BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mengenang Surat Cinta Si Burung Merak WS Rendra

Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 10.03

Sumber: dwiki.setiyawan@gmail.com
Dramawan, cerpenis dan penyair besar Indonesia WS Rendra telah kembali ke pangkuan Sang Maha Hidup dalam usia 74 tahun, pada Kamis malam (6/8). Kepergian budayawan kenamaan untuk selama-lamanya itu, merupakan suatu kehilangan besar bagi kalangan budayawan tanah air. Sebagai “aset nasional”, Rendra yang mendapat julukan “Burung Merak” itu, namanya kondang baik di dalam dan manca negara. Beberapa penghargaan bergengsi atas dedikasinya berkiprah di jalur seni itu telah ia genggam.
Sebagai salah seorang penggemarnya, saya beruntung pernah menyaksikan penampilan memukau WS Rendra membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa tahun menjelang kejatuhan rezim Orde Baru.
Masih terbayang, dengan berbusana serba hitam WS Rendra membacakan puisi-puisi bernada protes dalam penampilan tunggal tersebut. Untuk situasi politik masa itu, ia termasuk penyair yang berani. Dengan vokal suara bariton dan agak serak-serak, ia lantang dan keras menyuarakan protes. Seakan-akan nalurinya sebagai seniman itu, ia telah mencium gelagat tidak beres dari penguasa masa itu.
Bahkan bukan pada saat penampilan di TIM malam itu saja ia mengekspresikan “tanda-tanda jaman”. Tahun-tahun sebelumnya, penampilan-penampilan panggung Rendra di muka publik, baik itu pementasan drama maupun pembacaan puisi telah ia kirimkan “sinyal-sinyal” ketidakberesan negeri kepada sang penguasa. Karenanya, pernah saya baca di media massa izin-izin pementasan Rendra dipersulit pihak aparat keamanan. Bahkan dilarang.
Malam itu Rendra dengan cukup santai membacakan beberapa puisi karyanya. Mulai dari “Blues untuk Bonnie”, “Sajak Seonggok Jagung”, “Sajak Sebatang Lisong” dan lain-lain.

Menurut saya, gaya dia membacakan puisi dengan menggerakkan dan meliuk-liukkan anggota tubuh itu, memang laksana burung merak yang tengah mengepak-ngepakkan sayapnya. Mungkin saja gaya Rendra inilah yang melambungkan sebuah julukan khas dan melekat pada dirinya: Penyair Si Burung Merak.
Lantaran kedinamisan Rendra di atas panggung ini, sesekali istrinya Ken Zuraida yang setia berdiri di bibir panggung, naik untuk membetulkan perlengkapan mikropon wireless yang menempel di pinggang Rendra.
***
Secara pribadi, di awal-awal dekade 1990-an, penyair besar tersebut “turut andil” mensukseskan sebuah pdkt atau pendekatan saya pada seorang gadis. Sajak Rendra “Surat Cinta” , saya “modifikasi” tertentu seolah-olah itu tulisan tangan sendiri (agak lucu kan kalau kita menulis surat cinta pakai daftar pustaka segala). Selain Rendra, penyair yang sajak-sajaknya kerap saya kutip dalam sepucuk surat pribadi itu antara lain: Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi dan Rabiah al-Adawiyah.
Menurut penuturan salah seorang teman indekostnya saat mahasiswa dulu, bila surat cinta itu saya kirim (baik melalui perantaraan teman atau pos) dan telah dibacanya, maka semalaman si pacar itu tidak bisa tidur. Ketika suatu waktu soal itu saya singgung dan tanyakan, si mantan pacar yang kini menjadi ibu dari ketiga anakku itu tegas-tegas menyangkalnya, seraya mengalihkan pembicaraan ke topik lain. He..he..he....

***
Dalam konteks sajak “Surat Cinta” Rendra itu, sejatinya yang saya perlukan hanya mengganti kata “dik Narti “ menjadi “dik Indra” (mantan pacar yang kini jadi istri). Di samping itu, tentu saja saya tidak mengutip mentah-mentah apa yang telah tersurat dari sajak tersebut. Ada modifikasi kalimat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tatkala surat itu dibuat.
Perhatikan beberapa bait kutipan sajak ini. Dan jika pembaca adalah seorang perempuan muda yang tengah dimabuk kepayang, resapi kedahsyatan sajak ini. Beberapa petikan sajak “Surat Cinta” WS Rendra itu sebagai berikut:
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

***
Selamat Jalan Bung. Menghadaplah engkau kepada Sang Maha Penyair dengan seulas senyum. Kepakkan sayap-sayap burung merakmu itu pada-Nya dengan kegembiraan yang meluap-luap. Dalam buaian dan haribaan-Nya, semoga engkau beristirahat panjang dengan tenang.
*****

Keharmonisan Beragama Dijaga

Keharmonisan Beragama Dijaga


Oleh *Simon Saragih*

Singapura, Kompas - Pemerintahan Singapura yang sekuler menjaga secara
ketat keharmonisan beragama dan kehidupan antaretnis. Pemerintah juga
menjaga ketat hak warga dalam menunaikan ibadah agama. Jika ada warga
yang melanggar, pemerintah tidak akan segan-segan menindak.

Demikian dikatakan Menteri Pengembangan Komunitas, Pemuda, dan Olahraga
Singapura Dr Vivian Balakrisnan kepada wartawan ASEAN, Singapura, Rabu
(5/8).

Singapura punya sejumlah undang-undang untuk menjamin semua itu, seperti
Dewan Kepresidenan untuk Hak-hak Minoritas Tahun 1973, yang menjamin
sepenuhnya hak-hak minoritas. Juga Undang-Undang Pemeliharaan
Keharmonisan Beragama (1990).

Pemerintah juga menjadikan para pemimpin agama dan sesepuh suku sebagai
instrumen penjaga keharmonisan beragama dan kehidupan antaretnis.

”Singapura bukanlah tempat yang aman bagi mereka yang mau hidup
eksentrik, apalagi mengganggu ketenangan,” kata Balakrisnan.

Ia juga menambahkan, ”Pemerintah tidak toleran terhadap aksi-aksi apa
saja yang berpotensi mengancam keharmonisan.”

Secara umum, kehidupan beragama dan keharmonisan warga antaretnis
berlangsung baik. Hal ini terbukti dari jajak pendapat yang
terus-menerus dilakukan pemerintah, yang hasilnya memperlihatkan tingkat
kepuasan warga soal keharmonisan kehidupan beragama dan antaretnis.
Sembilan dari sepuluh warga Singapura menyatakan rasa puas soal
kehidupan beragama dan kerukunan antaretnis

Namun, kata Balakrisnan, rasa puas dan sikap lengah tidak jadi pegangan
pemerintah. Hal ini disebabkan Singapura pernah mengalami kerusuhan
rasial pada dekade 1950-an dan 1960-an. Tambahan pula, ada semacam
ancaman yang terus muncul dan hal terbaru adalah gerakan Jemaah Islamiah
yang juga punya jaringan di Singapura.

Selain itu, perbaikan masih terus perlu dilakukan di Singapura, termasuk
peran warga Melayu di berbagai bidang, yang masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan etnis India Singapura. Pada tingkat tertentu,
pemerintah memberi dorongan kepada warga Melayu agar bisa lebih maju.

”Akan tetapi, inti dari semua kerukunan yang relatif tercapai itu adalah
tindakan dan kebijakan pemerintah, yang memberikan harapan, serta
kepuasan dan kesempatan merata bagi semua warga. Jika ini tidak
dilakukan, jelas potensi masalah akan bermunculan,” kata Balakrisnan.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/06/04001216/keharmonisan.beragama.dijaga.

KPK, Lembaga Super?

KPK, Lembaga Super?



Hikmahanto Juwana

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara kembali menjadi
topik pembicaraan pascaberedarnya testimoni Ketua nonaktif KPK
Antasari Azhar.

Sejumlah pengamat berpendapat KPK sedang mengalami serangan dan
pelemahan, terutama karena kedudukannya sebagai superbody atau lembaga
super.

Mispersepsi

Banyak yang beranggapan bahwa KPK merupakan lembaga super karena tidak
adanya mekanisme check and balances. Padahal, setiap lembaga negara
tidak mungkin independen tanpa sistem check and balances.

Bila ditilik dari kelembagaan, KPK sebenarnya bukanlah lembaga super.
Kalaupun dimispersepsikan sebagai lembaga super, hal itu lebih karena
KPK memiliki kewenangan yang diemban polisi dan kejaksaan sekaligus.
Kewenangan satu atap ini adalah kewenangan melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.

Kewenangan KPK dalam konteks demikian tidaklah super bila dibandingkan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU melebihi KPK karena
bertindak sebagai investigator, penuntut, dan pemutus sekaligus.

Bahkan, apabila putusannya diajukan keberatan ke pengadilan negeri dan
Mahkamah Agung, KPPU menjadi pihak dalam perkara. Sebagai pihak, KPPU
akan leluasa melakukan pembelaan atas putusannya.

Di negeri ini lembaga yudikatif yang lebih rendah tak akan melakukan
pembelaan sendiri terhadap putusan yang dibuatnya di hadapan lembaga
yudikatif yang lebih tinggi.

Kewenangan demikian, dari kacamata hukum, merupakan super. Namun,
kewenangan yang dimiliki KPPU tidak mendapat perhatian masyarakat
karena perkara yang ditangani bukan perkara yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat dan sanksinya bukan sanksi pidana.

Sementara untuk KPK tetap ada mekanisme check and balances. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta pertanggungjawaban KPK atas
kegiatannya secara umum. Secara keuangan, KPK akuntabel terhadap Badan
Pemeriksa Keuangan. Pengadilan pun dapat menggugurkan dakwaan jaksa
penuntut umum KPK meski hingga saat ini belum pernah ada.

Bahkan, pers dan masyarakat dapat melakukan kontrol sosial terhadap
KPK.

Para personel dari KPK pun tidak memiliki kekebalan hukum. Mereka yang
diduga melakukan kejahatan dapat dilakukan proses hukum. Ketua KPK
nonaktif Antasari adalah contoh nyata, selain seorang oknum polisi
yang bekerja untuk KPK.

Faktor super

Kalaupun KPK disebut sebagai super, bisa jadi bersumber dari tiga
faktor.

Pertama, kewenangan yang terkait dengan proses hukum. Kewenangan ini,
antara lain, adalah kewenangannya untuk melakukan ”penjebakan”,
melakukan penyadapan, dan tidak dapat mengeluarkan SP3.

Kewenangan demikian mengingatkan masyarakat pada kewenangan yang
dimiliki Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
dan instansi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana subversi
pada masa lampau.

Meski demikian, KPK tentu berbeda dengan Kopkamtib. KPK tetap dapat
dikontrol. Bahkan, pengadilan dapat menolak atau tidak mengabulkan apa
yang menjadi keinginan KPK.

Kedua, kalaupun KPK dianggap super, hal itu karena personel yang
mengisi komisi ini. Harus diakui, personel KPK—baik pimpinan maupun
staf—direkrut dengan sistem berbeda dari instansi penegak hukum
lainnya.

Polisi dan jaksa yang diperbantukan ke KPK adalah pilihan dan terbaik.
Pimpinan KPK pun direkrut dengan sistem yang terbuka dan melalui
proses yang panjang.

Perlu dipahami sumber daya manusia yang prima amat penting dalam
penegakan hukum. Mereka harus pandai sehingga tidak terombang-ambing
dalam menegakkan hukum. Inilah yang patut dicontoh dari KPK untuk
kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.

Ketiga, dari segi kesejahteraan juga dapat dikatakan super bila
dibandingkan kesejahteraan dari instansi hukum pada umumnya. Tanpa
kesejahteraan yang super, sulit dibayangkan KPK dapat melakukan
tugasnya memberantas korupsi secara efektif.

Integritas

Dalam penegakan hukum yang tegas, diperlukan manusia yang
berintegritas. Integritas akan berkorelasi erat dengan kesejahteraan.
Penegakan hukum bisa tumpul karena tidak adanya integritas.

Karena itu, pemberian kesejahteraan yang memadai pada instansi penegak
hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Sulit diterima logika sehat,
aparat penegak hukum yang mendapatkan kesejahteraan minim dari negara
bisa memiliki sejumlah kemewahan.

Masyarakat harus memahami bahwa berbagai faktor super yang dimiliki
KPK diberikan karena untuk memberantas korupsi diperlukan lembaga yang
memiliki kewenangan, personel, dan sistem penggajian yang tidak biasa.

Korupsi telah dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa sehingga
penanganannya pun harus luar biasa.

KPK harus tetap eksis selama kebutuhan untuk itu masih ada. Meski
demikian, harus diakui kewenangan super memang rentan untuk
disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh mereka yang mengembannya. Di
sinilah semua personel KPK harus betul- betul dapat memaknai tugasnya.



Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum pada FHUI, Jakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/10/04312396/kpk.lembaga.super

Semua Bermula dari Antasari

Semua Bermula dari Antasari
Oleh: Jabir Alfaruqi

PADA waktu diadakan fit and proper test (uji kelayakan) para calon
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua elemen antikorupsi
secara lantang menolak figur Antasari Azhar (AA) sebagai nomine.
Penolakan semakin kuat ketika terdengar kabar bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) akan memilih dia sebagai ketua KPK. Kendati demikian,
akhirnya dia terpilih juga sebagai ketua KPK.

Penolakan itu dilatarbelakangi track record AA yang kurang bagus di
lembaga kejaksaan. Integritas dan kinerjanya di bidang penegakan
hukum, khususnya pidana khusus korupsi, kurang baik. Para aktivis
antikorupsi khawatir ke depan KPK tidak berdaya kalau dipimpin sosok
yang integritasnya tidak baik. Padahal, kehadiran KPK diharapkan bisa
memberikan harapan baru bagi penegakan hukum pidana korupsi.

Tetapi apa dikata, DPR yang memiliki kewenangan untuk menentukan
pimpinan KPK tidak mau menggubris suara arus bawah. Kritik dan
penolakan tersebut dianggap angin lalu. AA pun terpilih sebagai
pimpinan KPK dan dipilih pula menjadi ketua KPK. Sungguh luar biasa.

Dalam perjalanan awalnya, gebrakan AA memang cukup meyakinkan.
Keraguan publik pun terkikis. Banyak pihak yang berharap praduga
negatif di masa uji kelayakan itu salah dan tidak menjadi kenyataan.
Para politisi diciduk, petinggi negara ditahan, dan tak kalah
menghebohkan jaksa Urip Tri Gunawan sebagai orang penting di Kejagung
ditangkap. Itu merupakan prestasi luar biasa mengingat AA berasal dari
institusi kejaksaan.

Namun, lama-lama kinerja KPK mulai melemah. Penanganan kasus-kasus
korupsi hanya mengambil sampel-sampel dan tidak tuntas. Kasus di
kalangan politisi hanya diselesaikan pada tingkat anggota dewan. Tidak
sampai pada pimpinan komisi. Kasus pengakuan Agus Condro dibiarkan
saja karena hal itu melibatkan politisi PDIP yang dulu sangat
menentukan keterpilihan AA. Dan, masih banyak lagi kasus yang
penanganannya belum jelas.

Tidak lama kemudian, AA terlibat kasus pembunuhan Nasrudin dan
terjebak cinta segi tiga dengan Rani, istri siri Nasrudin. Sejak
peristiwa itu, KPK digoyang kanan kiri, baik oleh DPR yang meragukan
keabsahan putusan KPK karena hanya terdiri atas empat orang, perang
dengan petinggi kepolisian yang melahirkan istilah ''cecak melawan
buaya'', maupun belum jelasnya penyelesaian RUU Tipikor.

Yang lebih mengejutkan adalah testimoni AA yang mengatakan dirinya
telah bertemu dengan direktur PT Masaro di Singapura dan mengabarkan
kesaksian bahwa pimpinan KPK menerima suap dari perusahaan tersebut.
Berita itu semakin memojokkan KPK di mata publik. Energi KPK akhirnya
tersedot untuk merespons isu-isu miring yang mendiskreditkan lembaga
tersebut. Itu tentu kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

Troublemaker

Bila kita analisis, apa yang akhir-akhir ini dilakukan AA, tampaknya,
semakin memperkuat dugaan awal para aktivis antikorupsi yang menuding
KPK di bawah kepemimpinan AA tidak akan lebih baik. Bahkan, di
kalangan aktivis antikorupsi, AA dianggap sebagai troublemaker KPK.
Benarkah seperti itu? Tentu saja banyak hal yang bisa dijadikan
argumentasi.

Pertama, AA sebetulnya sadar betul bahwa ketika dijadikan tersangka
dalam kasus pembunuhan Nasrudin, citra dirinya sudah habis di depan
publik. Seorang yang sangat ditakuti bisa tersandung kasus yang
semestinya tidak layak untuk dilakukan. Tetapi, dia tidak mau menjadi
pesakitan sendirian. Karena itu, kasus yang menimpa dirinya dicoba
dikait-kaitkan dengan para komisioner KPK lain. Dengan demikian, bukan
hanya dirinya yang kotor, tetapi komisioner lain juga tidak bersih.

Kedua, AA seharusnya sadar betul bahwa pengakuan dirinya telah bertemu
dengan direktur PT Masaro yang buron korupsi di Singapura adalah
melanggar UU No 30/2002 tentang KPK pasal 36 jo pasal 65. Namun, hal
itu tetap diungkapkan AA ke permukaan. Penyampaian informasi tersebut
sebenarnya tidak semata-mata menggambarkan hanya dirinya yang citranya
sudah rusak. Tetapi, lebih jauh dari itu, publik menjadi tahu bahwa
citra KPK tidak sebaik yang dibayangkan orang. Integritas para
pimpinan KPK juga parah, tak sebersih perkiraan orang.

Ketiga, ada kekhawatiran setelah AA diberhentikan dari posisi ketua
KPK, KPK semakin tidak terkendali alias semakin berani menindak kasus-
kasus yang diendapkan pada masa kepemimpinan AA. Bila itu terjadi,
banyak pihak yang dirugikan. Keselamatan terancam dan masa depan
mereka tidak menentu. Hal tersebut tentu sangat tidak diinginkan.
Karena itu, AA didorong untuk melakukan sesuatu.

Keempat, sebagai pucuk pimpinan KPK, integritas dan komitmennya
terhadap KPK layak diragukan. Kenapa? Semestinya kalau dia yang
terkena kasus tertentu dan tidak melibatkan orang lain, sebaiknya AA
tidak mencoba mencari-cari masalah agar citra pimpinan KPK lain
tercoreng. Tetapi, mengapa dia melakukan sebaliknya? Selama ditahan di
Mabes Polri, AA selalu mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan
komisioner KPK lain. Ada apa dengan AA?

Seandainya apa yang tertera di atas itu benar, tudingan awal bahwa
kehadiran AA di KPK maupun sebagai ketua KPK adalah by design bukan
karena kebetulan menjadi benar adanya. Karena kehadirannya by design,
tentu saja ketika terkena masalah dan berpotensi dipecat dari KPK,
banyak pihak yang berusaha agar bukan hanya AA yang jatuh. Lembaga KPK
pun berusaha diseret. Dengan harapan, lembaga itu menjadi lemah.
Keberadaannya seperti tidak adanya. (*)

*) Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
http://jawapos.com/

Apa Saya Tipe Penerima Suap?




Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Mochammad Jasin:
Apa Saya Tipe Penerima Suap?

NAMA Mochammad Jasin disebut-sebut dalam rekaman percakapan antara
Antasari Azhar dan Anggoro Widjojo. Dalam rekaman sekitar 17 menit
itu, Anggoro mengaku telah memberikan uang Rp 6 miliar kepada sejumlah
pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan ini mengaku terkejut ketika
mendengar namanya disebut dalam percakapan itu. Jasin menyatakan
bidangnya tidak berhubungan dengan penanganan kasus. ”Silakan saja
kalau ada buktinya,” kata pria kelahiran Blitar 51 tahun lalu ini.

Kamis pekan lalu, Jasin menerima wartawan Tempo, Anne L. Handayani dan
Rini Kustiani, yang meminta komentarnya tentang ”keterlibatannya”
dalam kasus Anggoro ini.

Nama Anda disebut dalam rekaman percakapan antara Antasari Azhar dan
Anggoro Widjojo. Komentar Anda?

Siapa pun bisa menyebut nama saya….

Kapan Anda dan pemimpin KPK lain mengetahui adanya rekaman itu?

Kami baru tahu sewaktu polisi ke sini untuk mengambil rekaman itu.
Jadi, rekaman itu disimpan di komputer jinjing Pak Antasari. Tapi
waktu itu tidak diperdengarkan. Padahal mestinya diperdengarkan.

Kalau tidak ada kaitan dengan kasus pembunuhan, apa alasan Antasari
mengambil rekaman itu?

Itu kan barang pribadinya.

Lalu bagaimana para pemimpin KPK mengetahui isi rekaman itu?

Kebetulan rekaman yang di dalam recorder belum dihapus. Coba, apa
sih isinya. Kemudian ketahuanlah ini suara Anggoro.

Apa yang terlintas ketika nama Anda disebut dalam rekaman itu?

Saya kaget.

Kapan kira-kira percakapan itu dilakukan?

Sekitar 10 Oktober 2008. Jadi, dua hari sebelumnya, Pak Antasari
meminjam tape recorder digital milik KPK. Berdasarkan temuan
pengawasan internal, dia berangkat ke Singapura pada 9 Oktober 2008.
Sekembali dari Singapura, dia meminta salah satu anggota staf
memindahkan rekaman itu ke laptopnya.

Apa tujuan Antasari ke Singapura?

Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu untuk apa dia pakai recorder
itu.

Bukankah kalau pemimpin mau pergi, pemimpin yang lain juga harus tahu?

Ya, harus tahu. Ada surat tugas, misalnya menemui seseorang atau
ada acara apa. Bahkan ada yang mendampingi.

Sekembali dari Singapura, apakah Antasari pernah menceritakan isi
rekaman itu kepada pemimpin KPK lain?

Tidak pernah. Rekaman itu hanya ditaruh di dalam laptopnya, baru
dikeluarkan delapan bulan kemudian. Ini menurut pandangan KPK tidak
betul.

Pengawasan internal sudah sejauh mana menindaklanjuti rekaman ini?

Sedang mengumpulkan data. Itu masih dalam proses.

Selain soal pelanggaran kode etik, apakah pengawasan internal juga
mengidentifikasi dugaan keterlibatan Antasari dalam suap itu?

Belum sampai ke situ. Ini masih dalam proses dan sedang berjalan.

Kenapa KPK tidak segera melaporkan ini ke polisi?

Nanti kami akan lapor. KPK tidak akan gegabah.

Kabarnya, Anda sempat menerima 10 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 70
juta) dari Antasari?

Itu diberikan di Rumah Sakit Panti Nirmala, Malang, Jawa Timur,
pada 13 Oktober 2008. Saya sedang menunggu istri saya yang sedang
menghadapi sakaratul maut. Ketika itu, saya mengatakan, ”Ini
gratifikasi, Pak.” Tapi dia menjawab, ”Ini saya pribadi, kok.”
Kemudian dia pergi. Setelah saya kembali dari Malang, langsung saya
laporkan dan kembalikan uang itu ke Direktorat Gratifikasi KPK.

Menurut Anda, bagaimana sampai nama Anda disebut telah menerima Rp 6
miliar?

Saya tidak tahu. Itu kan kata orang. Saya di bidang pencegahan,
tidak ada hubungannya dengan penanganan kasus. Yang fokus menangani
bidang penindakan itu Pak Bibit Samad Riyanto dan Pak Chandra M.
Hamzah.

Saya dan Pak Haryono Umar membahas laporan harta kekayaan pejabat
negara, gratifikasi, pemetaan korupsi, kajian sistem, dan reformasi
birokrasi. Saya ini ikut dengan KPK sejak awal. Saya ingin menjadikan
KPK lembaga yang kredibel dan memiliki integritas tinggi. Jadi tidak
mungkin panas setahun dihapus dengan hujan sehari. Kan sayang.

Apa komentar Anda terhadap tudingan menerima suap?

Harus disertai pembuktian. Silakan saja kalau ada buktinya. Itu
semua kan katanya-katanya. Jadi testimoni dan rekaman itu keterangan
yang diperoleh dari orang lain. Masyarakat akan menilai. Saya di sini
untuk jihad. Yang kami pikir bukan kekayaan. Saya bukan bermotivasi
untuk mengumpulkan kekayaan. Kalau pekerjaan saya makelar kasus, saya
sudah kaya sejak dulu. Rumah saya itu tipe 27 di Pondok Aren,
Tangerang. Apakah saya ini tipikal orang penerima suap? Telusuri saja
kalau sampai ada gandul-gandul miliaran dalam daftar kekayaan saya.
Naudzubillah minzalik. Saya juga tidak tertarik. Saya sudah biasa
melarat.

Anda pernah menjenguk Antasari?

Pernah bertiga dengan Pak Bibit dan Pak Haryono sekitar Mei lalu.
Ketika itu, Pak Chandra tidak dapat ikut karena sedang ada acara dan
tidak memungkinkan menyusul.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/HK/mbm.20090810.HK131091.id.html

Apa Saya Tipe Penerima Suap?

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Mochammad Jasin:
Apa Saya Tipe Penerima Suap?

NAMA Mochammad Jasin disebut-sebut dalam rekaman percakapan antara
Antasari Azhar dan Anggoro Widjojo. Dalam rekaman sekitar 17 menit
itu, Anggoro mengaku telah memberikan uang Rp 6 miliar kepada sejumlah
pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan ini mengaku terkejut ketika
mendengar namanya disebut dalam percakapan itu. Jasin menyatakan
bidangnya tidak berhubungan dengan penanganan kasus. ”Silakan saja
kalau ada buktinya,” kata pria kelahiran Blitar 51 tahun lalu ini.

Kamis pekan lalu, Jasin menerima wartawan Tempo, Anne L. Handayani dan
Rini Kustiani, yang meminta komentarnya tentang ”keterlibatannya”
dalam kasus Anggoro ini.

Nama Anda disebut dalam rekaman percakapan antara Antasari Azhar dan
Anggoro Widjojo. Komentar Anda?

Siapa pun bisa menyebut nama saya….

Kapan Anda dan pemimpin KPK lain mengetahui adanya rekaman itu?

Kami baru tahu sewaktu polisi ke sini untuk mengambil rekaman itu.
Jadi, rekaman itu disimpan di komputer jinjing Pak Antasari. Tapi
waktu itu tidak diperdengarkan. Padahal mestinya diperdengarkan.

Kalau tidak ada kaitan dengan kasus pembunuhan, apa alasan Antasari
mengambil rekaman itu?

Itu kan barang pribadinya.

Lalu bagaimana para pemimpin KPK mengetahui isi rekaman itu?

Kebetulan rekaman yang di dalam recorder belum dihapus. Coba, apa
sih isinya. Kemudian ketahuanlah ini suara Anggoro.

Apa yang terlintas ketika nama Anda disebut dalam rekaman itu?

Saya kaget.

Kapan kira-kira percakapan itu dilakukan?

Sekitar 10 Oktober 2008. Jadi, dua hari sebelumnya, Pak Antasari
meminjam tape recorder digital milik KPK. Berdasarkan temuan
pengawasan internal, dia berangkat ke Singapura pada 9 Oktober 2008.
Sekembali dari Singapura, dia meminta salah satu anggota staf
memindahkan rekaman itu ke laptopnya.

Apa tujuan Antasari ke Singapura?

Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu untuk apa dia pakai recorder
itu.

Bukankah kalau pemimpin mau pergi, pemimpin yang lain juga harus tahu?

Ya, harus tahu. Ada surat tugas, misalnya menemui seseorang atau
ada acara apa. Bahkan ada yang mendampingi.

Sekembali dari Singapura, apakah Antasari pernah menceritakan isi
rekaman itu kepada pemimpin KPK lain?

Tidak pernah. Rekaman itu hanya ditaruh di dalam laptopnya, baru
dikeluarkan delapan bulan kemudian. Ini menurut pandangan KPK tidak
betul.

Pengawasan internal sudah sejauh mana menindaklanjuti rekaman ini?

Sedang mengumpulkan data. Itu masih dalam proses.

Selain soal pelanggaran kode etik, apakah pengawasan internal juga
mengidentifikasi dugaan keterlibatan Antasari dalam suap itu?

Belum sampai ke situ. Ini masih dalam proses dan sedang berjalan.

Kenapa KPK tidak segera melaporkan ini ke polisi?

Nanti kami akan lapor. KPK tidak akan gegabah.

Kabarnya, Anda sempat menerima 10 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 70
juta) dari Antasari?

Itu diberikan di Rumah Sakit Panti Nirmala, Malang, Jawa Timur,
pada 13 Oktober 2008. Saya sedang menunggu istri saya yang sedang
menghadapi sakaratul maut. Ketika itu, saya mengatakan, ”Ini
gratifikasi, Pak.” Tapi dia menjawab, ”Ini saya pribadi, kok.”
Kemudian dia pergi. Setelah saya kembali dari Malang, langsung saya
laporkan dan kembalikan uang itu ke Direktorat Gratifikasi KPK.

Menurut Anda, bagaimana sampai nama Anda disebut telah menerima Rp 6
miliar?

Saya tidak tahu. Itu kan kata orang. Saya di bidang pencegahan,
tidak ada hubungannya dengan penanganan kasus. Yang fokus menangani
bidang penindakan itu Pak Bibit Samad Riyanto dan Pak Chandra M.
Hamzah.

Saya dan Pak Haryono Umar membahas laporan harta kekayaan pejabat
negara, gratifikasi, pemetaan korupsi, kajian sistem, dan reformasi
birokrasi. Saya ini ikut dengan KPK sejak awal. Saya ingin menjadikan
KPK lembaga yang kredibel dan memiliki integritas tinggi. Jadi tidak
mungkin panas setahun dihapus dengan hujan sehari. Kan sayang.

Apa komentar Anda terhadap tudingan menerima suap?

Harus disertai pembuktian. Silakan saja kalau ada buktinya. Itu
semua kan katanya-katanya. Jadi testimoni dan rekaman itu keterangan
yang diperoleh dari orang lain. Masyarakat akan menilai. Saya di sini
untuk jihad. Yang kami pikir bukan kekayaan. Saya bukan bermotivasi
untuk mengumpulkan kekayaan. Kalau pekerjaan saya makelar kasus, saya
sudah kaya sejak dulu. Rumah saya itu tipe 27 di Pondok Aren,
Tangerang. Apakah saya ini tipikal orang penerima suap? Telusuri saja
kalau sampai ada gandul-gandul miliaran dalam daftar kekayaan saya.
Naudzubillah minzalik. Saya juga tidak tertarik. Saya sudah biasa
melarat.

Anda pernah menjenguk Antasari?

Pernah bertiga dengan Pak Bibit dan Pak Haryono sekitar Mei lalu.
Ketika itu, Pak Chandra tidak dapat ikut karena sedang ada acara dan
tidak memungkinkan menyusul.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/HK/mbm.20090810.HK131091.id.html

Sulit Buat Jurnal Internasional

Sulit Buat Jurnal Internasional
Publikasi Hasil Riset Belum Menjadi Tradisi



Jakarta, Kompas - Jurnal-jurnal ilmiah yang dikelola perguruan tinggi
masih sulit untuk ditingkatkan menjadi jurnal internasional. Peningkatan
kualitas dan pembiayaan menjadi persoalan utama.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu
(12/8), Arif Satria menyatakan, ada 28 jurnal di IPB. Empat jurnal
berakreditasi nasional dan 11 jurnal dalam proses untuk akreditasi
nasional. Sebuah jurnal yang sudah terbit sejak tahun 1994, Jurnal
Hayati, sedang diupayakan menjadi jurnal internasional.

Arif mengatakan, tidak mudah membuat sebuah jurnal menjadi jurnal
internasional. Umumnya, adalah dengan memasukkan jurnal ke dalam situs
Spocus, yang merupakan situs web database abstrak dan citation terbesar
dengan data bersumber dari literatur-literatur yang dievaluasi oleh peer.

Ada pula persyaratan terkait dengan kualitas jurnal, seperti terbit
berkala dan editing yang bagus serta peer review yang melibatkan
akademisi internasional atau dari luar negeri. Pemuatan dalam database
Spocus terkait dengan citation (menjadi acuan bagi para peneliti).

”Setelah sebuah jurnal memenuhi persyaratan Spocus, setiap tahunnya
harus membayar 2.500 dollar AS,” ujarnya.

*Belum jadi tradisi*

Selama ini pengembangan kualitas jurnal dan biaya penerbitan menjadi
permasalahan. Apalagi di Indonesia, memublikasikan hasil riset belum
menjadi tradisi.

Jurnal ilmiah hidup dengan pembiayaan para penulis atau sponsor
(biasanya lembaga pemberi dana). Iklan tidak diperbolehkan. Penjualan
jurnal ilmiah kepada masyarakat hanya cukup untuk menutupi biaya cetak.
Untuk satu kali penerbitan jurnal, misalnya, dibutuhkan biaya Rp 15 juta.

Perguruan tinggi akan kesulitan kalau harus mendorong jurnal ilmiah
menjadi berkelas internasional hanya dengan mengandalkan dana peneliti.
Oleh karena itu, bantuan

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berupa dana Rp 150 juta untuk
mengembangkan jurnal internasional merupakan angin segar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga tengah mengupayakan jurnal-jurnal
ilmiahnya bertaraf internasional. Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi,
dan Kemitraan ITB Prof Indratmo Soekarno secara terpisah mengatakan, di
ITB, dari

32 jurnal ilmiah, dua di antaranya sudah jurnal internasional. Saat ini
dua jurnal lainnya tengah diupayakan menjadi berkelas internasional.

Tidak mudah menciptakan jurnal internasional. Editor harus betul-betul
pilihan. Untuk jurnal internasional ITB Journal of Science, naskah yang
masuk datang dari peneliti di berbagai negara dan diperiksa kelayakannya
oleh para editor. Para editor tersebut tidak hanya dari Indonesia saja.
Ada sekitar 20 editor yang tersebar di Indonesia dan berbagai negara.

Kepala Subdit Pelayanan dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Yoki Yulizar, Ph.D.
mengatakan, tahun ini enam jurnal di UI dalam persiapan untuk jurnal
internasional. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnal ilmiah, UI
melakukan koordinasi dengan pengelola teknis dan dewan editor secara
berkala. (INE)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03423384/sulit.buat.jurnal.internasional

Ustadz yang Haramkan Foto

SAIFUDDIN JAELANI
Ustadz yang Haramkan Foto

Setelah Saifuddin menghilang, berselang beberapa hari Dani raib.

*BOGOR* -- Kemahiran berceramah membuat Saifuddin Jaelani, buron polisi
paling dicari karena diduga merekrut Dani Dwi Permana, yang menjadi
pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, lekas memiliki pengaruh di
kalangan tetangga di Perumahan Telaga Kahuripan, Bogor.

Ketua RW 10 Perumahan Telaga Kahuripan, Bogor, Djoko Suhardjo,
menuturkan, Saifuddin pernah meminta seorang tetangganya membuka
rekening di sebuah bank di Bogor. Tetangga bernama Jarmo itu kemudian
membuka rekening yang buku dan kartu ATM-nya lantas dipegang Saifuddin.

Cerita itu, menurut Djoko, terungkap setelah polisi menjelaskan bahwa
Saifuddin merupakan perekrut pelaku bom bunuh diri. Warga di kawasan
Kompleks Candraloka, Telaga Kahuripan, Bogor, segera mengadakan rapat.
Dalam forum rapat mengalir cerita tentang tindak-tanduk Saifuddin selama
ini. "Salah satunya cerita Pak Jarmo tadi," katanya.

Jarmo diminta membuka rekening atas namanya, biayanya ditanggung
Saifuddin. Rekening itu untuk menampung uang kiriman buat membangun
pesantren dan kegiatan keagamaan. Setelah itu, Jarmo tak pernah lagi
memegang buku rekeningnya. "Saya yakin Pak Jarmo tak tahu rencana jahat
ini," katanya.

Saifuddin merupakan pendatang baru di kawasan perumahan itu. Dia rajin
berceramah di Masjid As-Surur, tempat Dani menjadi salah seorang
pengurusnya. Menurut warga, Saifuddin bahkan kemudian menjadi imam
masjid. "Ada cara yang tidak kami suka. Dia terkadang berusaha mengadu
domba siapa yang jadi imam, orangnya keras," kata seorang warga yang tak
mau disebut namanya.

Setelah menjadi imam, diduga Saifuddin berhubungan intensif dengan Dani.
Sekaligus mendoktrin Dani agar mau dijadikan "pengantin", istilah untuk
pelaku bom bunuh diri. Remaja yang orang tuanya, Zulkifli, tengah
ditahan di penjara Paledang, Bogor, itu rupanya tertarik dengan ajakan
tersebut.

Selama tinggal di Kompleks Candraloka, Saifuddin selalu menghindar saat
akan dipotret. Dalam kegiatan apa pun, dia selalu mengharamkan dirinya
dipotret, sehingga warga tak memiliki foto diri Saifuddin.

Pada akhir Mei, tiba-tiba Saifuddin menghilang tanpa kabar. Hanya kepada
tukang ojek yang biasa melakukan antar-jemput anaknya, Ujay, yang
sekolah di Kampung Pondok, dia bercerita akan memindahkan anaknya ke
sebuah pesantren.

Berselang beberapa hari, Dani juga menghilang. Warga pun bertanya-tanya,
kenapa Saifuddin tidak lagi menjadi imam. Warga juga mencari keberadaan
Dani, yang juga hilang tanpa jejak. "Kami tidak mengira kalau ternyata
Dani diajak Saifuddin," kata Djoko.

Kini warga perumahan itu resah karena takut dianggap terkait dengan
Saifuddin, apalagi jemaah di Masjid As-Surur.

Saifuddin tinggal selama tiga tahun di Blok CC 3 Nomor 6. Dia tinggal
bersama istrinya, Kholifah, dan dua anaknya, Ujay 6 tahun, serta Mariam,
berusia sekitar 6 bulan. Warga mengenalnya sebagai seorang penceramah,
penjual madu, dan ahli pengobatan bekam. *DEFFAN PURNAMA
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/13/headline/krn.20090813.173774.id.html
*

Akrilamida, Bahaya Kelezatan

Akrilamida, Bahaya Kelezatan



* Felicia Thalip*

Apakah Anda termasuk penggemar berat kentang goreng, keripik kentang,
roti panggang, produk sereal, dan produk-produk tinggi karbohidrat
lainnya yang diolah dengan digoreng, dibakar, atau dipanggang? Atau Anda
tidak dapat melewatkan waktu santai pada sore hari ditemani kopi dan
makanan kecil?

Jika jawabannya adalah ya, mulai sekarang Anda sebaiknya mengakrabkan
diri dengan istilah akrilamida. Mengapa? Karena akrilamida (biasa
disingkat akrilamid) adalah senyawa kimia berbahaya yang belakangan ini
terbukti terkandung dalam berbagai makanan tersebut.

Umumnya, akrilamida digunakan di industri untuk membersihkan air minum,
bahan baku perekat, tinta cetak, zat warna sintetik, zat penstabil
emulsi, kertas, dan kosmetik. Selain itu, akrilamida sering digunakan
sebagai kopolimer pada pembuatan lensa kontak. Sebenarnya, akrilamida
tidak berbahaya dalam penggunaannya di industri, tetapi akan berbeda
halnya apabila zat ini terkandung dalam makanan yang biasa dikonsumsi
sehari-hari.

Pada tahun 2002 The Swedish National Food Authority mengumumkan hasil
penelitian dari Stockholm University, yaitu ditemukannya peningkatan
kadar akrilamida dalam beberapa jenis pangan, terutama yang mengandung
banyak karbohidrat (zat tepung), seperti kentang dan produk sereal yang
diproses dengan pemanasan tinggi (misalnya, dibakar, dipanggang, atau
digoreng) pada temperatur di atas 1.200° celsius. Peneliti Swedia
menemukan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida yang sangat besar pada
makanan yang digoreng (keripik kentang 1.200 mg/kg dan kentang goreng
450 mg/kg) serta makanan yang dipanggang (sereal dan roti 100-200 mg/kg).

Lantas, apa bahaya dari akrilamid? Pada tahun 2005 Joint FAO/WHO Expert
Committe on Food Additivies (JECFA) mengumumkan bahwa paparan akrilamid
dalam jangka waktu lama pada hewan coba tikus menunjukkan gejala
genotoksik (memengaruhi gen) dan karsinogenik (dapat memicu kanker).
Akrilamida pada dosis tinggi terbukti dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan saraf dan mengganggu reproduksi. Namun, pengaruh karsinogenik
pada manusia belum teruji kebenarannya. Meskipun demikian, penelitian
lanjutan tentang bahaya akrilamida pada manusia masih terus dilakukan.

Lalu, bagaimana bisa sampai terbentuk akrilamida pada makanan? Mekanisme
pembentukan utama akrilamid dalam makanan terjadi pada reaksi Maillard,
yaitu reaksi ketika gula dalam makanan (contohnya glukosa, fruktosa, dan
laktosa) bereaksi dengan asparagin bebas (sejenis asam amino dalam
makanan yang terbentuk karena reaksi pencoklatan). Gula, asparagin, dan
beberapa asam amino lainnya adalah senyawa yang secara alami terdapat
dalam pangan nabati. Asparagin bereaksi dengan gula pada temperatur
tinggi (di atas 1.200° celsius).

Biasanya peristiwa ini terjadi pada saat penggorengan, pemanggangan atau
pembakaran. Ketiga proses inilah yang bertanggung jawab terhadap
tinggi-rendahnya akrilamid dalam pangan. Semakin gelap warna produk
akibat pemasakan, makin banyak kandungan akrilamida di dalamnya.

Jadi, apa yang harus dilakukan agar dapat terhindar dari bahaya
akrilamid? Tentu saja, yang paling utama adalah mengurangi paparan
akrilamid dalam makanan sehari-hari. Mulailah dengan mengurangi konsumsi
makanan yang digoreng, dibakar, dan dipanggang (akrilamid tidak
ditemukan pada makanan yang dikukus atau direbus karena suhu
pengolahannya berkisar 1.000° celsius dan tidak menyebabkan pencoklatan)
serta pangan yang kaya lemak trans dan lemak jenuh karena lebih
berpotensi meningkatkan risiko kanker.

Selain itu, tingkatkan konsumsi makanan yang kaya serat, seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran, sehingga racun dalam tubuh dapat dikurangi.

Selain dengan mengurangi konsumsi makanan yang mengandung akrilamida,
bahaya senyawa beracun ini juga dapat dihindari dengan mengurangi
akrilamida dalam bahan pangan lewat cara memasak yang tepat.

Dengan memerhatikan beberapa teknik memasak di rumah, kandungan
akrilamida yang terbentuk dari pemasakan dapat diminimalkan. Umumnya,
lebih banyak akrilamida terakumulasi pada proses memasak yang lebih lama
dan pada temperatur yang lebih tinggi. Beberapa hal yang dapat dilakukan
adalah mencegah pemasakan yang berlebih saat memanggang, menggoreng,
atau membakar pangan kaya karbohidrat, misalnya, memasak kentang goreng
dan kentang bakar hingga berwarna kuning keemasan saja (bukan kuning
kecoklatan) serta memanggang roti hingga berwarna coklat muda.

Selain itu, pada saat akan memasak kentang, kentang dapat direndam
dahulu selama 15-30 menit sebelum pengolahan lanjutan agar dapat
mengurangi akrilamid yang terbentuk selama pemasakan. Hal ini dapat
terjadi karena jumlah gula yang terkandung dalam kentang telah berkurang
dengan adanya perendaman. Penambahan antioksidan berupa daun bambu atau
ekstrak teh hijau juga telah terbukti mengurangi level akrilamid pada
pangan. Sebenarnya, akrilamid ditemukan paling banyak pada pangan yang
digoreng (karena suhu yang digunakan paling tinggi).

Jadi, usahakan untuk menggoreng pada temperatur yang lebih rendah
(jangan melebihi 1.750° celsius) dan hindari produk yang terlalu garing
atau gosong.

Setelah mengenal akrilamida lebih jauh, apakah kita perlu menghindari
sepenuhnya makanan-makanan favorit kita? Tentu tidak. Karena belum ada
bukti dari penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa akrilamida positif
sebagai pemicu kanker pada manusia, belum perlu benar-benar menghindari
produk pangan tertentu.

Sebenarnya, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan keberadaan
akrilamid dalam makanan karena kandungan akrilamid dalam makanan
bukanlah suatu hal yang baru. Akrilamid telah ada dalam pangan manusia
sejak beribu-ribu tahun lalu sejak pertama kali manusia memasak makanan
mereka. Hanya saja, keberadaannya dalam makanan baru diketahui
akhir-akhir ini setelah dilakukan penelitian di Swedia pada tahun 2002.
Jadi, tidak perlu panik saat menikmati makanan favorit Anda, yang
terpenting adalah senantiasa memerhatikan pola makan sehari-hari dan
menjaga pola hidup sehat.

/FELICIA THALIP Mahasiswi Institut Pertanian Bogor
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03335325/akrilamida.bahaya.kelezatan

Revolusi Che Kuatkan Neososialisme

Revolusi Che Kuatkan Neososialisme



Jakarta, Kompas - Gelombang sosialisme ”baru” atau neososialisme kian
luas pengaruhnya di kawasan Amerika Latin. Hal itu tidak bisa dilepaskan
dari ide-ide revolusi yang diusung ”legenda” mereka, Che Guevara, yang
tetap hidup hingga kini di kawasan itu.

Hal itu mengemuka dalam diskusi film Che Guevara: Sang Legenda, Rabu
(12/8) di Bentara Budaya Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah Ketua
Umum Repdem PDI-P Budiman Sudjatmiko dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas
Rikard Bagun.

Budiman mengatakan, upaya pertama mewujudkan sosialisme di Amerika Latin
adalah dengan perjuangan bersenjata, salah satunya oleh Che Guevara
tahun 1950-an. ”Setelah Perang Dingin usai dengan bubarnya Uni Soviet,
gerakan revolusi bersenjata mengendur. Melalui Forum Sao Paulo tahun
1990 dan tahun-tahun berikutnya, disadari bahwa revolusi tidak bisa lagi
dilakukan dengan senjata dan tidak bisa lagi dogmatis,” katanya.

Kemunculan Presiden Venezuela Hugo Chavez tahun 1998 menjadi penanda
bangkitnya sosialisme baru tersebut. Disebut baru, menurut Rikard,
karena merupakan sintesa antara sosialisme lama dan kapitalisme.

”Amerika Latin tidak pernah lepas dari revolusi yang bersumber dari
Marxisme, yang memengaruhi semua perjalanan revolusi sesudahnya,” ujarnya.

Setelah Che meninggal tahun 1967, muncul gerakan teologi pembebasan saat
ajaran gereja diberi kekuatan revolusi berdasarkan Marxisme. ”Che
Guevara meninggalkan ide-ide revolusioner yang tetap hidup hingga kini
di Amerika Latin,” kata Rikard.

Menurut Budiman, Amerika Latin, yang pernah ”sakit” setelah rezim
militer berkuasa dan mencari penghiburan dari wajah-wajah pemimpin yang
simpatik, kini tidak lagi memerlukannya. Jiwa revolusioner telah
menggiring mereka untuk tidak lagi mencari sosok yang sekadar bagus
dalam pencitraan dan flamboyan, tetapi sosok yang benar-benar bisa
membongkar rasa sakit mereka. Yang dipilih akhirnya adalah bekas petani,
bekas tentara, dan bekas tahanan politik. (fro)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03215580/.revolusi.che.kuatkan.neososialisme

Pancaroba Demokrasi

Pancaroba Demokrasi



*Sigit Pamungkas*

Meniti jalan demokrasi bukan sebuah perjalanan yang mudah. Keliru
menapakkan langkah mengakibatkan perjalanan menuju demokrasi tidak
segera sampai atau bahkan tidak akan pernah sampai sama sekali.

Faktor-faktor obyektif, seperti konflik sipil, radikalisasi daerah,
kemiskinan, dan ketimpangan yang akut, terkadang menjadi sebab sulitnya
menggapai demokrasi. Faktor-faktor subyektif, seperti libido kekuasaan
yang membuncah dan agresivitas modal, juga tidak jarang mengambil peran
besar bagi gagalnya meniti jalan demokrasi.

Berbagai fenomena kontemporer memunculkan pertanyaan akan nasib dari
jalan demokrasi yang sedang kita tempuh. Apakah kita masih setia di
jalan demokrasi atau sedang melangkah ke rute yang lain. Pengamatan
sekilas sepertinya kita tidak cukup setia untuk tetap menapaki jalan
demokrasi secara baik. Secara perlahan-lahan terjadi pergeseran dari
jalur demokrasi ke jalur yang lain.

*Benih pembunuh*

Pancaroba demokrasi sedang terjadi. Fenomena paling mendasar bagi
terjadinya peralihan musim demokrasi adalah adanya ranjau bagi kebebasan
berpendapat. Kasus Prita menjadi contoh yang sangat baik betapa ekspresi
kebebasan berpendapat dalam bayang-bayang penjara. Secara tidak sadar,
kebebasan berpendapat telah menjadi sebuah peristiwa yang berbahaya.
Ketakutan menyertai atas setiap pendapat yang dikeluarkan. Sebab,
”penegak keadilan” sudah setia menunggu untuk mengadili dan tentu saja
memberi hukuman.

Ketika Orde Baru berkuasa, negara menjadi ancaman bagi kebebasan
berpendapat. Pada kasus Prita, kini swasta atau pemilik modal yang
menjadi ancaman. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat negara juga akan
menjadi predator bagi kebebasan berpendapat. Jika demikian adanya,
kebebasan berpendapat akan dijepit oleh negara dan swasta. Tidak ada
pembela bagi rakyat kecuali dirinya sendiri. Padahal, kebebasan
berpendapat menjadi salah satu fondasi paling penting bagi tegaknya
hak-hak politik rakyat lainnya.

Fenomena subordinasi keadilan dan kebenaran atas nama negara hukum
menjadi fenomena lain yang menghalangi jalan demokrasi. Peristiwa paling
kontemporer adalah terkait dengan putusan MA tentang metode alokasi
kursi legislatif. Secara substantif, dapat dipastikan tidak ada
argumentasi yang dapat melegitimasi model alokasi kursi ala MA.

Dalam studi tentang pemilu, model alokasi kursi terus mengalami
perkembangan untuk mendapatkan formula terbaik dalam mengonversi suara
menjadi kursi. Meskipun demikian, tidak satu pun dari formula itu yang
memiliki logika yang serupa dengan model penghitungan ala MA.

Anehnya, di tengah pemahaman bahwa putusan MA itu secara substantif
keliru, atas nama negara hukum, ada sebagian orang yang mengharapkan
putusan itu dieksekusi. Ini sebuah bahaya yang mengancam demokrasi. Cara
pandang seperti ini sewaktu-waktu dapat ”dipinjam” untuk melegitimasi
kesewenang-wenangan penguasa atau pemilik modal secara rapi.
Argumentasinya sama, atas nama negara hukum. Idealnya, hukum semestinya
adalah membingkai keadilan dan kebenaran. Ternyata yang terjadi
sebaliknya, ketidakadilan dan kepalsuan dibingkai oleh hukum.

Fenomena terakhir yang juga mengakibatkan peralihan musim adalah adanya
kecenderungan untuk mengonsentrasikan kekuasaan. Pascapilpres, pemenang
pemilu terkesan ingin menyerap kekuatan lawan menjadi bagian dari
kekuasaan. Pada saat bersamaan, yang kalah pemilu juga berusaha merapat
ke penguasa. Satu kekuatan politik bergerak secara sentripetal, yang
lainnya bergerak secara sentrifugal. Gayung bersambut, konsentrasi
kekuasaan akhirnya akan menjadi suatu yang tidak terhindarkan.

Dinamika politik di Golkar dan PDI-P menjadi titik penting terjadinya
konsentrasi kekuasaan. Arus utama politik Golkar yang kalah dalam
pilpres berusaha merapat ke SBY. PDI-P pun, melalui Taufiq Kiemas, juga
membuka wacana merapat ke penguasa. Pemenang pemilu juga ingin merengkuh
mereka. Jika demikian adanya, check and balances akan hilang. Padahal,
check and balances adalah pilar demokrasi yang tidak hanya diperlukan,
tetapi sebuah kebutuhan. Situasi itu menjadikan kekuasaan berjalan tanpa
kontrol yang efektif. Penyimpangan kekuasaan akan semakin terbuka lebar.

*Belum terlambat*

Preskripsi tersebut sepertinya sebuah titik ”kecil” yang dapat diabaikan
sebagai bentuk pengganggu dari jalan demokrasi. Meskipun demikian,
pengalaman sejarah Orba memberi pelajaran betapa berisikonya mengabaikan
sesuatu yang kelihatannya ”kecil”. Ketika rezim Soekarno dijatuhkan,
terbit mimpi tentang demokrasi. Pada fase awal, gambaran tentang
demokrasi seperti begitu nyata. Bayangan kembalinya otoritarianisme
hampir tidak muncul.

Setelah beberapa saat berjalan, benih-benih otoritarianisme ternyata
bersemi tanpa disadari. Upaya-upaya untuk merapikan ”kekacauan” dari
demokrasi dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Orba
yang semula muncul sebagai antitesis otoritarianisme kemudian berubah
wajah menjadi kekuatan antitesis demokrasi.

Masih belum terlambat untuk membersihkan jalan demokrasi dari duri yang
melintang. Elite politik perlu berefleksi dan kekuatan prodemokrasi
perlu mengkonsolidasikan diri. Jika tidak, sejarah Orba akan direpetisi.
Polanya berbeda, tetapi dapat berakhir di ujung yang sama.

/Sigit Pamungkas Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/0511414/.pancaroba.demokrasi

Kebingungan Informasi

Kebingungan Informasi



*TJIPTA LESMANA *

Dalam mengatasi masalah terorisme, Kepolisian Negara RI kini menghadapi
situasi dilematis besar yang mungkin juga membuat pimpinannya stres.
Bagaimana tidak, Polri mendapat tekanan dari atas dan dari bawah.

Di atas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir dipastikan
sering-sering bertanya kepada Kapolri, kapan kasus pengeboman Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton bisa diungkap secara jelas dan kapan Noordin M
Top bisa dibekuk. Di bawah, publik pun nyaris kehilangan kesabaran. Kok,
terorisme masih juga merajalela? Kenapa Polri sejauh ini masih belum
berhasil menangkap Noordin? Publik sepertinya tidak mau tahu bahwa
memberantas terorisme tidak sama dengan menghancurkan sebuah gedung yang
reyot, misalnya.

Itulah sebabnya, setiap hari, bahkan setiap menit, polisi terus
diberondong oleh masyarakat—yang diwakili oleh pers. Pers terus
mengupayakan setiap penggal informasi yang terkait dengan pemburuan
terhadap Noordin M Top dan kaki tangannya. Kadang kita merasa iba
melihat mimik wajah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Nanan
Soekarna menghadapi ”nyamuk pers”. Ia harus bersabar mendengar
pertanyaan-pertanyaan pers yang tajam. Ia sadar bahwa setiap kata yang
keluar dari mulutnya, otomatis, menjadi berita.

*Ketidakpastian*

Manusia, siapa pun dia dan apa pun kedudukannya, memang tidak menyukai
situasi tidak pasti atau tidak menentu (uncertain). Puluhan calon
anggota legislatif, misalnya, kini tengah diliputi rasa cemas dan
jengkel apakah mereka jadi dilantik atau namanya dicoret akibat putusan
Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan Komisi Pemilihan Umum. Para
pelaku bisnis bertanya-tanya: dalam waktu dekat ini, apa masih ada
ledakan bom lagi?

Dan setiap kali menghadapi situasi tidak menentu, orang berupaya mencari
informasi untuk menegakkan kepastian; setidak-tidaknya mengurangi
ketidakpastian. Dari perspektif ilmu komunikasi, berkomunikasi
sebenarnya melakukan tindakan untuk mereduksi ketidakpastian
(uncertainty reduction). Ketidakpastian hakikatnya adalah pain, derita.
Maka, komunikasi yang tidak mampu mengurangi ketidakpastian, apalagi
memperbesar ketidakpastian, dikatakan gagal.

Akhir pekan lalu kita dikejutkan oleh serangan bersenjata ke sebuah
rumah yang terletak di Desa Beji, Temanggung. Rumah itu, sejak pukul
17.00 tanggal 7 Agustus hingga pagi hari 8 Agustus, dikepung ketat oleh
puluhan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dan terjadi
berondongan sengit ke arah rumah itu. Penyerbuan dilancarkan setelah
situasi pengepungan berjalan 17 jam lamanya. Seorang di dalam rumah
dikabarkan tewas, dua lainnya luka-luka.

Seorang perwira polisi menyatakan korban tewas adalah Noordin M Top
menyusul berita tentang percakapan singkat antara anggota Densus 88 dan
penghuni di dalam rumah sebelum penyerbuan dilancarkan. ”Apakah kamu
Noordin M Top?” Suara di dalam rumah menjawab, ”Ya, saya Noordin M Top!”
Maka, sebuah stasiun televisi di Jakarta selama dua-tiga jam menurunkan
moving caption berbunyi: ”Polisi pastikan Noordin M Top tewas”.

Hari itu, 8 Agustus 2009, berita tentang ”tewasnya” Noordin M Top
beredar luas sekali. Namun, sore harinya, sekitar pukul 17.50, Kapolri
menggelar jumpa pers. Kapolri menegaskan bahwa pihaknya masih perlu
memastikan identitas korban yang tewas.... Juga dikatakan bahwa Presiden
Yudhoyono menjadi target serangan bom oleh para teroris. Buktinya,
Densus 88 berhasil menggerebek sebuah rumah di Jatiasih, Bekasi, yang
berisikan sejumlah bahan peledak. Lokasi rumah hanya sekitar 5 kilometer
dari Cikeas.

Tatkala foto mengenai korban tewas beredar pada Senin, 10 Agustus—yang
ternyata berbeda dengan foto wajah Noordin M Top—suasana tidak pasti
seolah ”tambah lengkap”. Mana ada sih teroris yang mau mengakui
identitasnya secara ”jantan”?! Kalau mau menghabisi nyawa presiden kita,
kenapa dua hotel berbintang yang dibom dulu?

”Information is not uncertainty!” tulis Dr Thomas D Schneider dari
National Cancer Institute di Maryland yang diam-diam mendalami masalah
penyebarluasan informasi. Schneider mengecam para cendekiawan yang
percaya bahwa ”information is uncertainty”. Memang, dalam praktik, makin
sering kita berkomunikasi, adakalanya makin tidak jelas situasi yang
diakibatkannya. Namun, komunikasi yang baik, mestinya, mampu mereduksi
ketidakpastian. Jika komunikasi justru menimbulkan ketidakpastian,
informasi pun bertambah membingungkan....

Kebingungan informasi inilah yang dialami publik akibat
pernyataan-pernyataan Polri belakangan ini terkait Noordin M Top. Satu
tips lagi buat Polri: lain kali, kalau mau lancarkan operasi membekuk
teroris, jangan bawa korps wartawan. Laporan pers pun kadang membawa
kebingungan informasi!

/ TJIPTA LESMANA Guru Besar Komunikasi Politik FISIP-UPH
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05095517/kebingungan.informasi
/

CATATAN BULU TANGKIS

CATATAN BULU TANGKIS
Siapa Lagi Menyusul Jadi Juara Dunia?



*Jimmy S Harianto*

Menjadi juara All England adalah idaman setiap pemain bulu tangkis
dunia. Untuk menjadi pemain bulu tangkis dunia yang lengkap, ia harus
juara di All England dan juga juara dunia, seperti kejuaraan yang saat
ini tengah digelar di Hyderabad, India. Mau lebih digdaya lagi? Ya,
jadilah juara olimpiade, semenjak cabang olahraga ini menjadi salah satu
cabang yang dipertandingkan di pesta olahraga paling bergengsi di dunia ini.

Mengapa demikian? Ya, itulah mitos di cabang bulu tangkis. Kalau mau
dianalogikan dengan mitos di dunia tenis, barangkali kejuaraan All
England itu ibarat salah satu seri grand slam tenis, Wimbledon. Seorang
petenis legendaris Bjorn Borg, dulu, lebih dikenal sebagai ”juara
Wimbledon lima kali berturut-turut” daripada juara AS Terbuka sekian
kali, Perancis Terbuka berkali-kali, atau Australia Terbuka berulang-ulang.

Di bulu tangkis kita tak banyak pemain tunggal Indonesia yang beruntung
menjadi pemain dengan gelar lengkap, seperti halnya Rudy Hartono, yang
selain mampu delapan kali juara All England tahun 1968-1976, ia juga
juara dunia di Jakarta 1980.

Heryanto Arbi, asal Kudus, Jawa Tengah, juga hebat. Selain dua kali
juara All England, 1993 dan 1994, tahun berikutnya, 1995, ia juga tampil
sebagai juara dunia di Lausanne, Swiss.

Adapun juara dunia tunggal putra dari Indonesia lainnya, seperti Icuk
Sugiarto (1983), Joko Supriyanto (1993), Hendrawan (2001), dan Taufik
Hidayat (2005), mereka tak pernah menjuarai All England.

Atau sebaliknya, juara tunggal All England Indonesia lainnya, seperti
Liem Swie King (1978, 1979 dan 1981) dan Ardy B Wiranata (1991),
keduanya tak pernah satu kali pun juara dunia.

*Susi terlengkap*

Satu-satunya pemain tunggal Indonesia yang terlengkap gelarnya hanyalah
Susi Susanti. Setelah tampil sebagai peraih medali emas pertama
Indonesia di arena Olimpiade Barcelona 1992, secara gemilang tahun
berikutnya, 1993, Susi Susanti tampil sebagai juara All England dan di
Kejuaraan Dunia Birmingham. Tahun berikutnya, 1994, Susi bahkan
memperpanjang gelarnya lagi, sebagai juara All England.

Sementara pacar Susi waktu itu, Alan Budi Kusuma, yang juga tampil
cemerlang sebagai peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, tak
pernah sekali pun juara, baik di arena bergengsi All England maupun
kejuaraan dunia.

Tiga juara dunia tunggal putri lainnya, Minarni Sudaryanto (1977),
Verawaty Wiharjo (1980), dan Sarwendah Kusumawardani (1991), juga tak
pernah menjuarai All England. Sebuah kejuaraan, yang menurut pemain
legendaris kita, Christian Hadinata, dan sebenarnya juga oleh kalangan
pers dunia, disebut-sebut sebagai ”kejuaraan dunia tak resmi”.

Christian sendiri mampu tampil sebagai juara dunia di dua kategori
berbeda pada tahun yang sama di Kejuaraan Dunia Jakarta 1980, untuk
ganda putra bersama Ade Chandra dan ganda campuran bersama Imelda Wiguno.

Meski prestasinya di All England tak sehebat ganda legendaris kita,
Tjuntjun dan Johan Wahyudi (1974, 1975, 1977, 1978, 1979, 1980), juara
dunia Christian dan Ade Chandra juga pernah juara All England tahun 1972
dan 1973.

*Semakin langka juara*

Semakin tahun semakin langka Indonesia menelurkan gelar juara, khususnya
di nomor tunggal, baik di putra maupun putri. Kali terakhir adalah
Taufik Hidayat (2005). Selebihnya, baik di tunggal putra All England
maupun kejuaraan dunia, sepertinya menjadi milik pebulu tangkis China,
Lin Dan.

Selain empat kali juara All England tahun 2004, 2006, 2007, dan 2009,
Lin Dan juga juara dunia di dua penyelenggaraan terakhir, di Madrid 2006
dan Kuala Lumpur 2007.

”Mungkin ini memang kelemahan umumnya pengurus- pengurus kita dulu.
Setiap pengurus selalu mengejar prestasi, harus menang, tetapi lupa
pembinaan,” ungkap Christian Hadinata dalam pertemuan dengan Kompas
pekan lalu.

Maksud Christian, pengurus bulu tangkis kita lebih banyak mengharapkan
kesuksesan daripada mengirimkan pemain-pemain yang lebih muda, yang
tentunya lebih banyak kalahnya daripada menangnya.

”Padahal, seharusnya kita harus belajar dari setiap kekalahan dan
kemenangan kita,” ujar Susi Susanti, Rabu siang kemarin.

Susi yang pertama masuk pelatnas pratama 1986 pun dulu mengaku merangkak
dari kekalahan demi kekalahan. Bahkan, ia nyaris tak pernah menang
ketika dunia dulu didominasi pemain-pemain putri China, Li Lingwei dan
Han Aiping. Nyaris tak ada celah.

”Tahun 1987, di Kejuaraan Dunia Beijing, saya hanya sampai delapan
besar, kalah sama Gu Jiaming,” kata Susi.

Baru tahun 1989 Susi mulai menembus ke papan atas. Tahun 1989, setelah
juara PON dan Indonesia Terbuka di kandang sendiri, ia kemudian
menjuarai Kejuaraan Dunia 1989 Beijing, mengalahkan Han Aiping di
kandang lawan. Susi melejit setelah itu.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/04375799/siapa.lagi.menyusul.jadi.juara.dunia

PENGADILAN

PENGADILAN
Nasib Kelam Pimpinan Bank Sentral



*Junanto Herdiawan*

Pengadilan terhadap unsur pimpinan bank sentral jarang terjadi di negeri
lain. Namun, di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Bank Indonesia tak
pernah bisa dilepaskan dari lipatan kepentingan demi kepentingan, baik
politik maupun ekonomi.

Kisah di balik pengadilan pimpinan Bank Indonesia (BI) yang telah
dibukukan ini menarik untuk dibaca. Perubahan rezim Soekarno ke
Soeharto, misalnya, membawa korban, yaitu diadilinya Jusuf Muda Dalam.
Kemudian, pada perubahan dari rezim Soeharto ke zaman Reformasi terjadi
penggantian mendadak terhadap Soedradjad Djiwandono. Selanjutnya, pada
zaman Reformasi, korbannya adalah Syahril Sabirin atas kasus Bank Bali.
Tidak cukup sampai di sini, terakhir adalah Burhanuddin Abdullah untuk
kasus aliran dana BI.

Selain pemimpin nomor satu di bank sentral, hampir semua anggota Dewan
Gubernur BI juga ikut diadili. Mereka adalah Aulia Pohan, Maman
Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Timbul pertanyaan, mengapa BI selalu berada dalam konstelasi politik dan
ekonomi yang kisruh? Buku ini mencoba mencari jawabannya. Ditulis oleh
mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang merupakan hasil
perenungannya selama hampir satu setengah tahun menjalani proses hukum
di balik tahanan.

Buku ini menarik karena bukan hanya bercerita mengenai kasus yang
menimpa Burhanuddin. Bukan pula semata berisi pembelaan sebagaimana yang
biasa ditulis banyak pejabat dari balik tahanan. Namun, buku ini justru
berupaya memaknai konstelasi bank sentral di tengah kepentingan ekonomi
politik.

*Menghadapi badai*

Dalam bukunya, Burhanuddin mengakui bahwa tak banyak orang yang paham
dengan tugas dan fungsi dari bank sentral. Padahal, peran bank sentral
diibaratkan seperti jantung yang memompa darah bagi tubuh manusia. Uang
beredar serta jumlah dan fungsinya adalah darah yang pergerakannya
diatur oleh bank sentral. Perekonomian akan berjalan secara dinamis dan
bugar apabila peredaran uangnya tidak mengalami hambatan (hal 9). Tugas
bank sentral dengan demikian sangat strategis dalam menjaga kestabilan
perekonomian suatu negara.

Setelah menguraikan peran bank sentral dalam perekonomian pada bab 1 dan
bab 2, Burhanuddin kemudian menceritakan kembali kasus aliran dana BI.
Dalam menulis, ia melakukan perbandingan dengan beberapa kasus yang
pernah terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.

Saat krisis ekonomi menimpa, berbagai cara yang biasa digunakan dalam
kondisi normal belum tentu dapat bekerja dengan baik. Sebagaimana
Burhanuddin menulis, ”Upaya untuk keluar dari badai atau menghindari
hantaman karang-karang itu bisa jadi tidak berarti sama sekali kalau
orang tidak pernah mau tahu seperti apa badai yang terjadi atau bahkan
tidak percaya ada badai. Cara pandang, pikiran, dan ukuran-ukuran yang
dipakai untuk menilai segala upaya untuk keluar dari badai adalah untuk
situasi dan kondisi yang normal. Tentu keduanya sulit bertemu” (hal 20).

Metafora ini digunakan Burhanuddin Abdullah saat menjelaskan kasus
aliran dana BI, termasuk kebijakan BLBI pada masa lampau. Saat krisis
tahun 1998, keadaan begitu kacau. Aturan- aturan hukum normal tidak
berjalan. Saat itu perlu sebuah keberanian untuk melakukan penyelamatan
terhadap ekonomi nasional. Ia menulis, ”Bantuan likuiditas adalah
kebijakan yang lumrah pada masa krisis. Dan itu mampu menyelamatkan
perekonomian kita untuk tidak rontok lebih jauh. Apabila dalam
pelaksanaannya kemudian ada yang disalahgunakan, tentu bukan
kebijakannya yang harus dipermasalahkan, tetapi penyalahgunaannya yang
harus ditindak secara tegas dan pasti” (hal 21).

Terkait dengan aliran dana BI, hal serupa perlu dipertimbangkan. Saat
kebijakan itu diambil pada tahun 2003, ada empat permasalahan utama yang
dihadapi perekonomian Indonesia. Pertama, kredibilitas kebijakan
Pemerintah dan BI yang rendah karena terlalu bergantung pada IMF. Kedua,
kebijakan moneter kurang efektif dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Ketiga, kondisi perbankan yang belum solid. Dan, keempat, persoalan BLBI
yang belum selesai sehingga menyebabkan kebijakan bank sentral tidak
efektif.

Selain itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak dapat bekerja
secara optimal karena amandemen Undang-Undang Bank Indonesia
terkatung-katung dalam waktu yang lama. Kepentingan politik yang
beraneka ragam menyebabkan proses amandemen itu berlarut-larut (hal 95).

Dalam kondisi seperti itu, Burhanuddin menyadari bahwa BI tidak akan
mampu bekerja secara optimal. Apalagi untuk menghadapi kondisi ekonomi
dan politik yang pada saat itu sedang sulit. Dalam pandangan
Burhanuddin, Dewan Gubernur BI telah mengambil langkah strategis dengan
itikad baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimaksud,
yaitu dengan melakukan langkah-langkah diseminasi kepada stakeholders BI.

Keputusan tersebut terbukti memberikan hasil positif berupa membaiknya
kredibilitas BI yang kemudian mampu mendorong perekonomian ke arah yang
lebih baik. Ironisnya, kebijakan itu jugalah yang pada kemudian hari
dipermasalahkan sebagai pelanggaran hukum.

*Pelajaran berharga *

Pada bagian penutup, Burhanuddin mencatat pelajaran yang dapat dipetik
dari konstelasi bank sentral dalam kehidupan politik ekonomi nasional.
Salah satunya adalah perlunya mengkaji arah bentuk dan sifat hubungan
antara BI dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara lain. Terutama
yang cocok dengan sejarah dan tradisi pengelolaan ekonomi kita. Selain
itu, perlu dipikirkan kembali proses rekrutmen anggota Dewan Gubernur
BI. Proses saat ini adalah melalui fit and proper test di DPR. Cara ini
rawan dengan politik uang serta proses dukung- mendukung berdasarkan
partai politik dan kepentingan. Inilah yang kemudian diduga Burhanuddin
rawan untuk ”pemerasan” oleh DPR (hal 271).

Membaca buku ini sungguh mengasyikkan karena Burhanuddin menulis dengan
gaya bahasa yang ringan. Kalaupun ada kekurangan dari buku ini adalah
kesan yang bercampur aduk antara suasana hati, proses hukum yang formal,
dan arsip pengadilan yang panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi
kenikmatan membacanya.

Kasus hukum memang bisa dipandang dari berbagai sudut. Kala benar dan
salah menjadi relatif, upaya menceritakan keduanya dari berbagai sudut
pandang jadi menarik. Namun, satu pelajaran dari kasus ini adalah sikap
berani mengambil risiko saat terjadi krisis demi kepentingan rakyat yang
lebih luas. Sebuah sikap yang tak bisa dilakukan setiap orang.

Menarik apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam kata pengantar buku
ini, ”Penjara negara tidak lagi bisa diidentikkan dengan kesalahan. Dan
kebebasan tidak berarti kebenaran. Yang lebih absolut lagi, penjara
negara tidak sama dengan neraka, dan surga tidak pula bisa disamakan
dengan sesuatu yang ada di luar penjara”.

/*Junanto Herdiawan* Peneliti Ekonomi; Bekerja di Bank Sentral
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05205895/nasib.kelam.pimpinan.bank.sentral
/

Rakyat Harus Merdeka Sepenuhnya

Rakyat Harus Merdeka Sepenuhnya

TAHUN 2009 ini menjadi pertanda akhir sekaligus awal baru bagi
perjalanan panjang demokrasi Indonesia. Rakyat menaruh harapan besar
karena kebanyakan dari mereka masih lapar.

Mereka yang seharusnya dilindungi dan diberikan hak-haknya sesuai amanah
UUD 1945.Harapan yang selama ini kandas oleh keberpihakan pemerintah
kepada elite “bermandikan uang”,perusahaan besar,dan asing. Dalam
kenyataannya, sampai hari ini Indonesia masih terjebak dalam sebuah
lingkaran tak berkesudahan.

Bangsa ini masih dipandu jalan kolonial, masih terperangkap utang, aset
masih tergadaikan, rakyat masih terpinggirkan, dan masih tak berdaulat
atas kekayaan alam. Pada tahun 2008 BPS merilis pertumbuhan ekonomi
ternyata hanya dinikmati 40% golongan menengah dan 20% golongan kaya.

Sementara golongan miskin hanya menikmati 19,2%. Dengan demikian mutlak
kiranya pemerintah untuk tetap bertumpu pada penyelamatan, penciptaan
lapangan kerja, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka harus tetap
berkomitmen dalam kebijakan pro-growth (mendorong pertumbuhan ekonomi),
pro-job (menciptakan lapangan kerja),dan pro-poor(mengurangi kemiskinan).

Juga digalangnya semangat pembentukan masyarakat wirasusaha
(entrepreneur society). Tahun 2009 sebagai tahun perubahan harus
benar-benar dijadikan momen perbaikan bangsa. Nilai-nilai nasionalisme
harus menjadi roh atau jiwa dalam strategi kebijakan pemerintah dalam
program pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Negara jangan sampai dirugikan oleh kuasa konglomerat, apalagi pihak
asing.Karena, ketika pengolahan sumber daya alam dilakukan oleh
kekuasaan multinasional asing, keuntungan akan lebih banyak dilarikan ke
luar negeri daripada dipakai (*)

Azmy Basyarahil
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
FEB Universitas Gadjah Mada


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262197/

MK: Menegakkan Keadilan Substantif

Hari ini, 13 Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) tepat berusia enam
tahun. Lahirnya MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
merupakan upaya institusionalisasi agenda reformasi dan demokratisasi
guna mewujudkan negara hukum yang demokratis berdasarkan UUD 1945
sebagai hukum tertinggi.

MK didirikan untuk menjamin bahwa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi
benar-benar dilaksanakan dalam segenap kehidupan berbangsa dan
bernegara, menjamin berjalannya prinsip checks and balances, serta
menjamin keberlangsungan demokrasi dan perlindungan hak konstitusional
warga negara. Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa tugas utama MK sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.

Ketentuan itu dapat dimaknai bahwa dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara orientasi utama MK adalah demi tegaknya hukum dan
keadilan. Dalam memutus pengujian undang-undang, sengketa kewenangan
lembaga negara, perselisihan hasil pemilu, pembubaran partai politik,
serta pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden, MK tidak semata-mata
melihat aspek legalitas,tetapi juga mengedepankan aspek keadilan.

Tanggung jawab konstitusional menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan tersebut menempatkan MK tidak semata-mata sebagai
court of law, tetapi juga sebagai court of justice. Konstruksi demikian
merupakan perkembangan yang tidak dapat dihindarkan walaupun dari sisi
teoretis ada yang membedakan antara court of justice yang dijalankan
oleh pengadilan biasa dan court of law yang diperankan oleh pengadilan
konstitusi. Bagaimanapun, antara hukum dan keadilan tidak dapat
dipisahkan karena tujuan utama hukum adalah menegakkan keadilan.

*** Selama enam tahun keberadaan MK, terdapat tiga jenis permohonan
perkara yang telah diterima, diperiksa,diadili,dan diputus, yaitu
pengujian undang-undang, perselisihan hasil pemilu, dan sengketa
kewenangan lembaga negara. Perkara yang paling banyak diterima adalah
pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilu.

Dari kedua jenis perkara tersebut banyak perkara yang mengharuskan MK
memutus dengan mengedepankan tujuan menegakkan keadilan substantif.
Dalam pengujian undangundang, perkara yang harus diperiksa dan diputus
tidak hanya terkait dengan pertanyaan apakah suatu ketentuan
undang-undang bertentangan dengan ketentuan tertentu dalam UUD 1945.

Banyak perkara yang mengharuskan MK menguji ketentuan suatu undangundang
dengan nilai keadilan sebagai nilai dasar yang menjiwai UUD 1945.
Bahkan, MK juga dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kepastian
penafsiran undang-undang yang sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat.

MK sering juga dituntut memberikan putusan yang memberikan solusi hukum
atas ketidakpastian yang diakibatkan oleh ketentuan yang multitafsir
atau pada saat terjadi kekosongan hukum. Demikian pula halnya dalam
perselisihan hasil pemilu, MK bergerak menjadi pengadilan yang
menegakkan keadilan substantif dan bukan sekadar pengadilan perselisihan
penghitungan atau yang sering disebut sebagai pengadilan kalkulator.

Pergerakan atau pergeseran tersebut terjadi bukan karena kehendak para
hakim konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki MK,tetapi
sematamata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan
substantif. Hasil pemilu adalah manifestasi suara rakyat.Untuk menjamin
hal itu harus dipastikan bahwa hasil pemilu harus didapatkan dengan cara
yang benar, jujur dan adil, serta dihitung dengan benar pula sesuai
dengan prinsip one man, one vote, one value.

Oleh karena itu, perselisihan hasil pemilu tidak dapat dilihat secara
sempit sebagai perselisihan perhitungan di atas kertas,tetapi harus
melihat bagaimana suara itu diperoleh. Suara yang diperoleh dengan cara
yang melanggar prinsip jujur dan adil tentu tidak dapat dibiarkan karena
sama halnya dengan membiarkan terjadinya ketidakadilan, baik bagi
peserta pemilu maupun bagi pemilih itu sendiri.

Menutup mata terhadap pemilu yang melanggar prinsip jujur dan adil sama
halnya dengan membiarkan terbentuknya pemerintahan yang bukan merupakan
manifestasi kehendak rakyat. Pemilu hanya akan menjadi prosedur
memperoleh kekuasaan semata.Jika terjadi demikian,hal itu akan menjadi
awal dari malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

*** Hakim konstitusi adalah penentu terlaksananya wewenang
konstitusional yang dimiliki MK. Oleh karena itu segenap organisasi MK
diorientasikan untuk memberikan dukungan terhadap tugas dan tanggung
jawab hakim konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Dukungan administrasi umum dan justisial diberikan untuk mendukung
kinerja hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sesuai
dengan hukum dan keadilan serta menjamin bahwa masyarakat mendapatkan
keadilan dalam proses beperkara. Jika layanan administrasi tidak
diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance di lembaga
peradilan, dapat dipastikan masyarakat telah mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan diskriminatif sejak pendaftaran perkara hingga proses
untuk memperoleh putusan pengadilan.

Pada saat administrasi peradilan sudah dijalankan secara diskriminatif
dan tidak adil,putusan yang adil pun sulit dicapai.Bahkan, putusan yang
adil pun dapat kehilangan makna apabila diputus dalam waktu yang lama
dan tidak dapat segera diakses oleh masyarakat yang berhak (justice
delayed, justice denied).

Oleh karena itu, untuk dapat memutus sesuai dengan nilai dan rasa
keadilan substantif,dukungan administrasi umum dan justisial diperlukan
agar hakim konstitusi dapat dengan mudah dan cepat memeriksa dan menilai
permohonan, alat bukti,serta keterangan saksi dan ahli sebagai bahan
pertimbangan hukum putusan majelis hakim. Untuk itu disusun mekanisme
dan prosedur administrasi yang tepat dan cepat, apalagi untuk perkara
PHPU yang harus diputus dengan cepat sesuai dengan batasan yang
diberikan oleh undangundang.

Di samping layanan terhadap hakim konstitusi, administrasi umum dan
justisial juga memberikan layanan kepada masyarakat. Layanan yang
diberikan tidak hanya terbatas pada penerimaan permohonan yang dilakukan
secara profesional, tetapi juga memberikan informasi dan data yang
diperlukan oleh masyarakat untuk memperoleh keadilan sesuai dengan
wewenang yang dimiliki MK.

Hal itu diperlukan agar semakin banyak masyarakat yang memiliki
pengetahuan cukup untuk dapat menggunakan hak beperkara di Mahkamah
Konstitusi sehingga mendorong terwujudnya persamaan di hadapan hukum dan
peradilan (equality before the law and court).Peran tersebut juga
diniatkan untuk memberikan dan memudahkan masyarakat memperoleh haknya
mendapatkan keadilan (access to justice) melalui pengadilan konstitusi
(access to court).(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262073/

Manajemen Pengolahan Sampah

Manajemen Pengolahan Sampah

BEBERAPA hari lalu, tim dari Yayasan Rumah Perubahan melakukan ekspedisi
kecil, menelusuri Sungai Sunter dari sekitar Cibubur sampai ke Cilangkap
di daerah perbatasan Jakarta dengan Depok danBekasi.

Ekspedisiitumelibatkan anak-anak Indonesia yang biasa bermain di sungai
di daerah Sukabumi dan Karawang.Kami menggunakan sebuah rakit dari bambu
yang diikat pada empat buah jeriken plastik agar rakit mengapung.
Walaupun jaraknya pendek, kami memerlukan waktu dua hari untuk
menyelesaikan medan ini.

Ada banyak keindahan yang dapat dilihat, tapi kami juga prihatin dengan
nasib sungai yang saya kira sama nasibnya dengan sungaisungai lain di
Nusantara ini.Kami juga berdialog dengan masyarakat yang mengklaim
dirinya sebagai ”orang yang mencari nafkah dari kali”.Di kali itu mereka
mendapatkan bermacam-macam ikan (gabus, sapu-sapu,udang),cacing,tanaman
obat,plastik,dan tentu saja air.

Medan Sampah

Beratnya medan ternyata bukan disebabkan arung atau arus sungai,
melainkan justru oleh tumpukan sampah. Di beberapa bagian kami masih
menemukan bibir sungai dengan pohon-pohon besar yang indah, tapi tim
kami harus banyak berhenti, terutama dalam menghadapi tumpukan sampah.
Bahkan pada beberapa titik kami menemukan bekas dam yang sudah berubah
menjadi tempat sampah yang masif.

Tim terpaksa harus keluar dari sungai, menggotong rakit lewat darat dan
kembali lagi ke dalam air. Setelah kembali,ternyata debit air di bagian
lain berkurang, tinggal beberapa sentimeter.Di beberapa titik kami
menemukan aliran sungai yang terbelah menggenangi sawah penduduk yang
hancur di gerus air bah.

Saya sudah menghubungi aparat yang menangani masalah infrastruktur di
negara ini, di pusat maupun daerah.Mereka juga sudah tahu apa yang
terjadi, tapi entah mengapa saya tidak melihat tandatanda mereka akan
turun tangan. Sepanjang hari hidup dan mendampingipendudukditepikali,
kami hanya menemukan semangat orang-orang kampung yang tidak pernah
menyerah.

Sekali-sekali mereka mengeluh karena sungainya terganggu,tapi mereka
memilih mengatasinya lewat cara kekeluargaan, bergotong royong membuat
jembatan-jembatan dari bambu.Ada atau tidak ada aparat
yangpedulidenganmerekatampaknya tak begitu penting. Namun mengapa sungai
itu terbelah? Setelah kami pelajari ternyata beban yang ditanggung
sungai sudah sangat berat.

Sungai telah menjadi area publik terbuka bagi pembuangan sampah.Hampir
semua kompleks perumahan yang dibangun di area sekitar sungai
menempatkan pembuangan sampai di tepi sungai, yang kalau hujan akan
menghanyutkan sampah itu ke dalam kali. Selain itu,sungai telah menjadi
area belakang setiap rumah.

Dari tiap rumah tampak pipa-pipa paralon pembuang air kotor beserta
tumpukan sampah. Semakin lama tekanan terhadap sungai semakin berat.
Rumah-rumah bagus menjauh dari sungai. Tinggallah rumah-rumah kumuh dan
tumpukan sampah. Singkat cerita, rakit terpaksa dibuat dari bambu karena
sangat riskan menelusuri sungai dengan perahu karet. Duri dan beling
berserakan di mana-mana. Selain itu limbah pabrik dan rumah tinggal
mengalir bebas ke sungai.

Sampah Harus Diolah

Sebenarnya jalan keluar untuk menyelamatkan lingkungan sudah ada. Pada
Maret 2008, para pembela lingkungan dari KLH telah berhasil mengegolkan
Undang- Undang (UU) Pengolahan Sampah (UU NO 18/2008).Menurut UU ini,
dalam lima tahun ke depan seluruh tempat pembuangan akhir (TPA) harus
sudah ditutup dan sampah harus diolah.

Hadirnya UU ini sebenarnya memberikan kesempatan yang bagus untuk
melakukan perubahan, tapi entah mengapa banyak pemda yang mengalami
kesulitan. Pengalaman saya di lapangan menunjukkan birokrasi yang
terikat dengan pola pikir lama telah membelenggu perubahan.

Dengan UU baru ini misalnya, pemerintah daerah seharusnya sudah
meninggalkan pola pengumpulan dan pembuangan sampah di TPA dan mulai
melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat akan ikut karena sampah
ternyata mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar. Kalau diolah
dengan baik, 100% sampah akan dikembalikan ke alam.

Setelah dicacah dan disaring, sampah-sampah rumah tangga dapat
dikembalikan ke tanah menjadi kompos dan mendorong pertanian organik.
Plastik-plastiknya dapat didaur ulang menjadi tali rafia dan pot-pot
tanaman. Bagian kasarnya dipadatkan dapat menjadi biomassa yang dapat
menggantikan fossil fuel seperti batu bara.

Biomassa dari sampah praktis hanya berbeda usia saja dengan batu bara
dan aman bagi alam. Semua itu dapat dilakukan dalam skala kecil. Di
Rumah Perubahan, kami melakukannya dalam radius 3.000 kepala keluarga.
Sampah itu diangkat dengan kendaraan roda tiga dan diolah di
tengah-tengah warga.

Karena langsung diolah, sampah tidak berbau busuk.Ia belum sempat
mengalami pembusukan. Dengan cara yang demikian, masalah sampah cepat
dapat ditangani dan hemat biaya. Bandingkan dengan metode tradisional
yang dilakukan pemda. Sampah diangkut dengan truktruk besar yang sulit
melakukan manuver di jalan-jalan kecil.

Pada setiap titik bak-bak sampah milik warga dibutuhkan waktu sekitar
5–10 menit untuk mengangkutnya sehingga praktis dalam 1 jam hanya ada
enam sampai 10 rumah yang sampahnya diangkut. Jadi satu hari hanya
sekitar 50 rumah yang sampahnya dapat diangkut. Selain itu armada-armada
truk pengangkut sampah milik pemerintah perlu menembus kemacetan lalu
lintas di tengah kota untuk mencapai lokasi TPA.

Dulu, sewaktu masih kecil, saya melihat truk-truk itu dapat bolak-balik
2–3 kali mengangkut sampah dari pasar tradisional. Sekarang saya
saksikan mereka hanya dapat mengangkut satu kali saja.Karena letaknya
jauh, ongkos bensinnya pun menjadi sangat boros. Sudah begitu, di TPA,
bau busuk menyengat dan masalah sosial terus bermunculan.

Pemerintah daerah yang kebagian tumpukan sampah menolak kehadiran
truk-truk baru. Demikian pula masyarakat penduduk di sekitar TPA. Dengan
demikian pola pikir penanganan sampah sudah harus berubah,dari konsep
TPA menjadi diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pola pengangkutan pun harus dibuat lebih sederhana dan efisien.
Metodenya pun harus zero-waste (habis 100% dapat dipakai kembali) dan
penting sekali menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru, yaitu
entrepreneur pengolah sampah. Kalau pendekatan ini dipakai, saya yakin,
kelak bukan hanya masalah sampah akan teratasi,tapi sungai-sungai pun
akan kembali bersih.

Rakyat yang tahu nilai ekonomis dari sampah tidak akan membiarkan sampah
dibuang begitu saja. Bila sungai-sungai itu kembali bersih, rumah-rumah
pun akan mulai dibangun menghadap ke arah sungai dan kehidupan ekonomi
di kali-kali kembali bergairah. Outbond dan pariwisata akan melengkapi
perikanan rakyat dan banjir pun dapat diatasi. Semua ini menuntut
perubahan, yaitu pola pikir semua pihak.Tunggu apa lagi? (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262180/

Bagaimana Mencegah Pendanaan Terorisme?

Bagaimana Mencegah Pendanaan Terorisme?

KEKUATAN ekonomi Indonesia diuji kembali dengan ledakan bom di Hotel JM
Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta pada 17 Juli 2009. Bagaimana reaksi
pasar terhadap peristiwa tersebut? Apa pengaruhnya terhadap risiko
negara? Mari kita cermati lebih dalam.

Dari sisi pasar, peristiwa itu telah membuat nilai tukar rupiah melemah
dari Rp10.140 menjadi Rp10.250 per dolar AS sebelum kembali menguat pada
akhir perdagangan. Sementara indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh 57
poin atau 2,7% menjadi 2.060 pada awal perdagangan. Namun IHSG menguat
lagi dan ditutup pada 2.106,turun 11 poin atau 0,55% dari hari sebelumnya.

Apa pengaruhnya terhadap risiko negara? Bagaimana dengan pengaruh
terhadap negara? Setiap peristiwa yang berdampak besar antara lain
pemilihan umum presiden (pilpres) dan ledakan bom di suatu negara selalu
menyedot perhatian dunia bisnis baik nasional maupun internasional.
Mengapa? Karena hal itu akan memengaruhi risiko negara (country risk).

Sebelum bertransaksi dengan bank koresponden,bank senantiasa
memperhitungkan tingkat risiko negara tempat bank korespondennya
beroperasi. Kiat itu bertujuan untuk mengukur seberapa jauh potensi
risiko yang bakal dihadapi. Langkah ini merupakan praktik yang umum
digunakan oleh perbankan internasional (best practice).

Oleh karena itu, bank nasional juga akan berpikir seribu kali untuk
bertransaksi dengan bank di negara-negara berisiko tinggi (high risk
countries) seperti Myanmar, Haiti,Sudan,Pakistan,Nigeria (International
Country Risk Guide/ ICRG, Juli 2009).

Sebaliknya, bank dengan riang hati untuk bertransaksi dengan mitra
bisnis di negara-negara berisiko sangat rendah (low risk countries)
seperti Singapura, Jerman, Kanada, Belgia, Denmark,Belanda. Bagaimana
Indonesia? Indonesia termasuk negara-negara berisiko moderat (moderate
risk countries) bersama India, Brasil,Vietnam, Filipina. Artinya,
Indonesia termasuk negara yang cukup aman bagi investor asing untuk
berbisnis.

Dalam menetapkan tingkat risiko negara, ICRG, salah satu rujukan bank
nasional, memperhitungkan tiga jenis risiko: risiko keuangan (financial
risk) dengan bobot 25%, risiko ekonomi (economic risk) (25%) dan risiko
politik (political risk) (50%). Pembobotan itu menggambarkan bahwa
komponen risiko politik mendominasi dibandingkan dengan risiko finansial
dan ekonomi.

Artinya, setiap peristiwa eksklusif akan mempengaruhi risiko negara itu.
Dengan bahasa terang, pilpres yang aman, lancar dan demokratis bakal
mengurangi risiko politik sehingga risiko negara Indonesia kian rendah.
Kian rendah risiko negara, akan kian tinggi persepsi dunia bisnis
terhadap Indonesia. Sentimen positif.Alhasil, Indonesia kian dianggap
sebagai negara yang aman untuk berinvestasi.

Sebaliknya, ledakan bom terakhir itu bisa meningkatkan risiko
negara.Sentimen negatif.Diyakini peristiwa ini tidak akan menurunkan
Indonesia dari negara berisiko moderat menjadi tinggi.Namun ini bisa
mengurangi poin pada komponen risiko politik. Pengalaman Indonesia dalam
membasmi pelaku peristiwa yang sama selama ini akan menjadi tonggak
bersejarah (milestone) bagi Indonesia untuk bangkit kembali.

Pemerintah harus melakukan langkahlangkah strategis untuk mengawal aneka
pilar ekonomi. Lantas, apa peran bank nasional? Bank nasional wajib
mencegah pendanaan terorisme.Bagaimana kiatnya? Dengan meningkatkan
kewaspadaan terhadap transaksi kiriman uang yang mencurigakan.

Mengapa? Siapa tahu kiriman uang itu untuk mendanai terorisme. Bank
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No
11/28/PBI/2009, tgl 1 Juli 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum.

PBI itu mewajibkan bank nasional untuk antara lain menerapkan program
Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT),
menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai antara
lain penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh
perorangan atau perusahaan yang memiliki kegiatan usaha tertentu dan
penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau
instrumen non tunai lainnya; penukaran uang tunai berdenominasi kecil
dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar; dan penukaran
uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi tinggi.

Pengalaman di lapangan menunjukkan hal-hal yang patut diwaspadai antara
lain kiriman uang yang sama dalam jumlah sama dilakukan secara
berulangulang. Selain itu, kiriman uang itu dikirim oleh pengirim dan
penerima yang sama pula dan dari negara-negara tertentu.

Hal ini menjadi peringatan dini bagi bank nasional yang rajin menggarap
kiriman uang alias remitansi (remittances) antara lain dari tenaga kerja
Indonesia di berbagai negara. Katakanlah, Timur Tengah, Malaysia, Hong
Kong,Korea Selatan.Saatnya bank nasional meningkatkan pengawasan pada
remitansi yang menghasilkan fee-based income yang gurih.

Untuk itu, bank wajib melakukan customer due diligence sebagai penerapan
prinsip Know Your Customer (KYC) dalam berhubungan dengan calon nasabah.
Pun dengan walk in customer (pengguna jasa bank yang tidak memiliki
rekening pada bank tersebut) ketika meragukan kebenaran informasi dari
nasabah,penerima kuasa atau transaksi keuangan yang tidak wajar terkait
dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.

Inilah peran dan kontribusi bank nasional yang signifikan dalam mencegah
pendanaan terorisme. Dengan bahasa lugas,pencegahan terorisme bukan
hanya tugas Polri, namun juga instansi seperti perbankan nasional.
Jangan sampai bank nasional menjadi sarana dan sasaran kejahatan baik
yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
kejahatan.(*)

PAUL SUTARYONO
Pengamat & Praktisi Perbankan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262027/

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai
Oleh KH Afifuddin Muhajir Pengasuh Ma'had Aly Asembagus Situbondo, Jawa
Timur


SALAH satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah
keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam
petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya, ketegasan terdapat dalam halhal yang
menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau
sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk
kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkret bagi ciri
khas Islam tersebut.

Dalam hal ini, sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan
perantara, dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya
kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya
kepemimpinan. Sementara itu, tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan
adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok
tersebut. Sementara itu, mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara
mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir itulah, Islam memberi ruang
gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara
yang sesuai dengan perkem bangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fikih siyasah (fikih politik), dikemukakan
beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah
kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiar
(pemilihan), tapi hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa
al-'aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting,
yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang
akan dipilih; memiliki sifat `adalah' (keadilan) dan memiliki kebijakan
yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal. Hal itu
berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan
hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini
tidak ada perbedaan antara yang alim dan yang awam, antara kiai dan
santri, antara pejabat puncak dan pengayuh becak, antara suara seorang
profesor dan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal karena
memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang
disukai dan dicintai. Dalam hadis Riwayat Muslim dijelaskan bahwa
sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mencintai rakyat dan dicintai
rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat
dan dibenci rakyat. Akan tetapi, di Indonesia, sistem pemilihan
langsung, baik Pilkada, pilpres, maupun pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah
keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat.
Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak
mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang
memiliki pengetahuan sering kali tidak menjatuhkan pilihan sesuai dengan
hati nuraninya.
Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah
dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus
dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan
ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan
yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat,
terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota
masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon
pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan
kapabilitas?
Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak
masing-masing?
Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para
kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib
bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan
yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks
yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya
bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat
(remang-remang), tidak jelas halalharamnya atau baik-buruknya, karena
persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya
khilaf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial
bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat itulah yang
menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak
dalam beberapa kali pilkada, pileg, dan pilpres.
Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai
kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena
motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan
keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di
dalam memberikan fatwa politik.
Kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak
sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Itu terbukti dengan
banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena
diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang
diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada
pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin
mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi
dan standar, seperti yang mereka yakini. Na mun, dukungan para kiai itu
sekali lagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa
kiai itu tak lagi diden gar karena sebagian masyarakat terutama yang
miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan
finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang
berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara itu, mereka yang
memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak
akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah.
Kiai sebagai tokoh agama bertugas mengembalikan arah politik dari
politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata
kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan
integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang
kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak
jujur, berintegritas rendah dan melakukan politik uang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/13/ArticleHtmls/13_08_2009_023_002.shtml?Mode=0