merusak pagar pembatas dan menerobosnya ketimbang menggunakan jembatan penyeberangan.

Hal yang sama juga dilakukan pedagang kaki lima. Di pasar-pasar tradisional pedagang kaki lima menggelar dagangannya di badan jalan. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa ulah mereka itu menimbulkan kemacetan lalu lintas karena mereka menguasai satu lajur badan jalan. Sisanya, satu lajur lagi, digunakan angkutan umum untuk menunggu penumpang. Antrean kendaraan di belakangnya sangat panjang, tetapi siapa yang peduli.

Dalam rangka memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2010, ada baiknya kita merenung dan melakukan introspeksi: masih bisakah kita menyebut diri sebagai bangsa yang ramah-tamah serta memiliki rasa toleransi dan budaya yang tinggi seperti yang kita gembar-gemborkan selama ini?

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/04510163/benarkah.kita.bangsa.yang.berbudaya.tinggi

Dengan berintrospeksi, kita akan mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dan mencari cara untuk memperbaikinya serta mulai mengajarkannya kepada anak-anak kita sejak usia dini.

Sikap toleran kepada sesama yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mengantre. Dengan mengantre, kita menunjukkan bahwa kita menghargai orang lain yang sudah hadir lebih dulu.

Selama ini kita hanya berhenti sampai pada gagasan-gagasan yang besar saja. Contohnya, kita hanya diajarkan harus menghormati orangtua, orang yang lebih tua, dan orang lain. Pernyataan itu selalu diulang-ulang setiap kali. Namun, kita tidak pernah diajarkan bagaimana cara melakukannya atau bagaimana rinciannya.

Pada masa lalu kita memiliki tata cara bertingkah laku yang baik. Misalnya, berjalanlah di sebelah kiri; apabila saat menyeberang berdirilah di sebelah kanan orang yang harus dilindungi (anak-anak, perempuan, atau orang yang lebih tua); berikan kesempatan kepada orang yang keluar lebih dulu; jika menaiki tangga, berjalanlah di belakang orang yang dilindungi atau jika menuruni tangga, berjalanlah di depan orang yang harus dilindungi.

Dengan menengok ke masa lalu, bukan berarti kita mengagung-agungkan masa lalu, atau menafikan bahwa zaman dan kondisi telah berubah. Kita dapat mencari hal-hal yang masih relevan dan dapat ditetapkan untuk masa kini. Tentunya dengan melakukan penyempurnaan di sana-sini.

Memberi salam hormat atau tersenyum kepada orang lain hanyalah merupakan langkah awal menuju sikap yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Ada banyak rincian tindakan lagi yang perlu menunjang itu. Apalagi untuk membuatnya tecermin melalui perilaku dan ulah kita di jalan raya. Dirgahayu Republik Indonesia.
(JL)

Incumbent Harus Mundur

Pemilu kada langsung lebih banyak menimbulkan kekisruhan. Karena melihat eksesnya, kita harus mengevaluasinya.'' Ade Komaruddin Sekretaris Fraksi Partai Golkar
PEMILIHAN umum kepala daerah (pemilu kada) secara langsung yang sudah berlangsung sekitar lima tahun menuai banyak soal. Selain memunculkan perseteruan panjang antara calon yang kalah dan yang menang, pemilihan bupati dan gubernur menelan banyak dana. Bukan fakta baru banyak bupati dan gubernur diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena mengorupsi uang negara untuk mengembalikan utang saat pencalonan.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Priyatmoko menilai pemilu kada langsung memang mahal. Karena itu, pemilu kada tidak langsung untuk gubernur perlu dipikirkan. Apalagi gubernur merupakan wakil pemerintah pusat.

“Tapi, pemilihan tidak langsung itu tetap harus melewati mekanisme penjaringan parpol dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota, sehingga DPRD tidak memilih orang yang tidak dikehendaki rakyat,” katanya, kemarin.

Karena itu, Priyatmoko juga mengusulkan agar calon incumbent (petahana/pejabat kini) perlu mundur untuk mewujudkan netralitas birokrasi dalam pemilu kada pilkada. “Pemilu kada memang mahal dan ratarata incumbent ingin menang atau bahkan mengusung istri atau anaknya bila sudah tidak memungkinkan lagi,” katanya.

Pemilu kada langsung sejak 2005 memang banyak menimbulkan ekses. Puluhan kepala daerah masuk bui karena terjerat kasus korupsi, konflik
antarpendukung calon kepala daerah, dan perkara sengketa pemilu kada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 244 pemilu kada pada 2010, sampai Agustus ini MK sudah memutus 89 perkara pemilu kada.

Tetapi, yang dikabulkan hanya delapan dan tiga pemilu kada dibatalkan. Sejumlah pemilu kada dibatalkan MK seperti Kotawaringin Barat menuai kontroversi dan membuat kekosongan kepemimpinan di wilayah tersebut.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR Ade Komaruddin mengatakan dalam mensikapi berbagai ekses tersebut, Partai Golkar akan mengevaluasi pemilihan langsung untuk bupati dan gubernur.

Selain itu, biaya pemilu kada langsung yang harus dikeluarkan calon bupati ataupun gubernur sangat besar hingga mencapai puluhan miliar.

‘‘Di luar negeri keberhasilan seorang calon juga ditunjukkan dengan dukungan fi nansial dari rakyat kepada sang calon, ‘‘ kata Ade saat buka puasa bersama dengan jajaran Partai Golkar Purwakarta, kemarin.

Tetapi, di Indonesia berbeda.

Urusan fi nansial dicari sendiri oleh calon bersangkutan. Akibatnya, jika kelak terpilih, bupati atau gubernur bersangkutan akan kreatif mengolah APBD. Kreativitas itu sering membuat bupati atau gubernur tergelincir dan diperiksa KPK karena melakukan korupsi dan kolusi. “UUD 1945 tidak mengamanatkan pemilihan bupati dan gubernur secara langsung. Karena melihat ekses nya, kita harus mengeva–
luasinya," kata Ade.
Masih dikaji Di Padang, Sumatra Barat, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan diskursus gubernur dipilih DPRD masih berlangsung dan masih dibutuhkan kajian lebih mendalam. "Sekarang berbagai pandangan masih bermunculan, maka aspirasi yang berkembang diserap dulu sehingga bisa menjadi kajian saat perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah," katanya seusai melantik pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih Sumbar periode 2010-2015 Irwan PrayitnoMuslim Kasim, kemarin..
Gamawan menjelaskan sebaiknya gubernur dipilih DPRD supaya terlihat adanya penghematan biaya. Selain itu, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah semakin lebih efektif.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/16/ArticleHtmls/16_08_2010_002_017.shtml?Mode=0