BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Adnan Topan: Vonis Bebas bagi Koruptor

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.27

Vonis Bebas bagi Koruptor

Pengadilan adalah gerbang terakhir upaya mencari keadilan. Akan tetapi, hakim bersama-sama dengan aparat penegak hukum lain pun telanjur diyakini menjadi bagian dari sindikat mafia peradilan.


Rusaknya hukum di negeri ini merupakan sebuah cerminan nyata dari kehancuran integritas aparat penegak hukumnya. Meskipun tidak ada kasus jual-beli perkara yang terungkap, bau anyir kebobrokan para hakim terendus kencang. Seperti angin, eksistensinya tidak pernah bisa terlihat kasatmata, tetapi kehadirannya dapat kita rasakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum yang diandalkan publik pernah mencoba membongkar kasus mafia peradilan di pengadilan.Tidak tanggung-tanggung, operasi itu diarahkan ke pusat kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (MA) RI.Akan tetapi upaya itu gagal karena bocornya informasi terkait rencana operasi besar tersebut.

KPK pun hanya bisa mencokok pegawai MA saja,sementara the big fish-nya melenggang bebas.Hingga periode 2010, KPK sama sekali belum mendapatkan tangkapan bagus di lingkungan pengadilan. Upaya KPK perlu didukung dan harus menjadi agenda prioritas mengingat tiadanya kasus korupsi yang melibatkan hakim menjadi salah satu alasan pembenaran bahwa di lingkungan pengadilan tidak ada praktik suap-menyuap. Oleh karena itu,satu-satunya cara untuk meyakinkan otoritas politik bahwa korupsi di pengadilan telah menjamur adalah dengan mengungkap korupsi di wilayah itu.

Fenomena Koruptor Bebas

Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hakim bisa dengan mudah membebaskan terdakwa korupsi, sementara untuk kasus-kasus kecil, mereka bisa dengan mudah menjeratnya? Ini bukan sebuah fenomena yang kebetulan, tetapi ada suatu sistem yang berjalan dengan tidak transparan dan akuntabel. Sistem koruptif yang telah mencabikcabik martabat serta keluhuran hakim sebagai pemegang palu kebenaran. Data pemantauan ICW pada 2009 menunjukkan ada yang tidak beres dalam proses peradilan kasus korupsi.

Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.

Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Meski diputuskan bersalah, bobot vonisnya dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara sebanyak 82 terdakwa (21,69%), 1–2 tahun 23 terdakwa (6,08%), 2–5 tahun 26 terdakwa (6,88%) dan 5–10 tahun 6 terdakwa (1,59).Hanya ada 1 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,26%). Acap kali independensi hakim menjadi sebuah dasar bagi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika keadilan sekaligus melukai perasaan keadilan publik.

Padahal jika kita kaji dalam perspektif politik hukum, tersembunyi sebuah kenyataan yang tak terlihat bahwa kekuasaan, baik uang maupun kedudukan, dapat menjadi faktor penentu putusan pengadilan. Bisa dikatakan, hakim yang bersih dengan UU yang banyak kelemahannya sekalipun bisa menjatuhkan vonis yang adil dibandingkan dengan UU yang sangat baik akan tetapi berada di tangan hakim yang kotor.

Di Balik Vonis Bebas

Dalam kasus korupsi, vonis hakim akan langsung berhubungan dengan perasaan keadilan publik. Hal itu bukan hanya karena,per definisi, korupsi sama artinya dengan merampok uang publik, tetapi karena dampak dari tindak pidana korupsi telah merenggut hak-hak dasar warga masyarakat. Jika korupsi sudah dianggap sebagai extra-ordinary crime, seharusnya cara membaca kualitas kejahatan ini tidak bisa disamakan dengan kejahatan jalanan (street crime).

Mencurigai bahwa di balik vonis bebas ada praktik jual-beli perkara tentu tidak boleh disalahkan. Akan tetapi belum tentu juga seluruh kecurigaan itu benar. Dalam beberapa hal, faktor kecakapan hakim dalam memahami persoalan korupsi menjadi kendala bagi lahirnya sebuah putusan yang berkualitas. Jika masalah di atas dipadukan dengan rendahnya komitmen dalam memberantas korupsi, sangat mungkin vonis-vonis bebas bagi koruptor akan terus lahir.

Demikian halnya,hakim secara objektif tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika memutuskan vonis bebas.Ada kalanya, kenakalan dalam menangani perkara sudah dimulai sejak di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum lainnya. Artinya, ada celah lain yang bisa menciptakan vonis bebas di luar otoritas kekuasaan pengadilan. Dalam beberapa hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW terhadap putusan kasus korupsi, lemahnya dakwaan jaksa atau bahkan tidak digunakannya alat bukti yang kuat––meskipun tersedia–– pada persidangan kasus korupsi menjadi salah satu pemicu bebasnya koruptor.

Jalan Keluar

Meskipun berbagai faktor sangat memengaruhi bebas tidaknya terdakwa korupsi di pengadilan, benteng yang kuat dari hakim dapat menutup celah-celah tersebut.Oleh karena itu, syarat utama bagi lahirnya sebuah putusan hakim yang adil adalah integritas seorang hakim itu sendiri.

Hakim bisa memberikan teguran kepada jaksa jika tuntutan dan alat bukti tidak memadai, hakim bisa meminta jaksa melengkapi dakwaan, dan hakim bisa mencari berbagai macam inspirasi kebenaran meskipun dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi jalannya persidangan yang adil. Sosok hakim yang berintegritas baru bisa dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang mendukung. Mudahnya hakim bertemu dengan pihak-pihak beperkara, kepermisifan yang sangat tinggi terhadap berbagai macam penerimaan yang dikategorikan gratifikasi, lemahnya pengawasan internal,dan longgarnya nilai-nilai integritas di lingkungan pengadilan merupakan faktor penunjang bagi terjadinya mafia kasus.

Dengan demikian, perlu diambil sebuah langkah yang mungkin tidak terlalu besar,tetapi memberikan dampak menyeluruh bagi kebiasaan lama yang cenderung koruptif. Meningkatkan dan memperketat kode etik yang mengandung nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi sebagai pejabat publik merupakan langkah mendesak yang harus diambil otoritas pengadilan.Pendeknya,dibutuhkan pelembagaan nilai-nilai antikorupsi yang kuat pada setiap tingkatan pengadilan sehingga memupuskan peluang bagi terjadinya kolusi.MA sebenarnya bisa meniru bagaimana KPK membangun nilainilai tersebut.

Dengan nilai-nilai antikorupsi yang ketat,sanksi yang tegas dan pengawasan yang memadai, tingkah laku hakim akan bisa dikendalikan. Terakhir, lingkungan pengadilan harus didesak untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik melalui berbagai macam kebijakan disclosure. Artinya, keterbukaan dan akses informasi publik di lingkungan pengadilan harus menjadi bagian dari sistem akuntabilitas atas kerjakerja penegakan hukum yang dilakukan para hakim.

Harus diingat bahwa korupsi akan selalu nyaman dalam ruang yang remang-remang. Memberikan penerang pada setiap proses pengambilan keputusan publik adalah penawar penyakit korupsi yang tidak bisa dibantah lagi.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/299288/

Baz: Manusia Biasa

KOLOM POLITIK EKONOMI
Manusia Biasa


Budiarto Shambazy

Persis setahun yang lalu, 20 Januari, saya berangkat sekitar pukul
06.00 dari rumah dinas Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Pak
Sudjadnan Parnohadiningrat menuju Kongres dengan kereta api bawah
tanah. Lalu lintas di The Mall, yang luasnya sekitar 3 x 1,8
kilometer, ditutup untuk acara pelantikan Presiden Barack Obama yang
digelar di halaman Kongres.

Subway penuh sesak karena merupakan satu-satunya transportasi yang
dapat digunakan mencapai beberapa stasiun di The Mall. Suhu hari itu
mencapai minus 17 derajat celsius. Dari stasiun ke Kongres, makan
waktu sekitar satu jam berjalan kaki.

Total sekitar 1,4 juta manusia menyemut di The Mall menyaksikan
pelantikan. Antrean masuk ke tempat pelantikan di gerbang-gerbang yang
dijaga ketat aparat keamanan mencapai berpuluh-puluh meter. Rapatnya
barisan manusia yang menghangatkan badan tak mampu mengusir rasa
dingin yang menusuk tulang.

Beda dengan pesta kemenangan Obama di Chicago, 4 November 2008, yang
gegap gempita dan dihadiri sekitar 700.000 orang, pelantikan berjalan
khidmat. Saking dinginnya, konser Yo Yo Ma dan kawan-kawan terpaksa
disajikan lewat rekaman karena senar selo, biola, dan tuts piano
sumbang akibat cuaca.

Beda dengan di Chicago, Obama menjalani transformasi dari orang
Demokrat menjadi presiden negara demokrasi kedua terbesar di dunia.
Jika selama kampanye ia bersenjatakan slogan ”Change, We Can Believe
In”, dalam pelantikan ia yakin slogan ”Yes We Can” tercapai dalam 100
hari.

Obama memang ”The Phenomenon”. Tidak bosan menyaksikan kegembiraan 1,4
juta manusia di The Mall sejak pagi sampai malam, sejak upacara
pengambilan sumpah sampai pawai. Obama bersama Michelle bahkan turun
dari mobil saat pawai di dekat Gedung Putih. Semua berharap Obama
memperbaiki wajah AS di mata dunia agar lebih manusiawi, pluralistis,
dan damai.

Selama setahun memerintah, kehadiran Obama terasa di mana-mana. Rakyat
dan media dunia tak bosan mencumbu Obama, istrinya, kedua putrinya,
bahkan anjing peliharaan mereka.

Namun, selama dua bulan terakhir 2009, honeymoon mulai membosankan.
Slogan ”Yes We Can” dicemooh menjadi ”No You Can’t”. Approval rate
Obama melorot dari di atas 70 persen ke kisaran 50 persen.

Pukulan telak terjadi pekan ini. Citra Obama dan Demokrat yang menang
telak dalam pemilihan presiden, senator, anggota DPR, dan gubernur,
pada November 2008, tercoreng hanya oleh sebuah ”pemilu khusus”. Salah
satu akibatnya, mayoritas 60-40 Demokrat di Senat, majelis tinggi yang
peranannya amat menentukan dalam legislasi, terancam bahaya dalam
pemilu sela, November 2010.

Pemilihan khusus terjadi di Massachusetts. Setelah Senator Ted Kennedy
wafat, kursi Senat di negara bagian itu kosong sehingga perlu segera
diisi. Ternyata calon Demokrat, Martha Coackley, dikalahkan Scott
Brown (Republik).

Ini bukan kekalahan biasa. Ted Kennedy sudah lebih dari 40 tahun
menjadi senator di sana.

Kedua, Massachusetts adalah daerah pemilihan ”yang paling biru” (biru
warna Demokrat) yang tak terbayangkan akan direbut Republik. Apalagi
dari negara bagian itu lahir ”darah biru” Demokrat yang tersohor,
seperti klan Kennedy atau Senator John Kerry. Wajar kubu Demokrat
menggugat diri mengapa bisa begini?

Tentu tidak semua terjadi karena kesalahan Obama. Toh, ia terpilih
menjadi presiden justru karena dukungan mayoritas rakyat. Ia tahu
rakyat lelah dengan kultur perang Presiden George W Bush, oleh sebab
itu menambah pasukan ke Afganistan untuk membekuk Osama bin Laden.

Ia bertekad menutup Guantanamo untuk mengembalikan hak asasi manusia
sebagai salah satu core values Demokrat. Jangan lupa, Obama terpilih
juga karena dari jauh hari sudah memprediksi bakal terjadinya krisis
moneter yang dipicu oleh kekeliruan subprime mortgage.

Tentu Obama melakukan sejumlah kesalahan pemula. Pertama, ia keburu
menjual program jaminan kesehatan yang sesungguhnya bertujuan mulia.
Ia tidak belajar dari kegagalan eksperimentasi serupa yang dilakukan
Presiden Bill Clinton dan Ibu Negara Hillary Clinton.

Singkat kata, program jaminan kesehatan itu malah membebani rakyat
dengan pajak baru dan mengundang ekspansi pemerintah (big government).

Kedua, ia terjebak ke dalam perjudian penggelontoran paket stimulus
dan bail out yang memanjakan eksekutif, bankir, dan industrialis. Di
kala penganggur bertambah dalam bilangan 100.000- 200.000 per bulan
sejak tahun 2008 yang mencapai total sekitar tujuh juta sampai kini,
perjudian itu pasti sukar dimenangi Obama.

Oleh karena itu, pidato Obama dua hari lalu mulai memosisikan bankir,
industrialis, dan eksekutif sebagai ”musuh” dan lebih fokus ke job
creation. Ini solusi ampuh, tinggal bagaimana ia menerjemahkan rencana
menjadi program riil yang diamini rakyat biasa.

Obama berpolitik sejak usia muda yang jadi modal kuat menghadapi
serbuan kritik Republik ataupun 30-40 persen rakyat independen. Ia
pemimpin yang memiliki kredibilitas, tidak asal bicara, dan tampil apa
adanya seperti manusia biasa.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/02523780/manusia.biasa

Xuping, "Pahlawan" Xiashuixi

CHINA
Xuping, "Pahlawan" Xiashuixi


Pemuda berusia 19 tahun, Zhang Xuping, pasti sudah menyadari jika
tawaran uang sebanyak 1.000 yuan (sekitar Rp 1,4 juta) kemungkinan
harus dibayar dengan nyawanya. Akan tetapi, pemuda desa di pinggiran
kota Xiashuixi di China utara itu tak menyesal dan bahkan dianggap
sebagai pahlawan.

Dengan imbalan 1.000 yuan, Zhang kemudian menikam Li Shi Ming hingga
tewas pada September 2008. Zhang kemudian ditangkap, dan pada 15
Januari lalu sebuah pengadilan China menjatuhkan hukuman mati
kepadanya.

Otoritas dan pengadilan China mengatakan Zhang sebagai seorang
pembunuh. Namun, para warga desa pinggiran Xiashuixi menganggapnya
sebagai pahlawan mereka.

Lebih dari 20.000 warga di lokasi pertambangan batu bara itu kemudian
menyampaikan petisi ke pengadilan. Mereka meminta agar Zhang diberi
hukuman lebih ringan.

”Saya tidak terkejut sama sekali ketika mendengar Li Shi Ming dibunuh
karena memang sudah sejak lama banyak orang yang ingin membunuhnya,
termasuk saya, tetapi saya terlalu lemah,” kata Xin Xiaomei, seorang
wanita setempat.

Xin mengatakan, suaminya selama bertahun-tahun ditindas Li, setelah
terlibat pertengkaran.

Li Shi Ming bukan orang sembarangan. Dia adalah pejabat lokal Partai
Komunis. Namun, selama ini—sebagaimana disampaikan banyak warga—Li
telah membuat kehidupan mereka seperti di neraka. Li dengan seenaknya
mengambil tanah, memeras, dan mempermainkan perasaan rakyat selama
bertahun-tahun.

Salahgunakan kekuasaan

Pengadilan kasus pembunuhan itu juga kembali menyoroti penyalahgunaan
kekuasaan kader-kader komunis. Ulah mereka meningkatkan rasa frustrasi
yang dialami banyak rakyat biasa.

China dengan sistem satu partai sering kali memungkinkan para pejabat
menjalankan pemerintahan di distriknya seperti sebuah tanah milik
sendiri.

Zhang melakukan pembunuhan itu setelah ditawari upah oleh Zhang
Huping, seorang petani berusia 35 tahun yang tak tahan lagi karena
terus-menerus diperas Li Shi Ming.

Surat kabar setempat melaporkan, Zhang Huping rutin dipenjara karena
tuduhan yang dibuat-buat oleh Li Shi Ming. Li Shi Ming terus menekan
sejak Huping memimpin sebuah kelompok petani dengan tujuan meminta
bantuan kepada otoritas provinsi. Hal itu dipicu ulah Li Shi Ming,
yang pada 2003 membabat pepohonan di areal seluas 11,1 hektar milik
para petani. Li Shi Ming melakukan itu tanpa izin apalagi kompensasi.

Lampiaskan kemarahan

Xuping memasuki sebuah sekolah di mana Li menghadiri sebuah pertemuan.
Saat melihat Li sendirian, Xuping mendekat dan menikam Li tepat di
jantungnya. Li sempat berlari keluar gedung menuju mobil mewahnya,
tetapi dia tewas sebelum tiba di rumah sakit.

Kasus itu segera mengundang simpati banyak orang kepada sang pembunuh
muda itu. Sebaliknya, mereka melampiaskan kemarahan kepada Li.
Pengadilan kasus Xuping semula dijadwalkan pada Agustus 2009, tetapi
ditunda hingga November karena ribuan orang mendatangi pengadilan
untuk menyaksikan.

”Ketika kami mendengar Li tewas, kami merasa bahagia karena dia
melakukan banyak sekali kejahatan dan benar-benar membuat kami para
penduduk desa menderita. Kami semua membenci dia,” ungkap Zhang
Weixing, salah seorang warga desa yang tidak memiliki hubungan
keluarga dengan pelaku maupun pengupahnya.

Surat kabar harian pemerintah Beijing Youth melaporkan, saat
persidangan, pelaku meminta maaf kepada keluarga Li Shi Ming. Namun,
putra tertua Li Shi Ming menolak permintaan maaf itu di pengadilan dan
mengatakan dia berharap para hakim akan menghukum pembunuh ayahnya
dengan ”hukuman mati di depan regu tembak”.

Kasus ini seperti mengulang kasus sebelumnya ketika seorang perempuan
China menikam seorang pejabat partai komunis untuk mempertahankan
harga diri dari pejabat yang akan memerkosanya. (AP/OKI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/0339178/.xuping.pahlawan.xiashuixi

Lambang Trijono: Etika Politik di Skandal Century

Etika Politik di Skandal Century


Lambang Trijono

Kasus Bank Century memunculkan problem pelik bagaimana melakukan
penilaian etika politik terhadap sesuatu kasus kebijakan yang salah
dan memintai pertanggungjawaban aktor dan agensi yang terlibat dalam
pengambilan kebijakan.

Mencermati pertanyaan anggota Pansus, kebanyakan mengarah ke pencarian
aktor atau agensi yang bertanggung jawab. Sedikit yang ke persoalan
substansi materi dan proses pengambilan kebijakan, sehingga bisa
dijadikan landasan menilai etika politik di balik skandal Century.

Pertanyaan yang mengabaikan substansi materi dan bagaimana proses
pengambilan keputusan diambil hanya akan membenturkan masalah pada
tembok kekuasaan. Hal ini akan membuat skandal sulit diungkap karena
begitu kompleksnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan seputar
kebijakan bail out Bank Century.

Ini tercermin dalam debat kesaksian karena begitu refleksifnya
perdebatan antara anggota Pansus dan Marsillam Simanjuntak dalam
persidangan, Senin (18/1) malam. Pertanyaan-pertanyaan dilandasi
prasangka-prasangka pre-politik hanya memusat pada aktor atau agensi,
seakan kandas di tengah jalan.

Kesaksian Marsillam yang lebih mengarahkan pada substansi materi
daripada ke aktor atau agensi membuat banyak anggota Pansus harus
berpikir dan memutar haluan pertanyaan dua atau tiga kali putaran
sehingga bukan kejelasan aktor dan agensi yang didapat, melainkan
pembelajaran bagi anggota Pansus bagaimana seharusnya melakukan
penilaian atas etika politik dari suatu kebijakan.

Debat anggota Pansus dengan Marsillam menyadarkan kita betapa
kompleksnya sebuah pengambilan kebijakan. Tidak hanya ditentukan oleh
tindakan aktor atau agensi, tetapi juga substansi materi kebijakan dan
realitas struktur kekuasaan di mana kebijakan diambil.

Perdebatan itu mengingatkan pada debat klasik soal kekuasaan dan
penentuan kebijakan dalam ilmu politik, apakah cukup sahih melihat
pengambilan kebijakan hanya pada tindakan aktor atau agensi penentu
kebijakan tanpa melihat atau mengabaikan realitas struktur relasi
kekuasaan. Hubungan aktor dengan struktur kekuasaan merupakan realitas
sangat kompleks dalam politik. Robert Dahl dan kawan-kawan, termasuk
dalam aliran behaviorist, menekankan pentingnya melihat peristiwa
penentuan kebijakan (decision making events) untuk menilai tindakan
aktor atau agensi dalam politik.

Kekuasaan, bagi Dahl, mengikuti Max Weber, adalah tindakan memengaruhi
pihak lain yang tak sepaham lewat berbagai cara, baik persuasi atau
koersi, sehingga pihak lain mengikuti. Konsepsi kekuasaan dalam arti
power over atau berwajah/berdimensi tunggal (one dimension/face of
power) menjadikan tindakan aktor dan agensi sebagai pihak paling
otonom bertanggung jawab atas kebijakan.

Konsepsi demikian problematik, mengingat pengambilan kebijakan selalu
terkait dengan sesuatu obyek dan hanya bisa beroperasi, atau
termobilisasi (get mobilized), melalui bekerjanya relasi-relasi atau
jejaring kekuasaan. Berbeda dengan Dahl; Bachrach serta Baratz dan
kawan-kawan termasuk dalam aliran non-decisionist, lebih melihat
pentingnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan untuk menilai
sebuah kebijakan. Bahwa kebijakan selalu memerlukan dukungan kolektif
berbagai aktor atau agensi merupakan realitas politik, tidak bisa
dinafikan.

Konsepsi ini, atau disebut kekuasaan berdimensi/berwajah dua (two
dimension/faces of power), membawa konsekuensi pentingnya realitas
struktur obyektif di luar aktor penentu kebijakan. Sering kali terjadi
bahwa pemegang otoritas tidak otonom dalam penentuan kebijakan dan
lebih tunduk pada situasi realitas obyektif sekitar. Atau sebaliknya,
pemegang otoritas tidak mengambil sesuatu keputusan, atau berkeputusan
untuk tidak mengambil keputusan (decide not to decide) meskipun tahu
pihak lain akan mengikuti.

Di sisi lain, aktor atau agensi bukan pemegang otoritas, bisa saja
terlibat aktif pengambilan keputusan karena yakin pendapatnya akan
dipakai, atau mungkin terpaksa bersikap diam karena tahu pendapatnya
tak akan dipakai. Bahkan, bisa saja mereka tetap menyampaikan pendapat
meskipun tahu pendapatnya tidak akan dipakai karena mempunyai
rasionalitas tersendiri terhadap substansi materi yang dibicarakan
tanpa memedulikan realitas struktur kekuasaan sekitar.

Begitu bervariasinya rasionalitas aktor atau agensi ini membuat sulit
bagi kita menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sesuatu
pengambilan kebijakan. Pada kasus Century, Marsillam tampaknya di
posisi terakhir. Sebagaimana dikemukakan dalam kesaksian, berpegang
pada prinsip dialektika ide dalam setiap pengambilan keputusan, ia
hadir untuk mengajukan kontra argumentasi guna menguji kesahihan
materi pengambilan keputusan meski sadar pendapatnya belum tentu
dipakai sebab dikemukakan bukan dalam pertemuan penentuan kebijakan.

Etika demokrasi

Pertanyaan muncul kemudian, apakah aktor atau agensi non-decisionist
ini, baik pemegang otoritas yang tunduk pada situasi obyektif atau
bukan pemegang otoritas yang kontra, bisa terbebas dari tanggung jawab
ketika diketahui kebijakan ternyata salah? Sulit kita menilai. Aliran
non-decisionist lebih melihat tanggung jawab sebagai masalah moral
politik. Sepanjang legitimate, maka sah-sah saja. Hanya jika tidak
legitimate, atau tidak mendapat dukungan nilai, maka
pertanggungjawaban aktor atau agensi bisa dilakukan.

Pembedaan soal legitimate dan tidak adalah penting, sebab bila hanya
bersandar pada tindakan aktor, kebijakan politik akan selalu menemui
jalan buntu karena konflik kepentingan permanen terjadi di antara
aktor politik. Pertarungan akan selalu mendekati situasi zero-sum,
yang kuat selalu memenangi pertarungan dan pihak lemah selalu menjadi
korban. Pertempuran politik semacam itu sering kali menghiasi panggung
politik kita. Ketika konflik di kalangan elite terjadi, bawahan atau
rakyat selalu menjadi korban. Derajat relativitas otonomi aktor atau
agensi di hadapan struktur relasi-relasi kekuasaan di sini sangat
menentukan.

Ketika terjadi konflik dalam penentuan kebijakan, pemegang otoritas
secara dominatif tak jarang melakukan berbagai manipulasi politik
sehingga bawahan atau rakyat menjadi korban dan memikul beban impitan
dominasi pemegang otoritas. Sistem demokrasi menyadari konflik politik
permanen ini dengan segala impitan dominasi yang ditimbulkan. Karena
itu, dalam sistem demokrasi, penentuan kebijakan selalu harus dimintai
pertanggungjawaban. Ini dilakukan bukan hanya pada aktor atau agensi
penentu kebijakan, tetapi juga akuntabilitas substansial dan proses
penentuan kebijakan.

Kita bertekad menegakkan kehidupan politik demokratis. Dalam kasus
Century tak terkecuali, harus ada pertanggungjawaban secara
demokratis. Bukan hanya aktor penentu kebijakan, tetapi juga
pertanggungjawaban substansi materi kebijakan dan proses penentuan
kebijakan.

Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/04200520/etika.politik.di.skandal..century.

JAYA SUPRANA : Mantan

PEKAN lalu, mantan Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia Jusuf
Kalla diundang DPR untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang
diketahui dirinya tentang kasus skandal Bank Century.

Penampilan Jusuf Kalla di masa sudah tidak menjadi wapres ternyata
menimbulkan kesan pada publik jauh beda dengan di masa masih menjabat.
Memang tetap ada yang kontra, terutama pihak yang merasa tidak senang
atas pernyataan-pernyataan Jusuf Kalla yang menimbulkan kesan negatif
terhadap kasus Bank Century.

Namun mayoritas anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Kasus Bank
Centutry tampaknya merasa senang atas pernyataan Kalla,termasuk
mayoritas pemirsa siaran langsung radio dan televisi. Bukan hanya
kesan,komentarkomentar positif juga bermunculan terhadap penampilan
Jusuf Kalla ketika menjawab pertanyaanpertanyaan Pansus tentang apa
yang sebenarnya terjadi pada penyelamatan Bank Century.

Memang citra Jusuf Kalla setelah tidak menjadi wapres jauh lebih harum
ketimbang ketika masih menjadi wapres.Apalagi setelah Jusuf Kalla
diangkat menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), salah satu
lembaga kemasyarakatan di Indonesia yang masih harum pamornya. Dampak
citra mantan wapres itu serupa meski tak sama dengan dampak citra
mantan Presiden IV Republik Indonesia,Gus Dur,setelah tidak menjadi
presiden, apalagi setelah almarhum.

Memang setelah dilengserkan belum bermunculan puji-puji, bahkan puja-
puja terhadap Gus Dur sebagai mantan presiden. Namun minimal hujan
serangan dan cemooh terbuka langsung mereda ketika Gus Dur dielu-
elukan puluhan ribu massa rakyat di saat meninggalkan Istana Negara.
Meski setelah tidak menjadi presiden Gus Dur tetap bersikap dan
berperilaku yang rawan ditafsirkan sebagai kontroversial, praktis
tidak ada yang secara terbuka mencemooh, apalagi menyerang seperti
ketika Gus Dur masih presiden.

Kondisi makin terputar balik di masa Gus Dur telah almarhum. Praktis
semua seolah berebut untuk memuji sikap dan perilaku Gus Dur di masa
kehidupan tokoh pemuka NU yang sangat dihormati dan dihargai
masyarakat internasional sebagai tokoh pluralis dan humanis
sejati.Bahkan secara bertubi- tubi muncul dukungan untuk menobatkan
Gus Dur yang sempat dilengserkan dari jabatan presiden itu sebagai
Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Seteru politik Gus Dur paling terkemuka,Amien Rais,juga tidak mau
ketinggalan memuji Gus Dur sebagai tokoh pejuang pluralisme paling
depan di persada Nusantara. Pendek kata, di masa setelah wafat
mendadak semua mengeluelukan Gus Dur yang semula di masa hidup
dicemooh,dicaci maki, bahkan digulingkan dari tahta kepresidenan
republik Indonesia.

Saya memang selalu menyejajarkan Gus Dur dengan filosof Yunani kuno
Sokrates yang di masa hidupnya dicemooh, dihujat, bahkan dipaksa untuk
bunuh diri oleh para pemuka Kota Athena. Namun kemudian setelah
ratusan tahun berlalu, secara lambat tetapi pasti Sokrates makin
dihormati dan dihargai sebagai tokoh pemikir yang melandasi filsafat
peradaban dan kebudayaan Helenisme sebagai akar peradaban dan
kebudayaan kawasan yang kemudian disebut sebagai Barat.

Tampaknya memang ada kecenderungan masyarakat di dunia ini untuk
senantiasa terlambat menghargai dan menghormati mereka yang layak
dihargai dan dihormati akibat selalu menunggu sampai sang tokoh telah
mengembuskan napas terakhir di alam fana ini.Namun,terutama di
lingkungan masyarakat yang tidak bebas menyampaikan pendapat, ada pula
tokoh yang dicemooh dan dihujat justru setelah dirinya almarhum.
Rentetan contoh cukup tersedia, misalnya Nero, Mussolini, Salin,
Hitler.

Ada pula yang pamornya merosot justru setelah menjadi kepala negara
seperti Lech Wallesa yang semula dipuja-puja sebagai pahlawan
demokrasi di Polandia. Atau Pak Harto yang di zaman Orde Baru tidak
ada yang berani secara terbuka mencemooh,apalagi menghujat; maka semua
pencemooh dan penghujat terpaksa menunggu sampai Presiden II RI
tersebut melengserkan diri.

Ada pula pemimpin negara dan bangsa yang semasa hidupnya sebelum
menjadi mantan sudah dipuja- puja seperti tokoh legenda, misalnya
Nelson Mandella. Namun ada pula tokoh pemimpin bangsa dan negara yang
di masa hidupnya sudah menjadi legenda, tetapi begitu dibenci oleh
mereka yang tidak sepaham hingga akhirnya dipaksa meninggalkan dunia
fana ini alias dibunuh: Mahatma Gandhi.Memang tidak ada konsep baku
yang mampu menyeragamkan nasib dan takdir citra para tokoh pemimpin
negara dan bangsa di planet bumi ini.(*)

JAYA SUPRANA

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/299599/

IKRAR NUSA BHAKTI : Hari-Hari yang Mendebarkan SBY

Hari-Hari yang Mendebarkan SBY

DALAM seminggu ini dua kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan. Isu itu pertama kali dilontarkannya pada 21 Januari lalu di Istana Bogor, di hadapan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara.

Katanya, mosi tidak percaya yang berlangsung pada era demokrasi parlementer tidak berlaku lagi pada era presidensial. Yang ada ialah antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling mengisi dan mengimbangi. Ucapan senada diulangi lagi pada pertemuan antara Presiden SBY dan para petinggi TNI yang menghadiri Rapat Pimpinan TNI kemarin.

Selain itu, di hadapan para perwira tinggi TNI Presiden SBY menekankan bahwa kebijakan pemerintah tidak bisa dipidanakan. Kita patut bertanya, mengapa Presiden SBY sampai bertubi- tubi bicara soal mosi tidak percaya atau pemakzulan? Apakah benar kebijakan pemerintah tidak dapat dipidanakan?

Pemakzulan

Bila kita perhatikan mimik wajah dan nada Presiden SBY dalam melontarkan isu mosi tidak percaya atau pemakzulan, tampak jelas betapa Presiden SBY berada dalam kegelisahan yang amat besar.Ada beberapa faktor yang mengakibatkan Presiden SBY gusar.

Pertama, partai-partai koalisi pendukung pasangan SBY-Boediono sejak munculnya kasus Bank Century ternyata kini mengalami perpecahan karena mereka memiliki posisi dan kepentingan politik masing-masing yang tidak jarang berbeda dengan Partai Demokrat, partai Presiden SBY.

Kedua, perpecahan itu membuat skandal Bank Century menjadi bola liar yang sulit dikendalikan di dalam Pansus Hak Angket DPR yang membahas soal itu. Ketiga, tekanan politik terhadap Pansus Bank Century agar menyelesaikan persoalan itu secara jernih, bijak, dan transparan bukan hanya datang dari kalangan intelektual,melainkan juga sudah merambah massa rakyat.

Gelombang demonstrasi merayakan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009 bukan mustahil akan menjelma menjadi demonstrasi yang lebih besar pada 28 Januari 2010 ini. Untuk meredam sepak terjang para anggota Pansus Bank Century, ada beberapa cara yang dilakukan SBY.

Langkah pertama yang pernah dilakukannya dan gagal ialah mengancam partai-partai anggota koalisi bahwa SBY akan meninjau kembali kontrak politiknya karena tidak sedikit anggota koalisi yang berkhianat atau posisinya berseberangan dengan posisi Partai Demokrat.

Ancaman ini ada yang bersifat terbuka,tapi ada juga yang tertutup, termasuk sebelum mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dipanggil Pansus Hak Angket Bank Century untuk bersaksi dan mengungkapkan apa yang ia ketahui soal bailout bank tersebut. Langkah ini ternyata tidak mampu menekan para anggota koalisi untuk mendukung posisi pemerintah di dalam sidangsidang pansus tersebut.

Senjata pamungkas kedua yang digunakan Presiden SBY untuk mengendurkan tekanan politik soal impeachment atau pemakzulan ialah dengan mengundang para pimpinan lembaga-lembaga tinggi ke Istana Bogor untuk “memiliki pandangan yang sama bahwa mosi tidak percaya atau pemakzulan tidak berlaku lagi”. Upaya ini ternyata mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa berkumpulnya para petinggi lembaga negara tersebut amat tidak etis.

Apalagi jika ada kesepakatan untuk tidak memberlakukan pemakzulan, sesuatu yang sesungguhnya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945, yang sudah empat kali diamendemen). Jika benar ada kesepakatan politik tersebut, berarti secara langsung para pemimpin lembaga tinggi negara itu melanggar konstitusi negara! Mari kita tengok Pasal 7A dan Pasal 7B beserta ayat-ayatnya yang mengatur pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden baik secara sendiri-sendiri maupun dalam satu paket.

Meskipun sulit untuk dilaksanakan, pemakzulan adalah suatu yang diatur dalam konstitusi negara kita dan karena itu ia bukanlah “barang haram”. Tak cuma itu,Presiden SBY kemudian juga mengungkapkan soal pemakzulan itu ke Rapat Pimpinan TNI. Kita semua tahu bahwa kebijakan negara memang tidak dapat dipidanakan.

Meminjam pendapat pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, kebijakan itu hanyalah secarik kertas dan karena itu tak bisa dipidanakan! Namun, jika ada proses yang tidak benar di dalam pengambilan keputusan menuju keluarnya kebijakan negara itu, kita patut mempertanyakan apakah ada penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.

Pernyataan Presiden di hadapan peserta Rapat Pimpinan TNI juga menimbulkan tanda tanya besar, untuk apa TNI diajak bicara soal suatu kebijakan yang tidak ada kaitannya dengan militer atau pertahanan negara? Ini dapat menarik TNI kembali ke ranah politik, sesuatu yang tidak kita inginkan. Pimpinan TNI memang harus mengerti persoalan politik kenegaraan.

Akan tetapi kita jangan sekalisekali mengajak TNI untuk terjun ke panggung politik kembali karena ini bertentangan dengan prinsip reformasi internal TNI yang telah berlangsung selama 11 tahun ini. Presiden SBY tampaknya sedang mengalami suatu kegelisahan yang amat sangat. Ia bukan hanya bicara soal pemakzulan atau mosi tidak percaya saja, tapi juga meminta masyarakat untuk mengerti bahwa adanya upaya untuk membunuhnya bukanlah isapan jempol.

Pernyataan ini diulang-ulang oleh SBY dengan nada yang melankolis, sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang presiden di hadapan rakyatnya. Dalam situasi krisis apa pun,seorang pemimpin negara harus tegar dan percaya diri,bukan gelisah atau cengeng! Pemimpin negara harus memimpin dan melindungi rakyatnya, bukan sebaliknya minta dimengerti atau dilindungi oleh rakyatnya.

Jika tidak ada hal-hal buruk yang dilakukan Presiden SBY terkait dengan dana talangan terhadap Bank Century, untuk apa ia sibuk mencari kesepakatan politik di antara para pemimpin lembagalembaga tinggi negara soal berlaku tidaknya pemakzulan atau mosi tidak percaya? Mosi tidak percaya hanya ada di dalam sistem parlementer.

Di dalam sistem presidensial diatur bahwa DPR dapat melakukan fungsi pengawasan melalui hak angket Dewan. Ini disusul dengan penyampaian usul dan pendapat Dewan yang juga diatur dalam konstitusi kita.Dari sini DPR dapat mengajukan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden yang harus didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.Usul DPR itu harus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.

Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, DPR dapat mengusulkan MPR bersidang.Proses ini tidak mudah dan memakan waktu. Jika SBY dapat mengelola kekuasaannya terhadap partai-partai koalisinya, sebenarnya iatakperlutakut dengan akan adanya pemakzulan. Lalu,mengapa Presiden SBY amat gelisah belakangan ini? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300292/

Gamawan: Honor dari BPD Bukan Korupsi

KPK tetap menganggap rawan korupsi.
-- Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menganggap kepala daerah
penerima honor dari bank pembangunan daerah (BPD) tak tergolong
korupsi. Mereka justru dibolehkan menerima honor tersebut selaku salah
satu pemegang saham yang terlibat dalam penentuan kebijakan BPD. "Apa
tidak wajar kalau diberi honor?" kata dia di kantornya akhir pekan
lalu.

Sebagian daerah diduga menyimpan dana anggaran pendapatan dan belanja
daerah di BPD. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan kepala daerah
tersebut setiap bulan menerima fee dari bank tersebut. Pendapat
Gamawan itu bertolak belakang dengan pendapat Komisi Pemberantasan
Korupsi. Komisi menganggap pemberian fee itu rawan korupsi.

Komisi antikorupsi menyatakan enam BPD memberikan fee kepada kepala
daerah untuk kepentingan pribadi.Tapi KPK tak menjelaskan waktu
pemberiannya.

Menurut Gamawan, kebijakan BPD yang mengikutkan kepala daerah antara
lain penetapan anggaran BPD, loan-to-deposit ratio, dan non-performing
loan.
Mereka diikutkan pula dalam rapat pemegang saham dan rapat tahunan.

Lembaga penggiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch mengecam
pernyataan Gamawan. Koordinator Divisi ICW Ibrahim Fahmi Badoh menilai
kepala daerah tak perlu mendapat honor komisaris bank itu."Posisi itu
melekat dan menjadi kewajiban kepala daerah," kata Fahmi.
"Kalau boleh, berarti pendapatan Menteri BUMN sangat besar karena
namanya tercantum di semua BUMN."

Gamawan mengklaim sudah menjelaskan pendapatnya kepada Wakil Ketua KPK
Bidang Pencegahan Haryono Umar. Meski demikian, Haryono membantahnya.
Haryono mengaku belum sekali pun bertemu dengan Gamawan."Tidak ada
penjelasan, baik secara formal maupun informal,"kata Haryono.

Menurut Haryono, penentuan penentuan unsur pidana korupsi dalam kasus
pemberian fee dan bunga bank tidaklah berada di tangan menteri,
melainkan domain aparat penegak hukum. Hingga kini KPK belum definitif
memutuskan unsur pidana dalam kasus tersebut.

"Saat ini kami masih melakukan fungsi pencegahan dan mengimbau para
kepala daerah mengembalikan dana tersebut ke kas negara,"ujarnya.

Haryono menjelaskan, langkah pencegahan tersebut merujuk pada sejumlah
bantalan hukum. Beberapa di antaranya merujuk pada ketentuan Undang-
Undang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. "Setiap kepala daerah dilarang menerima rabat maupun
upeti dari siapa pun.
Uang negara tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri
sendiri,"ujarnya.

Guna memastikan unsur pidana tersebut, kata Haryono, KPK telah
menjalin kerja sama dengan Bank Indonesia dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Kerja sama yang ditempuh dengan BI sejak Agustus tahun lalu
direspons dengan mengeluarkan instruksi yang melarang bank penyimpan
APBD untuk memberikan fee dan bunga bank kepada para kepala daerah.
"Kasus itu juga masih diaudit oleh BPK," katanya. PRAMONO | RIKY
FERDIYANTO

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/25/ArticleHtmls/25_01_2010_006_004.shtml?Mode=1

Hikmahanto: Ihwal Kriminalisasi Kebijakan

Ihwal Kriminalisasi Kebijakan



Oleh Hikmahanto Juwana

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dalam wawancara khusus
dengan Harian Kompas, SCTV, dan Radio Elshinta, Minggu (24/1) malam,
menyampaikan agar langkah pemerintah dan Bank Indonesia mengucurkan
dana talangan ke Bank Century tidak dikriminalisasi.

Sejumlah anggota DPR, pakar, dan penggiat antikorupsi tidak setuju
dengan pendapat Presiden. Kebijakan (policy) berbeda dengan
kebijaksanaan meski keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.
Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan, sedangkan
kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari diskresi yang
dimiliki pejabat yang berwenang.

Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat umum ataupun
khusus. Kebijakan yang bersifat umum, antara lain, kebijakan luar
negeri, kebijakan pertahanan, kebijakan fiskal, dan kebijakan
pemberantasan korupsi. Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain,
kebijakan rekonstruksi pascatsunami, penyaluran subsidi kepada orang
yang berhak, dan kebijakan ujian nasional.

Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat dicontohkan sebagai
polisi yang mengarahkan lalu lintas untuk berjalan melawan arus yang
seharusnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang
dilakukan oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun, atas
dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang berwenang
diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan yang melanggar aturan demi
kemaslahatan yang besar.

Bila dicermati dalam penalangan Bank Century oleh Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang diambil lebih tepat bila
dikategorikan sebagai suatu kebijakan daripada kebijaksanaan.
Sebagaimana disampaikan oleh Presiden, keputusan penalangan merupakan
kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan perekonomian
nasional dari krisis.

Benar atau salah

Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan di sektor publik
diambil karena kewenangan yang dimiliki oleh seseorang yang memegang
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Presiden, menteri,
gubernur, bupati, camat hingga ketua rukun tetangga dalam hal dan
situasi tertentu berwenang dan diharuskan mengambil kebijakan yang
disertai dengan keputusan.

Pascapengambilan kebijakan dan keputusan, maka evaluasi pun dapat
dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan oleh atasan langsung, DPR terhadap
pemerintah seperti dalam penalangan Bank Century, bahkan oleh pers dan
publik. Bila evaluasi atas kebijakan dan keputusan dilakukan, agar
fair, tentunya harus berdasar situasi dan kondisi ketika kebijakan
serta keputusan tersebut diambil. Bila kebijakan serta keputusan masa
lalu dievaluasi dengan kacamata hari ini, maka bisa jadi apa yang
telah diambil akan salah semua.

Di sini, pentingnya Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century
memperoleh data, fakta, dan informasi dari berbagai pihak yang
terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi dan kondisi ketika
kebijakan serta keputusan diambil.

Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis besar dapat
dibagi dalam dua kategori. Benar atau salah. Menjadi pertanyaan apakah
hasil evaluasi yang menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah
dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi pidana? Jawaban
atas hal ini membawa kontroversi.

Sanksi pidana?

Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan, keputusan berikut
para pelakunya, maka akan masuk dalam ranah hukum administrasi negara.
Hukum administrasi negara tentu harus dibedakan dengan hukum pidana
yang mengatur sanksi pidana atas perbuatan jahat.

Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan pelakunya dapat
dipidana, maka ini berarti kesalahan dari pengambil kebijakan serta
keputusan merupakan suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu
tidak benar.

Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan
tidak dapat dipidana. Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal
sanksi pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi negara,
antara lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan pangkat,
demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan diberhentikan dengan tidak
hormat dari jabatan.

Meski demikian, terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta keputusan
yang salah tidak dapat dikenai sanksi pidana, terdapat pengecualian.
Paling tidak ada tiga pengecualian.

Pertama, adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat yang
bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau dalam konteks
Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Dalam doktrin hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan pemerintah yang
bertujuan melakukan kejahatan internasional telah dikriminalisasikan.

Adapun kejahatan internasional yang dimaksud ada empat kategori yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan perang
agresi.

Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil kebijakan serta
keputusan secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal
165 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan
tersebut memungkinkan pejabat yang mengeluarkan izin di bidang
pertambangan dikenai sanksi pidana.

Ketiga adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat koruptif atau
pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan serta keputusan
bermotifkan kejahatan. Di sini yang dianggap sebagai perbuatan jahat
bukanlah kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)
dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika membuat kebijakan.
Contohnya adalah pejabat yang membuat kebijakan serta keputusan untuk
menyuap pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh
pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain.

Dalam contoh terakhir inilah, sejumlah anggota Pansus Bank Century
berpijak. Tindakan ini dapat dipahami karena mereka hendak memvalidasi
kecurigaan publik bahwa kebijakan yang diambil berindikasi koruptif
atau memperkaya orang lain, termasuk partai politik tertentu.

Namun, apabila indikasi ke arah tersebut tidak ada, jangan kemudian
kebijakan serta keputusan yang dianggap salah pascadievaluasi
dipaksakan untuk dikenai sanksi pidana. Apabila ada pemaksaan, tentu
akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam ranah hukum pidana. Pada
akhirnya kasus Chandra dan Bibit akan terulang kembali.

Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/27/02542773/ihwal.kriminalisasi.kebijakan

Demokrat Patok Rp 50 Juta buat Calon Bupati

PDI Perjuangan juga memasang tarif dengan jumlah berbeda.
Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrat Kabupaten Kediri mematok tarif
Rp 50 juta kepada calon kepala daerah yang ingin maju menggunakan
kendaraan partai itu. Banderol tersebut jauh lebih banyak ketimbang
yang dipatok PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilihan umum di
kabupaten tersebut.

Iskak--anggota tim pemenangan calon Bupati Kediri periode 2010-2015,
Nurlaila--mengaku diminta membayar Rp 50 juta oleh Partai Demokrat.
Menurut dia, angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding partai
lainnya. "PDIP saja minta Rp 5 juta,"katanya kepada Tempo kemarin.

Iskak, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat
Nasional, mengatakan calon yang diusungnya itu akan berkoalisi, salah
satunya dengan Partai Demokrat. Kata dia, koalisi ini mutlak
diperlukan untuk membangun kekuatan pemilihan bupati yang akan digelar
pada 12 Mei mendatang.

Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Kediri Kusyanto membenarkan adanya
uang "mahar" itu. Angka itu masih menjadi bahan diskusi panitia
penjaringan Partai Demokrat untuk disosialisasi kepada bakal calon.

Tak hanya DPC Partai Demokrat Kabupaten Kediri yang mematok uang
"mahar" itu. DPC Partai Demokrat Kota Surabaya pun melakukan hal yang
sama dengan besaran berbeda.

Bagi para calon yang bakal menggunakannya, Partai Demokrat Kota
Surabaya mematok angka Rp 15 juta. Ini seperti yang dilakukan Arif
Afandi, Wakil Wali Kota Surabaya, yang mendaftar sebagai calon Wali
Kota Surabaya periode 2010-2015. Saat mendaftar pada Rabu dua pekan
lalu, ia menyerahkan uang pendaftaran yang ditetapkan itu.

Begitu pula yang dilakukan Wisnu Wardhana, calon lain yang menggunakan
Partai Demokrat Kota Surabaya untuk maju memperebutkan posisi Wali
Kota Surabaya. Wisnu, yang saat ini menjabat Ketua DPRD Kota Surabaya,
kemarin memang baru mendaftar ikut penjaringan calon wali kota yang
bakal diusung partai itu. Saat mendaftar, ia juga menyerahkan uang
pendaftaran Rp 15 juta. "Saya memang memilih mendaftar pada hari-hari
terakhir penutupan," kata Wisnu, yang datang didampingi tim suksesnya
beserta anak dan istrinya.

Kini, sudah ada tiga orang yang akan mengikuti bursa penjaringan bakal
calon wali kota melalui Partai Demokrat. Ketiganya adalah Wisnu, Arif
Afandi, dan Abimanyu (mantan Ketua PNBK Jawa Timur). Sedangkan bakal
calon wakil wali kota yang mendaftar adalah Alim Tualele (Wakil Ketua
Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur).

Di Mojokerto, pemilihan bupati juga diramaikan dengan majunya Ketua
MUI setempat, Ahmad Dimyati Rosyid atau biasa disapa Gus Dim. Kemarin
Ahmad mendeklarasikan diri ikut memperebutkan posisi bupati itu. Ia
mengaku didukung PKNU, Gerindra, Hanura, serta beberapa partai lain
yang tak punya kursi di Dewan.

HARI TW | DINI M | M. TAUFIK

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_010_007.shtml?Mode=1

Adnan Topan: Deklarasi Aset Kekayaan Pejabat Publik

Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW

Berulang kali Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan keluhan atas
malasnya penyelenggara negara dalam menyampaikan laporan harta
kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Padahal, sesuai dengan Undang-
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dalam pasal 5 ayat 2
dan 3 diatur mengenai kewajiban bagi penyelenggara negara untuk
bersedia diperiksa kekayaannya sekaligus melaporkan dan mengumumkan
kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah menjabat.

Sesungguhnya, isu mengenai kemalasan pejabat publik kita dalam
menyampaikan LHKPN sudah menjadi pengetahuan umum sejak 2001. Rata-
rata tingkat kepatuhan penyelenggara negara yang memiliki kewajiban
melaporkan kekayaannya hanya 41,57 persen pada tahun itu. Satu tahun
setelahnya, yakni pada 2002, tingkat kepatuhan justru menurun menjadi
hanya 40,21 persen. Demikian pula pada 2003, hanya 42,15 persen
pejabat publik yang melaporkan LHKPN-nya kepada Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara.

Pada 2004, setelah KPK berdiri, fungsi penanganan LHKPN dialihkan
kepada lembaga independen ini. Namun tetap saja tingkat kemalasan
pejabat publik kita dalam menyampaikan LHKPN tidak beringsut turun.
Hanya 49,16 persen yang mau menyerahkan laporan harta kekayaannya
kepada KPK pada 2004. Pada 2005, kepatuhan tetap tak beranjak maju
karena cuma 49,44 persen dari total penyelenggara negara yang mau
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Terakhir, pada 2006, baru
56,11 persen pejabat publik kita yang bersedia melaporkannya.

Jadi, sejak awal KPK berdiri hingga sekarang, isu mengenai kepatuhan
masih mendominasi. Bahkan khusus untuk anggota DPR periode 2004-2009,
dari total 560 anggota yang memiliki kewajiban melaporkan LHKPN, hanya
158 orang saja yang melaporkan pada batas waktu yang telah ditetapkan.
Sisanya sejumlah 402 anggota DPR sangat mungkin tidak akan menyerahkan
LHKPN-nya sama sekali.
Bolong regulasi Secara umum, pelaporan LHKPN sebenarnya memiliki
tujuan untuk mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme bagi para pejabat negara yang memiliki kekuasaan. Dengan
deklarasi aset kekayaannya, kita dapat mengidentifikasi apakah harta
kekayaan yang dimiliki diperoleh dari pemberian, utang, atau bersumber
dari pendapatan. Pendapatan itu sendiri kemudian bisa diklarifikasi
apakah dari pendapatan yang resmi atau pendapatan ilegal. Dengan
adanya mekanisme pelaporan LHKPN, diharapkan kesempatan melakukan
korupsi dapat dikurangi.

Sudah banyak negara yang mengadopsi aturan mengenai deklarasi aset
kekayaan pejabat publik. Masing-masing negara memiliki kekhususan
dalam pengaturan ini.
Sebagai contoh di Korea Selatan, kewajiban pelaporan harta kekayaan
masuk wilayah hukum etika pejabat publik. Di Latvia, pengaturan atas
kewajiban deklarasi harta kekayaan bagi pejabat publik masuk dalam
ranah undang-undang yang bertujuan mencegah konflik kepentingan bagi
pejabat publiknya. Sedangkan di Amerika Serikat, kaitan isu LHKPN ada
pada undang-undang etika pemerintah.

Pertanyaannya, mengapa dalam konteks Indonesia, sudah lebih dari 10
tahun aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN disahkan, masalah yang
dominan adalah melulu soal kepatuhan? Padahal isu lain yang lebih
strategis, misalnya soal kebenaran laporan, belum disentuh sama
sekali. Ini artinya, aturan mengenai kewajiban pelaporan LHKPN belum
bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mencegah korupsi, mengingat
pejabat publik yang tidak melapor pun tidak mendapat konsekuensi apa
pun. Pendek kata, tidak ada risiko sama sekali bagi pejabat publik
yang tidak menyampaikan LHKPN-nya kepada KPK.

Dengan demikian, isu besar dari aturan mengenai LHKPN di Indonesia
adalah tiadanya sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Pelanggaran
ini bisa kita klasifikasikan ke dalam dua hal, yakni soal sanksi bagi
yang tidak patuh melaporkan, dan sanksi bagi yang melaporkan harta
kekayaannya dengan tidak benar/tidak jujur.
Dalam UU No. 28 Tahun 1999, sebagaimana telah disebutkan di atas,
memang tidak diatur sama sekali soal sanksi bagi pejabat publik yang
melanggar.

Kita mungkin bisa meniru aturan main di Amerika Serikat. Di bawah
Ethics in Government Act of 1978 bagian 101, pejabat publik yang
kedapatan tidak melaporkan LHKPN-nya, atau melaporkan dengan tidak
jujur aset kekayaannya, dapat diseret dan dituntut oleh aparat penegak
hukum ke pengadilan dengan dakwaan telah melanggar ketentuan yang
berlaku bagi pejabat publik tersebut. Ini berlaku untuk semua kategori
pejabat publik, termasuk presiden sekalipun.
Pelengkap Selain absennya dimensi sanksi dalam aturan LHKPN kita, ada
beberapa dimensi umum yang bisa melengkapi efektivitas aturan LHKPN.
Isu pertama adalah soal hak akses publik atas informasi harta kekayaan
pejabat publik. Artinya, dalam aturan main mengenai kewajiban
pelaporan harta kekayaan bagi pejabat negara, publik mesti diberi hak
untuk dapat mengetahui secara detail laporan tersebut.

Hak akses publik ini merupakan sebuah dimensi yang penting, mengingat
secara teknis KPK tidak akan mungkin dapat mempelajari dan melakukan
audit terhadap seluruh laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Masukan dari masyarakat atas kejanggalan harta kekayaan yang
dilaporkan, atau adanya harta kekayaan yang dimiliki tapi tidak
dilaporkan oleh pejabat bersangkutan, menjadi penting artinya bagi
upaya untuk menegakkan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi yang
efektif.

Satu hal lain yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari aturan utuh
mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan pejabat publik adalah
hukum mengenai pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik merupakan
sebuah cara yang paling mudah untuk memastikan bahwa harta kekayaan
yang dimiliki oleh pejabat tertentu tidak atau berasal dari tindak
kejahatan (korupsi). Di Korea Selatan, untuk melindungi privasi
pejabat publiknya, aturan mengenai pembuktian terbalik juga dilengkapi
dengan kriminalisasi atas pelapor jika yang dilaporkan itu tidak
benar. Maksudnya, pejabat yang bersangkutan dapat melaporkan balik
pelapor jika kedapatan pelaporan itu tidak akurat sama sekali. Ini
adalah winwin solution atas banyaknya celah dan kelemahan dalam aturan
deklarasi aset kekayaan pejabat publik kita.

Jika ini diterapkan, publik pastinya tidak akan keberatan sama sekali
jika klausul mengenai pemidanaan bagi pelaporan yang salah itu
diterapkan. Sekarang tinggal bagaimana anggota DPR baru dan Presiden
merespons usulan atau inisiatif publik untuk menggagas konsep aturan
mengenai pemberantasan korupsi yang komprehensif. Jika komitmen
penguasa dalam memberantas korupsi tinggi, niscaya kedua hal ini tidak
memberatkan sama sekali.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_011_002.shtml?Mode=1

Asmar Oemar Saleh: Berharap kepada Satuan Tugas

Asmar Oemar Saleh, ADVOKAT, MANTAN DEPUTI III BIDANG PENANGGULANGAN
PELANGGARAN HAM MENTERI NEGARA HAM RI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menabuh genderang perang melawan
mafia hukum. Menindaklanjuti prioritas 100 hari pemerintahannya--salah
satunya pemberantasan mafia hukum--Presiden membentuk Satuan Tugas
(Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada 30 Desember 2009.

Tugas utama Satgas, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 37 Tahun 2009, adalah membongkar semua hambatan dalam
pembersihan lembaga hukum Indonesia. Dalam kerangka itu, Satgas akan
bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk
koordinasi.
Adapun penindakan berada pada kejaksaan dan kepolisian.

Terungkapnya pemberian fasilitas "kamar hotel berbintang"di Rumah
Tahanan Pondok Bambu, yang dihuni Artalyta Suryani dan Liem Marita,
menandai prestasi awal Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Meski
demikian, sejumlah pihak masih memandang Satgas ini dengan sebelah
mata. Sebagian ragu akan efektivitas lembaga itu. Sebagian lagi
memandang dengan curiga bahwa Satgas hanya bagian dari politik citra
Presiden. Bagaimana kita bisa berharap kepada Satgas ini?
Mafia hukum Selama ini, mafia hukum merupakan batu sandungan paling
utama dalam pemberantasan korupsi. Karena korupsi lazimnya merupakan
kolusi kolektif, bukan individual, maka keberhasilannya sangat
bergantung pada keberadaan mafia hukum.
Selama masih ada korupsi, mafia hukum akan terus bersemayam, juga
sebaliknya.

Di negeri ini, keberadaan mafia hukum telah menggurita dan membentuk
suatu sindikasi yang sulit ditembus oleh penegakan hukum biasa. Mata
rantai jaringan mafia ini tak hanya berpusat pada makelar kasus, tapi
juga pada para oknum penegak hukum di kepolisian, kejaksaan,
pengacara, sampai pengadilan.

Di tubuh kepolisian, mafia hukum tumbuh subur dalam beberapa bentuk,
dari salah tangkap, melepaskan tersangka tanpa dasar, penanganan kasus
yang tidak sesuai dengan aturan, hingga manipulasi data-data
penyelidikan dan penyidikan. Di tubuh eksekutif dan legislatif, mafia
yang paling besar adalah pada pembuatan undang-undang serta
pelaksanaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Motif mafia hukum juga beragam. Tujuan memperkaya diri dan kelompok
adalah yang paling jamak. Namun, terdapat pula motif-motif seperti
memburu pangkat dan jabatan, nepotisme keluarga, serta motif
primordialisme.

Rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan para oknum penegak hukum,
yang diperdengarkan kepada publik secara terbuka di Mahkamah
Konstitusi, menyingkap keberadaan mafia hukum di negeri ini. Rekaman
tersebut mengindikasikan fakta bahwa hukum bisa diatur, diintervensi,
dan direkayasa sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu.
Membangun harapan Meski prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan
reformasi Departemen Keuangan dalam memberantas korupsi relatif baik
dibandingkan dengan institusi lain di Indonesia, skor Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia (IPK) yang dirilis oleh Transparency International
pada 2009 masih cukup tinggi.

Pada IPK 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Sedangkan pada 2009 naik
menjadi 2,8. Kenaikan skor 0,2 tidak terlalu signifikan jika melihat
bahwa Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK
Indonesia masih di bawah negaranegara tetangga, seperti Brunei
Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).

Dengan skor 2,8, dapat dimaknai bahwa Indonesia merupakan negara yang
dipersepsikan korup. Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para
pelaku bisnis maupun pengamat. Artinya, usaha pemberantasan korupsi
masih jauh dari berhasil. Dalam kaitan ini, komitmen pemerintah
terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) masih
dipertanyakan. Satgas tentunya menjadi elemen penting dalam mencapai
komitmen tersebut.

Dilihat dari anggotanya, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum memang
menjanjikan harapan. Diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, yang juga
Ketua Unit Kerja Presiden untuk Program Pengendalian Pembangunan,
dengan Sekretaris Satgas adalah Denny Indrayana, Satgas beranggotakan
Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari kepolisian, Mas Achmad
Santosa mewakili kalangan profesional, serta Ketua Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Yunus Hussein.

Untuk menepis skeptisisme dan kecurigaan banyak kalangan, pertama-tama
Satgas yang baru dibentuk selayaknya mulai bekerja ekstrakeras,
terstruktur, dan terencana. Keraguan publik harus dijawab dengan kerja
seoptimal mungkin.

Kedua, mengingat pemberantasan mafia hukum di Indonesia adalah kerja
semua lapisan masyarakat, lembaga pemerintah, dan lembaga
nonpemerintah lainnya, maka kerja sama adalah kunci keberhasilan
Satgas. Sebab, mafia hukum telah menjadi parasit yang hidup di
berbagai lapisan dan banyak lembaga.
Keberhasilan memberantasnya ditentukan oleh kerja kolektif dan
kontribusi dari banyak pihak. Satgas harus mampu membangun kerja sama
dan koordinasi yang terpadu tersebut, terutama dengan lembaga-lembaga
penegak hukum lain.

Ketiga, dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat, fokus utama
Satgas adalah membongkar mafia hukum bukan dari yang terkecil,
melainkan dari yang terbesar. Dimulai dari yang kakap, terutama oknum
aparat penegak hukum dan lingkaran istana.

Keterlibatan kedua unsur tersebut dalam mafia hukum merupakan pangkal
bagi korupsi raksasa dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan
masyarakat banyak. Selain itu, kedua unsur tersebut merupakan figur-
figur sentral yang menjadi cermin bagi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia secara menyeluruh.

Akhirnya, kita akan melihat, apakah Satgas dapat menjadi senjata baru
bagi pemerintah dalam memerangi korupsi. Atau, hanya akan menjadi
topeng bagi bobroknya penegakan hukum di negeri ini.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_012_002.shtml?Mode=1

Amich Alhumami : Akankah Pansus Century Berujung Pemakzulan?

Akankah Pansus Century Berujung Pemakzulan?
Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial, Department of Anthropology
University of Sussex, United Kingdom

SUDAH genap 100 hari pasangan SBYBoediono memerintah sejak dilantik
sebagai presiden-wapres pada 20 Oktober 2009. Masa 100 hari pertama
seharusnya dijadikan pijakan dasar dan barometer awal menilai kinerja
pemerintahan lima tahun mendatang.
Periode pendek ini semestinya juga menjadi momentum untuk mendorong
proses rekonsiliasi nasional akibat perseteruan politik selama pemilu.
Namun, yang terjadi justru serial pertikaian politik yang kini
memasuki babak baru. Sungguh tak terduga ketegangan politik justru
sudah muncul pada awal pemerintahan SBY periode kedua ini.
Semula ketegangan dipicu konspirasi pemidanaan Bibit-Chandra, lalu
diikuti kasus yang jauh lebih serius: skandal Bank Century.

Tidak terelakkan, DPR merespons aspirasi publik yang begitu kuat untuk
menyelidiki skandal akbar ini melalui Panitia Khusus Hak Angket.
Kini proses penyelidikan di parlemen memasuki tahapan penting setelah
para saksi kunci dan sejumlah ahli dihadirkan memberikan keterangan,
pendapat, dan penilaian terhadap kebijakan dana talangan yang memicu
kontroversi itu. Publik curiga sebagian dana talangan Bank Century
sebesar Rp6,7 triliun diselewengkan untuk kepentingan politik pada
pemilu yang lalu. Maka muncul gugatan perihal keabsahan kebijakan
bailout, disertai tuntutan agar semua pihak yang terkait dengan
skandal ini harus bertanggung jawab.
Banyak pihak--kekuatan masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan,
LSM, kelompok penekan-mengimbau agar Wapres Boediono dan Menkeu Sri
Mulyani sebaiknya nonaktif, bahkan ada pula yang menuntut harus
mengundurkan diri dari jabatan masing-masing. Perlahan, Presiden
Yudhoyono pun menjadi sasaran bidikan setelah berbagai dokumen
terkuak, yang mengindikasikan ia mengetahui bahkan memantau proses
pengambilan kebijakan bailout itu. Sungguh publik sulit percaya bila
keputusan penting yang diambil pejabat tinggi negara dan menyangkut
uang negara dalam bilangan yang sangat besar tanpa diketahui presiden.
Bukankah Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang punya kewenangan untuk
memutuskan dan mengambil kebijakan bailout melalui rapat KSSK merujuk
dan berlandaskan pada peraturan pengganti UU yang diterbitkan
presiden? Oleh karena itu, upaya sejumlah pihak untuk menutupi peran
Presiden Yudhoyono dalam proses pengambilan kebijakan dana talangan
bagi Bank Century jelas melawan akal sehat.

Maka wacana pemakzulan Presiden Yudhoyono pun mulai mengemuka dalam
perbincangan umum di kalangan anggota parlemen, aktivis politik,
pengamat, dan berbagai kelompok kepentingan. Namun, pemakzulan bukan
perkara mudah karena harus melalui proses politik yang panjang di DPR,
MK, dan MPR sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Dalam UUD 1945
Pasal 7A disebutkan, salah satu alasan pemakzulan adalah apabila
presiden terbukti terlibat korupsi dan penyuapan. Jika merujuk
pernyataan Ketua MK Mahfud MD, proses pemakzulan ditempuh melalui
beberapa tahapan. Pertama, Pansus Angket Bank Century harus dapat
membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan
negara dalam skandal Bank Century. Kedua, DPR meng ajukan usul
pemakzulan dalam sidang paripurna, yang harus dihadiri minimal 2/3
anggota dan disetujui 2/3 anggota yang menghadiri sidang.
Ketiga, keputusan DPR Ketiga, keputusan DPR kemudian diajukan ke MK
untuk dimintakan vonis (penilaian hukum) dan selanjutnya dibawa ke
sidang paripurna MPR, yang harus dihadiri minimal 3/4 anggota dan
disetujui paling kurang 2/3 anggota yang hadir (Media Indonesia,
26/12/09).

Akankah Pansus Century berujung pemakzul an? Tentu saja itu bergantung
se penuhnya pada dinamika politik baik di dalam maupun di luar
parlemen.
Ada dua faktor determinan yang saling terkait dan menentukan
kemungkinan pemakzulan.
Pertama, jika--sekali lagi, hanya jika--Pansus Angket Bank Century
berhasil membuktikan dana talangan mengalir ke tim sukses SBY untuk
kepentingan pemilu, proses pemakzulan mustahil dapat dibendung,
meskipun Partai Demokrat dan lima parpol yang tergabung dalam koalisi
menguasai mayoritas kursi di DPR. Jika merujuk pengalaman, koalisi
amat mudah retak karena parpol tak kuasa menahan gelombang tekanan
publik, yang dimobilisasi aneka kelompok kepentingan. Dalam situasi
krisis, jangankan pecah koalisi bahkan pengkhianatan sekalipun lazim
terjadi. Sekarang pun Presiden Yudhoyono terlihat mulai gusar dan
meminta parpol menjaga komitmen berkoalisi. Untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan, para operator politik dan elite-elite Partai
Demokrat melancarkan tekanan politik kepada parpol-parpol yang
tergabung dalam koalisi, baik secara halus, samar, maupun terbuka.
Manuver politik yang ber nuansa tekanan terbaca jelas melalui isu
evaluasi. Untuk sementara, manuver itu cukup manjur sehingga
mengendurkan daya kritis anggota pansus dan tendensi pergeser an sikap
elite-elite parpol dalam merespons skandal Bank Century ini. Kedua,
gerakan ekstraparlementer secara alamiah akan bereskalasi melakukan
gempuran poli tik pada parlemen mengulang pola gerakan 1998:
pendudukan dan pengepungan. Jika itu terjadi, dapat dipastikan tidak
ada satu pun parpol yang berani mengambil risiko melawan arus menahan
gerakan itu. Bila situasi politik bergerak ke arah itu, landslide
victory (60,8%) yang amat fantastik, yang diraih SBY dalam pilpres tak
akan berarti sama sekali. SBY akan kehilangan kontrol atas parPATA
AREADI lemen karena koalisi Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN, dan Golkar
pasti akan pudar akibat tekanan politik dahsyat dari luar parlemen.
Bangunan koalisi pasti koyak oleh gerakan nonparlemen dan tak akan
mampu menopang SBY, bahkan akan runtuh dengan sendirinya. Bukankah
pengalaman itu yang menimpa Soeharto dan Gus Dur? Soeharto diangkat
dan dijatuhkan oleh orang yang sama justru ketika Golkar meraih
kemenangan mutlak dalam pemilu, bahkan mengontrol sepenuhnya kekuatan
politik di DPR. Gus Dur pun diangkat dan dijatuhkan aliansi kekuatan
politik yang semula membangun koalisi besar--poros tengah-dan
mendominasi kursi parlemen. Dua pengalaman pahit itu dengan jelas
menunjukkan betapa penguasaan kursi mayoritas di parlemen tidak
sepenuhnya menjamin bagi seorang presiden memperoleh topangan politik
yang kokoh agar terhindar dari kejatuhan.

Maka faktor krusial sesungguhnya terletak pada kemampuan pansus untuk
membuktikan ada tidaknya aliran dana talangan Bank Century ke operator
politik SBY, untuk kepentingan pemenangan pemilu. Jika dapat
dibuktikan dan pansus menyimpulkan terjadi pelanggaran hukum, sidang
paripurna DPR akan sangat sulit untuk tidak meneruskan proses politik
melalui Hak Menyatakan Pendapat. Meskipun harus menempuh tahapan yang
rumit, situasi politik pada akhirnya akan memaksa setiap parpol dan
kekuatan politik di dalam dan di luar parlemen untuk bergerak
memproses pemakzulan. Jika pun Partai Demokrat dapat menggandeng satu
parpol saja untuk memboikot sidang paripurna DPR agar tidak memenuhi
kuorum yang disyaratkan konstitusi, mereka akan dianggap tidak ksatria
dan pasti dikecam publik.

Pemakzulan jelas akan memicu kontroversi politik dan pandangan publik
pasti akan terbelah. Bagi penentang, pemakzulan sebagai preseden buruk
karena presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu
demokratis. Bila presiden dimakzulkan, dikhawatirkan bukan saja akan
menimbulkan gejolak politik yang mengancam stabilitas sosial keamanan,
melainkan juga akan mencederai sistem demokrasi.
Siapa pun yang meyakini demokrasi sebagai sistem politik terbaik,
semestinya menjaga agar pergantian kekuasaan ditempuh melalui proses
normal: pemilu lima tahunan. Bagi pihak yang setuju, pemakzulan harus
dipahami dalam konteks memberi pelajaran bagi para politisi agar
mereka tidak menempuh segala cara, menyalahgunakan wewenang dengan
membobol uang negara, untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Pesan
moral pemakzulan adalah: berpolitik harus berbasis etika, menjunjung
moralitas, dan mengutamakan kebajikan publik.
Para politisi tak boleh melakukan perbuatan tak terpuji atau bertindak
melawan hukum demi mendapat kekuasaan.

Dengan demikian, demokrasi semestinya tidak hanya dipahami sebagai
jalan prosedural mengganti pemerintahan secara periodik belaka, tetapi
juga memilih pemimpin bermoral luhur.
Pemimpin dituntut punya tanggung jawab profetik dalam mengemban amanat
kekuasaan dan menjalankan pemerintahan dengan jujur dan adil. Memilih
pemimpin sejati dan otentik melalui pemilu demokratis yang bersih jauh
lebih penting dibandingkan dengan sekadar menjaga kalender pemilu lima
tahunan atas nama demokrasi prosedural yang penuh muslihat.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_020_001.shtml?Mode=0

100 Hari: Masih Jalan di Tempat

Menilai arah pembangunan Indonesia lima tahun ke depan sebenarnya bisa
dilihat dari 100 hari pertama kinerja pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu II. Yang paling mungkin dicapai pemerintahan a Kabinet
Indonesia Bersatu II dalam 100 hari pertama adalah menetapkan arah
kebijakan baru.'' Anis Matta Wakil Ketua DPR Rata-rata nilainya masih
enam. Ada kementerian yang cukup baik, tapi masih banyak yang lambat
kerjanya.'' Bun Yamin Ramto Pakar Ilmu Pemerintahan
IBARAT mendirikan sebuah rumah, 100 hari pertama adalah waktu untuk
membangun fondasi alias mengeluarkan kebijakankebijakan yang
memuluskan kerja pemerintah ke depannya. Namun, saat ini, Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi presiden bukan untuk kali pertama. Presiden
Yudhoyono tentu tinggal melanjutkan program-program unggulannya yang
pada periode 20042009 dan mengevaluasi program-program yang tidak
berjalan.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta menyatakan pada dasarnya tidak
ada alasan yang memadai secara politik untuk membuat program 100 hari
bagi sebuah pemerintahan yang sudah terpilih dua kali. Pemerintahan
tinggal berjalan melanjutkan program unggulan dan melakukan
penyempurnaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

"Selain itu, 100 hari tentu saja tidak cukup bagi kabinet untuk
menyelesaikan program-programnya. Apalagi di tengah perjalananny
mendapat gangguan sosial politik yang begitu banyak," kata Anis.

Dia menilai yang paling mungkin dicapai pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu II dalam 100 hari pertama adalah menetapkan arah kebijakan
baru atas hasil evaluasi yang komprehensif pada periode pemerintahan
2004-2009. "Setelah itu lakukan konsolidasi tim kerja kabinet. Toh,
mandat mereka lima tahun, bukan 100 hari," cetus Anis.

Dalam konteks itu, lanjutnya, evaluasi atas kinerja 100 hari Kabinet
Indonesia Bersatu II hanya dapat dilakukan untuk melihat sinyal
peluang sukses dari tim kabinet. Misalnya, tim ekonomi dengan merujuk
pada arah kebijakan dan proses konsolidasi yang sedang berlangsung
pada tim tersebut.

Pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Bun Yamin Ramto malah
menilai pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II hingga 100 hari
pemerintahannya masih jalan di tempat. Padahal, ada tiga kementerian
yang dipimpin orang yang sama, dan banyak menteri yang hanya pindah
tempat.

Seharusnya karena Presiden Yudhoyono sudah memimpin untuk periode
kedua, program-program unggulan tiap kementerian tinggal dijalankan,
terutama program jangka menengah dan panjangnya.

"Apalagi Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Menterinya sama, jadi kerjanya
seharusnya sudah terprogram dan tinggal melanjutkan."

Namun, tambahnya, fakta menunjukkan Menteri Perdagangan tidak bisa
menenangkan hati rakyat yang khawatir akan era perdagangan bebas,
terutama menghadapi produk-produk China. Menteri Perindustrian tampak
belum tune in dengan tugas-tugasnya, padahal dia adalah praktisi di
lapangan yang seharusnya tahu kebijakan yang dibutuhkan untuk
menghidupkan industri dalam negeri.
Semua industri, baik menengah, sedang, dan besar masih terpuruk
utamanya industri tekstil. Kemajuan hanya terlihat pada Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata dengan mulai maraknya promosi dan kehadiran
wisatawan mancanegara.

"Rata-rata nilainya masih enam. Ada kementerian yang cukup baik, tapi
masih banyak yang lambat kerjanya," pungkas Bun Yamin. (S-4)
fardiansah@mediaindonesia.com Program 100 Hari Harapan dan Realisasi
ENTAH pemerintahan mana yang memulai penggunaan program awal sebuah
kabinet dengan program 100 hari. Intinya program itu memang berisi
rencana persiapan untuk menjalani kerja kabinet hingga lima tahun
mendatang. Namun, siapa pula yang membatasi hingga hanya 100 hari
untuk sebuah program persiapan?
Terlepas belum jelasnya alasan itu, Kabinet Indonesia Bersatu II
pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap mengawali kerja
kabinetnya dengan program 100 hari. Untuk menyusun program 100 hari
itu pun pemerintah menggelar ajang rembuk nasional bertajuk National
Summit pada 29-30 Oktober 2009 di Jakarta.

Tidak kurang dari 1.500 kalangan pemerintah dan pemangku kepentingan
di bidang bisnis berkumpul memberikan masukan kepada kabinet, untuk
program kerja pemerintahan. Metode dengan paradigma partisipatif ini
terbilang baru dilakukan pemerintahan.

Hari pertama, National Summit bidang ekonomi menelurkan ratusan
rekomendasi pada enam hal, yaitu di usaha kecil, mikro, dan menengah
(UMKM), ketahanan pangan, infrastruktur, revitalisasi industri dan
jasa, energi, dan transportasi.

Keenam rekomendasi itu pada intinya berisi langkah pembenahan, agar
program Kabinet Indonesia Bersatu II lebih investment friendly demi
memenuhi target pertumbuhan ekonomi lima tahun mendatang.

Sementara itu, bidang politik, hukum, dan keamanan menitikberatkan
pada program pemberantasan teroris, penyelesaian masalah peradilan
militer dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Untuk
pemberantasan terorisme, pemerintah berencana membentuk badan nasional
antiteror dan majelis keamanan nasional. Selain pemberantasan
terorisme, perbaikan alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI
menjadi program prioritas di sektor pertahanan.

Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II sejatinya memang
merupakan fondasi bagi kabinet, dalam melaksanakan tugas jangka pendek
dan menengah.

Namun, apa mau dikata, ketika berupaya menegakkan kredibilitas di
sektor ekonomi dan politik pada 100 hari pertama kerja kabinet,
pemerintah malah sibuk menghadapi sejumlah kasus yang mengancam
kredibilitasnya. Kasus Bank Century, perseteruan antarpenegak hukum,
dan kasus pembunuhan yang melibatkan pejabat penegak hukum adalah
salah satu bentuk hantaman itu.

Padahal kredibilitas dan integritas pemerintahan terhadap hukum yang
berlaku sangat signifikan artinya bagi percepatan pembangunan ekonomi.
Bila calon investor tidak percaya lagi dengan aturan hukum dan
kredibilitas penegak hukum, upaya pemerintah membenahi kinerja sektor
ekonomi dan hukum demi meningkatkan kesejahteraan rakyat terancam sia-
sia.

Jadi meski di penghujung Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II
sejumlah kementerian mengklaim sudah 100% menuntaskan tugas mereka,
itu hanya sebuah awal dari rencana kerja panjang lima tahun ke depan.

Bukankah konsep dan program baru berarti bila diikuti dengan
realisasi?

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/01/28/ArticleHtmls/28_01_2010_025_003.shtml?Mode=0

M Alfan Alfian: Testimoni Century dan Rashomon

Testimoni Century dan Rashomon


Oleh M Alfan Alfian

Ketika masyarakat mulai agak bingung dengan testimoni-testimoni atas
pihak-pihak yang dimintai keterangan oleh Panitia Khusus DPR tentang
Hak Angket Bank Century, tiba-tiba saya ingat salah satu kisah dalam
kumpulan cerita pendek Ryunasuke Akutugawa, Rashomon (edisi bahasa
Inggris, 1952).

Dalam cerita pendek berjudul In a Grove (Di dalam Belukar), Akutugawa
mengisahkan suatu ”kebenaran” yang dipaparkan oleh berbagai saksi di
dalam memandang suatu kasus matinya sesosok lelaki. Kesaksian penebang
kayu di hadapan penyidik berbeda dengan yang dipaparkan pendeta
pengembara.

Kesaksian seorang bekas penjahat, nyatanya berbeda juga dengan yang
dipaparkan sang perempuan tua. Pengakuan Tajomaru pun berbeda dengan
paparan pengakuan dosa seorang perempuan yang datang ke Kuil Kiyomizu.
Akhirnya, semua kesaksian itu berbeda dengan kisah roh lelaki yang
mati itu melalui mulut Biksuni Kuil Shinto.

Pembaca yang jeli pun perlu berkernyit dahi untuk berpihak pada versi
testimoni mana yang paling benar. Apakah kisah roh itu yang paling
otentik? Apakah roh itu benar-benar bebas kepentingan? Kalaupun satu
testimoni dengan yang lain dirangkai, maka apakah konstruksi cerita
barunya yang paling benar?

Satu peristiwa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Testimoni-
testimoni dalam kisah Akutugawa tersebut ada yang saling menyokong,
tetapi ada yang saling menegasikan, sebagaimana pula hal itu terjadi
pada testimoni-testimoni para saksi kasus Century di hadapan panitia
angket.

Merangkai susunan testimoni-testimoni ”mozaik kebenaran” tersebut agak
susah, mengingat perspektif masing-masing yang dimintai keterangan
berbeda-beda, di mana publik susah membedakan mana ”kebenaran” dan
mana pula yang ”pembenaran”. Pada akhirnya, kelak, ”kebenaran politik”-
lah yang akan mengakhiri proses politik di DPR tersebut.

Hal ini bisa dipahami, mengingat testimoni-testimoni di DPR itu
merupakan bagian dari proses politik, yang tentu saja tak dapat
dilepaskan sepenuhnya dari subyektivitas politik antarkekuatan
(kepentingan) yang ada. Arena ”pengadilan politik” DPR itu tak lepas
dari perspektif ”pertunjukan politik”, yang karena terbuka untuk
publik, maka berkembanglah banyak versi opini dan penilaian.

”Kebenaran politik”, bukan tanpa risiko, apalagi manakala berjumpa
dengan ”rasa keadilan dalam masyarakat”. Masyarakat berharap bahwa
”kebenaran politik” itu tidak terlalu jauh bedanya dengan ”kebenaran
yang sejati” (bener kang sejati, yang sebenarnya alias substansial),
satu dari berbagai versi kebenaran: kebenaran versi diri sendiri
(benere dewe, versi testimoni), kebenaran orang banyak (kebenaran
demokratis alias benere wong akeh), dan kebenaran hukum formal
(kebenaran yang dibatasi oleh pasal-pasal di dalam perundang-undangan
yang kerap mengabaikan konteks sosiologis). Bukankah demikian?

Proses politik diharapkan tidak mengingkari proses hukum, mengingat
negara kita adalah negara hukum. Inilah prinsip kunci dari dinamika
proses politik yang hiruk pikuk di DPR. Tentu saja semua berharap
ujung dari proses politik Century di DPR tidak berlanjut menjadi suatu
krisis politik yang tak terkontrol (out of control).

Roh kejujuran

Dalam kisah Akutugawa, karena susahnya mencari titik temu kebenaran
dari berbagai versi testimoni, hakim terpaksa mencari versi kebenaran
lain, langsung dari roh lelaki yang mati. Barangkali roh orang mati
dapat berkata lebih jujur dari saksi-saksi yang masih hidup.
Persoalannya, apakah kesaksian roh orang mati dapat dipegang sebagai
suatu ”kebenaran”?

Salah satu pesan sederhana tetapi mendasar dari kisah Akutugawa itu
adalah betapa mahal harga kejujuran, dan betapa ia harus terus dicari
walaupun dari roh orang mati. Ini merupakan suatu kritik sosial yang
sangat serius: apakah sudah tak ada lagi kejujuran di tengah-tengah
orang yang masih hidup? Lebih detail lagi, apakah sudah tak ada lagi
kejujuran di tengah-tengah orang-orang politik?

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) suka membawa tema yang
mengaitkan antara politik dan kejujuran walaupun kejujuran dalam
politik itu menyisakan pertanyaan serius: kejujuran versi siapa?
Sayangnya, tidak ada pertanda yang nyata yang dapat dilihat orang,
seperti kisah Pinnokio, yang semakin ia berbohong, maka hidungnya
semakin panjang. Kejujuran semakin ”susah diukur”, tetapi barangkali
masih bisa dirasakan oleh ”hati nurani kolektif”.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/02395134/testimoni.century.dan.rashomon.

--

Eko Prasojo: 100 Hari Bangun Fondasi?

100 Hari Bangun Fondasi?

Tanggal 28 Januari 2010 pemerintahan SBY-Boediono genap berusia 100
hari. Banyak kalangan mengkritik tidak adanya capaian signifikan
selama 100 hari pemerintahan.

Bahkan ada pula yang telah mempersiapkan peringatan 100 hari tersebut
dengan demonstrasi.Di sisi lain pemerintah mengklaim telah
merampungkan hampir seratus persen target pemerintahan yang
diagendakan. Bagaimana memberikan penilaian terhadap kinerja
pemerintahan pada kurun waktu tersebut?

Waktu Konsolidasi

Apa yang istimewa dari tiap 100 hari pemerintahan yang baru di hampir
semua negara? Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi satu hal pasti
merupakan kesamaan bahwa awal waktu sebuah pemerintahan adalah masa
bulan madu (honeymoon period). Mengapa disebut sebagai periode bulan
madu? Karena pada dasarnya kurun tersebut merupakan waktu yang
diperlukan oleh sebuah pemerintahan untuk melakukan konsolidasi,
rekonsiliasi dan integrasi visi,misi, tujuan dan program yang akan
dicapai selama masa pemerintahan.

Bahkan jika dilihat siklus anggaran, maka 100 hari pemerintahan SBY-
Boediono berada di ujung tahun anggaran, yaitu saat semua agenda
pemerintahan sebenarnya sudah terencana dalam APBN dan APBD tahun
berjalan. Bahkan dapat dikatakan bulan Oktober sampai Desember lalu
sebenarnya merupakan bulan-bulan tutup buku dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga praktis tidak mungkin melakukan
hal-hal besar dalam pemerintahan.

Jika seratus hari pemerintahan adalah masa yang dibutuhkan untuk
membangun fondasi tim dan program pemerintahan, mengapa masa itu
menjadi demikian dramatisnya di Indonesia? Barangkali hal ini yang
menarik untuk diberikan analisis. Pemerintah sebenarnya sangat sadar
bahwa dalam seratus hari pemerintahan tidaklah mungkin melakukan
perubahan besar seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Tetapi kesadaran itu mengalami metamorfosis kepentingan, sehingga
politik pencitraan lebih menonjol ketimbang esensi target pemerintahan
itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari 15 program utama dalam seratus
pemerintahan SBY-Boediono yang sejatinya hanya merupakan peletakan
fondasi bagi terwujudnya keseluruhan tujuan di akhir pemerintahan
tahun 2014.

Di antara kelima belas program tersebut (1) pemberantasan mafia hukum,
(2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme,
(4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6)
peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8)
koordinasi antara pusat dan daerah. Jika diamati dan dipahami, program-
program utama tersebut adalah sesuatu yang mustahil bisa dicapai dalam
kurun waktu 100 hari pemerintahan.

Bahkan pemberantasan mafia hukum, misalnya, merupakan salah satu
agenda yang sangat berat untuk dilakukan karena menyangkut tidak saja
sistem penegakan hukum,tetapi juga perubahan budaya dan perilaku
penegak hukum yang tidak bisa dilakukan hanya dengan PO BOX layanan
pengaduan. Demikian pula persoalan tanah dan tata ruang adalah
persoalan ekonomi politik yang kronis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita.

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut untuk masing-masing capaian
target dari program 100 hari tersebut, karena jelas rapornya akan
berwarna jika dilihat dari impactyang dihasilkan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Lalu jika semua itu hanya merupakan program
konsolidasi dan peletakan fondasi bagi jalannya pemerintahan
selanjutnya, mengapa selalu dipersoalkan kinerja 100 hari
pemerintahan. Ada tiga jawaban yang diberikan.

Pertama, lemahnya komunikasi politik pemerintah untuk menjelaskan
target 100 hari pemerintahan dalam konteks target besar pemerintahan
secara keseluruhan selama lima tahun. Lemahnya komunikasi politik ini
juga disebabkan oleh niat yang besar untuk membuat politik pencitraan,
ketimbang esensi program itu sendiri.Sebenarnya hal ini berbahaya bagi
pemerintah karena bisa menyebabkan mispersepsi dan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap SBYBoediono yang dianggap gagal menciptakan quick
winsbagi masyarakat.

Kedua, 100 hari pemerintahan sering pula dijadikan sebagai komoditas
politik bagi oposisi untuk menjatuhkan citra pemerintahan yang
berkuasa dan memperkuat dukungan masyarakat bagi partai dan politisi
oposisi.Tidak mengherankan jika 100 hari pemerintahan selalu dikaitkan
dengan pergantian kabinet atau reshuffle kabinet, karena hal ini akan
berarti bagi para politisi lain untuk menduduki jabatan menteri.
Ketiga, ketidakpahaman masyarakat umum mengenai selukbeluk
pemerintahan juga bisa dimanfaatkan untuk memolitisasi kegagalan 100
hari pemerintahan.

Berbagai Faktor Distorsif

Pemerintah harus jujur mengakui bahwa 100 hari pemerintahan ini hanya
menjadi waktu konsolidasi dan peletakan fondasi pemerintahan.
Masyarakat harus mengetahui bahwa 100 hari pemerintahan untuk sebuah
perubahan yang mendasar adalah sebuah ilusi. Penulis sendiri melihat
berbagai faktor yang juga mengganggu jalannya pemerintahan selama 100
hari pemerintahan.

Meskipun demikian,tentu saja ada sejumlah penilaian yang bisa
diberikan. Pertama, kontrak kinerja menteri dengan Presiden ternyata
cukup mampu menggairahkan semangat kementerian untuk mencapai hal-hal
yang sudah disepakati. Bahkan penulis melihat ada kekhawatiran
sejumlah pejabat birokrasi pemerintahan jika tidak mampu memenuhi
kontrak menterinya dengan Presiden.

Sampai pada tahap itu program 100 hari pemerintahan dapat dikatakan
memberikan shock therapy terhadap birokrasi.Jika emosi ini bisa dijaga
oleh setiap menteri sampai tahun kelima,maka bukan tidak mungkin
target besar pemerintahan dapat dicapai.Hanya, penulis khawatir bahwa
pengalaman yang sudah lalu menunjukkan emosi semacam ini justru bisa
bertahan dalam 100 hari pertama saja.

Kedua, beberapa produk kebijakan, peta jalan, grand design, pola
dasar, dan strategi sebagai target 100 pemerintahan juga sudah rampung
dibuat. Meski demikian, perlu diberikan catatan bahwa keberhasilan
pemerintahan tidak berhenti diukur dari adanya kebijakan
saja,melainkan implementasi kebijakan tersebut. Ketiga, banyak hal
yang dapat dianggap sebagai faktor pengganggu dalam 100 hari
pemerintahan SBY-Boediono, mulai dari kasus Bibit-Chandra sampai hak
angket DPR pada kasus Bank Century.

Masalah-masalah tersebut jelas sangat menyita konsentrasi pemerintah
untuk menyukseskan program-program utama tersebut. Keempat,dalam
sistem pemerintahan yang terdesentralisasi,keberhasilan pemerintahan
bukan hanya diukur dari keberhasilan pemerintah pusat melalui
kementerian dan lembaga nonkementerian, tetapi
jugaolehpemerintahandaerah.

Bahkan dampak langsung kinerja pemerintahan terhadap kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat kerap merupakan hasil kerja nyata pemerintahan
daerah.Akhirnya penulis berharap seluruh pemangku kepentingan
menyadari bahwa 100 hari pemerintahan bukanlah obat segala persoalan,
melainkan peletakan fondasi pemerintahan.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar dan
Ketua Program Pascasarjana
Ilmu Administrasi FISIP UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300744/

Uang Negara dan Bukan Uang Negara = Korupsi

Uang Negara dan Bukan Uang Negara = Korupsi

Perdebatan mengenai apakah objek penyelidikan dan penyidikan adalah
uang negara atau bukan uang negara telah berlangsung sejak pembahasan
Rancangan Undang-undang (Nomor 3 Tahun 1971) tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Jadi pro dan kontra saat ini, mengenai kasus bailout Bank Century,
bukan hal yang baru. Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 yang dilengkapi
dengan kalimat, “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara,” dilatarbelakangi bahwa pembangunan nasional Indonesia
bertumpu pada pembangunan di bidang ekonomi untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat.

Jika harta kekayaan negara (berasal dari APBN) dikorup maka berarti
mutatis mutandis, menghambat upaya mengambil hasil pajak yang
diperoleh dari rakyat dan sejatinya untuk kepentingan rakyat. Alasan
kedua, yang juga penting adalah paham negara kesejahteraan (welfare
state) masih mendominasi pemikiran terbanyak para ahli hukum dengan
jargon negara hukum sesuai dengan kehendak pembentuk UUD 1945.

Negara berperanan besar untuk memakmurkan rakyat. Dalam era
globalisasi, paham bahwa negara berperanan menyejahterakan rakyat
sudah tidak relevan lagi, terutama setelah Indonesia menyepakati masuk
ke dalam perjanjian perdagangan bebas dengan sistem deregulasi dan
nonproteksi terhadap produksi dalam negeri. Paham yang dominan dalam
era globalisasi saat ini adalah kapitalisme-liberalisme yang telah
“memaksakan”terjadinya privatisasi, sehingga negara hanya berperan
sebagai penjaga keamanan individu dan menjamin pengadaan seluruh
infrastruktur semata-mata (Gelinas,2003).

Liberalisasi menuntut negara untuk menjauhkan diri dari turut campur
dalam perkembangan kehidupan rakyatnya, kecuali sebatas apa yang
disebut Gelinas tersebut di atas.Paham negara dalam era globalisasi-
kapitalisme dan liberalisme tersebut juga telah merambah pada
pandangan terhadap penegakan hukum pada umumnya, pemberantasan korupsi
khususnya. Salah satu ciri pengaruh paham tersebut adalah membuka
akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk turut berperan serta
dalam proses penegakan hukum, bahkan sejak dimulainya penyidikan.

Dalam konteks paham kapitalisme dan liberalisme ini maka Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Korupsi (2003) yang diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006, menegaskan bahwa unsur “kerugian negara”
bukan merupakan unsur konstitutif terjadinya suatu tindak pidana
korupsi (Pasal 3 angka 2).Atas dasar konvensi tersebut, RUU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2009) pengganti UU Nomor 31 Tahun
1999 joUU Nomor 20 Tahun 2001 telah menghapuskan ketentuan yang
mensyaratkan pembuktian adanya “kerugian keuangan negara”dimaksud.

Rancangan undang-undang tersebut hanya memuat ketentuan mengenai suap
aktif dan suap pasif pejabat publik nasional dan pejabat publik asing;
menggelapkan atau menyalahgunakan harta kekayaan negara;
memperdagangkan pengaruh (trading in influence) oleh penyelenggara
negara; penyalahgunaan wewenang/jabatan; memperkaya diri sendiri
secara tidak sah (illicit enrichment);

suap di kalangan sektor swasta; dan penggelapan di sektor swasta;
pencucian uang; penadahan hasil kejahatan; dan menghalangi proses
peradilan pidana. Tindak pidana tersebut di atas sama sekali tidak
mensyaratkan adanya kerugian negara (lagi) dan sebagian merupakan
tindak pidana formal (cukup dengan pembuktian adanya perbuatan) dan
juga tindak pidana material (mensyaratkan adanya akibat dari suatu
perbuatan).

*** Perdebatan terkait Bank Century setelah diundangkannya RUU
Pemberantasan Korupsi di atas tidak akan terjadi lagi.Bahkan tidak
perlu ada lagi kontraksi antara hukum administrasi negara dan hukum
pidana. Di sisi lain, dengan RUU Pemberantasan Korupsi tersebut,
mengembalikan posisi dan pandangan hukum pidana ke dalam jalur yang
dianut sejak lama, yaitu menjalankan fungsi “ultimum remedium”, bukan
“primum remedium”.

Posisi ini mengedepankan perangkat sanksi hukum administratif ketika
pejabat publik menjalankan kebijakannya menyimpang dari tujuan
diberikannya wewenang tersebut oleh UU kepada yang bersangkutan,
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara. Sebagai contoh, UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah sesuai dengan visi
Konvensi PBB Antikorupsi (2003) yang menegaskan, “Bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya
melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya
secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian
tersebut”(Pasal 59 ayat 2).

Pasal ini menerapkan sanksi administratif dan mengesampingkan sanksi
pidana. Pola kebijakan penegakan hukum termasuk di bidang keuangan
negara dalam UU Perbendaharaan Negara tersebut telah menganut paham
liberalisme modern yang menguatkan peranan korporasi dan masyarakat
sipil dibandingkan dengan peranan negara.

Paham ini justru mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan dunia usaha seperti suap baik terhadap pejabat publik
maupun di dalam sektor swasta dibandingkan perbuatan penjabat publik
yang telah merugikan keuangan negara; kecuali untuk perbuatan yang
menggelapkan harta kekayaan negara.

Apakah pemahaman baru tentang tindak pidana korupsi versi Konvensi PBB
Anti Korupsi (2003) pasca ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006,
akan disetujui DPR atau ditolak, tentu memerlukan pengkajian kalangan
politisi untuk mengakhiri polemik tidak berkesudahan mengenai
terminologi dan pembuktian “kerugian keuangan negara” dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi.

Komisi III DPR perlu mempertimbangkan ekses negatif dalam praktik yang
menunjukkan dominasi peran negara (diwakili penuntut umum) dalam
menafsirkan “kerugian keuangan negara”yang sangat subjektif, bahkan
dalam kasus korupsi tertentu telah mengabaikan hasil temuan BPK/BPKP.

Di dalam pro dan kontra uang negara atau bukan uang negara, kebijakan
penegakan hukum pidana (criminal law policy) seharusnya menganut paham
lex specialis systematic, bukan hanya lex specialis semata-mata, dan
sekaligus mengutamakan fungsi hukum pidana sebagai “ulitimum remedium”
terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang administratif yang memuat
ketentuan pidana.

Keguncangan penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya selama ini yang selalu bermuara pada penuntutan tindak
pidana korupsi disebabkan karena penegak hukum (jaksa dan hakim) telah
mengabaikan peranan dan fungsi lex specialis systematic sebagaimana
dimuat di dalam ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
UU Nomor 20 Tahun 2001.

Ketentuan tersebut secara eksplisit memerintahkan penegak hukum untuk
mengesampingkan penerapan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 terhadap
kasus pelanggaran ketentuan UU Administratif (perbankan, pasal
modal,perikanan, dll) jika pelanggaran ketentuan tersebut bukan
merupakan tindak pidana korupsi. Jika boleh dikatakan, selama ini yang
terjadi adalah bias arah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi
hanya karena praktisi hukum melupakan asasasas umum hukum pidana dalam
hubungannya dengan tindak pidana administratif.

Reformasi birokrasi tidak akan selesai dan berhasil dengan baik jika
selalu dikedepankan sanksi pidana,dan hal ini telah terjadi di mana-
mana,termasuk di China,di mana hukuman mati berulang-ulang
dilaksanakan dan seratus peti mati telah di-kuburkan, tetapi tetap
saja korupsi birokrasi berjalan tegak lurus.

Tidak akan terjadi Indonesia bebas korupsi jika sistem penyelenggaraan
negara membuka celah untuk korupsi dan miskin keteladanan dari
pimpinan elite birokrasi, penegak hukum, serta politisi, termasuk
satunya kata dan perbuatan. Juga tekanan akses publik ke dalam
birokrasi bukan satu-satunya solusi dari virus kemelut yang melanda
negeri ini, terutama sejak era reformasi; paling tidak efek yang
ditimbulkannya hanyalah bagai membangunkan orang dari tidur lelap
semata-mata.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Padjadjaran, Bandung

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300743/