BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Menelisik Dalang-dalang Bom Mega Kuningan

Written By gusdurian on Kamis, 23 Juli 2009 | 12.21

Menelisik Dalang-dalang Bom Mega Kuningan

Pasca-meledaknya bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton di Mega
Kuningan, Jakarta Selatan, polisi menyelidiki dugaan keterlibatan
Al-Qaeda dan jaringan teroris Noor Din Mohd. Top. Dari penyelidikan yang
dilakukan, polisi memperoleh nama Nur Aziz, yang diduga menjadi pengebom
JW Marriott. Lelaki itu diketahui /check-in /di kamar 1808 Hotel JW
Marriott pada 15 Juli, dengan nama Nur Aziz. Untuk menginap tiga hari di
kamar /deluxe /bertarif US$ 154 itu, Nur Aziz menaruh deposit tunai US$
264. Dari rekaman CCTV hotel diketahui, Nur Aziz /check-in /di
resepsionis hotel sekitar pukul 15.00. Penampilannya sama persis dengan
gambar yang tertangkap CCTV menjelang ledakan.

Polisi menduga, dua aksi pengeboman itu dimatangkan di kamar 1808 yang
dijadikan markas darurat. Di kamar mewah itu ditemukan satu paket bom
utuh. Rangkaian bom yang disimpan dalam tas /laptop/ ukuran 14 inci itu
dibungkus dengan kardus warna hijau, yang dijejali ratusan mur dan baut,
seta dililit dengan lakban warna hitam.

Dua lampu kecil warna merah menyembul dari kotak plastik yang
mewadahinya. Ketika bom itu dievakuasi dari kamar 1808, wartawan /Gatra/
Gandhi Achmad melihat dua kabel warna merah dan biru terjuntai dan
bergoyang-goyang. Pada saat ditemukan polisi, bom rakitan yang siap
diledakkan itu berada di atas meja di sisi tempat tidur. Entah apa
maksudnya ditinggal begitu saja oleh si empunya.

Semula ada dugaan, bom itu akan diledakkan untuk menghancurkan kamar dan
menghilangkan barang bukti di situ. Pertanyaannya: bukti apa yang hendak
dilenyapkan? Di kamar itu tak ada bukti lain selain bom tadi. Spekulasi
pun sempat merebak: jangan-jangan ada pihak lain yang sengaja meletakkan
bom tersebut di sana dengan maksud mengecoh. Misalnya untuk memberi
kesan kuat bahwa pelakunya adalah kelompok tertentu, seperti Jamaah
Islamiah, yang biasa menggunakan bom rakitan model itu.

Spekulasi ini pun sulit dibuktikan. Apalagi, ada spekulasi lain bahwa
mungkin saja bom itu digunakan untuk meledakkan target lain. Polisi
belum hendak membedah spekulasi-spekulasi ini. Yang jelas, Kepala Divisi
Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, menegaskan bahwa
antara dua bom yang meledak dengan bom tidak meledak yang ditemukan di
kamar 1808 ada kesamaan.

''Sama-sama terbuat dari campuran /black powder /yang tergolong /low
explosive, /ditambah mur dan baut untuk menambah efek merusak,'' kata
Nanan kepada /Gatra/. Bom seperti ini juga sama dengan bom yang
ditemukan polisi di Cilacap, Jawa Tengah, dua pekan lalu. Bom dan bahan
pembuat bom itu ditemukan di halaman belakang rumah Baridin alias
Bahrudin Latif di Kampung Mulele, Desa Pesuruhan, Kecamatan Binangun,
Cilacap. Baridin, yang diburu polisi karena diduga terlibat dalam
jaringan teroris Noor Din Mohd. Top, sampai kini masih buron.

Polisi pun menduga, Nur Aziz adalah Nur Hasbi, yang disebut polisi
sebagai orang lama dalam jaringan teroris Noor Din Mohd. Top. Hasbi pula
yang menyewakan rumah buat Noor Din Mohd. Top --gembong teroris asal
Malaysia-- di Wonosobo, Jawa Tengah. Pada 2006, polisi menggerebek rumah
itu. Noor Din lolos, sedangkan dua rekan Hasbi, Jabir dan Abdul Hadi, tewas.

Benarkah Nur Aziz adalah Nur Hasbi atau Nur Said? Siti Lestari, mertua
Nur Said, yakin bahwa Nur Aziz seperti tampak pada rekaman CCTV Hotel JW
Marriott bukanlah Nur Said menantunya. Menurut Siti, yang tinggal di
Klaten, Jawa Tengah, perawakan Nur Aziz beda dari perawakan Nur Said.
Paman Nur Said, Hasyim, mengatakan kepada Arif Koes Hernawan dari
/Gatra/, ''Saya tak yakin Said terlibat pengeboman.''

Siapa di belakang para operator lapangan itu? Betulkah sang dalang
sesungguhnya adalah pihak intelijen Barat?

*Taufik Alwie, Herry Mohammad, Cavin R. Manuputty, dan Sukmono Fajar Turido*
[*Laporan Utama*, /Gatra/ Nomor 37 Beredar Kamis, 23 Juli 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=128564

*Pelaku Pengeboman WNA*

*Pelaku Pengeboman WNA*


[JAKARTA] Dua pria pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz
Carlton, Jumat (17/7) lalu diduga warga negara asing (WNA) yang menyamar
dengan menggunakan KTP palsu. Dugaan itu didasarkan fakta saat
bercakap-cakap dengan petugas di bagian penerimaan tamu di Hotel JW
Marriott, tamu berinisial N yang menginap di kamar 1808, cukup fasih
berbahasa Inggris.

Sumber di Mabes Polri, Kamis (23/7) menuturkan, KTP yang digunakan
beralamat di wilayah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Namun, setelah
ditelusuri ternyata tidak ditemukan warga dengan identitas sebagaimana
tercantum dalam KTP.

Menyusul penegasan Mabes Polri bahwa berdasarkan tes DNA, pelaku
peledakan bukanlah Nur Hasbi alias Nur Said dan Ibrahim, sebagaimana
dugaan selama ini, polisi kini mengembangkan dugaan bahwa keter- libatan
WNA sebagai pelaku bom bunuh diri.

Kecurigaan lain, sumber tersebut menambahkan, jika dicermati rekaman
close circuit television (CCTV), penampilan pelaku tampak canggung
seolah asing dengan lingkungan hotel. Meskipun diduga WNA, penyidik
yakin bahwa pelakunya masih bagian dari jaringan Noordin M Top.

"Noordin M Top sengaja memasang orang asing sebagai pelaku bom bunuh
diri untuk mematahkan atau memutus jaringan tersebut. Sebab, jika
pelakunya WNI, seperti kasus bom bunuh diri selama ini, polisi dengan
mudah mengungkap identitas pelaku, dan mengungkap jaringannya," jelasnya.

Polisi pun menduga, jika benar pelakunya WNA, kemungkinan besar
berkewarganegaraan Malaysia, Thailand, atau Filipina.

Dengan berubahnya fakta di lapangan, upaya polisi mengungkap pelaku
pengeboman seolah kembali ke titik nol. Hal itu setelah pada Rabu
(22/7), Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna,
didampingi Kepala Pusat Kedokteran Mabes Polri Brigjen Pol Edi
Saparwoko, memastikan bahwa berdasarkan tes DNA, bagian potongan kepala
manusia yang ditemukan di lokasi ledakan, tidak cocok dengan DNA yang
diambil dari keluarga Ibrahim dan Nur Hasbi alias Nur Said.

Walaupun demikian, Nanan memastikan bahwa dua kepala tersebut adalah
milik eksekutor karena diperoleh kecocokan dari hasil penyelidikan,
bahwa potongan kepala dan tubuh yang terurai pernah berada di kamar
1808, Hotel JW Marriott, tempat ditemukan bom yang tidak meledak.

Dia menambahkan, tim Laboratorium Forensik Mabes Polri belum bisa
membuka lokasi tempat kejadian perkara (TKP), karena kemungkinan masih
ada korban yang belum ditemukan dan guna mencari barang bukti baru.
Penyisiran masih dilakukan hingga batas waktu yang belum ditentukan.

"Paling lambat hingga lima atau enam hari ke depan hotel masih akan kami
sterilkan. Kemungkinan ditemukan korban yang hilang masih ada," ujar Nanan.

Sementara itu, Ketua Disaster Victim Identification (DVI) Polri, Eddy
Suparwoko, menambahkan, untuk mengungkap jati diri dua kepala tersebut,
pihaknya sangat membutuhkan partisipasi masyarakat melalui laporan dan
aduan.

Dari potongan kepala yang ditemukan di Hotel Ritz Carlton, Eddy
menuturkan, memiliki ciri berjenis kelamin laki-laki, umur 20-40 tahun,
kulit sawo matang, rambut hitam lurus, dan tinggi badan sekitar 165 cm.

Sedangkan potongan kepala yang ditemukan di JW Marriott, berjenis
kelamin laki-laki, umur berkisar 16-17 tahun, berkulit putih, rambut
hitam lurus pendek, tinggi badan 180-190 cm, dan memiliki ukuran sepatu
42-43.

"Walaupun sudah didapatkan ciri khusus, kami belum bisa menentukan
apakah yang bersangkutan berwarga negara Indonesia atau bukan. Kami
masih mendalami penyelidikan dan menunggu laporan masyarakat," ujar Eddy.



SP/Alex Suban

Rumah Ibrahim, perangkai bunga di Hotel Ritz-Carlton, di Jalan Cililitan
Kecil, Kramat Jati, Jakarta Timur, kosong dan berantakan, Rabu (22/7).
Sejak terjadinya Bom Kuningan II, keberadaan Ibrahim tidak diketahui.

Kumpulkan Lurah

Terkait upaya pengungkapan pengeboman di Jakarta dan perburuan Noordin,
Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo, pada Kamis (23/7)
pagi mengumpulkan sekitar 3.000 lurah dan kepala desa se-Jawa Tengah di
Solo. Pada pertemuan itu, Kapolda didampingi Gubernur Jateng Bibit
Waluyo dan Pangdam Diponegoro Mayjen TNI Haryadi Soetanto.

"Pertemuan tersebut merupakan bentuk antisipasi warga yang difasilitasi
lurah setempat tidak saja sebagai bagian mitra Kamtibmas juga
mengantisipasi ancaman teroris di wilayah Jawa Tengah," kata Alex.

Selain diikuti lurah, menurut informasi, pertemuan itu juga melibatkan,
camat, kapolsek, serta danramil. Mereka akan diminta untuk menghidupkan
pamswakarsa (pengamanan swakarsa) sebagai bagian pencegahan aksi terorisme.

Selain itu, dibagikan pula poster terbaru wajah Noordin M Top. Poster
tersebut sebelumnya sudah disebar di sejumlah pusat keramaian, seperti
pusat perbelanjaan, terminal bus, dan stasiun KA. Dalam poster tersebut,
Noordin tidak lagi berjenggot. Selain itu rambutnya juga agak sedikit ikal.

Sementara itu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, pada Rabu
telah menangkap beberapa orang di Lampung dan Kalimantan. Mereka
ditangkap karena diduga mengetahui seluk beluk dan pelarian Noordin M Top.

Secara terpisah, pada Selasa (21/7) lalu, polisi juga telah menggerebek
rumah Ibrahim, karyawan penata bunga (florist) di Ritz Carlton, yang
diduga terkait dengan pengeboman. Penggerebekan yang sempat menggegerkan
warga sekitar itu hanya mendapati rumah yang kosong, karena sudah
ditinggalkan pemiliknya lima tahun lalu akibat banjir besar.

Kendati demikian, di lantai dua rumah milik orangtua Ibrahim tersebut,
ditemukan kaus bertuliskan Hotel The Ritz Carlton yang diikat pada
dinding dengan menggunakan tali plastik. Pada dinding tembok terdapat
bekas coretan yang bergambar seperti menara tinggi dengan api yang
membakarnya.

Mundari, warga di sekitar tempat itu menuturkan, Ibrahim dan
saudara-saudaranya menghabiskan masa kecil hingga remaja di rumah
orangtuanya, bernama H Rodin Rajak Djafar. Mereka dikenal mudah bergaul
dan taat beribadah serta rajin membaca buku.

Rumah tersebut kosong setelah dilanda banjir dan orangtua mereka
meninggal dunia. Apalagi setelah Ibrahim dan saudara-saudaranya berumah
tangga.

Menyikapi aksi bom bunuh diri pekan lalu, mantan petinggi Jamaah
Islamiyah, Abu Rusdan meskipun tidak ada pernyataan tujuan peledakan
terhadap kedua hotel mewah itu, namun pesan yang disampaikan pelaku
sebenarnya sudah jelas, yakni melawan Amerika Serikat.
[G-5/YRS/IMR/U-5/B-15]

http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=9353

Solusi PKS Lawan Terorisme di Indonesia

Written By gusdurian on Selasa, 21 Juli 2009 | 12.36

Ledakan di JW Marriott dan Ritz Carlton
Solusi PKS Lawan Terorisme di Indonesia
PKS mengutuk teror maut yang terjadi di Indonesia, kemarin, sekarang,
sampai akan datang.

Siswanto

*VIVAnews *– Mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid, mengungkapkan cara
efektif untuk mengalahkan terorisme di Indonesia ialah dengan
menghadirkan perilaku politik Islam yang moderat.

“Selain itu, juga menghadirkan perilaku politik yang berkualitas dan
bermartabat,” kata Hidayat, Selasa 21 Juli 2009.

PKS setuju bahwa pemboman di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton,
Jakarta, pekan lalu merupakan penjelasan konkrit tentang perang melawan
kemanusiaan.

Hidayat mengatakan PKS menolak teror maut itu, apapun alasan yang
melatarinya.

“Kami mengutuki terorisme kemarin sampai sekarang maupun yang akan
datang,” katanya.

Dentuman maut di kedua hotel hanya terjadi selang beberapa menit.
Peristiwa itu terjadi pada Jumat 17 Juli 2009 dan telah memakan sembilan
nyawa dan 53 orang lainnya luka-luka.



http://politik.vivanews.com/news/read/76582-solusi_pks_lawan_terorisme_di_indonesia

I Love You Full Indonesia

I Love You Full Indonesia
Oleh: Cucuk Suparno

Lagi-lagi kakek penyanyi /reggae/ Mbah Surip bikin ulah! Kali ini,
lontaran kalimat khasnya,/ I love you full/,/ /menggelitik pikiran saya.
Kalimat tersebut diucapkan pada setiap kesempatan tanpa peduli konteks
pertanyaan atau suasananya.

/I love you full /yang identik dengan Mbah Surip itu merupakan jargon
ambigu yang multitafsir. Karena itu, saya ingin menyeretnya ke dalam
tafsir kekinian: /I love you full Indonesia/.

Masih banggakah kita mengatakan /I love you full/ /Indonesia/? Seiring
perkembangan segala lini kehidupan karena gelombang modernitas berbaju
globalisasi, tak dimungkiri sebutan Indonesia tidak lagi dihayati
sebagai ''negara-bangsa'' yang patut dibanggakan.

Diakui atau tidak, banyak bukti menunjukkan generasi kekinian telah
menempatkan ke-Indonesia-annya cukup dalam wilayah formalitas. Misalnya,
di ruang seminar, perkuliahan, buku-buku pelajaran, hingga ruang debat
publik. Celakanya, tak jarang sebutan Indonesia sekadar dicomot dan
dijadikan komoditas politik serta komersialisasi kebudayaan.

Sekadar gambaran, bila menyebut Indonesia, yang saya maksud adalah
keseluruhan perilaku sosial, politik, agama, kebudayaan, hingga strategi
pengelolaan bangsa ini. Bahkan, termasuk segala potensi alam dan manusia
yang hidup mulai Sabang hingga Merauke. Indonesia secara holistis!
Masihkah kita memiliki rasa bangga dan peduli terhadap bangsa ini yang
identitas atau jati dirinya perlahan tergerus besarnya arus globalisasi,
kapitalisasi, dan liberalisasi?

Ambil contoh, ada sebuah penelitian oleh komunitas LSM dari Jogjakarta
yang menyebar wawancara dengan sejumlah responden anak muda tentang
Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Sangat ironis, hampir 60 persen anak-anak muda yang tersebar di lima
kota besar, yakni Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang,
tidak hafal Pancasila -apalagi penjabarannya- dan celingukan ketika
ditanya tentang wawasan kebangsaan. Padahal, negeri ini bisa disebut
NKRI yang berdaulat karena memiliki Pancasila dan wawasan kebangsaan
sebagai spirit kehidupan berbangsa.

Implikasi ketidakpahaman terhadap spirit kehidupan berbangsa mewujud
dalam tindakan yang tidak sesuai karakter bangsa. Misalnya, tak ada lagi
kesantunan antargenerasi. Perilaku menyimpang -merugikan bangsa dan
negara- semakin dianggap wajar. Misalnya, korupsi, kolusi, anarkisme,
hingga ''proyek materialisasi'' segala bentuk kegiatan sosial. Indonesia
yang dulu terkesan santun, penuh adab, kini bagaikan negara tanpa
keutuhan penghayatan budaya. Kita kehilangan identitas!

Fenomena paling kontekstual adalah euforia kampanye menjelang pilpres
yang terasa sangat banal dan sarat /lips service/. Kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, hak asasi manusia, pendidikan, serta
kesehatan dijadikan komoditas untuk menarik simpati.

Hingga detik-detik terakhir pemungutan suara, di antara ketiga pasangan
capres-cawapres, belum ada yang berani melontarkan langkah teknis dan
holistis dalam rangka membangun karakter bangsa. Semua berlomba membuat
visi yang sangat materialistis. Memang, hal-hal kebendaan sangat
penting. Tapi, yang lebih penting adalah strategi membangun mentalitas
bangsa, terutama mental anak-anak muda.

Indonesia semakin kehilangan karakter atau jati diri. Cita-cita
universal sesuai amanat UUD 1945, yakni menyejahterakan seluruh rakyat,
ternyata diingkari demi kepentingan sesaat. Ketika biaya pendidikan
makin tinggi dan ongkos kesehatan melambung, para /decision maker/ hanya
bermain istilah untuk ''membesarkan hati rakyat kecil'', sehingga
kesejahteraan hanya tinggal mimpi.

Karakter gotong royong, musyawarah, atau padat karya sekarang telah
diganti dengan individualisme, kepentingan komunal, dan kekuatan modal.
Bukan tidak mungkin, Indonesia akan hilang dari peta kultural dunia!

*Tafsir Mbah Surip*

Ketika mencermati kenyataan sosial, politik, hukum, dan budaya yang
makin memprihatinkan, Indonesia pada masa depan sangat membutuhkan
pemimpin yang berani dan bangga menyatakan /I love you full/
/Indonesia/. Tidak sekadar mengumbar kritik tentang kebocoran aset
negara, bobroknya sistem pemerintahan, serta buruknya perilaku hukum dan
politik, tapi pemimpin yang memiliki komitmen mengembalikan semangat
cinta Indonesia.

Sekadar bahan perbandingan, jika Mahatma Ghandi di India berani
mengatakan tidak terhadap invasi kultur asing dan memulai gerakan
Swadesi untuk kembali mencintai potensi lokal, tak ada salahnya Swadesi
ala India kita transformasi ke Indonesia.

Sayangnya, kita belum memiliki figur sehebat Mahatma Gandhi yang
politikus, negarawan, sekaligus seniman dan budayawan. Tapi, spirit
Gandhi patut diteladani sebagai spirit menuju Indonesia baru.

Di sisi lain, ketika bangsa ini bingung menentukan pemimpin yang bervisi
dan berkomitmen kuat menyejahterakan rakyat, celetukan satir/ I love you
full/ /Indonesia/ menginspirasi untuk dikontekstualisasikan dengan
situasi kekinian. Saya membayangkan, seandainya seluruh elemen bangsa
ini spontan menyerukan/ I love you full Indonesia/ dan menjadikannya
sebagai sikap batin, tentu segala krisis dan konflik di negeri ini akan
teratasi.

Mungkin tidak ada lagi para pemimpin atau calon pemimpin yang sekadar
''jual mimpi'' dan ''teken kontrak politik abal-abal''. Maaf, bukan
berarti saya menuding segala perilaku dan janji manis politisi adalah
palsu. Tapi, indikasi ke arah itu cukup kuat.

Membangun Indonesia yang telah sakit ini diperlukan kemauan yang
tangguh. Kemauan yang saling bersambut antara pemimpin dan rakyat. Juga,
anasir budaya sebagai pilar utama mentalitas bangsa perlu segera
diperbaiki. Betapa indahnya hidup di Indonesia, jika antara pemimpin dan
rakyat dengan tulus mengatakan, /I love you full/ /Indonesia/!

Mbah Surip pun tertawa bangga. /Ha... ha... ha/... *(*)*

*) Cucuk Suparno, /humas Lembaga Baca-Tulis Indonesia, alumnus Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=81330

Denny: Pernyataan Presiden Soal Bom Untuk Tanggapi SMS

Written By gusdurian on Senin, 20 Juli 2009 | 12.35

Denny: Pernyataan Presiden Soal Bom Untuk Tanggapi SMS



*TEMPO /Interaktif/*, *Jakarta* - Staf Khusus Presiden Bidang Hukum
Denny Indrayana mengatakan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terkait bom di JW Mariott dan Ritz Carlton Jumat kemarin, merupakan
jawaban atas pertanyaan masyarakat yang masuk ke telepon seluler
presiden melalui pesan singkat atau SMS. Sebelum konferensi pers,
Yudhoyono mendapat pesan singkat yang menanyakan apakah tragedi itu
terkait dengan pemilihan presiden.

"Pak SBY menjawabnya dan menyampaikan informasi dari intelejen, terkait
atau tidak tergantung hasil investigasi nanti," ujarnya dalam acara
Polemik yang diadakan Radio Trijaya di Warung Daun, Jakarta Selatan,
Sabtu (18/7).

Menurutnya, presiden tidak mengeluarkan pernyataan yang memastikan
apakah insiden itu terkait Pemilu atau tidak. Lagi pula, kata dia,
pernyataan Susilo relatif wajar karena bom terjadi menjelang pengumuman
pemilihan presiden. "Namun Pak SBY tidak mengatakan pasti terkait dan
pernyataan ini adalah jawaban presiden atas sinyalemen yang muncul di
masyarakat."

Denny pun menegaskan, titik tekan yang disampaikan Susilo kemarin adalah
perlunya investigasi hukum yang cepat, akurat, dan profesional yang
dijalankan kepolisian dan intelejen. "Kalau presiden menyampaikan
berbagai kemungkinan, itu belum sampai pada tingkat kepastian pelaku dan
motif, namun hanya informasi awal yang diberikan ke publik," kata dia.

Saat ditanya apakah wajar bila presiden mengungkapkan data intelejen ke
publik, Denny mengatakan pengungkapan data itu adalah kewenangan
presiden. "Presiden mengumumkannya karena merasa publik perlu
mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan karena
pelaku itu ada di sekitar kita."

Mengenai pernyataan SBY yang tidak akan membiarakan pelaku pembunuhan
dan pelanggar hak azasi manusia yang masih lepas dari jangkauan hukum,
dinilai Denny sebagai pernyataan umum dan tidak menuju pada suatu
kelompok atau seseorang. "Pelanggaran HAM itu bisa dimaknai mungkin
terkait dengan situasi politik, tapi itu kan pernyataan umum. Siapa pun
yang melanggar HAM atau melakukan pembunuhan, dan apakah itu para
teroris, pelaku pembunuhan biasa atau berkaitan dengan politik, dia
harus bertanggung jawab di depan hukum," jelasnya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/07/18/brk,20090718-187905,id.html

Tebar Duit Jaring Suara

Tebar Duit Jaring Suara

INEM kesengsem berat pada Susilo Bambang Yudhoyono. Meski tak datang
ke tempat pemungutan suara pada pemilihan presiden awal Juli lalu
karena lumpuh, perempuan 70 tahun itu meminta dua anaknya nyontreng
nomor dua, pasangan SBY-Boediono.

Bagi warga Desa Barongan, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah ini, dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tiga kali ia terima
sejak tahun lalu sangat menolong ekonomi keluarganya. ”Pemerintah
sangat memperhatikan orang miskin,” ucap Inem. Bagi Inem, pemerintah
ya SBY. Program pemerintah itu amat berarti di Kudus.

Tak mengherankan jika pasangan SBY-Boediono unggul jauh dibanding
pesaingnya. Pasangan nomor dua ini meraih 235.462 suara atau 59,7
persen dari suara sah. Duet Megawati-Prabowo memperoleh 34,2 persen,
dan Jusuf Kalla-Wiranto cuma kebagian 6,1 persen. Padahal, sewaktu
Wiranto maju dalam pemilihan presiden 2004, ia mampu mendulang 21,6
persen, menempel SBY-Kalla, yang mendapat 37,6 persen, sedangkan Mega
21,4 persen.

Ati Haryati, 40 tahun, warga Desa Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat, pun sumringah. Meski tak menjadi modal usaha, dana BLT sebagai
”uang kaget” sangat membantu membiayai sekolah anaknya dan keperluan
sehari-hari. Bersama anak dan menantunya, ia tak ragu memilih Partai
Demokrat dan pasangan SBY-Boediono. ”Pilih SBY, siapa tahu ada BLT
lagi,” katanya.

Sebaliknya, program konversi minyak tanah ke elpiji yang diusung Jusuf
Kalla malah menyulitkan Ati. Sebab, pembagian satu set kompor gas dan
tabung tak disertai selang. Alhasil, kompor dan tabung gas mangkrak,
dan dijualnya Rp 150 ribu ke tetangga. Ia kembali ke hawu (tungku)—
terbuat dari tanah liat bercampur semen—berbahan bakar kayu.

Program BLT adalah kompensasi pemerintah bagi rakyat miskin setelah
pemerintah dua kali menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2005.
Melalui program ini, setiap rumah tangga sasaran memperoleh dana
langsung Rp 100 ribu per bulan selama tujuh bulan. Tahun lalu, BLT
kembali dikucurkan setelah pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar
minyak. Kali ini selama sembilan bulan, sampai Februari 2009—hanya dua
bulan sebelum pemilu.

Kendati masih ada program ekonomi lain yang ”dijual” SBY, seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah,
Kredit Usaha Rakyat, Jaminan Kesehatan Masyarakat, dan Program
Keluarga Harapan, BLT-lah yang paling ”menancap” di benak pemilih.
”Program itu paling banyak menaikkan simpati pada SBY,” kata Direktur
Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujani.

Kepala Divisi Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fajar Nursahid menilai BLT
unggul karena merupakan satu-satunya program yang langsung menyentuh
masyarakat. Walaupun program ekonomi kerakyatan pasangan Megawati-
Prabowo sempat ditimbang masyarakat, akhirnya kandas. ”Karena suara
maksimal pemilih Megawati terbatas dari dua partai, tidak bisa
mengalahkan SBY.”

Lagi pula program BLT menyentuh jauh lebih banyak penduduk, terutama
dari kalangan bawah. Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Chazali
Situmorang mengatakan cakupan program ini jauh lebih besar ketimbang
jumlah penduduk miskin nasional karena juga merangkul penduduk ”hampir
miskin”. Jika diasumsikan tiap keluarga sasaran memiliki empat
anggota, BLT tahun ini merengkuh 72 juta orang, hampir dua kali lipat
penduduk miskin, 32,5 juta orang.

Namun Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie malah menilai
kontribusi BLT sangat minim. Sebab, kebanyakan penerima dana BLT tidak
masuk daftar pemilih tetap. Program ekonomi ini pun sering diklaim
sebagai program pemerintah daerah—yang kebanyakan justru tidak berasal
dari Partai Demokrat. Ekonom Aviliani menambahkan, BLT bukanlah faktor
terbesar. ”Rakyat tahunya ekonomi masih tumbuh,” katanya. Itu yang
sebetulnya menunjukkan keberhasilan Yudhoyono.

R.R. Ariyani, Amandra Mustika, Bandelan Amarudin (Kudus), Deffan
Purnama (Bogor)

Tahun Durasi (Bulan) Penerima (Rumah Tangga) Total (Rp Triliun)
2005 7 (Maret-Juni, Oktober-Desember) 19,10 juta 14,10
2008 7 (Juni-Desember) 18,16 juta 13,16
2009 2 (April-Mei) 18,16 juta 3,70

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/NAS/mbm.20090720.NAS130908.id.html

Sorotan Publik

Sorotan Publik

Pekan ini kejaksaan merayakan hari ulang tahun ke-49. Sejumlah
”peristiwa besar” mewarnai perjalanan Hendarman Supandji memimpin
korps adhyaksa ini sejak Mei 2007. Inilah peristiwa besar yang menjadi
sorotan publik itu.

Yang Mendapat SP3
Sejumlah kasus besar berhenti seiring dengan keluarnya surat perintah
penghentian penyidikan (SP3).

# Kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC)
Potensi kerugian negara Rp 759 miliar
Tersangka: Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto)
Alasan: BPPC dianggap sudah mengembalikan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia sebesar Rp 759 miliar berikut bunganya

# Dugaan korupsi Export Oriented Refinery (Exor) I Pertamina Balongan
Potensi kerugian negara Rp 2,2 triliun
Tokoh: Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri Pertambangan dan Energi
Status: Saksi, tidak pernah dinyatakan sebagai tersangka
Alasan: Kasus kedaluwarsa, sudah lebih dari 18 tahun

# Penjualan tanker raksasa Pertamina (very large crude carrier/VLCC)
Potensi kerugian negara Versi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
US$ 20-50 juta (Rp 200-500 miliar)
Tersangka: Laksamana Sukardi (eks Menteri Negara BUMN), Ariffi Nawawi
(eks Direktur Utama Pertamina), Alfred A. Rohimone (eks Direktur
Keuangan Pertamina)
Alasan: Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan menyatakan
tidak ada kerugian negara; putusan peninjauan kembali MA atas putusan
KPPU menyatakan negara diuntungkan

# Dugaan korupsi dana PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Asabri)
Potensi kerugian negara US$ 13 juta (Rp 130 miliar)
Tersangka: Tan Kian
Alasan: Tak ditemukan bukti keterlibatan Tan Kian dalam pembobolan
duit Asabri

Jaksa Bermasalah
Kejaksaan juga mendapat sorotan lantaran ulah sejumlah jaksanya.

# Urip Tri Gunawan
Kejadian: Maret 2008
Kasus: Menerima uang US$ 660 ribu dari Artalyta Suryani (Ayin) atas
tindakannya melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim yang berutang
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Sanksi: Dihukum 20 tahun penjara dan dipecat sebagai jaksa

# Ester Tanak dan Dara Veranita
Kejadian: Maret 2009
Kasus: Menggelapkan barang bukti ekstasi untuk ditukarkan dengan
BlackBerry. Ester dan Dara kini ditahan di Kepolisian Daerah Metro
Jaya.

# Sultoni (jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Barat), Suparno (kepala
seksi pidana umum)
Kejadian: Mei 2009
Kasus: Sultoni melakukan kelalaian yang menyebabkan kaburnya terpidana
pemilik 470 butir ekstasi, Gunawan Tjahjadi. Sebelumnya, ia juga
menuntut Gunawan sangat ringan, hanya satu setengah tahun penjara, dan
tidak melakukan prosedur penuntutan yang benar. Sultoni dicopot dari
jabatannya sebagai jaksa.

# Jaksa Kasus Prita Mulyasari
Kejadian: Juni 2009
Kasus: Karena tulisannya di Internet dianggap mencemarkan nama baik
Rumah Sakit Omni International, Prita Mulyasari dijerat jaksa dengan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancaman
hukumannya enam tahun penjara. Jaksa juga menjebloskan Prita ke
tahanan. Kasus ini mendapat kecaman dari para blogger. Kejaksaan Agung
mengirim tim memeriksa para jaksa yang memegang kasus ini. Mereka yang
diperiksa: Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang
Muhammad Irfan Jaya, jaksa penuntut umum Riyadi dan Rakhmawati Utami,
serta Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Dondy K. Soedirman.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/HK/mbm.20090720.HK130893.id.html

Sepuluh Syarat Cinta dari Uighur

Cina
Sepuluh Syarat Cinta dari Uighur
Kerusuhan etnis muslim di Cina menghasilkan tokoh sekelas Dalai Lama.
Tempo mewawancarai sang pembangkang, Rebiya Kadeer, di Washington.

Dua pekan setelah kerusuhan etnis di ibu kota Urumqi, wilayah otonomi
Xinjiang, Cina, Direktur Festival Film Internasional Melbourne Richard
Moore diprotes atase budaya Cina di Melbourne, Chen Chun Mei. Chen
mendesak Moore menarik film berjudul Sepuluh Syarat Cinta dari agenda
festival. Tapi Moore menolak desakan itu. ”Saya katakan tidak ada
alasan kenapa film itu harus ditarik dari festival ini,” ujar Moore,
Kamis pekan lalu.

Maklum, film itu berkisah tentang kehidupan Rebiya Kadeer, pemimpin
Kongres Uighur Dunia di pengasingan yang memperjuangkan kemerdekaan
Uighur dari Cina. Film yang dibuat oleh sutradara Melbourne, Jeff
Daniels, itu akan diputar pada 8 Agustus, yang akan dihadiri oleh
Rebiya. Tapi Moore tak bisa menjawab pertanyaan Konsul Chen, kenapa
film itu harus diputar dalam festival ini. ”Saya tidak perlu
mencarikan alasan untuk membenarkan kenapa film itu diputar,” kata
Moore, yang kemudian menutup pembicaraan lewat telepon itu dengan
Chen.

Pemerintah Beijing menuduh Rebiya Kadeer dan organisasinya, Kongres
Uighur Dunia, yang bermarkas di Washington, DC, Amerika Serikat,
sebagai biang keladi kerusuhan yang menyebabkan 192 orang tewas, 1.721
luka, 331 kedai dan 627 mobil hangus. Menurut pemerintah Cina,
sebagian besar korban adalah etnis Han, yang merupakan etnis pendatang
di wilayah Xinjiang. Tapi ibu 11 anak ini membantah. ”Saya berjuang
untuk hak asasi dan untuk penentuan nasib sendiri rakyat Uighur,” kata
Rebiya kepada Atria Rai, koresponden Tempo di Washington, DC.

Rebiya yang telah berusia 62 tahun kini menjadi bintang dalam isu
separatisme Cina, bersanding dengan tokoh perlawanan Tibet Dalai Lama.
Bahkan koran pemerintah Cina, Harian Rakyat, menjuluki Rebiya sebagai
”Dalai Lama Uighur”.

Rebiya adalah bekas tukang cuci yang berhasil menjadi salah seorang
perempuan pengusaha terkaya di Cina. Ia mengelola 1.000 program
keluarga ibu rumah tangga yang membantu perempuan Uighur menjalankan
usaha. Penduduk Uighur mengenalnya sebagai miliuner.

Kariernya sebagai pengusaha moncreng sehingga bisa menembus elite
politik di Ibu Kota Beijing. Ia ditunjuk sebagai anggota Konferensi
Konsultasi Politik Rakyat Cina. Ia bahkan dikirim sebagai salah satu
delegasi konferensi PBB tentang perempuan pada 1995.

Tapi nasibnya berubah ketika suaminya yang juga aktivis Sidik Rouzi
kabur ke Amerika Serikat pada 1996. Sidik dijebloskan ke penjara
karena kampanye melawan perlakuan terhadap etnis Uighur, yang
merupakan separuh populasi Provinsi Otonomi Xinjiang. Paspor Rebiya
dirampas. Ia dijebloskan ke penjara pada Agustus 1999, ketika akan
bertemu dengan delegasi Kongres Amerika untuk mengadukan nasib tahanan
politik di Xinjiang. Dakwaannya: membahayakan keamanan nasional. Ia
dinyatakan bersalah oleh pengadilan rakyat di Urumqi pada 10 Maret
2000.

Ia mendekam dalam penjara selama enam tahun, dan dibebaskan pada 2005
dengan alasan kesehatan. Tapi dalam memoar berjudul Dragon Fighter
(Kales Press) yang terbit pada Mei lalu, Rebiya menyebut ia bebas
setelah Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice campur tangan. Ia disekap
dalam penjara berukuran 2,5 meter persegi, dan pernah diminta
berteriak ”kami tak ingin berpisah dari Cina” sebanyak 50 kali.
Pengalaman dari dalam penjara inilah yang membikin Rebiya kian gigih
melawan pemerintah Cina.

Rebiya kemudian pindah ke Virginia, Amerika Serikat. Beberapa
keluarganya masih di Xinjiang, bahkan dua anaknya masih meringkuk
dalam penjara. Dari Virginia itu ia mengelola Kongres Uighur Dunia dan
Asosiasi Uighur Amerika untuk memperjuangkan nasib etnis Uighur di
Cina. Untuk itu ia sempat dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel
Perdamaian pada 2006.

Setelah kerusuhan di Urumqi tersebut, Rebiya menemui komisi pemerintah
untuk kebebasan beragama agar mendorong pemerintah Amerika menjatuhkan
sanksi pada Cina. Rebiya menuduh Cina menggunakan kekerasan yang
menimbulkan korban untuk menghentikan protes damai etnis Uighur. ”Anda
dapat membandingkannya dengan pembantaian di Lapangan Tiananmen,” ujar
Rebiya.

Setelah Dalai Lama, kini Rebiya muncul, membuat pemerintah Beijing
makin direpotkan dengan isu separatisme.

Raihul Fadjri


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/ITR/mbm.20090720.ITR130878.id.html

Bahasa, antara Mode dan Politik

Bahasa, antara Mode dan Politik

Seno Gumira Ajidarma
Wartawan

Dengan catatan bahwa artefak bahasa ini telah saya alih­kan ejaannya,
marilah kita perhatikan gejala bahasa yang termunculkan dari baris
komik (comic strip) di atas.

Pertama, saya ingin mencatat bahwa peristiwa kebahasaan ini terbentuk
oleh sejumlah kata yang berasal dari berbagai bahasa, seperti bahasa
Inggris (you, and, donkey, beetle, with bedbug, monkey), Belanda (Je
=kamu, een = satu), Betawi (lu, nggak), Jawa (wewe, momok, mbubut,
jengger, katok), dan sisanya boleh disebut bahasa Indonesia yang tentu
saja masih bisa diasalkan ke bahasa lain seperti betot, copot, dan
amberol itu. Kedua, terdapat sejumlah ”pelisanan tertulis”, seperti
you menjadi yu, one menjadi wan, dan donkey menjadi dongki, tapi saya
tak tahu bagaimana yang mungkin ”yes” menjadi ”tjes”. Ketiga, memang
hanya ada satu akronim yang telah diterima sebagai idiom: tongpes dari
kantong kempes yang artinya tentu tidak berduit.

Namun dengan ketiga aspek dari pencacahan ini, susunan bahasa campur
aduk itu mampu menemukan puitika sendiri. Perhatikanlah sekali lagi
dialog tersebut, maka akan dapat ditemukan bahwa ujaran satu yang
berbalas ujaran lain bukanlah seperti pasangan tanya dan jawab,
melainkan susunan komentar singkat yang susulmenyusul dengan ritme
serta bunyi sangat terjaga: dari ”Yu Texas!” ke ”Yes, Yu donkey!” dan
”Lu wewe!” ke ”Je momok!” sangat terasa sebagai sesuatu yang ritmis;
yang bergabung dengan kesadaran bunyi seperti ”Haha een monkey!” yang
disusul ”And satu donkey!”, secara keseluruhan membentuk musikalitas
yang canggih.

Apalagi jika mengingat bagaimana nada riang dan santai pada bagian
awal semakin meningkat tegangannya dan berakhir dengan suatu klimaks
dalam konstruksi sempurna. Memang, puitika dalam suatu gejala bahasa
tentu erat menyangkut musikalitasnya juga.

Ini kalau purapura bicara tentang content analysisnya, tapi lantas
bagaimana dengan doi punya discourse analysis? Untuk ini perhatian
harus diperluas kepada gambar dan asalusulnya. Dalam komik seri
Keluarga Miring No. 12, khususnya dalam epi­sode ”Sakarat”, konteks
yang melahirkan wacana kebahasaan semacam itu menjadi jelas.

Pertama bahwa ”Texas” dan ”donkey” maupun ”wewe” dan ”momok” ini
adalah komentar tentang mode. Petruk dan Gareng mengenakan celana
jengki ketat, sementara Bagong rambutnya gondrong dan Istri Bagong
berambut sasak. Ketika berpapasan mereka saling mengejek dan humor
berpuncak secara slapstick.

Kedua, dengan kunci dari dua panil pertama: mengapa tujuan berbangga
diri diwakili istilahistilah yang mengejek diri? ”Texas” untuk celana
melitit mungkin masih ”netral”, tetapi ”donkey” untuk jengki, ”wewe”
untuk rambut sasak, dan ”momok” untuk rambut gondrong, ketika tampil
melecehkan diri bukanlah dimaksud sebagai jiwa besar, melainkan tetap
menghina dan merendahkan ”pemilik” mode tersebut, yang kini terarahkan
dari kata ”Texas”. Apalagi jika bukan representasi Amerika Serikat
atau ”Barat”? Sementara kata ”beetle” adalah ejekan untuk Beatle (s),
mungkinkah ”donkey” untuk yankee?

Ketiga, mengingat izin terbit bertanggal 1481964 di halaman terakhir
komik tanpa nama penggubah ini, penafsiran mode yang dipandang sebagai
representasi ideologis kaum ”kontrev” alias ”kontra revolusi” menjadi
sahih, karena pada masa Orde Lama (ini penamaan Orde Baru), selain
terdengar slogan ”Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”, razia
celana jengki bahkan dilaksanakan tentara di jalanan. Jadi celana
jengki, rambut sasak, dan rambut gondrong, dalam comic strip ini
adalah representasi ”imperialisme”. Sebagai ideologi yang sedang
diganyang Bung Karno, diperlihatkan betapa ideologi ini bagi
”pengguna”nya tidaklah produktif sama sekali.

Kita telah menyaksikan suatu peristiwa kebahasaan, sebagai konstruksi
mode dan politik dalam kebudayaan Indonesia.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/BHS/mbm.20090720.BHS130863.id.html

Teror Itu

Teror Itu

Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita marah dan sedih,
jika beberapa orang bahkan menangis pagi itu, ketika dua ledakan
membunuh sembilan orang dan melukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-
Carlton dan JW Marriott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya
tak tahu persis jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi
saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin
bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba
kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah
negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut
dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana
dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel
direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah,
karena pidato di televisi.

Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain. Pagi itu
kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner itu—justru
ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada di sebuah
perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan seperti hendak
direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi kita sedikit rasa
bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa mengatakan, ”Saya
datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan membuat saya tidak malu
lagi.”

Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ketimbang apa
saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi adalah ”Amerika”, atau
”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”, atau ”kehidupan sekuler”, atau
apa pun. Ketika kita merasa seperti kehilangan sebuah republik yang
dibangun bersama—dengan segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—
teror itu praktis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia
yang bebas. Ia memusuhi Indonesia.

Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan melawan. Pada
saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang sejenak ia bisa
bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan, juga dari seorang
presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu, teror itu, tak akan bisa
mendapat lebih dari itu.

Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton. Ada
panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada penonton yang
menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke dalam hidup mereka, sejenak
ataupun lama. Kengerian, kebuasan, dan kenekatan itu adalah bagian
dari spectacle itu, seperti dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?

Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektakuler dengan
pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang penuh ditabrakkan ke dua
gedung pencakar langit di Kota New York, pada sebuah pagi yang cerah.
Sekitar 3.000 orang tewas. Teror adalah sebuah show dan sekaligus
statemen. Tapi statemen itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan
penonton. Efeknya mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh
(”Amerika”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk
menggerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak punya
daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.

Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing return”.
Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sampai pada suatu
titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika ia jadi rutin,
diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali membunuh
sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa berpanjang-panjang
membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.

Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry Gilliam,
horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan
iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang
perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada
jerit. Tak ada sirene. Yang terdengar melodi Aquerela do Brasil dari
Ary Barroso yang riang dan ringan. Teror telah demikian jadi bagian
dari hidup sehari-hari dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman
entah berantah. Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang
disebut oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita
tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald ”Harry”
Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul sejenak. Teror
telah jadi seperti ”seni untuk seni”.

Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gilliam, di
mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang
ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada
pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnya—sebuah pertunjukan
teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak,
merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu?

Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang
kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berharga—
sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri yang aman dan
demokratis—kita tahu siapa yang akan menang. Kita. Indonesia.

Goenawan Mohamad


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/CTP/mbm.20090720.CTP130902.id.html