BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Orang Tua Pintu Berkah Tuhan

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 13.25

Orang Tua Pintu Berkah Tuhan

RASULULLAH pernah bersabda, “Mereka yang usianya melebihi umurku, itu
tanda disayang Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan masih memberi kesempatan
untuk menebus dosa-dosanya dengan memperbanyak amal kebajikan.”

Masih menurut sabda Rasul, mereka yang usianya lanjut dan kondisinya
mendekati pikun, malaikat hanya mencatat amal kebajikannya; sedangkan
jika berbuat salah, tidak lagi dicatat karena mereka tak ubahnya anak
kecil.Barang siapa yang merawat orang tua yang sudah uzur, maka Tuhan
akan mencurahkan berkah dari langit karena telah menjaga dan melayani
titipan-Ku di muka bumi dengan penuh kasih sayang.

Sabda Rasul di atas sangat menarik direnungkan. Dari sudut pandang
ilmiah, dan persis dikemukakan Alquran, ketika seseorang memasuki usia
lanjut, maka perilakunya kembali seperti anak kecil. Tidak lagi
mandiri,sehingga butuh dilayani. Bahkan ada pula yang banyak tuntutan
sebagaimana anak kecil yang selalu merengek minta macam-macam dan marah
kalau ditunda-tunda. Makanya sungguh merupakan kemuliaan dan kebajikan,
siapa yang dengan sabar dan penuh cinta kasih merawat orang tua, maka
Tuhan berjanji mencurahkan berkah dari langit bagi mereka.

Atas dasar cinta kasih dan ajaran tersebut, para penganut agama yang
taat pasti akan memperlakukan orang tuanya sedemikian rupa. Mereka
dilindungi, dilayani, dan dihibur, bukannya dititipkan atau dibuang ke
rumah jompo. Kalaupun ada gagasan untuk menitipkan orang tua agar
memperoleh pelayanan yang bagus, mungkin bisa dipikirkan membangun
semacam “wisma manula” yang bagus, menggabungkan unsur-unsur pesantren,
wisma dan vila.

Para orang tua itu tinggal di rumah yang nyaman layaknya di vila. Lalu
dilengkapi dengan kurikulum pembelajaran semisal pendalaman agama,
alat-alat musik, kegiatan melukis, cocok tanam, dan kerajinan tangan,
sehingga hari-hari mereka diisi kegiatan yang menyenangkan dan bermutu.
Sering para orang tua itu mengeluh, sulit bertemu teman lama untuk
berbagi cerita mengisi waktu-waktunya yang kosong.

Sementara mau berbagi waktu dengan anak atau cucu mereka sudah sibuk
dengan acara masing-masing. Di hari-hari tua itu mereka sangat
memerlukan perhatian dan aktivitas hidup yang lebih bermakna. Di antara
mereka bahkan ada yang baru sempat mendalami agama karena sebelumnya
sibuk mengejar karier. Ada lagi yang baru memulai belajar membaca kitab
suci dan menghafalkan bacaan sembahyang.

Mereka senang sekali ketika memperoleh bimbingan bersama teman sebaya
dalam suasana yang riang dan damai. Saya bayangkan,begitu banyak
eksekutif muda yang sukses secara materi di Indonesia ini. Pasti mereka
akan senang dan mau mengeluarkan biaya untuk membahagiakan orang
tua.Betapa mulianya kalau saja mereka menjadi sponsor pendirian semacam
universitas terbuka untuk orang-orang tua,mereka tinggal di residen
semacam hotel, namun berfungsi sebagai pesantren luhur untuk mengisi
hari-harinya dengan kegiatan yang bermakna semisal mendalami agama,
bersosialisasi dengan teman sebaya.

Sekali-sekali diadakan perlombaan antarmereka, pasti para orang tua itu
akan sangat senang, bukannya merasa dibuang. Di tempat ini mereka
dikondisikan untuk merasa kuliah lagi mempersiapkan diri menghadapi
perjalanan lanjut setelah kematian mereka. Saya termasuk senang
berbincang- bincang dengan orang tua yang sudah lanjut usia.Saya banyak
belajar dari mereka, bagaimana rasanya menengok lembaran hidup yang
telah lalu dan membayangkan hari-hari depannya.

Ada di antara mereka yang sedih, bahkan menangis, ketika diajak membaca
ulang lembaran hidup mereka yang lewat. ”Masa laluku hitam, malu dan
sedih mengenangnya. Saya ingin bertobat,tapi saya tidak yakin mampu
membayar dan menebus dosa-dosaku,”katanya.”Saya ingin sekali belajar
tasawuf, tetapi tidak tahu siapa gurunya,”katanya. Ada juga yang dengan
semangat menceritakan perjuangan dan kesuksesan masa lalu.

Bagaimana dulu mereka berjuang melawan penjajah demi kemerdekaan
Indonesia. Mereka siap mengorbankan jiwa.Namun menjadi sedih ketika
menyaksikan kondisi negara, bangsa, dan rakyat di negeri ini belum
sejahtera. Para elitenya sibuk saling bertengkar memperebutkan fasilitas
rakyat dan negara. Tradisi menghormati orang tua, termasuk generasi
pendahulu, rasanya semakin pudar di negeri ini.Tata krama dan sopan
santun yang menjadi budaya masyarakat Nusantara kian kabur.

Perlu dibedakan antara sopan santun dan sikap feodal.Itu dua hal yang
sangat berbeda. Kita boleh saja berbeda pendapat dengan orang tua,namun
cinta kasih dan hormat mesti dipertahankan.Cium tangan orang tua
bukanlah aib.Bukan pula sikap kolot.Itu tanda sayang dan hormat. Saya
sering tercenung, mengapa kita kurang terbiasa menghargai para pendahulu
yang telah ikut berjasa menyambung mata rantai generasi dan kehidupan
berbangsa serta bernegara?

Terlepas apa pun alasannya, saya sedih setiap membaca berita, sekian
mantan pejabat tinggi setelah purnatugas dipanggil KPK,lalu masuk
tahanan. Tentu kita semua mesti mendukung langkah KPK dalam
pemberantasan korupsi, namun hati terasa perih menyaksikan relasi
antargenerasi di negeri ini saling hujat-menghujat. Kita mendambakan
munculnya generasi muda yang santun dan hormat kepada generasi
tua,sementara pada jajaran generasi tua juga menunjukkan sikap
lapang,edukatif,dan apresiatif terhadap yang muda untuk mengambil peran
mengganti generasi pendahulunya dalam membangun bangsa.

Orang tua itu sumber berkah dari langit.Mari kita muliakan dan sayangi
mereka. Sukses seorang anak tidak mungkin dilepaskan dari jasa orang
tua. Tak pernah berhenti orang tua berdoa demi kebaikan kita.Tetapi
ketika sudah masuk ranah politik, suasananya memang lain. Muncul
perubahan kultur secara drastis.Sikap lapang dan kesantunan cenderung
hilang. Yang sudah tua dan sebaiknya cukup berperan sebagai suporter dan
penasihat, masih juga tidak mau turun panggung.

Mereka tidak mau kalah ikut bersaing dengan yang muda. Akibatnya, relasi
antargenerasi bukannya saling asih, asah dan asuh, melainkan saling
gasak. Adalah menjadi sunatullah, cinta orang tua pada anak itu bagaikan
air hujan yang selalu tercurah ke bawah, sementara yang memantul balik
ke atas hanya sedikit. Untuk membuktikan aksioma ini sangat mudah.Coba
saja hitung, sehari berapa kali seorang ayah atau ibu menelepon anaknya.

Tetapi seberapa sering kita menelepon orang tua kita dibanding menelepon
anak-anak kita? Hampir setiap waktu orang tua selalu memikirkan anak,
tetapi perhatian pada orang tua tidak seberapa dibanding pada
anakanaknya. Karena itu sangat logis dan mulia Tuhan menjanjikan curahan
berkah bagi mereka yang mencintai dan merawat orang tuanya secara tulus.

Betapa indahnya sebuah keluarga, masyarakat dan bangsa yang memiliki
tradisi untuk selalu memuliakan orang tua. Sebaliknya, akan sangat
terpuji orang tua yang senantiasa memberi suri teladan yang baik dan
mencurahkan cintanya secara tulus pada putra-putri mereka yang masih
muda.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/238627/38/

Banalitas Politik

Banalitas Politik

*Ferdinandus Hasiman*
ALUMNUS STF DRIYARKARA, JAKARTA

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa pelupa. Lupa akan masa silam dan
menganggap sepele hal-hal penting dalam sejarah. Masa lalu akhirnya
menjadi kepingan-kepingan sejarah yang tidak bermanfaat untuk membangun
masa depan. Padahal masa depan bangsa menjadi lebih baik jika kita
disembuhkan dari luka-luka sejarah. Luka-luka itu membuat kita tidak
otonom dan tidak pernah beranjak maju alias stagnan. Bangsa yang menolak
ingatan atau menolak menghadirkan kenangan-kenangan buruk masa lampau
adalah bangsa yang belum berhasil mengelola masa lalu.

Sebaliknya, bangsa yang berani mengingat masa lalu akan menjadi bangsa
yang bebas, otonom, dan mampu bertanggung jawab. Namun, realitas
hari-hari ini, rakyat ikut arus dalam diskursus politik yang berkembang
saat ini. Lihat saja kondisi kita menjelang pemilihan presiden. Berbagai
opini yang beredar di berbagai media lebih berpusat pada utak-atik
pasangan calon presiden. Rakyat akhirnya tenggelam dalam pusaran koalisi
pencari kekuasaan. Rakyat menjadi lupa menengok persoalan hak asasi
manusia yang pernah ditinggalkan para petinggi militer dalam sejarah.

Padahal B.J. Habibie telah membuka jalan seputar konspirasi para
petinggi militer setelah kejatuhan Soeharto. Banyak peristiwa
HAM--Trisakti, Atmajaya, Tanjung Priok--yang melibatkan petinggi militer
yang hilang dari ingatan publik. Kelupaan akan sejarah inilah yang
disebut Hannah Arendt sebagai banalitas politik. Banalitas terjadi
karena pembiaran dan keengganan rakyat menengok sejarah.

*Trauma sejarah*
Filsafat politik Arendt tentang banalitas harus dilihat dari perspektif
korban. Korban yang dimaksud Arendt adalah orang Yahudi yang dibantai
pada zaman Hitler. Arendt mengatakan, pembantaian terhadap orang Yahudi
tidak akan memakan korban jika rakyat tidak membiarkan Adolf Eichman
berkuasa. Pembiaran model inilah yang disebut banalitas politik. Lalu,
bagaimana kita mengaitkan dengan kondisi kita saat ini?

Sadar atau tidak, sejarah bangsa ini berubah haluan sejak militer
berkuasa pada 1965 (baca: G30S-PKI). Di sanalah militer mulai mengangkat
dirinya sebagai mesianik yang membebaskan bangsa dari penjajahan dan
komunisme. Nama Jenderal Soeharto pun disanjung bak nabi dan mahkota
atas sejarah. Penyebab paling penting intervensi militer dalam politik
di Indonesia bisa dilacak dalam sejarah. Pertama, ketidakmampuan dan
ketidakpedulian Soekarno dalam menata administrasi dan birokrasi negara,
sehingga kabinet presidensial jatuh sebelum 1945. Kedua, demokrasi
liberal tidak berhasil mengatasi persoalan karena salahnya keyakinan
pemerintah akan kemanjuran pencangkokan model demokrasi barat.

Sejarah itu terus berlanjut pascareformasi 1998. Naiknya pemimpin sipil
pascareformasi ke panggung politik tidak membawa perubahan bagi situasi
politik. Menjelang pemilu presiden 2009, nama-nama petinggi militer,
seperti Prabowo, Wiranto, dan SBY, perlahan-lahan makin lama makin
bergema dalam kosakata politik. Mereka menjadi tokoh penuh karisma dan
populer. Mereka semakin populer ketika diskursus dan komunikasi politik
terfokus pada permainan koalisi kekuasaan. Media sebagai medium
penyampaian informasi pun ikut arus dan tidak bisa mengambil jarak
terhadap koalisi kekuasaan.

Ketika komunikasi dan wacana kritis menjadi pudar, militer menggunakan
kesempatan ini untuk tampil dengan wajah lain pada panggung politik
Indonesia. Lantas, apa yang menyebabkan kembalinya militer dalam tatanan
reformasi saat ini? Jawabannya adalah adanya kecenderungan dan
kesempatan untuk membela dan memajukan kepentingan militer dan aspirasi
kelas menengah. Faktor lain adalah adanya kemahiran profesional dalam
hal kepemimpinan nasional yang dipercaya lebih daripada orang-orang
politik yang tidak becus dan korup.

Kealpaan media dalam mereproduksi sejarah kekuasaan mementahkan kekuatan
kritis yang sedang menemukan bentuknya dalam iklim demokrasi sebuah
bangsa. Gambaran konkretnya terletak pada ulasan-ulasan para penulis di
media yang berputar pada masalah koalisi antar partai, sehingga
mengabaikan sama sekali rekam jejak calon pemimpin kepada publik.

Jejalan informasi media seputar koalisi partai menenggelamkan memori
historis, sehingga menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Kebingungan
masyarakat adalah citra matinya komunikasi politik sebuah bangsa.
Informasi koalisi partai yang ditawarkan melalui /civil society/ (dalam
arti luas) pada akhirnya tidak memberi solusi ke arah konsolidasi
demokrasi. Memori historis menghadirkan kembali sejumlah informasi
kritis perlu dikedepankan, sehingga masyarakat mampu menilai secara
kritis siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah bangsa. Itu berarti
memerlukan konsolidasi demokrasi.

Konsolidasi demokrasi tercapai apabila /civil society/ bermain peran
dalam mengendalikan kekuasaan. /Civil society/ harus terlibat aktif
dalam mengawasi penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Sebab,
kekuasaan politik selalu menyangkut nasib dan kepentingan banyak orang.
Kepentingan publik akan terealisasi jika ada komunikasi yang bisa
menjembatani antara elite dan kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan
mendapat kontrol dalam ruang publik.

Arendt mengatakan, kekuasaan dibutuhkan untuk menjaga ruang publik.
Ruang publik merupakan tempat bagi setiap individu untuk melakukan
tindakan politis, karena ruang publik merupakan ruang penampakan di mana
warga negara bertemu dan membahas berbagai masalah kenegaraan. Politik
dengan demikian tidak diinstrumentalisasi untuk kepentingan lain,
seperti pengejaran nafsu dan dominasi. Instrumentalisasi seperti itu
hanya akan melahirkan banalitas politik. Politik seharusnya datang untuk
melindungi proses komunikasi.

Meskipun terkesan mengawang-awang, saya kira filsafat politik Arendt
menjadi pelajaran penting bagi /civil society/. Filsafat politik Arendt
dibangun dari tiga kerangka besar, kerja, karya dan tindakan. Tindakan
(/action/) bukan sesuatu yang apolitis, seperti kerja (/labour/) dan
karya. Kerja dan karya sifatnya instrumental, dominasi, dan survival.
Kerja dan karya mendesak untuk dipenuhi, seperti rasa lapar dan haus.
Dalam kondisi ini tidak ada komunikasi politik, yang ada hanya hasrat
mencari kekuasaan. Lain halnya dengan tindakan (/action/). Dalam
tindakan, asumsinya manusia sebagai /zoon politicon/, manusia yang ada
bersama orang lain. Tindakan politis tidak dapat dibayangkan tanpa ada
orang lain, sehingga selalu ada ruang untuk komunikasi.

Dalam konteks tindakan ini, /civil society/ harus bisa menempatkan
tindakan politis dalam kerangka komunikasi. Itu berarti, /civil society/
harus gelisah dengan adanya gejala sosial-politik dan mengadvokasi
kepentingan rakyat. Dia harus memperjelas kawan yang harus dibela dan
musuh yang perlu disingkirkan. Dalam arti ini, /civil society/ tidak
boleh netral, karena posisi netral memberi ruang bagi yang berkuasa
untuk menindih yang lemah, dan banalitas politik menjadi semakin
terbuka. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana banalitas politik perlu
kita sadari agar konsolidasi demokrasi bisa berjalan.

Konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan keadaan luar biasa yang
memungkinkan rakyat berani menentang kekuasaan yang tidak becus. Selain
itu, pemimpin-pemimpin sipil harus memiliki tanggung jawab atas campur
tangan militer di Indonesia. Pemimpin sipil harus membangun struktur
otoritas yang sehat, membangun prestasi yang memuaskan dan harus dapat
mengintegrasikan kekuatan yang memiliki potensi untuk berbeda pendapat.

Pluralitas ini mendesak untuk adanya konsensus politik. Konsensus
politik mengandaikan adanya peluang yang sama untuk mencapai konsensus,
sehingga ruang partisipasi warga negara terbuka lebar. Partisipasi warga
negara inilah tempat di mana rakyat berdaulat. Kedaulatan rakyat akan
tercapai jika adanya subyek sadar. Pengandaian ini menjadi sulit dalam
masyarakat yang tingkat otonom pendidikan didominasi oleh dunia politis.

Pendidikan sangat penting agar rakyat tidak menjadi banal. Untuk itu,
pendidikan politis merupakan skala prioritas bagi kita dalam menata
kehidupan berbangsa ke depan. Artinya, konsolidasi demokrasi memerlukan
pendidikan politik terus-menerus. Pendidikan /on-going formation/
penting dalam kerangka membangkitkan kesadaran masyarakat berdemokrasi.
Sehingga rakyat bukan asal datang ke kotak suara dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai warga negara. Dengan itu, pemilu “luber” benar-benar
menjadi momen pemilihan yang bebas berdasarkan suara hati.

Kebebasan menentukan pilihan tentu membutuhkan sosialisasi melalui
pendidikan. Rakyat dengan suara hati nuraninya bebas memilih pemimpin
yang dipilih. Henry Newman mengatakan, suara hati bisa saja keliru. Agar
suara hati tidak keliru, perlu proses belajar dan mengenal bagaimana
latar belakang sang pemimpin itu dan apa dampak visi pembangunan bagi
masa depan bangsa ini.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/15/Opini/krn.20090515.165318.id.html

Desentralisasi dan Kemiskinan

Desentralisasi dan Kemiskinan
Dalam sejarah dunia, keputusan untuk memberlakukan kebijakan
desentralisasi, di mana otonomi daerah adalah salah satu bentuk
penjelmaannya, sering merupakan reaksi atas tuntutan dari bawah.


Secara umum,jawaban positif atas tuntutan dari bawah itu jarang yang
sukarela, sering lambat dan tak jarang penuh hambatan. Ada memang
desentralisasi yang diprakarsai dari atas berbarengan dengan perubahan
politik dan runtuhnya rezim lama. Namun, lebih sering negara melakukan
desentralisasi pada situasi post conflict sebagai cara untuk mengamankan
proses rekonsiliasi dan perdamaian.

Desentralisasi mempunyai dimensi politik, dengan demokratisasi dan
penguatan civil society sebagai kata kunci.Selain itu,perlu perhatian
terhadap dimensi geografis dan administratif (deconcentration,
devolution, dan delegation) serta keterkaitan dengan pasar
(privatisasi).Konsep desentralisasi dan otonomi daerah (decentralization
& local governance) diinterpretasikan dan diimplementasikan secara
berbeda-beda, bahkan sering oleh sebuah instansi yang sama.(Richard
Flaman,1999) Sebenarnya, desentralisasi bukanlah sebuah tujuan an
sich,melainkan sebuah instrumen politik.

Ia merupakan sebuah persyaratan mendasar bagi berprestasinya birokrasi
dalam sebuah negara hukum yang demokratis.Desentralisasi bukan sekadar
konsep birokrasi alternatif, melainkan sebuah proses perubahan yang
bersifat sangat politis dan sering merupakan bagian dari reformasi
mendasar menuju demokratisasi. Realisasinya jauh lebih sulit dari
sekadar masalah administratif. Desentralisasi mencakup tugas lintas
sektoral dan berimplikasi pada perubahan mendasar serta masif dalam
semua tataran dan sektor masyarakat.

Semakin besar perubahan yang dipicu, resistensi yang bakal dihadapinya
cenderung semakin besar pula. Sayangnya,kenyataan lapangan dalam
penerapan desentralisasi di negara-negara berkembang selama ini,
termasuk di Indonesia, belum menunjukkan keterkaitan kausal antara
desentralisasi dan keberhasilan pembangunan, misalnya dalam hal
percepatan pertumbuhan, sustainable human development,dan pengurangan
kemiskinan.

Penyebabnya, selain luasnya spektrum interpretasi tentang makna
desentralisasi, juga akibat relatif singkatnya pengalaman uji cobanya
serta tiadanya indikator dan kurang akuratnya data lapangan. Secara
metodologi, juga sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan isolasi
berbagai faktor yang memengaruhi keberhasilan kebijakan desentralisasi.
Selain itu, pada tataran proyek, kurang tajamnya rumusan tujuan dan
formulasi hasil yang diinginkan serta lemahnya perencanaan operasional
telah mempersulit evaluasi pencapaian tujuan.

Dampak Desentralisasi

Keputusan melaksanakan kebijakan desentralisasi dapat menumbuhkan
harapan yang tidak realistis bahwa kebutuhan daerah sepenuhnya atau
setidaknya jauh lebih baik bisa terpenuhkan. Begitu pula dengan
penyelesaian berbagai masalah daerah. Selain itu, muncul pula harapan
tentang dampak positifnya terhadap berbagai hal berikut.

Mulai dari proses demokratisasi, pembangunan berkelanjutan, impuls
positif bagi ekonomi dan negara, pengentasan kemiskinan, pengurangan
arus urbanisasi dan mobilisasi,identifikasi sosial-budaya serta
pelestarian lingkungan hingga birokrasi yang efisien dan aspiratif.
Namun kurang disadari bahwa dampak positif yang diharapkan itu hanya
mungkin terjadi dalam proses jangka panjang. Padahal, tujuan yang
dicanangkan jarang yang dirumuskan secara operasional.

Biasanya,hal tersebut lebih berbentuk harapan pencapaian yang diffuse,
imbauan atau menggunakan berbagai elemen yang umum sehingga mempersulit
management of expectation. Elemen pendukung utama seperti partisipasi
civil society dan local ownership dalam proses pembangunan sering
disandarkan pada harapan yang terlalu optimistis meski terkadang
visioner,tetapi cenderung bersifat harmonis dan melupakan (kemungkinan)
terjadinya konflik serta friksi. Cara pandang tersebut jelas jauh dari
kenyataan lapangan.

Tak aneh,dalam literatur ilmiah terdapat kesepakatan luas bahwa dampak
desentralisasi terhadap proses reformasi di negara berkembang selama ini
umumnya mengecewakan atau paling tidak jauh dari yang diharapkan. Sangat
jarang, terdapat perencanaan yang matang berikut strategi pencapaiannya.
Umumnya, rencana yang ada bermuatan harapan yang tinggi meski terlalu
umum dengan tujuan yang kabur dalam tataran konsepsional sehingga
bermasalah dalam implementasinya.

Syarat Keberhasilan

Selain kemauan politik serta dedikasi dari para pengambil keputusan
untuk reformasi, keberhasilan desentralisasi mempersyaratkan negara yang
kuat dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
misalnya terkait penggunaan dana yang berkaitan langsung dengan
kepentingan mereka.

Proses pendanaan yang melibatkan eksekutif dan legislatif sama sekali
belum melibatkan masyarakat.Apalagi mereka yang miskin. Lebih dari itu,
jumlah dan alokasi anggaran bukanlah satu-satunya kunci percepatan
pengurangan kemiskinan seperti yang dijabarkan dalam Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs).Yang tak kalah penting keterhubungan antara rencana
program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang diarahkan ke
lokasi-lokasi di mana masyarakat miskin berada.

Selain itu, perlu transparansi dan akuntabilitas penganggaran berupa
indikator untuk mengukur keberhasilan yang jelas dan dapat diwujudkan
dengan mudah di tingkat lapangan serta pemantauan dan evaluasi terkait
peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Perencanaan dan
penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin didefinisikan sebagai
proses yang menjamin agar rencana dan anggaran yang disusun meletakkan
prioritas utama pada pengurangan kemiskinan. Perlu disadari, masalah
kemiskinan sangatlah kompleks.

Guna mencari akar kemiskinan, diperlukan pendekatan khusus seperti
participatory poverty assessment(PPA). Data yang diperoleh melalui
kegiatan tersebut maupun data sekunder dari BPS,misalnya,dapat dipakai
untuk mengukur dan memetakan kemiskinan sekaligus sebagai bahan
monitoring dan evaluasi perkembangan kemiskinan di suatu daerah.

Sosialisasi data, perencanaan, penganggaran dan pemantauan serta
evaluasi terusmenerus adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, bisa
dipastikan hal tersebut sekadar menjadi proyek singkat yang tak jarang
mubazir.(*)

Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs, Bappenas/UNDP


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/239188/

Desentralisasi dan Kemiskinan

Desentralisasi dan Kemiskinan
Dalam sejarah dunia, keputusan untuk memberlakukan kebijakan
desentralisasi, di mana otonomi daerah adalah salah satu bentuk
penjelmaannya, sering merupakan reaksi atas tuntutan dari bawah.


Secara umum,jawaban positif atas tuntutan dari bawah itu jarang yang
sukarela, sering lambat dan tak jarang penuh hambatan. Ada memang
desentralisasi yang diprakarsai dari atas berbarengan dengan perubahan
politik dan runtuhnya rezim lama. Namun, lebih sering negara melakukan
desentralisasi pada situasi post conflict sebagai cara untuk mengamankan
proses rekonsiliasi dan perdamaian.

Desentralisasi mempunyai dimensi politik, dengan demokratisasi dan
penguatan civil society sebagai kata kunci.Selain itu,perlu perhatian
terhadap dimensi geografis dan administratif (deconcentration,
devolution, dan delegation) serta keterkaitan dengan pasar
(privatisasi).Konsep desentralisasi dan otonomi daerah (decentralization
& local governance) diinterpretasikan dan diimplementasikan secara
berbeda-beda, bahkan sering oleh sebuah instansi yang sama.(Richard
Flaman,1999) Sebenarnya, desentralisasi bukanlah sebuah tujuan an
sich,melainkan sebuah instrumen politik.

Ia merupakan sebuah persyaratan mendasar bagi berprestasinya birokrasi
dalam sebuah negara hukum yang demokratis.Desentralisasi bukan sekadar
konsep birokrasi alternatif, melainkan sebuah proses perubahan yang
bersifat sangat politis dan sering merupakan bagian dari reformasi
mendasar menuju demokratisasi. Realisasinya jauh lebih sulit dari
sekadar masalah administratif. Desentralisasi mencakup tugas lintas
sektoral dan berimplikasi pada perubahan mendasar serta masif dalam
semua tataran dan sektor masyarakat.

Semakin besar perubahan yang dipicu, resistensi yang bakal dihadapinya
cenderung semakin besar pula. Sayangnya,kenyataan lapangan dalam
penerapan desentralisasi di negara-negara berkembang selama ini,
termasuk di Indonesia, belum menunjukkan keterkaitan kausal antara
desentralisasi dan keberhasilan pembangunan, misalnya dalam hal
percepatan pertumbuhan, sustainable human development,dan pengurangan
kemiskinan.

Penyebabnya, selain luasnya spektrum interpretasi tentang makna
desentralisasi, juga akibat relatif singkatnya pengalaman uji cobanya
serta tiadanya indikator dan kurang akuratnya data lapangan. Secara
metodologi, juga sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan isolasi
berbagai faktor yang memengaruhi keberhasilan kebijakan desentralisasi.
Selain itu, pada tataran proyek, kurang tajamnya rumusan tujuan dan
formulasi hasil yang diinginkan serta lemahnya perencanaan operasional
telah mempersulit evaluasi pencapaian tujuan.

Dampak Desentralisasi

Keputusan melaksanakan kebijakan desentralisasi dapat menumbuhkan
harapan yang tidak realistis bahwa kebutuhan daerah sepenuhnya atau
setidaknya jauh lebih baik bisa terpenuhkan. Begitu pula dengan
penyelesaian berbagai masalah daerah. Selain itu, muncul pula harapan
tentang dampak positifnya terhadap berbagai hal berikut.

Mulai dari proses demokratisasi, pembangunan berkelanjutan, impuls
positif bagi ekonomi dan negara, pengentasan kemiskinan, pengurangan
arus urbanisasi dan mobilisasi,identifikasi sosial-budaya serta
pelestarian lingkungan hingga birokrasi yang efisien dan aspiratif.
Namun kurang disadari bahwa dampak positif yang diharapkan itu hanya
mungkin terjadi dalam proses jangka panjang. Padahal, tujuan yang
dicanangkan jarang yang dirumuskan secara operasional.

Biasanya,hal tersebut lebih berbentuk harapan pencapaian yang diffuse,
imbauan atau menggunakan berbagai elemen yang umum sehingga mempersulit
management of expectation. Elemen pendukung utama seperti partisipasi
civil society dan local ownership dalam proses pembangunan sering
disandarkan pada harapan yang terlalu optimistis meski terkadang
visioner,tetapi cenderung bersifat harmonis dan melupakan (kemungkinan)
terjadinya konflik serta friksi. Cara pandang tersebut jelas jauh dari
kenyataan lapangan.

Tak aneh,dalam literatur ilmiah terdapat kesepakatan luas bahwa dampak
desentralisasi terhadap proses reformasi di negara berkembang selama ini
umumnya mengecewakan atau paling tidak jauh dari yang diharapkan. Sangat
jarang, terdapat perencanaan yang matang berikut strategi pencapaiannya.
Umumnya, rencana yang ada bermuatan harapan yang tinggi meski terlalu
umum dengan tujuan yang kabur dalam tataran konsepsional sehingga
bermasalah dalam implementasinya.

Syarat Keberhasilan

Selain kemauan politik serta dedikasi dari para pengambil keputusan
untuk reformasi, keberhasilan desentralisasi mempersyaratkan negara yang
kuat dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
misalnya terkait penggunaan dana yang berkaitan langsung dengan
kepentingan mereka.

Proses pendanaan yang melibatkan eksekutif dan legislatif sama sekali
belum melibatkan masyarakat.Apalagi mereka yang miskin. Lebih dari itu,
jumlah dan alokasi anggaran bukanlah satu-satunya kunci percepatan
pengurangan kemiskinan seperti yang dijabarkan dalam Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs).Yang tak kalah penting keterhubungan antara rencana
program dan kegiatan serta alokasi anggaran yang diarahkan ke
lokasi-lokasi di mana masyarakat miskin berada.

Selain itu, perlu transparansi dan akuntabilitas penganggaran berupa
indikator untuk mengukur keberhasilan yang jelas dan dapat diwujudkan
dengan mudah di tingkat lapangan serta pemantauan dan evaluasi terkait
peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Perencanaan dan
penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin didefinisikan sebagai
proses yang menjamin agar rencana dan anggaran yang disusun meletakkan
prioritas utama pada pengurangan kemiskinan. Perlu disadari, masalah
kemiskinan sangatlah kompleks.

Guna mencari akar kemiskinan, diperlukan pendekatan khusus seperti
participatory poverty assessment(PPA). Data yang diperoleh melalui
kegiatan tersebut maupun data sekunder dari BPS,misalnya,dapat dipakai
untuk mengukur dan memetakan kemiskinan sekaligus sebagai bahan
monitoring dan evaluasi perkembangan kemiskinan di suatu daerah.

Sosialisasi data, perencanaan, penganggaran dan pemantauan serta
evaluasi terusmenerus adalah sebuah keharusan. Tanpa itu, bisa
dipastikan hal tersebut sekadar menjadi proyek singkat yang tak jarang
mubazir.(*)

Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs, Bappenas/UNDP


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/239188/

Toeti Adhitama: Figur dan Platformo

H IRUK pikuk capres mencari pasang H an telah selesai, berujung pada
ritual H demokrasi dengan pendaftaran tiga H pasangan di KPU. Kita
mendapat H surprise. Kita boleh lega karena ketiganya kirakira berbobot
sama, masing-masing dengan kekuatan dan kelemahannya. Hanya
konstituenkonstituen yang memiliki keterkaitan emosi atau kepentingan
pribadi yang akan gampang membuat pilihan. Yang lain-lain pada umumnya
akan sulit membuat keputusan. Yang menarik, tiga pasangan itu memberikan
variasi sesuai dengan kebutuhan batin para konstituen. Ada aspirasi
menjangkau jauh ke depan, ada keinginan maju dengan menyadari
unsur-unsur primordial, dan ada gairah besar menghapus kemiskinan dari
bumi NKRI. Seandainya tiga pasangan itu bersatu dalam tim dan memerintah
bersama, alangkah hebatnya. Semua keinginan konstituen akan terpenuhi.
Tetapi ini tentu hanya anganangan dan omongan kosong. Secara
konstitusional, kita hanya bisa memilih satu presiden dan satu wakil
presiden.

Figur dan landasan platform Pada tahap ini, kita mungkin tengah terpana
oleh figur-fi gur yang menawarkan diri atau ditawarkan untuk jabatan
RI-1 dan RI-2. Seperti kata Wiranto, yang maju adalah putra-putra
terbaik bangsa. Misalnya, kita tentu bangga memiliki dua doktor untuk
calon RI-1 dan RI-2.

Mereka memiliki pengalaman istana cukup lama-lebih dari sepuluh
tahun--baik sebagai anggota kabinet maupun presiden. Mereka populer di
kalangan masyarakat politik/ekonomi dunia dan tegar menghadapi mereka
dalam forum-forum internasional. Karena ditempa pengalaman, mereka
memiliki wawasan internasional yang luas dan mantap. Mereka berdiri di
antara pemimpinpemimpin dunia yang siap menyambut datangnya zaman baru
bagi peradaban manusia dengan berbagai tugas besar yang dibebankan.
Kedua sosok itu penting untuk menyongsong masa depan Indonesia. Sebab,
seperti kata Mikhail Gorbachev dalam pertemuan dengan anggotaanggota
Parlemen Prancis Oktober 1985, tugas kita adalah membuat ekonomi lebih
efisien dan dinamis, membuat kehidupan manusia lebih kaya, lebih penuh,
dan lebih berarti secara kultural.

Tidak sulit untuk mengerti bahwa bukan hanya perdamaian yang stabil,
melainkan juga situasi internasional yang tenang dan normal menjadi
persyaratan penting untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. “Kita juga
harus melihat realitas lain --realitas bahwa interkoneksi dan
interdependensi antarnegara dan antarbenua semakin dekat. Ini kondisi
yang tidak terelakkan untuk membangun kemajuan perekonomian, ilmu dan
teknologi dunia, peningkatan pertukaran informasi dan gerakan manusia
dan ba rang di bumi bahkan di angkasa luar angkasa.

Singkatnya, demi seluruh pengembangan peradaban manusia.” Gorbachev,
Pemimpin Uni Soviet 1985-1991 yang memelopori perestroika (rekonstruksi)
dan glasnost (keterbukaan). Ia mendapat Hadiah Nobel untuk Perdamaian
pada 1990.

JK-Win tidak kalah hebat. Pasangan yang menjawab kebutuhan untuk
membuktikan pluralisme kesukuan itu telah banyak makan asam garam dalam
mengabdikan diri kepada negara lewat tugas-tugas pemerintahan maupun
pribadi. JK seorang politikus, birokrat, dan saudagar besar.

Wiranto, mantan jenderal berbintang empat, semasa puncak kariernya
pernah menduduki jabatan panglima angkatan bersenjata. Dengan jabatannya
itu, berarti ia pernah menjadi atasan dua capres lainnya yang mantan
jenderal, SBY dan Prabowo. JK mengatakan tentang bakal wakilnya itu
bahwa Wiranto dapat diandalkan untuk kekuatan manajemen pemerintahan
mereka. Berkenaan dengan peran JK sebagai politikus dan pengusaha, yang
sering menjadi sorotan, ia pernah menyinggung tentang pentingnya peran
Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada 1911. Organisasi ekonomi
berdasarkan agama Islam dan perekonomian rakyat itu dalam perjalanannya
berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dan berkembang menjadi
organisasi dengan perhatian besar terhadap masalah-masalah
sosial-politik yang menentang ketidakadilan dan penindasan oleh
pemerintah kolonial.

Pasar menyambut gembira munculnya pasangan JK-Win. Di satu pihak
Boediono jago makroekonomi.

Di lain pihak, JK diharapkan akan fokus kepada sektor riil dengan
memperhatikan usaha-usaha kecil dan menengah demi terbukanya lapangan
kerja yang lebih luas yang pada gilirannya akan menanggulangi rakyat
miskin yang jumlahnya puluhan juta. Merujuk pada perkembangan ekonomi
China yang maju pesat, dua dasawarsa lalu China pun memulainya dari
pengembangan sektor riil. Dalam dialognya dengan Kadin pada Senin lalu,
JK juga mengatakan pasar tradisional merupakan urat nadi perekonomian
Indonesia.

Koalisi yang terbentuk pada saat-saat terakhir sebelum masa pendaftaran
ditutup KPU adalah koalisi dua tokoh yang berikrar sebagai pejuang gigih
kepentingan wong cilik, yakni pasangan Mega-Pro (rakyat). Tayangan
televisi tentang pendaftaran mereka di KPU menggugah sense of history.
Dalam rombongan mereka antara lain tampak putra-putri founding father
Soekarno yakni Sukmawati dan Guruh, serta putri founding fatherMohammad
Hatta, Halida Hatta (Gerindra), dan putra bungsu begawan ekonomi Prof Dr
Soemitro Djojohadikusumo, Hasyim Djojohadikusumo (Gerindra). Bila
menilik asal-usul mereka, masuk akal bila pasangan Mega-Pro berjanji
mengutamakan kebijakan-kebijakan ekonomi kerakyatan, menghapus pinjaman
luar negeri, dan memprioritaskan agar sumber-sumber alam dikuasai
orang-orang dalam negeri.

Dalam proses mendaftarkan diri di KPU, Megawati secara bergurau
menyatakan pasangan merekalah yang tercantik. Pasangan itu memang
satu-satunya yang mengusung perempuan untuk capres. Sikap santainya itu
beda sekali dengan sikapnya dalam Pemilu 1999 ketika pencalonannya
banyak disatroni. Antara lain, masalah pendidikannya dikotak-katik,
begitu juga masalah gender. Agama, kata mereka, tidak membolehkan
perempuan memimpin di depan.

Figur dan Platform
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group


Tetapi takdir membawa Megawati ke kursi RI-1.

Untuk persaingan kali ini, Mega menggandeng tokoh termuda--di bawah 60
tahun--dalam kelompok capres-cawapres.

Di mana pun, rakyat menolak kemiskinan Dengan bahasa berbeda-beda,
ketiga pasangan pada dasarnya bertujuan sama. Mereka ingin membuat
bangsa dan negara sejahtera. Cara mencapainya yang mungkin beda. Pada
akhirnya nanti tim sukses masing-masing akan menjabarkan platform
mereka. Kegesitan dan kecanggihan tim akan menentukan apakah tema
kampanye mampu memikat hati rakyat dan membuat rakyat percaya. Platform
yang rinci dan tuntas akan menjadi bahan kampanye yang mendidik bagi
masyarakat. Tanpa sosialisasi platform yang memadai, konstituen harus be
kerja keras mencari dan menggali sendiri keterangan-keterangan yang
mereka perlukan.

Pekerjaan rumah yang tidak ringan yang harus mereka jalankan karena
pesta ritual demokrasi bukan hanya pestanya para capres dan cawapres.

Malahan rakyat yang terutama berkepentingan.

Hasil pilihan mereka akan menentukan masa depan apakah mayoritas rakyat
menjadi sejahtera atau sebaliknya tetap miskin atau bahkan menjadi lebih
miskin.

Sampai 1960-an, pemandangan di semua negara berkembang hampir serupa.
Kemiskinan merajalela, pertumbuhan ekonomi rendah, infrastruktur sangat
tidak memadai, jumlah penduduk naik pesat, pendidikan kurang, dan
kesehatan rakyat tidak terawat. Tetapi sejarah membuktikan, apabila
suatu negara sudah siap mengadakan perubahan, kemajuan bisa melesat di
luar dugaan. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, telah
membuktikannya.

Dalam usahanya menghapuskan kemiskinan, pemenang Nobel Perdamaian itu
tidak menyerukan dihapusnya sistem kapitalis, tetapi menyerukan agar
dilakukan pencerahan terhadapnya.

Dengan kata lain, idenya adalah memanfaatkan kekuatan pasar bebas untuk
mengatasi masalah kemiskinan, kelaparan, dan ketimpangan. Ia memelopori
ide bisnis sosial. Yang dia maksudkan, seperti lazimnya dalam ajaran
kapitalisme, bisnis dijalankan untuk mencari keuntungan.

Tetapi dalam konsep bisnis sosial, keuntungan yang diterima bukan
disalurkan kembali kepada para pemodal, tetapi dialirkan untuk
tujuan-tujuan sosial.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel di Oslo, Norwegia, 10 Desember
2006, Muhammad Yunus mengatakan, “....94% pendapatan dunia dinikmati 40%
penduduk dunia, sedangkan 60%nya hidup dari 6% pendapatan dunia. Separuh
penduduk dunia hidup dengan $2 sehari. Lebih dari 1 miliar hidup dengan
kurang dari $1 sehari.

Ini bukan formula untuk perdamaian.” Selanjutnya, dia katakan bahwa
kemiskinan adalah penolakan terhadap HAM. Perdamaian harus dimengerti
dengan cara kemanusiaan, dengan makna sosial, politik, dan ekonomi yang
luas.

Perdamaian terancam bila tidak ada keadilan dalam ekonomi, politik, dan
sosial, bila tidak ada demokrasi, bila mutu lingkungan mengalami
degradasi dan HAM tidak dihormati.

“....Kemiskinan terjadi karena tidak ada hak asasi manusia. Frustrasi,
sikap memusuhi, dan kemarahan yang timbul akibat kemelaratan yang keji
tidak akan mampu mempertahankan perdamaian dalam masyarakat. Untuk
menciptakan perdamaian yang kekal, kita harus mencari cara menciptakan
kesempatan agar manusia bisa hidup layak.” Selama tiga dasawarsa,
Muhammad Yunus telah mengabdikan usahanya untuk menciptakan kesempatan
bagi mayoritas rakyat yakni kaum yang miskin. Semoga gagasan-gagasannya
memberikan inspirasi kepada para pemimpin Indonesia.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/22/ArticleHtmls/22_05_2009_005_002.shtml?Mode=0

Evolusi Muslim Demokrat

Evolusi Muslim Demokrat

*Zacky Khairul Umam,* peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam,
Universitas Indonesia

Dalam dunia imajiner Barat, Nusantara lama dikenal sebagai negeri
harmonis di tengah perbedaan agama dan budaya. Unik, karena ia negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Ketimbang dunia
Islam-Arab yang mudah gelisah dan saling tuduh, dalam lingkungan Islam
yang damai, Indonesia sungguh menenteramkan.

Kalau ditimbang secara geopolitik, muslim Indonesia tentu relatif jauh
diperhitungkan. Peradaban Barat lama melihat episentrum keislaman ada di
lingkaran Timur Dekat (Proche-Orient) dan Timur Tengah (Moyen-Orient),
di sepanjang semenanjung Mediterania hingga wilayah Asia Tengah. Meski
Islam Melayu sempat mulai dikaji pada abad XIX di Prancis dan Barat
secara umum, ia meredup dan baru mulai dilirik kembali seusai Perang
Dunia II. Itu pun imbas dari kepentingan Barat terhadap rumpun utama
wilayah Timur Jauh (Extrême-Orient) yang kemudian merembet dari Indocina
ke kepulauan Nusantara. Simpulnya, Islam-Indonesia ialah peradaban
pinggiran.

Berkah corak kedamaian itu yang membikin Indonesia penting diperhatikan.
Kendati di tepian, tabiat keagamaan yang sejuk hadir di garis
Khatulistiwa ini. Sementara itu, sang pusat peradaban Arab-Islam terus
gaduh dengan perbedaan dan perebutan kepentingan. Ini tentu sedikit
melegakan. Denys Lombard pernah menulis bahwa tidak ada watak penaklukan
dalam model Islam Nusantara. Alih-alih menerapkan Arabisasi, sifat
kreatif-radikal yang dimiliki Nusantara mampu mengolah keislaman--selain
Hindu, Buddha, dan Cina--menjadi wajah budaya yang teduh.

Maka tak mengherankan jika proyeksi peradaban muslim akan sedikit demi
sedikit bergeser ke tepian, dan mengimbangi yang pusat. Fazlur Rahman
pernah mengatakan hal serupa pada 1980-an. Pemikir Mesir yang hingga
kini jadi eksil ke Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan pernah
bercita-cita ingin mengakhiri sisa hidupnya di musim panen Islam
demokratis: Indonesia. Tapi haruskah bergantung di atas impian? Dan
benarkah model Islam moderat selalu menjadi realitas? Atau bahkan mitos?

*Fase radikal*

Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam /La Fin de l'Innocence/ (2006)
menelaah hal menarik. Kini, menurut mereka, musim semi wajah radikal
sedang berkembang. Dua hal yang gampang dibaca dari fenomena Islam
radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang ialah penyederhanaan
ideologis dan manipulasi politik. Ia kemudian berkembang menjadi Islam
politik dengan pengkaderan yang terorganisasi yang bertumbuh melalui
pengajaran praktis doktrin negara dan agama. Sekaligus bisa memanfaatkan
wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Urutannya, setelah tiga kali
pemilu pasca-Reformasi kini, ada yang masih bertahan dalam gerakan
radikal, namun ada pula yang kemudian mengubah diri menjadi Islam
politik yang mengikuti trayek demokratisasi.

Fenomena yang mengarah ke /succomber à la tentation radicale/ (menyerah
kepada godaan radikal) lalu penting diwaspadai. Tak lalu wujud radikal
harus terus mengapung di atas negara kepulauan ini. Fase radikal ini
memang tak mudah dilemaskan. Salah satu unsur yang bisa menjelaskan
ialah arus hilir-mudik jaringan kafilah Islam radikal dari Timur Tengah
ke Indonesia (/Joining the Caravan/, Bubalo & Fealy 2007).

Globalisasi dimanfaatkan betul untuk menyebarkan benih-benih kekerasan
secara lintas-batas. Kalangan muslim radikal sering kali membenarkan
gagasan "benturan antarperadaban" yang ditelan mentah-mentah dan lalu
membangun cara pembelaan diri dengan mempertebal identitas politik.
Seberapa pun mereka mampu menawarkan dunia alternatif ala penafsiran
Islam mereka, namun sifat ketertutupan ideologis telah menutup
kemungkinan untuk mengembangkan jembatan antarperadaban. Alih-alih
mematahkan ide bentrokan itu, mereka malah mendukungnya.

Implantasi gagasan dan praksis Islam radikal ke Nusantara tak pernah
berakhir selama lalu lintas informasi dan komunikasi terus menjadi kuat.
Beberapa letupan konflik Islam-Kristen, bom bunuh diri, dan kekerasan
atas nama agama tidak bisa memungkiri hal ini. Tak bisa diprediksi kapan
ia bisa berakhir. Ia bisa mati dan bertumbuh kapan saja. Muslim yang
jatuh pada godaan radikal yang sesungguhnya menawarkan kesemuan itu
semakin menggeser citraan wajah Islam yang damai, moderat, dan toleran.
Di mata sorotan media, jumlah mereka yang kecil bisa mewakili
keseluruhan. Dunia khayali tentang keislaman yang tenteram pun luruh;
Indonesia sama saja dengan belahan dunia Islam lainnya.

*Berubah*

Karena itu, proyek demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini
bisa dijadikan momentum tepat untuk mengembalikan fitrah jalan damai.
Demokratisasi dalam prakteknya bisa melemahkan tawaran Islam politik
menjadi lebih luwes dan berirama dalam sistem yang sebelumnya bahkan
bisa jadi diharamkan. Di dalamnya, semua pihak diperdengarkan, ikut
berpartisipasi, mengemukakan gagasan, dan ikut bekerja dalam skema
kebangsaan. Tentu bukan dalam pemilu yang baru lewat saja, yang
terpenting ialah demokrasi mampu menegaskan jalan Islam kewargaan dan
semakin menyumirkan jalan Islam kekerasan.

Eksperimentasi Islam dan demokrasi yang terus berlangsung ini menjaga
harapan yang baik. Pemikir Swiss yang cucu pendiri Ikhwan al-Muslimun
Hasan Al-Banna, Tariq Ramadan (2008), bilang: "/l'absence de démocratie
appauvrit l'évolution de l'islam/" (ketiadaan demokrasi mengurangi
perkembangan Islam). Itu bisa dibaca bahwa demokrasi merupakan ladang
jihad baru yang paling menjanjikan bagi penyemaian nilai-nilai Islam
yang merahmati.

Jika kini wajah Islam politik semakin banyak berpartisipasi dalam
demokratisasi, sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan. Mereka terus
membuka diri terhadap kehadiran "yang lain", dan menyadari bahwa
ketertutupan adalah kematian politik. Islam politik tidak akan
mengurangi kekuatan garda depan Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah,
dalam menyemai keadaban. Mereka adalah jemaah muslim demokrat yang
sedang berjuang untuk keindonesiaan. Dalam konteks itu, mereka akan
memilih apakah akan memperbarui pemahaman keagamaan mereka atau
intoleran sama sekali. Dan pilihan terakhir tampak tidak cocok bertumbuh
dalam ladang demokrasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/22/Opini/krn.20090522.165863.id.html

Kebangkitan Primordialisme

/Kebangkitan Primordialisme/

Maryanto
PEMERHATI POLITIK BAHASA

Tidaklah mudah untuk merawat bangunan jiwa nasionalisme di Indonesia.
Bangunan yang "diruwat" setiap 20 Mei itu seakan terus digerogoti oleh
kaum primordial yang masih gemar menyekat-nyekat anak bangsa Indonesia.
Dengan berdalih anak Indonesia akan kehilangan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu, kaum primordial itu sudah berhasil menerobos dunia
pendidikan di Indonesia.

Adalah sebuah terobosan baru apabila sebuah seminar nasional yang
bertajuk "Pendidikan Keaksaraan melalui Bahasa Ibu" dapat segera
digelar. Menurut rencana, seminar pendidikan itu akan digelar di
Bandung, Jawa Barat, pada akhir Mei 2009. Isu yang sangat gencar
digulirkan ialah penyelamatan bahasa ibu. Lewat seminar akbar itu, kaum
primordial akan mengusung isu bahasa ibu terancam punah.

Di mata kaum primordial, ibu-ibu Indonesia dipandang sudah menopause,
tidak akan produktif melahirkan bentuk-bentuk bahasa anak. Anak-anak
Indonesia dikhawatirkan akan lahir dan tumbuh besar tanpa bahasa ibu.
Bahasa ibu dianggap sudah sekarat, seperti kata Y. Siyamta (2009),
"Bahasa ibu: hidup segan, mati tak mau." Benarkah demikian?

"Bu, /mimik/...," kata seorang anak kepada ibunya. Anak Indonesia yang
lain berkata, "/Nenen/..., Bu." Begitu mendengar anak merengek seperti
itu, sang ibu pun akan bergegas dan berkata, "/Netek/, ya, Nak."
Begitulah sosok bahasa ibu. Itulah bentuk bahasa anak, ranah bahasa
keluarga (/home language/), warna bahasa daerah, atau wajah bahasa
Indonesia lokal. Itu semua tetap hidup subur; tak akan pernah punah!

Isu kepunahan bahasa ibu sudah lama merebak di Indonesia. Bahkan isu
bahasa ibu itu sudah berkembang jadi kekhawatiran yang berlebihan.
Karena kekhawatiran itu, misalnya, bahasa ibu pun wajib diajarkan di
sekolah. Di banyak daerah, anak sekolah harus disuguhi materi ajar
bahasa daerah sebagai muatan lokal demi penyelamatan atau pelestarian
bahasa ibu.

Ini sungguh aneh! Sebuah mata pelajaran sekolah mengajarkan tata cara
berbahasa ibu bagi anak sekolah. Sesungguhnya, apa yang disebut bahasa
ibu merupakan bentuk atau sosok bahasa yang sudah dikuasai anak-anak
sebelum mereka mulai duduk di bangku sekolah. Bahasa ini mulai diperoleh
ketika mereka masih dalam dekapan ibunya: entah saat /mimik, nenen,
netek/, atau menyusu.

Perolehan bahasa ibu tentu tidak terbatas pada bentuk bahasa yang
dihasilkan anak dari dekapan ibu. Para ibu--apalagi ibu di
perkotaan--tidak selamanya mengasuh anak. Anak sering diserahkan kepada
pengasuh pengganti, termasuk kepada media massa televisi berbahasa
Indonesia di rumah. Di sinilah bahasa Indonesia juga bahasa rumah. Pola
asuh anak seperti itu rupanya membuat kaum primordial tidak gembira.

Kaum primordial tampak tidak senang melihat bahasa Indonesia bersatu
dengan bahasa daerah (bahasa lokal) untuk membentuk sosok bahasa ibu
bagi anak Indonesia sekarang. Padahal sudah begitu lama bahasa Indonesia
bergerak melokal; secara natural mendekati dan menyerupai bahasa daerah.
Lihat saja, misalnya, bahasa daerah yang sekarang dituturkan di Jakarta,
Ambon, dan Papua.

Di daerah-daerah yang dulunya basis penuturan bahasa Melayu, bahasa
Indonesia sudah melokal secara natural. Naturalisasi bahasa Indonesia
itu juga berlangsung di daerah lain, seperti daerah penuturan bahasa
Sunda dan Jawa. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa daerah lainnya
(non-Melayu) tidak perlu dipandang dengan kacamata kesukuan nenek
moyang. Bahasa daerah bagi generasi sekarang sudah beda.

Bagi anak-anak sekarang, ibu bukanlah satu-satunya sumber perolehan
bahasa pertama. Menurut seorang linguis, John E. Joseph (2001), bahasa
pertama yang sering disebut bahasa ibu itu memiliki ciri pemerolehan
bahasa informal. Batasan bahasa ibu sebagai bahasa informal itu tentu
berimplikasi pada pemakaian bahasa itu dalam situasi informal.

Di luar situasi informal, seperti di dalam ranah persekolahan dan
perkantoran, pemakaian bahasa ibu sangat sukarela. Namun, anehnya lagi,
sudah ada kewajiban pemakaian bahasa ibu dalam situasi formal. Di banyak
daerah, pegawai kantor pemerintah Indonesia diwajibkan berbahasa daerah.
Dalihnya tetap sama: pelestarian atau penyelamatan bahasa ibu sebagai
bahasa leluhur atau nenek moyang.

Isu bahasa ibu memang berbau politik (bahkan politik praktis).
Sayangnya, di Indonesia, isu bahasa ibu dibincang-bincangkan hanya dalam
kerangka bahasa daerah yang dipisahkan (oleh politik bahasa) dari
keranjang bahasa Indonesia. Secara politis, kini, bahasa Indonesia masih
terbelit dan terbelenggu dengan konsep bahasa nasional yang cenderung
menciut pada bentuk bahasa formal, resmi, atau bahasa baku saja.

Belum terdengar nyaring suara tokoh politik Indonesia, seperti Susilo
Bambang Yudhoyono, mengenai isu bahasa ibu tersebut. Presiden SBY--yang
sekarang hendak memperpanjang masa "kontrak" politiknya--dikabarkan akan
mengisi seminar bahasa ibu yang berlangsung di Bandung tersebut. Belum
diketahui apa yang hendak dikatakan SBY pada kesempatan seminar yang
sangat menentukan arah perkembangan anak bangsa ini.

Ketika SBY berhasil mengendalikan partai politik pemenang Pemilihan Umum
2009 sekarang, begitu besar harapan SBY masih mengingat gagasan yang
pernah terungkap dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII pada 2003. Pada
kesempatan kongres itu, dengan kesantunan bahasa yang dimiliki, SBY
mengusulkan agar bahasa Indonesia dijadikan "Taman Sari".

Bahasa Indonesia memang perlu dijadikan sebuah taman yang di dalamnya
masyarakat Indonesia berhak menumbuhkan warna-warni bahasa. Taman sari
itu tentu akan menghidupkan bermacam "tumbuhan bunga" yang di sini
disebut bahasa ibu. Bahasa ibu itu akan terus berkembang secara dinamis;
mengikuti jejak perubahan (evolusi) kebudayaan masyarakat Indonesia.
Yakinlah SBY pun juga akan percaya bahasa ibu di Indonesia tidak akan
pernah mati atau punah atau musnah. Apabila dikelola secara konsisten
dengan konsep M. Yamin, M. Tabrani, dkk., yaitu bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 1928), atau dengan gagasan SBY (2003)
dalam istilahnya "Taman Sari", bahasa Indonesia akan sangat dahsyat
menghidupkan bahasa ibu.

Di Indonesia, bahasa ibu akan tetap identik dengan bahasa daerah: semua
bahasa daerah yang sekat-sekatnya dapat dinisbikan oleh bahasa
Indonesia. Dengan bergerak melokal di setiap daerah, bahasa Indonesia
sesungguhnya menjadi bahasa persatuan: bahasa yang mewadahi; menghimpun;
melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi anak bangsa Indonesia
pada masa kemarin, kini, dan esok.

Bagi anak yang sekarang mulai duduk di bangku sekolah, sistem pendidikan
berbasis bahasa ibu adalah sebuah keniscayaan. Tanpa kehadiran bahasa
ibu, anak akan merasa asing berada di lingkungan pendidikan. Di sana
pendidikan bukanlah arena pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Anak pun akan terganggu perkembangan kognitifnya dan itu yang terjadi
selama ini.

Untuk menghadirkan bahasa ibu, sangat mudah. Misalnya, untuk membuka
mata anak agar melek aksara, janganlah pilih bentuk formal seperti
/menyusu/. Bahasa formal atau standar (nasional) itu diperoleh anak
sebagai bahasa kedua. Gunakan saja bentuk bahasa pertama atau bahasa
ibu, seperti /mimik, nenen, netek/, atau wujud bahasa lokal lain yang
sekarang ada. Untuk itu, tak perlu repot-repot mencari wujud bahasa
(termasuk bentuk ortografis) yang sudah tiada.

Masalah pendidikan berbasis bahasa ibu akan sulit dan rumit jika kaum
primordial masih diberi ruang atau kesempatan untuk mengonstruksi bahasa
ibu sebagai bahasa (warisan) nenek moyang. Di dunia pendidikan, bahasa
ibu itu bahasa si anak didik, bukan bahasa si nenek atau si moyang.
Sangat konyol kalau anak-anak sekarang disuruh kembali berbahasa sama
dengan bahasa kesukuan nenek moyangnya.

Ketika berkeras dengan bahasa ibu dalam konsep bahasa nenek moyang
(bukan bahasa anak sekarang), pendidikan bisa jadi kontraproduktif;
tidak progresif. Pada saat yang sama, dunia pendidikan menantikan
bangkitnya primordialisme. Itu tentu bertentangan dengan semangat
Kebangkitan Nasional 20 Mei ini: sebuah semangat untuk merawat bangunan
jiwa nasionalisme!

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/25/Opini/krn.20090525.166120.id.html

Humor Itu Penting

Humor Itu Penting



*Oleh: A. Jafar M. Sidik*

Jakarta (ANTARA News) - Dalam satu wawancara televisi beberapa tahun
lalu, Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, ditanya humorolog Jaya
Suprana mengapa Presiden AS Bill Clinton tertawa lebar saat berbicara
empat mata dengannya.

Gus Dur, demikian Abdurrahman biasa dipanggil, menjawab, Clinton tertawa
karena mendengar cerita lucu tentang mantan Perdana Menteri Winston
Churchill dengan lawan politiknya, Clement Atlee, di kamar kecil di
Gedung Parlemen Inggris.

Melihat Atlee menyusulnya untuk sama-sama membuang hajat, Churchill yang
berbadan besar dan tiba lebih dulu di situ, berkata, "Sana ah, jangan
dekat-dekat! Anda kan sukanya yang besar-besar."

Semasa memimpin Inggris, Atlee telah menasionalisasi
perusahaan-perusahaan besar, diantaranya Bank of England yang kemudian
menjadi bank sentral Inggris.

Karena inilah Gus Dur menciptakan anekdot bahwa Clement Atlee menggemari
yang besar-besar.

Anda boleh menyebut Gus Dur /saru,/ namun harus diakui bahwa kyai
kharismatis ini lihai membangun komunikasi hangat dengan lawan bicaranya
lewat tawaran anekdot cerdas dan berwawasan.

Kini, humor dalam komunikasi tingkat tinggi tersembul dari dialog para
calon presiden --Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati
Soekarnoputri-- dengan para pengusaha nasional, pekan lalu.

Ada yang spontan menyampaikannya karena humor sudah menjadi bagian dari
karakternya, dan ada yang terlihat berhumor karena rancangan.

Tak apalah, untuk sementara itu bisa diabaikan, yang penting, para
pemimpin telah berupaya membangun atmosfer diskusi yang segar dan
humanis sehingga debat tak lagi kaku, kelewat retorik atau terlampau
provokatif.

Tapi jangan mengira mereka sedang melawak, karena humor berbeda dari
lawakan. Mereka hanya berusaha membuat gagasannya mengenai kepemimpinan
dan pengelolaan negara yang benar, sampai dan dimengerti publik.

Mereka setidaknya telah menaburkan senyum pada negeri yang belakangan
ini disesaki prilaku sok serius dan amat sinis sehingga hidup
--khususnya politik-- hilang sentuhan kemanusiaannya dan kering dari
keceriaan, kebajikan, etika serta moral.

"Manusia telah menjadikan hidup terlampau serius sehingga hidup tak lagi
menawan menggemaskan," tulis Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat,
ITB, dalam "Drunken Monster" karangan Pidi Baiq.

Mencair

Di banyak kebudayaan, humor mengenai banyak perkara hidup yang kerap
lebih serius dianalisis ketimbang ditangani, telah menjadi keharusan sosial.

Kultur politik Barat dan negara Asia seperti Korea Selatan, India dan
Jepang, acap melihat humor sebagai bagian intrinsik dari kepemimpinan,
bahkan militer AS menganggap humor inheren dengan kerja komando.

"Memiliki selera humor yang baik adalah karakter penting yang diperlukan
para pemimpin," bunyi pedoman teknis Angkatan Darat AS.

Para pemimpin sipil negara ini tidak kalah gemarnya berhumor, bahkan
saat mereka berbalas serang.

"Selera humor adalah bagian dari seni kepemimpinan untuk bisa bergaul
akrab dengan rakyat dan membuat semua urusan terselesaikan," kata Dwight
David Eisenhower, seorang presiden hebat dan jenderal besar pahlawan
Perang Dunia Kedua.

Presiden AS hebat lainnya, Abraham Lincoln, walau raut mukanya selalu
serius, adalah negawarawan yang dikenal gemar membanyol.

"Dengan suasana tegang yang menakutkanku siang dan malam, aku pasti
sudah mati kalau sehari saja tidak tertawa," kata Lincoln.

Humor juga diperlukan untuk mengkritik sosok pemimpin, seperti guyon
Barack Obama mengenai mantan wapres Dick Cheney yang konon gemar
menyulut perang, pada temu tahunan dengan wartawan Gedung Putih.

"Dick Cheney seharusnya hadir di sini tapi beliau sedang sibuk
menerbitkan memoar yang rencananya berjudul '/How to Shoot Friends and
Interrogate People/," kata Obama. Tentu saja memoar itu tak pernah ada
karena Obama sedang beranekdot.

Dalam situasi-situasi konflik, humor sering bisa mencairkan suasana dan
mengakhiri kebuntuan hubungan diantara para pemimpin.

Mendiang PM Indira Gandhi, pernah ditanya mengapa dia tak mau menemui
seterunya, Presiden Pakistan Yahya Khan. Gandhi menjawab, "Kita kan
tidak bisa bersalaman dengan tangan terkepal."

Khan yang kerap mengirim isyarat konfrontasi, memang acap menunjukkan
prilaku bermusuhan, namun seloroh Gandhi kemudian membantu menurunkan
emosi Pakistan sehingga pemimpin India dan Pakistan akhirnya bertemu
untuk merundingkan perdamaian.

Rileks

Berdasarkan sejarah di banyak negara dan kebudayaan, humor seringkali
bisa mengantarkan rekonsiliasi antar pemimpin, merekatkan kepaduan
sosial, terulasnya hal-hal tabu dan sulit terungkap, dan membuat konflik
bisa diredam sehingga tidak menghancurkan tatanan atau harmoni.

Humor bisa memfasilitasi keadaan-keadaan tersulit, mengendurkan stres,
menciptakan kesalingpengertian antar masyarakat mengenai banyak hal yang
dipandang berbeda, dan membuat komunikasi terus berjalan kendati
diselimuti konflik.

Itu karena, mengutip Dr. Ellen Weber dalam
/www.brainleadersandlearners.com/, humor membebaskan hormon endorphin
(morfin tubuh yang menciptakan sensasi dan rasa senang), menyehatkan,
mendorong suasana rileks, dan mengurai kimiawi otak sehingga pikiran
menjadi segar.

Penjabarannya begini, hormon endorphin masuk otak, lalu mengendurkan
emosi penstimulasi rasa sakit sehingga orang selalu bahagia meski
dihadapkan pada situasi sulit dan konflik.

Humor membuat oksigen terpompa ke otak sehingga pertukaran udara dalam
otak menjadi lebih lancar dan memungkinkan terurainya kimiawi otak
sehingga stres atau emosi merenggang dan akhirnya membuat pikiran
menjadi rileks. Jadi, humor itu positif dan manfaatnya pun banyak.

Sejumlah pakar, diantaranya profesor humor dari Universitas
Pennsylvania, Dr. John Morreall, bahkan menyebut selera humor berkaitan
dengan keprimaan berpikir, kreativitas, kecerdasan, stabilitas emosi dan
pandangan positif manusia tentang hal yang mengitarinya, termasuk
konflik dan stres.

Tidak heran, dengan semua pertalian seperti itu, selain inspiratif,
orang-orang berselera humor tinggi kerap mampu membangun komunikasi
konstruktif dan substantif sehingga mereka sering menjadi favorit bagi
yang lainnya. (*)

COPYRIGHT © 2009

http://antara.co.id/arc/2009/5/25/humor-itu-penting/

Mega: Jadi Presiden Itu Gampang

Mega: Jadi Presiden Itu Gampang


Calon Presiden dalam Pilpres 2009, Megawati Soekarnoputri menyatakan,
menjadi presiden itu sangat gampang. Namun untuk menjadi pemimpin itu
yang susah.

"Kalau jadi presiden itu gampang tapi kalau menjadi pemimpin itu susah,"
kata Megawati dalam orasi politiknya di hadapan ribuan pendukungnya di
GOR Sukapura, Kota Tasikmalaya, Minggu (21/6). Dijelaskannya menjadi
presiden belum tentu bisa menjadi pemimpin tetapi menjadi pemimpin
meskipun bukan presiden tapi bisa memimpin.

Menurutnya mencari pemimpin merupakan harapan yang diinginkan oleh
bangsa Indonesia saat ini, dan bukan mencari presiden yang belum tentu
mampu menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik.

"Begitu juga ketika kita belum bisa punya bangsa dan negara waktu itu,
tapi bisa menjadi pemimpin, terbukti Soekarno dan bung Hatta mampu
menjadi pemimpin," katanya.

Dituturkannya, selama ini pasangan Megawati dalam pemilu Pilpres 2009
mendatang bersama Prabowo yang menjadi wakilnya akan berupaya menjadi
pemimpin bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

"Saya bilang kita berdua apa hanya mau jadi presiden dan wakil presiden
mentereng kemana-mana dijaga, kalau itu yang mas (prabowo, red) mau,
saya ga mau," katanya.

Namun kata Megawati yang diharapkannya dengan menjadi calon presiden RI
periode 2009-2014 bersama Prabowo akan berupaya mengentaskan kemiskinan
dan mengurangi pengangguran.

Diterangkannya dalam pemilu pilpres 2009 diharapkan masyarakat
menjalankan demokrasi dengan memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani
rakyat tanpa ada paksaan dari pihak tertentu.

Dikatakannya dalam pemilu pilpres nanti diharapkan masyarakat memiliki
antusias dalam partisipasi ketika pelaksanaannya, dan jangan sampai ada
pemaksaan terhadap rakyat untuk memilih salah satu pihak kepentingan
politik dalam pilpres.

"Biarkan rakyat memilih dengan suka cita, dengan adil dan jujur jangan
ditekan jangan diarahkan," tegasnya.

Diharapkannya dalam pemilu pilpres nanti, rakyat dapat memilih dan
mencintai seorang pemimpin yang didukungnya tanpa dengan paksaan supaya
menjalankan visi-misi bangsa berjalan sesuai harapan bersama.

Menurutnya seorang pemimpin itu diangkat atau didukung oleh rakyat tanpa
ada pemaksaaan memilih, namun jika secara dipaksa akan maka pemimpin
tersebut akan kembali jatuh dari jabatannya.

"Tapi kalau orang lain dipaksa untuk mengangkat, maka suatu saat itu
mudah sekali turunnya," kata Megawati.

Megawati juga menyatakan dalam pemilu, urusan kalah dan menang merupakan
suatu yang biasa, namun dalam pilpres Megawati akan berjuang untuk
menang yang didukung oleh rakyat.

"Karena saya dalam setiap kampanye selalu mengatakan kalah menang suatu
hal biasa, tapi yang penting bagaimana menjalankan pemilihan umum itu
dengan jujur dan adil," katanya. *[TMA, Ant]*

http://gatra.com/artikel.php?id=127488

Morgan Stanley tentang Indonesia

Morgan Stanley tentang Indonesia

MORGAN Stanley adalah salah satu bank investasi terkemuka di Amerika
Serikat (AS). Meskipun didera krisis keuangan beberapa waktu yang lalu
sehingga harus ditolong oleh Pemerintah AS, kemampuan Morgan Stanley
dalam melakukan analisis tidaklah surut.


Itulah sebabnya apa yang dikatakan perusahaan tersebut tentang suatu
negara senantiasa menarik perhatian para investor. Kredibilitasnya mirip
dengan Goldman Sach yang telah berhasil melambungkan negara-negara BRIC
(Brasil, Rusia, India, dan China) menjadi suatu kelompok elite negara
berkembang saat ini. Dengan latar belakang tersebut, apa yang
dikemukakan Morgan Stanley dalam publikasinya yang membahas Indonesia
tanggal 12 Juni 2009 lalu memicu perhatian yang besar.

Dalam publikasi yang berjudul Adding another “I” to the BRIC story?
itu,Indonesia mulai dikategorikan setara dengan negaranegara BRIC.
Publikasi itu melihat kemiripan Indonesia dengan India sebagai suatu
perekonomian yang berbasis penduduk yang besar. Itulah sebabnya Morgan
Stanley menyatakan perlu menambah “cerita” tentang Indonesia, di samping
India, dalam akronim BRIC tersebut. Pernyataan dari Morgan Stanley
tersebut tentu didasarkan pada berbagai fakta yang berkembang. Sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia dikategorikan berupa jumlah penduduk yang
besar dan sumber daya alam yang melimpah.

Namun dalam beberapa tahun terakhir sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga berasal dari biaya modal yang semakin murah. Sumber pertumbuhan
yang lain berupa reformasi kebijakan yang pada akhirnya akan lebih
memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk berkembang lebih baik.
Terlebih lagi dengan tetap positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di
masa krisis global ini, perhatian dari berbagai investor di seluruh
dunia tertuju kepada Indonesia.

Sampai dengan 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia digambarkan dalam
grafik mereka mulai melampaui Brasil (yang memang relatif rendah selama
bertahun-tahun) dan Rusia sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia berada
di antara Rusia dan India (dan China). Grafik tersebut akan menjadi
lebih menarik lagi jika memasukkan data terakhir tahun 2009 di mana
Brasil bahkan mengalami pertumbuhan negatif.

Persepsi dan Prospek Perekonomian Indonesia

Publikasi Morgan Stanley tentang Indonesia tersebut pada akhirnya
memperkuat persepsi yang sudah berkembang sampai hari ini tentang
prospek perekonomian Indonesia.Persepsi tersebut antara lain terbangun
oleh studi yang dilakukan Goldman Sach (N-11: Not just an acronym) pada
2007 yang menempatkan Indonesia dalam kedudukan yang sangat terhormat di
antara negara-negara berpenduduk besar yang memiliki prospek ekonomi
besar dan tergabung dalam N-11 (Next Eleven) tersebut.

Persepsi tersebut semakin diperkuat oleh studi Pricewaterhouse Coopers
(The World in 2050 yang diperdalam dengan Banking in 2050) yang kembali
menempatkan Indonesia dalam jajaran perekonomian elite di percaturan
perekonomian global. Dengan berkembangnya persepsi semacam itu, minat
para investor untuk melakukan investasi di Indonesia menjadi semakin
berkembang. Selain bank-bank Inggris yang secara berturut-turut
melakukan akuisisi di Indonesia beberapa waktu terakhir,perbankan
Indonesia memperoleh perhatian investor yang semakin besar dari seluruh
penjuru dunia.

Sampai hari ini masih saja terdengar minat yang serius dari investor
maupun bankir asing untuk melakukan akuisisi perbankan di Indonesia.
Demikian juga di berbagai sektor ekonomi lain,minat tersebut mirip
dengan apa yang timbul setelah maraknya perhatian orang pada
negara-negara BRIC.Perkembangan inilah yang akhirnya akan melahirkan
self fulfilling prophecy karena minat investor tersebut akhirnya akan
mampu merealisasi prediksi Morgan Stanley tentang prospek pertumbuhan
Indonesia di tahun 2011 dan sesudahnya.

Dalam studi Morgan Stanley tersebut, PDB Indonesia yang dalam tahun 2008
dinyatakan sebesar USD509 miliar diprediksi akan mencapai antara USD700
sampai USD800 miliar pada 2013. Prediksi ini mendasarkan diri pada
pertumbuhan ekonomi riil sebesar antara 6–7% mulai tahun 2011 ke
atas.Sebagaimana prediksi dari Goldman Sach yang meleset cukup jauh
hanya dalam waktu dua tahun (Goldman Sach memprediksi PDB Indonesia 2010
sebesar USD419 miliar dalam studi N-11: Not just an acronym, padahal
pada 2008 sudah mencapai USD509 miliar), bukan tidak mungkin prediksi
Morgan Stanley juga akan meleset.

Hal ini terutama berkaitan dengan deviasi yang cukup besar antara
pertumbuhan PDB riil dengan PDB nominal yang dikonversikan dalam mata
uang dolar AS.Sebagai contoh, dalam tahun 2008, PDB nominal Indonesia
tumbuh dengan 25,4%,sementara PDB riil tumbuh dengan 6,1%. Bahkan
setelah dikonversi dengan kurs yang sedikit melemah,pertumbuhan PDB
Indonesia dalam dolar menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan PDB riil.

Dengan melihat perkembangan tersebut, PDB nominal yang diprediksi Morgan
Stanley sebesar USD700–800 miliar tahun 2013 memiliki kemungkinan akan
terlampaui. Ini berarti bahwa PDB nominal Indonesia memiliki kemungkinan
akan mencapai antara USD800–1.000 tahun 2013 sehingga memungkinkan
Indonesia untuk mencapai pendapatan per kapita sekitar USD5.000 pada
saat kita semua memasuki era ASEAN Economic Community tahun 2015.Tingkat
pendapatan yang sedemikian akan menempatkan kekuatan ekonomi Indonesia
sekitar delapan kali dari kekuatan ekonomi Malaysia saat ini.

Prospek semacam itu akan menjadi lebih cepat terealisasi dengan dukungan
perbankan yang lebih besar. Publikasi dari Morgan Stanley tersebut juga
memperlihatkan tingkat penetrasi perbankan di Indonesia yang diukur
dengan rasio kredit perbankan terhadap PDB termasuk sangat rendah
dibandingkan dengan negaranegara BRIC dan dengan negaranegara di kawasan
Asia Tenggara.

Optimisme terhadap perekonomian Indonesia sudah berkembang secara luas
di luar negeri.Rasanya kita pantas berharap bahwa optimisme yang sama
juga akan semakin berkembang di negara kita sehingga pada ujungnya
kesejahteraan masyarakat dapat terus berkembang.(*)

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249040/38/

Kepemimpinan SBY dan Indonesia Lima Tahun Mendatang

Kepemimpinan SBY dan Indonesia Lima Tahun Mendatang
Oleh Jusuf Wanandi Wakil Ketua Dewan Penyantun Yayasan CSIS


H ASIL Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 akan
menentukan kepemimpinan nasional untuk kurun waktu lima tahun mendatang,
sedangkan krisis nasional yang melanda Indonesia pada 1997-1998 masih
berlanjut dampaknya di beberapa bidang
Apakah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan menang dan memegang
pemerintahan lagi hingga 2014 padahal rekam jejaknya selama ini
menunjukkan berbagai kekurangan dan kesalahan. Kalaupun ada yang baik,
kebanyakan berasal dari inisiatif kalangan masyarakat sendiri
Masalah pokok kita adalah di bidang ekonomi, terutama masalah kemiskinan
dan lapangan kerja. Dalam hal ini SBY tidak berhasil. Dia menunjukkan
angka menurunnya kemiskinan, tetapi dengan pertumbuhan ekonomi yang
tidak tinggi (rata-rata sekitar 5%) tidak mungkin kemiskinan turun
secara berarti. Sebaliknya, patut diduga justru bertambah karena terkait
dengan berkurangnya lapangan kerja menilik jumlah pengangguran yang
mencapai 10 juta dan 30 juta lainnya merupakan pengangguran terselubung
Alasan utama ketidakberhasilan SBY ialah sifatnya yang peragu, tidak
tegas, dan tidak berani. Dikesankan pula dia tidak terus terang dengan
janji-janji yang tidak pernah dipenuhi, misalnya: - Pada Infrastructure
Summit awal 2005 SBY menjanjikan perubahan 14 peraturan dan UU untuk
melancarkan investasi dalam bidang infrastruktur, tetapi hanya dua yang
diselesaikannya, yaitu UU Penanaman Modal (2007) dan UU Perpajakan
(2008). Yang lain terbengkelai, terutama yang menyangkut masalah
kompensasi buruh yang berlebihan yang menghambat masuknya investasi
baru. Usaha JK untuk berunding dengan organisasi buruh dicegahnya
- Usul-usul untuk perbaikan birokrasi diabaikan SBY padahal ini
merupakan hal yang sangat penting karena banyak kendala berasal dari
birokrasi yang buruk kinerjanya. Reformasi birokrasi yang berhasil di
Departemen Keuangan lebih karena ketegasan dan tekad Menteri Keuangan
sendiri
- Ketika pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada Mei
2008, pengumuman tentang penaikan harga BBM terus ditunda tunda,
sementara kabinet terus mengadakan wacana untuk dapat mengelakkannya.
Akhirnya JK yang mengumumkannya tiga minggu kemudian pada 26 Mei 2008
- Ketika Indonesia perlu mengimpor beras pada akhir 2007 untuk menambah
stok, JK jugalah yang mengumumkannya atas desakan para menteri terkait
karena SBY enggan mengumumkannya sendiri
- Tim SBY menyatakan di media massa bahwa jumlah penanaman modal asing
berjumlah US$131 miliar selama lima tahun ini. Perlu dipertanyakan
apakah angka tersebut riil untuk Indonesia atau angka negara lain? -
Uang yang digunakan untuk BLT harus dipahami sebagai uang rakyat dan
bukan uang SBY atau Partai Demokrat seperti yang dikesankan
Demikian juga di bidang politik tampak tidak adanya ketegasan SBY untuk
masalah yang fundamental. Misalnya, ketika lebih dari 50 kabupaten
memberlakukan perda syariah yang bertentangan dengan konstitusi, SBY
tidak melakukan tindakan apa pun. Demikian juga ketika jemaah Ahmadiyah
dianiaya dan rumah dan/atau masjidnya dibakar, SBY tidak segera
menindaknya demi hukum dan ketertiban umum
Koalisi SBY dengan partai-partai Islam dikesankan menonjolnya pengaruh
PKS yang menimbulkan kekhawatiran sejauh mana ia berkompromi dalam
masalah-masalah pendidikan dan keagamaan sekarang dan di masa depan
SBY mencanangkan gera kan antikorupsi, tetapi tidak pernah menuntaskan
masalah Lapindo, bahkan mengambil alih tanggung jawab dari Aburizal
Bakrie. Dia pulalah yang mau mempertahankan perusahaan batu bara Grup
Bakrie di BEI
SBY juga tidak tegas dalam menyikapi berbagai masalah pelanggaran HAM
dan membiarkannya tidak tuntas secara hukum seperti kasus pembunuhan
Munir, penculikan para aktivis, peristiwa Semanggi I dan II, huru-hara
13-15 Mei 1998 di Jakarta, dan pembu nuhan serta perusakan di Timor
Timur pada 1999
Reformasi TNI tidak mendapatkan perhatiannya yang serius, mungkin karena
dirasakan TNI tidak dekat dengan dirinya dan menganggap SBY sebagai
pemimpin yang ragu-ragu
Di bidang kebijakan luar negeri, pertama, ia tidak menonjol sebagai
pemimpin ASEAN seperti yang diharapkan. Kedua, ia tidak pernah
memikirkan secara serius berbagai konfl ik di Asia Tenggara seperti
Myanmar, Filipina, dan Thailand Selatan. Sebaliknya ia malah ingin
mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian seperti yang diusulkan seorang
anggota Kongres AS. SBY belum melakukan kunjungan kenegaraan ke beberapa
negara Eropa yang penting, tetapi justru berminat untuk ikut
menyelesaikan konflik internasional yang pelik seperti Palestina, Iran,
dan Korea Utara padahal Indonesia tidak mempunyai referensi atau
kemampuan untuk melakukannya
SBY berkesempatan untuk melakukan perombakan kabinet pada pertengahan
masa pemerintahannya, tetapi tidak dilakukannya karena takut pada reaksi
parpol anggota koalisinya. Akibatnya, kinerja bidang yang sangat penting
bagi kemaslahatan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan tidak optimal
Karena alasan-alasan di atas, SBY seyogianya tidak dipilih kembali.
Dengan rekam jejak sedemikian patut diragukan bahwa SBY bisa diharapkan
untuk dapat mempersiapkan generasi muda yang akan mengambil alih
kepemimpinan nasional pada 2014.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/22/ArticleHtmls/22_06_2009_012_002.shtml?Mode=0

Capres Berlomba Jualan Isu HAM

Capres Berlomba Jualan Isu HAM
Oleh: Mustofa Liem

/"Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana
di tengah kabut." (Tocqueville, 1805-1859)/

---

*Tiba*-tiba, isu tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa silam
menjadi jualan dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Yang
terbaru mencuat ketika Wiranto, salah seorang cawapres, berkunjung ke
Kantor YLBHI di Jakarta, Rabu (10/6). Saat hendak masuk Kantor YLBHI,
puluhan orang, misalnya Suciwati (istri mendiang aktivis HAM Munir), dan
mereka yang tergabung dalam Ikohi berteriak-teriak, "Adili Wiranto!"

Menariknya, Wiranto justru mendukung upaya pengadilan pelanggaran HAM
masa silam. Wiranto juga mendukung pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Dalam dialog
yang juga dihadiri Ketua Dewan Pembina YLBHI Toeti Heraty serta pendiri
YLBHI Adnan Buyung Nasution, Wiranto sepakat untuk menyelesaikan beban
masa lalu. Harapannya, tak ada lagi penyakit yang terus merongrong kita
sebagai bangsa.

Lebih menariknya, ketika para capres atau cawapres lain ditanya soal
pelanggaran HAM masa silam, jawabannya nyaris senada dengan jawaban
Wiranto. HAM hanya menjadi bagian dari politik pencitraan untuk merebut
simpati publik alias meraih suara dalam pilpres.

****

Kalau tidak memberikan jawaban seperti di atas, pasangan capres-cawapres
jelas tidak akan laku dalam Pilpres 8 Juli 2009. Apalagi, dalam
pergaulan masyarakat internasional, pemihakan kepada HAM menjadi
pertimbangan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, jawaban Wiranto
sebenarnya hanya jawaban normatif. Kalau menjadi capres atau cawapres,
boleh jadi kita juga akan memberikan jawaban senada.

Sejak tumbangnya Soeharto pada 1998 hingga Juni 2009 ini, sesungguhnya
penegakan HAM mengalami kemacetan. Para korban HAM dan keluarganya terus
menunggu keadilan dalam rentan waktu sangat panjang dan tak pasti.
Keadilan yang mereka harapkan tak juga kunjung datang.

Macetnya penegakan hukum atas kasus HAM jelas merupakan kegagalan
terbesar bagi bangsa Indonesia. Pada saat yang sama, Argentina atau
Afrika Selatan serta bangsa-bangsa lain sudah bisa menyelesaikan beragam
pelanggaran HAM masa silamnya dalam bingkai rekonsiliasi.

Ini aneh. Sebab, di negeri kita sudah ada regulasi, seperti
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Juga ada
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang disahkan Presiden Megawati pada 6 Oktober 2004.
Puncaknya, di negeri ini juga sudah dibentuk Komisi Nasional (Komnas) HAM.

Tapi, mengapa penegakan hukum atas pelanggaran HAM di tanah air tetap
macet, termasuk di era pemerintahan SBY-JK? Penyebabnya, penegakan hukum
harus berhadapan dengan para pelanggar HAM yang notabene merupakan
aktor-aktor negara dan elite politik. Mereka berada dalam institusi
yang, tampaknya, /untouchable/ alias tak tersentuh, seperti militer atau
intelijen.

***

Oleh karena itu, janji-janji capres atau cawapres untuk menegakkan hukum
atas pelanggaran HAM masa lalu jelas hanya merupakan retorika. Sulit
dibayangkan, ketika terpilih, mereka akan berani berhadapan dengan para
aktor pelanggar HAM tersebut.

Penulis memang selalu menekankan, penegakan hukum atas pelanggaran HAM
masa lalu tidak bertujuan untuk melahirkan kebencian baru, tetapi
mewujudkan keadilan bagi korban HAM dalam suatu spirit rekonsiliasi.
Untuk itu, menurut Haryatmoko, pengajar filsafat UI, ada empat tahap
yang harus dilakukan, khususnya oleh presiden atau Wapres terpilih kalau
mereka ingin mengupayakan rekonsiliasi.

/Pertama/, hukum dan masyarakat mengakui adanya pelaku kejahatan dan
korban kejahatan. /Kedua/, keadilan harus ditegakkan, berarti
dilaksanakan retribusi (sanksi hukum) terhadap pelaku dan restitusi
(pemulihan korban). /Ketiga/, ada pemisahan antara pengampunan dan
kepastian hukum. /Keempat/, bila hukum positif tak mampu menjangkau,
penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip /epiekeia/ (yang benar dan adil).

Indonesia memang membutuhkan pemimpin baru yang berani menegakkan HAM.
Kalau kita membicarakan penegakan HAM, jangan memaknainya sebagai
pesanan dari Barat atau pihak asing. Sebab, HAM menyangkut martabat
manusia sendiri.

Akhirnya, sebagai bangsa, kita perlu menuntaskan persoalan HAM masa
silam tersebut demi melapangkan perjalanan kita ke depan. Kita perlu
terlepas dari beban sejarah masa lalu. Dengan terus mencoba lari dari
tanggung jawab alias menciptakan kabut, seperti dikatakan Tocqueville,
negeri ini akan susah menggapai masa depan yang cerah. Jadi, jangan
berjualan isu HAM atau sekadar beretorika. Diperlukan komitmen nyata!

/*). Mustofa Liem, dewan penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=76522

Bukan Pemimpin Biasa

Bukan Pemimpin Biasa


*Syamsul Hadi *

Dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Herbert
Feith mengategorikan Soekarno sebagai representasi terbaik pemimpin
bertipe solidarity-maker (penggalang solidaritas massa).

Soekarno berdampingan dengan tipe administrator (pengatur kebijakan),
berporos pada figur Mohammad Hatta.

Sementara Soekarno memandang revolusi harus terus digelorakan meski
kemerdekaan politik bangsa sudah diraih, Hatta berpendapat sebaliknya.
Bagi Hatta, revolusi telah selesai, karena itu yang diperlukan adalah
kerja keras yang bersifat detail dan konkret guna menerjemahkan ide-ide
besar ke dalam lapangan praktis.

Meski sejarah mencatat bahwa duet ideal ini tidak berumur panjang,
sampai detik ini dua tipe kepemimpinan yang melekat dalam diri pasangan
proklamator itu masih amat relevan untuk dijadikan pijakan analisis bagi
corak kepemimpinan bangsa ini.

*Anak zaman*

Pasangan Soekarno-Hatta lahir dari konteks sejarah yang mendudukkan
mereka sebagai penggerak revolusi yang sukses, yang kemudian berpisah
karena perbedaan tipe kepemimpinan yang tidak bisa dikompromikan.

Soekarno tidak berselera pada kerja detail dan administratif yang
”kering”, sementara Hatta menginginkan konkretisasi langkah-langkah
untuk meletakkan fondasi ekonomi kerakyatan pascakolonial yang diimpikan.

Mereka berbeda bukan hanya dalam tipe kepemimpinan, tetapi juga dalam
memilih cara mencapai tujuan. Soekarno tetap mempertahankan kegemaran
pada mobilisasi massa untuk pencapaian tujuan revolusioner, sementara
Hatta lebih mendasarkan aktivitasnya pada basis pengetahuan yang
diimplementasikan secara ”teknokratis”.

Zaman pun berganti. Namun, setiap zaman membutuhkan kehadiran para
pemimpin yang memiliki pandangan ke depan (visi) yang gamblang
menyangkut ke mana negeri ini akan dibawa, dengan cara apa, dan
bagaimana tahap-tahap pencapaiannya.

Lebih dari itu, dibutuhkan kepemimpinan transformatif yang benar-benar
sanggup memahami dan memecahkan aneka masalah bangsa (the nation’s
problem solver), sekaligus meletakkan dasar yang lebih kokoh bagi
struktur sosial ekonomi di masa depan.

Pemimpin, di mata Peter Drucker, adalah individu yang piawai
menerjemahkan cita-cita menjadi kenyataan (make things happen). Karena
itu, individu yang lemah atau tidak punya ketegasan dalam berprinsip
sebenarnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Ia akan sangat mungkin
terjebak dalam pola oligarki politik, di mana kelompok-kelompok kuat di
sekitarnya akan mengendalikan pilihan-pilihan kebijakannya.

Terciptalah sebuah kepemimpinan ”transaksional”, sebuah kepemimpinan
yang didasarkan pada negosiasi kepentingan berjangka pendek dari
kelompok- kelompok strategis (strategic groups) yang bermain di
lingkaran kekuasaan.

Kepemimpinan yang kuat dalam visi dan implementasi program tidaklah
identik dengan rezim otoriter. Harold Crouch (Indonesia's ’Strong
State’, 1998) menyatakan, rezim Soeharto jelas menampilkan sebuah
pemerintahan yang kuat dan represif, terutama dalam berhadapan dengan
masyarakat.

Namun, di mata Crouch, rezim itu juga banyak menampilkan ciri
pemerintahan yang lemah (weak government), yang bersumber dari struktur
internalnya sendiri, yang diwarnai berbagai persaingan faksional yang
disatukan oleh pola-pola distribusi patronase yang mengakar kuat dalam
praktik pemerintahan.

*Transformatif vs transaksional*

Meski jauh dari ideal, sebuah kepemimpinan ”transaksional” boleh jadi
mampu eksis di panggung kekuasaan dalam jangka waktu cukup lama. Itu
terjadi ketika (1) situasi ekonomi global cukup kondusif, (2) mayoritas
massa memiliki keterbatasan intelektual untuk mengontrol kebijakan
publik, dan (3) kelompok- kelompok strategis (strategic groups) merasa
terlayani kepentingannya sehingga merasa berkepentingan pula untuk terus
melestarikan status quo.

Meski demikian, sejarah umumnya mencatat pemimpin ”transaksional”
sebagai pemimpin dengan kategori ”biasa”, bukan pemimpin monumental yang
dikenang dengan takzim sepanjang zaman.

Kepada putranya yang bernama Alexander (kelak menjadi Alexander Agung),
Raja Philips II menasihatkan, seorang pemimpin harus belajar menghayati
kesendirian. Learn how to be alone! Maknanya, pemimpin tidak seharusnya
larut dalam arus kepentingan berbagai kelompok strategis yang
berseliweran di sekitar kursi kekuasaannya.

Junichiro Koizumi, pemimpin karismatik Jepang awal abad ini, menolak
dengan tegas hadiah ulang tahun yang disampaikan oleh salah seorang
anggota kabinetnya sendiri. Ia dengan sadar memelihara independensinya,
bahkan terhadap ”punggawa” kepercayaannya sendiri, di tengah
keberadaannya sebagai ”panglima tertinggi” dalam organisasi pemerintahan.

Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang dikagumi di seluruh bumi,
pernah menantang debat terbuka para pelobi dari perusahaan-perusahaan
farmasi raksasa yang melakukan resistensi terhadap program reformasi
kesehatan yang digulirkannya.

Koizumi dan Obama jelas bukan pemimpin yang besar semata-mata karena
lihai memainkan politik ”dagang sapi”. Mereka adalah para entrepreneur
politik yang siap menanggung risiko untuk menerapkan kebijakan-kebijakan
publik yang diyakini baik bagi kehidupan rakyat yang dipimpinnya meski
ditentang oleh oligarki kepentingan yang kuat dan berpengaruh.

Sayang ”pemimpin transformatif” seperti mereka terhitung langka, tak
terkecuali di negeri ini. Padahal, di mata para ”pemimpin
transaksional”, rakyat hanya deretan angka yang diperlukan untuk
memperkuat posisi tawar saat berbagi kuasa dengan rekan koalisi.

Bagi mereka, rakyat jelata adalah kata lain dari ”kuda beban” yang
diperlakukan dengan penuh kelembutan hati hanya ketika mereka sibuk
berkampanye.

Syamsul Hadi /Dosen FISIP UI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/25/03061897/bukan.pemimpin.biasa

Membangun Manusia Paripurna

Membangun Manusia Paripurna


*Herry Tjahjono *

Indonesia dikenal kaya karena berlimpahnya sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Ironisnya, negara dan rakyatnya tetap miskin.

Penyebabnya, ada perlakuan eksploitatif terhadap sumber daya alam dan
sumber daya manusia (SDM). Seperti apa?

*SDM sebagai ”liability”*

Selama ini SDM diperlakukan sebagai liability (kewajiban, tanggungan,
pertanggungjawaban). Maka, Wikipedia mengartikan ”liabilitas” sebagai
segala hal yang menempatkan seseorang pada situasi tak menguntungkan.

Di berbagai perusahaan di Indonesia, praktik eksploitasi dengan
memperlakukan karyawan sebagai liabilitas masih terjadi. Karyawan
menjadi komponen produksi. Ungkapan yang dipakai adalah ”mendayagunakan”
karyawan (konotasi negatif), yakni bagaimana karyawan diarahkan mencapai
target perusahaan. Dari sana nasib karyawan ditentukan tanpa
mempertimbangkan faktor esensial, seperti pemberdayaan dan hak karyawan,
karena hanya akan muncul sebagai faktor biaya.

Tragikomedi nasib TKW/TKI kita di sejumlah negara juga akibat prinsip
manajemen pemerintah yang memperlakukan SDM (TKW/TKI) sebagai
liabilitas. Meski mungkin bersifat tak langsung, mereka ”didayagunakan”
untuk bekerja di luar negeri tanpa mempertimbangkan faktor pemberdayaan,
perlindungan, dan lainnya (faktor yang dianggap biaya). Toh, itu bisa
mengurangi pengangguran sekaligus menambah devisa negara.

Dalam dimensi pendidikan, ujian nasional, misalnya, sama saja.
Standardisasi lebih sebagai upaya memenuhi kepentingan pragmatis
pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) tanpa memedulikan esensi
pendidikan manusia, seperti proses aktualisasi diri siswa, keunikan
individu, perbedaan irama belajar, dan akses pendidikan. Semua dimatikan
atas nama standardisasi. Pada titik ini, eksploitasi peserta didik
berlangsung diam-diam. Pada tahap liabilitas ini, kita ”membangun
manusia produksi”.

*SDM sebagai aset*

Faktor kedua, SDM sebagai aset. Tahap ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan tahap liabilitas. Namun, unsur eksploitasi— meski lebih
halus—masih terkandung di sana. Pengertian sederhana aset adalah segala
sesuatu yang punya nilai dan siap dikonversikan menjadi uang. Dan SDM
adalah intangible asset.

Maka, proses eksploitasi diam- diam terjadi saat SDM dipertimbangkan
dari sudut nilai ekonomis. Frase manajemen yang berlaku di sini adalah
”memberdayakan” manusia (SDM). Namun, semuanya hanya diarahkan pada
pemenuhan target organisasi (kepentingan organisasi). Maka, ketika
seorang karyawan dianggap incapable, dia akan diberdayakan melalui
berbagai pelatihan di perusahaan. Ketika anak didik dianggap kurang
mampu memenuhi standar, ia segera diikutkan dalam berbagai ”bimbingan
belajar” atau kursus.

Semua hanya untuk memenuhi target jangka pendek, terbatas kepentingan
pragmatis-situasional. Karena itu, kata ”pendidikan” amat asing di
sebuah perusahaan dan lebih akrab dengan pelatihan. Seandainya ada
departemen pendidikan dan pelatihan (diklat), tetapi dalam praktik,
unsur pelatihan lebih menonjol. Pihak sekolah dan orangtua lebih
mempraktikkan prinsip persekolahan dibandingkan pendidikan dalam arti utuh.

Nilai ekonomis tetap menjadi pedoman. Karyawan diberdayakan agar mampu
memenuhi target yang mengandung nilai ekonomis. Anak didik diberdayakan
agar memenuhi standar, didasari pada pertimbangan nilai ekonomis yang
bisa dihitung dari kemampuan memenuhi standar. Pada tahap ini, kita
”membangun manusia profesional”.

*Membangun manusia*

Prinsip berbagai perusahaan atau organisasi bahwa SDM merupakan aset
terpenting akhirnya ”gagal” karena praktik eksploitasi meski tidak
seliar tahap liabilitas. Karena itu lahir tahap ketiga yang mencoba
meninggalkan prinsip eksploitasi dan mengacu pada Adrian Levy (RLG
International), yang didasari pada praktik dan observasi pada berbagai
great companies: People are not the most important assets of a company -
they are the company. Everything else is an asset.

Pada tahap ini, prinsip manajemen yang dipakai adalah ”membangun manusia
paripurna”, tak sekadar manusia produksi atau manusia profesional. Ia
tidak hanya diarahkan untuk memenuhi target, tetapi diberi hak,
kesempatan memenuhi tujuan hidup termulia sebagai manusia. Pada tahap
ini, perusahaan sudah akrab dengan prinsip pendidikan. Jika anak didik,
ia tidak sekadar diarahkan untuk memenuhi standar kelulusan, tetapi juga
tujuan mendasar dan mulia sebagai (calon) manusia dewasa. Demikian juga
TKW/TKI diberi kesempatan dan didampingi agar menjadi ”TKW/TKI
paripurna”, TKW/TKI bermartabat.

Ringkasnya, SDM adalah perusahaan itu sendiri. Maka, sebagai aset,
sumber daya lain wajib didayagunakan untuk membangun manusia paripurna
yang sadar, punya hak, mau, dan mampu—bukan hanya memenuhi tujuan hidup
pribadi termulia, tetapi juga tujuan dan nasib lingkungan, orang lain,
perusahaan, sekolah, bangsa, bahkan dunia.

Hanya dengan membangun manusia paripurna SDM Indonesia bisa dijadikan
benar-benar kaya. Sayang visi dan program ”membangun manusia paripurna”
tidak muncul dalam kampanye capres-cawapres. Sungguh ironis nasib SDM
Indonesia.

Herry Tjahjono /HR & President The XO Way, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/25/03170378/membangun.manusia.paripurna

Sepotong Cerita dari Acropolis

Sepotong Cerita dari Acropolis

DARI atas udara, daratan Yunani tidak terlihat indah.Demikian pula
ketika memasuki daerah perkotaan Athena yang padat dan panas.


Bukit-bukit tandus yang ditanami beberapa buah pohon hanya menambah
kesan tandus. Namun setelah mendekati Acropolis, sebuah situs bersejarah
yang dibangun beberapa abad sebelum Masehi, nuansa itu hilang sama
sekali. Situs-situs bersejarah yang dulu dibangun raja-raja Yunani kuno
hidup berdampingan secara damai dengan infrastruktur kehidupan modern
dan perdagangan.

Para pedagang menata dagangannya secara apik di kios-kios sepanjang
daerah yang disebut Plaka.Jaringan kereta api bawah tanah yang lalu
lalangsetiaptujuh menitmemotong celah di antara situs-situs itu. Di
hampir setiap sudut jalan selalu saya temui kedai-kedai kopi yang selalu
ramai dikunjungi wisatawan. Hampir semua tamu ingin mencicipi frape,
minuman kopi khas Yunani. Lalu, di dekat kedai kopi banyak ditemui
travel agent yang menawarkan paket-paket tur.

Pariwisata Kebal Krisis

Kendati data-data yang dikeluarkan badan-badan resmi menyatakan bahwa
dunia pariwisata akan merosot tajam tahun ini, di Benua Eropa saya tidak
melihat gejala itu.Memang British Airways baru saja mengumumkan kerugian
yang sangat signifikan.

Namun kalau Anda mengunjungi bandarabandara di berbagai daerah tujuan
wisata dunia dan ikut terbang,jumlah penurunan penumpang tidak akan
terlalu Anda rasakan. Hal yang sama juga saya rasakan dalam penerbangan
dari dan ke Auckland (Selandia Baru). Berbeda dengan keadaan beberapa
tahun silam,negeri ini justru semakin banyak dikunjungi para imigran
kaya dan berpendidikan.

Angka penjualan properti yang ditakutkan akan menimbulkan resesi yang
dalam ternyata mulai kembali normal sejak ditandatanganinya perjanjian
dengan beberapa negara asing yang mendorong warganya tinggal dan membeli
properti di sana. Kembali ke Yunani, saya juga bertemu dengan banyak
turis asal Jepang dan Amerika Serikat dalam jumlah besar di atas kapal
pesiar yang mengunjungi beberapa pulau. Hal serupa juga saya temui di
Roma dan Paris.Restoran-restoran Thailand dan Malaysia yang tumbuh
menjamur dalam lima tahun belakangan ini di negara-negara kaya di Eropa
tetap diminati pengunjung.

Lantas,mengapa hal yang kita lihat secara kasatmata bisa berbeda dengan
data-data statistik? Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena
dunia ini telah berubah menjadi sangat kompleks dan para pengumpul data
mengalami kesulitan dalam menyampaikan kebenaran. Mereka kesulitan
menyampaikan,sementara kita pun kesulitan menafsirkannya. Kesulitan
pertama adalah saat mereka menetapkan siapa yang akan dicatat sebagai turis.

Kesulitan ini sama dampaknya dengan saat kita menafsirkan laporan
keuangan British Airways yang langsung kita simpulkan jumlah
penumpangnya menurun karena krisis ekonomi. Ketika iklan-iklan
pariwisata dunia menyajikan pemandangan alam,warisan sejarah dan budaya,
serta flora-fauna, mereka juga memasukkan jumlah wisatawannya dengan
orang-orang yang datang untuk kunjungan-kunjungan bisnis, ziarah,
pengobatan, dan pendidikan.

Maka ketika para pebisnis mengurangi penjualannya, angka kunjungan
wisatawan pun diproyeksikan akan merosot, jumlah orang yang sekolah di
negara tersebut turun,dan seterusnya.Di lain pihak orang sering juga
salah menafsirkan bahwa yang dimaksud turis adalah orang asing yang
selalu datang dengan pesawat terbang, berkulit putih, dan berambut
pirang. Padahal di seluruh dunia wisatawan terbesar justru datang dari
kawasan domestik, yang datang dengan jalur darat, menumpang kereta api
atau kapal-kapal penyeberangan (feri),atau terbang di bawah 2–4 jam.

Turis domestik ini mewakili lebih dari 70% wisatawan dunia. Tengoklah
turis-turis di Amerika Serikat yang dikuasai pelancong-pelancong lokal
yang datang dari negara-negara bagian di sekitarnya atau dari
negerinegeri tetangga (Kanada dan Meksiko). Hal yang sama juga terjadi
di negara-negara di Eropa yang turisnya datang dengan kereta api atau
mobil dari negaranegara yang masuk dalam persekutuan Eropa. Hal seperti
ini juga kita saksikan di Malaysia,Thailand,dan Singapura yang banyak
menuai kunjungan wisatawan dari Indonesia. Sebaliknya Indonesia juga
banyak diminati turis-turis dari Malaysia, China,Taiwan, dan Australia.

Sepanjang yang saya ketahui, keluhan-keluhan terbesar penurunan
wisatawan belakangan ini hanya terdengar di Singapura dan Dubai. Saya
kira hal ini dapat diterima karena dua negeri itu andalan pariwisatanya
lebih banyak terkait dengan sektor bisnis dan jasa,khususnya jasa
keuangan dan belanja. Ketika mal-mal di Indonesia menandingi mal-mal di
Singapura, perlahan-lahan Singapura pun akan ditinggalkan dan wisatawan
Indonesia mulai mengejar daerah kunjungan yang sedikit lebih
sophisticated seperti di China dan Thailand.

Jadi janganlah kita abaikan pariwisata dan jangan pula selalu berpikir
untuk menuai dunia pariwisata kita harus berpromosi jauh hingga ke
Rusia, Belanda,Austria, dan Inggris. Bidik saja negeri-negeri tetangga,
perbaiki produkproduk pariwisata kita,dan jangan abaikan wisatawan
domestik.

Kerja Bareng

Di sekitar Acropolis saya duduk tertegun membayangkan filsuffilsuf besar
berpikir tentang masa depan. Sama seperti sisa-sisa bangunan bersejarah
yang sama tuanya di Pompei yang hancur tertimbun lahar panas dari kawah
gunung Vesuvius, sepi, dan tak menyisakan bangunan utuh kecuali
pilar-pilar dan tembok-tembok pada bagian tertentu.

Semua yang saya saksikan di Pompey dan Acropolis tak seindah Candi
Borobudur, lautan dalam Bunaken, gulungan ombak di Kepulauan Mentawai,
atau keindahan alam Gunung Bromo. Namun pertanyaannya: mengapa mereka
bisa menjual semua itu lebih baik dari kita? Saya kira ada tiga hal yang
tidak kita miliki di sini. Pertama, pariwisata bukanlah sekadar
pemasaran “mata”, melainkan pemasaran ”kesan”.Kesan itu didapat dari
keseluruhan pancaindera,mulai dari mata, hidung, telinga, kulit, lidah
sampai gerakan tangan dan proses dalam pikiran manusia.

Unsur kesan terpenting adalah menghadirkan ”keterlibatan” wisatawan
serta cerita (story telling) yang membuat manusia berefleksi tentang
kehidupan. Harus diakui kemampuan menjual cerita dan kisah kita masih
lemah. Kedua, adanya sinergi positif antara pemilik/penguasa tempat
wisata dengan aktor-aktor pemasaran. Di mana-mana di Indonesia selalu
kita saksikan ”perkelahian” antara arkeolog, bupati, pemilik lahan
parkir dengan pemasar-pemasar pariwisata.Ada tendensi saling menahan
sehingga seakan-akan yangsatulebihpentingdariyanglain.

Ketiga, kinerja pariwisata suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui kerja
bareng semua pihak di negara itu.Kerja bareng itu dimulai dari suasana
nyaman dan tertib di bandara, petugas-petugas imigrasi yang berkarakter
wisata (bukan semata-mata security), armada transportasi yang aman dan
selamat, keamanan nasional dan angka kriminalitas yang terkendali, media
massa yang berorientasi pada keindahan (bukan pada demo dan
kebencian),pemda yang bersungguh-sungguh menetapkan pelaksanaan UU No
18/2008 (tentang penanganan sampah), dinas-dinas kesehatan yang menjaga
standar makanan dan sanitasi, dan seterusnya.

Tak terkecuali kerja sama seluruh departemen pemerintah yang masih
berpromosi sendiri-sendiri. Tak bisa saya terima dengan akal sehat
bagaimana mungkin anggaran yang dihabiskan Departemen Kesehatan dan
Departemen Pendidikan dalam beriklan dan berpublic relations jauh
melebihi anggaran beriklan promosi pariwisata nasional? Perhatikanlah
data dari World Tourism Council (WTC) pada 2008.

Indonesia adalah daerah kunjungan wisata termurah di dunia (peringkat 1
price competitiveness index), tetapi secara keseluruhan kita menempati
peringkat (overall index) nomor 81. Sementara di Yunani yang biaya
berwisatanya sangat tinggi (price competitiveness ranking 114) secara
kesulurahan (overall index) nomor 24.Wajarlah bila Yunani yang mahal
meraih turis jauh lebih banyak dari kita. Padahal pada 2009, daya saing
harga pariwisata kita diproyeksikan akan bergeser ke nomor 3 di dunia
setelah Mesir dan Brunei Darussalam.

Kerja bareng bukan sekadar membangun ketertiban dan fisik, melainkan
juga suasana pariwisata. Ini adalah suasana yang fun, relax, aman,
menggairahkan, penuh warna,fresh,dan membuang kepenatan. Semoga
pariwisata Indonesia semakin maju.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249866/38/