BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Polisi dan Jaksa Ngotot Pidanakan Bibit-Chandra

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 09.18

Seperti main pingpong, kepolisian dan kejaksaan sibuk mencari bukti
kuat untuk bisa membawa Bibit dan Chandra ke pengadilan. Apa pun yang
disampaikan presiden, saya hormati. Yang disampaikan Tim 8, saya
hormati. Tapi proses hukum tetap berlanjut.
Tidak ada apa pun yang bisa menghentikan proses hukum yang sedang
berjalan."

Hendarman Supandji Jaksa Agung MI/ADAM DWI Kepolisian berbuat demikian
bukan karena arogansi, bukan karena hak, bukan karena kewenangan,
melainkan karena tugas dan tanggung jawab yang diberikan."

Irjen Nanan Soekarna Kadiv Humas Polri
TI M 8 y a n g d i b e n t u k P re s i d e n usilo Bambang Yudhoyono
telah merekomendasikan penghentian enyidikan terhadap dua pimpinan
nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan
Chandra M Hamzah.

Namun, kepolisian dan kejaksaan mengabaikannya dan bersikeras diri
untuk tetap menuntaskan proses hukum terhadap keduanya hingga ke
pengadilan.

"Polri menghormati dan menghargai saran Tim 8. Namun, tugas Polri
adalah menegakkan hukum," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Nanan Soekarna
di Jakarta, kemarin.

Ia menolak bila lembaganya disebut arogan dengan mengabaikan
rekomendasi tim independen bentukan Presiden itu. "Tapi ini untuk
kepentingan hukum, dapat segera dilakukan peradilan pidana dan
kepastian hukum.
Kepolisian berbuat demikian bukan karena arogansi, bukan karena hak,
bukan karena kewenangan, melainkan karena tugas dan tanggung jawab
yang diberikan," tambahnya.

Menurut Nanan, berkas berita acara pemeriksaan (BAP) sudah
dikembalikan kejaksaan agung dengan catatan perlu ditambah keterangan
saksi lain untuk memperkuat hasil penyidikan. Nanan tidak menyebutkan
siapa saksi itu karena belum mendapat informasi dari penyidik.

"Ini bukan koreksi dari hasil pengembalian berkas yang sudah
disampaikan, melainkan ada permintaan tambahan saksi. Mudahmudahan
saksi yang diminta ada dan bukan nama fiktif," ujar Nanan.

Ia mengelak saat ditanya apakah saksi yang diminta itu adalah
Yulianto. Pasalnya, berdasarkan pengakuan kurir Anggodo Widjojo, Ari
Muladi, ia tak secara langsung memberikan uang suap dari adik Anggoro
Widjojo itu kepada para pimpinan KPK tersebut, tapi lewat perantara
Yulianto.

Belum yakin Sejalan dengan sikap kepolisian itu, kejaksaan juga ogah
mundur dari proses hukum perkara tersebut. Meski Tim 8 telah
menyebutkan minimnya bukti hukum untuk memidanakan Bibit dan Chandra,
Jaksa Agung Hendarman Supandji berketetapan akan membawa perkara itu
hingga pengadilan.

"Apa pun yang disampaikan Presiden, saya hormati. Yang disampaikan Tim
8, saya hormati. Tapi proses hukum tetap berlanjut," kata Hendarman
dalam rapat kerjanya dengan Komisi III DPR, kemarin.

"Tidak ada apa pun yang bisa menghentikan proses hukum yang sedang
berjalan," tegasnya seraya menambahkan, tidak adanya upaya kejaksaan
untuk merekayasa kasus itu.

Kejaksaan telah mengembalikan berkas Chandra ke polisi untuk kedua
kalinya (P19). Kejaksaan meminta agar berkas itu dilengkapi, terutama
terhadap kasus pemerasan.

"Itu bukan karena kurangnya bukti. Bukti sudah kuat. Kami yakin, tapi
belum benarbenar yakin," katanya.

Ia juga menambahkan, pihaknya hanya mengembalikan berkas pemeriksaan
Chandra, sedangkan berkas pemeriksaan Bibit masih diverifikasi oleh
jaksa peneliti.

Pihaknya mengatakan berkas Chandra tinggal dipertajam oleh penyidik.
Terlebih, Polri belum melengkapi petunjuk yang diberikan oleh penuntut
umum dalam pengembalian berkas sebelumnya.

"Ini bukan meminta penambahan bukti atau saksi, melainkan Polri belum
melengkapi petunjuk yang telah kami minta sebelumnya," kata Hendarman.

Meskipun status berkas Chandra masih dalam proses P19, Hendarman
mengaku yakin sudah terjadi tindak pidana pada kasus BibitChandra
tersebut karena sudah ditemukan sebanyak 21 alat bukti, ditambah
keterangan dua saksi ahli.

"Kami sudah yakin, tetapi untuk haqqul (benar-benar) yakin, jaksa
masih meminta penyidik Polri menambah alat bukti itu," katanya. (San/
P-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/11/11/ArticleHtmls/11_11_2009_002_002.shtml?Mode=0

Media Internasional Soroti Kasus Korupsi Indonesia

Inilah people power ter besar setelah 1998.
Media internasional menyoroti keseriusan penanganan korupsi di
Indonesia terkait dengan mencuatnya perseteruan Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan kepolisian.

BBC News Service edisi 6 November lalu, misalnya, menuliskan Indonesia
tengah melawan korupsi dengan people power lewat maraknya demo. Ini
merupakan demo yang cukup besar setelah gerakan massa menggulingkan
Presiden Soeharto pada 1998.

BBC juga menyebutkan terkuaknya skandal korupsi yang melibatkan
pejabat di kepolisian dan kejaksaan, seperti yang terungkap dari hasil
rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, sebagai
Indonesia's Watergate (skandal yang menjungkalkan Presiden Amerika
Serikat Richard Nixon).

Asia Times Online edisi 7 November lalu juga menyoroti masalah ini.
Dalam tulisan berjudul "Bom Korupsi Meledak di Indonesia", Asia Times
menuliskan: hanya beberapa bulan sejak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dilantik, protes marak terjadi di Jakarta dan kotakota
lainnya.

Masyarakat melakukan aksi demo melawan pemerintahannya terkait dengan
kasus korupsi. Aksi protes terjadi setelah terkuaknya rekaman Anggodo
Widjojo dengan sejumlah pejabat di kepolisian dan kejaksaan, yang
mengindikasikan terjadinya rekayasa melawan KPK.

Majalah terkemuka The Economist bahkan menyoroti kasus ini dalam
beberapa edisi. Dalam edisi cetak 5 November lalu, majalah ini menulis
dan memberi judul tulisannya "Yudhoyono: second term, first crisis".

The Economist menuliskan, seharusnya setelah dilantik bulan lalu, saat
ini Yudhoyono masih merasakan masa-masa bulan madu keduanya. Yudhoyono
juga seharusnya masih menikmati popularitasnya di dunia internasional
dan bersiap-siap menghadapi regional summit di Singapura bulan ini.
Kenyataannya yang kini dialami Yudhoyono justru sebaliknya.

Media asing lainnya, seperti The New York Times, The Wall Street
Journal, dan Telegraph, juga terus mengikuti perkembangan yang
terjadi.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pekan lalu berharap
perseteruan antarlembaga hukum ini segera selesai, karena bisa
berdampak pada perekonomian Indonesia. Penyelesaian kasus ini juga
menjadi tolok ukur bagi investor menyangkut kepastian hukum di
Indonesia.

Harapan serupa disuarakan oleh para ekonom dan analis.
Menurut analis ekonomi PT Samuel Sekuritas Indonesia, Lana
Soelistianingsih, jika laporan sementara Tim 8 atas kasus Bibit Samad
Rianto-Chandra M.
Hamzah memberi kejelasan hukum, nilai tukar rupiah bisa menguat.

Wakil Kepala Riset PT Valbury Asia Sekurities, Nico Omer Jonckheere,
mengatakan polemik KPK-kepolisian cukup meresahkan investor. Meski
begitu, kata dia, "Asal tidak menimbulkan kekisruhan, tidak akan
banyak berpengaruh terhadap bursa."

Rupiah kemarin masih ditutup menguat 50 poin di posisi 9.415 per dolar
Amerika Serikat. Indeks saham pun naik 11,328 poin menjadi 2.406,434.

G GRACE S GANDHI | VIVA B KUSNANDAR

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/11/10/ArticleHtmls/10_11_2009_005_003.shtml?Mode=1

Pers Memantau, Bukan Menghakimi

Pers Memantau, Bukan Menghakimi
Teguh Usis, JURNALIS TELEVISI

Amien Rais sedang gundah. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
itu khawatir pemberitaan kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
Kepolisian RI akan menjadi trial by the press (penghakiman oleh pers).
"Satu hal yang saya ingatkan, jangan sampai perselisihan ini
menimbulkan trial by the press, karena kasihan proses hukumnya,"kata
Amien seperti dikutip detik.com (Minggu, 8 November 2009). Bahkan
lebih jauh Amien khawatir trial by the press ini akan membuat rakyat
menjadi tak terkendali seperti pada peristiwa 1998.

Dalam kasus kisruh KPK-Polri, kekhawatiran Amien Rais sebenarnya cukup
beralasan. Hiruk-pikuk penahanan dua pemimpin nonaktif KPK, Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, menjadi berita utama di hampir
seluruh media Tanah Air--cetak, online, dan elektronik--selama dua
pekan ini. Lebih lagi ketika Mahkamah Konstitusi memperdengarkan
rekaman hasil penyadapan KPK terhadap telepon seluler Anggodo Widjojo.
Rekaman hasilpenyadapan itu disiarkan langsung oleh televisi dan
disimak oleh jutaan pasang mata masyarakat Indonesia. Hal yang sama
terjadi ketika Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat
dengan Kepala Polri dan jajarannya.

Tak cukup stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung dua
kejadian itu, keesokan harinya koran-koran pun tak mau ketinggalan.
Dan, tak hanya reportase pandangan mata dari dua peristiwa itu, media
cetak pun melengkapinya dengan analisis.
Koran Tempo menurunkan berita utama berjudul "Kapolri Serang
Balik" (Jumat, 6 November 2009).
Media menghakimi?
Lantas apakah gencarnya pemberitaan kisruh kasus KPK-Polri ini sudah
masuk ke ranah trial by the press? Menurut teori hukum pers, trial by
the press adalah pemberitaan yang terjadi jika sebuah dugaan tindak
pidana sudah ditangani aparat penyidik, polisi, atau jaksa (pre-trial
publicity) sampai masuk ke pengadilan (publicity during trial), yang
karena pemberitaan tersebut pihak tertuduh dipojokkan pada posisi yang
sulit untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair
trial). Salah satu kasus heboh yang diduga memuat unsur trial by the
press adalah perselisihan antara majalah Tempo dan Asian Agri Group.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari lalu, pada pertimbangan
putusannya memasukkan unsur penghakiman oleh pers. Oleh hakim, Tempo
dianggap bersalah karena menurunkan berita sebelum ada putusan
pengadilan yang mengikat.

Sementara itu, pemberitaan yang gencar saat ini dalam kasus kisruh KPK-
Polri lebih kepada pembeberan fakta-fakta yang ditemui oleh jurnalis
di lapangan. Boleh jadi ada yang berpendapat penangguhan penahanan
Bibit dan Chandra pekan lampau sebagai salah satu bentuk tekanan dari
pers, yang mengakomodasi secara signifikan rekomendasi yang
dikeluarkan Tim 8.

Kasus yang menimpa Bibit dan Chandra belum dilimpahkan ke pengadilan.
Jadi di mana letak penghakiman oleh pers seperti yang dikhawatirkan
Amien Rais? Memang, tak dapat dimungkiri, penggiringan opini publik
telah tercipta ketika pers secara terus-menerus memberitakan karut-
marut kasus ini. Namun, sejauh ini pers masih tetap berada pada
koridor etika. Kode etik jurnalistik yang termuat pada Peraturan Dewan
Pers Nomor 6 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan, "Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah."

Dari empat elemen pada pasal tersebut, ihwal mencampurkan fakta dan
opini serta asas praduga tak bersalah yang patut dicermati. Dewan Pers
menyatakan, opini yang berasal dari pendapat pribadi wartawan masuk ke
ranah menghakimi. Yang boleh dilakukan wartawan adalah opini
interpretatif, yakni pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta yang ada. Sedangkan asas praduga tak bersalah adalah prinsip
tidak menghakimi seseorang.
Pemantau kekuasaan Namun, tak salah-salah amat jika Amien Rais
mengingatkan agar tidak terjadi penghakiman oleh pers pada kasus KPK-
Polri ini. Kasus ini tak berdimensi hukum semata, namun juga sudah
menyerempet dimensi politik. Kasus ini amat gampang disusupi
kepentingan-kepentingan politik praktis.
Lihat saja polemik yang berkembang setelah Mahkamah Konstitusi
memperdengarkan kepada umum rekaman penyadapan telepon Anggodo. Begitu
pula setelah Komisi III DPR menggelar rapat dengan Kapolri.

Untuk mereduksi kekhawatiran penghakiman oleh pers, sudah sepatutnya
para jurnalis mengembalikan fungsi pers seperti yang termuat pada
sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Salah satu elemen jurnalisme adalah pers sebagai pemantau independen
kekuasaan.
Inilah fungsi pers sebagai watchdog alias anjing penjaga. Namun, bukan
anjing penjaga palsu yang lebih mengedepankan prinsip "susahkan orang
yang senang dan senangkan orang yang susah". Tak salah jika pada 1970-
an seorang hakim agung di Amerika Serikat bernama Hugo Black menulis
bahwa pers dilindungi agar ia bisa membuka rahasia pemerintah dan
memberikan informasi kepada rakyat. Hanya pers yang bebas dan tak
terbelenggu yang bisa efektif mengungkapkan penyimpangan di
pemerintah.

Yang terjadi pada kisruh KPK-Polri, sejatinya pers sudah memerankan
fungsinya sebagai pemantau kekuasaan. Gencarnya pemberitaan seputar
kasus ini membuat banyak konstelasi berubah. Setidaknya Bibit dan
Chandra sudah ditangguhkan penahanannya. Yang belum banyak disentuh
pers kita adalah investigasi terhadap kasus ini. Investigasi ini oleh
Kovach dan Rosenstiel dimasukkan ke elemen pers sebagai pemantau
independen kekuasaan. Sejumlah celah pada kasus ini patut untuk
ditelusuri secara lebih mendalam melalui investigasi. Umpamanya, apa
keterkaitan kisruh KPK-Polri dengan kasus Bank Century?
Bukankah asal-muasal munculnya kasus ini karena penyadapan pembicaraan
telepon seseorang dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar
Polri Komisaris Jenderal Susno Duaji berkenaan dengan kasus Century?
Boleh jadi sejumlah temuan sudah dikantongi para jurnalis andal.
Tinggal menunggu waktu saja untuk menggongkannya menjadi sebuah
kelanjutan kasus yang mungkin saja lebih menghebohkan dari kisruh KPK-
Polri. Kita tunggu saja!

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/11/11/ArticleHtmls/11_11_2009_012_002.shtml?Mode=1

Ujian Politik "Darah Biru"

M Zaid Wahyudi

Faktor keturunan di dunia politik Indonesia, sejak kemerdekaan hingga
kini, sangat menentukan. Nama politisi besar di belakang nama para
politisi baru menjadi modal untuk mendongkrak karier politik lebih
cepat. Garis keturunan dalam perekrutan kader politik terkadang
mengalahkan faktor kompetensi. Salah satu politisi muda yang memiliki
darah biru politik adalah Zannuba Arifah Chafsoh Rahman atau dikenal
dengan nama Yenny Wahid. Putri kedua mantan Presiden Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur dan cicit pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim
Asy’ari, ini mengawali karier politik praktisnya dengan menjadi
pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sejak 2005.

Kehadirannya dalam dunia politik cukup fenomenal. Namanya cepat
meroket saat ia menjadi Sekretaris Jenderal PKB pada 2007. Namun,
gaung namanya pun surut pascakonflik PKB pada 2008 yang membuat PKB
versi Ketua Umum Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid gagal ikut Pemilu
2009.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Yenny Wahid di Jakarta, Jumat
(30/10), tentang politik keturunan di Indonesia dan harapannya
terhadap kehidupan politik ke depan.

Bagaimana pandangan Anda tentang politik keturunan?

Saya cukup terpecah karena saat faktor keturunan memiliki fungsi
penting dalam politik agak bertentangan dengan nurani saya. Di satu
sisi, seharusnya ada kesamaan dan keadilan untuk semua, tanpa
memandang orangtuanya. Tetapi, di sisi lain, realitas menunjukkan
keturunan memiliki fungsi besar untuk ’membuka pintu’ dalam membangun
hubungan dengan pihak lain.

Sejak awal, saya juga dididik bahwa setiap manusia memiliki kedudukan
yang sama di mata Tuhan, hukum, dan masyarakat. Unfairness
(ketidakadilan) yang terjadi akibat faktor keturunan dalam politik
saat ini tetap harus dikoreksi.

Namun, bagi saya, yang penting adalah apa yang akan saya lakukan
setelah ’pintu’ itu terbuka. Itu kembali ke diri saya sendiri. Nama
besar tanpa didukung kerja keras dan usaha sungguh-sungguh tidak akan
ada artinya. Saya percaya bahwa nama besar itu seperti bakat, hanya
menyumbang 1 persen terhadap kesuksesan seseorang. Sisanya, 99 persen
ditentukan oleh kerja keras setiap individu.

Apa tantangan terbesar menyandang nama Wahid?

Harus betul-betul menjaga tingkah laku dan ekspektasi tertentu yang
dikaitkan dengan nama itu. Kalau tidak pandai mengelola ekspektasi
itu, bisa mengecewakan masyarakat dan membuat malu orangtua. Nama
besar itu bisa menjadi anugerah atau beban, tergantung bagaimana
mengelolanya.

Jika politik keturunan menimbulkan ketidakadilan, bagaimana
mengoreksinya mengingat hal ini juga terjadi di negara-negara Barat
yang demokrasinya sudah maju?

Dengan memperkuat sistem meritokrasi. Di Indonesia belum terbangun
budaya yang bangga jika mampu berprestasi atau sukses berdasarkan
kerja kerasnya sendiri dari bawah seperti dalam The American Dream.

Dalam kultur NU, proses meritokrasi itu berjalan lebih demokratis
dibanding di partai politik. Dalam kultur kiai NU, kiai yang memiliki
ilmu lebih banyaklah yang lebih dihargai. Artinya, kiai dihormati
karena keilmuannya. Jika ada keturunan kiai yang kurang memiliki ilmu,
penghormatan atas dirinya hanya sebatas pada keturunannya saja.

Sebagian pihak menilai Anda hanya memanfaatkan nama besar Gus Dur?

Wajar orang menilai itu karena mereka hanya mengenal sosok saya
sebagai anaknya Gus Dur. Tak perlu dibuat marah atau sakit hati.
Tunjukkan saja dengan kerja dan prestasi. Saat ini saya nyaman dengan
prestasi yang saya peroleh, baik ketika menjadi wartawan, mahasiswa di
Universitas Harvard, atau keanggotaan saya di sejumlah forum
internasional yang sudah atau akan saya jalani.

Apa yang membuat Anda terjun ke politik praktis?

Butuh waktu 3-4 tahun untuk memutuskan masuk ke politik praktis karena
bebannya sangat besar. Tapi, ketika Bapak (Gus Dur) lengser pada 2001,
rasa kehilangan masyarakat sangat besar karena mereka merasa Gus Dur
dapat dititipi amanah. Dari saat itu saya berjanji akan terus
memperjuangkan kepentingan mereka bagaimanapun caranya.

Setelah menjadi pengurus PKB pasca-Muktamar 2005 di Semarang, semangat
itu makin mengental karena banyak bersentuhan langsung dengan
masyarakat di bawah. Mau tidak mau, akhirnya saya harus terjun ke
politik praktis untuk meneruskan garis perjuangan dan pengabdian
keluarga kepada masyarakat seperti yang dilakukan eyang-eyang saya.

Sikap itu saya ambil daripada nanti menyesal karena hidup hanya untuk
diri sendiri. Bagi saya, berpolitik itu memiliki dua potensi,
membebaskan atau justru menyengsarakan. Pilihan itu ada pada para
politisi sebagai pembuat kebijakan.

Anda merasa mewakili garis politik Gus Dur?

Secara nilai pasti karena saya dibesarkan dalam tata nilai politik
yang dibangun Gus Dur sejak saya kecil. Sikap itu betul-betul mewarnai
cara pandang saya dalam menilai sesuatu dengan prinsip egaliter,
humanis, fair, dan sedikit nekat.

Akar pendukung Gus Dur adalah warga Nahdlatul Ulama dan kelompok
minoritas. Bagaimana Anda memandang mereka?

Mereka semua adalah mitra dalam membangun negeri. Kualitas pembangunan
negeri ini sangat ditentukan oleh semua lapisan masyarakatnya.

Kekuatan dan peranan NU dalam pembangunan bangsa tak bisa dipandang
kecil. NU merupakan organisasi massa Islam terbesar di dunia dengan
jumlah warga diperkirakan mencapai 80 juta jiwa. NU dapat menjadi
mitra pemerintah dalam bernegosiasi dengan negara-negara asing untuk
menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.

Apa pentingnya menjadikan mereka sebagai mitra? Bukankah pembangunan
selama ini dikendalikan oleh elite?

Elite memang memegang peranan besar karena mereka berfungsi sebagai
agen dan mesin pendorong perubahan. Tetapi, jika massa yang ada di
bawah kualitasnya tidak sebanding, mesin itu akan sulit bergerak.
Elite boleh membuat kebijakan apa pun, tetapi yang menjalankannya
tetap masyarakat.

Untuk itu, diperlukan adanya kepemimpinan yang inspiratif sehingga
mulai dari lapisan atas-bawah dan atasan-bawahan bisa saling bekerja
sama dan tidak saling mengambil keuntungan terhadap yang lain untuk
diri sendiri.

Sekarang tak bisa lagi menjadikan masyarakat akar rumput sebagai alat
elite semata. Dalam pemilihan langsung seperti saat ini, justru elite
yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal itu tidak dapat
disalahkan kepada rakyat karena mereka hanya meniru perilaku elite.
Elite secara terang-terangan mempertontonkan bahwa dalam proses
politik saat ini, mereka yang harus untung lebih dulu dibandingkan
rakyat yang diwakilinya.

Kondisi itu kemudian berkembang menjadi keserakahan kolektif, yang
ujungnya bisa menghancurkan bangsa karena tak ada lagi nilai luhur
yang dipegang. Kalau ingin berubah, maka harus dimulai dari elite
dulu.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03133561/ujian.politik.darah.biru

Marco Wartawan Pejuang yang Terlupakan

Oleh Irwan Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Akuntansi
Universitas Trisakti Jakarta, pengamat sejarah

`SAMA Rata-Sama Rasa' adalah judul tulisan Mas Marco Kartodikromo di
harian Panca Warta awal Februari 1917. Isinya menuntut persamaan
antara kaum bumiputra dan orang Eropa. Tulisan itu membuat Mas Marco
ditangkap kolonial Belanda. Maka, seperti tokoh pergerakan lain, dia
menjadi sering keluar masuk pengasingan.

Pada masanya, Mas Marco merupakan salah satu tokoh kunci perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Sejarawan Jepang-Amerika Takashi Shirashi
pernah menuliskan masalah ini. Jika kemudian ideologi Marco memilih
lebih ke kiri, bukan berarti jasa-jasanya kepada bangsa ini hilang.
Bukan berarti harus meniadakan pengorbanan serta perlawanan dia pada
kolonial Belanda.

Sebagai bangsa yang besar, selazimnya kita mengenal satu per satu
pahlawan yang dikenal maupun tidak dikenal, seperti seorang Mas Marco
Kartodikromo yang jarang dikenal orang.
Padahal, pada zamannya, nama Marco tidak asing di kalangan aktivis,
sastrawan, dan wartawan Indonesia. Dia sempat dijuluki Bapak Wartawan
Indonesia.

Mas Marco dikenal sebagai jurnalis tangguh.
Ciri khas yang paling kentara ialah selalu menulis apa yang dilihat
dan dirasa secara lugas, tanpa ditutup-tutupi, tidak dipoles sehingga
tidak lenyap esensinya. Pada 1911 di Bandung, ia bergabung dengan RM
Tirto Adhisoeryo pemimpin harian Medan Priyayi. Kala itu, Medan
Priyayi tengah mencapai puncak kegemilangan.
Pada Tirto, ia berguru tak hanya di dunia tulismenulis, tapi juga soal
kebajikan dan terutama organisasi modern.

RM Tirto Adhisoeryo juga pernah ditangkap dan dibuang ke Indonesia
bagian timur karena kritik lewat tulisan terhadap pihak kolonial
Belanda. Sepulang dari pembuangan, sang guru ini terkena penyakit paru-
paru akut, meninggal, dan dikubur di perkuburan umum Mangga Dua
Jakarta.

Epos ini dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Pulau Buru-
nya dengan RM Tirto Adhisoeryo digambarkan sebagai sosok Mingke. Atas
dasar itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar pahlawan
nasional pada 2006. Namun, nama Mas Marco Kartodikromo seolah-olah
terlupakan. Mendekati Hari Pahlawan 10 November, penulis ingin
menggugah ingatan pada Mas Marco, salah satu tokoh perjuangan yang
namanya mungkin sedikit sekali dikenal generasi muda.

Siapakah Marco Mas Marco Kartodikromo dilahirkan menjelang akhir abad
19 di Cepu, Jawa Tengah, sebuah daerah yang kemudian hari dikenal
sebagai basis perkembangan gerakan Saminisme (petani pri-mitif).
Pendidikan Mas Marco hanya terbatas pada sekolah Jawa (setingkat
sekolah rakyat). Namun, ia kemudian belajar bahasa Belanda secara
autodidak dan membaca literatur-literatur Barat. Pengetahuan membuat
ia sadar akan ketidak-adilan sosial yang dilakukan Belanda atas
Indonesia. Itulah awal pergulatan dan perjuangannya.

Setelah harian Medan Priyayi bangkrut, semangat Mas Marco sempat
runtuh. Ia lalu ke Surakarta menerbitkan surat kabar dalam bahasa
Melayu. Pada usia 22 tahun, ia terjun ke dunia pergerakan. Ia sadar
hanya organisasilah alat untuk mencapai perubahan dan tatanan dunia
baru.

Pada 1913, saat Dr Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi
Suryaningrat dibuang ke pengasingan, ia kian merasakan kesewenang-
wenangan Belanda. Dalam kemarahan, ia mendirikan Indlandsche
Journalisten Bond (Surakarta, 1914) dan surat kabar Doenia Bergerak
sebagai alat untuk menyampaikan gagasan perjuangannya dengan moto
berani karena benar, takut karena salah. Tulisan Marco bagaikan pisau
belati, menusuk relung kolonialisme Belanda.

Karena artikel `Kita Semua adalah Manusia', Marco diseret ke
pengadilan dan divonis tujuh bulan penjara. Ia sadar harus berteriak
keras jika `suaranya' ingin didengar. Ia sadar latar belakangnya
sebagai orang biasa membutuhkan perjuangan dan suara lebih keras jika
dibandingkan dengan kelas priayi yang suaranya saat itu lebih
didengar.

Empat kali keluar masuk bui, ia hadapi dengan kepala tegak karena
sadar risiko sebagai orang gerakan. Penjara sebagai batu ujian sekolah
tempat berlatih agar moral bertambah kukuh dan liat.

Setelah keluar dari penjara, ia terjun ke dunia politik dengan masuk
Sarekat Islam Semarang (yang terpecah menjadi dua, Sarekat Islam Putih
dan Sarekat Islam Merah). Mas Marco memilih Sarekat Islam Merah yang
kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di partai itu, Mas Marco bergabung dengan Semaun, Darsono, Tan Malaka,
dan Alimin. Ia sempat dibuang ke Boven Digoel pada 1927. Di tempat
pembuangan, ia dikenal orang yang paling bandel dan anti-Belanda
sehingga diasingkan ke Gudang Arang, sebuah daerah yang alamnya sangat
ganas. Pada 1932, akhirnya Marco meninggal di Boven Digoel dan tetap
sebagai orang yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Bahkan gubernur
jenderal sendiri yang minta bertemu dengan salah satu Bapak Wartawan
Indonesia ini ditolak mentah-mentah.

Menjelang Hari Pahlawan 10 November, penulis jadi ingat kata-kata Bung
Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para
pahlawannya." Kata-kata itu dilontarkan pada pidato kenegaraan pada
1955 di Yogyakarta.

Mas Marco adalah simbol perlawanan sejati, menolak tunduk dengan
jantan pada kekuatan imperialis dengan risiko yang paling getir
sekalipun. Ia mirip profil pahlawan sejati yang digambarkan Bung Karno
seperti, "Seorang pahlawan sejati seperti bunga mawar yang harum,
tidak perlu mempropagandakan dirinya, tapi semerbaknya akan tercium ke
sana dan ke sini."

Sebagai anak bangsa, penulis ingin mengingatkan kepada pemerintah
Indonesia peran Mas Marco yang banyak dilupakan. Sosok Mas Marco yang
kini tidak banyak dikenal generasi muda. Bukankah bangsa yang besar
bangsa yang menghargai pahlawannya, baik dikenal maupun tidak
dikenal?

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/11/11/ArticleHtmls/11_11_2009_017_003.shtml?Mode=0

Benturan Naratif

YF La Kahija

Semua kebenaran melalui tiga tahap. Pertama, ia ditertawakan. Kedua,
ia mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar (Arthur
Schopenhauer).

Baik KPK maupun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum sedang
menjalani masa-masa beratnya dalam mencitrakan diri secara positif.
Banyak pujian telah menyertai kinerja kedua lembaga ini. Namun,
belakangan, keduanya terlibat konflik yang harus segera diselesaikan.

Konflik antara KPK dan kepolisian kembali menyedot perhatian
pascapenahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Bila benar
kepolisian bersandar pada bukti kuat, tak ada yang salah dalam proses
hukum ini. Sudah sepantasnya, sebagai penegak hukum, kepolisian
berusaha mengungkap kebenaran.

Persoalan yang muncul tampaknya terkait interpretasi mengenai
kemungkinan penggembosan kinerja KPK yang sudah mendapat persepsi
positif dari masyarakat. Kehilangan yang dianggap baik itu pasti
menggelisahkan. Karena itu, juga tidak salah bila muncul kecurigaan
tentang motif penggembosan KPK.

Konflik naratif

Kini, hubungan antara KPK dan kepolisian bisa dilihat sebagai konflik
naratif atau cerita. Menurut Sara Crobb, akar konflik sebenarnya amat
sederhana, yaitu kecenderungan manusia untuk berasumsi negatif tentang
pihak lain. Asumsi negatif ini lalu bertransformasi menjadi macam-
macam cerita subyektif yang melebar dan meluas sehingga mengaburkan
inti permasalahannya.

Dalam teori naratif, konflik selalu dilihat sebagai persaingan
antarcerita. Di satu sisi, masyarakat mendengar cerita tentang
penyalahgunaan wewenang dan pemerasan pimpinan KPK; di sisi lain
masyarakat mendengar tentang kriminalisasi KPK oleh kepolisian. Cerita
itu lalu diinterpretasikan lagi sehingga muncul cerita-cerita baru.

Fakta sosial yang terjadi adalah KPK membentuk cerita tentang
kepolisian dan kepolisian membentuk cerita tentang KPK. Dalam konflik,
kita selalu dihadapkan pada dua cerita. Apa pun bentuknya, setiap
pihak yang bercerita pasti menampilkan alur cerita menurut versinya.
Dalam alur itu, informasi yang menguatkan akan diangkat dan informasi
yang melemahkan akan diredam.

Dampak terjauh dari pengekangan informasi seperti ini adalah kebuntuan
atau polarisasi antara kepolisian dan KPK. Baik KPK maupun kepolisian
seolah memiliki amunisi untuk saling memerkarakan. Bila ini berlarut-
larut, eskalasi konflik akan meninggi dan kepercayaan masyarakat akan
penegak hukum akan merosot.

Kehadiran mediator

Supaya akar konflik bisa terlihat jelas, perbedaan yang ada antara KPK
dan kepolisian sebaiknya tidak disembunyikan, tetapi ditonjolkan
sejelas-jelasnya. Ini mungkin terasa aneh, tetapi begitulah hukum
psikologis cerita. Semakin kita meredam informasi, semakin banyak
suara penasaran yang mengganggu. Sebaliknya, semakin kita memperjelas
informasi, semakin banyak suara bisa diredam.

Untuk meluruskan cerita yang berkembang tentang KPK dan kepolisian
saat ini, dibutuhkan mediator. Dari mediator ini, kita bisa
mengharapkan tiga langkah.

Pertama, merancang sesi-sesi pertemuan pribadi untuk mendapatkan
gambaran komprehensif sambil berusaha melihat keterkaitan isi cerita
kedua pihak. Prinsipnya, ”informasi yang lengkap akan memperjelas
duduk perkara”.

Kedua, mediator bertindak sebagai fasilitator, berusaha menemukan niat
positif setiap pihak. Di sini mediator harus menjadi pendengar yang
baik dengan menjaga netralitas dalam mendengarkan alasan-alasan yang
mendasari tindakan setiap pihak. Prinsipnya, ”ada niat positif di
balik setiap tindakan”.

Ketiga, mediator bisa menggunakan keingintahuan dan kebingungan publik
sebagai pertanyaan-pertanyaan yang membantu kedua pihak melihat secara
jernih tindakannya. Lewat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, harapan
akan solusi yang ideal bisa dimunculkan. Prinsipnya, ”di balik
mendung, selalu ada matahari”.

Dalam proses itu, baik kepolisian maupun KPK mungkin memperlihatkan
perbedaan dalam dasar-dasar pemikiran mereka. Bukan masalah. Lewat
proses itu, masyarakat bisa mendapatkan cerita-cerita baru, yaitu
cerita-cerita yang sebelumnya tidak dimunculkan. Pada gilirannya,
cerita-cerita ini dapat membantu masyarakat merevisi persepsinya
tentang KPK dan kepolisian.

Menuju harmoni

Salah satu sumber konflik yang kerap diangkat untuk menggambarkan
konflik kepolisian versus KPK ini adalah metafora ”buaya lawan cicak”.
Sekilas, metafora ini menunjukkan superioritas kepolisian.
Superioritas di sini tampaknya tidak dimaksudkan untuk arogan, tetapi
untuk menunjukkan ”perasaan berharga” di tengah persepsi masyarakat
yang negatif.

Dalam beberapa kesempatan, saya berada di kantor polisi dan merasakan
adanya itikad baik untuk berubah. Di dinding koridor-koridor utama,
misalnya, terpajang jelas kutipan kata-kata bijak atau imbauan untuk
berlaku jujur dalam bekerja. Jadi, bila disobek lebih dalam, metafora
itu menunjukkan keinginan kepolisian untuk mendapatkan penerimaan dan
kepercayaan yang sama positifnya dengan KPK.

Alih-alih terfokus pada konflik, KPK dan kepolisian perlu melihat diri
sebagai satu keluarga. Dalam keluarga, konflik bukanlah malapetaka,
tetapi sarana untuk mengeluarkan racun yang potensial merusak dari
dalam. Meminjam istilah medis, konflik adalah sarana detoksifikasi.
Dengan berpikir seperti ini, ungkapan ”KPK lawan kepolisian” menjadi
tidak relevan.

Ada baiknya bila proses hukum dibiarkan berjalan. Masyarakat tetap
membutuhkan KPK dan kepolisian. Perjumpaan hukum antara KPK dan
kepolisian perlu dilihat sebagai dialektika yang sebentar lagi akan
melahirkan kebenaran. Setiap cerita punya awal, tengah, dan akhir. Apa
pun hasilnya nanti, peristiwa ini akan menjadi proses pembelajaran
tentang pentingnya kerja sama, harmoni, dan pencitraan diri yang
positif.

Seperti yang dikatakan Schopenhauer pada awal tulisan ini, kebenaran
itu menetas dengan sendirinya. Diakali dengan cara apa pun, dia akan
tetap lahir. Proses persalinannya saja yang mungkin sulit. Seruan
bijak itu sebaiknya menjadi cermin diri bagi penegak hukum untuk lebih
introspektif dalam melihat peran dan fungsi utama sebagai sahabat
kebenaran.

YF La KahijaPengajar Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,
Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/02315083/benturan.naratif.

Yang Miskin yang Berkorban

Tinggal 26 hari lagi dunia akan menyaksikan ”drama” yang akan dikenang
oleh umat manusia, setidaknya pada empat dekade mendatang. Drama itu
bertema perubahan iklim dengan setting kota Kopenhagen, Denmark, 7-18
Desember 2009.

Skenario awal sudah dituliskan pada lebih dari 1.500 lembar kertas
yang berisi berbagai butir kesepakatan yang diharapkan bisa disepakati
semua parties (baca: negara) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC). Lebih dari 90 negara akan berkumpul di
Kopenhagen berharap mendapatkan jawaban tentang apa yang akan
dilakukan secara bersama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.

Persoalannya, negara kaya yang tergabung dalam kelompok Annex 1 malah
mulai bergeser mundur, meminta agar kesepakatan yang dibuat bersifat
tidak mengikat.

Negara-negara Annex 1 termasuk negara dengan ekonomi dalam transisi
dari laporan tentang emisi gas rumah kaca (GRK) yang teranyar tahun ini
—jika dihitung dengan memasukkan penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan, dan deforestasi—ternyata pengurangan emisi agregat
dibanding tahun 1990 mencapai 5,2 per sen dari 17.459,6 Triliun gram
CO2 ekuivalen menjadi 16.547,1 Tg CO2 ekuivalen (UNFCCC, 2009).

Sementara itu, negara-negara Annex 1 nonnegara dengan transisi
ekonomi, yang pada Protokol Kyoto 1997 dikenai kewajiban untuk
mengurangi emisi karbonnya ternyata total emisi agregat termasuk
penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi (LULUCF)
meningkat 11,2 persen pada kurun 1990-2007, sementara jika faktor
LULUCF dimasukkan, emisinya naik 12,8 persen.

Kesulitan mengurangi emisi tersebut mendorong berbagai negara untuk
memperkenalkan berbagai skema yang kemudian berujung pada perdagangan
karbon yang ternyata oleh sejumlah negara ditolak.

Senat Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang mengenai
perubahan iklim—dengan undang-undang itu AS akan mengurangi emisi
karbonnya hingga 20 persen dengan basis tahun 1990 pada tahun 2020.

Tegangan kaya-miskin

Dalam hiruk-pikuk perundingan bersama untuk mengatasi persoalan
perubahan iklim, tegangan kaya-miskin semakin hari semakin meruncing.

Para perunding dan diplomat yang bertemu di Barcelona, Spanyol,
ternyata belum mendapatkan kesepakatan baru. Bahkan terjadi gap yang
semakin lebar antara negara miskin dan kaya.

”Pekerjaan ini tidak selesai, jauh dari harapan,” ujar negosiator dari
Sudan, Lumumba Stanislaus Di-Aping, Ketua Group 77 dan China yang
mewakili negara-negara miskin.

Bahkan sejumlah negara telah mengatakan tidak bersedia menandatangani
kesepakatan yang mengikat—seperti Protokol Kyoto yang mewajibkan
negara-negara Annex 1 mengurangi emisinya. Sebaliknya mereka justru
mendorong adanya kesepakatan politis untuk mengurangi emisi karbon.

”Semua negara anggota G-77 dan China juga Afrika sudah berseru meminta
negara maju mengurangi emisi, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan
meminta kami mengulur waktu sampai enam bulan,” tambah Di-Aping
seperti dikutip Reuters. Adapun Amerika Serikat juga dikritik karena
tidak menawarkan angka penurunan emisi secara tegas.

Padahal, semula Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi
Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen tersebut dijadikan batas waktu
adanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto. Pada perundingan di
Barcelona, delegasi negara-negara Afrika sampai-sampai melakukan walk-
out dan memboikot pertemuan.

”Ini fase sulit. Saya rasa semua pihak harus memainkan lagi perannya
untuk dapat membuat kesepakatan mengikat yang kuat di Kopenhagen
nanti. Itu butuh sekitar 12 bulan,” ujar Bill Hare, seorang ilmuwan
dari Potsdam Institute, Jerman.

Delegasi RI melalui beberapa pendekatan bilateral mengeluarkan gagasan
agar Kopenhagen menyepakati ”kesepakatan payung” berisi tujuan global
jangka panjang, proses, hingga disepakati perjanjian internasional
baru sebelum Juni 2010.

Kegeraman tak terucapkan telah mendorong Maladewa melakukan ”protes”
dengan melakukan rapat kabinet di bawah air pada 17 Oktober lalu.
Kabinet pemerintahan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menyerukan
negara kaya mengurangi emisi karbonnya dengan serius. Maladewa
merupakan salah satu negara pulau kecil yang terancam tenggelam akibat
naiknya permukaan air laut.

Untuk menggedor nurani penguasa negara kaya, Maladewa juga
mencanangkan sebagai negara dengan pembangkit listrik tenaga angin
senilai 200 juta dollar AS dan menjadi ”negeri pulau kecil dengan
karbon netral pada 2020”.

Tak kalah dengan Maladewa, Indonesia yang dinilai gambutnya adalah
emiter terbesar di Asia, akibat keinginan besar untuk mendorong negara
maju telah berani mengajukan angka 41 persen pengurangan emisi karbon
tanpa berpikir panjang betapa pengurangan emisi sebanyak itu akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Maladewa dan Indonesia adalah negara-negara miskin dan berkembang yang
prihatin akan kondisi stagnan perundingan. Kondisi yang akan
menjerumuskan nasib umat manusia empat dekade mendatang. Inilah drama
tragisnya: yang miskinlah rupanya yang rela berkorban sambil menunggu
hal yang tak pasti: si kaya mungkin akan rela juga berkorban.
(BRIGITTA ISWORO)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03000529/yang.miskin.yang.berkorban

Cerita Humor untuk Politik Kita

Mungkin seharusnya kita memandang politik Indonesia dengan rasa humor
daripada terus mengerutkan kening. Toh, memang seperti inilah potret
bangsa kita saat ini, mulai dari pemimpinnya, birokrasi, oposisi,
hingga masyarakatnya.

Kejenakaan inilah yang terasa kental dalam diskusi peluncuran emiktur.
Singkatan ini pun jangan terlalu dianggap serius karena ini kreasi
olok-olok pembuatnya, sineas Garin Nugroho, yang dimaksud adalah esai,
komik, dan karikatur dengan judul SBY Superhero.

Tak jarang tawa membahana di kafe kantor berita Antara, Jakarta, gara-
gara celotehan pembahas buku yang sebenarnya sehari-hari dikenal
sebagai pengamat politik ”serius”, yaitu Yudi Latif, Arbi Sanit, dan
Muslim Abdurrahman. Garin sambil tersenyum jahil bercerita, tadinya ia
mencoba serius untuk membaca Pemilu 2009. ”Eh, baru setelah sadar,
saya kembali berpikir bahwa politik Indonesia sebenarnya hidup dan
dihidupkan dari berbagai jenis olok-olok,” katanya, Senin (9/11).

”Bagaimanapun, pemimpin adalah cermin masyarakat,” kata Yudi Latif. Ia
menambahkan, kekesalan pada pemimpin sebenarnya adalah kekesalan pada
diri sendiri. Dia pun merujuk potret masyarakat dalam SBY Superhero
yang menyebut tujuh ciri masyarakat kontemporer Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah Masyarakat Suku Trendi yang fanatik
sekaligus terbuka, global sekaligus primordial, dan penuh lompatan
tetapi juga tertinggal. Kedua adalah Masyarakat Kopral Jono (judul
lagu klasik yang mengidolakan militer), di mana psikologi komunal
rakyat Indonesia tetap cinta pada militer. Ketiga, Masyarakat Gosip
Data yang gemar pada sistem rating dan gosip serta euforia poling yang
dimanfaatkan berbagai lembaga riset. Keempat, Masyarakat Tumpengan
alias semuanya bersama-sama dan tanpa oposisi serta berebut untuk
membagi-bagi sayur dan lauk-pauk.

Arbi Sanit juga menggarisbawahi olok-olok dalam politik Indonesia.
Menurut dia, politik yang menebar simbol tanpa substansi adalah olok-
olok karena tidak ada isinya. Politik yang seharusnya adalah demokrasi
serta kepercayaan dan kedaulatan rakyat.

Masalah kemasan itu juga disoroti Muslim Abdurrahman, yang menyatakan,
popularitas dari sesuatu yang nonsubstantif bisa digerogoti dengan
mudah karena selama ini citra yang dibangun nonsubstantif. ”Saya
khawatir itu terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),”
katanya.

SBY Superhero memang membuat kita becermin tentang diri kita sendiri.
Adanya kritik sekaligus pujian yang disampaikan dengan ringan dan
jenaka. Untuk Presiden Yudhoyono, misalnya, yang menjadi pembuka
adalah tujuh jurus jitu kemenangannya dalam Pemilu 2009. Jurus
pertama, menyebutkan betapa jeniusnya jurus politik keseimbangan yang
digambarkan seperti kesebelasan Jerman yang perlahan tetapi pasti
mengatur jalannya pertandingan politik.

”Jika terdesak, seakan-akan terpojok. Pada momentum yang tepat kembali
mengendalikan permainan untuk kemenangan,” begitu isi jurus pertama.
Selain penjelasan jurus pertama itu, ada kutipan berita tentang
terbitnya Perppu penunjukan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan pola yang sama, disebutkan juga Tujuh Jurus Keblinger: Tujuh
Kesalahan Lawan SBY, seperti Keblinger Selebriti. Disebutkan bagaimana
juru kampanye dan calon presiden mengalami histeria selebriti, mereka
senang tampil di acara televisi setiap hari, tetapi lupa pada tugas
utama, yaitu berkampanye. Mereka tampil gagah, menarik, serba wah, dan
yang paling penting mampu menguras emosi. Sinetron muncul dengan
konsep dan tema yang sama dan semuanya digandrungi penonton.

Dulu, masyarakat enggan menyaksikan berita politik. Namun, begitu
dikemas dengan gaya infotainment, di mana berbagai hal seperti waktu
senggang hingga pakaian ikut dibahas, acara politik pun digemari.

Tujuh kritik untuk SBY juga menggarisbawahi betapa Presiden ini
mementingkan kemenangan daripada pendidikan kewarganegaraan. Kampanye
menyisihkan pendidikan warga negara dan berpusat pada sosok SBY.
Menurut Yudi Latif, kini saatnya sosok superhero itu membuktikan
dirinya. ”Sebagaimana jagoan, dia harus datang dong dan menolong
ketika krisis. Atau ini hanya citra imajinatif saja,” tandasnya.

Inilah cerita tentang bangsa kita yang sedang belajar berpolitik.
Emiktur ini seperti ingin mengolok-olok kita. (edn)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03143358/cerita.humor.untuk.politik.kita

Energi Antikorupsi Bangsa

DALAM beberapa minggu terakhir ini perhatian kita tersita oleh
intensitas pemberitaan pro-kontra dugaan kriminalisasi pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan antusiasme yang luar biasa, masyarakat luas mengikuti
perkembangan kronologi dan konstruksi kasus yang menimpa Bibit Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah. Jutaan pengguna komunikasi dunia maya
melalui jaringan Facebook memberikan pembelaan kepada KPK sekaligus
menyatakan ketidakpercayaan (vote of no confidence) kepada lembaga
kepolisian dan kejaksaan.

Perasaan bahwa selama ini banyak hal tidak beres terjadi di lembaga-
lembaga penegak hukum sebenarnya sudah lama ada di alam pikir dan alam
bawah sadar masyarakat. Survei yang menyatakan lembaga- lembaga
penegak hukum di Indonesia masuk kategori korup juga telah banyak
diketahui. Kesimpulan korupsi telah membudaya, bahkan cenderung
menjadi cara hidup (way of life) dalam masyarakat, juga tak banyak
dipersoalkan.

Namun nurani kita tetap terusik menyaksikan betapa kondisi penegakan
hukum sudah sedemikian parah. Sebagian kalangan menyesalkan tontonan
kasus hukum yang dinilai memalukan dan memilukan ini. Optimisme kita
menyambut pemerintahan baru tiba-tiba seperti menguap. Energi kita
tersedot habis untuk menonton skenario cerita yang berubah-ubah setiap
saat.

Program 100 hari yang dicanangkan Kabinet Indonesia Bersatu II yang
semula diharapkan sebagai pintu masuk untuk memfokuskan perhatian
seperti kehilangan daya pikat dan daya rekat. Dari sisi lain,kasus ini
merupakan proses pembelajaran kolektif yang luar biasa tentang makna
kejujuran dan keadilan.

Melalui kasus ini kita seperti diajak untuk becermin, melakukan
refleksi dan introspeksi, tentang apa yang oleh masyarakat dianggap
dari waktu ke waktu semakin menipis atau luntur. Masyarakat seperti
ingin melihat kembali kehadiran kejujuran di pentas publik–sesuatu
yang dikhawatirkan akan hilang bila tak dipertahankan.Kita teringat
seruan Rendra (almarhum): Kita adalah kepribadian/dan harga kita
adalah kehormatan kita. Douglass North (1990) adalah ekonom yang
paling rajin membahas kaitan antara kejujuran dan kemajuan suatu
bangsa.

Peraih Nobel Ekonomi 1993 ini pernah bertanya, “Does honesty in
exchange make a difference; does it pay?” Logikanya sederhana, bila
hubungan-hubungan kontraktual dalam masyarakat didasarkan pada
kejujuran, akan terbangun kelembagaan masyarakat yang efisien.
Kelembagaan masyarakat yang diwarnai ketidakjujuran akan selalu
melahirkan ketidakpastian. Ketidakpastian akan melahirkan aji mumpung
(moral hazard) yang mendorong pelaku ekonomi berpikir dalam konteks
jangka pendek.

Ketidakpastian akan melahirkan pasar-pasar bagi para pemburu
rente.Ketidakpastian akan melahirkan kelembagaan ekonomi yang tidak
efisien. Kepastian merupakan fungsi dari keterdugaan (predictability).
Dalam kondisi yang serbaterduga, serbapasti, pelaku ekonomi
mendapatkan insentif untuk berpikir dalam konteks jangka panjang.
Penyimpangan yang menimbulkan ketidakpastian akan mendapat penalti
karena dalam jangka panjang setiap pelaku ekonomi memiliki waktu cukup
untuk menilai perilaku satu sama lain.

Daya ingat sosial (social memory) yang kuat ini pada akhirnya
melahirkan apa yang oleh Fukuyama (1995) disebut sebagai hightrust
society atau masyarakat dengan radius kesalingpercayaan tinggi––salah
satu ciri terpenting dari bangsa yang maju. Kejadian yang saat ini
sedang berlangsung bila dikelola dengan baik akan melahirkan momentum
psikologis dan energi batin untuk berani mengatakan benar adalah benar
dan salah adalah salah.

Ini juga merupakan kesempatan emas bagi Anggoro Widjaja dan Anggodo
Widjaja, dua tokoh yang dianggap sebagai otak rekayasa kasus KPK,
untuk bermetamorfosis dari ”penjahat hukum” menjadi ”penyelamat
hukum”. Pentas hukum Indonesia membutuhkan banyak peniup peluit
(whistle blower) yang diharapkan dapat menghentikan proses
demoralisasi hukum.

Tantangan yang diberikan Presiden agar siapa saja yang selama ini
dirugikan oleh mafia hukum atau oknum-oknum yang memperjualbelikan
keadilan untuk melapor langsung merupakan tantangan yang harus
disambut gembira oleh mereka yang ingin melakukan pencitraan ulang
(rebranding) dari koruptor menjadi kontributor dalam proses
pendewasaan kehidupan bersama.

Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa terbelit oleh perasaan tak
berdaya untuk keluar dari kepurapuraan dan kemunafikan. Kita seperti
telah kehilangan daya juang untuk memberi keteladanan dalam berbagai
hal. Adakah apa yang digambarkan Mustofa Bisri (1998) dalam puisi
”Selama Ini di Negerimu” masih berlaku?

Selama ini di negerimu/ Kebenaran Ditaklukkan/ oleh rasa takut dan
ambisi/Keadilan ditundukkan/ oleh kekuasaan dan kepentingan/ Nurani
dilumpuhkan/ oleh nafsu dan angkara. Negeri ini bukan negeri para
bedebah. Negeri ini bukan negeri tekateki penuh misteri. Kita harus
menyatukan kekuatan untuk menembus awan gelap berlapis-lapis.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Pengamat Ekonomi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283323/38/

Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan

Barangkali Anggoro dan Anggodo, dua kakak beradik keluarga Widjaja,
adalah pengusaha cukup kaya. Akan tetapi tentu tidaklah sekaliber
miliarder seperti keluarga Soeryajaya, keluarga Riyadi, keluarga
Halim, keluarga Sampoerna, keluarga Salim,keluarga Bakrie,dan sederet
nama pengusaha top lainnya.

Mungkin keduanya pun tidak termasuk 20, bahkan 50, pembayar pajak
terbesar di negeri ini. Namun, kini kita tahu, bahkan pengusaha
“kelas” dua seperti mereka pun memiliki kemampuan untuk memengaruhi
jalannya proses kenegaraan, dari segi yuridis, di tingkatan puncak.
Pihak institusi atau petinggi yang mereka pengaruhi atau sertakan
dalam drama “KPK”sungguh tidak sembarangan, levelnya tidak berhenti
pada tingkat nasional, tetapi juga regional atau internasional.

Apakah tidak mungkin ada oknum dari “kelas” satu atau top yang juga
bekerja dengan pola dan modus serupa, untuk perkara yang jauh lebih
“tinggi” lagi? Apa yang bisa membantah kemungkinan ini? Tidak ada.
Bukankah ini menjadi sebuah kabar yang sangat buruk, bahkan terburuk
dalam sejarah negeri ini, bagaimana ternyata proses-proses formal
kenegaraan dapat begitu saja dikendalikan oleh kepentingan-
kepentingan sempit dan menyesatkan dari segolongan, bahkan satu-dua
orang saja?

Tidakkah ini menjadi bukti atau semacam katup dari kotak pandora
sistem kenegaraan kita yang chaos karena mekanisme dan proses yang ada
di dalamnya ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharuskan,
sebagaimana yang kita pikirkan selama ini? Maka, lumrah bila kita
dengan keras bertanya: negara atau bangunan kebangsaan apa yang kita
bangun selama ini?

Bila ternyata hal-hal yang prinsipil dan esensial, termasuk di
dalamnya berbagai keputusan strategis di bidang politis, ekonomis, dan
yuridis bisa jadi hanya menjadi permainan dari broker, markus,
pengusaha degil, atau preman-preman politik dan hukum,di mana kemudian
sejarah hebat bangsa ini ditempatkan?

Di mana ide-ide besar founding fathers diposisikan? Di mana
kesengsaraan dan perjuangan rakyat kecil diperhitungkan? Di mana
sesungguhnya akal dan nurani kita bicara? Tampaknya, riwayat republik
dan bangsa ini,di momen ia sedang mencoba mengenang dan merevivalisasi
semangat kepahlawanannya, harus bertemu de-ngan sebuah momen di mana
semua cita-cita dan idealisasinya kini telah menjadi basi.Kesemuanya
menjadi karduskardus artifisial yang menghiasi kemeriahan selebrasi
kemajuan (kemodernan) politik, ekonomi atau hidup sosial kita.

Bangunan meriah dan megah itu ternyata rapuh fundamennya. Kita semua
tak menyadarinya karena tersihir oleh dunia-semu, simulakra yang di-
diseminasi dengan rajin oleh media massa, entertainment, dan komentar
para pakar yang buta. Indonesia hari ini adalah sebuah tragedi. Bukan
hanya koruptor bebas berkeliaran, bahkan dipuja; pembunuh pun kini
dapat menjadi pahlawan; manipulator jadi ulama; penipu jadi
cendekiawan; tukang hasut jadi politikus elite; dan seterusnya.

Namun itu lebih karena kita bersama sudah alpa dan lupa pada niat
dasar kita kenapa dahulu kita harus merdeka, mengapa kita harus
membentuk diri menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara; kita lupa
untuk apa ada yang bernama “Indonesia”?

Absennya Landasan Kultural

Marilah kita lihat bagaimana kasus segi tiga “KPK-Polri-Kejaksaan
Agung” yang telah menjadi skandal hukum terbesar selama republik ini
berlangsung. Hingga hari ini, kita masih melihat aktoraktor utama yang
dianggap melukai “rasa keadilan publik” tetap bebas berseliweran
dengan aksi dan retorikanya.

Para penanggung jawab utama tetap bertengger di puncak kuasanya, tanpa
rasa sungkan dan malu pada norma, nilai, dan tradisi kehormatan. Tiada
integritas kepribadian dan kebesaran jiwa untuk memikul tanggung
jawab. Melulu kekuasaan yang dibela, betapapun kekuasaan yang dia bela
itu telah cacat dan ternoda di bawah penguasaannya.

Selaiknya, bukan hanya pada tingkat Kabareskrim Polri atau Wakil Jaksa
Agung yang antara lain jadi tersangka oleh publik harus diberhentikan.
Bahkan di tingkat Jaksa Agung, Kapolri hingga––boleh jadi—Menko
Polhukam semestinya mengundurkan diri untuk menunjukkan kehormatan dan
integritas kepribadiannya yang tinggi,yang membuat mereka pantas
menduduki posisi-posisi penting itu.

Hal ini menunjukkan,kekuasaan–– dari pemerintahan yang ada sekarang—
gagal dalam meneguhkan moralitas di dalam dirinya. Gagal dalam
membentuk sebuah kultur yang membuat kekuasaan itu sendiri memiliki
wibawa, rasa bangga, dipercaya, dan merepresentasi kesejarahannya yang
gemilang.

Kekuasaan saat ini berdiri ternyata hanya untuk melayani dirinya
sendiri, melupakan esensi dari eksistensinya sendiri, yakni: kehadiran
publik. Untuk itu, sebuah kesadaran atau tindakan yang sifatnya
fakultatif akan sangat tidak memadai bagi sebuah penyelesaian yang
substansial dan fundamental.

Terlebih pola-pola kebijakan yang sangat pragmatis,dalam arti hanya
menjadi reaksi atau antisipasi dari situasi kontemporer, sungguh hanya
akan sampai pada jalan buntu atau penggandaan masalah yang sama tiada
habisnya. Ternyata tampaknya kita harus menerima hal tersebut,
katakanlah, saat kita mendapatkan program 100 hari kabinet baru.

Bukan hanya karena jumlah program ditambah sekadar untuk mereaksi
perkembangan masalah mutakhir, tetapi juga karena absennya landasan
filosofis dan kultural, semacam sebuah cetak-biru atau strategi
kebudayaan yang menyeluruh, yang akan memberi kaki-kaki yang kukuh
bagi bangunan masa depan yang akan dibangun.

Pemerintahan saat ini menjadi begitu pragmatis dan oportunistis, bukan
saja dalam penyusunan isi kabinet maupun program-programnya, tetapi
juga hingga pemilihan orang-orang dekat kepresidenan beserta dimensi
urusannya. Tak ada dalam daftar dari semua nama dan dimensi itu,
mereka yang berkeahlian dalam soal tradisi, kesejarahan, kesenian,
atau kebudayaan pada umumnya.

Keahlian yang sesungguhnya dapat memberi semua nama dan dimensi itu
alasanalasan penting dan mendasar: mengapa, hendak ke mana,dan
bagaimana sebenarnya sebuah program harus dibuat dan dilaksanakan.
Bagaimana sebuah pemerintahan tidak menjadi sebuah urusan yang
parsial,tetapi menjadi sebuah universum yang merangkum semua
kepentingan umum.

Reformasi Kebudayaan

Bukan untuk persoalan personal jika saya harus sekali lagi dan akan
terus mengatakan: Presiden dan pemerintah negeri ini semestinya siuman
dari cara berpikir dan bersikap mereka yang meminggirkan dimensi
kultural dalam pembangunan bangsa dan negeri ini. Apa yang terjadi
belakangan ini, pembongkaran memalukan dalam skandal hukum seputar
KPK, menunjukkan betapa budaya hukum kita bukan hanya tidak
jalan,tidak berbentuk, rusak, tetapi sesungguhnya: tidak ada.

Sementara kesadaran paling sederhana dari intelektualitas paling
standar seharusnya mafhum bahwa sebuah kerja dan organisasi yang
berskala besar dan berkesinambungan membutuhkan tradisi atau kultur.
Di mana baik sistem maupun para aktornya dapat dijaga dan dijamin
kemaslahatan perilaku serta hasil pekerjaannya.

Absennya dimensi ini akan tetap membawa kita pada siklus masalah dan
duplikasi kesulitan yang bertambah berat hingga akhirnya menjadi
involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Namun, sekali lagi,
demikianlah riwayat mutakhir kita.Kata kebudayaan pun tetap
disubordinasikan dalam urusan-urusan material.

Berbagai peristiwa hebat yang menghantam bangsa ini, dalam dekade
mutakhir, tak juga menerbitkan kesadaran bahwa perubahan tidak cukup,
bahkan tidak bisa lagi, hanya dilakukan dalam dimensi- dimensi formal-
material, tapi kultural. Diterima atau tak diterima, sadar maupun
tidak, peduli atau ditertawakan, perubahan atau reformasi kebudayaan
itu semestinya, bahkan niscaya, akan terjadi.

Bukan mereka para pengambil keputusan yang menjadi penentu,tetapi
orang banyak,juga waktu.Semoga, ini yang kita harapkan bersama, korban
tidak harus jatuh karenanya. Apalagi dari kalangan mereka yang semula
tak memercayainya. Semoga.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283287/

Pengadilan di Televisi

Dugaan kasus suap Anggoro Widjajake sejumlahoknum di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sempat menyeret dua pimpinan KPK,
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, ke tahanan Polri tak sekadar
menyita perhatian publik.

Lebih besar dari itu, isu ini telah membawa dua institusi penting
pemberantas korupsi di negeri ini, KPK dan Polri, terjebak dalam
kubangan konflik internal yang sepele, tetapi menghabiskan banyak
energi. Bagaimana tidak,KPK dan Polri yang seharusnya bekerja sama
nyatanya justru saling serang di depan publik.

Mereka yang sebelumnya pelit komentar, kini rajin mengumbar “jurus”
untuk menyerang dan berkelit demi kepentingan masing-masing. Tak
terhitung berapa kali kedua lembaga ini saling “jual beli” argumen
untuk saling melemahkan. Lalu pertanyaannya adalah, siapa yang mereka
bela? Ego institusi tampaknya lebih nyata daripada upaya mencari
solusi final yang berpihak pada kepentingan bersama (baca: rakyat).

Padahal kita semua tahu bahwa kasus ini adalah domain hukum, yang
(berbeda dengan politik) tak memerlukan perang argumen karena sudah
baku.Hanya saja yang tersaji ke publik sebaliknya.Pengacara yang tugas
utamanya adalah memberikan advis hukum kepada kliennya dalam
menghadapi persoalan hukum justru lebih sering terlihat seperti
pengamat, hakim, bahkan presiden.

Mengutip pendapat Frans Hendra Winarta,advokat senior, apa yang
dilakukan pengacara salah satu pihak pascapemutaran rekaman penyadapan
di Mahkamah Konstitusi (MK) justru terkesan seperti pernyataan “hakim”
dengan memutuskan Anggodo Widjaja bersalah sehingga harus ditahan.
Bukan hanya itu, pengacara tersebut juga seolah menjadi “presiden”
ketika menyimpulkan Kapolri layak dipecat.

Publik Dikorbankan

Lalu siapa yang akan membela kepentingan publik jika tiap lembaga
penegak hukum sibuk “beriklan” di TV dan media lain? Tak bisa
dimungkiri bahwa era kebebasan pers sekarang ini turut mendorong
liberalisasi lembaga penyiaran. Efek positifnya, akses publik terhadap
informasi terbuka luas sehingga tak ada dominasi informasi oleh rezim
yang berkuasa.

Namun, liberalisasi ini juga menyimpan ancaman, yaitu batasan antara
“layak dan tidak”,“patut dan tak patut” menjadi demikian tipis.
Imbasnya, tafsir kelayakan dan kepatutan didominasi oleh media masing-
masing melalui “politik” agenda setting. Sebagaimana ditulis Bernard
Cohen (1963), pers bukan sekadar pemberi informasi dan opini, lebih
jauh dari itu, pers berperan dalam mendorong pembacanya untuk
menentukan apa yang perlu dipikirkan.

Dalam kasus KPK vs Polri, televisi memainkan peran penting dalam
menentukan isu dan mengendalikan nya.Semua mata terbelalak ketika
melihat sejumlah televisi meng-cover total publikasi rekaman
penyadapan KPK atas Anggodo Widjaja.Sidang MK yang seharusnya sakral
dan khidmat berubah menjadi layaknya reality show yang penuh
ketegangan, kelucuan, dan menguras emosi penonton.

Membuka rekaman di pengadilan adalah tindakan sah dan terbuka, tetapi
menyiarkannya secara langsung dalam durasi waktu panjang ke publik
terkesan berlebihan. Bagi sebagian besar masyarakat awam yang tak
menguasai hukum, episode MK di televisi tak banyak bermanfaat. Publik
justru dibuat bingung dan semakin apatis terhadap lembaga-lembaga
negara,khususnya lembaga penegak hukum.

Bahwa kebebasan pers harus didukung itu adalah pasti. Namun dalam
mener jemahkannya, tentu kita harus berangkat dari falsafah bahwa tak
ada kebebasan yang tak terbatas. Batasan dari kebebasan itu sendiri
adalah kepentingan umum dan kebaikan bersama. Benar saja, siaran
langsung rekaman penyadapan di MK langsung mendapat tanggapan dari
pihak-pihak yang terlibat.

Rapat Komisi III DPR-Kapolri beberapa hari setelah itu menjadi “ajang
pembalasan ”Polri ke KPK.Televisi kembali memainkan peran penting
ketika momen ini juga disiarkan langsung hingga dini hari. Di sisi
lain,DPR yang seharusnya memaksimalkan fungsi pengawasan justru
menjadi public relation bagi Polri.

Jika preseden ini terus berlangsung, fungsi hakim dan lembaga
pengadilan akan terdegradasi. Pengadilan nantinya dianggap “kurang
adil”,kurang transparan, dan kurang cepat memutus perkara jika
dihadapkan dengan peran yang dilakukan televisi. Membandingkan
keduanya memang bukan sesuatu yang pas.

Akan tetapi dari kacamata awam, pemikiran seperti itu dapat muncul
karena televisi dengan segala keunggulan teknologinya mampu membuat
yang jauh terasa dekat.Membuat yang diluar seakan merasakaniklim yang
tengah berlangsung. Jika demikian, lagi-lagi penulis bertanya, inikah
arah kebebasan informasi yang kita harapkan?

Perlu kita merenung sejenak seraya memikirkan arah yang benar bagi
iklim kebebasan yang kita harapkan bersama. Sejatinya bukan kali ini
saja televisi dianggap terlalu bebas dan meminggirkan norma dan etika.
Sebelumnya, tayangan kekerasan yang vulgar, mistik, dan pornografi di
televisi juga banyak dikeluhkan.

Kembali ke “Khitah”

Untuk menyelesaikan sengketa KPK vs Polri, jalan keluarnya sebenarnya
mudah dan sederhana. Kembalikan saja kasus ini ke “khitahnya”sebagai
kasus hukum. Dengan begitu, penyelesaiannya juga melalui mekanisme
hukum dengan keputusan yang mengikat dan dihormati.Lembaga pengadilan
harus mampu menjalankan tugasnya secara optimal guna meraih
kepercayaan publik.

Siapa pun yang bersalah dalam kasus ini—apa pun jabatan dan
institusinya—harus dihukum.Tak boleh juga ada istilah tebang pilih
karena jika ini dilakukan sudah pasti akan memperburuk citra aparat
penegak hukum itu sendiri. Mengenai opini yang terus dibangun kedua
pihak yang bersengketa, hakim tak boleh sedikit pun terpengaruh.

Pembangunan opini, apa pun alasannya, pastilah memiliki vested
interest di belakangnya. Hakim hanya boleh berpegang pada barang
bukti, saksi, dan alat kelengkapan hukum yang lain. Mengenai kehendak
sebagian pihak agar Presiden SBY ikut turun
tangan“mengintervensi”kasus ini, itu adalah bentuk dari tindakan yang
justru melanggar konstitusi. Sudah jelas bahwa konstitusi melarang
intervensi eksekutif terhadap proses hukum.

Yang dapat dilakukan Presiden adalah membuat kebijakan yang dapat
menekan pelanggaran dan korupsi. Di lima tahun pertama
pemerintahannya, SBY mengidentifikasi sejumlah masalah yang menjadi
penyebab lambatnya perubahan di negeri ini. Satu masalah utama yang
dianggap sebagai akar dari rusaknya hukum adalah mafia peradilan.

Oleh karenanya, tak aneh jika dalam 15 program utama yang masuk dalam
program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, pemberantasan
mafia peradilan ditempatkan sebagai masalah utama yang harus diatasi.
Mafia peradilan inilah yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan
pihak lain.

Misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara,
mengancam saksi, mengancam pihakpihak lain, pungutan-pungutan yang
tidak semestinya dan sebagainya. Presiden juga menyerukan kepada
seluruh rakyat Indonesia yang merasa menjadi korban mafia hukum untuk
melapor melalui PO BOX 9949,Jakarta 10000. Semoga kasus ini menjadi
pelajaran bagi kita semua untuk menciptakan tatanan hukum yang lebih
baik, pasti, dan bermartabat. Semoga.(*)

Zaenal A Budiyono
Koordinator Nasional
Kaum Muda Indonesia
untuk Demokrasi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283286/

Rekayasa Kasus Antasari Terbongkar di Pengadilan

Berita acara pemeriksaan dibuat penyidik dan Williardi mengaku hanya
menandatanganinya pukul 00.00 WIB.
REKAYASA kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terus terbongkar. Setelah skenario mengkriminalkan BibitChandra
terpampang melalui pembukaan rekaman perbincangan antara Anggodo
Widjojo dan sejumlah penegak hukum di Mahkamah Konstitusi, hal serupa
terjadi pada perkara yang menimpa mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Adalah Kombes Williardi Wizard, mantan Kapolres Jakarta Selatan, yang
mengungkap skenario kriminalisasi terhadap Antasari itu di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, kemarin. Saksi kunci kasus pembunuhan Direktur
PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen tersebut mengakui
keterangannya selama ini tentang keterlibatan Antasari adalah skenario
untuk mengkriminalisasi mantan Ketua KPK itu.

"Saya dipaksa untuk membuat Antasari sebagai sasaran. Waktu itu saya
dikondisikan Direktur Reserse Polda Metro Jaya, wadir, kabag, kasat
(kepala satuan). Semuanya hadir di situ. Mereka menyebutkan kalau
sasaran kita hanya Antasari. Saya diperlihatkan BAP (berita acara
pemeriksaan)-nya Sigid (Sigid Haryo Wibisono, terdakwa penyandang
dana) dibacakan kepada saya, dan minta disamakan saja," kata Williardi
berapi-api sambil bersumpah demi Allah ucapannya benar.

Menurut catatan Media Indonesia, penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin
dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Posisi
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dijabat Kombes
Muhammad Iriawan, sedangkan wakilnya AKB Tornagogo Sihombing. Adapun
kasat-kasat di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Umum adalah AKB
Hilman, AKB Daniel Tifaona, AKB Agustinus Pangaribuan, AKB Ahmad
Rifa'i, dan AKB Nico Afinta.

Polisi menggunakan BAP Williardi untuk menggulirkan kasus Antasari ke
kejaksaan.
Dalam BAP yang pertama itu Williardi mengaku diminta Antasari dan
Sigid untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen.

Ditekan dan diiming-iming Williardi mengakui ia membuat BAP dalam
kondisi tidak netral. "BAP dibuat oleh penyidik dan saya hanya
menandatanganinya jam 12 malam," kata Williardi.

Selain itu, Williardi mengaku diimingimingi berbagai fasilitas oleh
penyidik yang malam itu datang ke rumahnya. "Saksinya adalah istri
saya, adik saya, dan ipar saya."

Istri Williardi, Nova, membenarkan bahwa suaminya diminta untuk
mengarang cerita yang memojokkan Antasari. ``Waktu itu saya sudah
mengingatkan, jangan Pa, tapi suami saya mengatakan itu perintah
atasan.'' Ternyata, setelah mengikuti keinginan penyidik, Williardi
tetap ditangkap dan dijadikan tersangka. "Itulah mengapa kini saya
buka semuanya," aku Williardi.

Ia pun meminta polisi menyita telepon seluler milik Direktur Reserse
Polda Metro Jaya Kombes Muhammad Iriawan sebagai bukti.

Pengakuan Wiliardi membuat kaget Antasari. "Tuhan tidak pernah tidur.
Begitu orang menzalimi saya, kebenaran mulai terungkap," kata Antasari
yang menitikkan air mata.

"Ini fenomenal. Bagaimana dalam sejarah peradilan, seseorang dijadikan
terdakwa karena sebuah skenario," tukas Juniver Girsang, kuasa hukum
Antasari. (Ars/X-10)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/11/11/ArticleHtmls/11_11_2009_001_006.shtml?Mode=0

Laporan dari Kampung Chandra M Hamzah : Anak Manja itu,Disiapkan Jadi Datuk




PENANGGUHAN penahanan anggota KPK non aktif, Chandra M Hamzah (42) oleh pihak kepolisian. Membuat 'dunsanak' alias kerabatnya yang tinggal di Kelurahan Padangtinggi, Nagari Koto Nan Ompek, Payakumbuh, Sumbar, bersyukur sekali. Bagaimana sosok Chandra di mata mereka?



HUJAN turun dari langit. Percikan airnya, membasahi teras sebuah rumah kayu yang berdiri kokoh di Kelurahan Padangtinggi, Nagari Koto Nan Ompek, Kecamatan Payakumbuh Barat (sekitar 1,5 Kilometer dari pusat kota Payakumbuh), Kamis (5/11) siang.

Rumah kayu bercat kuning gading, yang berada di samping Mushalla Al-Marhamah itu, sebenarnya adalah peninggalan dari pasangan suami-istri (Alm) Darwis dan Zaidati. Namun, sejak mereka tutup usia, rumah yang berdekatan dengan kantor Lurah Padangtinggi tersebut, hanya dihuni oleh anak-anak mereka.

Ada sembilan anak yang dihasilkan pasangan Darwis dan Zaidati. Masing-masing bernama (Alm) Darusad, Kamsidar alias Mido, Syofniyar, Yulia, Damirus, Aswinar, Daswar, Hj Lir Yanedi, dan Nurzeli. Adapun yang bernama Kamsidar alias Mido, adalah ibu kandung dari Chandra M Hamzah, anggota KPK non aktif.

"Chandra itu adalah anak Kak Mido. Kalau pulang kampung dari Jakarta, bersama ibu atau ayahnya, Chandra pasti nginap di rumah ini. Tapi tidak lama. Paling-paling hanya 3 sampai 4 hari,"kata Yulia, 57, etek (tante) kandung Chandra, yang kini menjadi penghuni rumah bernomor 15, Lingkungan I Padangtinggi tadi, ketika ditemui Padang Ekspres.

Menurut Yulia, biasanya Chandra M Hamzah, pulang kampung bersama ibunya Kamsidar dan ayahnya Jamhir Hamzah SH yang masih berasal dari Payakumbuh, yakni dari Padangtangah, Koto Nan Ompek. Mereka, biasa pulang saat akan memasuki Hari Raya Idul Fitri.

"Tapi sekarang, sudah lama sekali keponakan, kakak, dan ipar saya itu tidak pulang. Walaupun begitu, kami masih sering berkirim kabar. Sekurang-kurangnya melalui telepon,"imbuh Yulia yang tak ingat lagi, terakhir Chandra pulang kampung.



Hal ini juga diungkapkan Syofidar Darwis, yang merupakan kakak dari Yulia, sekaligus adik dari Kasmidar."Lah lamo, kamanakan ambo tu ndak pulang-pulang. Ndak takona dek kami lai, bilo inyo pulang pangabisan (Memang sudah lama, keponakan saya itu tidak pulang-pulang. Kami tidak ingat lagi, kapan dia pulang terakhir)"ujar Syofidar, dengan logat kental Payakumbuh.



Anak Manja

Walau tidak ingat, kapan Chandra terakhir kali menginjakkan ranah Payakumbuh. Namun, Yulia dan Syofidar, tahu betul bagaimana masa kecil pria yang kini tercata memegang lisensi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, lisensi Konsultan Hukum Pajak, lisensi Konsultan Hukum Pasar Modal, dan lisensi Pengacara/Penasihat Hukum/Advokat tersebut.

"Kalau masa kecil Chandra, saya tahu betul. Saya pernah tinggal bersama mereka. Dulu, kami tinggal di Jakarta, tepatnya di Jalan Menteng Payakumbuh. Sekarang, mereka memang sudah pindah ke Jalan Menteng Granik Nomor 16,"ujar Yulia.

Ditambahkan Yulia, Chandra adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, bernama Ir Kartika, sekarang menjadi pegawai negeri sipil di Kota Padang. Adiknya, bernama Martha, sekarang tinggal di Amerika.

"Jadi, ketiga anak Kak Mido dan Uda Jamhir, adalah laki-laki semua. Saya ikut mengasuh mereka waktu masih kecil-kecil,"cerita Yulia yang mengaku biasa dipanggil Tante Lis oleh Chandra.

Menurut Yulia, waktu kecil, Chandra Hamzah, memang sedikit berbeda dengan bocah-bocah seusianya. Dia betul-betul mendapat perhatian dari kedua orangtuanya, terutama dari ayahnya Jamhir.

"Kakak Ipar saya itu, sangat sayang kepada Chandra. Begitupula kepada anak-anaknya yang lain. Pokoknya, Kartika, Chandra, dan Martha, selalu diperhatikan,"kata Yulia.

Saking perhatian terhadap Chandra, menurut Yulia, pernah Jamhir marah-marah kepada Kasmidar, karena melihat tubuh Chandra merah-merah digigit Nyamuk.

"Begitupula, ketika suatu hari ada lendir dalam kotorang Chandra. Ayahnya, cemas sekali. Kakak saya langsung ditanya ini, dikasih makan apa Chandra, koq beol-nya bisa berlendir? Pokoknya, Uda Jamhir. memang sangat memanjakan anak-anaknya,"kenang Yulia.

Tidak cuma itu, menurut Yulia, setiap pulang kerja. Jamhir yang berprofesi sebagai pengacara di Jakarta, juga menumpahkan perhatian kepada anak-anaknya, dengan selalu membawakan baju baru atau makanan enak.



"Uda Jamhir. ayah yang begitu memperhatikan anak. Dia selalu memantau ketiga anaknya. Misalnya saja terhadap Chandra. Mulai dari bayi, anak-anak, jadi remaja, lalu menikah dengan anak almarhum Cak Nur (Nurcolis Majid), selalu diperhatikan. Begitupula saat Chandra jadi pengacara dan anggota anggota KPK sekarang,"kata Yulia.

Lantaran itupula, Yulia sempat memikirkan kondisi Jamhir atapunya Kakaknya Mido, saat mengetahui Chandra ditahan polisi beberapa hari waktu lalu.

"Saya khawatir saja, terjadi apa-apa terhadap Uda Jamhir, saat mengetahui anaknya ditahan polisi. Sebab, dia sangat sayang dan terus memantau kegiatan Chandra,"ucap Yulia.



"Buatkan" PR Kakak

Masih mengenai masih kecil Chandra. Yulia mengaku, sering mengantar bekas asisten pembela umum YLBHI itu ke tempat dia bersekola, yakni Yayasan Pendidikan Loyola di Jalan Menteng Sukabumi, Jakarta.

"Kalau saya tidak lupa, mulai TK sampai SMP, Chandra sekolah di Yayasan Loyola Jalan Menteng Sukabumi. Waktu dia sekolah, saya sering mengantar atau menjemputnya,"aku Yulia.

Ditambahkan Yulia, kalau pagi hari Chandra diantar ke sekolah oleh Jamhir. Maka pulang sekolah, dia sendirilah yang akan menjemput bocah manja tersebut. Begitupun sebaliknya, kalau yang mengantar Chandra adalah Yulia, maka pulangnya dijemput Jamhir.

"Sedangkan ibunya, waktu itu, selain sibuk dengan usaha sampingan pembuatan jaket berbahan wol, juga sibuk mrngutud kuliah. Sebab, ibu Chandra itu kan seorang guru. Bahkan sampai kini, masih menjadi guru bahasa Inggris,"imbuh Yulia.

Satu lagi yang masih dikenang Yulia tentang Chandra kecil adalah kepintaran dan kecerdasannya. "Chandra itu, walau anak manja dan sering dimanja, tapi sangat cerdas. Bahkan, pekerjaan rumah kakaknya Kartika, pernah dia selesaikan sendiri,"kata Yulia.

Diceritakan Yulia, pernah suatu ketika, guru di Loyola bertanya kepadanya, "kok bisa pekerjaan rumah Chandra dan Kartika, mirip dan betulu jawabannya, lalu sama pula tulisanya?"

"Mendengar pertanyaan itu, saya tentuhanya diam. Namun dalam hati, saya berfikir, Chandra ternyata memang sangat pintar. Terlalu cerdas sekali,"imbuh Yulia yang sejak Chandra ditahan, tak pernah absen di depam layar kaca.



Disiapkan Jadi Datuk

Menyoal masa remaja Chandra Hamzah yang dijuliki "Pance" oleh kawan-kawan semasa kuliahnya di Universitas Indonesia. Yulia mengaku, tidak begitu tahu lagi. Sebab, waktu Chandra memasuki usia remaja, dia sudah tidak serumah dengan keluarga kakaknya yang sangat harmonis, karena harus ikut dengan suaminya Abidin.

"Waktu Chandra remaja, saya tidak tahu lagi. Kalaupun tahu, tidak banyak yang diketahui seperti saat ia kecil,"ucap Yulia.

Walaupun begitu, komunikasi antara mereka tetap dibangun. Bahkan, belakang ada niat dari kaumnnya, yakni suku Bendamng, untuk mengangkat Chandra menjadi seorang penghulu atau datuk di kampung mereka.



"Karena gelar Datuk Pado, milik kaum kami sudah terlipat atau telah lama tak dipakai. Ada rencana, menjadikan Chandra sebagai penghulu yang memimpin anak-kemenakan. Namun, karena kesibukannya menjadi anggota KPK, sampai sekarang rencana belum sempat disampaikan,"kata Yulia.

Walau begitu, Yulia tetap bertekad, kalau Chandra sudah bebas dari persoalan. Niat keluarga untuk mengamanahkan gelar Datuk Pado, akan disampaikan kepadanya.

Menyinggung soal masalah yang sedang menerpa Chandra. Yulia bersama anak-kemenakan kaum Bendang, Kelurahan Padangtinggi, Nagari Koto Nan Ompek, Kecamatan Payakumbuh Barat, yakin seyakin-yakinnya, anggota KPK non aktif, Chandra M Hamzah, bukanlah seorang pemeras, sebagaimana disangkakan pihak kepolisian.

"Kami tidak percaya, Chandra itu memeras tersangka korupsi. Kami yakin, Chandra orang benar. Rekaman yang diputar di televisi, juga sudah membuktikan. Tapi karena kami orang kecil, tentu hanya bisa berdo'a dalam hati, mudah-mudahan kebenaran datang,"ujar Yulia.



Hal senada dikatakan Syofidar, etek (tante) kandung Chandra yang lainnya. Dengan logat Payakumbuh, ia mengatakan, tidak percaya terhadap segala sangkaan yang dialamatkan kepada keponakannya.

"Kami indak picayo, Chandra tuh bantuak nan disangko urang dalam tipi. Sabab, bapak-mandehnyo urang ta'at. Urang baugamo. Chandra tuh, ta'at pulo (Kami tidak percaya, sangka'ann terhadap Chandra yang ditayangkan di televisi. Sebab, ibu-bapaknya orang ta'at. Orang beragama. Chandra juga ta'at)" kata Syofidar, dengan logat asli Pikumbuah.

Setelah itu, baik Yulia maupun Syofidar, tetap berharap Chandra tegar dalam menegakkan kebenaran dan membasmi korupsi di Indonesia. Nah, untuk harapan ini, tentu Chandra "Pance" M Hamzah, tak perlu diragukan lagi. Sebab dia pernah bilang, tidak ada kata jera dalam perjuangan. Hidup Chandra! Hidup KPK! (***)



http://padang-today.com/?today=feature&id=289

Konglomerat Media Ingin 'Sembunyi' dari Google

Konglomerat Media Ingin 'Sembunyi' dari Google
Santi Dwi Jayanti - detikinet

Jakarta - Konglomerat media, Rupert Murdoch berencana 'sembunyi' dari
Google. Semua surat kabar online di bawah perusahaannya, News Corp,
ingin diatur agar tak bisa dilihat oleh Google. Kenapa sih?

Rupanya, CEO News Corp itu menilai Google, dan situs pencarian
sejenis, telah mencuri konten. Menurut Murdoch, seharusnya orang
membayar untuk mendapatkan konten tersebut.

Murdoch dilaporkan akan menambahkan aturan pada file robots.txt pada
situs-situsnya untuk mencegah Google dan kawan-kawan mengindeks konten
mereka. "Tidak cukup iklan di dunia ini untuk membuat semua website
untung. Kami memilih hanya memiliki sedikit pengunjung, namun
membayar," ungkapnya seperti dikutip detikINET dari Sky.com, Rabu
(12/11/2009).

Murdoch mencontohkan Wall Street Journal yang sudah menerapkan sistem
pembayaran bagi pembacanya. Dan ke depannya, ia akan melakukan hal
serupa untuk The Times dan Sunday Times.

News Corp adalah konglomerat media no.2 terbesar di dunia setelah The
Walt Disney Company, menurut data 2008. Selain surat kabar, News Corp
memiliki aset online seperti MySpace, Hulu, IGN Entertainment, Rotten
Tomatoes dan lainnya.

http://www.detikinet.com/read/2009/11/11/091257/1239446/398/konglomerat-media-ingin-sembunyi-dari-google

Yulianto

Sial betul nasib orang-orang yang bernama Yulianto saat ini. Mereka
dikejar-kejar wartawan, malah bisa-bisa masuk DPO (daftar pencarian
orang) polisi.

Pasalnya oknum misterius yang menjadi pelaku atau saksi kunci dalam
kasus Bibit-Chandra (mari kita hindari istilah “kasus KPK”, apalagi
“KPK vs Polri”) kebetulan bernama Yulianto.Ini salah satu sesat pikir
yang berkembang di masyarakat yang disponsori oleh media massa, yaitu
menggeneralisasi dari khusus ke umum,dari satu Yulianto, ke semua
Yulianto se- Indonesia.

Beruntung sekali orang tua saya dulu memberi nama saya
“Sarlito”,bukanYulianto. Sesat pikir (istilah teknis dalam filsafat
logika) yang serupa juga terjadi ketika Bibit-Chandra digeneralisasi
menjadi KPK sehingga seolah-olah kasus Bibit-Chandra adalah kasus
upaya penggembosan atau bahkan pembubaran KPK.

Kalau sudah sesat pikir seperti ini, maka ucapan SBY bahwa beliau
“akan berdiri paling depan untuk menghalangi orang yang mau
membubarkan KPK” tidak terdengar lagi oleh massa rakyat. Bahkan
kemalangan yang dialami SBY dan keluarganya, ketika besan SBY, Aulia
Pohan, terpaksa masuk penjara karena dijerat KPK, sudah tidak ada lagi
yang ingat.

Pokoknya rakyat sudah berkesimpulan bahwa KPK, idola bangsa dalam
pemberantasan korupsi, hendak dibubarkan, jadi Presiden harus
bertanggung jawab,harus bertindak. Celakanya, SBY merasa terdesak oleh
sesat pikir rakyat,maka beliau membuat tim pencari fakta (TPF) yang
justru menimbulkan pertanyaan karena di sini Presiden sudah melakukan
intervensi ke ranah yudikatif, yang bertentangan dengan prinsip
sendiri seperti yang diucapkan pada pidatonya tanggal 23 Oktober 2009
lalu.

Sementara itu memang ranah yudikatif sudah diobok-obok habishabisan
ketika kasus digelar di depan umum melalui media massa (termasuk
pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi/ MK) sehingga terjadilah apa
yang dinamakan trial by the public, suatu hal yang dianggap paling
salah dalam ilmu hukum pidana. Benar kata Jaksa Agung, di negara
hukum, keadilan tempatnya adalah di pengadilan, bukan di jalanan atau
di Facebook. Namun pengadilan pun belum tentu adil.

Socrates, filosof Yunani yang ajarannya masih dianut dalam ilmu
pengetahuan sampai hari ini, dihukum mati dengan minum racun oleh
pengadilan rakyat (399 SM).Bahkan rumah Tuhan yang namanya gereja bisa
tidak adil. Galileo Galilei (1564–1642) dihukum isolasi seumur hidup
oleh Gereja (1633) gara-gara temuannya bahwa bumilah yang mengelilingi
matahari, bukan sebaliknya.

Temuan tersebut, ketika itu, dianggap melawan takdir Tuhan walaupun
sejak itu sampai hari ini umat seluruh dunia mengakuinya sebagai
kebenaran yang tak terbantahkan. Anehnya, gereja Katolik baru mengakui
kesalahannya pada tahun 1992 (Paus Johanes Paulus II) dan
merehabilitasi nama Galileo Galilei sebagai ilmuwan pada 2008 (Paus
Benedictus XVI).

*** Ada seorang filosof-ilmuwan Inggris bernama Sir Francis Galton
(1822–1911) yang telah mengingatkan akan bahaya sesat pikir. Salah
satu sumber sesat pikir adalah idola fori, yaitu mengidolakan pendapat
forum (orang banyak, suara terbanyak, massa, publik, media, dll).
Dalam rangka idola fori sangat mudah orang meyakini sesuatu yang
salah. Contohnya, takhayul dan prasangka. Perbudakan dan diskriminasi
rasial bisa bertahan berabad-abad karena idola fori berwujud takhayul
dan prasangka itu.

Begitu juga hollocaust yang meminta korban jutaan jiwa orang Yahudi di
Jerman didasari prasangka terhadap orang Yahudi. Jadi Galton mewanti-
wanti semua ilmuwan agar tetap konsisten (bahasa Islamnya: istiqamah),
yaitu hanya percaya pada buktibukti empirik. Jangan pernah
menyimpulkan sesuatu sebelum kita membuktikannya secara empirik.
Bahkan bukti empirik pun bisa digugurkan oleh bukti empirik lain.

Karena itu tidak akan pernah ada ilmu yang sempurna, tetapi hanya
ilmulah yang bisa berkembang sehingga makin lama makin sempurna. Jadi
dalam kasus Bibit- Chandra, kita tidak bisa memastikan mana yang benar
dan yang salah. Kita harus tunggu sampai semua terbukti atau tidak
terbukti. Dalam negara hukum kita,bukti itu harus disidangkan di
pengadilan. Bukan digelar dan dijadikan bahan debat kusir di Bundaran
HI, di televisi, koran, atau bahkan di Facebook.

Mungkin Polri lambat (barangkali karena kesulitan mengumpulkan barang
bukti), ya doronglah Polri supaya bertindak lebih cepat.Atau Kejaksaan
Agung terlalu banyak birokrasi, ya Kejaksaan Agung didorong untuk
lebih profesional. Akan tetapi jangan melakukan intervensi, apalagi
karena dorongan pendapat publik yang di-kendalikan oleh media.
Dampaknya pasti sesat pikir.

Sulitnya, para elite Indonesia, termasuk pakar-pakar dan pengamat-
pengamat karbitan, demen banget masuk tivi. Kalau sudah masuk tivi,
ngomong semaunya. Celakanya, tivi-nya malah senang. Makin
kontroversial, makin senang. Malah tokoh-tokoh yang sedang sewot
(tersangka sampai pengacara dan politisi) diundang dan dikipasi
sedemikian rupa sehingga akhirnya mereka berantem (adu mulut, bahkan
adu jotos) di depan kamera. Memang seru sebagai tontonan,tetapi tidak
santun sebagai tuntunan,bukan?

*** Namun mengapa para elite yang terpelajar, bahkan ada yang doktor,
malah profesor, bisa ikutikutan idola fori yang sesat pikir? Le Bon
(1841–1931), psikolog sosial Prancis, menjawabnya dengan teori jiwa
kelompok (group mind). Seseorang, kata Le Bon, tidak peduli tingkat
pendidikan dan status sosialnya,begitu bergabung dalam kelompok, akan
melepaskan jiwa individualnya dan bergabung dalam jiwa kelompok.

Padahal jiwa kelompok itu selalu irasional, emosional, destruktif,
kekanakkanakan. Coba perhatikan wajah-wajah, nada suara, gerak-gerik,
dan katakata mereka yang tampil di depan kamera tivi dalam kasus
Bibit- Chandra.Walaupun tidak semua, kebanyakan menunjukkan perilaku
kanak-kanakan. Marah-marah, melecehkan, teriak-teriak, menertawakan
orang, menyalahkan orang, ngomong tidak konsisten, dan yang terpenting
tidak rasional.

Pas betul seperti yang digambarkan oleh Le Bon dalam bukunya The
Crowd. Akan tetapi mungkin inilah jalan yang harus dilalui oleh bangsa
Indonesia untuk sampai ke negara demokrasi yang sesungguhnya. Amerika
Serikat menjalaninya selama lebih dari 200 tahun dan mengalami perang
saudara, bahkan beberapa kali pembunuhan presiden.

Sementara Indonesia sendiri saat ini pun (tidak perlu lamalama) sudah
diacungi jempol oleh negara-negara lain sebagai negara paling
demokratis, tetapi juga paling aman dan paling amin (baca: menjunjung
agama) sedunia. Meski begitu, demokrasi kita tidak boleh waves the
rules (mengaduk- aduk peraturan).

Kita harus mencontoh Inggris yang selama berabad-abad bisa rules the
waves (menguasai lautan), padahal buat mereka, selama berabad-abad,
yang penting bukan demokrasi, melainkan right or wrong my country
(benar atau salah, pokoknya negaraku).Yang jelas di sana tidak ada
orang ketakutan hanya karena namanya Yulianto.(*)

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar, Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283284/

Siapa Bupati Klaten Tahun 2010



Kita pilih bupati Klaten nanti. Bupati selain berkemampuan manajerial dan keuangan, juga harus mampu keluar
dari jebakan klasik Partai Politik pengusung (maupun oposisi) dan kelompok
pamrih lainnya. Bupati langsung berkawan saja dan teken kontrak dengan semua elemen masyarakat Klaten dan
dan berbagai kelompok study sosial di Klaten sebagai LSM Publik. Jadi jangan naik melalui pintu parpol. Naik saja
secara independen. Asal rakyat mengenal, menghargai, dan menyukai, mereka pasti
akan memilih. Dalam perjalanan nanti gunakan 'kekuatan dan mandat' rakyat,
termasuk dukungan media massa dan tokoh informal, untuk menghadapi manuver para
petualang politik. Bupati independen ongkosnya juga muraaah. Paling mahal Rp 2
miliar

Rakyat Mendukung KPK


Rakyat Indonesia yang CINTA KPK mendukung untuk pemberantasan KORUPSI di INDONESIA. Hanya KPK yang bisa membuktikan kinerja yang profesional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita mendukung KPK dalam pemberantasan Korupsi juga mengawasi KPK dalam menangani Korupsi, agar KPK betul betul kerja dengan baik dalam penanganan Korupsi di Indonesia. Dan Korupsi itu bahaya laten yang bisa mensengsarakan rakyat Indonesia. Maka kita dukung KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sampai ke akar akarnya.