BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Dua Wajah Otonomi Daerah

Written By gusdurian on Rabu, 26 Agustus 2009 | 10.51

Dua Wajah Otonomi Daerah

*Khudori*
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Mengikuti dua pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pidato pengantar
Rancang Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 di
Dewan Perwakilan Rakyat pada 3 Agustus 2009 dan di Dewan Perwakilan
Daerah 19 Agustus 2009, tertangkap satu hal: dua wajah otonomi daerah.
Sejak otonomi daerah 1999, telah terbentuk 205 daerah otonomi baru (7
provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Pemekaran membuat jumlah daerah
otonom menjadi 524 (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota). Sayang,
penyerahan wewenang (ekonomi dan politik) ke daerah tidak identik dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyak daerah pemekaran justru
menguras dana yang mestinya dipakai buat kesejahteraan rakyat.

Itu wajah pertama. Wajah kedua, otonomi berdampak positif. Misalnya
tujuh provinsi (Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Jambi,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta) pertumbuhan ekonominya
konsisten di atas rata-rata nasional, jumlah warga miskin dan
pengangguran menurun. Sayang, ini hanya terjadi di segelintir daerah.
Sebagian besar justru sebaliknya. Makanya Presiden mengusulkan, sebelum
ada evaluasi menyeluruh dan tuntas, perlu beleid moratorium pemekaran
daerah.

Sepuluh tahun otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memunculkan
dua kabar yang bertolak belakang: kabar buruk dan kabar baik. Misalnya,
rentang 2004-2006 keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya.
Sampai Maret 2007, sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Stigma
miring otonomi daerah seolah menemukan pembenaran: desentralisasi
korupsi, dan munculnya raja-raja kecil. Ratusan peraturan daerah dicabut
dan dibatalkan pemerintah pusat karena menabrak aturan yang lebih tinggi
atau bersifat "memeras" dan menciptakan inefisiensi bagi dunia usaha.

Di luar itu, ada banyak studi yang mencoba menilai dampak otonomi. Studi
The Asia Foundation, Partnership, hingga Bank Dunia (2006)
memperlihatkan kabar baik dan kabar buruk otonomi daerah. Kabar baik,
antara lain, ditunjukkan tumbuhnya inovasi dan /best practices/ di
sejumlah daerah dalam pelayanan publik pro-rakyat miskin. Itu pula yang
dibangun 10 tokoh pilihan /Tempo/ tahun 2008 dan edisi khusus /Tempo/
(17-23 Agustus 2009) yang berisi "9 Daerah Bintang" yang dinobatkan
sebagai daerah unggul dalam memenuhi hak-hak dasar warga seperti amanat
konstitusi. Namun, di balik kabar baik, ada banyak kabar buruk:
lokalisme yang eksklusif, /local capture/, praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, konflik lokal, birokrasi yang payah, serta pelayanan publik
yang sulit diakses orang miskin.

Sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke
daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus
(DAK), dan bagi hasil. Jika dipelototi, hanya 35 persen belanja APBN
yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja
pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan, serta subsidi. Sayangnya, meskipun 65
persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linear dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 provinsi mengalami
peningkatan jumlah warga miskin, di 15 provinsi sisanya jumlah
kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase
penduduk miskin rentang 2006-2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (0).

Dari deskripsi 10 tokoh pilihan yang ditampilkan, /Tempo/ mencatat
sejumlah hal mengapa mereka masuk kategori daerah "kabar baik" dari
otonomi daerah. Pertama, mereka tokoh yang mampu melahirkan terobosan
dan inovasi serta bisa mengurus diri atau daerah sendiri--sesuatu yang
tidak muncul di era sentralisme-otoriter Orde Baru. Kedua, mereka
bekerja dengan visi, memangkas korupsi dan menyingkirkan inefisiensi.
Ketiga, teladan dan kejujuran ditempatkan di urutan pertama. Keempat,
mereka percaya komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan,
bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja
mencapainya. Wali Kota Solo Joko Widodo, misalnya, tidak memindahkan
pedagang kaki lima (PKL) dengan cara bakar-usir, tapi diundang makan.
Setelah undangan makan yang ke-54, baru mereka siap dipindahkan.

Jika ditelisik lebih dalam, keberhasilan otonomi daerah yang diangkat
/Tempo/ banyak bertumpu pada tampilnya tokoh-tokoh lokal yang kuat,
aktif, dan responsif. Bupati Sragen, Blitar, Gorontalo, Badung, Jombang,
dan Luwu Timur serta Wali Kota Makassar, Solo, Yogyakarta, dan Tarakan
adalah tokoh yang memiliki karakter kuat untuk melakukan perubahan, dari
reformasi birokrasi hingga kebijakan sosial-ekonomi yang pro-rakyat
miskin. Meskipun pendapatan daerah mereka tidak besar, pemerintah daerah
sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi. Otonomi daerah
tidak menciptakan daerah pemburu rente, elite yang elitis, dan birokrasi
korup. Ini tipe daerah ideal di era otonomi, yang oleh Sutoro Eko (2008)
disebut "daerah budiman".

Masalahnya, karena bertumpu pada figur tokoh, keberhasilan ini tidak
akan berkelanjutan. Itu terjadi apabila dalam masa jabatan sang tokoh
tersebut tidak diikuti dengan upaya membangun fondasi struktur otonomi
yang kukuh. Begitu sang tokoh lengser, kemudian digantikan oleh tokoh
yang lemah, lembek, tidak bervisi, dan alergi perubahan, yang tercipta
adalah daerah yang sebaliknya: "daerah lemah", yakni daerah yang
pendapatannya rendah dan belanja kebijakan sosial yang rendah pula.
Cita-cita otonomi untuk membuat rakyat berotak cerdas, berbadan sehat,
dan berkantong tebal tidak terwujud. Yang terjadi justru rakyat kian
miskin, pendidikan dan kesehatan kian mahal.

Sayangnya, sejauh ini inisiatif dan inovasi lokal pada daerah-daerah
budiman masih bertumpu pada kehadiran tokoh semacam itu dan
pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara atau /state centric
approach/ (Sutoro Eko, 2008). Pendekatan ini dicirikan: pertama,
rasionalisasi birokrasi dan efisiensi anggaran. Caranya, struktur
birokrasi dirampingkan serta ongkos konsumsi pejabat dan birokrasi
daerah dipangkas. Hasil efisiensi anggaran direalokasikan untuk belanja
sosial dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, promosi
kesejahteraan lebih dominan digerakkan oleh kebijakan sosial negara
ketimbang kebijakan ekonomi yang berbasis pada swasta (kaum borjuis).

Ketiga, promosi kesejahteraan tidak menggunakan pendekatan universal
yang komprehensif, tapi pada pendekatan /targeting/, yakni kelompok
miskin sebagai sasaran. Keempat, "daerah-daerah budiman" secara
/incremental/ membangun tata pemerintahan lokal yang baik.
Akuntabilitas, keterbukaan, pelayanan untuk rakyat maupun antikorupsi
mereka jadikan spirit bekerja dan mekanisme kelembagaan dalam
menjalankan birokrasi. Kelima, daerah-daerah budiman bekerja dalam
konteks politik lokal dan demokrasi lokal yang /centripetal/ (memusat).
Kondisi politik di daerah-daerah budiman tak terfragmentasi dan
konfliktual, tapi terbangun konsensus bersama untuk mencapai kemajuan
daerah.

Masalahnya, pendekatan semacam itu punya kelemahan. Misalnya cara
/targeting/ sulit diterapkan karena membutuhkan kecanggihan birokrasi,
/database/ orang miskin dan sistem /delivery/ yang canggih; cenderung
menciptakan stigma buruk bagi penerima; dan cenderung menciptakan
pelapisan sosial (kaya dan miskin) ketimbang menguranginya (Bahagijo,
2007). Selain itu, promosi kesejahteraan yang bertumpu pada negara tak
akan bersifat langgeng dan berkelanjutan. Agar promosi kesejahteraan
bersifat langgeng, perlu hadirnya masyarakat sipil. Kehadiran masyarakat
sipil yang kuat akan menjadi fondasi kuat bagi tumbuhnya daerah yang
mandiri, demokratis, inklusif, pluralis, dan sejahtera. Tanpa kehadiran
masyarakat sipil yang kuat, daerah budiman tidak akan langgeng. Tanpa
kehadiran masyarakat sipil yang kuat, dua wajah otonomi daerah adalah
keniscayaan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/26/Opini/krn.20090826.174913.id.html

Air Mata Seorang Presiden

Air Mata Seorang Presiden

Seusai pemilu,betapapun banyak kelemahan dan kelalaiannya, kita tetap
menerima dan menyaksikan hasil kemenangan, yang kemudian dirayakan,
dengan syukuran, makan bersama, ucapan selamat, tawa, kepuasan, dan
harapan.

Menjelang pelantikan dan pengumuman kabinet, Oktober mendatang, kita pun
mafhum, segelintir elite genit dan gelisah, membayangkan dan
mengondisikan agar dia mendapat telepon dari Istana. Sebagaimana
pelajaran sebelumnya, kita bisa mengerti bila kemudian sebagian elite
yang akhirnya diumumkan namanya dalam jajaran kabinet mendatang segera
bereaksi spontan penuh gembira.

Ada yang segera sujud syukur,toast bersama, sibuk terima selamat,
bertelepon dan jabat tangan, atau langsung pesan tumpeng untuk
selamatan. Jabatan,juga kekuasaan, perlu dirayakan. Perlu disyukuri,
disambut gembira dan bahagia. Inilah tradisi kekuasaan politik di negeri
kita belakangan ini.

Sebuah tradisi yang sebenarnya tidak berdasar pada riwayat kekuasaan
yang ideal, yang diisi ambisi pengabdian, dedikasi,dan etos pelayanan
publik sebagaimana sejarah Islam mengajarkan, bagaimana para sahabat
justru berebut menolak jabatan khalifah yang ditinggal Nabi seusai
wafatnya.

Ketika mayoritas besar tak tertahankan, mengamanatkan tanggung jawab dan
kekuasaan itu, para sahabat yang kita kenal dengan Khulafauur
Rasyidinitu tidak bergembira. Tidak syukuran, minum, dan makan bersama
atau menerima salam,karangan bunga, bahkan bingkisan berisi pesan.Mereka
justru terdiam,sedih,bahkan berurai air mata: betapa berat tugas yang
Tuhan berikan. Air mata itu tentu berlapis makna adanya.

Bukan hanya, pertama, beban berat seorang pemimpin: memikul nasib, masa
depan, kesejahteraan, keamanan hingga kejelasan jati diri umat (bangsa)
yang dipimpinnya. Terlebih di masa mutakhir ini, ketika tantangan,
tekanan, dan persaingan––di tingkat regional maupun global—begitu
ketat,bahkan kejam.

Air mata itu juga meleleh karena, kedua, seorang pemimpin terpilih yang
tidak jumawa menyadari, betapa dirinya memiliki masih begitu banyak
keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan untuk dapat menunaikan tugas
berat yang dibebankan itu.

Kesadaran eksistensial seorang pemimpin yang berwawasan, visioner, dan
bijak akan mafhum bahwa seorang manusia, dalam semua kapasitas dan
potensi-potensi alamiah dan kebudayaan yang dimilikinya, tetaplah tidak
cukup menjadi jaminan keberhasilan sebuah usaha besar dari satu bangsa.

Dalam pengertian ini, kampanye beserta sejuta janji yang dilontarkannya
dapat dipahami tidak lebih dari sekadar retorika atau verbalisme yang
berhenti pada ilusi atau mimpi-mimpi kecil di bawah sadar konstituennya.
Kesadaran ini pula yang menggiring kita pada alasan ketiga tangis
seorang presiden atau pemimpin di masa modern ini: betapa sebenarnya
miskin sekali bangsa yang dia wakili dalam melahirkan pemimpin-pemimpin
yang andal.

Karena itu, orang seperti dia, dengan segala kekurangannya,masih tetap
dipilih dan dipercaya. Ini menciptakan tuntutan: sebagai pemimpin dia
akan menemui kegagalan pertama, ketika dia harus terpilih lagi di saat
seharusnya tanggung jawab itu tunai dia tuntaskan. Mungkin kita
menemukan pejabat terpilih yang menangis saat ini.Tentu karena bahagia.

Bukan lantaran keprihatinan yang tersembunyi dari sikap zuhud di atas.
Ketidak mampuan seorang pemimpin bersikap zuhud, asketis dalam beberapa
segi, hanya menunjukkan keringnya daya apresiasi kita pada kualitas,
pada kuatnya integritas dan dalamnya kepribadian. Sebuah fenomena yang
mestinya memberi makna keempat dari air mata seorang presiden, penguasa
pilihan di mana pun.

Selebrasi Kekuasaan

Namun, jujur saja, kita–– bersama seluruh pranata, sistem,mekanisme atau
proses politik yang ada, berlangsung, dan kita selebrasi bersama––memang
tidak memiliki peluang untuk melahirkan pemimpin zuhud seperti
terkategori di atas.Jabatan dan kekuasaan dalam sistem dan kultur
politik seperti ini adalah sebuah pencapaian yang harus dibela dan
diperjuangkan habis-habisan, tidak hanya dengan seluruh harta, tapi
bahkan–– bila perlu—dengan jiwa satusatunya.

Tidak aneh karena sistem dan kultur politik semacam ini memang tidak
diturunkan dari tradisi ketimuran atau Islam misalnya.Dia semata adopsi
bahkan jiplakan murahan dari apa yang ada dan berlangsung–– secara ideal
dalam kognisi kita—di belahan Barat dunia. Belahan yang notabene
memiliki sejarah, latar alam, budaya, historisitas, watak hingga reaksi
sensoris- fisikal yang berbeda dengan mereka yang berada di Timur.

Pemilahan diametral atau oposisional ini memang ditentang oleh pemikiran
“modern”. Tentu saja dengan alasan kuat, pemilahan itu akan mempersulit
penetrasi atau diseminasi kultur oksidental secara global.Kesulitan
penetrasi ini juga pada akhirnya menghambat upaya dominasi atau dalam
arti sempit––antara lain—eksploitasi sumber daya dari negeri-negeri di
luar dunia Barat.

Ini logika sederhana yang sejak lebih seabad lalu sudah dimengerti.
Hanya kita, manusia masa kini, yang tak mau mengerti. Maka jadilah,
peraihan kekuasaan adalah sebuah kemenangan “besar” yang pantas, lumrah,
bahkan wajib diselebrasi.Tanpa kita sadari, pemahaman selebratif semacam
ini membawa implikasi: kekuasaan (politik) itu tidak didapat dari
akumulasi dukungan dari bawah (people) tapi melulu hasil pertarungan
antara para pemilik kuasa (elite).

Inilah sebuah logika yang mengakibatkan kekuasaan selalu berorientasi ke
atas secara vertikal,tidak ke bawah atau lebih tepatnya: memosisikan
diri sejajar secara horizontal bahkan dengan kaum jelata (poor). Bahwa
kekuasaan bukanlah pihak yang harus selalu dilayani (serviced by) oleh
rakyat pengikut, tapi justru adalah pihak yang mestinya melayani
(service for) kepentingan publik yang telah memberi amanat padanya.

Tak mengherankan bukan, jika program pemerintah, katakanlah BLT (Bantuan
Langsung Tunai) diposisikan sebagai hibah, hadiah atau generousity dari
presiden atau pemerintah kepada rakyatnya. Bukan sebagai sebuah
pelayanan karena sebenarnya uang yang diberikan adalah uang rakyat juga;
uang yang kembali kepada pemilik sebenarnya.

Unik dan menggelikannya, realitas ironis ini kini kita terima
bulat-bulat sebagai sebuah “kebenaran” modern atau setidaknya sebagai
sesuatu yang “seharusnya diterima”.Tak pernah kita memeriksa, dari mana
muasalnya akal atau logika semacam itu datang dan tersusun.

Mungkin karena kita malas berpikir ketimbang misalnya mengonsumsi begitu
saja alasanalasan yang disediakan literatur modern.Seperti kita dengan
santai mengonsumsi donat senilai 2.500 perak berharga 25.000 rupiah.
“That’s real,our today’s reality,bro!” tuntas seorang eksekutif muda
dengan espresso dan blackberry di genggamannya.

Hilangnya Roh Politik

Eksekutif muda itu tidak keliru. Mungkin tak salah berpikir. Sebagai
bagian dari generasi hi-tech dan cyber, dia tak mau ketinggalan
zamannya.Walau di beberapa bagian dirinya masih ada di masa lalu, entah
di Jawa, Bali, Makassar, atau Ambon,sebagaimana asal-usul kelahiran atau
orangtuanya.

Syukur pula,Tuhan—masa lalu itulah yang masih mengikat dia dengan sebuah
realitas tradisional kita yang masih mengandalkan pola hubungan
patron-client, relasi paternalistis secara vertikal. Ungkapan sang
eksekutif muda jadi tidak hanya keliru, bahkan legitimateberdasar pada
acuan yang paternalistis pada para elite, para pemimpinnya.

Ketika para pemimpin melihat dan mengapresiasi jabatan publik dalam
makna materialnya sebagai sebuah kekuasaan atas dunia material (secara
politis, ekonomis, sosial, dsb), logika yang sama tidak lagi menjadi
“kesalahan” bila dilakukan oleh publik. Bahkan dengan tingkat
penyimpangan yang lebih besar.

Legitimasi cara berpikir dan pola perilaku semacam ini, kita saksikan,
mendapatkan bukti serta dukungan yang kian luas. Kata pengabdian dan
pelayanan dalam term“jabatan” atau“ kekuasaan” semakin jauh panggang
dari arangnya. Lihatlah bagaimana para petinggi politik, dari puluhan
partai, organisasi (akademik, agama, massa hingga LSM) serentak
mendekati kubu pemenang seperti laron yang ingin memangsa panas
api/cahaya. Bahkan mereka yang semula bangga sebagai oposisi.

Bangga karena menunaikan obligasi politiknya sesuai dengan tuntutan
historis, normatif, dan ideologisnya: menjaga,membawa,dan membela
kepentingan publik yang memilihnya. Namun karena kekuasaan hanyalah
permainan di meja kaum elite, publik tinggal saja di belakang. Mereka
dibutuhkan bila pesta besar diselenggarakan. Kini saatnya petinggi
berbagi kuasa, berjatah-jatah fasilitas,mengeruk harta yang dikumpulkan
rakyat untuknya.

Di titik nadir ini, sebenarnya politik bukan hanya kehilangan
kesantunan,kehilangan ide dasarnya, tapi juga kehilangan roh, kehilangan
jati dirinya sendiri. Politik sudah mengalienasi diri dari referen
utamanya: rakyat dan sejarah, massa dan masa. Dalam situasi itu,dalam
situasi yang diikuti oleh elite-elite kecilnya itu, apa yang bisa
diharapkan oleh massa dan masa? Sebagian mengatakan: tak ada. Sebagian
lagi berkata: kita tunggu saja. Anda ada di jawaban yang mana?(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/265435/

Potensi Filantropi Ramadan

Written By gusdurian on Selasa, 25 Agustus 2009 | 08.15

Potensi Filantropi Ramadan
Oleh: Syamsul Arifin

*BANYAK *kalangan awam yang tidak mengetahui bahwa penyucian
(sakralisasi) terhadap Ramadan sebenarnya berlangsung jauh sebelum
datangnya Islam. Orang yang biasa membaca sejarah Islam tentu mafhum
terhadap komunitas /mutahannifun /(penganut tradisi agama hanif/Ibrahim)
yang telah lama eksis di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Setiap
datangnya Ramadan, komunitas /mutahannifun/ memiliki tradisi melakukan
kontemplasi di Gua Hira' (nanti tradisi ini dilakukan Nabi Muhammad) dan
mendermakan sebagian hartanya untuk kaum miskin.

Begitu Islam datang, tradisi tersebut tetap terpelihara, tentu dengan
modifikasi. Aktivitas kontemplasi, misalnya, tidak lagi dilakukan di gua
tetapi diganti dengan iktikaf di masjid. Sementara itu, tradisi bederma
semakin dikukuhkan Islam melalui kewajiban mengeluarkan zakat fitrah
yang boleh dilakukan di awal puasa Ramadan, kendati waktu yang
diutamakan adalah beberapa saat datangnya Idul Fitri.

Tradisi yang diwariskan komunitas /mutahannifun/ tersebut memiliki pesan
moral yang kuat bahwa orientasi terpenting dari seluruh aktivitas pada
Ramadan bukan pada pahala, tetapi penguatan komitmen ketuhanan dan
kemanusiaan. Komitmen pertama terwujudkan dalam keseriusan melaksanakan
ibadah ritual yang bertolak dari rasa cinta sejati kepada Allah.

Perwujudan komitmen kedua adalah mengembangkan solidaritas antarmanusia
dengan cara mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Untuk mewujudkan
komitmen kedua itu, antara lain, seseorang bisa memanfaatkan institusi
zakat. Sayang, institusi zakat belum termanfaatkan secara optimal oleh
umat Islam.

*Kewajiban Asasi*

Zakat merupakan salah satu kewajiban asasi yang harus ditunaikan orang
Islam, terutama yang berkecukupan. Kewajiban itu tidak bisa
ditawar-tawar. Dalam Alquran, kewajiban mengeluarkan zakat sering
disebut secara berurutan setelah kewajiban menjalankan salat. Dengan
logika seperti itu, Alquran sepertinya ingin menegaskan bahwa keislaman
seseorang belum sempurna kalau hanya mencukupkan pada kesalehan ritual
dan individual yang ditempuh melalui pelaksanaan salat, sedangkan
kewajiban sosialnya, seperti mengeluarkan zakat, dilupakan.

Dalam kehidupan kita sekarang, kealpaan mengeluarkan zakat memang tidak
akan pernah mendapatkan sanksi dari pihak mana pun, termasuk oleh
pemerintah. Zakat, tampaknya, lebih dipahami sebagai kewajiban privat
yang lebih menekankan pada kesukarelaan individual sebagaimana halnya
salat, puasa, dan haji sehingga tidak ada kewajiban bagi pihak lain
untuk memberikan sanksi. Semua sanksi yang terkait dengan pelanggaran
terhadap kewajiban agama itu sepenuhnya diserahkan pada otoritas Tuhan.

Situasi tersebut berbanding terbalik dengan sejarah Islam seperti pada
zaman Abu Bakar, khalifah pertama dalam Islam. Pada zaman khalifah yang
bergelar As Shiddiq itu, pernah terjadi peperangan yang disebut dengan
/hurub al riddah/, yakni peperangan melawan orang-orang yang dinilai
murtad. Orang-orang dinilai murtad bukan karena alasan teologis,
melainkan tidak menyerahkan zakat kepada pemerintah Madinah yang
dipimpin Abu Bakar.

Dengan mengesampingkan perdebatan menyusul tindakan Abu Bakar itu,
seperti terekam dalam buku kontroversial Farag Fouda, /Kebenaran yang
Hilang/ (2008), ada pelajaran moral yang bisa kita ambil. Zakat ternyata
lebih dari sekadar kewajiban privat yang hanya mengandalkan kesukarelaan
individual.

*Tidak Cukup Karitatif *

Jika cara pandang yang menempatkan zakat sebagai kewajiban privat tidak
lagi relevan dalam konteks zaman ini, lalu ke arah mana sebaiknya
pemahaman terhadap zakat dikembangkan? Kalau pada Alquran, sebenarnya
terdapat penjelasan yang demikian lugas terkait dengan posisi sosial zakat.

Secara lugas, Alquran menyebut zakat sebagai salah satu mekanisme yang
perlu dikembangkan untuk mewujudkan keadilan sosial (QS Al Hasyr: 7; QS
Adz Dzariyat: 19). Keadilan, sebagai dimensi moral utama di balik
kewajiban zakat, tidak mungkin terwujud bila hanya mengandalkan
kesukarelaan individual.

Cara pendistribusian zakat secara langsung dalam literatur pengelolaan
zakat disebut /charity/ (santunan). Karitas atau santunan memang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Pada saat masyarakat semakin terjepit
dengan melambungnya harga kebutuhan bahan pokok (sembako), zakat yang
diberikan melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT) akan menjadi
solusi walaupun hanya sesaat.

Hanya, karitas tidak pernah berdampak jangka panjang. Padahal, potensi
ekonomi zakat sungguh luar biasa. Terdapat data menarik dari Azyumardi
Azra, mantan rektor UIN Jakarta, yang mengutip hasil penelitian Public
Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) bahwa pada 2007 terdapat
potensi zakat (di luar infak, sedekah, dan wakaf) kepada masyarakat
muslim Indonesia sebesar Rp 19,3 triliun.

Kendati potensi zakat demikian besar, angka kemiskinan di Indonesia
masih tetap berkisar di angka 30 sampai 40 jutaan. Tentu kita harus
realistis, zakat bukan satu-satunya instrumen untuk mengurangi jumlah
orang miskin tersebut. Tetapi, tidak sedikit yang bisa dilakukan dengan
materi Rp 19,3 triliun tersebut. Setidaknya kita menuntaskan beberapa
aspek di antara sekian banyak aspek kemiskinan yang mendera masyarakat.
Misalnya, pendidikan sebagai salah satu aspek kemiskinan masyarakat.
Zakat berpotensi besar dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber
pembiayaan pendidikan.

Pemikiran ke arah itu bisa diwujudkan jika pendekatan karitatif dalam
pengelolaan zakat ditinggalkan dan digantikan pendekatan filantropis,
yakni semangat kedermawanan yang diorientasikan pada pemberdayaan jangka
panjang dan dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan tersebut tidak
bisa dilakukan secara individual, tetapi perlu melibatkan berbagai
pranata sosial yang ada dalam masyarakat.

* /*) Prof Dr Syamsul Arifin MSi/ * /, guru besar dan Wadir Bidang
Akademik PPs Unmuh Malang/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Boediono Siapkan Struktur Kabinet

Boediono Siapkan Struktur Kabinet

JAKARTA(SI) – Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menugaskan Boediono untuk menyusun rencana aksi dan kerangka kerja
kabinet dalam lima tahun ke depan.

Selain itu, Boediono juga diminta SBY untuk membantu menyiapkan struktur
dalam kabinet, dengan memilih orang-orang yang tepat dalam kabinetnya
mendatang. Ketua Dewan Sumber Daya Manusia Partai Demokrat, Andi
Mallarangeng mengatakan, apa yang ditugaskan kepada Boediono itu akan
selalu dilaporkan kepada SBY setiap saat.

“Tentu saja (akan dicari) orang-orang yang tepat sesuai dengan kriteria
yang tepat, sehingga pada tanggal 20 Oktober, Insya Allah semuanya sudah
siap,” ujar Andi di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.

Andi mengatakan, SBY dan Boediono akhir-akhir ini melakukan pertemuan
secara berkala, untuk menyiapkan agenda 100 hari pertama dalam
pemerintahan mendatang. Minggu (23/8) kemarin misalnya, SBY menerima
Boediono di kediaman pribadinya, Puri Cikeas, Bogor.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir empat jam itu, keduanya
mendiskusikan berbagai kebijakan pemerintahan yang akan dilakukan dalam
lima tahun ke depan.“Pak Boediono dan Pak SBY beberapa jam bersama untuk
menyusun agenda-agenda aksi dan sebagainya.

Tetapi, tentu saja belum selesai dan mungkin nanti akan ada
lagi,”ujarnya. Andi mengatakan, selama Ramadan ini SBY dan Boediono akan
terus fokus menyiapkan berbagai agenda aksi tersebut.“Ini akan terus
menerus dilakukan kapan pun presiden berada, untuk menyiapkan
rencana-rencana kerja.

Dan selama bulan Ramadan inilah boleh dikatakan agenda utamanya adalah
menyusun agenda aksi dan rencana kerja untuk lima tahun ke depan dan 100
hari pertama,” tandasnya. Ketika ditanya apakah beberapa hari terakhir
sudah ada calon menteri yang dipanggil ke Puri Cikeas,Andi mengatakan,
hal itu belum dilakukan SBY.

“Rasanya belum ada (yang dipanggil ke Cikeas),” ujarnya singkat.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengatakan,
persoalan jatah kabinet bagi PKS telah dibicarakan dengan SBY sebelum
pemilu presiden (pilpres). PKS yakin SBY akan menghormati kontrak
politik yang telah disepakati bersama.

“Kalau soal kabinet, itu sudah dibicarakan dengan PKS sebelum pilpres,
dan itu sudah selesai. Cuma, waktu itu kan pembicaraan kita dengan Pak
SBY,Pak Boediono belum masuk. Semoga saja, pembicaraan Pak SBY dan Pak
Boediono soal kabinet tetap menghormati kontrak politik yang
disepakati,” katanya kepada Harian Seputar Indonesia (SI) tadi malam.

Saat didesak apakah PKS sudah menyodorkan nama-nama yang akan masuk ke
dalam kabinet mendatang,Tifatul enggan memberikan jawaban. Menurut dia,
tidak etis mengungkapkannya sekarang. Nama-nama itu diumumkan SBY pada
saatnya nanti. Tifatul hanya menegaskan,berdasarkan kontrak politik itu,
penentuan jumlah wakil partai di kabinet nanti akan proporsional sesuai
dengan hasil di pemilu legislatif nanti.

Jika dilakukan penghitungan indeks antara persentase perolehan suara
dengan jumlah menteri, kemungkinan PKS akan mendapatkan 3 sampai 4 kursi
kabinet. Penghitungan itu didapatkan dari perolehan suara PKS di pilpres
yang 11% dikali dengan jumlah menteri yang kemungkinan berjumlah 33
orang. “Soal jumlah menteri PKS? Lebih banyak lah dari itu,”kata Tifatul.

Menurut Tifatul,postur kabinet mendatang akan diisi dari profesional
partai politik dan profesional nonpartai.Pembagiannya adalah
50:50.Pembagian ini tepat karena ada beberapa bidang yang memang
sebaiknya diisi profesional nonpartisan. Ketua DPP PAN Patrialis Akbar
juga enggan berkomentar apakah PAN sudah diajak bicara SBY soal kabinet,
atau PAN sudah menyodorkan nama soal anggota kabinet dari mereka.

PAN disebutsebut bakal mendapatkan 1–2 kursi. Kandidat mereka adalah
Hatta Rajasa dan Sekjen Zulkifli Hasan. “Kita sih berdoa saja agar
terpilih anggota kabinet yang cinta bangsa, pekerja keras, punya
integritas, paham terhadap bidang yang ditugaskan,punya pengalaman dalam
tugas negara selama ini, serta berkomitmen untuk bangsa, rakyat dan
negara.”katanya.

Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz
menyatakan belum diajak komunikasi oleh Boediono.Namun demikian, Irgan
optimistis PPP akan diajak komunikasi.“Sebagai partai pendukung,
tentunya PPP akan diajak komunikasi mengenai masalah ini,” kata Irgan
kepada SI kemarin.

Apakah PPP sudah merekomendasikan nama-nama,Irgan mengaku belum.Pihaknya
menyerahkan sepenuhnya kepada pasangan capres terpilih.Jika ada kader
PPP yang diajak bergabung ke kabinet, pihaknya sangat berterima kasih.
Caleg DPR terpilih ini juga membantah telah ada keputusan dari PPP
terkait nama-nama yang akan diajukan.“Hingga sekarang kami belum
membahasnya.

Kalau nanti PPP diminta mengajukan nama, kami siap,”ungkapnya.
Belakangan ini ada sejumlah kader PPP yang santer disebutsebut sebagai
calon menteri. Mereka yakni, Ketua Umum Suryadharma Ali, Wakil Ketua
Umum Chozin Chumaidy,Ketua DPP Lukman Hakim Saifuddin, Arief Mudatsir
Mandan, Hasrul Azwar, dan Anwar Sanusi.

Sementara Wakil Sekjen DPP PKB Helmy Faishal Zaini mengatakan, dalam
pembicaraan soal menteri, partai yang sejak awal telah berkoalisi dengan
Partai Demokrat sekaligus mendukung pasangan SBYBoediono seperti PKB,
selayaknya menjadi pertimbangan utama.

Mengenai jumlah menteri yang diharapkan PKB, Helmy menjawab diplomatis,
antara tiga atau empat orang dinilai wajar. “Tiga sampai empat menteri
merupakan sesuatu yang wajar. Apalagi, sejak awal PKB sudah berkoalisi
dengan Partai Demokrat bahkan sejak 2004 lalu,” ujarnya. (rarasati
syarief/ ahmad baidowi/ helmi firdaus/ dian widiyanarko)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/265122/