BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

*Universitas Global Berakar Keindonesiaan*

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.21

Catatan untuk Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh
*Universitas Global Berakar Keindonesiaan*

Oleh: Adig Suwandi

*BOLEH* dikatakan, tidak ada sentimen negatif berarti ketika Muhammad
Nuh diiumumkan menjadi menteri pendidikan nasional. Kompetensi
berorganisasi sejak usia muda, pengalaman panjang dengan reputasi sangat
bagus ketika menjabat rektor ITS, serta terakhir menjadi menteri
komunikasi dan informasi, merupakan modal sangat bagus dalam mengemban
amanah pada jabatan baru.

Namun, kapabilitas Nuh membawa pendidikan Indonesia menjadi jauh lebih
bermutu dan mendapat /recognition/ komunitas global tampaknya harus
dibuktikan dalam beberapa hari mendatang. Kemampuannya membangun
/teamwork/ dan menumbuhkan spirit baru bagi para penyelenggara
pendidikan nasional berikut dukungan terhadap program yang diagendakan
akan sangat menentukan derajat keberhasilannya.

Publik paham begitu panjang daftar negatif yang diselesaikan Mendiknas.
Misalnya, sistem pendidikan yang cenderung karut-marut, tidak
terintegrasi, berkorelasi negatif terhadap dunia industri. Juga
hasil-hasil penelitian bagus tak /connect/ dengan aktivitas serupa di
dunia lain. Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas
berambisi mencapai kualifikasi sebagai /global university/. Sejumlah
kerja sama didesain, mulai penyelenggaraan pendidikan secara /sandwich,
dual degree/, hingga penelitian bersama. Upaya tersebut secara logika
dapat dibenarkan, tetapi menuai kritik di banyak tempat. Akuntabilitas
publiknya digugat karena muncul kesan kurang memperhatikan identitas
nasional dan terlalu bias ke kapitalisme yang merupakan sisi buram
desain /global university/. Besarnya biaya pendidikan yang makin jauh
dari kemampuan finansial rata-rata orang tua mahasiswa juga sisi negatif
lain. Era badan hukum pendidikan diinterpretasikan publik tak lebih
sebagai privatisasi sistematis penyelenggaraan pendidikan. Pola serupa
bahkan sudah merambah ke jenjang SMA dan SMP melalui kedok proyek
rintisan sekolah berstandar internasional.

Di tengah rendahnya kemampuan rektorat mencari sumber-sumber pendapatan
yang dapat digali melalui penelitian, kerja sama pengabdian masyarakat,
dan kegiatan lain yang dapat menjadi /profit centre/, mahasiswalah ujung
tombak beban pembiayaan kampus. Isyarat tersebut diperkuat oleh
banyaknya jalur masuk universitas yang berkonotasi langsung perbedaan
level besarnya kontribusi finansial yang harus dibayar. Memang, ada
jalur murah melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM
PTN) dan beasiswa bagi keluarga kurang mampu. Namun, jumlahnya relatif
kecil sehingga secara kumulatif belum sepadan dengan kebutuhan indikatifnya.

Keluaran pendidikan juga masih merupakan persoalan konvensional. Tidak
adanya keterpaduan antara kurikulum dan dunia kerja menjadikan alumni
memerlukan adaptasi dan orientasi selama beberapa bulan. Terhadap
pernyataan tadi, universitas berdalih bahwa pendidikan tinggi memang
didesain tidak untuk menghasilkan tukang dengan keterampilan khusus.
Namun, para siap dilatih. Setelah berhasil beradaptasi, diharapkan
mereka dapat bekerja secara profesional.

Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian Nuh barangkali adalah
pembukaan program studi pada sejumlah universitas yang cenderung
mengikuti angin, tanpa antisipasi cermat terhadap kebutuhan dan proyeksi
tenaga kerja di masa-masa mendatang. Kini sejumlah universitas dan
lembaga penyelenggara jasa pendidikan lain beramai-ramai membuka program
studi yang berhubungan deangan kedokteran, ilmu komputer dan teknologi
informasi, sementara rumpun agrokompleks (pertanian, peternakan,
perikanan, dan kehutanan) kehilangan pamor. Yang disebut terakhir,
kalaupun mendapatkan mahasiswa, umumnya pilihan kedua dan ketiga dengan
/passing grade sangat/ rendah. Pada sejumlah universitas, bahkan
kuotanya lebih rendah daripada peminat. Kondisi tadi sangat kontradiktif
dengan tantangan bangsa untuk mewujudkan ketahanan/kedulatan pangan
dengan menghilangkan sejumlah bahan pangan yang selama ini masih harus
diimpor dari pasar global. Artinya, seorang menteri pendidikan nasional,
mau tidak mau, perlu berkomunikasi intensif dengan menteri-menteri lain
dan dunia usaha untuk mengetahui secara pasti bidang-bidang keahlian apa
saja yang diperlukan bangsa untuk setidaknya 5-10 tahun mendatang ketika
lulusan universitas masuk dunia kerja.

Bukan rahasia lagi kalau dewasa ini banyak sarjana menganggur, bahkan
sebagian di antaranya lulusan magister. Kenyataan faktual lain, terdapat
tenaga asing yang bekerja di sejumlah perusahaan nasional atau
mutinasional yang beroperasi di Indonesia hanya karena orang kita sangat
sedikit yang berkeahlian di bidang itu. Sebut saja bidang-bidang
keahlian aktuaria, manajemen risiko, pertambangan, perminyakan, dan
mitigasi bencana, yang terpaksa menyewa tenaga kerja asing dengan
bayaran jauh lebih tinggi. Prediksi terhadap kebutuhan tenaga kerja
mendatang menjadi sangat urgen dan tidak dapat ditunda.

Keterkaitan antara program studi dan kebutuhan dunia industri menjadi
urgen untuk dipertimbangkan kembali. Cara-cara lama dalam melihat makna
pendidikan mesti berubah secara fundamental meski sebuah universitas
harus menyiapkan diri menjadi /global university/. Bangsa Indonesia
perlu iri terhadap India yang alumni universitasnya menjadi pemimpin
perubahan pada tingkat global. Tidak sedikit lulusan
universitas/institut teknologi di India yang berhasil menjadi
pemilik/eksekutif perusahaan global, pemikir ulung, dan guru besar pada
sejumlah universitas terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa, khususnya
untuk bidang-bidang kedokteran, farmasi, teknologi informasi, dan
manajemen. C.K. Prahalad mungkin salah satu dari pakar asal India yang
mendapat pengakuan dunia karena kemampuannya dalam pemikiran manajemen
kontemporer.

Upaya menjadi /global university/ memang sangat relevan, tetapi tidak
harus meninggalkan identitas kultural lokal dan keindonesiaan kita.
Tuhan memberikan karunia kepada bangsa Indonesia akan sumber daya alam,
agroklimat, keragaman budaya, dan manusia multietnis yang bila dikelola
scara profesional dapat meningkatkan daya saing. Dalam banyak kasus,
orang-orang Indonesia sangat kuat pemahamannya untuk matematika, namun
lemah dalam penalaran. Refleksi atas sistem pendidikan yang cenderung
menghafal dan menjadikan guru pemegang monopoli kebenaran sudah barang
tentu tidak relevan lagi. Alasan inilah yang seharusnya menjadi landasan
dalam redesain sistem yang lebih memberdayakan peserta didik.
Pembentukan pribadi unggul dan berkarakter dengan akar keindonesiaan
kuat tersebut mesti dimulai dari pendidikan bermutu tinggi dan murah
dalam pembiayaan melalui keterlibatan negara. Selamat bekerja, Pak Nuh.

* /*) Adig Suwandi/ * /, pemerhati sosial-ekonomi, alumnus Cranfield
University, Silsoe-Bedford, Inggris./

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Wahyu Susilo: Kabinet, Presiden, dan Bahasa Indonesia - (Refleksi Bulan Bahasa)

Kabinet, Presiden, dan Bahasa Indonesia - (Refleksi Bulan Bahasa)
Oleh Wahyu Susilo Belajar bahasa dan sejarah di Fakultas Sastra
Universitas Sebelas Maret Surakarta

*Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada
nilainilai kebangsaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam
kekuatan global."*

HIRUK pikuk pembentukan kabinet, mulai tahapan pemanggilan dan wawancara
(istilah populernya audisi) di Cikeas, pemeriksaan kesehatan, hingga
tahap pembatalan calon, pelantikan kabinet terpilih, dan penilaian
masyarakat terhadap kemampuan kabinet terpilih, sampai saat ini belum
usai. Tentu saja, itu merupakan rutinitas lima tahunan yang tidak bisa
dilewatkan, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada masa depan
politik ekonomi Indonesia.

Di antara hiruk pikuk tersebut, ada keprihatinan mendalam terhadap
kabinet terpilih yang dinamai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
Kabinet Indonesia Bersatu II. Keprihatinan tersebut muncul dari
pemakaian tiga semboyan (istilah Presiden Yudhoyono tagline) kabinet ini
dalam bahasa Inggris yang ditetapkan dalam sidang kabinet yang digelar
pertama kali pada 23 Oktober 2009.

Tiga semboyan itu adalah `Change and Continuity', `De-bottlenecking,
Acceleration, and Enhancement' dan `Unity, Together We Can'.
Walau Presiden Yudhoyono kemudian menerjemahkan dan menjelaskan secara
rinci semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, tetap harus
dipertanyakan mengapa harus terlebih dahulu menggunakan bahasa Inggris
ketimbang bahasa Indonesia?
Lebih memprihatinkan lagi, peristiwa ini terjadi pada Oktober, yang
telah ditetapkan sebagai bulan bahasa Indonesia. Penetapan itu merupakan
penghormatan terhadap `Soempah Pemoeda', buah politik pergerakan kaum
muda yang berhasil merumuskan identitas bangsa dalam wujud bahasa Indonesia.

Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada
nilai-nilai kebangsaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam
kekuatan global yang mungkin menjadi panutan dan penopang kekuasaannya.
Sebenarnya, bukan pertama kali ini, Presiden Yudhoyono dan para
pembantunya terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi
politik domestik. Selain dinilai tidak menghargai bahasa Indonesia,
perilaku itu juga sering menjadi bahan tertawaan karena salah penggunaan.

Salah satu contoh yang nyata adalah penggunaan istilah `one man, one
tree' yang dipakai dalam iklan layanan masyarakat Departemen Kehutanan
untuk Hari Menanam Nasional. Para pegiat lingkungan hidup menyesalkan
istilah `one man, one tree' karena bias gender dan mengabaikan peran
perempuan dan anak. `Man' sekarang tak bisa lagi diterjemahkan sebagai
orang, tetapi sebagai `laki-laki'. Dalam khazanah ilmu politik, kosakata
politik klasik `one man, one vote' pun juga telah diganti dengan `one
person, one vote', untuk menghindari bias gender. Dengan demikian
istilah `one man, one tree' tidak inklusif dan mengabaikan perempuan dan
anak. Mengapa tidak langsung menggunakan semboyan yang lebih lugas dalam
bahasa Indonesia dan tidak bias gender: Satu orang, satu pohon! Menteri
Keuangan Sri Mulyani juga merupakan salah seorang pembantu Presiden
Yudhoyono yang gemar mengumbar istilah-istilah dalam bahasa Inggris
meskipun sebagian besar pendengar pidato dan wawancaranya adalah
pengguna bahasa Indonesia.

Kesia-siaan Penulis pernah melakukan kajian terhadap `kesia-siaan'
penggunaan bahasa Inggris dalam pidato Presiden Yudhoyono pada berbagai
kegiatan kepresidenan di dalam negeri. Mengapa sebuah `kesia-siaan'?
Karena sebagian besar pendengar pidato Presiden Yudhoyono adalah
pengguna bahasa Indonesia. Selain itu, istilah yang disampaikan dalam
bahasa Inggris sebenarnya juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Dalam kajian terhadap pidato kenegaraan presiden pada Agustus sepanjang
2006­2009, penulis menemukan banyak kesia-siaan penggunaan bahasa
Inggris, bahkan juga menemukan kesalahan penggunaan istilah dalam bahasa
Inggris.
Pada pidato kenegaraan Agustus 2006, terdapat kesalahan penggunaan
istilah millennium development index. Istilah ini tidak pernah ditemukan
dalam diskusi tentang millennium development goal. Kesia-siaan ditemukan
ketika istilah energi alternatif berbasis nabati dan sistem peringatan
dini yang sebenarnya sudah banyak dipahami masyarakat masih tetap
disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebaliknya ada istilah
asing yang disebut Presiden sebagai survailance tidak diterjemahkan.

Dalam pidato kenegaraan Agustus 2007 hingga Agustus 2009, makin banyak
bertaburan istilah dalam bahasa Inggris, mulai kutipan pidato Bung Karno
(Indonesia is breaking up, A nation in collapse), hingga istilah-istilah
terkait perubahan iklim dan ekonomi. Bahkan istilah growth with equity
(pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan) berulang kali disampaikan.
Itu tentu terkait dengan penegasan dan pilihan strategi ekonomi
pemerintahan SBY. Istilah rule of law dan good governance (bahkan
ditambahkan oleh Presiden Yudhoyono menjadi good and clean governance)
masih terus disebut, meskipun sudah ada padanan kata dan populer dalam
percakapan bahasa Indonesia. Istilah ekonomi pro-growth, pro-poor dan
pro-job bahkan sering disebut dan menjadi mantra dalam kampanye
pemilihan presiden dan pasti akan terus disebut dalam pemerintahan baru ini.

Tentu bukan sebuah kebetulan, jika istilah-istilah dalam bahasa Inggris
yang bertaburan tersebut adalah istilah-istilah baku dalam model
pembangunan yang diperkenalkan oleh lembaga-lembaga keuangan
internasional (seperti Bank Dunia/World Bank, Dana moneter
Internasional/International Monetary Fund, dan Bank Pembangunan
Asia/Asian Development Bank) serta negara-negara maju yang selama ini
menopang pembiayaan pembangunan Indonesia melalui utang luar negeri.

Keadaan tersebut menjadi ironi karena pada 2003 Susilo Bambang Yudhoyono
(waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan) pernah mendapat
penghargaan dari Pusat Bahasa sebagai pejabat publik yang menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik.

Keprihatinan akan makin lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa
Indonesia dalam komunikasi politik domestik ini erat kaitannya dengan
kekhawatiran akan masa depan bangsa Indonesia. Kajian pidato kenegaraan
dan kaitannya dengan pilihan kebijakan ekonomi Indonesia menunjukkan
kedaulatan bangsa berada dalam ancaman, bukan hanya tercabik-cabik di
ranah ekonomi, melainkan juga telah kehilangan kebanggaan atas bahasa
dan kebudayaan.
Itu wujud dari ketidakpercayaan diri para pemegang kuasa politik di
Indonesia.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/28/ArticleHtmls/28_10_2009_006_004.shtml?Mode=0

Dahlan Iskan: Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet

Dahlan Iskan: Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet
*UNTUNGLAH* Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar tidak jadi menteri.
Belum tentu baik orang sehebat Agus dan Emir masuk kabinet. Agus
Martowardojo, Dirut Bank Mandiri itu, pernah dispekulasikan menduduki
jabatan menteri BUMN. Sedangkan Emirsyah Satar, Dirut Garuda Indonesia,
menduduki jabatan menteri perhubungan.

Kedua orang profesional itu, kalau tidak lebih hebat daripada menteri
yang ada, setidaknya tidak akan kalah. Saya memang punya prinsip jangan
semua orang hebat masuk dalam kabinet. Biarlah kabinet dibagi-bagi untuk
penjatahan apa saja. Sedang pos-pos yang memerlukan kerja keras beneran
di sektor riil harus dijaga agar tetap berada di tangan orang seperti
Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar.

Orang seperti Agus dan Emir harus bersyukur tidak masuk kabinet.
Kalaupun keduanya tidak bersyukur, kami-kamilah rakyat Indonesia yang
bersyukur. Kebanggaan dan kepercayaan terhadap Bank Mandiri yang mulai
tumbuh bisa terus dikembangkan menjadi bank berskala internasional. Agus
Martowardojo akan mampu mewujudkannya.

Demikian juga kebanggaan kepada Garuda Indonesia yang mulai muncul,
diharapkan bisa berlanjut menjadi sebuah kebanggaan karena Garuda
kembali mampu berkiprah di jalur internasional. Emirsyah Satar yang
sudah berhasil mengangkat Garuda dari lembah penghinaan masih memerlukan
waktu untuk membuat Garuda terbang tinggi.

Adapun kabinet biarlah diisi orang-orang yang berebut jatah. Begitu
banyak pihak yang merasa harus mendapat jatah. Sampai-sampai mereka
harus merebut, mengancam, mencela, menyikut, dan menyindir. Bayangkan
betapa sulitnya Presiden SBY ketika menyusun kabinet baru. Harus ada
jatah untuk partai-partai. Untuk suku-suku besar. Untuk agama-agama.
Untuk gender (jatah laki-laki dan jatah wanita). Untuk pegawai karir.
Untuk jatah profesional. Jatah untuk tentara dengan subjatah angkatan
darat, laut, udara dan polisi. Jatah untuk universitas: untuk
ITB-IPB-UI-UGM-ITS-Unair dan perwakilan universitas kecil. Jatah untuk
menteri lama agar ada kesan terjadi kontinuitas. Masih ada lagi jatah
untuk sebuah pertimbangan khusus.

Sedikit saja penjatahan itu kurang merata, bisa-bisa negara kurang
harmonis. Misalnya saja sekarang ini. Belum apa-apa golongan tertentu di
Ambon sudah mengancam memisahkan diri dari Indonesia hanya karena tidak
ada orang Ambon dalam kabinet. Padahal, bisa saja sebentar lagi orang
Ambon yang sangat hebat, yang sekarang sudah menjadi orang kunci di
Sesneg seperti Lambock (Wakil Sekretris Kabinet Lambock V. Nathans),
akan mendapat jatah sebagai sekretaris kabinet.

Memang, secara tradisional suku Ambon selalu terwakili dalam kabinet,
sebagaimana suku Padang, Batak, Jawa, Manado, Bali, Palembang, dan
Banjarmasin. Orang seperti Gusti Hatta yang menjadi menteri lingkungan
hidup, misalnya, tidak hanya membuat kaget masyarakat, tapi juga
mengagetkan dirinya sendiri. Ketika sudah dipanggil ke Jakarta pun dia
masih mengira hanya akan diangkat menjadi rektor universitas setempat.
Barangkali dia tidak tahu kalau sampai hari itu jatah untuk Kalimantan
belum ada.

Rasa iri itu bukan hanya monopoli orang Ambon. Di kalangan universitas
pun mulai ada guyon: IPB itu singkatan dari Institut Pejabat BUMN! Ini
bermula karena pejabat-pejabat di BUMN, mulai menterinya sampai
deputinya adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Atau kalau dalam
kabinet kemarin ITB menjadi penguasa, kini direbut kembali oleh UI.
Maka, ke depan, harus ada tekad bulat dari para alumni ITB Bandung untuk
menggelorakan bait lagu "Mari Bung rebut kembali!". Maksudnya untuk
kabinet lima tahun ke depan.

Maka, saya lega ketika Agus Martowardojo dan Emirsyah Sattar tidak
mendapat jatah itu -mungkin karena dilahirkan dari suku yang salah atau
dari universitas yang jatahnya sudah kebanyakan. Yang jelas, keduanya
bukan orang partai. Keduanya orang profesional yang dalam kabinet
jatahnya hanya sedikit dan sudah habis untuk sekalian memenuhi jatah
menteri lama.

Sebaiknya memang, jangan semua yang hebat-hebat menjadi menteri. Negara
akan sangat kehilangan kalau Agus menjadi menteri. Negara ini lebih
memerlukan memiliki bank yang bisa bersaing di tingkat internasional.
Agus sudah membuktikan bisa mengubah Bank Mandiri menjadi raksasa
perbankan dengan kultur baru yang sangat hebat.

Saya kagum orang seperti Agus bisa mengubah bank milik pemerintah yang
demikian parah bisa menjadi bank terbesar dengan kultur yang berubah
total. Orang-orang keuangan saya terkagum-kagum bahwa kini orang-orang
Bank Mandiri tidak lagi minta komisi kredit. Bahkan, diberi
kenang-kenangan pun tidak mau. Ini sungguh revolusi luar biasa yang
dilakukan Agus. Dia adalah /man in action /di lahan yang memungkinkan
untuk /action /itu. Belum tentu /man in action/ seperti Agus bisa tetap
beraksi di lahan yang terjepit: atasnya besi, bawahnya api.

Dalam masa jabatannya itu pula Bank Mandiri bisa mengalahkan BCA dengan
cepat. Bukan saja di bidang kinerja keuangan, tapi sampai ke soal
servisnya. Dulu, begitu parahnya bank pemerintah, sampai-sampai
menimbulkan rasa minder secara nasional: tidak mungkin bank pemerintah
bisa mengalahkan swasta seperti BCA. Saat itu BCA-lah raja bank di
Indonesia. Mulai kinerja keuangannya, servisnya sampai ke modernitas
teknologinya. Kini Agus berhasil membalik pesimisme itu.

Persaingan bank, terutama secara internasional, sangat berat. Aguslah
yang harus diandalkan untuk membendung laju perbankan asing yang sedang
berebut menguras sumber dana nasional. Tentu dengan cara profesional
seperti yang dilakukan Agus. Bukan dengan cara regulasi yang kini tidak
zamannya lagi.

Prestasi yang kurang lebih sama ditunjukkan Emirsyah Satar. Saya sudah
menuliskannya panjang lebar di harian ini beberapa waktu lalu. Garuda
sudah mendapatkan nakhoda yang hebat. Garuda memerlukan satu periode
lagi untuk bisa benar-benar mendapatkan kepercayaan. Dari perusahaan
penerbangan yang hanya menjadi tempat cibiran berubah menjadi kebanggaan
nasional sebagaimana Bank Mandiri.

Kita memerlukan lebih banyak orang seperti Agus Martowardojo dan
Emirsyah Satar. Sudah terlalu banyak orang yang bisa menjadi menteri
-apalagi dasarnya hanya jatah. Tapi, terlalu sulit menciptakan orang
seperti Agus dan Emirsyah.

Harus diakui, Presiden SBY telah menciptakan iklim yang baik untuk
lahirnya orang-orang seperti itu. Bisa jadi keduanya juga tidak akan
bisa maksimal kalau saja iklim yang diberikan kepada mereka tidak
selonggar sekarang. Bahkan, Emirsyah berani mengajukan syarat ketika
diminta menduduki jabatan Dirut Garuda itu. Dan Presiden SBY memberikan
ruang untuk terjadinya /bargaining/ seperti itu.

Di zaman ini, orang akan mudah melupakan siapa pernah menjadi menteri
apa. Bahkan, siapa sedang menjadi menteri apa. Zaman ini adalah zaman
korporasi. Apalagi di masa depan. Karena itu, Agus Martowardojo dan
Emirsyah Satar akan lebih abadi sebagai pemimpin besar korporasi yang
besar. Kelak, kebanggaan Indonesia akan lebih dibuat oleh prestasi
orang-orang seperti Agus dan Emir. (*)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=97488

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa
Oleh: Mustofa Liem

*ETNIS* Tionghoa sebagai bagian integral bangsa ini ikut terlibat dalam
beragam dinamika Indonesia. Termasuk saat peristiwa historis Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu para pemuda dari berbagai suku atau
etnis mencetuskan sumpah yang sangat monumental. Sumpah yang merupakan
"resolusi" kongres pemuda kedua (1928) itu adalah tekad bersama semua
unsur pemuda di Nusantara untuk bersatu tanah air, bersatu bangsa, dan
bersatu bahasa: Indonesia! Para pemuda itu sudah memiliki visi
menghargai keragaman dan masing-masing memandang satu sama lain dalam
posisi setara atau sederajat.

Lalu di mana peran etnis Tionghoa? Itu antara lain terbukti dengan
dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu,
ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan.
Di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Peran
yang cukup signifikan boleh jadi terletak pada peran etnis ini untuk
ikut berkomitmen mendukung isi Sumpah Pemuda butir ketiga "kami poetera
dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia", etnis Tionghoa juga punya sumbangan cukup lumayan.

***

Menurut bukti sejarah, dalam hal bahasa, kontribusi etnis ini memang
tidak kecil. Sekadar diketahui, semula etnis Tionghoa, di Jawa
khususnya, lebih suka berbahasa Jawa. Namun, sebuah keputusan yang
diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870)
akhirnya memutuskan sistem pas (/passenstelsel/) yang praktis memisahkan
orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, etnis
ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan golongan
atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat golongan atas,
termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan juga mendorong
mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa
Melayu yang didirikan pemerintah kolonial sejak 1854.

Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai
menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi,
surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang
hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti /Soerat Kabar Bahasa
Melayoe/ (1856) dan /Bintang Soerabaja /(1860). Di awal abad ke-20,
terbit koran besar /Pewarta Soerabaia/, /Sin Tit Po/, dan /Sin Po/.
Harian /Sin Po /adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor
penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia
Nederlandsch atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata
"inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia.
Langkah ini kemudian diikuti harian lain. Kemudian untuk membalas "budi"
sebagian besar penerbitan pers Indonesia mengganti kata "China" dengan
kata "Tionghoa".

Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut kemudian
berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita
perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa
yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

***

Nah, yang perlu digarisbawahi, jika peran etnis Tionghoa ditampilkan
dalam tulisan ini, sebenarnya bukan bermaksud menonjolkan peran etnis
ini sendiri dalam mendukung Sumpah Pemuda. Peran etnis Tionghoa mungkin
sama saja atau bahkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan para
pemuda dari Jawa, Batak, atau Betawi, dan sebagainya. Peran etnis
Tionghoa "terpaksa" disinggung di sini sekadar untuk menyegarkan
ingatan, karena kadang masih terdengar penilaian etnis Tionghoa sama
sekali tidak peduli dengan masalah-masalah kebangsaan atau etnis
Tionghoa malah merusak bahasa Indonesia.

Kalau kita kembali ke semangat Sumpah Pemuda, penilaian minor yang
mengecilkan peran etnis tertentu seperti disebutkan di atas hanya
kontraproduktif bagi bangsa ini. Karena itu, semangat 1928 rasanya masih
sangat relevan gaungnya untuk kita. Pasalnya, pada 28 Oktober 1928, para
pemuda dari berbagai suku dan agama sudah berani membangun tekad
kebersamaan. Yang penting bagi mereka adalah semangat bersama untuk
mewujudkan impian akan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat bernama
Indonesia.

Dan sebuah Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap
komponennya memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai
keragaman, pluralisme, atau perbedaan. Entah seberapa besar atau kecil
sumbangannya bagi Indonesia, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan.
Yang jauh lebih penting adalah solidaritas dan menjauhi semangat
kesukuan atau semangat menonjolkan suku, etnis atau kelompok sendiri.
Untuk itu, jangan gara-gara soal menteri saja, sampai mau bercerai dari
NKRI.

Kini sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka. Semangat Sumpah Pemuda
masih belum basi, terlebih untuk menjaga dan merawat Indonesia yang kini
menghadapi 1001 persoalan, terlebih tantangan globalisasi, terorisme,
dan korupsi. Kita yakin bila semua suku atau etnis atau elemen apa pun
dari bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, mungkin kita akan
bisa meraih mimpi yang lebih besar, yakni Indonesia yang berkesetaraan
dan berkeadilan, bukan almarhum Indonesia yang rusak karena tercerai
berai berbagai ambisi primordialisme.

* /*) Mustofa Liem, PhD/ * /, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk
Kesetaraan/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

SANG PENDONGENG






*Dibesarkan dengan cerita rakyat, dongeng, mitos, cerita hantu, dan
takhayul, Erick Setiawan kini menjadi pendongeng kelas internasional.
Sem Purba*

N menulis da OVEL Of Bees and Mist menjadikan Erick Setiawan sebagai
orang Indonesia pertama yang menulis dalam bahasa Inggris dan
diterbitkan penerbitan internasional.
Agustus 2009, buku dongeng untuk pembaca dewasa itu diterbitkan oleh
penerbitan Simon & Schuster di Amerika Serikat (AS). Penerbitan itu juga
menerbitkan karya-karya pengarang tenar, antara lain Mary Higgins Clark
dan Stephen King.

Novel Of Bees and Mist dijual ke seluruh dunia melalui internet dan
dapat ditemui di toko-toko buku utama di AS, Inggris, Spanyol, Yunani,
Belanda, China, dan Indonesia.
Sambutan positif atas novel itu datang dari pembaca, kritikus, dan
sesama penulis. Pada ajang Ubud Writer and Readers Festival 7-11 Oktober
2009, karya Erick banyak diperbincangkan meski fisiknya tidak hadir di Ubud.

"Sebelum Of Bees and Mist, saya telah menyelesaikan dua novel. Tapi
naskah-naskah itu ditolak berulang kali oleh agen selama
bertahun-tahun," cerita Erick melalui surat elektronik (e-mail).

Yang dimaksud agen oleh Erick adalah agen sastra atau literary agency.
Aturan permainan yang berlaku di pusat-pusat perbukuan dunia ialah
penerbitan besar hanya mau menerima naskah dari agen, bukan dari
pengarang langsung.

Berbekal naskah Of Bees and Mist, Erick mendapatkan agen dalam waktu
tiga minggu kemudian agen menjualnya dalam waktu satu bulan.
Dia merencanakan tindak lanjut Of Bees and Mist, namun enggan berbagi
cerita. "Masih rahasia antara saya dan imajinasi saya," kata Erick.

Tulisan Erick yang diterbitkan pertama adalah cerpen berjudul The
Mismanagement of Mr Ak-Sam pada 2007 di Kyoto Journal. Kemudian Of Bees
and Mist yang ditulisnya selama empat tahun rampung pada kuartal keempat
2007. Dia pun berbagi kiat untuk penulis Indonesia yang ingin mendobrak
pasar internasional.
"Mereka tidak harus menulis dalam bahasa asing. Bantuan penerjemah bagus
akan sangat membantu."

Akrab dengan mitos Erick yang kini tinggal di San Francisco, AS, itu
mengakui karier kepenulisannya dibumbui bacaanbacaan masa kecilnya. "Of
Bees and Mist kaya akan takhayul dan mitos, walau pada intinya, ini
adalah drama keluarga tentang hubungan yang tak harmonis antara orang
tua dan anak, suami dan istri, laki-laki dan perempuan."

Erick yang kini berusia 34 tahun bertumbuh dari anak kecil yang
didongengi cerita-cerita `dunia lain' oleh pengasuhnya. "Banyak cerita
tentang hantu dan makhluk halus yang mencelakai dan menghukum para
pembohong, pembunuh, dan tentu saja anak-anak yang tidak patuh," ujarnya.

Akibatnya, sebelum tidur Erick kecil sering membayangkan apakah ada
sesuatu menunggu di bawah tempat tidur atau dalam lemari.
"Celakanya lagi, keluarga saya percaya banyak takhayul, menambah banyak
setan dan hantu ke dalam benak saya," tambah Erick.

Erick kecil juga menunjukkan ketertarikan pada buku-buku. Ia menyukai
legenda dan cerita rakyat seperti Sangkuriang, Tangkuban Perahu, dan
Malin Kundang. Epik Mahabharata dan Bharatayuda pun dilahapnya di
samping terjemahan karyakarya Agatha Christie.

Di bangku sekolah dasar, ia mulai tertarik menulis. Seorang guru
mengetahui keinginannya untuk menjadi penulis. Bukannya mendorong minat,
sang guru malah menciutkannya. "Matematika dan IPAmu kan bagus. Buat apa
menulis?" ujar Erick mengulangi kata-kata gurunya.

"Saya pikir sikap ini masih berlaku di Indonesia. Seniman dan penulis
secara umum masih dianggap profesi sekunder di bawah pebisnis,
pengacara, dan bankir."

Setelah lulus SMP, Erick masuk SMA homogen. Semua temannya laki-laki.
"Para guru memiliki dominasi mutlak atas murid. Untuk membuat kami
belajar, mereka tidak segan memukul, menendang, dan menampar," kenangnya.

Baginya, sekolah tidak menjadi tempat bertumbuhnya imajinasi dan
pemikiran kreatif. "Sekolah menjadi tempat yang menakutkan. Bagi saya,
saat itu sekolah adalah versi mikro dari Indonesia," ujarnya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/29/ArticleHtmls/29_10_2009_021_004.shtml?Mode=0

Kabinet Sakit Kepala

SEBANYAK 44% responden yang disurvei The Nielsen Indonesia mengalami
masalah sakit kepala. Persentase orang yang sakit kepala jauh melebihi
orang yang mengalami kesulitan tidur (24%) atau sakit gigi (17%).

Jumlah orang Indonesia yang mengeluh sakit kepala ternyata jauh lebih
tinggi daripada orang Hong Kong yang supersibuk (37%),India (36%),bahkan
bangsa yang gemar mabuk,Jepang (28%). Minggu-minggu ini adalah pekan
sibuk para eksekutif, baik swasta maupun pemerintahan. Di mana-mana
kembali saya mendengar rekan-rekan dan senior yang mengeluh sakit kepala.

Semua orang dituntut bekerja lebih keras, lebih sistematis, dan mencapai
target yang tidak ringan. Hampir pasti, di bulan madu pemerintahan (100
hari pertama) ini akan banyak menteri yang sakit kepala karena
berhadapan dengan banyak hal dan tuntutan baru.

Perubahan Selalu Memusingkan

Di dunia usaha, kalau Anda tidak sakit kepala, Anda termasuk orang yang
beruntung, atau mungkin Anda termasuk orang yang pasrah,nrimo,dan tidak
terlalu banyak menuntut. Namun sekali Anda menghendaki perubahan,
dijamin kepala Anda akan pusing tujuh keliling.Anda pusing,bawahan Anda
apalagi.

Namun kepusingan adalah hal yang biasa dalam perubahan. Banyak studi
menemukan bahwa visi baru selalu menimbulkan efek kekacauan. Orang-orang
tidak bisa menyesuaikan diri dengan cepat.Sebagian besar
mengeluh,sebagian kecil membuat barikade penghalang. Tetapi kalau Anda
tekun, sakit kepala perubahan tak akan berlangsung lama. Setahun adalah
masa yang sudah sangat panjang.

Kalau berlebih dari waktu itu, kemungkinan besar ada yang tidak beres.
Banyak pemimpin menundanunda perubahan dengan alasan perlu waktu untuk
meng-handle resistensi. Pemimpin seperti ini justru akan selalu bekerja
dengan kepala pusing karena tidak ada perubahan yang berjalan tanpa
resistensi.

Semakin ditunda akan semakin kacau organisasinya dan semakin lama akan
semakin besar dan berat masalah yang harus diatasi.Ketika bangsa-bangsa
lain berlari 200 km per jam,Anda masih harus ditahan dengan kecepatan 50
km per jam.

Kabinet Sakit Kepala

Beberapa orang menteri baru menyebutkan, pada saat seleksi, Presiden
menunjukkan angkaangka sasaran yang harus bisa dicapai para calon
menteri. Bagi sejumlah menteri yang sudah bisa bekerja dengan manajemen
kinerja (performance management), melihat angka-angka dan
sasaran-sasaran yang demikian adalah biasa.

Sri Mulyani,menteri keuangan yang sudah merombak cara kerja
organisasinya, hampir dapat dipastikan sangat familier dengan
angka-angka yang disodorkan Presiden. Direktorat Jenderal Pajak,
misalnya, sudah biasa bekerja dengan semacam corporate plan dan
sasaran-sasaran yang spesifik. Reward system juga sudah jauh diperbaiki.
Departemen Keuangan juga sudah pandai memisahkan unit-unit yang
menghasilkan income dan mana yang tidak lebih dari sekadar policy making.

Bagaimana dengan departemen- departemen yang biasa bekerja asussual,
belumdisentuhdengan manajemen perubahan, apalagi dengan manajemen
kinerja? Sebagian menteri yang saya kenal masih terlihat bisa
tertawa-tawa dan bekerja dengan ritual santai. Bahkan banyak politisi
yang baru pertama kali bekerja dengan birokrasi.

Maka jangankan manajemen kinerja, mengelola birokrasi saja masih
merupakan hal yang baru bagi mereka. Mungkin karena ketidakmengertian
mereka tentang manajemen kinerja,maka mereka masih terlihat
santai-santai saja. Bu/Pak Menteri, mohon maaf, Anda harus cepat belajar
dan menyesuaikan diri.

Manajemen kinerja yang disajikan saat seleksi dilakukan, akan dengan
mudah melacak segala kemubaziran dan kelambanan yang terjadi di tempat
Anda masing-masing. Jadi jangan buang-buang waktu, segera bentuk tim
pendukung yang solid,lakukan alignmentdansegera breakdowntarget Anda
dalam unit-unit yang relevan.

Pengalaman dari dunia usaha, rata-rata eksekutif memerlukan waktu dua
tahun untuk mengimplementasik an manajemen kinerja secara efektif. Di
badan-badan pemerintah,kalau menterinya lamban,ia butuh tiga hingga
empat tahun.Namun di era kecepatan ini, dengan dukungan dan tuntutan
dari atas yang sangat kuat,Anda sudah harus bisa selesai melaksanakannya
dalam tempo setahun.

Dalam banyak hal, penerapan manajemen kinerja diduga menjadi kontributor
besar bagi gejala sakit kepala para eksekutif. Di beberapa perusahaan
besar, holding companies,para eksekutif mulai membuat ruang-ruang
istirahat untuk melepas ketegangan. Ada yang menyebutnya dengan nama
ruang oksigen, ruang ozon, dan seterusnya.

Ruang oksigen itu dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas relaksasi,
termasuk musik, band, atau karaoke. Maka sewaktu Wali Kota Depok menutup
bisnis-bisnis karaoke di wilayahnya, saya menerima cukup banyak keluhan
dari eksekutif yang ruang-ruang kerjanya mulai sumpek karena sebagian
cabang mereka tidak punya ruang oksigen yang memadai. Kalau kita kurang
pergaulan, kita bisa menduga karaoke adalah maksiat. Namun kalau
diluaskan, kita pun ternyata memerlukan katup pelepas dari segala
kesulitan.

Downshifting

Sewaktu saya menulis buku Marketing In Crisis, saya merumuskan
terminologi downshifting untuk menggambarkan perubahan konsumsi yang
dilakukan konsumen saat krisis.Namun, di Australia dan Amerika Serikat,
downshifting justru terjadi di kalangan eksekutif yang secara aktif
mengambil langkah ekstrem: mengambil pensiun dini. Kemajuan pemakaian
manajemen kinerja telah banyak membuat eksekutif merasa tidak nyaman
dalam mengejar kebahagiaan.

Memang sebagian besar korbannya adalah mereka yang kurang produktif,
termasuk mereka yang berada dalam kategori low competencedan biasa
bersembunyi pada hasil kerja tim. Dengan manajemen kinerja, eksekutif
harus bekerja lebih keras dan terpaksa mengorbankan keseimbangan
hidupnya dengan keluarga, kolega, tetangga, komunitas, sekolah anak-anak
dan sebagainya.

Wajar kalau orang-orang yang tidak nyaman ini memilih pindah kuadran,
menjadi wirausaha atau beralih pada perusahaan- perusahaan yang lebih
memberi ruang untuk bernafas lebih lega. Setiap orang tentu memiliki
preferensi dan selera yang tidak sama, maka sebelum sakit kepala beralih
menjadi penyakit yang membahayakan hidup Anda, segera benahi kemampuan
dan selera masing-masing, lalu tetapkan dunia Anda sebenarnya. Semoga
kabinet yang baru ini dapat belajar dan terbebas dari sakit kepala dan
semua lolos ujian 100 hari.Selamat bekerja.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/280188/38/

Suara Rakyat, Suara Angin Lalu

Suara Rakyat, Suara Angin Lalu
Oleh Mohamad Sobary Budayawan

DALAM The Winner Stands Alone, novelis beken Paulo Coelho mengutip
sebuah ironi dalam komunikasi. Dia menyebut dialog absurd antara seekor
tikus dan burung camar, yang tak saling memahami, karena rupanya tiap
hewan memang hanya bicara dalam bahasa masingmasing. Selain itu, si
burung mengira setiap hewan pasti memiliki sayap seperti dirinya.
Maka, ketika melihat si tikus tak bersayap, dia pun bertanya, "Mana
sayapmu?" Dan si Tikus hanya plonga-plongo, sambil memandang dengan
heran sayap si burung. Karena tak mendapat jawaban, camar pun
berkesimpulan bahwa si tikus pasti sakit. Dia menduga binatang itu baru
saja dihajar monster kejam yang merampas sayapnya, sekaligus membuatnya
bisu.

Dia iba pada si tikus, dan dengan murah hati `membawa' binatang malang
itu dengan paruhnya, melanglang buana di angkasa. Beberapa lama
kemudian, dia mendarat lagi dengan profesional, dan aman. Si tikus
kemudian ditinggalkannya seperti semula.

Lama si tikus stres membayangkan kembali pengalaman dahsyat yang begitu
musykil dalam nalar dan kesadarannya. Baginya, mikraj nabi mungkin lebih
sederhana daripada pengalamannya sendiri. Maka, lama-lama, dia percaya,
apa yang dialaminya itu hanya sebuah mimpi. Merasa serbaterancam Sudah
pasti rakyat dan pejabat, bukan binatang. Rakyat bukan burung camar,
pejabat bukan tikus. Namun, rakyat, mungkin terutama para pengamat, atau
media, dan siapa saja yang bicara di media, tampak selalu gagah,
lantang, dan mudah memberi `nasihat' kepada pejabat,
berdasarkan--seperti si camar--anggapannya sendiri. Dikiranya pejabat
tak tahu apa-apa.

Dan para pejabat? Seperti orang-orang KPU, tiap kritik dianggap suara
apriori, yang hanya menyalahkan. Tiap kritik, bahkan saran konstruktif
para donor pun, dianggap ancaman belaka, atau cemooh, dan hinaan.Sikap
subjektif mereka menolak adagium vox populi vox day. Dan ketika diberi
tahu pernyataan Gandhi, peoples' voice should be the voice of God,
mungkin mereka, seperti sikap tikus tadi, pura-pura tuli.

Itu jamak ketika tiap pejabat--juga presiden-tak terlalu dihormati. Di
masyarakat telah terjadi desakralisasi jabatan. Premis apa pun yang
didasarkan semangat kerakyatan harus berbau rakyat: terbuka, tak punya
rahasia, tak berprasangka, dan sederhana. Rakyat sudah capek mengabdi
raja-raja munafik, cengeng, mudah marah, mudah curiga, dan gemar pamer
kekuasaan. Zaman raja-raja sudah lewat. Atau seharusnya sudah lewat.

Transisi menuju demokrasi memang berat bagi rakyat maupun pejabat.
Rakyat kelihatan lebih demokratis dari pejabat? Itu karena rakyat tak
memimpin, tak harus menimbang hal sensitif, dan tak merasakan getirnya
ironi jabatan. Mereka bukan nakhoda, yang merasakan `kejam'-nya badai
dan terpaan gelombang. Namun, ketika menjabat, mereka kok juga kejam dan
sok kuasa?
Tanpa risiko apa pun Rakyat memang tak punya apa-apa. Dan tak merasa
bakal kehilangan apa-apa. Mereka menyuruh pejabat bersikap nothing to
loose seperti dirinya. Segala hal dirasa enteng. Apa saja `mengalir',
tanpa risiko. Jadi mereka terbuka, lantang dan bersikap `suci' bagai
salju yang baru turun semalam, bukan karena demokratis, melainkan karena
belum tahu psikologi jabatan. Mereka menjunjung tinggi `suara rakyat
suara Tuhan' dan ada saja yang merasa bagaikan Tuhan: tak merasa salah,
tak merasa kurang sopan, tak mungkin kurang hati-hati. Maka, siapa pun
dituding, disalahkan, kadang dihina, dan `dinasihati', seolah dia
menghadapi anak-anak.

Contoh: `Jangan asal menciutkan kabinet'. `Menteri Kebudayaan harus
paham akan kebudayaan'.
`Bikinlah Kebudayaan departemen tersendiri'.
`Kebudayaan bukan pariwisata'. `KPK jangan tebang pilih.' `Ambil menteri
yang prorakyat'.

Dan setiap disertai argumen teknis, padahal, rakyat yang tak pernah di
birokrasi, yang melihat segala hal dari jauh, hanya akan tahu hal-hal
abstrak dan teoritis. Pendiriannya mudah roboh oleh argumen teknis yang
lebih dalam.

Rakyat mudah bicara idealis, tapi bagaimana yang idealis itu ditaruh
dalam bahasa birokrasi, pasti kurang paham. Bagaimana menempatkan
kemuliaan ide besar ke dalam bahasa program, dan proyek, agar
`romantisme' membela `rakyat' miskin tak justru terjebak ke dalam
kesukaran hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan?
Mereka tak terlalu paham. Dengan kata lain, suara rakyat suara Tuhan,
sering diisi hal-hal yang kurang cermat, kurang mendasar, kurang sopan,
dan kurang bijak, karena anggapan, pejabat hanya `tikus bisu'. Namun,
pejabat memang sering njelehi--membosankan--karena normatif, sok kuasa,
sok raja, dan kadang sok intelek. Banyak pula yang sinis, dan tak ada
niat baik melakukan koreksi diri. Relasi kekuasaan `rakyat-pejabat' tak
dilandasi mutual respect dan tak mengandung mutual trust. Kritik
dianggap angin lalu.

Pemimpin sejati, ksatria sejati?
Semua pihak patut belajar lagi berkomunikasi secara sehat. Demokrasi
hanya berkembang dalam jiwa dan struktur sosial yang juga sehat. Kita
masih sedang memanggul misi suci character building yang sejak lama
terlantar. Ego rakyat dan pejabat yang bertabrakan terus-menerus mahal
biayanya, dan merugikan bangsa.

Kelihatannya, zaman ini menuntut, pejabat harus lebih sensitif. Ada saat
ketika dia harus menjadi tikus tuli. Tak usah banyak bicara. Tak perlu
reaktif, tak perlu berdebat. Senang--dalam etika Jawa--tak perlu
tetembangan--bernyanyinyanyi. Ini zaman--kata Sutan Takdir
Alisjahbana--tak putus dirundung malang. Sedih pun tak perlu tetangisan,
karena pemimpin yang ksatria sejati pantang menangis. Apalagi begitu
dramatis, di depan media.

Semua pejabat patut mengingat, jabatan hanya sementara. Kelak, biar pun
bukan suara Tuhan, kita akan merasakan, suara rakyat itu suara kita
sendiri. Maka, biarpun memang berkuasa, suara rakyat jangan pernah
dianggap sekadar angin lalu.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/30/ArticleHtmls/30_10_2009_004_004.shtml?Mode=0

Apakah Perlu Ruwatan

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

DATANGNYA bencana alam secara bertubi-tubi selama tahun-tahun terakhir,
dan yang semakin sering dalam bulan-bulan terakhir, membuat orang-orang
yang berpikiran tradisional merasa kita perlu mengadakan ruwatan.
Ungkapan demikian sering terdengar. Alasan mereka, masyarakat Indonesia
harus dibebaskan dari nasib buruk yang terus-menerus menimpanya karena
alam sedang murka. Kalau ditanya mengapa alam murka dan mengapa harus
ada selamatan, jawabannya tidak jelas. Yang jelas, kita sudah jenuh
mengurusi bencana alam. Lacurnya, bencana itu gejalanya belum akan
mereda. Wilayah Indonesia adalah tempat bertemu lempenglempeng tektonik
yang membuat kondisi geologisnya kompleks dan sangat rawan terhadap
bencana alam.

Letusan gunung berapi, gempa, tanah longsor, banjir bukan kabar buruk
baru. Kita sudah mengenalnya ratusan tahun seperti yang terungkap dalam
dongeng-dongeng kuno. Hanya saja apakah kejadiannya sesering sekarang?
Sebagian bencana alam terjadi karena ulah manusia, seiring dengan
ramainya penebangan hutan akibat peningkatan penduduk yang memerlukan
tanah ladang lebih luas. Namun, bencana alam tsunami Aceh pada Desember
2004--yang diikuti puluhan gempa susulan selama beberapa hari--sangat
tidak terduga dan mengagetkan. Tsunami 2004 telah mengempaskan
gelombang-gelombang raksasa ke pantai dan membinasakan apa pun yang
diterjangnya. Penjelasan geologisnya, semua itu akibat pergeseran
lempengan-lempengan jauh di dalam bumi.

Manusia kehilangan keseimbangan Dalam kata pengantar untuk buku
Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit (1982) terjemahan karya Erik P
Eckholm--intelektual yang banyak menulis tentang lingkungan hidup--Emil
Salim menyatakan bahwa dari berbagai unsur lingkungan hidup, manusialah
yang paling berpengaruh.
Manusia mampu berkembang biak dan mengembangkan akal pikirannya sehingga
bumi makin padat dihuni manusia. Sumber alam makin banyak dikuras untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Akibat sampingan
adalah penggundulan hutan, pemburuan satwa liar yang dilindungi, erosi
tanah, pencemaran industri, sampah dan lain-lain. Semua itu dirasakan
sebagai masalah lingkungan hidup yang mengganggu kehidupan manusia.

Ada rahasia-rahasia alam yang sampai sekarang belum secara total
terpecahkan oleh akal manusia. Kita tentu akan terus-menerus mencari
jawabannya. Misalnya, apa kaitan pergeseran lempengan-lempengan bumi
dengan suhu bumi yang makin panas? Mengapa terjadi perubahan iklim? Suhu
makin panas yang mengakibatkan perubahan iklim mungkin akibat
penggundulan hutan, erosi tanah dan pencemaran industri seperti yang
disebutkan Emil Salim. Perubahan iklim itulah yang akan dibahas dalam
konferensi PBB di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah sejak 37 tahun yang lalu--tepatnya
sejak Sidang Khusus tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 5 Juni
1972--bersepakat bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah nasional
dan internasional. Indonesia sendiri sejak 1978 mulai menanggapinya
secara khusus dalam Repelita III dan menjadikannya bagian integral dari
kebijaksanaan pembangunan nasional. Namun, seperti yang kita saksikan
dan alami, selama dasawarsa-dasawarsa terakhir, ada tarik-menarik kuat
antara kepentingan lingkungan hidup dan kepentingan memenuhi kebutuhan
penduduk.
Kesempatan itu tidak dilewatkan kalangan bisnis (hitam) yang beroperasi
secara diam-diam. Tindakan mereka dengan bantuan para pejabat terkait
merupakan tindak pidana korupsi yang secara berkala terungkap ke publik,
tetapi belum tuntas juga. Karena ulahnya sendiri, manusia telah
kehilangan keseimbangan.

Bayang-bayang hantu bencana alam Lima tahun ke depan, seiring dengan
berlangsungnya kiprah Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia akan
dihantui bencana alam yang makin gawat bila tidak dilakukan
penanggulangannya secara cepat dan tepat. Itulah kesan yang tersirat
dalam berita tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi bila suhu
bumi ratarata meningkat 4 derajat Celsius menjelang akhir abad ini. Peta
yang dibuat para ilmuwan dari Badan Meteorologi Inggris di Hadley Centre
itu bahkan menggambarkan situasi yang mungkin bisa terjadi terhadap
Indonesia.

Menurut berita yang dilansir harian The Jakarta Post, Duta Besar Inggris
untuk Indonesia Martin Hatfull pada Jumat minggu lalu mengatakan bahwa
menurut peta itu, semua wilayah di dunia akan mendapat dampak negatif
dari perubahan suhu bumi menjelang akhir abad ini, tetapi sebagian
mendapat dampak lebih buruk, termasuk Indonesia. Naiknya permukaan laut
setinggi 80 cm akan mengakibatkan banjir yang menimpa 33 juta jiwa di
Indonesia dan negaranegara lain di Asia Tenggara--wilayah yang
diramalkan paling dahsyat tertimpa bencana tersebut. Menurutnya, lebih
lanjut, "Yang lebih menakutkan, dampak-dampak negatifnya sudah akan
terasa dalam lima tahun ke depan."

Peta tersebut, yang pertama kali diluncurkan di Inggris pada 22 Oktober
2009, juga menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami masa kekeringan
panjang yang akan terjadi dua kali lebih sering sehingga sulit untuk
bertani. Seandainya itu terjadi, jutaan petani Indonesia akan terpaksa
mencari lapangan kerja baru. Demikian pula naiknya permukaan laut 80 cm
akan mengubah ekosistem kelautan sehingga merugikan sumber penghidupan
jutaan nelayan di pantaipantai Asia Timur, Asia Tenggara dan lautan
Hindia yang berbatasan dengan Sumatra, Jawa, dan banyak pulau lain di
bagian timur.

Yang tidak kalah gawatnya, perubahan iklim juga akan banyak mengubah
pola penyakit.
Penyakit malaria dan demam berdarah diperkirakan akan lebih merajalela.

Mencari secercah harapan Mengapa keadaan lingkungan hidup bisa menjadi
seperti sekarang? Letak bumi Indonesia memang rawan bencana alam. Namun,
ulah manusia berpengaruh banyak. Erik P Eckholm, yang ketika menjadi
peneliti senior Worldwatch Institute di Washington pernah bekerja sama
dengan UNEP (United Nations Environment Program) beranggapan bahwa
sebab-sebab utama antara lain karena sistem sosial tidak adil, skala
prioritas investasi juga timpang dan kurang mengindahkan situasi
lingkungan hidup serta pemanfaatan teknologi dilakukan secara sembrono.
Semua itu didasari sikap dan perilaku manusia yang boros karena
mengutamakan kepentingan sendiri.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), ketika menanggapi Tsunami Aceh,
mengingatkan bahwa kejadian yang serupa bisa terjadi sewaktuwaktu, dalam
skala waktu sampai 10 tahun atau bahkan 50 tahun ke depan. Maka kita
harus selalu berjaga-jaga dan hendaknya ada political will semua pihak
untuk mengurangi dampak bencana. Perlu ada sosialisasi yang lebih
gencar, pembangunan sistem peringatan dini, dan latihan-latihan untuk
penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana. Political will pihak
pemerintah tentu menyangkut alokasi dana untuk anggaran pelaksanaan
program-program tersebut. Selain itu, dapat diadakan kerja sama dengan
negara lain untuk penelitian, termasuk mengenai zonasi kegempaan yang
bisa menjadi panduan guna menjaga keselamatan bangunan, misalnya.

Dalam rangka menghadapi dan menanggulangi bencana alam, Indonesia tentu
berkepentingan dengan Konferensi Perubahan Iklim yang akan diadakan PBB
pada Desember nanti. Seperti kata Duta Besar Martin Hatfull, "Kami yakin
komitmen Indonesia untuk (konferensi) Kopenhagen akan sangat
menentukan." Momentum yang hanya tinggal 6 minggu lagi itu diharapkan
tidak akan dilewatkan kabinet baru.

Kita memang perlu `ruwatan', tetapi bukan dalam arti harfiah--mengadakan
selamatan yang bersifat spiritual. Jangan kita terjebak pada pandangan
sempit bahwa kita sedang mengalami takdir hitam. Ruwatan yang kita
perlukan adalah tumbuhnya kesadaran bersama bahwa daerah tempat tinggal
kita yang kaya akan sumber alam ini, di lain pihak, juga sangat rawan
bencana alam. Kita harus siap menghadapinya bersama; untuk bersama-sama
mengurangi dampak buruknya. Alam tidak menjebak kita. Dia bertindak
sesuai dengan perangai dan iramanya. Manusia telah mendapatkan pertanda
apa risikonya bila bertempat tinggal di daerah ring of fire di
SumatraJawa-Bali-Nusa Tenggara-Banda-Maluku yang rawan tsunami dan
letusan gunung berapi. Maka `ruwatan' untuk membangkitkan kesadaran
rasanya perlu, tetapi bukan ruwatan berbentuk selamatan yang bersifat
spiritual. Sudah bukan zamannya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/30/ArticleHtmls/30_10_2009_004_002.shtml?Mode=0

Cicak-cicak Bersatulah!

Cicak-cicak Bersatulah!



*Teten Masduki Penyair*

WS Rendra dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur
Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika
pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat
balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan
pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.

Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini
untuk membangunkan kesadaran ”cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan
seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong
berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman
terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.

Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan
”cicak” dan ”buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan
Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas
polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang
mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan
Chandra.

Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat
gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan
mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka
menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana
terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur
pencekalan.

*Rekayasa kriminalisasi*

Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak
yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja
menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur
pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa
unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.

Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar
dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat
budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia,
masih ada anasir- anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi
di negeri ini.

Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu
rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi
yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut
sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah
mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum
bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret
koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat-
rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.

Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi
terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap
pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan
upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di
masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur
pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di
Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran
masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK
pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan,
dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif
bisa diterima masyarakat.

Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa
hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan
dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya
dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara ”cicak dan buaya” ini.
Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif
semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden
harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang
terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.

Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan
intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang
polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah
kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari
korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya
yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa
berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda.
Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan
kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK.
Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain,
KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi
dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.

*Tidak tuntas*

Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang
percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota
DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK
tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi
virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan
berkembang biak atau memberikan perlawanan.

Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank
Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.

Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya
jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini,
untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal,
mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh
KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar
karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti
hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu ”Cicak-cicak di Dinding”.

/Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/30/04213936/cicak-cicak.bersatulah

Bibit & Chandra Ditahan

Bibit & Chandra Ditahan
Eks Jubir Gus Dur: Presiden Tahu Soal Rencana Penahanan
*Rachmadin Ismail* - detikNews
*
*
*Jakarta* - Penahanan dua pimpinan KPK nonaktif Chandra Hamzah dan Bibit
Samad Riyanto
disinyalir mendapat 'restu' dari Presiden SBY. Kapolri selalu melaporkan
dan meminta arahan dari presiden sebelum mengambil tindakan hukum terhadap
pejabat negara.

"Saya ketika mendampingi Gus Dur selalu melihat kalau seorang Kapolri
dan Jaksa Agung selalu melapor. Seharusnya Presiden tahu soal rencana
penahanan itu," kata Adhie Masardi, bekas juru bicara mantan Presiden
Gus Dur.

Hal tersebut ia sampaikan saat memberikan dukungan pada KPK terkait
penahanan Bibit dan Chandra di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan,
Jaksel, Jumat (30/10/2009).

Datang bersama Adhie, mantan anggota DPD Marwan Batubara dan politisi PAN
Chandra Tirtawijaya.

Menurut Adhie, pola laporan yang sama ia yakini masih dilakukan oleh
pemerintahan saat ini. Tidak mungkin Kepolisian bertindak tanpa
diketahui Presiden. Khususnya, dalam perkara yang dapat menimbulkan
gejolak di publik.

"Dulu waktu kasus Tommy Soeharto, Kapolri selalu lapor ke Gus Dur. Dan
Gus Dur selalu memberikan arahan soal penanganannya," jelas Adhie.

Dalam kesempatan yang sama, Marwan Batubara menilai seharusnya Presiden
bisa mencegah penahanan tersebut. Sejak awal proses penetapan tersangka
hingga penahanan, kasus ini sudah rancu dan menyalahi aturan.

"Jangan sampai lembaga KPK dihancurkan," imbuhnya.

Untuk itu, Marwan akan terus memberi dukungan pada KPK. Terutama dalam
pengusutan kasus-kasus besar seperti Bailout Bank Century dan kasus lainnya.

"Bahkan nanti kita akan datangkan massa yang lebih banyak Senin," tutupnya.

* (mad/nwk)*

http://www.detiknews.com/read/2009/10/30/134834/1231784/10/eks-jubir-gus-dur-presiden-tahu-soal-rencana-penahanan

Skandal Century Lebih Jahat dari Teror BOM

Skandal Century Lebih Jahat dari Teror BOM


Ditulis oleh K@barNet di/pada 29 Oktober
2009

Pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy menyatakan bahwa skandal
bank century yang mencaplok uang negara sebesar 6,7 trilyun jauh lebih
besar kejahatannya dibanding teror bom.
“Skandal century merupakan teror kebijakan yang berdampak luas dan
merugikan seluruh rakyat Indonesia. *Dan ini jauh lebih jahat dari teror
bom,” *ucap Noorsy di sebuah acara diskusi di Jakarta siang tadi.

Sayangnya, masih menurut pengamat yang tetap antusias mengkritisi
kebijakan pemerintah yang dirasa tidak pro rakyat ini, banyak pihak yang
secara sistematis berusaha untuk menutup skandal besar di era reformasi
ini. Mulai dari kejaksaan, kepolisian, juga fraksi-fraksi yang masuk
dalam partai koalisi SBY. ”Saya dapat kabar bahwa fraksi-fraksi dari
partai koalisi diminta untuk menutup munculnya hak angket soal century,”
ucap Noorsy.

Khusus untuk kerja Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK, Noorsy memberikan
catatan tersendiri ketika menyangkut kasus ini. *“Awalnya, laporan BPK
diresisten oleh Bank Indonesia.* Kemudian baru bisa jalan ketika KPK
(pengurus lama, red) meminta BPK mengaudit aliran dana dalam kasus
Century. Tapi pun akhirnya KPK digoyang masalah. Baru setelah DPR
(anggota lama, red) minta BPK membuka hasil audit aliran dana ini,
kasusnya mulai terlihat. Sayangnya, *PPATK menolak membuka aliran
transaksi keuangan Century ini,”* jelas Noorsy bersemangat.

Hal ini karena, menurut Ichsanuddin Noorsy, menyangkut pejabat tinggi
yang saat ini memegang posisi penting di pemerintahan SBY. *“Terus
terang saya katakan bahwa dua pejabat tinggi saat ini, yaitu Boediono
yang waktu itu sebagai gubernur BI dan Sri Mulyani sebagai menteri
keuangan. Dua orang inilah yang bertanggung jawab keluarnya kebijakan
dana talangan 6,7 trilyun itu,”* ungkap Noorsy.

Hendri Saparini, pengamat ekonomi yang juga sebagai pembicara
menjelaskan bahwa kebohongan tentang Bank Century ini akan diikuti
dengan kebohongan-kebohongan lain. “Supaya skandal ini tidak terungkap,
pemerintah akan menutup kebohongan ini dengan kebohongan-kebohongan yang
lain,” ucap Hendri antusias.

Ia mencontohkan tentang ucapan *Sri Mulyani yang menyatakan bahwa
keluarnya dana talangan Bank Century adalah untuk mengantisipasi dampak
yang sistemik atau punya dampak luas.* Padahal, menurut Hendri,* kasus
ini murni karena salah urus, dan itu harus diamputasi, bukan malah
diberikan talangan pendanaan.*

Hendri pun prihatin dengan penggantian di Badan Pemeriksa Keuangan yang
tidak lagi dipimpin oleh Anwar Nasution. “Walaupun auditor di BPK cukup
kredibel dan teliti, *tapi semua bergantung pada dewan pimpinan di
BPK,”* jelas Hendri.

Hendri berharap, ada pihak-pihak di DPR dan luar DPR yang terus
menyuarakan skandal ini. *“Saya berharap, masih ada orang-orang di DPR
yang konsisten bersikap oposisi terhadap ini,”* ucap ibu yang kerap
berbusana muslimah ini. (eramuslim)

http://kabarnet.wordpress.com/2009/10/29/skandal-century-lebih-besar-dari-teror-bom/

Televisi dalam Paradoks Kebebasan Pers

*Dedy N Hidayat*

Kebebasan pers dan liberalisasi industri media merupakan salah satu
hasil liberalisasi politik dan demokratisasi.

Namun, praktik kebebasan pers dan liberalisasi industri media itu
berpotensi mengancam keberlangsungan liberalisasi politik dan
demokratisasi yang melahirkannya. Paradoks kebebasan pers itu tampaknya
merupakan fenomena dalam penggal historis spesifik saat neoliberalisme
menjadi ide dominan.

Sejumlah kasus di Tanah Air pasca-Orde Baru menunjukkan fenomena adanya
paradoks itu. Perhatian perlu diarahkan ke sektor industri penyiaran,
yang menggunakan ranah publik yang terbatas, yang penguasaan pasarnya
relatif lebih besar dan yang potensi dampaknya terhadap kehidupan
politik relatif lebih besar daripada media lain. Contoh, kasus
musyawarah nasional sebuah partai politik baru-baru ini, saat dua
konglomerat media penyiaran terlibat persaingan politik dengan
memanfaatkan media yang mereka miliki.

Saat ini, kebebasan pers dan liberalisasi industri media di Tanah Air
jelas merupakan produk liberalisasi politik. Memang awal liberalisasi
politik tidak lepas dari dukungan dan peran pers dalam mendelegitimasi
rezim Soeharto. Namun, proses-proses politik lebih lanjut, yang
dimungkinkan adanya demokratisasi dan liberalisasi politik, kian
memantapkan kebebasan pers (antara lain adanya jaminan hukum bagi
pelaksanaan kebebasan pers) dan liberalisasi industri (yang menghapus
lisensi pers) dan memperbanyak pemain dalam sektor industri televisi,
serta praktis menghilangkan kendala politik bagi calon investor industri
penyiaran untuk ”masuk”.

Pertanyaannya, apakah liberalisasi sektor industri media dan kebebasan
pers justru kontraproduktif dalam proses lanjutan demokratisasi di Tanah
Air?

*Keberpihakan politik*

Dalam koteks itu, konsep kebebasan pers tidak bisa didefinisikan secara
klasik dan sempit, semata-mata sebagai kebebasan dari pemerintah bagi
jurnalis atau mereka yang mampu memiliki media, guna menyebarluaskan
informasi dan mengekspresikan pendapat mereka. Definisi klasik dan
sempit itulah yang tampaknya dominan dimiliki jurnalis dan mendasari
praktik jurnalistik mereka; definisi itu pula yang kini menguasai
konsepsi publik tentang kebebasan pers.

Pengertian kebebasan pers klasik itu mengandaikan media berfungsi
menjaga kepentingan publik dari pemerintah, rezim penguasa, atau negara.
Padahal, definisi itu didasarkan asumsi tidak adanya kontradiksi
internal sistem kapitalis, di mana kompetisi akan mengarah pada
konsentrasi kepemilikan media atau penguasaan pasar oleh konglomerasi
media. Semua itu mampu menjadikan sebuah konglomerasi media melakukan
hegemoni makna atau memonopoli definisi tentang realitas seperti
dilakukan penguasa otoriter, di mana pun juga, terhadap warganya.

Definisi klasik itu melihat, media merupakan entitas, tunggal,
mengabaikan realitas adanya berbagai unsur di dalamnya (pemilik,
manajer, jurnalis, dan pekerja media lain) yang terjalin dalam hubungan
kekuasaan yang tidak berimbang. Dalam hubungan timpang itu, mudah tumbuh
kondisi tidak demokratis, yang membuat idealisme jurnalis tunduk
kepentingan ekonomi dan politik unsur dalam media yang memiliki surplus
kekuasaan.

Lebih dari itu, pemahaman kebebasan pers klasik juga mengabaikan media
sebagai institusi ekonomi-politik. Media jelas memiliki kepentingan
untuk melakukan akumulasi dan ekspansi modal. Untuk itu, selain
kecenderungan alami untuk lebih tunduk pada rating dan kebutuhan
pengiklan, ditempuh pula praktik yang tidak selalu sejalan dengan
kepentingan publik, melalui aneka upaya manipulasi selera dan kebutuhan
publik, dan praktik komodifikasi segala aspek kehidupan publik (dari
masalah pribadi, bencana, hingga kemiskinan), sebagaimana bisa diamati
melalui televisi dan menjadikan tayangan seperti itu seolah kebutuhan
obyektif dan alami.

Dalam konteks ini, kebebasan pers tidak lagi bisa dikaitkan konsepsi
kebebasan demi melindungi publik dari penguasa.

Eksistensi media penyiaran sebagai institusi ekonomi itu pula yang
menciptakan potensi finansial sebagai institusi politik, utamanya
sebagai media bagi aspirasi dan kepentingan politik penguasa media.
Lebih dari itu, dengan sistem pemilihan berbiaya tinggi seperti dikenal
di Tanah Air saat ini, muncul modus produksi kekuatan yang kian bertumpu
pada sumber daya finansial. Dengan demikian, sebuah konglomerasi media
mampu menanamkan pengaruhnya terhadap anasir-anasir legislatif dan
eksekutif melalui kekuatan finansial yang dimiliki. Kemungkinan semacam
ini juga berlawanan dengan proses demokratisasi dan menunjukkan
kebebasan pers tidak selalu tepat diletakkan hanya dalam konteks
kebebasan dari rezim penguasa.

*Kebebasan berekspresi*

Uraian itu menunjukkan, posisi media, dalam triangulasi hubungan antara
negara, pasar, dan masyarakat, tidak mudah terdeteksi pasti. Karena itu,
kerangka pemikiran yang memandang kebebasan pers secara sempit, hanya
sebagai kebebasan dari negara, atau rezim penguasa, tidaklah realistis.

Karena itu, kebebasan pers perlu didefinisikan lebih kontekstual, sesuai
kondisi historis spesifik perkembangan ekonomi-politik yang ada,
khususnya tahap perkembangan kapitalisme di sektor industri media.

Pertama, kebebasan pers, selain mencakup kebebasan media dan jurnalisnya
dari tekanan serta campur tangan penguasa, juga harus mencakup dimensi
kebebasan organisasi media dari tekanan pasar.

Kedua, definisi kebebasan pers perlu mencakup dimensi kebebasan
mempraktikkan kaidah-kaidah dan etika profesi bagi jurnalis profesional
dari tekanan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal.

Ketiga, yang paling esensial, konsepsi kebebasan pers harus selalu
dikaitkan kebebasan publik untuk mendapat informasi demi pencerahan dan
pemberdayaan diri. Selain itu, juga perlu dilekatkan dengan kebebasan
publik guna mendapatkan akses ke media, berekspresi dan berpartisipasi
secara demokratis dalam wacana yang menyangkut kepentingan mereka
bersama, khususnya melalui media penyiaran yang menggunakan ranah publik
bagi operasi akumulasi dan ekspansi modal. Dari segi ini, publik akan
mempertanyakan argumen pemilik media penyiaran, yang memperoleh konsesi
untuk menggunakan ranah publik, bila media yang dimiliki digunakan
sebagai media atau alat kepentingan politiknya.

Dalam pengertian kebebasan pers yang dikaitkan kebebasan publik untuk
berekspresi, pers tak selalu harus netral dan bebas nilai. Pers harus
berpihak pada nilai-nilai yang diakui bersama dan disepakati atau yang
bersifat universal. Keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu itulah
yang menjadi dasar keberpihakan politik, bila kondisi menghendaki campur
tangan pers.

/Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/04270340/televisi.dalam.paradoks.kebebasan.pers

JAYA SUPRANA : Menterimologi

SUSILO Bambang Yudhoyono (SBY) adalah penyandang rekor Muri sebagai
Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada 2009, rekor SBY bertambah dengan Presiden Republik Indonesia
pertama pilihan langsung rakyat yang terpilih untuk kedua kalinya
langsung oleh rakyat. Maka SBY juga memiliki pengalaman dalam memilih
menteri untuk kabinet yang tidak dimiliki presiden Republik Indonesia
yang lain. Bung Karno dan Pak Harto memiliki masa jabatan lebih lama,
namun tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Pendek kata, dari presiden yang dua kali terpilih langsung oleh rakyat
ini kita memang bisa belajar banyak tentang menterimologi,yakni ilmu
memilih menteri. Menyimak kenyataan siapa yang dipilih menjadi menteri
untuk jabatan apa,dapat disimpulkan bahwa presiden VI Republik Indonesia
ini juga menggunakan kriteria pertimbangan yang klasik dan klise seperti
profesionalisme atau pengalaman.

Namun di luar itu tampak masih banyak kaidah-kaidah lain yang lebih
bersifat subjektif (meski kaidah profesionalisme dan pengalaman pada
hakikatnya juga subjektif). Yang jelas memilih menteri, apalagi demi
menyenangkan semua orang,memang bukan soal mudah, bahkan mustahil. Pasti
ada saja pihak yang merasa tidak senang, tidak setuju, bahkan menentang
pilihan seorang presiden yang paling arif dan paling bijaksana, apalagi
di masa demokrasi, di mana setiap orang berhak memiliki pendapat,
selera, sekaligus berhak mengungkapkan pendapat dan selera subjektifnya.

Di alam otoriter maupun diktatorial pun sebenarnya selalu ada pihak yang
tidak sependapat dan seselera, namun tidak ada yang berani
mengungkapkannya secara terbuka demi keselamatan diri. Dengan susah
payah Presiden Republik Indonesia yang jenderal TNI purnawirawan itu
berusahamengurangi jumlah sesama TNI demi menghindari tuduhan
mengutamakan golongannya sendiri.

Sampai mengorbankan menteri dalam negeri yang baru dua tahun bertugas.
SBY juga harus mempertahankan kementerian negara yang khusus mengurusi
kaum perempuan, demi tidak dituduh tidak memperhatikan pemberdayaan kaum
perempuan Indonesia yang sebenarnya sudah sangat berdaya, sampai bahkan
menjadi presiden—sementara Amerika Serikat belum pernah punya presiden
perempuan.

Jangan sampai pula jumlah perempuan di dalam kabinet berkurang, bahkan
lebih baik bertambah. Maka, meski perempuan calon menteri kesehatan
dibatalkan,terbukti penggantinya harus tetap berjenis kelamin perempuan.
Masalah daerah juga perlu diperhatikan agar jangan sampai dituduh
Jawa-sentris.

Maka perlu cermat diperhatikan agar jangan sampai tidak ada insan dari
Papua yang menjadi menteri demi menepis tuduhan tidak memedulikan daerah
yang kerap merasa dirinya kurang dipedulikan itu. Tuduhan perkoncoan
dalam memilih menteri sebenarnya tidak relevan karena tentu seorang
presiden memilih menteri di antara para konconya, bukan musuhnya.

Namun bukan berarti perhitungan aritmatika politik tidak didayagunakan,
terbukti pada pilihan dalam hal ketua MPR.Maka sebagian departemen wajib
mengakomodasi kepentingan politis, terutama demi memuaskan kehendak
partai-partai politik (parpol) yang di masa pemilu mendukung kampanye
kepresidenan sang presiden terpilih kembali. Jelas pilihan bukan
berdasar profesionalisme terbukti menteri yang dipilih sendiri merasa
terkejut bahkan gamang mengemban tugas yang sama sekali di luar
pengalaman dan profesionalismenya!

Meski oposisi dianggap wajar, bahkan mutlak bagi mekanisme
demokrasi,namun bagi pihak yang berkuasa pasti merasa lebih nyaman
apabila kekuatan pihak oposisi lebih lemah lebih baik.Yang paling ideal
adalah sandiwaraopisisi, yakni di panggung politik seolah ada oposisi
tapi sebenarnya tidak ada—seperti lazim di zaman Orde Baru dulu itu.
Memang mudah bahkan sangat mudah mengkritik dengan menyatakan tidak
setuju apa pun pilihan Presiden dalam menyusun kabinet, namun perlu
disadari bahwa menyusun kabinet memang bukan soal mudah dan sederhana,
apalagi demi memuaskan segenap pihak.

Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat, bahkan untuk kedua
kali, pada hakikatnya tetap merupakan manusia yang mustahil sempurna.
Termasuk mustahil sempurna dalam memuaskan semua pihak yang berjumlah
mendekati tiga ratus juta insan—yang masing-masing memiliki pendapat dan
selera saling beda satu dengan lainnya (termasuk mereka yang tidak
memilih sang presiden), apalagi di alam demokrasi.

Kearifan tertinggi di demokrasi Nusantara justru adalah kemampuan
menyadari ke- Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat Indonesia dalam
berpendapat. Bagi mereka yang ngotot tidak bisa menerima pilihan SBY
dalam membentuk kabinet, silakan mencalonkan diri menjadi presiden RI
pada pemilu mendatang. Silakan merasakan sendiri betapa sulit bahkan
mustahil bagi seorang kepala negara dalam membentuk kabinet yang mampu
memuaskan segenap pihak di dunia fana ini!(*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/280705/38/

Beri Dukungan, Gus Dur Datangi KPK

*Laurencius Simanjuntak* - detikNews

* *
*Jakarta* - Apa yang terjadi atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belakangan ini juga menyita perhatian Mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur. Dalam kondisi kesehatan yang tidak lagi optimal,
Gus Dur akan menemui pimpinan KPK untuk memberi dukungan moral.

Menurut orang dekat Gus Dur, Bambang Susanto, Gus Dur akan datang ke
kantor KPK, Jl Rasuna Said, Jaksel, Sabtu (31/10/2009) pukul 10.00 WIB.
Semua pimpinan KPK, kata Bambang, menyatakan siap menerima Gus Dur.

"Beliau prihatin kepada perkembangan yang terjadi belakangan ini,
tentang adanya dugaan rekayasa kriminalisasi dan upaya pelemahan KPK.
Ada keprihatinan mendalam dari beliau," kata Bambang.

Bambang menambahkan, Gus Dur pun terus mengikuti perkembangan kasus
KPK-Polri lewat media massa. Gus Dur, katanya, berharap kinerja KPK
tidak terganggu dengan adanya penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah.

"Beliau ingin KPK terus bekerja dan tidak ada ketakutan apapun. Beliau
setuju melawan pihak-pihak yang ingin melemahkan KPK," ujarnya.

Ditanya apakah Gus Dur juga siap menjadi jaminan penangguhan penahanan
Bibit dan Chandra, Bambang mengatakan, "Nanti kita lihat saja di sana
(kantor KPK)."

http://www.detiknews.com/read/2009/10/31/070401/1232217/10/beri-dukungan-gus-dur-datangi-kpk-pukul-1000-wib?991101605

Aku Nyesel Milih SBY!

Aku Nyesel Milih SBY!
30




daus



"Kalau akhirnya begini, aku nyesel milih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dalam pemilu Presiden kemarin (pemilu 2009, red)," ujar ayahku saat
melihat siaran berita mengenai ditangkapnya petinggi non-aktif Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di televisi pagi ini (30/10).

Padahal, dulu waktu masa kampanye pemilu presiden lalu, ayahku paling
getol mengkampanyekan kepada keluarganya agar memilih SBY untuk kedua
kalinya. "Calon presiden lainnya kagak jelas," ujarnya, "Di bawah SBY,
korupsi dibabat oleh KPK,"

Pada saat itu, saya termasuk yang mengikuti sarannya. Saya memilih
Golput alias memilih tidak memilih. Tidak calon presiden yang bagus.
Sejak awal saya tidak percaya bahwa SBY orang yang tepat untuk Indonesia.

"SBY memiliki persoalan dalam lumpur Lapindo,"ujar saya dalam hati,
"Dalam isu korupsi, SBY hanya menggunakannya untuk mendongkrak citranya,"

Ternyata benar. Belum genap 100 hari. SBY melalui aparatnya justru
mengkriminalisasikan KPK dan aktivis anti-korupsi. Di hati kecil saya
juga menyesal membiarkan ayah saya memilih SBY dalam Pilpres lalu...

http://politikana.com/baca/2009/10/30/aku-nyesel-milih-sby.html