BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Menunggu Realisasi Janji Obama

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.49

Menunggu Realisasi Janji Obama
Oleh: A. Safril Mubah

*HARI* ini tepat delapan tahun tragedi 11 September 2001 (9/11). Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan serangan teroris ke gedung
World Trade Center (WTC) tahun ini terasa ada warna baru setelah Barack
Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Pada masa Presiden
George W. Bush, peringatan tragedi 9/11 selalu dihiasi dengan
pernyataan-pernyataan tajam bernada ancaman terhadap pihak-pihak yang
dituding AS sebagai teroris, seperti Usamah bin Laden, Al Qaidah,
Taliban, dan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.

Tahun ini, Presiden Obama belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait
tragedi 9/11. Tetapi, menyimak janji-janji kampanyenya tahun lalu,
pidato pelantikannya pada 20 Januari 2009, dan pidatonya ke dunia Islam
di Kairo pada 4 Juni 2009, publik berharap agar Obama mengeluarkan
pernyataan lebih lunak daripada pendahulunya. Dalam ketiga momen itu,
Obama kerap mengungkapkan keinginannya untuk berdialog dengan
pihak-pihak yang selama ini dituding sebagai individu, kelompok, atau
negara pendukung terorisme. Mereka sering dianggap sejumlah kalangan
sebagai korban konspirasi 9/11.

*Dugaan Konspirasi*

Belakangan ini muncul dugaan kuat bahwa tragedi 9/11 sebenarnya
konspirasi pemerintahan Bush untuk menyeret publik AS dalam perang
melawan terorisme. Kevin Barrett dan Steven Jones, dua ilmuwan yang
tergabung dalam Scholars 9-11 Truth, menyatakan bahwa AS memang sengaja
merobohkan dua menara kembar WTC dengan meledakkan bom yang telah
terpasang di fondasi gedung itu. Ledakan sebenarnya sudah terjadi
sebelum Mohammad Atta dan kawan-kawan menabrakkan pesawat yang mereka
bajak ke WTC.

Terkait dengan itu, Scholars for 9/11 Truth menyatakan bahwa besar
kemungkinan gedung kembar WTC sengaja dirobohkan dengan peledak yang
dikendalikan dari jarak jauh. Organisasi komunitas akademisi yang
dibentuk untuk menelusuri misteri di balik tragedi 9/11 itu menuduh
pemerintahan Bush sebagai perancang serangan tersebut demi memuluskan
agenda politik terselubung yang tak banyak diketahui publik
(/www.911truth.org/, 10/9/2009).

Besar kemungkinan agenda terselubung itu berkaitan dengan cita-cita
pembebasan rakyat dari rezim otoriter penentang AS. Eksistensi Osama, Al
Qaidah, Taliban, dan Ahmadinejad adalah ancaman nyata bagi kepentingan
AS di pentas global. Mereka adalah kekuatan-kekuatan utama dunia yang
tak pernah lelah menggerogoti hegemoni AS.

AS merasa tak nyaman dengan adanya mereka dan berkeinginan melenyapkan
mereka, tetapi tak ada alasan pembenar untuk melakukan itu. Karena itu,
diciptakanlah konspirasi serangan teroris 11 September 2001 dan
menggiring opini publik untuk menuduh Usamah sebagai pelaku utama.

Dugaan konspirasi itu kian kuat setelah Van Jones, salah seorang
penasihat Obama yang dikenal berani mengeluarkan pernyataan
kontroversial, mengatakan bahwa /immediate public attention to
unanswered questions that suggest that people within the current
administration may indeed have deliberately allowed 9-11 to happen,
perhaps as a pretext for war. /Pernyataan yang dipublikasikan
/www.911truth.org/ itu mengindikasikan adanya keterlibatan orang dalam
pemerintahan Bush yang sengaja membiarkan terjadinya tragedi 9/11.

Menyikapi dugaan itu, Obama sudah seharusnya melakukan penyelidikan
menyeluruh atas kemungkinan adanya konspirasi tersebut. Jika tidak,
publik internasional akan kecewa. Sebab, Obama selama ini telah
memberikan harapan besar atas terciptanya tatanan dunia yang damai
melalui dialog konstruktif dengan musuh-musuh AS yang selama ini dia
janjikan.

*Menunggu Janji* * *

Dalam berbagai kesempatan, Obama kerap mengampanyekan kebijakannya untuk
mengajak para pemimpin dunia Islam berdialog tentang terorisme, keamanan
internasional, dan perdamaian dunia. Obama menyiratkan sebuah pesan
bahwa dirinya tidak keberatan duduk satu meja dengan Ahmadinejad dan
para pemimpin Palestina. Kebijakan yang bertolak belakang dengan Bush
itu membuat dunia Islam berharap banyak kepada Obama.

Persoalannya, Obama belum membuktikan janji itu secara konkret.
Kebijakan dia selalu indah pada retorika, tetapi buruk dalam
implementasi. Kunjungannya ke beberapa negara muslim selalu diwarnai
pidato retoris yang membuncahkan harapan. Seperti ketika berkunjung ke
Mesir, dia mendorong agar Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan
sebagai dua negara. Dia berkata ''/...the only resolution is for the
aspirations of both sides to be met through two states, where Israelis
and Palestinians each live in peace and security." /

Padahal, realita yang terjadi adalah meskipun mendesak Israel untuk
menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan, Obama
tetap bertahan untuk mendukung penuh negara itu. Artinya, dia telah
sepenuh hati mendukung Israel, tetapi belum segenap jiwa mendukung
Palestina.

Obama, rupanya, masih belum rela Hamas memegang peran penting di
Palestina. Melalui sikap kerasnya yang sering merepotkan Israel,
organisasi itu masih dianggap AS sebagai biang masalah di Timur Tengah.
Stigma teroris tetap belum hilang dari Hamas. Kenyataan itu jelas
bertolak belakang dengan kebijakan yang selama ini didengung-dengungkan
Obama ke seluruh dunia.

Karena itu, memperingati delapan tahun tragedi 9/11, akan sangat tepat
bagi Obama untuk tidak hanya mengenang para korban, tetapi juga secara
konkret mengagendakan pertemuan-pertemuan terjadwal dengan para pemimpin
Islam dan berdialog tentang perdamaian dunia. Dengan begitu, harapan
Islam terhadap Obama tidak berhenti kepada retorika belaka.

/* / * /A. Safril Mubah, / * /dosen / /Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Ke Mana Rakyat Mengadu

Ke Mana Rakyat Mengadu

*Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group*

`G OLKAR harus menjadi tempat rakyat mengadu. Inilah salah satu posisi
tawar yang harus diperankan Golkar ke depan.' Pendapat itu ditawarkan
pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam diskusi tentang Masa Depan
Golkar di Nusa Dua, Bali, Minggu lalu. Di tengah tersiarnya wacana siapa
yang patut memimpin Golkar, pendapat itu menjadi masukan menarik.
Sebenarnya, saran itu jangan hanya untuk Golkar tetapi hendaknya menjadi
perhatian semua partai politik. Sejatinya, menjadi tempat mengadu rakyat
adalah peran wajib partai politik. Dengan kata lain, yang juga sering
disampaikan lewat kolom ini, peran partai politik adalah perantara
antara rakyat dan pemerintah.

Faktanya, partai-partai politik terkesan melalaikan peran tersebut. Dia
mengalami metamorfosis menjadi satuan yang mengedepankan visi dan misi
kelompok partai, sekalipun selalu menyebutnya atas nama kepentingan
rakyat. Partaipartai politik adakalanya bahkan disebut menjadi kendaraan
pencari kekuasaan. Ideologinya kabur. Dewan Perwakilan Rakyat
(2004-2009), misalnya, yakni kumpulan wakil-wakil partai politik yang
memerankan wakil rakyat, menurut jajak pendapat Kompas tidak peduli
terhadap aspirasi rakyat. Yang berpendapat demikian 57,2%. Mereka juga
tidak bebas dari KKN. Demikian pendapat 76,1% responden yang ditanya.
Pasti tidak seluruh elite politik bersikap demikian. Masih banyak yang
mengemban idealisme. Para pengemban idealisme itulah yang patut memimpin
partai.

Di luar tantangan ke depan, tentu rakyat menginginkan perhatian
partai-partai politik.
Banyak yang dia ingin adukan. Antara lain yang gawat adalah masalah
korupsi. Sekalipun pemerintahan sekarang tampak all-out dalam upaya
memberantasnya, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM hanya memberinya
nilai 5,5.
Korupsi ibarat rumput teki. Sekalipun selalu dicabuti, umbinya
terus-menerus menumbuhkan tunas-tunas baru yang merajalela ke mana-mana.
Dari koruptor teri sampai yang kakap memakan korban tanpa pandang bulu.
Sementara itu lembaga mana pun kelihatan tidak berdaya mengatasi.
Lambannya proses RUU Tipikor maupun pemanggilan jajaran KPK oleh polisi,
dan banyaknya tokoh yang tidak henti-hentinya disebut-sebut
berkemungkinan tersangkut perkara itu menegaskan ketidakberdayaan itu.
Sering ada pembuktian si pagar ikut makan tanaman.

Profesi tertua di dunia Di samping pelacuran, korupsi bisa digolongkan
salah satu profesi penyelewengan tertua di dunia.
Dia sama sekali bukan monopoli Indonesia, walaupun negara ini dianggap
salah satu yang terkorup di dunia. Korupsi yang meliputi sogokan,
pemerasan, dan nepotisme dikenal semua masyarakat.
Hanya manusia primitif yang tidak mengenalnya.
Namun taraf intensitasnya berbeda-beda. Berbagai dalih selalu dicari
agar korupsi tidak terlalu dikutuk. Bahkan dalam buku The Politics of
Scarcity (1962), Myron Weiner mengatakan, dengan memberi sogokan,
pengusaha dapat lancar menjalankan usahanya. Namun Syed Hussein Alatas,
penulis The Sociology of Corruption (1968) dan The Problem of Corruption
(1986), menyatakan korupsi bisa memperlancar hanya pada tahap awal
karena lingkungannya masih terbatas. Akhirnya yang terbatas itu akan
merongrong banyak pihak karena pebisnis akan membebankan uang lelah
kepada konsumen dan selanjutnya akan terjadi efek domino yang merugikan.

Dalam artikel di kolom Pendidikan hari Senin 7 September 2009 di harian
ini, yang mengupas soal bagaimana kalangan organisasi agama menyikapi
korupsi, Direktur Eksekutif INSEP Fuad Fachruddin mempersoalkan mengapa
organisasi-organisasi Islam, termasuk partaipartai politiknya, tidak
mengambil sikap tegas mengenai masalah ini. RUU Tipikor, misalnya,
seakan tidak menuntut perhatian. Berbeda halnya ketika menyikapi RUU
Pornografi dan Pornoaksi. Sikap tegas antara lain mereka tunjukkan
dengan pengerahan massa besar-besaran.

Mungkin jawabannya, karena korupsi di kita sudah agak lama membudaya.
Lebih dari seperempat abad yang lalu pernah ditanyakan kepada Panglima
Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo,
bukankah korupsi mulai membudaya? Gejala-gejalanya jelas. Sinyalemen itu
dibantah Pangkopkamtib. Tak lama setelah itu, begawan ekonomi Prof Dr
Soemitro Djojohadikusumo malahan mengatakan, APBD mengalami kebocoran 30%.

Itu pun dibantah oleh seorang anggota kabinet.

"Dengan kebocoran sebesar itu, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan
lancar," katanya.

Seperti dinyatakan dalam artikel Fuad Fach ruddin, ajaran Islam jelas
menentang semua tindakan koruptif. Sebagai misal, tokoh terkenal dalam
ajaran Islam, Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), menentang keras korupsi
dan penya lahgunaan kekuasaan. Dia sering dianiaya dan dipenjara oleh
penguasa di zamannya. Ia me mandang rendah jabatan hakim yang sering
menjadi sasaran sogokan. Ia juga menolak hadi ah raja dan malahan pernah
memutus hubung annya dengan putra-putranya karena mereka mau menerima
hadiah dari pengua sa. Ia menyadari, batas antara hadiah dan sogokan
bisa kabur. Tokoh Islam lain, Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332 1406)
bukan hanya ahli sejarah dan kemasyarakatan, melainkan juga dikenal
sebagai penentang korupsi. Walaupun beberapa kali menduduki jabatan
penting, dia pernah meringkuk di penjara karena keika menjabat sebagai
hakim dia berusaha menghapuskan korupsi. Dia gagal, malahan dipecat dari
jabatannya. Tokoh masyarakat itu berkesimpulan, ko rupsi timbul karena
hasrat hidup bermewah mewah.

Dari banyak literatur tentang korupsi dapat disimpulkan, korupsi marak
umumnya karena lemahnya hukum, pengawasan, dan akuntabili tas. Namun
yang paling buruk adalah kelemahan moral. Kesempatan berubah ke nasib
yang lebih baik tidak akan memengaruhi orang yang ber moral kuat, tetapi
akan banyak berpengaruh pada orang yang moralnya lemah.

Pengawasan tanggung jawab siapa?
Bila partai-partai politik menjadi tempat me ngadu rakyat, tentunya
diharapkan mereka dan kepanjangan tangan mereka di pemerintahan-
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif--ikut mengawasi dan menghindari
kemungkinan rongrongan korupsi terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Seberapa jauh keberhasilan upaya seperti itu tergantung pada kemauan
politik yang berkuasa. Sebagai contoh, ketika Presiden Prancis Giscard
d'Estaing berkuasa (1974-1981), kabarnya penulis buku tentang dirinya,
Roger Delpey, dipenjarakan tujuh bulan karena dituduh berkomplot dengan
orang-orang asing merugikan kepentingan negara. Yang penulis lakukan
adalah menceritakan hadiah berlian bernilai jutaan dolar dari kaisar
Bokassa (19771979) di Afrika Tengah kepada Presiden Prancis itu. "Bila
kami terlalu dekat pada intinya mereka akan mengatakan, kami telah
mengungkap rahasia keamanan negara," kata seorang wartawan mingguan
Nouvel Econonmiste.

Rakyat berharap banyak dari partai-partai politik karena tidak bisa
berharap banyak dari birokrasi seperti adanya sekarang. Zaman sekarang
kalau orang berbicara tentang birokrasi, yang terbayang adalah suatu
organisasi besar, kaku, resmi, berbelit-belit, dan tidak efisien. Pada
awalnya konsep birokrasi tentu bukan demikian.
Birokrasi modern tumbuh seiring tumbuhnya sikap modern masyarakat
industri. Kata sosiolog Jerman Max Weber (1864-1920), organisasi
birokratik ini mulai penting sejak abad 20. Ini merupakan sebab dan
akibat pemikiran formal kebudayaan Barat yang menganggapnya cara paling
efisien untuk mengorganisasi sejumlah besar orang untuk tugas-tugas yang
kompleks.
Tidak semua strukturnya ideal. Dalam struktur lama pra-modern, seperti
yang ada dalam zaman feodalisme Barat di abad pertengahan, jabatan
birokrasi diberikan bukan atas dasar keterampilan atau kecakapan, tetapi
atas dasar nepotisme. Yang dipentingkan sosok orangnya.

Sekarang, untuk menjaga jangan sampai birokrasi mengarah kepada struktur
lama, diperlukan aturan yang tegas dan tertulis, yang dipatuhi semua
pihak. Weber mensyaratkan agar para kandidat itu dipilih atas dasar
kemampuan teknis seperti yang dibuktikan dalam ijazah atau lewat ujian
(mungkin di antaranya berupa fit and proper test?).
Semua hendaknya menjalankan fungsi tanpa pertimbangan kepentingan pribadi.

Weber terbukti terlalu ideal. Sejak awalnya, konsep birokrasi modern
sudah mewarisi sejumlah unsur dari konsep lama. Ini menjelaskan mengapa
banyak BUMN di mana-mana--bukan hanya di Indonesia--mengalami kegagalan
karena urusan bisnis dibebankan pada birokrat.
Kesadaran akan perlunya swastanisasi ada di mana-mana. Kita sendiri
selalu tarik-ulur mengenai hal ini karena pertimbangan kepentingan
nasional dan/atau kepentingan orang banyak di satu pihak, dan
kepentingan efisiensi di pihak lain. Rasanya semua sah-sah saja, asalkan
pertimbangannya untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan
pribadi atau kelompok. Dalam hal-hal seperti ini pun partai-partai
politik dituntut bersikap jeli.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/11/ArticleHtmls/11_09_2009_008_001.shtml?Mode=0

Liberalisasi Undang-Undang Listrik

Liberalisasi Undang-Undang Listrik
Oleh: Indah Dwi Qurbani

*SEPERTI* diduga sebelumnya, DPR akhirnya mengesahkan revisi UU No 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada 8 September lalu. Saat itu, 25
anggota DPR yang hadir kompak menyatakan setuju atas RUU
Ketenagalistrikan. Dengan demikian, UU No 15 Tahun 1985 dinyatakan tidak
berlaku lagi. (/JP/, 9/9/2009)

Sebelumnya, pemerintah pernah mengesahkan UU Ketenagalistrikan No 20
Tahun 2002. Tetapi, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21
Desember 2004. Sembilan hakim konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa
UU No 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasari
bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), dan (4), serta
penjelasan pasal 33.

Dasar hukum itulah yang membuat segala hal terkait kebijakan
perundang-undangan atau kebijakan di bawahnya, jika menyangkut usaha
untuk melanjutkan semangat untuk meliberalisasi, memprivatisasi, atau
mengomersialisasi sektor ketenagalistrikan, harus dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi.

Namun, yang disahkan DPR saat ini tak jauh berbeda. Tengok beberapa
pasal di dalamnya, seperti pasal 10, 11, 12, dan 13 yang menyangkut
pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan
listrik sebagai barang jualan, yang jauh dari tujuan dasarnya, untuk
memenuhi kebutuhan energi bagi warga negaranya.

Bukan hanya itu. Pengesahan UU Kelistrikan tersebut juga makin
memuluskan jalan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL).
Bagaimana tidak, pemerintah sudah berancang-ancang untuk menjual
pembangkit listrik Jawa Bali (PJB) kepada pihak asing. Jika itu terjadi,
TDL akan naik sampai lima kali lipat. Belum lagi penarikan subsidi
listrik oleh pemerintah. Jika pembangkit listrik dijual kepada asing,
otomatis subsidi yang saat ini diterima masyarakat, yang hanya membayar
Rp 650 per KwH (kilowatt per jam) dari biaya produksi listrik Rp 2.600
per KwH tak bisa lagi dinikmati. Pihak investor dipastikan menjualnya
sesuai mekanisme pasar yang berada di atas biaya produksi.

*Masalah Besar*

Dilihat dari substansi revisi, ada dua hal yang bisa menjadi masalah
besar di kemudian hari. /Pertama,/ soal regionalisasi tarif listrik.
Jangan heran jika pada tahun mendatang tarif listrik di satu daerah
dengan yang lain bisa berbeda. Undang-Undang Ketenagalistrikan yang
disahkan DPR memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah (pemda)
menetapkan harga listrik.

Sekalipun prosedur yang ditetapkan mengharuskan pemda meminta restu
terlebih dahulu kepada DPR dan tarif listrik yang diputuskan juga harus
mengacu pada tarif yang ditetapkan pemerintah pusat, tak ada jaminan
model tersebut bakal menjadi lebih baik.

Jauh sebelum RUU Ketenagalistrikan disahkan, Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) menegaskan, jika model regionalisasi tarif
ditetapkan, daerah masih membutuhkan subsidi dari pusat.

Regionalisasi tarif listrik hanya bisa diimplementasikan di
daerah-daerah berbasis industri dan kebanyakan warganya masuk kelas
menegah atas. Misalnya, Kalimantan Timur, Batam, dan Kepulauan Riau.
Sebab, pelanggan mesti membayar lebih mahal.

/Kedua/, liberalisasi ketengalistrikan. UU Ketenagalistrikan (UUK) yang
baru membolehkan swasta menguasai pembangkit sekaligus jaringan
distribusi listrik untuk kepentingan umum. Itu berarti, UU
Ketenagalistrikan yang baru menghapus monopoli PLN alias liberalisasi
listrik. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa perubahan UUK
didasari adanya ketidaksesuaian Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan
kehidupan masyarakat.

Jika menggunakan logika berpikir yang selama ini dianut pemerintah,
sangat mudah memahami bahwa yang dimaksud adalah tuntutan untuk
melaksanakan agenda-agenda liberalisasi ekonomi sesuai dengan arahan
lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi utang (IMF, World Bank,
ADB), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dengan WTO, dan perjanjian
perdagangan bebas kawasan (/free trade agreement/).

Liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia berpotensi merugikan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Kebijakan pemisahan usaha penyediaan
tenaga listrik dengan sistem /unbundling vertikal/ yang tercantum dalam
pasal 10, 11, 12, dan 13 RUUK yang meliputi usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan merupakan upaya privatisasi
pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai
komoditas pasar, yang berarti tidak lagi memberikan proteksi kepada
mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik.

Demikian halnya dengan agenda /unbundling horizontal/ yang tercantum
dalam pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) diberlakukan dengan pemberian
kewenangan pengelolaan kelistrikan kepada pemda. Dalam jangka panjang,
pemda dapat dipastikan akan menuai kesulitan dalam pengelolaan
kelistrikan. Terkecuali bagi sebagian kecil pemda yang mampu.

Dengan disahkannya UU Ketenagalistrikan, sekali lagi, kepentingan negara
dikalahkan kepentingan pemodal dan dikte lembaga keungan internasional.
Dan, sayangnya, para pengurus negara justru turut menjadi pelayan
praktik penjajahan ekonomi di negeri ini.

Paranoid berlebihan kepada lembaga keuangan asing yang kerap
dipertontonkan pengurus negeri ini nyaris tanpa alasan. Presiden
Venezuela Hugo Chavez setidaknya telah membuktikan hal itu. Segera
setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh utang
Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi
utangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat daripada jadwal.
Menyuntikkan dana tak berbunga kepada Argentina dan Bolivia melalui
lembaga yang disebut Compensatory Fund for Structural Convergence.

Karena itu, bila pemerintah RI kesulitan mengelola PLN secara mandiri,
ada baiknya merapat ke Venezuela, meminta dukungan dana tak berbunga,
untuk kemudian melepaskan diri dari cengkeraman ADB, IMF, dan Bank
Dunia, daripada menyerahkan pengusahaan listrik negara kepada mekanisme
pasar.(*)

* /*). Indah Dwi Qurbani,/ * / mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Unair/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=89906

*Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century*

*Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century*



Oleh: Kwik Kian Gie, Mantan Menko Perekonomian

Apa yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan,
pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di
berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran
dan pertanyaan.

Dengan tidak adanya blanket guarantee di Indonesia, tetapi jaminan
maksimum Rp 2 miliar per rekening, menaruh uang dalam jumlah besar,
terutama di bank kecil sangat berbahaya. Tetapi, Bank Century yang
begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh
beberapa deposan besar.

Mengapa berani menempatkan uangnya pada bank yang demikian kecil? Karena
ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktik bisnis yang wajar
atau karena ada motif politik tertentu. Mereka merasa aman, karena
deposan mempunyai hubungan khusus petinggi negeri ini.

Dugaan mereka ternyata benar. Century rusak karena uang simpanan para
deposan besar dicuri atau digelapkan para pemegang sahamnya sendiri.
Century disuntik oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) empat kali hingga
sejumlah Rp 6,76 triliun. Dari jumlah ini Rp 3,8 triliun dipakai untuk
menutupi penarikan deposan besar (SP, 31 Agustus 2009).

Media lain menyebutkan, Direktur BI bidang Pengawasan Bank mengungkapkan
bahwa, "Rp 5,7 triliun dari Rp 9,63 triliun ditarik dari Century antara
November dan Desember 2009."

Bukankah ini sudah bukti bahwa penyuntikan dana ke Century tidak untuk
menghindari kerusakan perbankan dan perekonomian yang sudah "sistemik",
tetapi untuk menelikung peraturan jaminan maksimum yang hanya Rp 2
miliar per rekening. Tujuannya, supaya deposan besar tetap bisa menarik
depositonya dalam jumlah besar.


Bagaimana Seharusnya?

Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan bank dan perekonomian nasional
dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bisa sebagai
berikut, semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya, semua tagihan
lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp 2 miliar sesuai peraturan yang
berlaku, selanjutnya Bank Century dilikuidasi. Tolong dibantah mengapa
kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan dan tidak dilakukan?

Pada satu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK), yang dalam kasus
Century ini bertindak sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada 25
November 2008 dilapori Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan
merangkap Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati tentang
penyuntikan dana ke Century. Dari pembicaraan itu JK langsung
menyimpulkan, rusaknya Century karena perampokan uang yang ada di bank
itu oleh para pemegang sahamnya sendiri.

Maka, JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu
salah kaprah. JK justru minta Boediono melaporkan kepada Polri dan
menangkap pemegang saham Century, yakni Robert Tantular. Boediono
menolak dengan alasan tidak mempunyai landasan hukum untuk itu.

Sebagai Presiden a.i., JK langsung memerintahkan Polri untuk menangkap
Robert dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata, baik Polri maupun
Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di
pengadilan. Perkaranya kini sedang disidangkan, dengan tuntutan hukuman
penjara 8 tahun dan denda Rp 50 miliar.


Dari rangkaian fakta tersebut, kita layak mempertanyakan bagaimana
Boediono, yang kini menjadi wapres terpilih mempertanggungjawabkan kasus
itu? Bolehkah Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen?
Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari
calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankah kewenangan JK pada 25
November 2008 adalah sebagai Presiden a.i., karena Presiden SBY sedang
berada di luar negeri? Berbagai pertanyaan tersebut, adalah menyangkut
aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan.

Berikut ada sejumlah pertanyaan kritis seputar kasus Bank Century.

Apakah bank bekerja pada Minggu?

Dari kronologi yang disampaikan, penyuntikan dana dilakukan pada 23
November 2008, yang adalah Hari Minggu. Bagaimana prosesnya secara
teknik perbankan? Apakah demikian mendesak kalau motifnya penyelamatan
perbankan dan perekonomian nasional? Bukankah urgensinya karena deposan
besar harus bisa secepatnya menarik uangnya yang tidak dibatasi Rp 2
miliar per rekening?


Mengapa Burhanuddin Abdullah dipenjara?

Burhanuddin Abdullah ditangkap, diadili, dan divonis 6 tahun penjara.
Apa sebabnya? Karena selaku Gubernur BI, dia membubuhkan tanda tangannya
untuk pencairan dana Rp 100 miliar yang dianggap koruptif. Satu rupiah
pun tidak ada yang dinikmatinya. Maka paling-paling dia dianggap
gegabah, bodoh, atau solider yang kebablasan.

Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau finansial, begitu
banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century
yang mencapai Rp 6,7 triliun itu, tentu jauh melebihi kasus yang menimpa
Burhanuddin Abdullah dan sejumlah koleganya.


Apakah benar negara tidak dirugikan?

Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena dana talangan
Century tidak berasal dari APBN, tetapi dari Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Bukankah uang Rp 100 miliar yang dijadikan landasan penghukuman
Burhanuddin Abdullah dan kawan-kawannya juga tidak dari APBN? Mengapa
pencairan uang yang sudah dipisahkan dari BI untuk dimasukkan ke dalam
sebuah yayasan, pelakunya dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah
tidak bisa dianalogikan pengucuran bailout dari LPS ke Century, dengan
kasus yang menimpa Burhanuddin, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam
kasus Century juga harus dimintai pertanggungjawaban hukum?


Huruf-huruf harafiah versus substansi.

Menkeu Sri Mulyani berpendapat, tidak peduli apa sebab kerusakan sebuah
bank, kalau sudah dianggap berdampak sistemik harus disuntik dana
secukupnya (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya
bisa mendapatkan kembali uangnya secara utuh, karena sudah dicuri
pemegang saham Century).

Anggota DPR Dradjad Wibowo berpendapat, bank yang kolaps karena dikelola
secara sembrono, dan dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan
terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alasan apapun.

Sedangkan mantan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyesalkan lembaga
negara yang seharusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan, malah
saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut
penyelamatan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
teknis, tetapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan aset negara.

Lantas, mana yang relevan bagi pengaturan negara? Main pokrol dengan
tafsiran harafiah semata, ataukah menafsirkan segala sesuatunya atas
dasar substansi dan fakta?


Gagasan blanket guarantee yang ditolak.

Sebelum kerusakan Century, ada gagasan supaya pemerintah memberikan
penjaminan secara penuh (blanket guarantee) kepada semua deposan di
Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank
di Indonesia, di tengah guncangan lembaga keuangan di seluruh dunia
akibat krisis finansial di AS kala itu. Usul penjaminan penuh itu datang
dari Boediono dan Sri Mulyani. Sebaliknya, JK menentang sangat keras.
Akhirnya terjadi kompromi, penjaminan hanya sebatas Rp 2 miliar per
rekening.


Benarkah bukan "domain" Presiden?

Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan, Presiden tidak mau mencampuri urusan
Century, karena urusan ini tidak termasuk di dalam domain-nya. Apa ada
urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang
republik, dan lebih-lebih lagi yang sistemnya presidensial, seorang
presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada
dalam domain pejabat lain?

Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic (semrawut) kalau
pemisahan ke dalam yudikatif, eksekutif, dan legislatif ditafsirkan
secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?

Inilah pertanyaan-pertanyaan kritis, untuk memberi perspektif yang lebih
mendalam di dalam kita menyikapi dan mengkritisi kasus Bank Century yang
terus bergulir hebat. *

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10316

Bibit Samad: Antasari Ikut Mreteli KPK

Bibit Samad: Antasari Ikut Mreteli KPK

*TEMPO /Interaktif/*, *Jakarta* - Banyak pihak disinyalir berusaha
meruntuhkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Caranya beragam: dari
pemangkasan kewenangan Komisi melalui undang-undang hingga desakan agar
KPK diaudit.

Serangan itu tak hanya datang dari luar. "Antasari ikut /mreteli/
//juga," ujar Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto. Itu
terkait dengan laporan yang disampaikan oleh ketua nonaktif KPK Antasari
Azhar, yang menjadi tersangka otak pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra
Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Kepada polisi, Antasari menyerahkan
testimoni yang menuding Wakil Ketua KPK Mochamad Jasin dan Deputi
Penindakan Ade Raharja telah menerima suap dalam kasus korupsi pengadaan
Sistem Komunikasi Radio Terpadu pada 2007 di Departemen Kehutanan.

KPK sudah bereaksi keras atas testimoni Antasari. Mereka menolak
tudingan itu dan menyilakan polisi membuktikannya. Toh, cara-cara itu
terasa mengganggu dan berpotensi meruntuhkan KPK. "Kini KPK sudah berada
di ranah yang lebih berbahaya," ujar Bibit. Kepada Endri Kurniawati dan
Ngarto Februana dari /Tempo/, Bibit buka-bukaan soal gempuran serangan
terhadap lembaganya itu. Berikut ini petikannya:

*Seberapa genting situasi sekarang bagi KPK....*

Kita kembali dulu ke tujuan pembentukan KPK. Sudah ada polisi, jaksa,
hakim, mengapa ada KPK dan Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi)?
Ini karena institusi yang ada tidak memuaskan dalam penegakan hukum di
bidang korupsi, dan tindak pidana ini sudah merupakan kejahatan luar
biasa, khususnya untuk kejahatan extraordinary itu. KPK dilengkapi
kewenangan yang juga extraordinary, seperti diatur dalam Undang-Undang
KPK Nomor 30 Tahun 2002, yang di dalamnya termasuk soal Pengadilan Tipikor.

Yang luar biasa itu, misalnya, kami boleh menyadap tanpa izin pengadilan
karena kami punya pertimbangan sendiri. Tentu saja ada prosedurnya. Kami
juga memeriksa pejabat negara tanpa harus izin presiden, padahal penegak
hukum lain harus izin dulu.

Dengan dua (cara) itu, KPK menjadi extraordinary. Malah dibilang
superbody. Superbody juga nggak. Wong pendek-pendek saja, karena tidak
semua penyakit korupsi ditangani KPK. Kalau melihat Pasal 11
Undang-Undang KPK, yang ditangani kan hanya penyelenggara negara dan
penegak hukum serta orang-orang yang terlibat dalam dua instansi itu.

Nah, apakah penanganan korupsi oleh KPK berjalan? Kalau nggak jalan,
patut dipertanyakan karena nggak lucu. Tapi kan jalan dan tidak ada yang
tidak diputus oleh Pengadilan Tipikor. Alat bukti KPK berlapis. Tak ada
yang susah bagi kami dalam memberantas korupsi kalau tak ada kepentingan
yang ikut bermain di situ.
/(Indonesia Corruption Watch melaporkan, pada semester pertama 2009,
Pengadilan Tipikor memvonis bersalah semua tersangka korupsi, sementara
di pengadilan biasa cuma 30 persen tersangka korupsi yang divonis
bersalah.) /

* Siapa yang ikut bermain itu? *
Kiprah KPK sekarang ini membuat koruptor takut, /ngeri./ Kalau mereka
/nggak/ korupsi, kan /nggak/ takut. Sehingga macam-macam yang terjadi.
Apa seperti itu atau tidak maksud mereka, yang tahu yang bersangkutan.
Dalam soal UU KPK yang hendak diobrak-abrik, misalnya.
Kalau KPK dinilai tidak becus, tidak berjalan, bisa saja UU KPK
diobrak-abrik. Tapi, karena KPK berjalan, mbok ya jangan. Ada juga yang
beralasan, disesuaikan dengan undang-undang yang ada. Bila benar begitu,
undang-undang yang ada itu yang harus disinkronkan. Jangan Undang-Undang
KPK, yang sudah di atas, disinkronkan ke bawah. Itu downgrade,
seharusnya undang-undang lain itu yang di-upgrade.

* Apakah undang-undang yang ada sudah memadai untuk penyidikan? *
Cukup. Kalau mau ditambah, ya, bagus. Yang kurang ditambahkan. Misalnya
gratifikasi, karena seolah-olah gratifikasi dalam UU KPK itu boleh
asalkan penyelenggara negara melaporkannya ke KPK. (tertawa)

/(Gratifikasi bahkan dilakukan Antasari Azhar ketika menjadi Ketua KPK
kepada sejawatnya, Mochamad Jasin. Dia memasukkan uang US$ 10 ribu ke
kantong wakilnya itu ketika istri Jasin sekarat di rumah sakit. Jasin
sudah mengembalikan uang itu ke negara sebelum 30 hari, sesuai dengan
undang-undang.)/

Sekarang ada dua RUU yang sedang disiapkan, yakni RUU Tindak Pidana
Korupsi dan RUU Pengadilan Tipikor, yang kabarnya disusun sesuai dengan
UNAC (United Nation Against Corruption).

* Jika semua itu ditambahkan, penindakan korupsi akan efektif?*
Berbagai kemungkinan bisa dicegah. Efektif atau tidak tergantung
pelaksana. Apa undang-undang kita kurang banyak? Superbanyak
undang-undang kita. Tapi mana yang ditegakkan secara benar? Membuat
undang-undang itu sama dengan membuat sistem hukum. Jangan membuat
undang-undang yang tidak efektif. (Seharusnya) yang belum ditampung ya
ditampung, yang ada jangan di-uthik-uthik. Ini yang ada di-uthik-uthik
juga. Lain soal kalau yang ada itu nggak jalan.

* Meng-uthik-uthik UU KPK ini termasuk langkah penggembosan? *
Ada yang melihat begitu, karena melihat apa yang di-uthik-uthik dari UU
KPK. Kan ada (fungsi) penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan di
samping (fungsi) preventif. Nah, preventifnya nggak ada yang
nguthik-nguthik, tapi penindakannya di-uthik-uthik. Ada yang bilang KPK
cukup penyelidikannya saja, penyidikannya polisi. Penuntutannya jaksa.
Ini kan jadi downgrade.

Hubungan polisi dan jaksa yang paling baik itu di KPK ini. Dalam proses
Pengadilan Tipikor, mereka sudah bergabung sejak penyelidikan sehingga
tidak ada bolak-balik pengajuan berkas dari polisi ke jaksa dan dari
jaksa ke polisi. Di sini, begitu selesai penyidikan, nggak balik lagi ke
penyelidikan. Berkas selesai, siap dituntut, jaksanya sudah ada di situ.
Ini mestinya jadi pelajaran bagi jaksa dan polisi. Tolong fakta ini
dilihat. Anggota DPR harusnya melihat itu untuk memutuskan.

* Dengan cara apa lagi KPK dipreteli? *
Ada pasal dalam RUU Tipikor yang mengurangi kewenangan KPK. Misalnya
nggak boleh ada penyadapan, karena orang takut disadap. Tapi penyadapan
kan ada yang ngawasi. Menkominfo (Kementerian Komunikasi dan
Informatika) mengaudit kami tiap tahun. Tolong dilihat aplikasinya
seperti apa dan yang mau dicari itu apa sih?

* Apa hasil audit Menkominfo? *
Penyadapan kami dinyatakan sudah sesuai dengan standar Lawful
Intersection. Yang mempermasalahkan itu orang yang takut disadap
(tertawa). Kami tidak sembarangan menyadap, kok. Sudah ada ketentuannya
dan harus diteken oleh salah seorang pimpinan.

* Komisi sejenis di luar negeri juga punya kewenangan extraordinary? *
Ada yang punya (kewenangan menyadap). Saya kira itu memang alatnya. Kita
tergabung dalam European Lawful Intersection, yang berpusat di Paris,
Prancis. Tapi di Amerika nggak ada KPK. Korupsi di sana kejahatan biasa,
bukan*
*//////////////////////////////////////////////////////////extraordinary.////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
//////////////////////////////////////////////////////////

*Gerakan menggusur KPK tidak bisa diang**gap enteng? *
Kembali lagi ke tujuan mendirikan KPK itu untuk apa? Apa tujuan KPK
sudah tercapai? Apa (tugas) jaksa dan polisi sudah (dijalankan dengan)
baik? Kenapa masyarakat berbondong-bondong (melapor) ke KPK? Lebih dari
40 ribu laporan masuk ke kami. Kami menangani 316 kasus dari 2004 hingga
sekarang. Dalam waktu satu setengah tahun ini kami lebih banyak
menangani kasus daripada lima tahun pertama, karena pada periode pertama
masih sembari berbenah.

* Apakah peningkatan itu meningkatkan gesekan dengan lembaga negara lain?*
Yang jelas ada benturan, dan KPK berusaha tidak membenturkan diri pada
lembaga-lembaga lain. Dalam undang-undang, KPK hanya bertanggung jawab
kepada Presiden dan rakyat. Kami diaudit BPK dan hasilnya wajar tanpa
pengecualian.

* Bagaimana hubungan dengan kepolisian? *
Nggak ada masalah. Yang jadi pimpinan kan adik-adik kelas semua. Kami
kalau bertemu ketawa-ketawa. Nggak tahu ada pihak ketiga yang
ngubub-ngububin koran itu, supaya kami seolah-olah berantem.

* Pihak ketiga?*
Ya, KPK sudah berada di ranah lebih berbahaya. Katakanlah Anggoro, bos
Masaro. Dia punya teman buanyak. Atau kasus Agus Condro.... Tapi saya
nggak boleh cerita soal kasus ini. Yang jelas, kami masuk ke ranah yang
selama ini tidak ditangani penegak hukum.
Sebenarnya, kalau mau, kami diam aja, biar nggak diributin seperti
sekarang. Tapi apakah kita punya KPK untuk sekadar punya. Kalau itu
terjadi, aku (Bibit mengubah kata ganti untuk dirinya dari "saya"
menjadi "aku") nggak mau di sini. Enak jadi dosen aja di luar. Saya
nggak cari kaya waktu masuk KPK. Makan juga nggak boleh banyak, sedikit
saja. Saya nggak ada beban.

* Apa yang paling berat? *
Korupsi ini seolah sudah jadi kebijakan publik.

* Anda khawatir kewenangan KPK benar-benar dikurangi? *
Sayang kalau itu benar-benar dilakukan. Ini yang terbaik selama ini.
Tapi yang memutuskan teman-teman di Senayan.

* Anda seperti pesimistis?*
Ya, itulah yang terjadi.

* Ada lobi terhadap DPR? *
Kepada yang kami kenal. Beberapa memang ingin mempertahankan KPK.
(Terutama) yang masih muda-muda. Tapi ada beberapa yang nggak.

* Apa yang Anda harapkan jika di Senayan /mentok?/*
Ya (peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang isinya) sama,
tinggal mindahin aja. Yang bagus di UU KPK dipindahin ke perpu. Tapi
Presiden kan diplomatis, mendorong DPR supaya undang-undangnya jadi.

* Anda puasa untuk menghadapi masalah KPK ini? *
Katanya doa orang yang berpuasa itu dikabulkan Tuhan. Doa kami kan agar
nggak ada masalah. Dulu, waktu masih letnan kolonel, juga pernah. Ada
masalah krusial, saya puasa. Dari pengalaman itu, saya lebih mudah
mendapat petunjuk dari Allah.

* Ada /political will/ yang mendukung KPK? *
Political will Pak Bambang (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) bagus.

Pernyataan Anda bertolak belakang dengan perintah Presiden kepada BPKP
untuk mengaudit KPK?
Mesti kita cek lebih jauh. Dalam politik, omongan A bisa dipelintir jadi
B. Ada tidak perintahnya? Pak Didi (Didi Widayadi, waktu itu Kepala
BPKP) bilang ada perintah lisan dari Presiden, jadi bukan Presiden yang
langsung bilang. Didi bisa salah ngomong. Kalau saya perhatikan,
statemen Didi itu berdasarkan ucapan Presiden "to be unchecked", yakni
superbody yang extrapower itu to be unchecked. Jadi seolah-olah KPK
perlu dicek dan audit itu kan sudah dilakukan BPK. Tapi yang saya dengar
Didi sudah diganti (sumber Tempo di BPKP mengatakan Didi telah memasuki
masa pensiun).

* Antasari...? *
Nggak tahu. Terakhir membesuk dia agak gemuk (tangan Bibit mengepal).

* Adakah pengaruh nonaktifnya Antasari terhadap kinerja KPK? *
Nggak ada. Sehari-hari dia juga nggak menangani apa-apa, hanya tanda
tangan.

* Antasari sempat "curhat" ke polisi...*.
(Dia) lapor!

* Sudah ada /follow up/ dari laporannya? *
Nggak. Kami minta dibikin penyelidikannya dulu. Yang jelas itu fitnah.
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Tapi orang yang difitnah juga
dibunuh. Hebatnya lagi kalau bisa bikin skenario saksi palsu, dan ini
apa sulitnya?
Ya nggak apa-apalah. Kita ikuti saja mereka ke mana. Soalnya, wajah
koruptor itu kan kita tidak tahu. Bisa pakai 1.000 wajah.

* Apa motif Antasari? *
Ini kan Antasari ikut /mreteli/ juga. La, apa maksudnya dia membuat
testimoni dan merekam percakapannya dengan Anggoro (Anggoro Wijaya,
Direktur Masaro Radiokom). Kenapa dia nggak membahasnya dengan pimpinan
KPK yang lain sewaktu masih memimpin KPK?
Saya tahunya, setelah ditahan, dia punya informasi penting. Dia ketemu
dengan Anggoro, orang yang sudah (masuk) daftar pencarian orang dan
tersangka dugaan korupsi. Nggak boleh dia bertemu dengan orang itu, apa
pun alasannya. Menurut UU KPK, lima tahun ancaman hukumannya. Dia ketemu
dengan alasan mengambil informasi itu. Kalau benar, mestinya dia bawa
orang itu ke sini. Diamprokin dengan orang-orang ini (penyidik KPK).
Tapi katanya orang itu takut dibunuh. Lha, siapa yang membunuh?
Jadi itikad baiknya sangat diragukan. Saya sudah sampai pada taraf tidak
percaya.

* Kami mendengar ini bukan kelakuan kontroversial pertama Antasari sejak
jadi Ketua KPK. Soal Bambang Widyaratmo bagaimana?*
Direktur Penyidikan KPK Bambang Widyaratmo kan dicopot sama dia
(Antasari). Dia yang meminta Kepala Polri. Kapolri belakangan mengaku
itu atas permintaan Antasari. Karena Bambang itu pernah menjadi Kepala
Polres Jakarta Selatan dan Antasari pernah jadi Kepala Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan, jadi Bambang ngerti-lah perilakunya Antasari ini.
Karena ngerti, disingkirin.

Ini nggak dia dirundingkan dengan pimpinan (KPK lainnya), karena dia
bisa kalah suara kan. Bisa lawan 4 atau lawan 3. Di sini saya pun paling
menentang. Sudahlah, saya sudah nggak simpati.

Saya nggak tahu ada apa. Ketua KPK itu kan sudah disaring. Tapi
saringannya itu bocor. Jadi ampasnya pun masuk (tertawa). Jadinya begini.

* Bibit Samad Rianto *
Tempat, Tanggal Lahir: Kediri, 3 November 1945
Status: Menikah (4 anak dan 7 cucu)
Alamat: Pedurenan, Karang Tengah, Tangerang

* Pendidikan*
1959: Sekolah Rakyat
1962: Sekolah Menengah Pertama
1965: Sekolah Menengah Atas
1965: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (tidak lulus)
1970: Akademi Kepolisian
1977: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
1995: Magister Manajemen
2002: Universitas Negeri Jakarta, Program Doktor

* Karier*
1996: Wakil Asisten Perencanaan Kepala Polri
1997: Wakil Kepala Polda Jawa Timur
1997-2000: Kepala Polda Kalimantan Timur
2005: Rektor Universitas Bhayangkara Jaya
Desember 2007-Sekarang: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

* Tanda Kehormatan:*
Mendapat enam tanda kehormatan, di antaranya:
1999, Bintang Yudha Dharma Nararya
1999, Bintang Bhayangkara Pratama

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/09/brk,20090809-191642,id.html

"Sangat mungkin terjadi persekongkolan."

Komisi Keuangan Pilih Tujuh Anggota BPK

"Sangat mungkin terjadi persekongkolan."

*JAKARTA* - Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat tadi malam memilih
tujuh anggota baru Badan Pemeriksa Keuangan periode 2009-2014.

Satu di antaranya merupakan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR,
yaitu Rizal Djalil dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Nama lain yang
terpilih adalah Hadi Purnomo (bekas Direktur Jenderal Pajak),
Taufiequrachman Ruki (bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi), dan
Moermahadi Soerja Djanegara (Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi).

Tiga anggota terpilih lainnya merupakan orang dalam BPK. Mereka adalah
Hasan Bisri (anggota BPK 2004-2009), Dharma Bhakti (Sekretaris Jenderal
BPK), dan Gunawan Sidauruk (Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat).

Ketua Komisi Keuangan Achmad Hafidz Zawawi mengatakan para calon
terpilih akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 15 September
mendatang. Selanjutnya nama-nama itu diserahkan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.

Kendati baru rampung pada pukul 23.00 WIB, menurut Hafidz, proses
seleksi dan pemungutan suara berlangsung lancar. "Tadi sempat perlu
waktu empat jam lebih, karena faktor teknis," katanya tadi malam.

Adapun anggota Komisi Keuangan, Dradjad Wibowo, mengatakan, terpilihnya
Rizal Djalil menunjukkan yang bersangkutan memang paling layak. Sehingga
tidak ada alasan menuding ada kongkalikong dalam proses seleksi ini.
"Kalau masih ada yang menuduh, mumpung bulan puasa, silakan istigfar,"
katanya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki
menilai proses seleksi yang digelar Komisi Keuangan tidak /fair/. Sebab,
mereka memilih kolega sendiri, yang berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan. "Sangat mungkin terjadi persekongkolan," katanya.

Teten mengatakan masuknya anggota Komisi Keuangan yang sempat diperiksa
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sejumlah kasus korupsi bisa membuat
lembaga BPK menjadi tidak kredibel. "Apa yang bisa kita harapkan kalau
proses pemilihan busuk seperti ini."

Rizal adalah salah satu anggota Komisi Keuangan yang pernah diperiksa
KPK terkait dengan korupsi aliran dana Bank Indonesia. Nama wakil rakyat
dari Jambi ini juga telah disebut sebagai penerima dana dalam
persidangan Hamka Yandhu, yang telah dijebloskan ke penjara.

Sebelumnya, Rizal berulang kali membantah keterlibatannya dalam kasus
itu. Saat dihubungi /Tempo/ pada Rabu lalu, dia menolak menanggapi
tudingan tersebut. "Saya sedang ada pengajian," katanya.

Teten mendesak Presiden menangguhkan pelantikan dan meminta proses
pemilihan ulang. Sebab, selain karena calon-calon terpilih bermasalah,
prosesnya melanggar konstitusi lantaran mengabaikan masukan dari Dewan
Pertimbangan Daerah, seperti yang diamanatkan Undang-Undang 1945 dan
Undang-Undang BPK. "Proses ini cacat hukum," kata Teten.

Proses seleksi BPK yang dinilai bermasalah sebelumnya diungkapkan
anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Nursanita
Nasution. Dia mengatakan panitia seleksi tidak bekerja dengan baik,
terutama dalam penerimaan pendaftaran calon. *RIEKA RAHADIANA | AGOENG
WIJAYA | SETRI YASRA
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/12/headline/krn.20090912.176599.id.html
*

Peranakan

Peranakan

SAYA kagum atas sikap Aylawati Sarwono, Direktur Jaya Suprana School of
Performing Arts, yang tegas menolak permintaan sebuah lembaga yang ingin
merayakan Hari Raya Imlek dengan pergelaran kebudayaan China bergaya
persis di Hong Kong dan Taiwan.


Sikap Ayla sebagai seorang insan keturunan China cukup mengejutkan
karena seolah ingkar terhadap kebudayaan China yang dijunjung tinggi
sebagai warisan leluhur oleh para warga negara Indonesia keturunan
China. Namun sebagai warga negara Indonesia, sikap Aylawati sangat
mengagumkan karena jelas mencerminkan semangat nasionalisme yang luhur.

Kekaguman saya semakin mendalam karena Aylawati Sarwono memang menolak
pergelaran kebudayaan China yang persis seperti di Hong Kong dan Taiwan,
tapi sambil menawarkan pergelaran kebudayaan China yang tumbuh-kembang
di bumi Nusantara yang disebut sebagai kebudayaan peranakan yang memang
memiliki ciri dan sifat khas sama sekali berbeda dengan kebudayaan China
di Hong Kong atau Taiwan.Apalagi dengan yang di daratan Republik Rakyat
China sendiri.

Penawaran Ayla ini membuktikan dirinya bukan cuma memiliki semangat
nasionalisme fanatik membabi-buta, melainkan juga didukung kesadaran
atas makna kebudayaan Indonesia sejati yang berbingkai Bhinneka Tunggal
Ika. Makna yang berhias aneka ragam bentuk kebudayaan, termasuk di
antaranya adalah kebudayaan peranakan sebenarnya yang masih harus
diperinci lebih jauh menjadi kebudayaan peranakan Indonesia. Kebudayaan
yang berbeda dengan kebudayaan peranakan Malaysia dan Singapura.

Penawaran Aylawati Sarwono untuk menampilkan pergelaran karsa dan karya
kebudayaan peranakan Indonesia untuk merayakan Hari Raya Imlek memiliki
nilai adiluhung.Pergelaran seni budaya peranakan Indonesia terjamin
tidak kalah semarak dan indah ketimbang pergelaran seni budaya China di
Taiwan, Hong Kong, Beijing atau kota China mana pun! Kebudayaan
peranakan Indonesia memiliki jati diri khas, tiada duanya di dunia ini
karena masyarakat keturunan China di persada Nusantara telah berhasil
membentuk ciri dan gaya kehidupan mereka yang memang tiada duanya di
dunia dengan corak, jenis, dan bentuk estetika yang mandiri.

Kebudayaan peranakan telah melahirkan bentuk busana seperti kebaya yang
sangat menawan dengan sentuhan garis tubuh gemulai dan anggun.Kebudayaan
peranakan Indonesia juga telah melahirkan corak motif seni batik
memesona dan jelas tidak eksis di seni tekstil mana pun di marcapada
ini, termasuk di daratan China,Hong Kong,atau Taiwan! Kebudayaan
peranakan melahirkan seni musik gambang yang tumbuh subur di kawasan
pesisiran budaya Pulau Jawa dari Jakarta ke Semarang sampai Surabaya.

Komponis peranakan Oei Yok Siang yang berkarya di Kota Semarang
melahirkan karya-karya musik abadi seperti Gambang Semarang, Impian
Semalam, Malu-Malu Kucing dan ikut memengaruhi lahirnya musik yang juga
khas tiada duanya di dunia: campur sari. Tidak kurang dari Gesang
sendiri menggubah melodi Bengawan Solo bertumpu pada titinada pentatonik
12356 yang merupakan titinada musik peranakan di kawasan pesisir utara
Pulau Jawa.Di bidang adiboga, kebudayaan peranakan Indonesia melahirkan
hidangan mahalezat seperti lunpia semarang, tahu pong, bolang-baling,
bakmi, bihun, timlo, wingko, dan lain-lain pemicu air liur.

Pengaruh kebudayaan peranakan Indonesia juga ikut menyuburkan lahan
kebudayaan Betawi, terus menelusur ke Surabaya melalui Semarang,Kudus,
Rembang, dan terutama Lasem yang layak dianggap sebagai pusat kelahiran
kebudayaan peranakan. Batik Lasem merupakan mahakarya adibusana
peradaban dan kebudayaan peranakan yang diburu para kolektor seni
tekstil dunia! Arsitektur kuilSam Po Kong yang asli sebenarnya bercorak
peranakan dengan pengaruh Islam. Sayang,monumen sejarah Islam di Kota
Semarang tersebut kini telah dipugar menjadi bergaya arsitektur
kebudayaan China persis nun jauh di Beijing.

Bahasa peranakan ikut membentuk perbendaharaan kosakata bahasa
Indonesia, terutama bahasa populer pergaulan kaum bisnis seperti sebutan
mata uang go-jeng, go-ban, go-tiauw atau hok-gie,bo cwan,bo lui,bo
jai,bo eng sampai bo-ceng-lie. Maka kawasan China Town atau yang disebut
sebagai pecinan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar memang
memiliki corak kebudayaan khas peranakan Indonesia yang tidak bisa
dipaksa untuk menjadi sama saja dengan kebudayaan China di Taiwan, Hong
Kong,atau apalagi Shanghai. Para leluhur warga keturunan China di
Indonesia seharusnya mampu menghargai, menghormati, dan menjunjung
tinggi langit kebudayaan di mana kaki mereka berpijak.

Tidak perlu harus berkiblat ke bumi daratan China,Taiwan, atau Hong
Kong. Jika kebudayaan warga Shanghai terbukti mau dan mampu beda dengan
kebudayaan warga Beijing, kenapa kebudayaan warga Jakarta, Semarang,
Surabaya,Medan,Makassar, Banjarmasin harus tunduk dan berkiblat pada
kebudayaan warga Beijing? Maka segenap warga keturunan China di
Indonesia senantiasa siap berdiri tegap untuk menghormati pengibaran
bendera Merah-Putih sambil bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya,
lalu serentak nyaring berpekik “Merdeka!”(*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269631/38/

Kontroversi Seputar Bank Century

/Kontroversi Seputar Bank Century /

*Ferdy Hasiman*
ALUMNUS STF DRIYARKARA, JAKARTA, DAN PENEKUN MASALAH NEOLIBERALISME

Berita-berita di halaman depan media pada hari-hari ini heboh oleh kasus
/bailout/ untuk Bank Century. Sejak Oktober 2008, bank ini telah
dinyatakan gagal kliring oleh Bank Indonesia dengan indikasi rasio
kecukupan modal (CAR ) -3,5 persen. Menurut aturan BI, bank dinyatakan
sehat dan stabil jika CAR-nya berada di atas 8 persen.

Menimbang risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini kolaps,
setelah gagal kliring, bank ini dilaporkan ke Departemen Keuangan dan
diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS ) untuk diselamatkan. Aksi
penyelamatan terhadap bank ini mulai dilakukan sejak Departemen Keuangan
dan BI meminta persetujuan DPR agar bank ini di-/bail-out/. Pada
November 2008, DPR menyetujui agar pemerintah memberi /bailout/ bank ini
senilai Rp 2 triliun, karena dana nasabah sebesar Rp 1,4 triliun ludes
diborong Komisaris Utama yang memiliki sekuritas Antaboga Delta Sekuritas.

Di luar dugaan memang pemerintah mem-/bail-out/ bank ini sebesar Rp 6,7
triliun, yang memunculkan gelombang protes dari berbagai pihak termasuk
DPR RI. Adapun alasan yang dikemukakan pemerintah dan BI di balik
/bailout/ ke Century adalah untuk menjaga likuiditas, dan virus krisis
akan menyebar ke sendi-sendi perekonomian bangsa. Tulisan ini tidak
hendak membahas seputar risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini
tidak di-/bail-out/. Tulisan ini mencoba memahami kontroversi yang
terjadi saat ini, karena urusan sistemik atau tidak, publik sedang
menanti audit investigatif BPK.

Ada alasan kenapa penulis tidak membahas dampak sistemik tersebut. Saya
mencoba melihat bahwa kontroversi yang terjadi akibat minimnya informasi
yang didapat publik tentang bank tersebut. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah mengapa hal itu terjadi.

*Asimetri informasi*
Secara jujur kita harus memberikan apresiasi kepada pihak-pihak yang
membongkar kebobrokan manajemen otoritas moneter dan pemerintah atas
/bailout/ ke Century. /Bailout/ yang tidak transparan menimbulkan /moral
hazard. Moral hazard/ berarti pemerintah hanya mem-/bail-out/ dana
nasabah-nasabah tertentu yang memiliki kepentingan pribadi dengan
pemerintah. Publik tentu menunggu dan berharap kasus ini diselesaikan
secara tuntas, karena merugikan negara sebesar Rp 5 triliun.

Namun, kita juga perlu jujur bahwa informasi yang didapat publik tentang
kasus Bank Century terpotong-potong dan tidak lengkap. Ketidaklengkapan
informasi inilah yang kita sebut asimetri informasi. Asimetri informasi
artinya akses publik untuk mendapatkan informasi seputar rasio-rasio dan
neraca buku bank ini hampir minim. Minimnya informasi yang kita terima
menyebabkan pencarian fakta tentang kasus ini sangat sulit dibuktikan.
Saat ini kita hanya mengumpulkan cerita-cerita atau penggalan-penggalan
pernyataan dari narasumber yang tak mengetahui kasus ini.

Jika pun ada deposan-deposan besar, seperti Boedi Sampoerna yang
tersangkut di sana dan ternyata ada pihak-pihak tertentu yang sudah
mengetahui kontrak politik antara otoritas moneter dan pemerintah,
kenapa tidak dari awal membongkar kejahatan tersebut? Lalu, bagaimana
kita dapat mengakses informasi ke sana. Risiko minimnya informasi
membuat publik kesulitan membuktikan kebenaran siapa-siapa deposan yang
di-/bail-out/. Saat ini publik hanya menangkap serpihan-serpihan dan
potongan-potongan fakta yang probabilitas kebenarannya sangat kecil.
Lalu, mengapa informasi yang disebarkan ke publik setengah-setengah?

Jawabannya tidak lain karena asimetri kekuasaan. Asimetri kekuasaan
berarti hubungan yang tidak sejajar antara kekuasaan dan rakyat.
Kekuasaan selalu berada pada pihak pebisnis atau deposan-deposan besar
karena, tanpa uang, kekuasaan tidak dapat berjalan mulus. Dengan itu,
kerja sama antara aparat kekuasaan dan pebisnis menjadi musuh permanen
republik ini sejak zaman Orde Baru.

Publik pasti sudah mengetahui bahwa para pelaku bisnis kerap menampar
jantung hati demokrasi. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik,
berubah menjadi urusan privat atau tempat sembunyi mafia bisnis dan
aparat pemerintah yang menggunakan jabatan untuk kepentingan bisnis.
Barangkali ada hikmahnya jika kita mengambil pemikiran filsuf Jerman
yang hidup pada rezim Hitler, Hanna Arendt. Arendt mengatakan, dominasi
urusan privat (kekuasaan ekonomi) dalam politik menimbulkan kolonisasi
ruang publik. Ruang publik merupakan ruang di mana warga negara
berkomunikasi membahas persoalan publik secara bersama-sama.

Arendt memang menyuling kembali konsep Aristoteles, yang membedakan
ekonomi, urusan distribusi dalam ruang privat atau keluarga. Arendt pun
membuat pemisahan urusan ekonomi ke dalam kategori "yang privat", urusan
pribadi, rumah tangga. Adapun "yang politis" adalah ruang publik, karena
di ruang publik rakyat saling berkomunikasi untuk membicarakan
kepentingan umum. Ruang politis bagi Arendt adalah ruang penampakan di
mana tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada kesenjangan informasi, tidak
ada yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ruang politis adalah
tempat rakyat berkomunikasi satu sama lain secara bebas dan adil.

Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi
ruang publik oleh yang privat. Ketika yang privat masuk ke dunia publik,
ia akan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun, dan
komunikasi politik menjadi mandek. Secara singkat dapat dikatakan
asimetri kekuasaan akan mengakibatkan asimetri informasi. Kekuasaan
menjadi tidak transparan. Ketidaktransparanan menimbulkan kesulitan
untuk mengusut tuntas kompromi politik dan /deal/ gelap yang dilakukan
otoritas moneter dan pemerintah. Bagaimana langkah selanjutnya untuk
tidak membiarkan kejahatan negara berlarut-larut?

*Kesadaran politik*
Kesadaran politik tentu mutlak perlu ke depan. Rakyat tentu perlu
bertanya, kenapa tiba-tiba JK dan beberapa partai di parlemen sangat
getol membongkar kasus ini. Bukankah sebentar lagi akan terjadi
perebutan posisi Ketua DPR dan MPR dan bersambung ke pemilihan komposisi
para menteri periode 2009-2014 mendatang?

Mudah-mudahan publik tidak terkecoh dan tertipu oleh permainan
kekuasaan, karena kerap kali kita membaca politik secara lugu dan polos.
Membaca politik republik siluman ini harus dibaca secara bijaksana,
karena hari ini para politikus berkata bak nabi, besok mereka akan
menjadi penjilat kekuasaan. Rakyat perlu menyadari bahwa pada awal mula
kasus ini kelihatan datar dan nyaris tak tersentuh kontrol parlemen.
Namun, belakangan santer terdengar beberapa pihak sangat getol
membongkar semua kebobrokan di balik kasus ini.

Dengan melihat kenyataan itu, penting bagi kita untuk membaca
kontroversi ini dari kacamata kekuasaan. Barangkali ada benarnya bahwa,
di level elite, sebenarnya ada geng dan kubu-kubuan. JK, misalnya, pada
masa pemerintah sebelumnya menjadi pemegang kendali kebijakan ekonomi
kita. Namun, dengan terpilihnya Boediono sebagai wakil presiden, tentu
pengendali kebijakan ekonomi akan berubah dengan sendirinya. Yang hendak
dikatakan adalah bahwa, sebagai bangsa (/state/), kita belum normal.
Sehingga, sebelum kita membereskan kasus-kasus besar, kita harus
membereskan /state/ dulu. Tanpa menyelesaikan perkara itu, masalah yang
datang silih-berganti mustahil dapat diselesaikan secara tuntas.

Tuntasnya penyelesaian persoalan di negeri ini sangat bergantung pada
kejujuran dan keberpihakan pemerintah kepada seluruh rakyat. Sebagaimana
kita melihat bahwa rakyat sekarang sudah pandai mengemas informasi, dan
itu menjadi berkah bagi kemajuan berdemokrasi ke depan. Tinggal sekarang
tugas pemerintah adalah menyajikan informasi penting berkaitan dengan
kepentingan umum ke publik secara merata, sehingga mekanisme kontrol
berjalan efektif dan rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan
pemerintah dan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan publik.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/12/Opini/krn.20090912.176561.id.html

Perlu Revisi Sikap terhadap ASEAN

Perlu Revisi Sikap terhadap ASEAN

Sejak era Orde Baru, politik luar negeri kita mengutamakan ASEAN. Di era
Reformasi, walau tidak seantusias Soeharto, empat presiden (BJ Habibie,
Gus Dur,Megawati,dan Susilo Bambang Yudhoyono) pada dasarnya masih
meneruskan politik luar negeri itu walaupun pengutamaan ASEAN itu terasa
tidak lagi punya dasar yang memadai.


Karenanya, memasuki dasawarsa kedua abad ke-21 ini adalah momentum yang
tepat untuk meninggalkan pengutamaan ASEAN itu. Penyusunan kabinet baru
masa jabatan 2009–2014 seyogianya juga mempertimbangkan perlunya
pergeseran prioritas politik luar negeri kita.

Lapis dan Lingkaran Konsentris

Prioritas politik luar negeri Indonesia sejak paro kedua dasawarsa
1960-an bisa diketahui dengan adanya konsep lingkaran konsentris
(concentric circle). Lingkaran konsentris atau lapis pertama adalahAsia
Tenggara,Pasifik Barat Daya, dan Samudra Hindia. Lingkaran konsentris
kedua adalah kawasan Asia Timur. Dalam lingkaran konsentris pertama
masih ada lingkaran terdalam,yaitu Asia Tenggara.

Selain itu,dikenal istilah lapis (layer).Lapis pertama adalah Asia
Tenggara.Lapis kedua adalah Pasifik. Pengutamaan ASEAN pada waktu itu
memang bisa dipahami. Pertama, pengutamaan ASEAN masuk akal dalam
suasana Perang Dingin.Walau secara resmi alasan pendirian ASEAN pada
1967 adalah untuk kemajuan sosial,budaya, dan ekonomi, tidak bisa
dimungkiri bahwa alasan strategis dan keamanan adalah untuk membendung
kekuatan komunis di kawasan Indocina agar tidak berkembang ke kawasan
Asia Tenggara.

Kedua, Presiden Soeharto sangat meyakini asumsi bahwa pembangunan
nasional tergantung pada ketahanan nasional bahwa ketahanan nasional
tergantung pada ketahanan kawasan dan bahwa
ketahanankawasantergantungpulapada ketahanan-ketahanan nasional
negara-negara di kawasan itu.Karenanya, Soeharto memang bekerja keras
untuk menjadikan ASEAN istimewa dan berhasil sebagai organisasi
regional. Ketiga, dengan menyikapi dan memperlakukan ASEAN secara
istimewa itu,Indonesia memang mendapat apresiasi dari dunia
internasional karena ASEAN dianggap sebagai cerita berhasil sebuah
organisasi kawasan.

Walau untuk menjadikan ASEAN itu cerita sukses, Indonesia harus banyak
mengalah kepada negara-negara anggota lainnya. Setelah Soeharto turun
pada 1998, negara-negara anggota ASEAN kini tampak. Keempat, masih ada
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yaitu persoalan perbatasan
wilayah. Namun,soal perjanjian batasbatas wilayah ini lebih menekankan
hubungan bilateral daripada multilateral atau regional. Soal
penyelesaian soal perbatasan itu tidak hanya dengan beberapa negara
anggota ASEAN, tetapi juga dengan negara-negara tetangga lain.

Kedekatan Kepentingan

Kini setelah tidak lagi ada Perang Dingin,setelah Soeharto lengser, dan
setelah negara-negara ASEAN lainnya tidak lagi menunjukkan respeknya
terhadap Indonesia, apakah pengutamaan ASEAN masih harus dipertahankan?

Apakah pengutamaan ASEAN itu masih harus dilakukan mengingat dinamika
internasional yang baru memasuki dasawarsa kedua abad ke-21 ini telah
berubah seiring dengan adanya beberapa perubahan yang cukup mendasar?
Pengutamaan ASEAN itu kini mudah dikritik karena perkembangan dinamika
internasional memang tidak bisa dihadapi dengan berkutat pada ASEAN.
Pertama, di mana pun dan kapan pun, politik selalu didasari kepentingan.

Erat-tidaknya hubungan antarnegara didasari oleh kedekatan (proximity).
Dalam dunia yang terasa makin sempit ini, kedekatan tidak bisa lagi
didasari melulu oleh kedekatan jarak geografis. Yang lebih kuat adalah
kedekatan kepentingan.Pengutamaan lingkaran konsentris atas dasar
kedekatan geografis tidak bisa dipertahankan.Kedekatan harus didasari
kepentingan, bukan geografis. Prioritas pada ASEAN semula lebih karena
kedekatan fisik-geografis, sementara memang ada kedekatan kepentingannya.

Namun, begitu kedekatan kepentingan ternyata tidak menguat, tetapi
justru melemah bila dibandingkan kedekatan kepentingan dengan negara dan
kekuatan riil di luar ASEAN, politisi atau negarawan siapa pun dan di
mana pun pasti tidak mau mengorbankan kepentingan nasionalnya hanya demi
rasa sungkan. Kedua, kenyataan bahwa hubungan intra-ASEAN tidak pernah
bisa mengalahkan hubungan ekstra-ASEAN,menunjukkan bahwa walau
riuh-rendah dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, ASEAN
tidaklah tumbuh secara wajar seperti yang diharapkan.

Misalnya, perdagangan intra-ASEAN pada 2005 hingga 2008 hanya berkisar
25%, sementara ekstra- ASEAN sekitar 75%.Hal itu bisa jadi karena memang
sebenarnya tidak ada niat yang sungguh-sungguh dalam membangun kerja
sama intra-ASEAN atau memang tidak cukup tersedia faktor-faktor riil
yang bisa dijadikan bahan bekerja sama karena tiap negara anggota ASEAN
masih punya pola hubungan tradisional dengan negaranegara di luar ASEAN
dan tidak mau rugi kalau haru meninggalkan mitra-mitra tradisionalnya itu.

Ketiga, ke depan, dinamika politik internasional akan bergeser ke Asia
Timur, sementara Eropa Barat dan AS masih akan dominan dalam menentukan
dinamika internasional itu. Politik luar negeri AS di bawah Barack Obama
tampaknya akan berusaha menjadikan hubungannya dengan negara- negara
lain lebih kooperatif daripada konfliktual.

Diprediksi, kawasan Timur Tengah akan lebih tenang dibandingkan masa
George Bush berkuasa.Kemajuan pesat RRC akan mendorong Jepang dan Korea
Selatan ikut berlomba memajukan produktivitasnya. Dalam ikhwal
perekonomian, dinamika internasional akan banyak dipengaruhi oleh
negaranegara itu.

Asia Timur, Eropa dan AS

Atas dasar tiga alasan di atas, maka ke depan, politik luar negeri kita
mesti menjadikan dinamika Asia Timur itu sebagai prioritas sambil
terus-menerus menjaga hubungan produktif dengan negara-negara Eropa
Barat dan AS.

Untuk itu, diperlukan keberanian untuk keluar dari rezim pemikiran
pengutamaan ASEAN yang selama ini memandu pemikiran dan tindakan luar
negeri kita. Prioritas utama politik luar negeri kita sudah saatnya
digeser ke kawasan Asia Timur sebagaimana selama ini dianggap sebagai
lingkaran konsentris kedua. Artinya, lapis pertama yang selama ini
merujuk pada Asia Tenggara perlu direvisi menjadi kawasan Asia Timur.

Bagaimanapun kemampuan kita untuk menyikapi dan menyiasati negara-negara
Asia Timur seperti RRC, Jepang, dan Korea maupun negara-negara Barat
(Eropa Barat dan AS) menjadi amat penting dan menjadi prioritas utama
dalam rangka menjamin, menjaga, memperjuangkan kepentingan- kepentingan
kita. Namun,kemampuan kita untuk menyikapi dan menyiasati negaranegara
atau lembaga-lembaga internasional lain tetap masih diperlukan kendati
bukan prioritas utama.

Secara khusus kita amat memerlukan meningkatkan kemampuan untuk
menyelesaikan persoalan- persoalan mendasar dalam ikhwal perbatasan
dengan negaranegara tetangga. Kalau kemampuan- kemampuan itu bisa
didayagunakan pada waktu lima tahun ke depan, posisi negara-bangsa kita
akan menguat di hadapan negaranegara bangsa lain.(*)

I Basis Susilo
Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Airlangga


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269605/

Bagi-Bagi Kursi Menteri, Benarkah?

Bagi-Bagi Kursi Menteri, Benarkah?

Meskipun masa jabatan para anggota Kabinet Indonesia Bersatu baru akan
berakhir pada 20 Oktober 2009, gosip tentang siapa mendapat apa dan
lewat “pintu” mana mulai ramai terdengar.


Tentu tidak seterbuka berita kasak-kusuk para pesohor negeri ini yang
mendominasi tayangan hiburan televisi kita. Namun, pada lingkaran
tertentu, tingkat kegaduhannya sudah sangat terasa. Apalagi di kalangan
elite partai politik, masa-masa sekarang adalah masa yang tepat bagi
mereka untuk mulai memperhitungkan posisinya dalam pemerintahan mendatang.

Itu sebabnya, akhir-akhir ini mulai terlihat adanya berbagai langkah
pendekatan, baik dari partai koalisi SBY maupun lawan sekalipun,untuk
memperbincangkan masalah ini.Kecurigaan antarpartai mulai menyeruak ke
permukaan tatkala sebagian besar kekuatan politik mulai “merapat” ke
Cikeas, kediaman pribadi Presiden SBY.Persaingan antarmereka mau tidak
mau akan memuncak. Meski masih ada basa-basi politik dengan mengatakan
bahwa “komposisi kabinet itu menjadi hak prerogatif Presiden SBY”,
sejatinya rasa waswas dan takut tersingkir dalam persaingan mustahil
dapat disembunyikan.

Apalagi setelah terdengar berita bahwa PDIP, yang sebelumnya menjadi
seteru Pasangan SBY-Boediono dalam pilpres yang lalu, belakangan justru
berbalik arah.Kecenderungan semacam ini mau tak mau telah menambah salah
tingkahnya partaipartai koalisi lama Partai Demokrat serta pasangan
presiden dan wakil presiden terpilih tersebut. Bagi Presiden SBY dan
Wakil Presiden Boediono, merapatnya hampir semua partai ke kubunya tentu
saja akan sangat menguntungkan. Semakin banyak partai yang mendukung
pasangan terpilih ini akan memperkuat posisinya dalam menghadapi
parlemen mendatang.

Meskipun dikhawatirkan akan melahirkan sebuah pemerintahan yang nyaris
tanpa kekuatan oposisi, situasi yang demikian justru akan lebih
menguntungkan pemerintahan. Hanya dengan membagi- bagi kursi kabinet
kepada elite partai pendukung, tujuan melemahkan kontrol parlemen sudah
tercapai. Namun, masalahnya, apakah hanya karena tujuan pragmatis itu
saja lantas Presiden SBY akan rela melakukan politik dagang sapi?

Otonomi Relatif Presiden SBY

Walaupun kita semua juga mengetahui bahwa presiden terpilihlah yang
memiliki hak prerogatif untuk menentukan personel kabinetnya, tidak ada
larangan sama sekali bagi siapa pun untuk mereka-reka kemungkinan
bagi-bagi kursi menteri seperti itu. Dalam sistem politik yang
demokratis, tak ada sebuah kekuatan–– termasuk Presiden––yang memiliki
otonomi secara mutlak.

Yang ada kemudian adalah otonomi relatif. Dia memang memiliki kekuasaan
ganda. Selain sebagai kepala pemerintahan, presiden juga menjadi kepala
negara. Namun, kekuasaan seorang Presiden RI bukannya tak terbatas.
Dengan sejumlah alasan, hak prerogatif presiden tersebut secara politis
mulai dinisbikan. Pertama, memang Presiden SBY dan Wakil Presiden
Boediono terpilih dengan suara terbanyak yang cukup meyakinkan. Lebih
dari 60% pemilih Indonesia telah menyerahkan kepercayaannya terhadap
pasangan ini untuk memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Dengan perolehan suara sebanyak itu,mestinya Presiden SBY memiliki
posisi yang lebih menentukan di dalam memilih siapa yang akan dipercaya
menjadi pembantunya dalam pemerintahan selanjutnya. Akan tetapi,
gara-gara adanya koalisi besar 24 partai politik yang mendukung Pasangan
SBYBoediono dalam kampanye pilpres yang lalu, maka ada ruang untuk
mempertanyakan hakikat kemenangan di atas.

Apakah benar kemenangan itu semata-mata karena kepercayaan rakyat kepada
pasangan SBY-Boediono yang diusung Partai Demokrat atau karena juga
adanya andil dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB),Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB),Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(PNBK), dan sejumlah partai pendukung lain? Kedua, apakah Presiden SBY
memiliki keberanian untuk mengabaikan peran mereka? Menang dalam pilpres
memang satu hal.

Hanya dengan cara itulah seorang calon dapat meraih posisi selanjutnya.
Namun, penyelenggaraan pemerintahan dalam masa lima tahun ke depan
merupakan hal yang lain. Presiden tidak mungkin menjadikan dukungan
rakyat secara terbuka sebagai dasar dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, hak-hak rakyat untuk
menjalankan pemerintahan sudah didelegasikan kepada para wakil rakyatnya
di parlemen,baik di pemerintah pusat maupun pe-merintah daerah. Dengan
demikian, Presiden mesti memperhatikan konstelasi politik di parlemen
bila ingin segala agendanya mendapat dukungan rakyat.

Sebagai konsekuensi logisnya,Presiden harus mampu mengakomodasi kekuatan
di parlemen. Cara yang paling efektif untuk menerapkan politik akomodasi
tersebut adalah dengan memberi peluang kepada elite partai dalam
kursi-kursi kabinet yang dibentuknya. Lewat strategi semacam inilah
koalisi parpol pendukung SBY-Boediono tidak sakit hati. Ketiga, secara
pribadi, SBY sangat peduli terhadap harmoni. Meski sistem presidensial
yang kita anut,posisi presiden bukanlah segala-galanya. Apalagi
kemenangan partai pendukungnya,Partai Demokrat, belum mencukupi untuk
menjadi kekuatan mayoritas sederhana sekalipun di DPR.

Maka, mau tidak mau, Presiden mesti cerdik di dalam memainkan politik
akomodasinya.Menyadari bahwa kemenangannya banyak juga didukung pihak
lain,baik dari unsur partai maupun nonpartai, tidak ada kata lain
baginya untuk memberi imbalan kepada mitra pendukungnya. Keempat,
Presiden SBY pasti akan lebih memilih kabinet kerja daripada kabinet
ahli (zakenkabinet) ataupun kabinet yang teknokratik. Masalahnya, hanya
dengan cara itulah dia dapat mendistribusikan kekuasaan kepada para
pendukungnya tanpa harus kehilangan kendali.

Stabilitas pemerintahan, tentunya, akan menjadi prioritas Presiden SBY.
Oleh karenanya, sering terdengar bahwa dia tidak akan mendikotomikan
politisi dan ahli dalam menyusun anggota kabinetnya.
Berangkatdarisejumlahargumen di atas,dapat dimengerti apabila kemudian
muncul bisik-bisik soal personel kabinet berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan di atas.

Kualifikasi Calon Menteri

Sejumlah pertimbangan di atas tentu mustahil untuk dihindari. Siapa pun
yang menduduki jabatan presiden sekarang,tak mungkin lagi mengabaikan
arti dukungan para tokoh atau mengabaikan pentingnya koalisi antar
kekuatan yang ada. Namun,demi kepentingan yang lebih besar, Presiden SBY
harus menetapkan beberapa persyaratan obyektif.

Agar tidak terjebak ke dalam politik dagang sapi, sudah selayaknya bila
pragmatisme politik tidak menjadi satu-satunya pertimbangan di dalam
memilih para pembantunya.Mengingat makin kompleksnya persoalan
kenegaraan, di satu pihak, dan kian besarnya harapan masyarakat terhadap
presiden terpilih, di pihak lain, Presiden SBY diharapkan memperhatikan
suara-suara publik yang mulai nyaring dalam berbagai perdebatan.
Pertama, pengurangan jumlah anggota kabinet, menjadi seramping mungkin,
tapi sungguh-sungguh efektif dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Selain karena keperluan akan soliditas pemerintahan di pusat,juga akan
memberi makna yang konkret terhadap penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.Dewasa ini,mungkin sudah saatnya bagi Presiden SBY untuk
memberikan kepercayaan kepada keniscayaan demokrasi di daerah. Apa yang
dapat diselesaikan di sana, tak perlu lagi diambil oleh pusat.
Kedua,Presiden SBY harus memilih para pembantunya yang memiliki
kredibilitas moral, intelektual, dan integritas yang diterima umum.

Rekam jejak yang bersih dan kapabilitas dalam menjalankan tugasnya akan
sangat membantu penampilan seorang menteri. Ketiga, loyalitas kepada
pemerintah melebihi kepada partai atau pribadi dan golongan, harus
menjadi pertimbangan lain dari Presiden SBY dalam memilih pembantunya.
Hal ini akan mencegah adanya loyalitas ganda dan conflict of interests
sebagai akibat dari “Kabinet Pelangi” tersebut. diutamakan para anggota
kabinetnya Kualifikasi di atas tampaknya sangat penting ketimbang
memperhitungkan keadilan etnis atau gender.

Secara sempit, mungkin hal ini masih perlu diperhitungkan. Namun dilihat
dari kebutuhan sebuah pemerintahan modern, yakni efektivitas dan
manfaatnya, faktor-faktor tradisional tadi bisa dipinggirkan. Toh kalau
sebuah kementerian bekerja dengan baik, sudah secara implisit
mencerminkan pertimbangan-pertimbangan di atas.(*)

Indria Samego
Profesor Riset Bidang Politik LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269608/

Mempertemukan Hisab-Rukyat

Mempertemukan Hisab-Rukyat
Oleh : Mahmudi Asyari

SEKITAR lima tahun lalu, seorang wartawan Arab Saudi diseret ke
pengadilan lantaran mengkritik putusan mahkamah agung (MA) negeri itu
yang berkaitan dengan penetapan awal Syawal. Menurut wartawan tersebut,
MA negeri keluarga Saud tersebut telah melakukan kekeliruan fatal
lantaran ketika menerima klaim rukyat dari seseorang tidak mau mengecek
kebenarannya melalui uji ilmiah, apakah saat itu hilal memang mungkin
dirukyat atau tidak. Wartawan tersebut yakin bahwa hilal kala itu tidak
mungkin bisa dirukyat lantaran masih jauh di bawah ufuk.

Laporan wartawan tersebut dianggap melawan otoritas agama. Pengadilan
kemudian memberinya hukum cambuk. Untung, si wartawan tidak sampai
dicambuk karena Putra Mahkota Abdullah yang sekarang menjadi raja
mengampuni dan melepaskannya dari penjara.

Bagi kalangan ahli hisab (astronom), bukan kali itu saja Arab Saudi
bersikap kontroversial dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah. Bahkan, disinyalir tiga tahun terakhir ini negeri itu telah
melakukan kesalahan dalam menentukan awal ketiga bulan tersebut lantaran
dengan mudah menerima kesaksian siapa saja asal mau disumpah.

Padahal, menurut para ahli pada tiga tahun terakhir ini, selain awal
Ramadan tahun ini, mungkin yang dilihat ketika itu adalah Merkurius.
Saat itu matahari tenggelam sehingga kedudukan planet tersebut sangat
tinggi dan bisa dilihat dengan mudah.

Itulah yang terjadi di Arab Saudi jika ada orang yang berani mengkritik
putusan MA yang berkaitan dengan penetapan awal bulan hijriah, khususnya
menyangkut tiga bulan tersebut. Baru tahun ini, meskipun tetap menolak
untuk menyertakan astronom, ulama di sana memperbolehkan penggunaan
teropong sebagai alat bantu untuk melihat hilal.

***

Jika di Arab Saudi sudah demikian kuat hegemoni negara (pemerintah)
terhadap masalah tersebut, di Indonesia justru sangat longgar.
Departemen Agama (Depag) yang sebenarnya sudah disepakati sebagai /qadhi
/(pemberi kata akhir) tidak berdaya menjalankan fungsinya jika terjadi
perselisihan. Sebab, ormas, khususnya NU dan Muhammadiyah, sewaktu-waktu
bisa mengabaikan penetapan pemerintah. Ketidakberdayaan itu berlanjut ke
aliran lain yang merasa punya pedoman sendiri. Misalnya aliran yang
selalu ikut kata Arab Saudi meskipun negeri itu sering bertindak
kontroversial.

Keadaan seperti itu terjadi karena "dosa" Depag sendiri. Pada masa lalu,
mereka sangat politis, termasuk jika menterinya berasal dari
Muhammadiyah, yakni cenderung mangakomodasi doktrin ormas Islam
tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika yang sering berbeda dari
pemerintah ketika itu adalah NU. Kini, setelah menterinya NU, giliran
Muhammadiyah yang kukuh dengan doktrin /wujudul hilal/ dan cenderung
berbeda dari pemerintah.

Persoalannya, mungkinkah NU pada era Orde Baru (Orba) mengklaim rukyat
jika hilal belum berwujud? Sejatinya, tidak ada rukyat jika hilal tidak
berwujud. Dari situ timbul pertanyaan, apakah NU waktu itu memang
bersikap asal beda atau Depag terkooptasi politik?

Sikap Depag pada era Orba berdampak saat ini, ketika tingkat kepercayaan
terhadap Depag tidak bulat. Termasuk, ormas yang dulu selalu sepaham
kini cenderung berbeda. Ketiadaan kesamaan sikap terhadap kriteria yang
akan dijadikan dasar penetapan awal bulan membuat sejumlah orang
bingung, terutama yang merasa bukan pengikut NU dan Muhammadiyah.
Meskipun sebenarnya, menurut saya, hal itu tidak perlu disikapi dengan
debat kusir. Sebab, masalah tersebut merupakan ranah fikih, bukan
syariat. Ketika sudah masuk ranah fikih, urusan itu berarti masuk ranah
/al-ra'y/ (pendapat berdasar nalar). Menurut Umar bin Khattab, potensi
untuk berbeda sangat besar dalam ranah /al-ra'y/ itu.

***

Yang dipegang tiap-tiap ormas dengan kukuh tersebut sebenarnya bukan
ranah syariat yang tidak bisa ditawar. Metode yang dianut masing-masing
berada dalam ranah fikih dan politik. Sehingga, jika menganggap hal itu
sebagai harga mati, sesungguhnya setiap pihak telah menaikkan level yang
menurut Umar hanyalah pendapat tersebut ke tingkat syariat.

Karena masalah itu masuk ke dalam ranah fikih dan politik, sudah
seharusnya upaya yang diserukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
didukung semua pihak tanpa perasaan takut akan kehilangan peran.
Mestinya, menuju ke arah itu tidak sulit. Sebab, selama ini seperti
Muhammadiyah bisa menganggap di daerah yang hilalnya di bawah ufuk sama
daerah yang sudah wujud dengan argumen kesatuan wilayah hukum. Begitu
juga dengan NU yang bisa mengikutkan sejumlah daerah dengan daerah lain
yang mengklaim berhasil melihat hilal (rukyat) dengan ketinggian di
bawah 2 derajat. Jadi, semestinya menuju kebersamaan dalam menentukan
awal bulan sangat mungkin diwujudkan.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan
adalah ranah fikih,/ /yang berarti juga ranah ijtihad. Dengan demikian,
kebenarannya bersifat relatif. Karena itu, mengingat semua aliran
mengakui bahwa fikih hanyalah hasil dugaan yang kuat di samping sifat
yang relatif pendirian mutlak-mutlakan, sudah semestinya kita mulai
mereduksi dan membuka diri untuk berdialog guna mencari titik temu
(/kalimatun sawa/') yang bisa diterima semua pihak.

Selanjutnya, percayakan kepada pemerintah (Depag) atau MUI sambil
mengawasi netralitas mereka. Sebab, hanya lewat tindakan itu, Islam
sebagai /rahmatan lil alamin/, terutama bagi pemeluknya, menemukan
momentum sebenarnya. Sudah semestinya kita mulai mereduksi bahwa
penggunaan hadis perbedaan adalah rahmat jika nilai sebuah kemaslahatan,
khususnya dalam penetapan bulan kamariah, jauh lebih tinggi dalam
kebersamaan. *(*)*

/*) Dr Mahmudi Asyari, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Tionghoa Muslim di Indonesia

Tionghoa Muslim di Indonesia
Oleh : Tomy Su

Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang
penuh dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani
Zamzam, remaja putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (/Jawa
Pos/, 6 September 2009).

/Nah,/ informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya
Islam ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu
diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun
Gujarat. Itu tidak keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut
Tiongkok. Jadi, Islam masuk ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok,
bersama masuknya armada dari Dinasti Ming ke Palembang pada 1407, yang
dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.

*Komunitas Awal*

Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang
yang sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah
komunitas Tionghoa muslim pertama di Nusantara.

Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik,
Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari
Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan
salat bagi umat Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden
Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po
Kong Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan
Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

Menurut buku/ Babad Tanah Djawi/ /Prabu Brawidjaja VII/, raja Majapahit
menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan
memiliki anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan
keraton, melainkan dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di
Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama
(1475-1518) dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Saidin Panata Agama.

Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara
sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal
Wali Sanga sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama
Islam di Jawa. Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang
Tionghoa dengan gelar Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien
Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan "nan"= selatan. Tentu saja, bisa
diperdebatkan kebenarannya.

Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang
merupakan kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota
muslimin pribumi. Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa
mendirikan pusat Islam di Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura.
Bong Swee Ho selanjutnya dikenal sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee
Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali Sanga dengan nama Sunan Bonang.

Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga
kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya
tidak ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang,
selalu lebih mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit
pun perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni
tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga
berujung pada sikap membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut
saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang
lain dan dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh
satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya,
belakangan justru ada "tren" bom bunuh diri.

Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan
Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam (/rahmatan lil alamin/) tidak hanya dipersempit dan
direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa
orang Islam yang kerap mengklaim sebagai muslim sejati.

Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih
oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau
radikalisme.



*Islam Itu Damai*

Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama
umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan
pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu
harus menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para
agamawan tidak perlu menunggu diajak pemerintah karena kita harus
proaktif bersinergi dengan berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk
ke dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas
harus diajak dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap
mo­derat, sebagaimana /mainstream/ umat Islam di dunia. Semakin banyak
yang terlibat dalam proyek deradikalisasi itu, seperti para orang tua
atau pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan, akan semakin baik.

Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum
menunjukkan bahwa Islam itu /rahmatan lil alamin./ Islam itu damai
(/aslama/) dan orang-orang lain harus merasakan rahmat dan damai
tersebut. (*)

/*) Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=90099

Century: Fakta Versus Asumsi

*Arya Gunawan*
PEMERHATI MEDIA, MANTAN WARTAWAN, KINI BEKERJA UNTUK UNESCO INDONESIA

"Saya harus katakan secara tegas dan jelas bahwa Insya Allah tidak akan
terjadi krisis sebagaimana kita alami pada sepuluh tahun lalu," demikian
ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Bank
Indonesia, dunia usaha, para pengamat ekonomi, dan para pemimpin media
massa, di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, 6 Oktober 2008. Pertemuan
itu bagian dari langkah menanggapi gejolak ekonomi yang tengah
berlangsung di Amerika Serikat.

SBY meyakini, faktor-faktor yang hadir saat krisis ekonomi 1997-1998,
misalnya kebijakan yang tak konsisten dan menipisnya kepercayaan
masyarakat, kini tak ada lagi. SBY juga percaya bahwa kebijakan,
prioritas, dan arah perekonomian Indonesia sudah tepat, ditandai dengan
membaiknya pendapatan per kapita, menurunnya rasio utang terhadap
pendapatan domestik bruto.

Sehari sebelumnya, Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani
memberikan penjelasan senada: kondisi Indonesia relatif baik. Boediono
menyebutkan, perbankan masih terbilang solid, dengan posisi rasio
kecukupan modal berada di kisaran 16 persen atau jauh di atas ketentuan
minimal 8 persen. Begitu juga rasio kredit bermasalah yang bisa
dibendung di posisi 3,59 persen. "Ini bisa menjadi bekal kami menghadapi
krisis ini," ujar Boediono.

Namun, persis satu setengah bulan setelah pernyataan itu, 21 November
2008, muncul "gempa" kecil di sektor perbankan: Bank Century berada di
tepi jurang, dan harus diselamatkan. Belakangan kita tahu, proses
penyelamatan itu telah menyedot Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Alasan pihak-pihak terkait (BI, Menteri
Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK, dan LPS),
jika Century dilikuidasi, akan berdampak sistemik.

Dan hari-hari ini, kasus Bank Century berkembang menjadi "gempa" besar,
melahirkan pro dan kontra. Polarisasi juga merambah ke dunia media: ada
sejumlah media yang menolak kebijakan itu, ada yang mendukung. Kelompok
/Tempo/ termasuk kubu yang disebutkan terakhir ini. Posisi /Tempo/ ini
tecermin setidaknya dari laporan utama majalah /Tempo/ edisi 7-13
September 2009 yang dilengkapi kolom dua halaman oleh wartawan senior
/Tempo/, Bambang Harymurti (di bawah judul "Century: Astagfirullah atau
Alhamdulillah"), serta kolom yang ditulis wartawan /Koran Tempo/, Metta
Dharmasaputra ("Riuh Century Versus Asian Agri") di rubrik Pendapat
koran ini, Rabu, 9 September.

Media sah memilih posisi dalam setiap peristiwa, sepanjang itu dilakukan
melalui prosedur jurnalisme yang ketat (pengumpulan informasi/data di
lapangan), pemikiran yang kritis, perdebatan mendalam di ruang redaksi.
Proses ini menjadi lebih ketat jika persoalan yang tengah digarap
terbilang kompleks, berpotensi kontroversial, seperti halnya kasus Bank
Century ini. Khusus untuk /Tempo/, proses ini menjadi lebih berat
mengingat sejumlah awaknya diketahui memberikan dukungan kepada Boediono
dan Sri Mulyani, dua tokoh kunci dalam kasus Century. Dengan kata lain,
/Tempo/ harus memiliki argumentasi yang superkukuh jika memutuskan untuk
mendukung keputusan penyelamatan Bank Century. Jika tidak, publik akan
menuding bahwa pilihan sikap /Tempo/ itu lebih didasari kepentingan dari
dan demi orang atau kelompok tertentu, bukan kepentingan khalayak luas.

Namun, kekritisan dan pertimbangan matang inilah yang terasa kurang
dilakukan /Tempo/ kali ini. Untuk laporan utama di majalah, misalnya,
banyak pertanyaan yang masih menggantung. Ini berbeda dari sejumlah
karya liputan investigatif /Tempo/ sebelumnya, misalnya skandal Bulog II
yang melibatkan Akbar Tanjung di pada 2002, ataupun kasus dugaan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri pada 2007. Tak banyak
temuan investigatif penting/signifikan dalam laporan utama mengenai
kasus Bank Century, salah satunya mengenai jalannya rapat maraton
semalam suntuk antara KSSK, BI, dan LPS yang berujung pada keputusan
penalangan. Informasi ini tidak terlalu penting, sekadar menjadi
ilustrasi, dan mungkin untuk menampilkan kesan bahwa keputusan
pengucuran dana LPS untuk Bank Century tersebut dibuat sudah dengan
pertimbangan matang. Bandingkan, misalnya, dengan uraian mengenai
jejaring anak usaha kelompok Asian Agri, ataupun cek dari dana skandal
Bulog II yang mengalir ke dua orang bendahara Partai Golkar.

/Tempo/ semestinya bisa mengajukan pertanyaan di hulu sekali:
ketangguhan fundamental ekonomi macam apa yang sebetulnya dimaksudkan
SBY, Boediono, dan Sri Mulyani sebagaimana dikutip di awal tulisan ini?
Kalau memang situasi perbankan kita sehat, perekonomian kita berada pada
arah yang benar, tentu tak akan muncul alasan "dampak sistemik" yang
dijadikan landasan utama keputusan menyelamatkan Century. Jadi, bisa
disimpulkan, salah satu dari dua pernyataan tersebut--entah mengenai
perbankan kita sehat, ataukah ihwal bahwa jika Century dibiarkan mati
maka akan berdampak sistemik--pastilah mengandung kekeliruan, atau
sedikit-dikitnya masih berupa asumsi. Ataukah dalam tenggang waktu satu
setengah bulan, sejak pernyataan itu mereka lontarkan sampai saat
keputusan menyelamatkan Century ditetapkan, telah terjadi guncangan
dahsyat pada landasan perekonomian kita?

Menggunakan pijakan ini pula, saya tak sependapat dengan Metta
Dharmasaputra dalam kolomnya, karena salah satu dalil yang dipakainya
untuk menopang premis tulisannya itu adalah kesejajaran situasi saat
keputusan untuk menyelamatkan Century diambil dengan situasi ketika
Indonesia dilanda krisis pada 1997/1998. Kutipan dari para pejabat
Indonesia yang disodorkan di awal tulisan ini jelas menunjukkan bahwa
situasi di kedua penggalan waktu tersebut berbeda.

Masih sederet hal lagi yang luput "dikuliti" /Tempo/: informasi lebih
jauh dari Wapres Jusuf Kalla; informasi tentang nasabah besar Bank
Century (setidaknya ada satu nama deposan besar yang sudah dipastikan
memiliki simpanan dalam jumlah raksasa di bank itu); mengorek lebih jauh
dugaan yang dilontarkan sejumlah kalangan bahwa ada dana yang mengalir
ke partai politik yang berasal dari dana talangan itu; mempersoalkan
proses pengambilan keputusan itu (misalnya, mengapa Presiden tidak
dilibatkan, padahal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang LPS di pasal
2 ayat 4 jelas-jelas disebutkan bahwa LPS bertanggung jawab kepada
Presiden. Kini, mengapa para pendukung pengucuran dana talangan itu bisa
dengan mudah mengatakan bahwa Presiden tidak ikut-ikut dalam keputusan
ini?).

/Tempo/ juga seharusnya mencari Boediono. Mengapa selaku orang nomor
satu di BI, dia tidak menempuh tindakan tegas lebih awal terhadap
Century, meskipun memang Century telah menjadi beban yang diwariskan
oleh para pendahulunya? Sebetulnya menarik melihat kenyataan bahwa sudah
tiga pekan heboh kasus Century ini berlangsung, namun sampai tulisan ini
dikerjakan (10 September), suara Boediono tak terdengar juga. Padahal
dia adalah kunci utama sesungguhnya, karena dua hal: a) BI-lah yang
selama ini mengawasi kinerja setiap bank (terbukti Century tidak
terawasi oleh BI sehingga bisa berdarah-darah begitu parah), dan b) BI
pula yang menjadi pangkal rekomendasi perlunya dana talangan tersebut.

/Tempo/ juga terkesan "membeli" pendapat yang menyebutkan bahwa kinerja
Century kini sudah mulai membaik, dan bukan mustahil jika dijual kembali
beberapa tahun mendatang, harga jualnya lebih tinggi dari biaya
penyelamatan yang Rp 6,7 triliun itu. Ini lagi-lagi sebuah asumsi, mirip
asumsi mengenai "dampak sistemik" seperti yang disebutkan terdahulu.
Siapa dan bagaimana bisa menjamin bahwa keuntungan tersebut bisa
terwujud? Berbagai pengalaman sebelum ini menunjukkan bahwa hampir semua
bank yang ikut dalam program penyelamatan seperti Century ini dijual
dengan harga yang jauh lebih rendah dari modal yang dikucurkan untuk
menyehatkannya.

Jadi, /Tempo/ telah memilih posisi editorialnya yang terkesan lebih
membela sejumlah asumsi ketimbang membela sederet fakta yang menunjukkan
bahwa kebijakan penalangan ini layak digugat (keteledoran pengawasan BI,
adanya deposan besar di Century, Presiden yang dilangkahi, tahap-tahap
pengucuran dana yang tak jelas siapa pengawas dan perestunya). Sebagian
orang lainnya, termasuk saya, mengambil posisi berseberangan dari
/Tempo/. Waktulah kelak yang akan menunjukkan, mana di antara kedua
posisi ini yang lebih berdekatan dengan kebenaran.

Sambil menantikan tibanya pertolongan dari sang waktu, saya hanya bisa
berharap apa yang dilakukan /Tempo/ kali ini adalah pilihan yang murni
berlandaskan sikap profesional (Artinya, jika masih banyak "bolong"
jurnalistik yang tersisa, itu benar-benar murni karena tak berhasil
menambalnya, meskipun sudah dicoba. Misalnya saja sudah mencoba menggali
sederet informasi penting, namun narasumbernya menolak, atau karena
tenggat terbit yang tak dapat dikompromikan lagi). Dan bukan karena
dukungan membuta kepada sosok atau kelompok tertentu. Atau karena ada
agenda tertentu yang jauh kaitannya dari kepentingan khalayak luas.

/*) Tulisan ini pendapat pribadi.
/

/http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/12/Opini/krn.20090912.176560.id.html
/