BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kesucian dalam Kekotoran

Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 12.32

ANALISIS POLITIK
Kesucian dalam Kekotoran


*YUDI LATIF*

Ibarat embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul
Fitri kali ini melahirkan situasi ”kesucian” yang riskan.
Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi
relung kehidupan negara tempat mereka bertahan adalah ruang yang cemar.

Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran Bumi, dari
onggokan sampah kebiadaban terorisme, megaskandal Bank Century,
penggelapan seputar cekcok kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi,
hingga persekongkolan untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang
berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang
meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan Bumi yang menebar
bayangan hidup yang negatif.

Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus
diterima secara taken for granted. Kita tidak cukup menjadi suci (secara
pribadi), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai
untuk menyucikan (negara). Seperti kata Aristoteles, ”Manusia baik belum
tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi
warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam
negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang
buruk”.

Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab
pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn
mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah.

Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya
hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D—defeated (rasa pecundang), defective
(rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa
tercerabut)—yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.

Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis
mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab
mengatakan, ”Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan,
dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang
berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah yang
dipetik dari pohon berduri.”

Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa
kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa
diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah persoalan yang
dihadapi bangsa saat ini diperlukan persenyawaan jutaan titik embun
untuk menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran
yang melumuri jiwa kenegaraan.

*Simpul terlemah*

Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal
kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi
Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan
sejauh tidak melakukan ”kebohongan”. Celakanya, pada titik inilah
jantung krisis kenegaraan kita bermula.

Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi
kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.

Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme
yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang
mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank
Century, dan dalam penggantian komisioner KPK, otoritas terkait menutupi
kebohongannya dengan dalih yang sama, ”sudah sesuai dengan prosedur”.

Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan
negeri ini menjadi negeri kebohongan. ”Korupsi setiap pemerintahan,”
kata Montesquieu, ”selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan
aturan permainan.” Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru
ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.

Pemerintahan negeri ini juga akan semakin sempurna dalam memperlihatkan
watak koruptifnya jika berbagai pos pemerintahan baru diciptakan demi
mengakomodasi kepentingan orang per orang, bukan demi kemaslahatan
kedudukan itu sendiri.

Dalam pemerintahan yang korup, kedudukan dipilih demi seseorang,
sedangkan dalam pemerintahan yang baik, seseorang dipilih demi kebaikan
kedudukan. Dalam situasi krisis, berbagai pos baru itu semakin menguras
keuangan negara, untuk semakin memperumit jejaring kebohongan.

Akhirnya, kekuasaan memang cenderung korup, tetapi mereka yang di ambang
kehilangan kekuasaan kerap lebih giat mengembangkan korupsi. Di dalam
demokrasi yang tak kunjung terkonsolidasikan, dan kekuasaan silih
berganti begitu cepat, selalu ada godaan untuk mengembangkan praktik aji
mumpung, seperti kemungkinan praktik ”cuci gudang” penyelesaian RUU
tertentu untuk ditransaksikan. Maka, skala korupsi dan kebohongan di
negeri ini pun semakin tak tepermanai.

Pilar kebohongan dan korupsi di negeri ini tak kunjung roboh.
Perkembangan demokrasi tidak memiliki pijakan yang kuat. Kuncup
kebebasan demokrasi sedang dipertaruhkan. Seperti kata Edmund Burke, ”Di
antara gugus manusia yang cenderung berbohong dan korup, kebebasan tak
bisa bertahan lama.”

Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk
memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme
simboliknya, melainkan pada penguatan misi profetiknya dalam
memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama.

Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme.
Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan
untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai.

Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara
bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, tetapi
juga akuntabilitas di hadapan Tuhan.

Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka
tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.

Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga
bumi kehidupan dapat disucikan kembali!

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/03084999/kesucian.dalam.kekotoran

Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial

Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial



*Gadis Arivia*

Kelompok perempuan yang bergiat di bidang kesehatan perempuan dan Benny
Phang sama-sama sedang jengkel dengan Undang- Undang Kesehatan yang
memuat pasal aborsi.

Kejengkelan mereka diungkap di media. Kejengkelan kelompok perempuan
terletak pada aturan aborsi yang belum melihat persoalan kesehatan
reproduksi secara menyeluruh, yakni penekanan pada keamanan aborsi
diabaikan. Mereka berargumen, pengecualian aborsi yang tertuang pada
pasal 84-85 tidak cukup. Aborsi harus dibolehkan secara aman sebab
kasus-kasus yang ditemukan bukan hanya kasus pemerkosaan dan kondisi
darurat medis, tetapi ada kasus-kasus nyata lain seperti inses, remaja
hamil di luar nikah, dan aneka tekanan ekonomi yang membuat seorang
perempuan dengan berat hati memutuskan untuk aborsi. Kelompok perempuan
bertumpu pada argumentasi sosial, mengemukakan fakta-fakta sosial.

*Janin, seorang individu?*

Berbeda dari pandangan kelompok perempuan, Benny Phang menekankan
argumentasi moral dan menolak aborsi. Ia berpendapat, eksistensi manusia
dimulai dari tahap embrionik, tak jelas apakah embrio yang dibekukan
untuk kepentingan penelitian dan medis juga masuk dalam pengertian
”manusia”. Ia pun tak sependapat dengan opini medis yang menyatakan
aborsi dapat dilakukan dengan aman di bawah 16 minggu. Dari argumen
moral itu Benny meloncat ke argumen Deklarasi HAM yang bersifat sosial,
soal hak atas hidup. Ada kejanggalan atas pola pikir Benny.

Bagi saya, Benny Phang ingin menyamakan konsep ”janin” dengan konsep
”individu”. Pertanyaannya, ”apakah janin seorang individu?” Bila janin
adalah seorang individu, lalu apakah ia berwarga negara? Bila ia seorang
warga negara, apakah ia disebut di dalam Konstitusi? Di dalam Konstitusi
disebutkan ”setiap orang” atau ”setiap warga negara” berhak atas
hak-haknya, apakah maksud Konstitusi juga termasuk janin? Lalu,
bagaimana dengan hak-hak seorang ibu yang jelas-jelas sudah berwujud
manusia dan seorang warga negara? Tidakkah seorang ibu memiliki hak
untuk memilih?

Konsekuensi dari pemikiran bahwa janin sebagai seorang individu mengarah
pada argumentasi lain bahwa melakukan intervensi untuk pembuahan
merupakan tindakan menghentikan proses kehidupan. Jadi, menurut alur
pemikiran ini, penggunaan alat kontrasepsi pun dapat dipermasalahkan.

Jelas, argumentasi konservatif seperti ini sama sekali tidak menghargai
hak-hak reproduksi perempuan dan tidak membantu kesehatan perempuan.
Bagaimanapun perempuan yang dipaksa memiliki anak banyak bukan saja
membahayakan kesehatan ibu, tetapi memberatkan ekonomi dan menghambat
kesejahteraan keluarga serta pencapaian kualitas hidup yang optimal.

*Jaminan hak*

Aborsi bukan sebuah hobi. Pengalaman perempuan menunjukkan, pilihan
perempuan untuk melakukan aborsi merupakan pilihan berat dan bersifat
amat pribadi. Tidak ada perempuan yang bergembira ria melakukan aborsi,
justru sering mempertaruhkan nyawa.

Penelitian menunjukkan aborsi tidak aman merupakan salah satu penyebab
kematian ibu dan negara-negara yang menyediakan akses aborsi aman justru
bisa menekan angka kematian ibu.

Kita tahu, Indonesia masih menghadapi angka kematian ibu yang tinggi.
Begitu banyak perempuan Indonesia miskin terpaksa pergi ke dukun atau
orang-orang yang tidak memiliki keahlian medis, melakukannya di
gang-gang sempit, di ruang-ruang gelap tanpa jaminan kebersihan, atau ke
dokter-dokter tak bertanggung jawab yang menguras uang mereka.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, keputusan melakukan aborsi sering
karena desakan kekasih, suami tidak sanggup membiayai, atau suami kawin
lagi. Ironisnya, di dalam Undang-Undang Kesehatan justru yang dikenai
hukuman adalah pelaku aborsi. Mereka terjerat hukuman berat dan denda
hingga miliaran rupiah. Perempuan lagi-lagi menjadi korban. Di manakah
tanggung jawab laki-laki? Para dokter dan hakim? Bukankah negara
seharusnya menyediakan akses pelayanan kesehatan perempuan yang memadai?
Termasuk hak perempuan untuk melakukan aborsi dengan aman.

/Gadis Arivia Pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar Tetap di Departemen
Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/04481672/memahami.aborsi.sebagai.isu.sosial
/

Melanjutkan Neoliberalisme?

Melanjutkan Neoliberalisme?

Neoliberalisme pada dasarnya perluasan dari ideologi ekonomi pasar
liberal atau kapitalisme dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Ekonomi pasar atau ekonomi liberal atau ekonomi kapitalis menganut
kepercayaan dasar bahwa pasar dengan mekanismenya itu memiliki kemampuan
mengurus dirinya sendiri secara adil dan efisien dalam mengalokasi
resources terhadap barang dan jasa yang bersifat private (nonpublik).

Karena itu peran atau campur tangan pemerintah harus ditiadakan atau di
minimalisasi sebatas untuk meniadakan—kalau ada—externalities atau
distorsi yang mengganggu kebebasan pasar. Neoliberalisme memperluas
pengertian pasar bebas tidak saja dalam ruang lingkup nasional (suatu
negara), tetapi regional dan internasional.

Dalam paham ekonomi neoliberal, tidak dieksplisitkan batas-batas
kewenangan negara terhadap pasar atau kapan negara seharusnya masuk ke
atau berperan di pasar.Yang lebih terasa atau ditonjolkan justru
pengerdilan peran negara dalam mekanisme pasar, baik dalam pembentukan
harga maupun alokasi resources-nya.

Dalam praktiknya, pasar tidak sesakti atau seindah yang digambarkan
neoliberalisme. Lebih-lebih dalam perdagangan internasional yang sering
dilaksanakan secara tidak fair. Meskipun mempunyai kekuatan dan
kebaikan, pasar juga punya kelemahan dan keburukan. Demikian juga dengan
negara.Begitu pula dengan campur tangan negara terhadap pasar sebagai
alat untuk menjembatani dua pilar ini.

John Maynard Keynes, misalnya, berpendapat bahwa selama masih terdapat
pengangguran, campur tangan negara dalam perekonomian pasar dibenarkan
dan diperlukan.Di sini terkandung pesan untuk tidak terlalu mendewakan
pasar atau sebaliknya mengerdilkan negara.

Penjelasan sejarah neoliberalisme biasanya dimulai dari kegagalan pasar
bebas yang mengakibatkan Great Depression 1930-an, kesepakatan PBB di
Bretton Woods Amerika Serikat (1944),berkuasanya Ronald Reagan sebagai
Presiden AS, dan Margareth Thatcher sebagai PM Inggris di era 1980-an
sebagai tokoh-tokoh garis keras ekonomi neoliberal.

Kemudian dilanjutkan dengan krisis ekonomi di negara-negara Amerika
Latin yang membuka jalan bagi Pemerintah AS dan Inggris bekerja sama
dengan IMF dan Bank Dunia melahirkan Konsensus Washington alias Paket
Kebijakan Ekonomi Neoliberal yang dipasarkan secara internasional.

Konsensus Washington inilah yang dipaksakan IMF/ Bank Dunia/ Pemerintah
AS untuk dijalankan di negara-negara Asia yang terkena krisis moneter
1997/1998. Beberapa kebijakan Konsensus Washington itu (1) Pelaksanaan
kebijakan anggaran negara yang ketat dan penghapusan subsidi (sebagai
bagian dan upaya mengerdilkan peran negara).

(2) Liberalisasi sektor keuangan, perbankan, dan investasi termasuk
rezim devisa super bebas (sebagai bagian dari upaya penguatan peran
sektor swasta).(3) Liberalisasi sektor perdagangan, termasuk bisnis
raksasa eceran asing seperti Carrefour dan lain-lain yang cenderung
mematikan pengecer kecil atau pasar tradisional.

(4) Privatisasi BUMN dan aset-aset milik negara lainnya. (5) Privatisasi
sektor-sektor publik, yaitu barang dan jasa yang semestinya ditangani
negara (pemerintah pusat maupun pemda) karena sifatnya yang
dikategorikan sebagai public goods and services atau karena menguasai
hajat hidup orang banyak (pasal 33 UUD 1945), dialihkan menjadi private
goods atau dimekanisme-pasarkan atau dikomersialkan atau diswastakan.

*** Sejak krisis moneter 1998, di bawah tekanan IMF dan pengawalan tim
ekonomi jebolan Berkeley, Pemerintah Indonesia amat gencar melaksanakan
kebijakan ekonomi neoliberal,baik di bidang perbankan, sistem devisa
bebas,perdagangan, investasi, migas dan pertambangan, pasar uang dan
modal, transportasi, impor pangan, kesehatan, pendidikan,dan lain-lain.

Dalam 10 tahun terakhir Indonesia telah melahirkan berbagai undangundang
dan kebijakan ekonomi neoliberal yang merugikan kepentingan
nasional.Politik utang luar negeri telah dimanfaatkan sebagai pintu
masuk atau melancarkan ideide neoliberal di samping untuk mendukung
eksistensi tim ekonomi proneoliberal.

Pemerintah juga semakin terang-terangan memuja pasar saham,pasar
uang,serta perbankan dan semakin tidak berdaya menghadapi kekuatan para
pelaku ekonomi domestik maupun asing.Kegetolan dunia dan Indonesia
menjalankan ekonomi neoliberal dilanjutkan dengan meningkatkan volume
perdagangan uang,dan suratsurat utang yang dikenal dengan bubble economy
atau ekonomi gelembung alias abal-abal yang kemudian mengantarkan dunia
kepada krisis ekonomi global.

Di atas kertas,bubbleeconomyini memang menaikkan pertumbuhan ekonomi,
pendapatan nasional maupun per kapita, tetapi kenaikan ini tidak riil
dalam arti tidak sustainaible dan tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat
banyak. Pergeseran pengelolaan barang dan jasa dari jalur publik
(negara) ke jalur private (swasta atau pasar) oleh kalangan neoliberal
juga dipercaya akan mampu meningkatkan efisiensi.

Karena itu, dalam ekonomi neoliberal, sektor kesehatan, pendidikan,
jalan-jalan umum,pelayanan administrasi umum, dan lain-lain yang
tradisinya ditangani negara, pelan-pelan dikomersialkan atau ditangani
swasta melalui mekanisme pasar.Perubahan ini dipercayai para neoliberal
akan mengundang investasi swasta di bidang kesehatan/rumah sakit,
sekolah/ perguruan tinggi, jalan tol, listrik swasta dan lain-lain.

Dengan demikian, terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan
harga-harga di sektor yang diswastakan itu, yang dengan sendirinya
menaikkan PDB dan pendapatan per kapita. Tetapi kenaikan itu belum tentu
sehat dan sesuai dengan yang dicita-citakan, karena hampir dipastikan
terjadi kenaikan harga (inflasi) di sektor publik yang dialihkan ke
pasar itu.Proses neoliberalisasi ini juga mengakibatkan melebarnya gap
si kaya dan si miskin (memperburuk Gini ratio) seperti yang terjadi di
Indonesia dan di negara-negara lain yang menjalankan kebijakan yang sama.

*** Dalam rezim ekonomi neoliberal, bargaining position rakyat kecil
lemah, cenderung kurang terlindungi, dan semakin tercekik oleh kenaikan
harga-harga. Sebaliknya proses pengalihan ekonomi dari sektor publik ke
sektor private ataupun proses privatisasi BUMN sering dijadikan lahan
konspirasi KKN atau pengurasan kekayaan negara yang dananya dimanfaatkan
untuk memperkaya diri sendiri ataupun kampanye politik dalam kultur baru
demokrasi liberal yang mahal dan kebablasan.

Dengan semakin banyaknya posisi-posisi kunci di bidang otoritas fiskal,
moneter dan perdagangan yang dipegang pendukung fanatik ekonomi
neoliberal, proses neoliberalisasi di Indonesia nyaris tidak lagi
terbendung.Subsidi-subsidi kerakyatan yang masih berlangsung dalam APBN
tidak lain sebagai trade-off dalam proses neoliberalisasi dan bersifat
sementara, khususnya untuk mengamankan dukungan politik terhadap penguasa.

Di lain pihak, subsidi dan keberpihakan terhadap pilar-pilar utama
ekonomi neoliberal, terutama perbankan, cenderung diperjuangkan all out
seperti dalam skandal BLBI jilid I (1997/98) maupun BLBI jilid II
seperti skandal Bank Century.Apakah pemerintahan SBY 2009–2014 ingin
melanjutkan atau mengakhiri rezim ekonomi neoliberal? Itu akan terlihat
dari susunan kabinetnya Oktober mendatang! (*)

DR Fuad Bawazier MA
Mantan Menteri Keuangan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269163/

Pakar Harvard Apresiasi RI

Pakar Harvard Apresiasi RI

BOSTON (SI) – Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih baik
dibandingkan banyak negara lain. Pengalaman menangani krisis Asia pada
1997–1998 menjadikan Indonesia lebih kuat menghadapi gejolak
perekonomian global.


Pakar strategi manajemen dari Harvard Business School Michael E Porter
mengapresiasi perkembangan ekonomi Indonesia itu.Dia optimistis ke depan
Indonesia akan terus membuat kemajuan. “Di tengah berbagai tantangan dan
hambatan, Indonesia pada umumnya tengah mengalami pertumbuhan ekonomi
yang lebih baik,” ujar Porter menjawab pertanyaan wartawan di Hotel Four
Seasons, Boston, AS, Senin (28/9) waktu setempat, seusai menjadi
pembicara diskusi dua jam yang dihadiri Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).

Diskusi tertutup membahas upaya meningkatkan daya saing Indonesia itu
diikuti berbagai kalangan, yaitu Pemerintah Indonesia, sektor swasta,dan
akademisi dari Universitas Harvard. Porter dalam diskusi tersebut
memaparkan prioritas yang perlu diusung oleh Pemerintah Indonesia.
Prioritas dimaksud antara lain peningkatan efektivitas pemerintahan
provinsi, sarana komunikasi, kekuatan energi, serta meneruskan perang
melawan korupsi. Jika tidak ditata dengan baik, menurut Porter,
aspek-aspek tersebut dapat menghambat pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi nasional Indonesia.

Aspek-aspek tersebut, menurut Porter, sudah sesuai dengan
rencana-rencana yang telah dibuat Presiden SBY untuk meningkatkan daya
saing dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Untuk menjalankan proses
tersebut,diperlukan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta,”kata
Porter. Ketika ditanya tentang tantangan yang dihadapi pemerintah
tingkat provinsi dalam proses meningkatkan pertumbuhan ekonomi,Michael
Porter menyebut kesenjangan kesejahteraan sebagai tantangan utama.“Masih
banyak provinsi yang miskin dan rata-rata pendapatannya sangat rendah,”
ujarnya.

Pemerintahan di tingkat provinsi masih banyak yang belum memiliki
kematangan dalam menjalankan program pembangunan secara efektif ataupun
dalam membuat perencanaan pembangunan ekonomi di wilayah masing-masing.
Mereka sangat memerlukan bantuan memperbaiki kelemahan mereka di
berbagai bidang, antara lain infrastruktur, transportasi, dan tenaga
listrik. “Mungkin salah satu hal mendasar yang menjadi agenda Indonesia
adalah justru soal apa yang bisa dilakukan oleh negara, pemerintah
pusat,dan sektor swasta untuk membantu provinsi-provinsi menjalankan
pembangunan,”kata Porter.

Sebelum berdiskusi dengan Porter,Presiden SBY pada hari ketiga
kunjungannya di Boston, AS, menghadiri forum tukar pikiran dengan para
pakar dari Universitas Harvard, Boston, mengenai upaya meningkatkan
kualitas bangsa. Pada acara yang berlangsung di Hotel Four Seasons,
Boston, Presiden didampingi antara lain oleh Menteri Perdagangan Mari
Elka Pangestu, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Dubes RI untuk AS
Sudjadnan Parnohadiningrat, Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal
dan Andi Mallarangeng, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia MS Hidayat, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M
Lutfi, serta Komisaris PT Pertamina Gita Wirjawan.

Pakar dari Universitas Harvard yang hadir adalah Dekan John F Kennedy
(JFK) School of Government Prof David Ellwood dan akademisi lainnya,
yaitu Prof Joseph Nye,Prof Graham Wilson, Prof John Thomas, dan Prof
Dani Rodrik. Sebelum memulai diskusi yang berlangsung dalam acara santap
siang terbatas itu,Dekan JFK School of Government Prof David Ellwood
menyampaikan kekaguman atas keberhasilan Indonesia melakukan perubahan-
perubahan ke arah yang lebih baik seperti dalam kebijakan ekonomi maupun
aspek-aspek lain.

“Kami sangat berharap dapat belajar dari keberhasilan luar biasa yang
dicapai Indonesia dalam berbagai aspek. Bagaimana Anda mencapai semua
itu,” kata Ellwood kepada SBY. Menanggapi pujian itu, Presiden SBY
mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia saat ini masih menjalani proses
perubahan dan reformasi di berbagai bidang setelah mengalami
keterpurukan di bidang ekonomi, politik, dan lainnya pada 1998.

“Kami telah mencapai banyak kemajuan, tapi masih banyak juga tantangan
yang kami hadapi, antara lain bagaimana menangani masalah
kemiskinan,pengangguran,serta bagaimana menjaga dan memperkuat
demokrasi,” kata Presiden. (ant)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/273074/38/

Presiden Tidak Wajib ke Lubang Buaya

Setelah era reformasi, timbul kerepotan tiap kali memperingati Hari
Kesaktian Pancasila, 1 Oktober.Orang mempertanyakan apa hubungan
tewasnya beberapa orang jenderal dengan kesaktian Pancasila?


Gerakan 30 September merupakan upaya perebutan kekuasaan, tidak ada
kaitannya dengan kehebatan Pancasila. Aksi itu gagal karena kecerobohan
pelakunya dalam merancang strategi militer dan menerapkannya di
lapangan. Sementara itu, kalau ingin menekankan pentingnya Pancasila
sebagai ideologi pemersatu bangsa, seyogianya hal itu diperingati pada 1
Juni. Peringatan Kesaktian Pancasila pasca-Soeharto dari tahun ke tahun
kian kehilangan magnetnya dan semakin dilematis.

Di satu sisi terdapat keengganan sebagian masyarakat, termasuk
pejabat,untuk melakukan upacara—terutama pada era Megawati
Soekarnoputri. Ketika putri Proklamator ini menjadi Presiden, dia
mengurangi bobot acara itu dengan mengurangi waktu kehadiran di Lubang
Buaya, Jakarta Timur, serta menyerahkan posisi inspektur upacara kepada
ketua MPR. Hal ini dapat dimaklumi karena malam tersebut merupakan awal
kejatuhan Bung Karno dari kekuasaannya yang berlangsung secara liat dan
menyayat perasaan. Di sini lain, peringatan ini menjadi kewajiban bagi
militer.

Surat Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto
bertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) menetapkan tanggal 1
Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati Angkatan
Darat. Pada 24 September 1966, Menteri/ Panglima Angkatan Kepolisian
mengusulkan supaya hari itu diperingati seluruh jajaran Angkatan
Bersenjata.Itu sebabnya keluar Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan
dan Keamanan yang juga dijabat Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966),
bertanggal 29 September 1966, agar hari itu diperingati “seluruh
slagorde Angkatan Bersenjata”.

Menurut aturan tertulis, sesungguhnya tidak ada keharusan presiden,wakil
presiden dan ketua lembaga tinggi negara lain serta para menteri
menghadiri acara tersebut, walaupun pada masa pemerintahan Jenderal
Soeharto ini seakan seremoni wajib. Pada era Orde Baru,bendera dinaikkan
setengah tiang pada 30 September dan secara penuh esoknya. Kini,sebagian
besar masyarakat sudah tidak peduli kecuali instansi militer.

Bahkan orang mempertanyakan, enam jenderal dibunuh pada 1 Oktober 1965
dini hari, kenapa bendera berkabung dimajukan sehari sebelumnya. Mungkin
jalan keluarnya,bendera dipasang setengah tiang tanggal 1 Oktober pukul
06.00–12.00 dan dikibarkan penuh pukul 12.00- 18.00.Tetapi ini jelas
merepotkan. Penetapan, atau sebaliknya penghapusan, hari bersejarah
memang menjadi kebijakan politis suatu rezim. Semasa Soeharto berkuasa,
bukan hanya peringatan lahirnya Pancasila yang dilarang, tetapi juga
Hari Buruh, 1 Mei.

Ketika Awaluddin Djamin menjadi menteri tenaga kerja pada 1966, dia
belum berhasil menghapus acara kaum buruh itu karena serikat pekerja
cukup kuat.Namun hal ini baru tercapai setahun kemudian. Walaupun
reformasi telah berjalan 10 tahun, upaya menetapkan Hari Buruh sebagai
hari libur nasional belum tercapai sampai sekarang dan tidak ada satu
partai politik pun yang serius memperjuangkannya. Pada 1 Juni 1945
Soekarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila.

Sejak 1970 peringatan hari lahirnya Pancasila itu dilarang Kopkamtib
sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto. Pada diorama Monas, tatkala
dirancang sebelum 1965, terdapat diorama hari lahir Pancasila 1 Juni.
Ketika pembangunannya diselesaikan pada 1970, diorama itu dihilangkan.
Hampir tiga dekade kelahiran Pancasila tabu diperingati. Ternyata
larangan itu tidak mangkus lagi setelah era reformasi.

Peringatan Tahun 2008

Pada 2008 peringatan Kesaktian Pancasila dilakukan pada 30 September
2008 jam 24.00.Acara itu dimajukan karena tanggal 1 Oktober bertepatan
dengan Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan pada tanggal 30 September, seusai
salat magrib dan isya, biasanya umat Islam melakukan takbiran. Jadi
peringatan Kesaktian Pancasila diapit oleh dua ritual religius.Tentu hal
ini amat merepotkan.

Bila biasanya pada malam takbiran orang sudah berada di kampung halaman
atau sedang bercengkerama di tengah keluarga setelah sebulan berpuasa,
kini terpaksa pergi ke Lubang Buaya untuk melakukan upacara di tengah
malam buta. Di samping itu,terasa paradoksal karena malam takbiran
merupakan malam kemenangan bagi umat Islam setelah berjuang sebulan
penuh menahan hawa nafsu. Sementara itu, malam 30 September merupakan
malam kekerasan sekaligus kekalahan pahit bagi tentara nasional karena
demikian banyak perwira tinggi secara serempak hilang nyawanya tidak
dalam peperangan.

Tertangkapnya sekaligus enam orang jenderal dalam suasana damai
memperlihatkan bahwa fungsi intelijen militer lumpuh. Malam nahas 30
September 1965 itu jelas sangat menyakitkan, terutama bagi para keluarga
korban. Sejarawan senior Taufik Abdullah menjulukinya “Malam Jahanam”,
meminjam judul drama karya Motinggo Busye, walaupun sesungguhnya
malam-malam sesudah itu merenggut korban sekitar setengah juta manusia
Indonesia, tidak kalah “jahanamnya” dan jangan dilupakan.

Akhirnya, menurut hemat saya, sebagai jalan keluar dari upacara yang
bagaikan memakan buah simalakama, ada tiga opsi yang bisa dilakukan.
Pertama, menggeser peringatan tersebut bila dimaksudkan mengenang tujuh
pahlawan revolusi pada 10 November. Jenazah ketujuh orang itu telah
dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965. Semuanya
sudah diangkat sebagai pahlawan nasional. Karena itu selayaknya mereka
dikenang bersamaan dengan pejuang lainnya justru pada peringatan Hari
Pahlawan.

Kedua, bila aspek kehebatan Pancasila yang ingin ditonjolkan lebih tepat
bila upacara tersebut digabungkan dengan peringatan lahirnya Pancasila,
tiap 1 Juni.Ketiga, seandainya ingin tetap mempertahankan tempat dan
tanggal yang sama (1 Oktober di Lubang Buaya), seyogianya acara itu
dipimpin oleh Panglima TNI, bukan oleh Presiden, sesuai dengan Keputusan
Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto
tertanggal 29 September 1966.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/273032/

Prestasi Ekonomi dan Korupsi

Prestasi Ekonomi dan Korupsi

Nasib upaya pemberantasan korupsi, yang kini di ujung tanduk, sungguh
ironis di tengah derasnya pujian dunia terhadap Indonesia di bidang
ekonomi. Pemerintah seharusnya mementingkan keduanya. Prestasi ekonomi
yang dicapai pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan tidak
mungkin akan remuk jika korupsi kembali tak terjamah seperti pada masa
Orde Baru.

Pengakuan dunia atas kinerja ekonomi Indonesia setidaknya tecermin pada
pertemuan kepala negara yang tergabung dalam kelompok G-20 di
Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, akhir pekan lalu. Indonesia
satu-satunya wakil Asia Tenggara di forum ini. Melihat komposisi 20
negara yang tergabung di dalamnya, peran kelompok ini sangat sentral.
Mereka mewakili dua pertiga populasi dunia dan lebih dari 80 persen
perekonomian dunia.

Dengan bergabung ke forum itu, kita punya peluang untuk turut
menciptakan tata perekonomian dunia yang lebih adil dan seimbang,
seperti selalu didengungkan oleh pemenang Nobel ekonomi, Joseph E.
Stiglitz. Soalnya, lebih dari tiga dekade dunia hanya dikendalikan oleh
segelintir negara industri maju yang tergabung dalam kelompok
G-8--sebagian besar dari Eropa, hanya Jepang satu-satunya wakil Asia.

Di tengah ketimpangan itu, negara-negara berkembang akhirnya hanya bisa
menelan pil pahit ketika krisis keuangan global menjalar dari
negara-negara maju. Beruntung Indonesia bisa lolos dari jerat krisis.
Bersama Cina dan India, Indonesia termasuk negara yang masih menikmati
pertumbuhan ekonomi positif. Perekonomian nasional tahun ini ditaksir
tumbuh 4,3 persen, tahun depan bahkan diperkirakan mencapai 5,5 persen.

Wajar jika Indonesia, bersama Cina, India, dan Brasil, kini dilibatkan
dalam kelompok G-20 sebagai kekuatan ekonomi baru. Pujian pun
berhamburan. Senator John Kerry, mantan kandidat Presiden Amerika yang
dikalahkan George W. Bush lima tahun yang lalu, bersama ratusan pebisnis
dan politikus memberikan /standing ovation/ setelah mendengarkan paparan
Presiden Yudhoyono di Boston, sehari setelah forum G-20 berakhir.

Pujian serupa datang dari pakar manajemen top dunia, Kenichi Ohmae.
“Saya kira sebuah kesalahan besar jika Jepang tidak melirik pasar
domestik Indonesia,” kata Ohmae, yang juga pencipta istilah
BRIIC--kekuatan ekonomi baru yang terdiri atas Brasil, Rusia, India,
Indonesia, dan Cina.

Membanjirnya sanjungan mudah-mudahan tak membuat pemerintah takabur.
Pengalaman masa lalu menunjukkan, keberhasilan pembangunan ekonomi
semata, tanpa disertai upaya pemberantasan korupsi, hanya akan
menghasilkan pertumbuhan semu. Di bawah pemerintah Presiden Soeharto,
ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh di atas 6 persen. Anak emas Bank
Dunia ini pun kala itu dielu-elukan media internasional sebagai satu
dari empat macan Asia.

Kini media terkemuka, /The Economist/, pun menempatkan Indonesia sebagai
negara yang memiliki prospek ekonomi bagus. Tapi perlu dicatat, peluang
emas yang terhampar di hadapan pemerintah Yudhoyono dalam lima tahun ke
depan, seperti ditulis majalah terkemuka itu, tentu baru bisa diraih
jika upaya pemberantasan korupsi yang selalu didengungkannya benar-benar
ditegakkan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/30/Editorial/index.html

Perppu, Wajah Otoriter Sebuah Rezim

Perppu, Wajah Otoriter Sebuah Rezim
Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana, MA Mantan anggota Komisi Konstitusi MPR


BANYAK orang sesungguhnya tidak memahami betul apa itu peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, atau yang populer dengan singerppu.
Pemerintah sendiri tampaknya juga tidak menghayati betul makna perppu
sehingga ada kesan perppu seenaknya diterbitkan.

Secara konstitusional, perppu memang produk hukum yang sah di negara
kita karena diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, perppu berada di
`peringkat ketiga', setelah UUD 1945 dan undang-undang (UU). Pasal 22
ayat (1) mengatakan, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Selanjutnya, ayat (2) menetapkan bahwa, "Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut."
Apabila perppu tidak disetujui DPR, menurut ayat (3), perppu itu harus
dicabut.

Dalam amendemen UUD 1945 yang berlangsung berturut-turut pada 1999
sampai 2002, Pasal 22 tidak diubah sedikit pun. Oleh para wakil rakyat
di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), isi Pasal 22 UUD 1945 yang asli
`disalin' seluruhnya ke dalam UUD 1945 hasil amendemen 1999-2002.

Perhatikan secara cermat kata-kata `Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa', yang terdapat pada ayat (1) Pasal 22 UUD 1945. Itulah syarat
utama bagi pemerintah untuk bisa mengeluarkan perppu. A contrario,
pemerintah tidak boleh, atau dilarang konstitusi, untuk menerbitkan
perppu manakala tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Apa arti, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa?" Menurut penjelasan
resmi UUD 1945, frase tersebut merupakan terjemahan dari
noodverordeningsrecht. Dalam bahasa hukum Amerika ini sama dengan konsep
`clear and present danger', situasi bahaya yang terang-benderang dan
memaksa. `Nood' mengandung arti bahaya, atau darurat. `Ordenen' berarti
mengatur, menyusun. Secara harfiah, `noodverordeningsrecht' bisa
diartikan peraturan hukum untuk mengatur keadaan bahaya/darurat. Menurut
Penjelasan UUD 1945, perppu perlu diadakan agar keselamatan negara dapat
dijamin pemerintah dalam keadaan yang genting.

Dengan demikian, logika penerbitan perppu bisa disusun sebagai berikut.
Pertama, ada situasi bahaya, situasi genting. Kedua, situasi bahaya ini
dapat mengancam keselamatan negara jika pemerintah tidak secepatnya
mengambil tindakan konkret. Ketiga, karena situasinya amat mendesak,
dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya; sebab jika peraturan yang
diperlukan untuk menangani situasi genting itu menunggu mekanisme DPR
memerlukan waktu lama. Oleh sebab itu, keempat, menyimpang dari prosedur
penyusunan UU yang normal, pemerintah diberikan kewenangan untuk segera
menerbitkan perppu, mem-bypass DPR.

Karena sifatnya yang sangat luar biasa ini, pemerintah mestinya ekstra
hati-hati sekali dengan masalah perppu. Dalam sistem demokrasi,
`senjata' perppu tidak boleh sering-sering diobral, kalau tidak terpaksa
sekali. Sistem demokrasi mengajarkan setiap kebijakan publik harus
dibuat rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di DPR. Rakyat juga
yang mengawasi pelaksanaan kebijakan publik tersebut. Dalam konteks
Indonesia, proses penyusunan UU dilakukan secara bersama oleh DPR dan
pemerintah. Perppu merupakan produk hukum yang sama sekali mengabaikan
keterlibatan wakil wakil rakyat.
Maka, sifatnya Maka, sifatnya otoritarian.
Toh, langkah ini bisa dibenarkan manakala memenuhi dua ketentuan pokok,
yaitu (a) keadaan bahaya/genting, dan (b) keadaan bahaya itu dapat
mengancam keselamatan negara manakala tidak segera diambil tindakan
konkret. PA Perppu dan pemerintah Rezim Orde Baru sering dikatakan rezim
otoriter atau represif. Namun, dari perspektif perppu, Soeharto bukan
penguasa otoritarian. Selama 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto,
ternyata, hanya, mengeluarkan empat perppu, berturut-turut pada 1969,
1984, 1992, dan 1997.
Pemerintah Habibie yang cuma berumur 18 bulan hanya menerbitkan 1 satu
perppu, yakni Perppu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Setelah itu, Presiden Gus Dur mengeluarkan tiga perppu; sedang
Presiden Megawati 2 perppu saja: Perppu No 1 Tahun 2002 dan Perppu No 2
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kedua perppu
itu betul-betul dikeluarkan karena ada keadaan bahaya yang mendesak
sekali, setelah Indonesia dan dunia internasional diguncang ledakan Bom
Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 jiwa manusia.

Bagaimana dengan pemerintah SBY? Selama lima tahun memerintah, SBY
diam-diam sudah menerbitkan 18 perppu. Luar biasa! Jika dikaji secara
cermat, sebagian besar perppu tersebut sesungguhnya tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Masalah kehutanan, otonomi
daerah, `pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia. Semua
`diperppukan'. Aneh sekali. Di mana urgensinya? Di mana keadaan
bahayanya? Benarkah perppu-perppu tersebut diterbitkan karena tatkala
itu keselamatan negara betul-betul terancam? Untuk membentuk Lembaga
Penja min Simpanan (LPS) saja pun dipakai perppu (Perppu No 3 Tahun
2008). (Perppu No 3 Tahun 2008). Menarik disimak bahwa Perppu No 3 Tahun
2008 tenang LPS ditanda tangani 13 Oktober 2008. Pada hari yang sama
Presiden juga me ngeluar kan Perppu No 2 Tahun 2008 tentang erubahan
Kedua UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Hari-hari itu, Oktober
2008, merupakan hari-hari nahas bagi TA AREADI Bank Century. Apakah
penerbitan kedua perppu tadi memang dalam rangka `mengamankan' efek
ledakan Bank Century?
Terakhir (Perppu ke-18), sebelum berangkat ke Amerika untuk menghadiri
KTT G-20, Presi den Yudhoyono menandatangani Perppu No 4 Tahun 2009
tentang Perubahan atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Ko rupsi. Perppu ini jelas dikeluarkan sehubungan dengan
ditersangkakannya dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra
M Hamzah oleh Polri. Sesuai dengan ketentuan dalam UU No 30 Tahun 2002,
pimpinan KPK yang sudah berstatus tersangka harus dinonak tifkan.

Banyak pihak melihat penerbitan Perppu No 4 Tahun 2009 prematur, atau
sangat terburuburu, bahkan terkesan dipaksakan. Di mana aspek
`noodverordenings' atau `clear and present danger'-nya? Pertama, tuduhan
terhadap Chandra dan Bibit yang menyebabkan mereka jadi tersangka
sesungguhnya masih debatable. Apa yang dituduhkannya? Penyimpangan
terhadap kewenangan pejabat publik? Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi,
Mahfud MD, masalah itu menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menerima suap dari Anggoro? Bibit Rianto dalam jumpa pers Minggu, 27
September, membantah secara kategorial.
Ia bahkan berani disumpah apa pun bahwa ia tidak menerima satu sen pun
dari Anggoro.
Lucunya lagi, Antasari juga membantah telah memerintahkan Ary Muladi
untuk memberikan uang Rp1 miliar kepada Chandra M Hamzah, padahal
menurut Susno, tuduhan terhadap Chandra berdasarkan testimoni Antasari.
Atau terlibat dalam kasus korupsi alih fungsi hutan Tanjung Api-Api?
Menyadap telepon pewira polisi yang dinilai bukan kewenangan KPK?
Kedua, KPK sebetulnya tetap bisa berfungsi dengan hanya dua pimpinan,
kalaupun Chandra dan Bibit memang cukup bukti melakukan tindak kejahatan
untuk dijadikan tersangka.
Ketiga, kalau memang KPK dianggap bakal berjalan terseok-seok dengan
dipimpin dua orang, proses pencarian dan penggantian pimpinan lain yang
kosong bisa dilakukan secara normal, yakni lewat mekanisme DPR. Sekali
lagi, kita tidak melihat adanya unsur clear and present danger bagi
presiden untuk menerbitkan sebuah perppu! Alangkah lebih tepat jika SBY
mengeluarkan perppu untuk menunjang keberadaan Pengadilan Tipikor karena
DPR yang sekarang dipastikan gagal meloloskan RUU tersebut. Jika SBY
memang serius memberantas korupsi, keberadaan KPK harus dijaga, bahkan
ditingkatkan. Caranya? Ya, lewat perppu mengingat DPR sejak awal tidak
serius meloloskan RUU ini, setelah sekian banyak anggota dan eks
anggotanya dijebloskan ke penjara oleh KPK.

Maka, kepada pemerintah, khususnya para ahli hukum di sekitar presiden,
kita minta supaya membaca secara teliti isi dan roh Pasal 22 UUD 1945
tentang Perppu. Tanpa memenuhi dua persyaratan pokok, perpu dengan
sendirinya batal demi hukum dan oleh sebab itu harus ditolak oleh DPR.

Perppu juga menjadi catatan buram bagi pemerintah SBY mengingat SBY
adalah sosok pemimpin yang sejak awal selalu mengangkat tinggi-tinggi
moto demokrasi dan reformasi.
Padahal, perppu merupakan cermin otoriter sebuah rezim! Dengan demikian,
terciptalah cognitive dissonance di benak masyarakat luas terhadap SBY.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/30/ArticleHtmls/30_09_2009_010_001.shtml?Mode=0

EDITORIAL MI - Netralitas Polisi

*Kita berharap pimpinan Polri tidak mempertaruhkan kredibilitas dan
integritas polisi hanya untuk melindungi kepentingan orang orang tertentu.*

POLISI sebagai bayangkara negara sedang diuji. Diuji kesetiaannya
sebagai pengawal kepentingan negara atau terjerumus menjadi pengawal
individu tertentu.

Sebagai bayangkara negara, semestinya polisi bersikap netral. Netralitas
itu amat penting karena polisi melakukan fungsi penyidikan, penahanan,
dan pemberkasan perkara.
Jika mudah diintervensi atau melakukan penyidikan atas dasar pesanan,
kredibilitas dan integritas polisi akan hancur berantakan.

Peringatan ini perlu kita ke tengahkan karena polisi sedang disorot. Di
satu pihak polisi menyidik dan telah menetapkan dua pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah
sebagai tersangka, tetapi di pihak lain KPK pun sedang menyelidik kasus
Bank Century yang disebut-sebut melibatkan pula Kabareskrim Polri Komjen
Susno Duadji.

Bibit dan Chandra telah dinonaktifkan dari KPK. Malahan kini sedang
dicarikan pengganti mereka melalui tim seleksi yang dibentuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita prihatin karena banyak suara miring kini dialamatkan ke polisi.
Suara minor itu justru mempertanyakan netralitas polisi dalam memeriksa
kasus pimpinan KPK. Selama Susno Duadji masih menjabat Kabareskrim, amat
beralasan publik meragukan objektivitas polisi. Alasannya Susno Duadji
diduga terlibat perkara yang tengah diperiksa KPK.

Gencarnya desakan agar Kapolri menonaktifkan Komjen Susno Duadji adalah
ekspresi kecintaan masyarakat terhadap polisi. Publik sedang respek
terhadap polisi setelah polisi mencatat prestasi gemilang menumpas
kawanan teroris. Jangan sampai polisi tergelincir kemudian diumpat
karena dinilai tidak objektif, tidak kredibel, dan tidak netral
menangani perkara pimpinan KPK.

Permintaan agar Kapolri menonaktifkan Komjen Susno Duadji adalah
permintaan yang logis dan wajar. Rumor tentang dugaan keterlibatan
perwira tinggi polisi bintang tiga itu dalam kasus Bank Century
berhembus amat kencang. Ini yang perlu diklarifikasi, baik oleh internal
polisi melalui Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) maupun oleh Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau bahkan KPK.

Jika kelak Susno Duadji terbebaskan dari berbagai dugaan dan tuduhan,
dia berhak atas rehabilitasi namanya dan dikembalikan ke posisinya
sebagai Kabareskrim Polri.

Kita tahu Susno Duadji telah menjelaskan posisinya dalam kasus Bank
Century. Dia tidak menerima uang. Tapi penjelasan melalui pers bukanlah
klarifikasi hukum karena hukum memiliki postulat sendiri.

Bibit dan Chandra telah berulang kali menjelaskan alasan KPK menerbitkan
dan mencabut cekal terhadap Anggoro Wijaya dan Djoko Tjandra, tetapi
mereka tetap dijadikan tersangka penyalahgunaan wewenang. Artinya,
penjelasan melalui pers bukanlah absolusi atau pengampunan seseorang
dari kasus hukum.

Dengan tetap menjunjung tinggi praduga tak bersalah, kita berharap
pimpinan Polri tidak mempertaruhkan kredibilitas dan integritas polisi
hanya untuk melindungi kepentingan orang-orang tertentu.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/29/ArticleHtmls/29_09_2009_001_011.shtml?Mode=0

Sejarah dan Tirani Modal

*Baskara T Wardaya*

Jika kita termasuk orang yang berpikir, sejarah hanya urusan masa lalu,
mungkin kita perlu berpikir ulang.

Mengapa? Karena sebagaimana diketahui, tiap dinamika sosial merupakan
rangkaian diskontinuitas, juga kontinuitas. Suatu peristiwa sejarah yang
terjadi pada masa lalu memang tak akan terulang. Meski demikian,
pola-pola dalam peristiwa itu bisa terulang kembali. Itu sebabnya orang
sering mengatakan, sejarah berulang. Bukan peristiwa, tetapi pola yang
berulang (Sartono: 1993).

Meski suatu peristiwa terjadi pada masa lalu, dampak atau konsekuensinya
bisa berlangsung hingga kini, bahkan pada masa depan. Hal ini terutama
berlaku untuk peristiwa-peristiwa kemanusiaan luar biasa pada masa lalu
meski ada berbagi upaya untuk melupakannya.

Misal, tragedi 1965. Tragedi itu merupakan peristiwa kemanusiaan luar
biasa. Banyak upaya dilakukan dengan maksud mendistorsi atau jika perlu
menghapusnya dari ingatan. Kalaupun dinarasikan, alur cerita dibuat
sederhana: ada tujuh jenderal militer yang pada 1 Oktober 1965 dibunuh
secara keji oleh Gerakan 30 September yang dikendalilan Partai Komunis
Indonesia. Karena itu, sudah sewajarnya jika setengah juta anggota
partai itu dibantai dan dipenjarakan secara massal.

Narasi sederhana seperti itu mudah ditangkap, tetapi sebenarnya
menyisakan banyak segi yang menuntut kajian hukum, kemanusiaan, moral,
etika politik, sejarah, ekonomi, dan lainnya. Singkat kata, atas
peristiwa itu dibutuhkan kajian-kajian multiperspektif.

*Masih terulang*

Kajian-kajian multiperspektif penting agar pemahaman tentang suatu
peristiwa sejarah bisa menyeluruh. Tanpa pemahaman memadai, bisa-bisa
kita beranggapan, korban tragedi 1965 hanya mereka yang dibunuh dan
dipenjarakan saat itu. Padahal, sebenarnya yang menjadi korban adalah
seluruh bangsa. Mengapa? Karena peristiwa 1965 menyangkut masalah yang
lebih kompleks daripada narasi itu.

Selain pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal sesama warga,
tragedi 1965 juga masalah pembelokan arah sosial-politik dan ekonomi
Indonesia. Sebelum tragedi itu terjadi, dinamika sosial-politik dan
ekonomi Indonesia berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing.
Setelah itu, berubah menjadi elitis, militeristik, dan amat promodal
asing. Lahirnya UU Penanaman Modal Asing dan kebijakan ekonomi promodal
luar negeri yang dipelopori sekelompok ekonom adalah salah satu
contohnya. Sejak tragedi 1965, Indonesia kian terintegrasi ke dalam
sistem kapitalisme global, dan tahu-tahu merasa ”nyaman” ada dalam
pelukan neoliberalisme yang mematikan.

Sejak tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari subyek menjadi
obyek, yakni obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri.
Di bawah Orde Baru rakyat dipandang tak lebih dari ”massa mengambang”
yang hanya dibutuhkan menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia
dengan kekiritisannya mampu bersikap resisten terhadap kekuatan modal
yang ingin mengebawahkan hajat hidup orang banyak, setelah tragedi 1965,
yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi penguasa, status rakyat
digeser menjadi ”pasar” yang perlu terus dimanipulasi dan dieksploitasi.

Seiring kian derasnya modal asing masuk Indonesia, banyak pejabat dan
pengusaha dalam negeri berganti peran menjadi ”kolaborator” yang taat,
yang tak jarang mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan
diri dan pemilik modal asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang
bengis dan tak kenal ampun. Ia makin jauh merasuk ke berbagai aspek
kehidupan, baik aspek ekonomi, politik, relasi sosial, agama,
pendidikan, administrasi pemerintahan, maupun aspek-aspek lain.

Korupsi merajalela, kolusi menjadi praktik jamak, dan nepotisme menjadi
gejala yang seakan sulit diberantas. Ketidakpuasan atas hasil pemilu
belum lama ini, berikut tarik ulur kepemimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan pertanyaan publik soal triliunan rupiah yang digelontorkan
untuk sebuah bank swasta hanya beberapa contoh kasus aktual. Sementara
itu, tampaknya kita dibuat makin cenderung menjadi bangsa konsumen yang
lebih suka mengimpor hasil kerja bangsa lain daripada berpikir keras dan
memproduksinya sendiri.

Dengan demikian, menjadi tampak, sebuah peristiwa sejarah tidak hanya
berhenti pada masa lalu. Pembunuhan massal seperti yang terjadi pada
1965 mungkin sudah tidak terjadi lagi. Namun, pola-pola kekuasaan
politik dan ekonomi yang cenderung mengorbankan kepentingan rakyat masih
terulang. Itu sebabnya di satu sisi kita tidak boleh terbelenggu masa
lalu, tetapi pada sisi lain kita tidak boleh malas untuk terus belajar
dari pengalaman kolektif sebagai bangsa.

*Penentu utama*

Berdasarkan pengalaman kolektif bangsa itulah kita didorong untuk terus
mencari terobosan guna menemukan penyebab aneka persoalan yang kita
hadapi masa kini dan mencari berbagai kemungkinan jalan keluarnya bagi
masa depan. Diperlukan penelusuran historis tentang bagaimana modal
asing yang semula selalu ditanggapi dengan sikap kritis, lalu menjadi
mulus dan mendominasi Indonesia.

Juga diperlukan analisis perkembangan selanjutnya, di mana modal asing
begitu deras mengalir masuk, sementara utang luar negeri terus
meningkat. Perlu dicari pemikiran-pemikiran baru untuk membebaskan
rakyat Indonesia dari tirani modal. Upaya pembebasan itu penting agar
bukan lagi modal yang menjadi tiran penentu kepentingan rakyat, tetapi
rakyatlah yang menjadi penentu utama kehidupan bersama sebagai
negara-bangsa.

/Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep)
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04560019/sejarah.dan.tirani.modal

Beratnya (Dituduh) Membuat Senjata Nuklir

LAPORAN IPTEK
Beratnya (Dituduh) Membuat Senjata Nuklir


*NINOK LEKSONO*

Melihat pengalaman Iran sekarang ini, dalam kaitan dengan program
nuklirnya, orang bisa geleng-geleng kepala, sambil bergumam, ”Alangkah
repotnya punya program nuklir.” Menulis ”alangkah repotnya punya program
senjata nuklir” tentu lebih spesifik, tetapi Iran bisa membantahnya.
Selama ini Iran memang bersikukuh bahwa program nuklirnya adalah untuk
maksud damai—jadi untuk menghasilkan tenaga listrik. Namun, Barat,
khususnya AS, juga bersikukuh bahwa program tersebut ditujukan untuk
pembuatan senjata.

Secara fisik, program pengembangan senjata nuklir secara garis besar
bisa dipilah menjadi dua komponen besar. Yang pertama adalah untuk
menghasilkan bahan bom dan yang kedua adalah untuk menyiapkan wahana
pelontaran. Untuk yang terakhir ini Iran juga telah memperlihatkan
pencapaian.

Seperti kita baca beritanya, Minggu (27/9) malam dan Senin lalu, Iran
menguji rudal dengan jangkauan paling jauh yang dimilikinya. Rudal
Shahab-3 dan Sejil-2 seperti diklaim oleh pejabat Iran bisa menghantam
Israel, bagian-bagian Eropa, dan pangkalan-pangkalan AS di Teluk.

Menurut catatan, rudal Shahab-3 punya jangkauan 1.250-2.000 kilometer
(IHT, 29/9). Sementara bagian barat Iran berjarak sekitar 1.000
kilometer dari Tel Aviv.

Menurut Press TV, saluran TV Iran berbahasa Inggris, kedua rudal itu
dengan akurat mengenai sasaran yang ditetapkan. Berarti di bidang wahana
pelontaran, seandainya benar-benar ingin mengembangkan senjata jarak
jauh, Iran telah menguasai teknologinya.

Dewasa ini, wahana pelontaran merupakan komponen fundamental dalam
sistem persenjataan nuklir. Buat apa bisa membuat bom nuklir kalau tak
punya sarana pelontarnya? Memang ada alternatif untuk melontarkan
senjata nuklir ke sasaran, yaitu dengan menggunakan pesawat pengebom.
Namun, ini bagi Iran akan lebih sulit karena tak punya pengebom yang
berkemampuan khusus untuk mengangkut dan melontarkan bom nuklir,
sebagaimana pengebom B-1B atau B-2 di arsenal AS atau Tu-160 Blackjack
milik Rusia.

Rudal, meski juga rawan oleh serangan lawan, dianggap masih lebih aman.
Namun, pengembangannya juga amat sulit. Karena itu, para insinyur Iran
harus menguasai teknologi rudal balistik, yang antara lain meliputi
propulsi atau mesin roket dan sistem pengarah.

Kini negara yang ingin mengembangkan kemampuan peroketan yang
teknologinya bersifat ganda—bisa untuk sipil maupun militer—juga
terganjal oleh aturan pelarangan yang ditegakkan oleh negara-negara
Barat mulai tahun 1987, yang dikenal sebagai Rezim Pengawasan Teknologi
Rudal (Missile Technology Control Regime). Pengembangan teknologi
peroketan dibatasi untuk yang berjangkauan hampir 300 kilometer.

*Bom dan hulu ledak*

Komponen senjata nuklir yang tidak kalah krusial tentu saja adalah hulu
ledak atau bom nuklirnya sendiri.

Iran disebut telah membuat fasilitas pengayaan nuklir di Natanz. Seperti
diketahui, uranium yang ada di alam tidak dapat digunakan sebagai bahan
bakar bom karena tidak memiliki sifat radioaktif. Agar bisa sangat
radioaktif, ia harus ”direkayasa” dengan fasilitas dan mesin khusus
seperti sentrifuga.

Barat menuduh, aktivitas nuklir Iran untuk menghasilkan uranium ”murni”,
yang memadai untuk digunakan sebagai bahan bakar bom. Di sini,
persentase Uranium-235 yang radioaktif sudah 9 persen atau lebih. Dalam
jumlah tertentu, yang dalam ilmu fisika nuklir disebut sebagai ”massa
kritis”, pada bahan ini akan bisa berlangsung reaksi berantai nuklir.
Pada pembangkit listrik nuklir, reaksi berantai dikendalikan sehingga
panas yang diperoleh secukupnya saja untuk menghasilkan uap, yang
digunakan untuk menggerakkan turbin. Pada bom nuklir, reaksi berantai
dibiarkan berlangsung tanpa kendali, menghasilkan energi yang luar biasa
besar.

Mendesain bom yang bisa dipasang di pucuk rudal—yang sering disebut
sebagai hulu ledak—bukan persoalan mudah. Kini, perdebatan berlangsung
seru antara intelijen Amerika, Israel, dan Jerman menyangkut kemampuan
Iran merancang hulu ledak (”Nuclear Debate Brews: Is Iran Designing
Warheads”, NYT, 28/9).

Menurut AS, Iran sudah menghentikan perancangan hulu ledak tahun 2003
walaupun negara ini kemudian menginginkan bom nuklir. Sementara Israel,
dan lebih-lebih Jerman, menilai Iran terus bekerja untuk merancang hulu
ledak. AS mendasarkan temuan intelijen setelah menerobos jaringan
komputer Iran dan mendapat akses ke komunikasi internal pemerintah
negara itu.

Temuan intelijen berbeda-beda meski pada umumnya sarana yang dipakai
sama, yakni kombinasi citra satelit, mata-mata manusia, dan penyadapan
elektronik.

*Terus dikejar*

Setelah tidak menemukan bukti mengenai pengembangan senjata pemusnah
massal di Irak (yang dijadikan sebagai alasan untuk menyerbu negara ini
tahun 2003), AS kini sedang meningkatkan tekanan terhadap Iran dan juga
Korea Utara untuk menyudahi program nuklir keduanya.

Kini Korut telah membuktikan kepada dunia, ia bisa membuat bom nuklir
dan punya kemampuan di bidang pelontaran, seperti diperlihatkan oleh
rudal jarak jauh Taepodong-2. Iran kini juga sudah punya rudal Shahab-3,
tetapi belum bisa memperlihatkan kemampuan uji nuklir.

AS, yang penuh keyakinan bahwa Iran memang sedang mengembangkan senjata
nuklir, tampaknya akan menggunakan berbagai cara untuk menjepit negara
itu agar menghentikan program nuklirnya.

Iran sendiri, meski bersikukuh mengklaim programnya untuk tujuan damai,
sebenarnya punya alasan hakiki untuk mengembangkan senjata nuklir karena
kuasa utama di Timur Tengah yang potensial menjadi lawannya, yakni
Israel, diyakini punya 200 bom nuklir dan pelontarnya, yakni Jericho-2
(dan 3).

Israel yang mengembangkan senjata nuklir diam-diam tak pernah disebut
melanggar hukum internasional. Sementara Iran dan Korut yang bisa
dikatakan mengikuti jejak Israel harus berurusan dengan polisi dunia.
Itu sebabnya kita beri judul kolom ini ”Beratnya Membuat Senjata Nuklir”.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03065091/beratnya.dituduh.membuat.senjata.nuklir

Sejarah Partisipatoris

Sejarah Partisipatoris



*Armada Riyanto*

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang ”menyejarah”. Artinya, manusia adalah
pencipta sejarahnya.

Namun, sudah cukup lama sejarah seolah menjadi sebuah ”laporan politis”
sebuah rezim. Narasi historis disistematisasi, dimanipulasi, dan
diterminologisasi untuk sebuah kekuasaan. Sejarah lalu berubah menjadi
indoktrinasi.

Begitulah. Ihwal peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) telah lama
diktum historisnya digandengkan dengan kudeta PKI dan aneka bentuk
kutukan hidup manusia hingga saat ini.

*Jatuh bangun bangsa*

”Laporan politis” mengabdi kekuasaan. Sebuah kesadaran sejarah akan
peristiwa ”jatuh bangun bangsa” mengabdi kemanusiaan. Jika yang pertama
mengedepankan indoktrinasi, yang kedua melakukan studi dan mengajukan
pertanyaan.

Siapakah korban G30S? Kita tahu, korban bukan hanya para jenderal,
tetapi juga ribuan bahkan konon sampai jutaan nyawa manusia. Para
jenderal telah menjadi Pahlawan Revolusi, sementara korban lain hingga
kini tak dikenal. Bagi keluarga korban, mulut pun masih membisu jika
menyebut namanya.

Para ahli sejarah umumnya sepakat, peristiwa G30S merupakan sebuah
”tragedi kemanusiaan terbesar” bangsa kita. Ranah tragedinya bukan hanya
pada fakta pembasmian massa secara ngawur maupun sistematis terhadap
mereka yang dikategorikan PKI dan ”antek-anteknya”, tetapi juga terhadap
para peselamat dan keluarganya.

Jika melihat sejarah G30S dari perspektif korban, kita akan memiliki
narasi kisah-kisah luar biasa. Keteguhan, cinta, kekokohan, episode
dramatis penindasan dan ketahanan diri yang mengharukan campur baur
menjadi satu. Simak bagaimana Pulau Buru yang selama puluhan tahun
menjadi wilayah terkutuk telah berubah menjadi sebuah pulau ”gudang beras”.

Simak juga bagaimana Gerwani (salah satu sayap PKI) diberitakan dalam
harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha sebagai wanita-wanita bejat
moral karena menyiksa secara keji para Pahlawan Revolusi. Namun, menurut
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan yang diketemukan, para
jenderal wafat karena luka tembak dan tusukan bayonet (tidak dijumpai
penyiksaan keji seperti dituduhkan kepada Gerwani). Tidak seorang pun
berani menulis tentang kebenaran ini hingga Ben Anderson memublikasikan
artikel ”How did the Generals die?”; dan itu pun baru terjadi tahun 1987
(Intisari, September 2009, 126).

Ini berarti laporan sejarah bagaimana para pahlawan kita dibunuh
(seperti jelas disaksikan dalam film yang diputar berulang-ulang selama
puluhan tahun) terkesan mengada-ada. Kepahlawanan mereka tak terkurangi
sedikit pun oleh cara bagaimana mereka disiksa. Namun, aneka tuduhan
yang memicu kemarahan massa terhadap Gerwani dan lainnya kini memiliki
kebenaran yang problematis.

Saskia E Wieringa melakukan penelitian secara ekstensif atas Gerwani.
Temuannya mengejutkan: Gerwani ternyata sebuah gerakan perempuan yang
mendeklarasikan kemandirian dan komitmen tinggi pada prinsip-prinsip
moral serta merupakan organisasi pertama di Indonesia yang menolak tegas
poligami.

Majalah Intisari menyebut kesalahpahaman tragis pelaporan penganiayaan
para Pahlawan Revolusi sebagai ”kesalahan media” (hal 122-129). Namun,
Pierre Bourdieu mengatakan, media massa bukan sekadar ”alat komunikasi”,
tetapi ”alat kekuasaan”. Maksudnya bahasa komunikasi massa bukan sekadar
menyampaikan informasi, tetapi juga mempropagandakan ideologi. Dan,
aneka fenomena selanjutnya tidak sulit dibayangkan, Gerwani dan siapa
pun yang pernah terlibat komunisme harus dilenyapkan.

*Partisipatoris*

Partisipatoris berarti membebaskan. Sejarah dalam ranah pengalaman
eksistensial manusia bukan peristiwa masa lampau yang sudah selesai.
Sejarah adalah kisah hidup yang mengukir rasionalitas dan pasionitas.
Sejarah adalah kisah yang berbicara saat ini dan masa depan.

Konstruksi sejarah yang ”membebaskan” adalah yang memberi ruang
seluas-luasnya kepada narasi-narasi partisipatoris pengalaman hidup para
korban, peselamat, dan keluarganya. Selain itu, ruang diberikan juga
kepada para pelaku, yang memiliki perspektifnya sendiri dan konon kerap
”terbangun” dari tidurnya oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya.

Hingga kini hampir mustahil kita mendengarkan pahit getirnya perjuangan
keluarga korban. Nama-nama korban yang terbunuh bukan saja lenyap dari
makam (saat itu jenazah dibuang di sungai atau dibakar), tetapi juga
kerap hilang dari ingatan kasih doa anak dan cucu mereka. Dan, tak satu
pun dari kita, tetangga, berminat menanyakan dan mengingat kebaikannya.

Sementara itu, para peselamat yang sehabis masa tahanan penuh
penderitaan dan penghinaan berjuang hidup. Itu pun terasa sulit dan
sering menyakitkan sebab tetangga sudah keburu menghukum mereka dan
mengasosiasikannya dengan komunis, tak bertuhan, tak bermoral.

Sejarah partisipatoris G30S mengandaikan ketajaman nurani bahwa bangsa
ini pernah jatuh di lubang dalam kesalahpahaman antartetangga dan
antarkerabat hingga lenyap sia-sia jutaan nyawa saudara-saudari sendiri.
Kepiluan tragedi ini jika dilucuti dari ”laporan politis” penguasa
kiranya akan mencairkan kebekuan hati untuk bersedia mendengarkan keluh,
tangis, cemas, dan harapan para korban, peselamat, dan keluarga mereka.
Sebab, mereka pun dilahirkan di tanah ini, pernah berjuang untuk negeri
ini, dan berhak hidup damai di bumi ini.

Sejarah yang membebaskan terjadi ketika narasi tangis dan cemas mereka
adalah juga tangisan dan kecemasan nurani kita. Mungkinkah sejarah itu
partisipatoris? Mengapa tidak?

/Armada Riyanto CM Guru Besar Filsafat Politik dan Ketua STFT Widya
Sasana, Malang
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04542318/sejarah.partisipatoris

*Isu Politik Orang Hilang*

*Isu Politik Orang Hilang*

Keputusan Rapat Paripurna DPR, 28 Oktober, soal sejumlah aktivis yang
masih hilang, menarik perhatian publik di tengah isu-isu politik lainnya.

Dalam putusannya, DPR mendesak pemerintah mencari kejelasan nasib 13
orang yang dinyatakan masih hilang oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. DPR pun mendesak pemerintah mencari siapa yang bertanggung
jawab dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Para aktivis itu hilang
dalam periode 1997-1998.

Putusan DPR itu terasa mendadak karena diputuskan dua hari sebelum DPR
2004-2009 mengakhiri tugasnya, 30 September 2009. Karena mendadak itu
pulalah, muncul banyak prasangka dan dugaan politik di balik putusan itu.

Masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia adalah problem rumit
dan sulit dalam proses transisi demokrasi di banyak negara, termasuk
Indonesia. Isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu telah menjadi isu
politik yang tak kunjung selesai, bahkan terkesan dipelihara untuk
dijadikan komoditas politik. Isu itu timbul tenggelam tergantung situasi
dan iklim politik yang melingkupi. Saling bantah dan saling lempar
tanggung jawab di antara lembaga selalu menyertainya.

Timbul tenggelamnya isu hak asasi manusia yang sering berkembang menjadi
isu politik dan ditiupkan untuk kepentingan politik terjadi karena
memang masalah itu nyata dan memang belum terselesaikan. Dalam diskursus
hak asasi manusia status hilangnya aktivis—tanpa ada kejelasan meninggal
atau masih hidup—merupakan kekerasan berkelanjutan.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa Afrika Selatan telah mampu
menyelesaikan problem masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang dipimpin Uskup Desmond Tutu serta pengaruh
kepemimpinan Nelson Mandela. Di negara Amerika Latin, seperti Argentina
dan Cile, problem pelanggaran hak asasi manusia masa lalu juga telah
mampu mereka lewati.

Kita memang belum berhasil menemukan pola penyelesaian. Ada jalan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi diambil, tetapi eksistensi lembaga itu mati
sebelum lahir. Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Jalur
pengadilan ditempuh, tetapi banyak terdakwa yang bebas. Sulitnya
ditemukan bukti hukum dan tafsir yang berbeda mengenai definisi
pelanggaran HAM berat dijadikan alasan hakim untuk membebaskan terdakwa.

Kita berharap putusan DPR ini disikapi secara arif oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Keputusan memang harus diambil untuk menyelesaikan
problem hak asasi manusia masa lalu dan agar kita tak terus tersandera
oleh masa lalu. Kepentingan keluarga korban harus menjadi titik
perhatian utama penyelesaian kasus itu.

Memberikan kejelasan nasib orang yang masih hilang serta pemberian
rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban tentunya merupakan
salah satu langkah bijak yang bisa dilakukan pemerintah.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04570972/tajuk.rencana

Ketika Mal Mengumbar Hiburan

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 10.06

Ketika Mal Mengumbar Hiburan
Bagi pengunjung, tidak ada mal yang ideal. Selera mereka berubah
sangat cepat.

Libur panjang berarti mal bagi kebanyakan orang, bahkan keluarga.
Tengok saja padatnya mal di pusat hingga pinggiran kota. Veronica
Siska, 38 tahun, adalah salah satu pengunjung setia bersama
keluarganya. Ia mempunyai alasan sederhana. "Sekali datang, semua
kebutuhan terpenuhi," kata ibu dua anak ini.

Di mal memang ada restoran, toko buku, toko mainan, salon, bioskop,
tempat olahraga, dan kedai kopi arena nongkrong. Kebutuhan untuk
penampilan pun terpenuhi karena ada butik sepatu, busana, sampai gerai
kosmetik. Meski dengan aneka fasilitas, mal-mal terus berbenah diri,
bahkan berganti nama karena beragam alasan, salah satunya karena
pemiliknya baru, seperti Mega Mal Pluit menjadi Pluit Village setelah
grup Lippo mengambil alih.

Grup Lippo juga tengah merampungkan PX Pavilion @The St Moritz, yang
ditargetkan rampung pada 2010, dan akan memposisikan diri sebagai
arena yang mewakili gaya hidup masa kini dengan nilai investasi Rp 400
miliar. Berlokasi di Puri Indah, Jakarta Barat, rencananya di sini ada
Ranch Market, Emax Apple, toko buku, studio foto, dan restoran
berbagai menu dari Italia, Cina, Indonesia, Hainan, Jepang, dan
Thailand. Lantas ada pula kafe, lounge, pusat kebugaran, karaoke, dan
biliar.

Di BSD City, Teras Kota, yang didirikan oleh PT Deyon Resources, pun
menawarkan one stop entertainment. Mal yang bersinergi dengan Hotel
Santika ini menyebutkan dirinya sebagai pelengkap bagi mal di
sekitarnya. Konsepnya, food (gerai makanan atau minum), film (bioskop
Blitz cabang kelima), fit (pusat kebugaran), dan fun (aneka
permainan).

Tb. Dadi Sufiyadi, Manajer Umum Teras Kota, menyatakan bahwa pihaknya
pernah mengadakan riset terhadap 35 ribu responden untuk mengetahui
apa yang mereka lakukan di waktu senggang. Ternyata mereka menjawab,
mereka menuju pusat hiburan karena mau nonton di bioskop, makan,
nongkrong di gerai kopi, atau bermain game. Boleh dibilang mal ini
serupa tapi tak sama dengan Cilandak Town Square (Citos), hanya Citos
masih mempunyai pusat belanja, seperti Matahari, yang menyediakan
retail busana, swalayan, dan tempat dugem.

Arsitek Avianti Armand menyebutkan, sebagai pusat belanja, Citos
sukses diterima oleh pengunjung. "Tapi untuk mengantisipasi pasar yang
jenuh, diadakan ladies bazaar setiap Rabu. Jadi di sana tidak hanya
untuk tempat nongkrong, makan, atau belanja kebutuhan sehari-hari,
tapi juga ada pilihan yang terbaru," katanya.

Avianti menyatakan, tidak ada pengunjung yang loyal pada satu mal atau
pusat belanja. Tak mengherankan, butik Calvin Klein ada di Plaza
Indonesia, tapi buka di Pondok Indah Mall 2. Pembeli yang biasa beli
di Plaza Indonesia, mencari di Pondok Indah. Hal ini bukan karena
pembeli merek Calvin Klein banyak, tapi mereka lebih dimudahkan. "Maka
persaingan tempat perbelanjaan lebih mengemuka."

Arsitek yang merancang ruang Fpod di lantai 2 FX Sudirman ini memberi
saran agar setiap pusat belanja selalu membuat perubahan agar
pengunjungnya tidak lari. "Bagi pengunjung, tidak ada mal yang ideal.
Selera mereka berubah sangat cepat," kata penulis kumpulan cerita
pendek Negeri Para Peri ini.

Tidak mengherankan jika pihak mal kerap meminta gerai-gerainya
melakukan evaluasi desain dan wajah tokonya. Avianti pun kurang yakin
bila pengelola pusat belanja yang mengibarkan bendera pusat hiburan
atau gaya hidup akan bertahan. "Suatu saat akan mencapai
keseimbangannya sendiri, tidak hanya mengandalkan tempat makan,
bioskop, tapi juga selalu berubah mengikuti selera pengunjungnya." Ia
menambahkan, dalam pengembangannya, setiap mal atau pusat belanja akan
menemukan format yang paling sesuai.

Toh untuk setiap mal, terutama yang baru, ada saja andalannya. Misal,
bioskop masih menjadi ciri Teras Kota dan PX. Blitzmegaplex kelima
didirikan di Teras Kota. Menurut Manajer Pemasaran Blitzmegaplex Dian
Sunardi, sejak dibuka lima studio dari sembilan yang akan beroperasi,
jumlah pengunjung bioskop ini mencapai angka 1.600 orang. Angka yang
lumayan bila dibandingkan dengan cabang pertama di Jakarta, Grand
Indonesia, yang hanya mengumpulkan 300 orang sekali pertunjukan.

Lantas di antara mal-mal yang menjamur itu, mana yang paling ideal?
Avianti menyebut, dari sisi tata ruang yang ideal adalah Plaza
Senayan. "Lokasinya tidak terlalu besar dan tidak membuat kita
tersasar atau kecapekan berjalan." Namun, Anda mungkin punya pilihan
sendiri. EVIETA FADJAR

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/26/Gaya_Hidup/krn.20090926.177245.id.html

Ketika Upaya Pemberantasan Korupsi Dilumpuhkan

Ketika Upaya Pemberantasan Korupsi Dilumpuhkan

Yenti Garnasih, Dosen/Sekretaris Pusat Studi Hukum Pidana, FH
Universitas Trisakti

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tampaknya memang tidak
semulus mengendarai mobil di jalan tol. Pada saat kita sedang
memikirkan bagaimana menyelamatkan Pengadilan Tipikor, yang dibahas di
DPR yang juga tidak jelas nasibnya, "malah" muncul kontroversi tentang
Perpu Pelaksanaan Tugas KPK (berisi perubahan Pasal 33 Undang-Undang
KPK) dan tentang Tim Rekomendasi menyusul dinonaktifkannya tiga
anggota KPK. Tentu saja hal tersebut menuai berbagai kritik, yang pada
umumnya khawatir akan keberadaan KPK, yang berujung pada pelemahan
upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikornya, yang
selama ini dianggap berhasil. Memang ada pendapat yang menganggap
bahwa keluarnya perpu oleh Presiden tersebut sudah tepat, namun
sebagian besar kalangan menganggap perpu tersebut merupakan langkah
keberpihakan Presiden terhadap institusi kepolisian, dan perpu
tersebut dianggap terlalu dini serta sekaligus mempertanyakan komitmen
Presiden terhadap pemberantasan korupsi.

Tidak mengherankan bila kontroversi tersebut muncul, mengingat korupsi
begitu marak di Indonesia dan banyak pejabat yang terlibat, sehingga
ada kecurigaan apakah sedang terjadi upaya melindungi pihak-pihak
tertentu, melalui pelemahan yang kerap dinilai dilakukan secara
sistematis. Bila dilihat dari lahirnya berbagai peraturan terkait
dengan pemberantasan korupsi, sekilas tampak ada komitmen pemerintah
memberantasnya. Namun, apa yang terjadi, berbagai peraturan dan badan
antikorupsi yang dibangun justru sering kali digoyahkan serta
dilumpuhkan, yang dicurigai hanya demi kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai bahan perenungan betapa terjal upaya pemberantasan korupsi ini
tampak dari sejarah panjang pengaturan antikorupsi yang pernah ada di
bumi tercinta ini.

Dari berbagai regulasi dan badan antikorupsi yang silih berganti
dilahirkan, itu bukannya memperlihatkan kemauan kuat untuk
pemberantasan korupsi yang sudah parah, yang terbaca malah sebaliknya.
Seperti saat ini, selalu saja ada upaya pelemahan KPK, misalnya upaya
mengamputasi kewenangan melakukan penuntutan melalui RUU Pengadilan
Tipikor. Kriminalisasi terhadap anggota KPK juga terjadi dengan
ditetapkannya dua anggota KPK menjadi tersangka dalam kasus
pencengkalan buron Direktur Masaro, dan sebelumnya beberapa kali
dilakukan uji materi atas kewenangan KPK tersebut ke Mahkamah
Konstitusi, yang untungnya ditolak dan sekaligus dikuatkan oleh MK.

Kembali pada masalah yang sedang dihadapi sekarang. Banyak
dipertanyakan, sudah tepatkah landasan dikeluarkannya perpu tersebut
yang harus dikaitkan atas dasar adanya kegentingan yang memaksa. Dalam
konteks ini, alasan kegentingan yang dijadikan landasan adalah
prediksi bahwa KPK tidak akan berjalan apabila hanya dipimpin oleh dua
pimpinan KPK. Padahal, pada saat Antasari Azhar nonaktif, KPK masih
mampu menangani banyak kasus korupsi, dan pihak KPK pun menyatakan
mereka mampu melanjutkan tugas mereka. Mestinya keluarnya perpu
tersebut mempertimbangkan kondisi pemberantasan korupsi setelah
nonaktifnya tiga pimpinan atau adanya desakan masyarakat karena
praktek pemberantasan korupsi semakin melemah.

Keluarnya perpu tak pelak menimbulkan prasangka yang sangat subyektif
bahwa dengan dua pimpinan, KPK tidak mampu menjalankan agenda
pemberantasan korupsi, padahal belum tentu. Prasangka adanya
subyektivitas atas keluarnya perpu juga tidak terlepas dari "ulah "
Bareskrim, yang menetapkan dua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka.
Penetapan itu juga masih menuai kontroversi, yang mempertanyakan,
tepatkah kepolisian yang menangani perkara penyalahgunaan wewenang, di
manakah aspek tindak pidananya sehingga dua orang pimpinan KPK yang
diduga menyalahgunakan kewenangan terkait dengan pencekalan serta-
merta dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana. Lalu bagaimanakah
dengan masalah keterlambatan pencekalan yang sering terjadi dalam
kasus korupsi lainnya, misalnya kasus Adelin Lis, mengapa jaksa yang
terkait pencekalan itu tidak dipidanakan? Maka tidak mengherankan,
berkaitan dengan masalah ini, muncul beberapa tanggapan seperti dari
Mahfud Md., yang menyatakan pelanggaran yang dilakukan dua pimpinan
KPK adalah ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana, jadi bukan
kewenangan Polri. Bahkan kuasa hukum Candra Hamzah dan Bibit Samad
Rianto berencana melakukan praperadilan terhadap Polri.

Dengan berbagai tanggapan yang muncul atas kejanggalan yang dilakukan
Polri, yang sangat bersentuhan dengan keberadaan KPK dan kinerjanya,
mestinya pemerintah lebih arif dan hati-hati serta tidak menampakkan
sikap ketergesaan, yang menuai kecurigaan masyarakat. Alangkah baiknya
bila berbagai tanggapan dikaji secara mendalam dan Presiden menunggu
putusan pengadilan terhadap upaya praperadilan yang akan dilakukan
kalau memang konsisten bahwa negara ini dibangun atas dasar hukum
sebagai panglima. Selain membawa kesan bahwa Presiden membenarkan apa
yang dilakukan Polri, lebih membahayakan lagi bahwa hal ini akan
menjadi preseden buruk, yaitu akan banyak penegak hukum yang sedang
menjalankan tugas dianggap tidak berwenang dan dikriminalisasi.
Akibatnya, sebanyak apa pun badan antikorupsi dibentuk dengan segala
kewenangannya, badan itu akan terus ditumbangkan begitu saja oleh
Polri.

Sekarang perpu telah dikeluarkan, Tim Khusus Rekomendasi KPK telah
memulai masa kerjanya selama tujuh hari, maka harapan kepada
pemerintah adalah tetap bertindak adil dan menjunjung tinggi asas
equality before the law, yaitu meminta aparat penegak hukum secepatnya
juga menindaklanjuti kasus Bank Century. Sebab, akar permasalahan
ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka diduga atau
dicurigai adalah kasus penyadapan yang dilakukan KPK terhadap petinggi
Polri terkait dengan kasus Bank Century, dan tindakan Polri terhadap
keduanya adalah karena upaya balas dendam. Pandangan masyarakat bahwa
antara Polri dan KPK terjadi perseteruan tidak begitu saja bisa mudah
ditepiskan, meskipun pihak Polri berkali-kali mengklarifikasi, bahkan
"bela diri" dari pihak Polri yang berlebihan semakin mengundang
kecurigaan masyarakat terkait dengan adanya keterlibatan oknum Polri
dalam kasus Bank Century. Untuk ini semua, seharusnya tidak ada jalan
kecuali segera dilakukan pemeriksaan terhadap keterlibatan tersebut.
Bagaimanapun, masyarakat menuntut kejelasan kasus yang menjadi
berbelit dan kusut seperti sekarang ini, yaitu benarkah Polri
berwenang mengusut perkara penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan
pimpinan KPK, dan juga sekaligus menuntaskan keterlibatan Polri dalam
perkara Bank Century.

Dalam kondisi sekarang ini, tampaknya kita tidak boleh larut dalam
polemik, karena mungkin justru bisa lebih menghambat agenda
pemberantasan korupsi, dan situasi tersebut hanya akan menyenangkan
para koruptor dan calon koruptor. Dengan masih adanya gayutan
kekecewaan, kita menyelipkan harapan agar Tim dapat bekerja dengan
baik dan memberikan rekomendasi yang berakhir dengan terpilihnya orang-
orang baik, jujur, dan profesional sebagai pengganti pimpinan KPK yang
tersandung masalah hukum. Masyarakat akan selalu bertanya, mengapa
terhadap pemberantasan korupsi sepertinya sulit sekali dilakukan,
sedangkan terhadap pemberantasan kejahatan terorisme, Indonesia begitu
gemilang menanganinya. Apakah karena pelaku teroris hanya melibatkan
masyarakat biasa sebagai pelaku, sedangkan korupsi lebih banyak
melibatkan orang-orang kuat di negara ini? Semoga tidak!


http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/26/Opini/krn.20090926.177244.id.html

Atas Nama Menyalahgunakan Wewenang

Atas Nama Menyalahgunakan Wewenang
Dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, polisi menetapkan Bibit Samad
Rianto dan Chandra Hamzah sebagai tersangka. Setelah tuduhan yang lain
mental.

KOPER berisi pakaian, handuk, sikat gigi, dan perlengkapan sehari-hari
lainnya itu sudah disiapkan Bibit Samad Rianto. Senin pekan ini, untuk
ketiga kalinya, koper itu dibawa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi Bidang Penindakan tersebut ke kantor Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Markas Besar Kepolisian RI. ”Keluarga sudah siap kalau ada
apa-apa,” ujar kakek tujuh cucu itu kepada Tempo.

Selasa dua pekan lalu, bersama Chandra Hamzah, pensiunan jenderal
bintang dua polisi ini ditetapkan jadi tersangka. Sebelumnya keduanya
dipanggil sebagai saksi. Senin pekan ini, untuk pertama kalinya,
lantaran status tersangka, ia wajib lapor ke polisi.

Status tersangka itu diterima Bibit dan Chandra sekitar pukul 22.00,
setelah diperiksa sepuluh jam. Menurut Wakil Kepala Bareskrim Brigadir
Jenderal Dikdik Mulyana Arif Mansyur, keduanya diduga melanggar
prosedur penerbitan dan pencabutan cekal. Tuduhan yang ”ditembakkan”:
melanggar Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang
Penyalahgunaan Wewenang. ”Pasal ini baru ditegakkan,” katanya.

Pemeriksaan ini berawal dari laporan Ketua KPK nonaktif, Antasari
Azhar, 6 Juli 2009. Isinya menyebut dugaan suap atau pemerasan
Direktur PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo, dalam proyek Sistem
Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Belakangan, kata
Dikdik, fakta yang ditemukan justru penyalahgunaan wewenang. ”Jadi
bukan mengada-ada.”

Chandra dianggap bersalah karena menerbitkan surat permohonan cekal
Anggoro 22 Agustus 2008. Padahal, kata Dikdik, KPK kala itu tidak
sedang menangani kasus korupsi komunikasi radio. Perintah
penyidikannya justru soal kasus Tanjung Api-api. ”Subyek hukumnya tak
jelas,” kata Dikdik.

Chandra juga dianggap bertindak sendiri. Menurut polisi, keputusan itu
harus diketahui pimpinan lain atau kolektif kolegial. Dengan alasan
ini Chandra dipersalahkan karena menerbitkan surat pencabutan cekal
Direktur PT Era Giat Prima, Joko Soegiarto Tjandra. ”Satuan tugasnya
belum bergerak, cekalnya sudah dicabut,” kata Dikdik. Adapun Bibit
dianggap bersalah karena membuat surat cekal Joko Tjandra. ”Tanpa
sepengetahuan pimpinan lain,” kata Direktur Tindak Pidana Korupsi
Bareskrim Komisaris Besar Yoviannes Mahar. Penyidik juga mengatakan
cekal dilakukan dengan memaksa Imigrasi. Namun soal pemaksaan ini
dibantah Direktur Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal
Imigrasi Muchdor. ”Tak ada pemaksaan, semua sesuai prosedur,” katanya.

Bibit menegaskan tak ada yang salah atas apa yang ia dan Chandra
lakukan. Semua sesuai tugasnya. Hal yang diputuskan kolektif itu
misalnya penyidikan atau penuntutan. Wewenang seperti pencekalan
merupakan tugas Chandra atau dirinya, sesuai SK Ketua. ”Dari era
pimpinan KPK sebelumnya juga demikian,” ujarnya.

Bibit melihat pemeriksaan dirinya diarahkan agar statusnya jadi
tersangka. Pertama, ia dikaitkan dengan testimoni Antasari. Setelah
tuduhan ini tak terbukti, dialihkan ke soal suap Rp 5,1 miliar dari
Anggoro Widjojo. ”Setelah ini tidak ada buktinya, lalu muncullah
tuduhan penyelewengan wewenang,” katanya.

Saat pemeriksaan Bibit sempat berargumentasi dengan penyidik tentang
pasal yang dituduhkan. ”Tapi mereka selalu bilang ini perintah
atasan,” katanya. Ia sempat naik darah melihat isi berita acara
pemeriksaan itu tak sesuai dengan yang diucapkannya. ”Setelah
pemeriksaan, saya juga tak bisa mendapat salinan BAP itu. Ini aneh,”
katanya.

Soal pencekalan Anggoro, Bibit menjelaskan, itu dilakukan setelah
tersangka korupsi kasus Tanjung Api-api, Yusuf Erwin Faishal, mengaku
menerima suap Rp 125 juta dan S$ 220 dari Direktur Masaro itu. Akhir
Juli 2009, Komisi menggeledah kantor Masaro dan menemukan bukti
tentang suap itu. Desember 2008, Pengadilan Tipikor menyatakan adanya
tuduhan suap itu dalam vonis Yusuf. Dasar ini yang dipakai untuk
melakukan cekal terhadap Anggoro.

Adapun Joko Tjandra dicekal karena ada dugaan aliran uang ke Artalyta
Suryani dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan. Dugaan, menurut
Bibit, diperoleh dari rekaman percakapan dalam sidang Artalyta awal
Juni 2008. Belakangan KPK mencabut cekal bos Grup Mulia itu karena tak
ada bukti.

Tim pembela KPK menganggap ada benturan kepentingan dalam penetapan
tersangka ini. Menurut anggota tim ini, Bambang Widjojanto, Kepala
Bareskrim Susno Duadji tak profesional menangani kasus ini, karena dia
tahu KPK sedang membidiknya dalam kasus Century. Bambang sudah
melaporkan Susno ke Komisi Kepolisian Nasional. Kepada Tempo, Susno
menegaskan dirinya tak terkait apa pun dalam kasus Century. Yang ia
lakukan, ujarnya, semuanya dalam koridor hukum.

Adnan Buyung Nasution mengatakan polisi berada di posisi sulit dalam
kasus ini. Karena itu, kata dia, agar tak ada tuduhan macam-macam,
sebaiknya Kepala Polri menonaktifkan Susno Duadji dan memeriksanya.
”Agar semuanya jelas,” katanya.

LRB, Anton Aprianto, Rini Kustiani, Anton Septian

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LU/mbm.20090928.LU131540.id.html

Buaya Vs Cicak

Buaya Vs Cicak



Sarlito Wirawan Sarwono

Buaya lawan cicak. Itu adalah hiperbol KPK lawan Polri.

Entah berasal dari mana, hiperbol tersebut jadi bahan diskusi yang
kian panas, lebih panas dari materi masalah itu sendiri.

Padahal, hiperbol itu belum tentu benar. Buktinya, pada permainan suit
anak-anak, gajah kalah oleh semut. Padahal, semut mati diinjak manusia
dan manusia mati diinjak gajah. Masalahnya, giliran semut lawan gajah,
semut tidak menginjak gajah, tetapi masuk kuping gajah, gajah pun
mati. Jadi, siapa tahu cicak bisa membunuh gajah seperti David
mengalahkan Goliath.

Padahal, segala sesuatu yang belum tentu benar, pasti bukan kebenaran
alias tidak benar. Demikian dalil logika Aristoteles. Dan mereka yang
ramai berdebat di media (dari pembawa acara, wartawan, pakar, anggota
parlemen, LSM, tim pembela KPK atau pembela Polri, dan lainnya), semua
berdiskusi tentang sesuatu yang tidak benar.

Jelas, dampaknya bukan makin benar, tetapi makin keblinger. Masalah
tidak terselesaikan, yang muncul emosi belaka.

Taman kanak-kanak

Ketika menjadi presiden, Abdurrahman Wahid pernah menyatakan, anggota
DPR seperti taman kanak-kanak. Saat itu, para anggota DPR yang amat
terhormat itu marah. Namun, logika yang keblinger tidak terkait dengan
kehormatan.

Para ulama Aceh keblinger saat ditipu Snouck Hurgronje. Para raja dan
bangsawan Mataram keblinger saat menuruti kemauan Belanda untuk
memecah wilayah Mataram menjadi empat. Kaisar Romawi Caligula
menjadikan istananya ajang pesta seks.

Yang saya cemaskan adalah, kini bukan hanya DPR yang keblinger, tetapi
yang lain-lain juga. Yang lebih mengerikan adalah jika para petinggi
KPK yang kini menjadi tersangka, tidak hanya sekadar dikriminalisasi
(nanti bisa diklarifikasi di pengadilan), tetapi benar-benar sudah
terlindas gelombang keblingerisasi.

Banyak yang berargumen, KPK adalah institusi yang berani memberantas
korupsi tanpa pandang bulu (padahal semula KPK dituduh tebang pilih).
Lalu dideretkan sejumlah contoh, para tokoh penting yang dijerat hukum
oleh KPK. Termasuk di situ kasus Aulia Pohan, besan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sendiri.

Ini keblinger lagi. Secara logika, tak ada hubungan kasus-kasus yang
dilibas KPK (pada era Taufiequrachman Ruki) dengan kasus Bank Century
(era Antasari). Atau dalam bahasa logika, premisnya tidak sah, tidak
nyambung, sehingga kesimpulannya pun salah.

Contoh premis yang tak nyambung sering saya sampaikan di kelas
”Logika” di Universitas Indonesia, seperti ini, ”Manusia bernapas.
Mohamad Ali bernapas. Jadi, Mohamad Ali adalah manusia. Betul tidak?”
Maka, semua mahasiswa akan menjawab, ”Betuuul....” ”Tidak betul,” kata
saya. ”Coba tukar kata Mohamad Ali dengan kucing; Manusia bernapas,
kucing bernapas, jadi kucing adalah manusia. Salah, kan?”

Kipas-kipas mencari angin

Jikalau murid taman kanak- kanak belum bisa berpikir logis, itu wajar.
Namun, jika orang dewasa, politisi, jurnalis, pakar, doktor, profesor,
juga tidak bisa berpikir logis, ini keblinger. Psikologi
menjelaskannya sebagai gejala gangguan emosi sehingga rasio tidak
jalan. Makin panas emosi kita, makin tidak logis jalan pikiran kita.
Makin tidak logis pikiran kita, makin ngawur tindakan kita. Kalau
tidak percaya, rekam perdebatan suami-istri yang sedang bertengkar
hebat. Akan kita dengar kata-kata dan kalimat-kalimat mereka tidak
logis belaka.

Nah, untuk menjaga agar bangsa dan negara kita tidak makin keblinger,
maka kita perlu ikut nasihat para orangtua zaman dulu (termasuk
nasihat ayah saya), yaitu ”kipas-kipas mencari angin, badan boleh
panas tetapi kepala tetap dingin”.

Sarlito W Sarwono Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/26/02355848/buaya.vs.cicak

Kejar Tayang, Kejar Setoran

DPR
Kejar Tayang, Kejar Setoran
Dalam sebulan Dewan menargetkan mengesahkan 22 rancangan undang-
undang. Sejumlah pihak menyangsikan kualitas pembahasannya.

SEBUAH rekaman video diputar di hadapan majelis Mahkamah Konstitusi.
Di situ terlihat suasana sebuah rapat paripurna. Dari barisan kursi
kosong yang berderet-deret memanjang harus diakui rapat hanya dihadiri
segelintir anggota Dewan. Meski jumlah mereka tidak lebih dari 96
orang, pemimpin sidang dalam video itu sigap mengetuk palu,
mengesahkan undang-undang. Video itu, sejak pertengahan September lalu
menjadi bukti uji formal Undang-Undang Mahkamah Agung yang diajukan
oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat kepada majelis
Konstitusi.

Ya, sebuah rancangan telah menjadi undang-undang, kendati tak memenuhi
kuorum alias hanya dihadiri 35 persen dari 277 anggota yang
menandatangani kehadiran. Undang-undang penting, yang antara lain
meliputi aturan tentang perpanjangan usia pensiun hakim agung.
Sebenarnya, apa yang berlangsung di balik ketergesa-gesaan ini?

Ada sejumlah rancangan yang belum memenuhi kuorum (atau syarat lain)
tiba-tiba menjadi undang-undang, seakan lewat jalan bebas hambatan.
Memang, menjelang akhir jabatannya, pada 30 September, Dewan seperti
diburu tayang. Dalam sebulan mereka harus menyelesaikan pembahasan 22
rancangan undang-undang untuk disahkan. Puncaknya terjadi dua pekan
lalu: dalam tiga jam, Dewan mengesahkan empat rancangan sekaligus: RUU
Kesehatan, RUU Narkotika, RUU Keimigrasian, dan RUU Penyelenggaraan
Haji. Pengesahan ini juga hanya dihadiri 16 persen anggota dari 277
yang membubuhkan tanda tangan kehadiran.

Asfinawati, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang memimpin gugatan
uji formal Undang-Undang MA itu, tak mempermasalahkan materi Undang-
Undang MA yang baru. Ia hanya tak percaya menyaksikan pengesahan
undang-undang sepenting itu dilakukan secara terburu-buru. ”Kami
berpendapat jika (usaha untuk memenuhi) prosedur formalnya saja
serampangan, substansinya juga ngaco,” dia menambahkan. Dan jika
langkah ini ternyata membuahkan hasil, kata Febri Diansyah, aktivis
Indonesia Corruption Watch yang menjadi saksi uji formal itu, akan
menjadi pelajaran bagi Dewan agar tidak asal-asalan mengesahkan undang-
undang.

Adakah semua ketergesa-gesaan ini mencerminkan kejar tayang semata?
Sebuah rancangan sebenarnya telah melalui jalan yang cukup panjang
sebelum ia disahkan. ”Hanya tinggal ketuk palunya,” Wakil Ketua Badan
Legislasi DPR Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan ketergesa-gesaan
itu. Tidak ada aturan yang dilanggar di sini. Begitu juga soal
pengesahan yang cuma dihadiri oleh segelintir anggota. Putusan tetap
sah, karena tata tertib Dewan menyatakan kehadiran ditentukan dalam
perhitungan daftar absensi. ”Tanpa harus kehadiran fisik,” kata
Nursyahbani.

Meski begitu, ia enggan menjelaskan mengapa terjadi rush menjelang
akhir masa jabatan itu. ”Anda bisa tebak sendiri ke mana maunya para
anggota Dewan itu,” katanya.

Ery Nugroho dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menangkap adanya
kepentingan sesaat para anggota. Pengesahan Undang-Undang Dewan
Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Daerah—ini mencakup persyaratan jumlah minimum untuk
membentuk sebuah fraksi—sengaja dijadwalkan setelah pemilihan umum.
Tujuannya jelas, supaya para wakil rakyat itu bisa menyesuaikan hal
tersebut dengan perolehan suara. Upaya pemandulan Komisi Pemberantasan
Korupsi juga bisa dilihat dalam pembahasan Undang-Undang Pengadilan
Tipikor.

Sejumlah undang-undang yang telah disahkan memang bermasalah.
Indikasinya, menurut anggota Komisi III, yang juga anggota Badan
Musyawarah DPR: banyak undang-undang yang lalu dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi saat diajukan judicial review.

”Pembahasan lebih didominasi kepentingan politik,” ujarnya. Ia menilai
pembahasan juga kerap kali tidak mengakomodasi pendapat ahli dan
pakar. Selain itu, ia mengeluhkan keterbatasan pengetahuan anggota
Dewan akan hukum dan ketatanegaraan. Dengan demikian, pembahasan
dilakukan oleh anggota yang kompetensinya seadanya.

Apalagi satu anggota kerap merangkap banyak panitia khusus. Maka
keikutsertaannya dalam pembahasan suatu undang-undang tidak optimal.
Mereka kerap meninggalkan tempat mengikuti kegiatan lain. Menurut
Patrialis, dari 40 anggota Pansus, biasanya yang benar-benar intens
membahas paling banter hanya empat orang. ”Yang lain masa bodoh,”
ujarnya.

Nursyahbani mengakui ada sejumlah kelemahan dalam proses penyusunan
rancangan undang-undang di Dewan. Di antaranya lemahnya koordinasi
internal, kurangnya komitmen anggota untuk menyelesaikan pembahasan
suatu rancangan undang-undang, dan tingginya muatan politis dalam
setiap pembahasan undang-undang. ”Undang-undang adalah produk politik
sehingga hasilnya sesuai dengan arah politik,” katanya.

Ramidi

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/HK/mbm.20090928.HK131529.id.html

Kado Pahit Seusai Lebaran

Kado Pahit Seusai Lebaran
Pertamina akan menaikkan harga elpiji 12 kilogram bertahap setiap
bulan. Menutup rugi jadi alasan utama. Berpotensi memicu perburuan
elpiji tiga kilogram yang disubsidi pemerintah.

ENAM tabung elpiji kemasan tiga kilogram dan tiga elpiji 12 kilogram
berderet rapi dari atas ke bawah dalam rak besi di depan Indomaret,
Jalan R.E. Abdullah, Bogor, Rabu pekan lalu. Sembilan tabung gas
berwarna hijau dan biru itu terikat rantai besi berkunci gembok.
Tampak dua label harga pada kertas berlapis plastik bertulisan ”Rp
13.250” menggantung dekat elpiji hijau dan ”Rp 73.500” di bawah elpiji
biru.

Dari PT Pertamina, pemasok tunggal gas dalam tabung, harga resmi
elpiji itu sebenarnya masing-masing Rp 12.750 dan Rp 69 ribu. Di
minimarket Kota Hujan itu, juga pengecer dan agen lain, harga elpiji
sedikit ”dinaikkan” karena mereka memperhitungkan biaya dan margin
keuntungan.

Tapi konsumen elpiji harus bersiap-siap menerima kenaikan harga riil.
Penyebabnya, Pertamina telah berancang-ancang menaikkan harga elpiji
12 kilogram seusai Lebaran ini atau paling lambat akhir 2009.
”Realisasinya sedang menunggu waktu yang tepat,” kata juru bicara
Pertamina, Basuki Trikora Putra, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu

Terakhir kali perusahaan minyak pelat merah ini menaikkan harga elpiji
12 kilogram—berat kosong 15 kilogram—pada Agustus 2008. Ketika itu,
harga elpiji beringsut dari Rp 5.250 per kilogram (Rp 63 ribu per 12
kilogram) menjadi Rp 5.750 per kilogram (Rp 69 ribu per 12 kilogram).
Rupanya, Pertamina merasa harga itu belum pas. Mereka mengklaim tak
mendapatkan bati sama sekali alias rugi dari bisnis elpiji. Alhasil,
kata Basuki, Pertamina terpaksa mengubah lagi harga jual elpiji 12
kilogram.

Total kebutuhan elpiji nasional pada 2009 adalah tiga juta metrik ton.
Satu juta metrik ton dipasok dari kilang Pertamina, 1,1 juta metrik
ton disuplai dari kilang non-Pertamina, dan sisanya 900 ribu metrik
ton diimpor. Dalam menentukan harga elpiji, pemasok Pertamina
menggunakan harga patokan contract price Aramco (CP Aramco), kontrak
pembelian elpiji internasional.

Saat ini harga elpiji di pasar dunia sekitar US$ 586 per metrik ton.
Dengan nilai tukar Rp 9.978 per dolar Amerika Serikat, Pertamina
membeli elpiji impor Rp 7.800 per kilogram. Harga ini belum
memperhitungkan pajak pertambahan nilai dan margin agen. Pertamina
menjual elpiji 12 kilogram kepada masyarakat dengan harga Rp 5.750 per
kilogram. Mereka mengaku tekor dan rugi. Sampai akhir tahun ini, papar
Basuki, Pertamina akan rugi Rp 2,3 triliun bila harga elpiji itu
dipertahankan.

Besaran kenaikan harga elpiji memang belum diputuskan. Tapi, menurut
Basuki, Pertamina akan menggenjot harga elpiji sampai mencapai harga
keekonomiannya alias sesuai dengan harga pasar. Kenaikannya tidak
sekaligus, tapi bertahap Rp 100-200 per kilogram setiap bulan sampai
akhir 2010 atau awal 2011. ”Secara prinsip, pemerintah sudah setuju,”
katanya.

Betulkah? Direktur Jenderal Minyak dan Gas Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, kepada wartawan pernah menyebutkan
kenaikan harga elpiji 12 kilogram merupakan aksi korporasi Pertamina.
Perubahan harganya tak perlu mendapat persetujuan pemerintah karena
bukan barang subsidi.

Pertamina merasa di atas angin karena Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, pemegang sahamnya, juga mendukung. Sekretaris Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara, Said Didu, kepada Tempo pekan lalu
mengatakan, pada 2008, Pertamina merugi Rp 3-5 triliun dari bisnis
elpiji 12 kilogram. Kerugian perusahaan ini akan semakin gede bila
harga elpiji tak dinaikkan. ”Ini aksi korporasi biasa dari Pertamina,
tak perlu persetujuan pemerintah,” ujarnya.

Harga elpiji 12 kilogram, kata Said, layak naik karena bukan barang
bersubsidi. Konsumennya masyarakat mampu dari kelas menengah ke atas.
”Mengapa harus mensubsidi orang kaya?” Peraturan Presiden Nomor 104
Tahun 2007 menyebutkan pemerintah hanya mensubsidi elpiji tiga
kilogram. Harga jualnya dari Pertamina Rp 4.250 per kilogram atau Rp
12.750. Setiap perubahan harga harus mendapat persetujuan pemerintah.

Bagi anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edy,
status subsidi dan nonsubsidi elpiji 12 kilogram justru masih kabur
sehingga harus diperjelas dulu sebelum harganya dinaikkan. Konsumen
elpiji 12 kilogram, katanya, bukan hanya industri dan rumah tangga,
melainkan juga para pengusaha atau pedagang kecil. ”Ini kuasi subsidi,
barang bersubsidi tapi angkanya tidak sebesar elpiji tiga kilogram,”
katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Pengamat energi, Kurtubi, juga berpendapat elpiji 12 kilogram
merupakan barang subsidi. Tapi yang mensubsidinya Pertamina, bukan
pemerintah langsung. Itu berarti sumber uangnya sama, dari negara
juga, sehingga pemerintahlah yang seharusnya menetapkan harganya.
Dalam memutuskan kenaikan harga elpiji, pemerintah sebaiknya mengacu
pada biaya pokok Pertamina, bukan CP Aramco. Alasannya, sebagian besar
elpiji berasal dari dalam negeri, bukan impor. ”Pertamina
mengklarifikasi dulu biaya pokoknya,” ujar Kurtubi kepada Tempo di
Jakarta pekan lalu. Biaya pokok dan volume kebutuhan elpiji, kata dia,
harus diaudit oleh auditor independen, bukan oleh Pertamina sendiri.

Setelah biaya pokok Pertamina jelas, dia melanjutkan, ditambahkan
harga CP Aramco, terus dikalikan bobot masing-masing. ”Itulah standar
acuan harga elpijinya.” Dengan begitu akan ketahuan besaran nilainya.
”Masih ada selisih harganya atau sudah pas dan tak perlu naik.”

Segendang sepenarian, menurut Tjatur, acuan harga elpiji domestik
kurang proporsional. Dia merujuk formula harga elpiji CP Aramco
ditambah biaya sampai pelabuhan (FOB), bea impor, beta (biaya operasi
distribusi, penanganan, termasuk margin keuntungan), dan pajak.
Proporsi elpiji impor rata-rata sekitar 37,5 persen dari total
kebutuhan nasional. Tapi, kenyataannya, seluruh harga elpiji domestik
memasukkan komponen harga Aramco. Seharusnya, kata dia, hanya 37,5
persen elpiji impor yang mengacu ke harga internasional, dan sisanya
menggunakan harga acuan domestik.

Penetapan nilai ”beta” oleh Pertamina sebesar 40 persen juga
bermasalah. Angka betanya, kata Tjatur, terlalu tinggi dan bisa
ditekan hingga 25-30 persen. Caranya persis dengan saat Pertamina
melakukan efisiensi penanganan bahan bakar minyak bersubsidi. Saat itu
angka ”alpha” ditekan dari 14 persen menjadi 8 persen. Agar adil,
anggota Dewan dari Fraksi Amanat Nasional ini mengatakan, Badan
Pemeriksa Keuangan mengaudit dulu nilai beta dan biaya pokok
Pertamina. ”Harga boleh naik setelah ada audit dulu dari BPK,”
katanya. Tjatur memprediksi harga elpiji 12 kilogram bisa naik tapi
tidak akan melebihi Rp 6.000 per kilogram.

Sumber Tempo di Pertamina mengungkapkan, adanya kontrak pengadaan
elpiji selama 10 tahun dengan Petradec merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan beban subsidi elpiji Pertamina melonjak. Perusahaan
yang berbasis di Bermuda ini memasok elpiji sebesar 1 juta metrik ton
per tahun. Petradec, kata dia, bukan produsen elpiji, melainkan hanya
pedagang (trader) dan tak punya kilang. ”Lantaran membeli dari
pedagang, jangan heran harganya kurang kompetitif,” ujarnya.

Basuki membantah beban subsidi elpiji naik akibat kontrak dengan
Petradec. Justru karena kontrak dengan Petradec berjangka panjang,
kata dia, ”Pertamina bisa memperoleh harga yang lebih kompetitif.”
Soal sorotan atas harga patokan Aramco, Basuki mengatakan, patokan
harga itu sudah lazim dan sudah diakui secara internasional.

Tampaknya, kado pahit tak bisa dihindari lagi. Konsumen harus merogoh
kocek lebih dalam karena kelak elpiji 12 kilogram di dalam negeri bisa
menjadi Rp 93.600 bila harganya diseragamkan dengan harga di pasar
dunia. ”Kami (konsumen) keberatan,” kata pengurus harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, di Jakarta pekan lalu.
Kenaikan harga bahan bakar biasanya akan diikuti kenaikan harga barang
lainnya.

Tulus juga waswas kenaikan harga bisa membuat selisih harga elpiji 12
kilogram dengan elpiji tiga kilogram—khusus untuk rakyat kecil—semakin
lebar. Konsumen bisa ramai-ramai memburu elpiji tiga kilogram yang
harganya tak naik. Buntutnya, permintaan elpiji tiga kilogram melonjak
tajam. Bukan mustahil juga menjadi langka dan harganya terbang tinggi.
Kembali ke minyak tanah sulit lantaran sudah ditarik Pertamina.
”Masyarakat kecil akan menderita lagi,” ujarnya.

Target pemerintah menekan subsidi lewat konversi minyak tanah ke
elpiji tiga kilogram juga bisa meleset. ”Anggaran subsidi elpiji malah
bisa naik karena kebutuhannya bertambah,” kata Tulus. Tahun ini,
jumlah rumah tangga sasaran program konversi energi adalah 23 juta
kepala keluarga. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009,
pemerintah menganggarkan penghematan dana Rp 7,2 triliun. Pemerintah
tak mungkin menambah subsidi lagi. ”Jadi Pertamina harus memastikan
elpiji tidak langka dan tak memicu inflasi,” kata Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional Paskah Suzetta di Jakarta pekan lalu. Alhasil,
keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji perlu dihitung secara
cermat.

Padjar Iswara, Ismi Wahid, Akbar Tri Kurniawan, Sorta Tobing

Perkembangan Harga Elpiji
pada 2008 (Rp/Kg)

3 Kg 12 Kg 50 Kg
Januari 4.250 4.250 7.932
April 4.250 4.250 6.803
Juli 4.250 5.250 6.878
Agustus 4.250 5.750 7.255

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/EB/mbm.20090928.EB131489.id.html