BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mendongkrak Komitmen Sosial

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 13.48

Mendongkrak Komitmen Sosial
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group


A DAyang patut kita syukuri mengenai Pilpres 2009. Persaingan yang panas
melahirkan wacana kampanye yang mencerahkan, yakni ‘ekonomi kerakyatan’.
Tema yang akhirnya diusung semua pasangan pesaing itu mendongkrak
komitmen so sial untuk membantu rakyat kecil. Betapa pun besar kemajuan
yang telah kita capai, hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa pada saat
ini jumlah rak yat miskin di Indonesia masih sekitar 37 juta.

Dalam menjalankan sistem ekonomi, perhatian yang mungkin bersifat
helicopter view selama ini dipaksa memfokus kepada persoalan yang minta
diprioritaskan, yakni masalah kemiskinan. Kemis kinan adalah perwujudan
ketidakadilan yang telah mengakibatkan puluhan juta fakir miskin In
donesia hidup sengsara. Kemiskinan juga melanggar HAM, itu persoalan
kompleks. Tiga pa sangan capres tentunya akan memaparkan pro
gram-program mereka demi perbaikan ekonomi yang mampu mengentaskan
rakyat dari ke miskinan. Sebagian platform memang sudah di bentangkan.
Masyarakat mudah-mudahan se ge ra tahu, siapa yang mereka anggap paling
tepat menjalankan mandat rakyat untuk mengatasi masalah yang satu itu,
mengingat konstelasi sosial-politik serta ekonomi nasional dan global
yang kita hadapi.

Pengangguran awal kemiskinan Pengangguran terjadi karena lapangan kerja
tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang ada. Kita disebut
penganggur bila tidak me miliki pekerjaan yang memberikan upah yang kita
perlukan untuk menghidupi diri dan keluarga.

Tujuan hidup, status, kontak sosial, struktur ke sibukan
sehari-hari--semua terkait dengan je nis pekerjaan yang kita miliki.
Sudah lebih dari satu abad penempatan tenaga kerja merupakan kegiatan
paling penting di negara-negara maju.

Semua tenaga kerja di sana mendambakan pekerjaan.

Tanpa pekerjaan disertai upah, mereka merasa terkucil, terbuang, tidak
dihormati, dikalahkan, dan bahkan menganggap dirinya mati-itu dramatisnya.

Di masyarakat kita mungkin berbeda situasinya karena kita masih memiliki
tradisi gotongro yong. Banyak penganggur bisa menjaga kelangsungan hidup
karena pertolongan sanak saudara. Namun, semakin maju suatu masyara kat,
keadaannya tentu semakin beda. Bagaimana pun, pengangguran membawa
kemiskinan.

Pada 2008, di Indonesia persentase angka pengangguran jika dibandingkan
dengan jumlah tenaga kerja dianggap salah satu yang tertinggi di Asia.
Untuk 2006, diperkirakan persentasenya 10,4% dari jumlah angkatan kerja
sekitar 103 juta, dengan total penduduk 238 juta lebih (terbesar ke-4 di
dunia). Bandingkan dengan persentase pengangguran di tiga negara
berpenduduk terbesar lainnya, pengangguran di China mencapai 4,20%, di
India 7,80%, dan di Amerika Serikat 4,80%.

Mengenai kemiskinan, yang antara lain akibat pengangguran, Indonesia
dianggap salah satu dari ne gara-negara yang paling banyak menampung
orang miskin dunia. Dari sekitar 6,6 miliar pen duduk dunia, se
tengahnya hidup de ngan biaya antara 1-2 dolar per hari.

Menurut Survei So sial Ekonomi Nasional BPS, dua tahun yang lalu jumlah
penduduk miskin Indonesia mencapai 37 juta lebih. Bila mereka berhasil
dientaskan dari kemiskinan, Pilpres 2009 benar-benar membawa berkah
karena kesuksesannya dalam mendong krak komitmen sosial.

Apa pun caranya Pada saat-saat ini, para capres sibuk mengampanyekan
program-program prorakyat. Antara lain, mereka wara-wiri ke pasar-pasar
tradisio nal.

Itu kelihatannya demi pencitraan kepedulian mereka atas nasib rakyat
kecil, khususnya kalangan usaha kecil dan menengah (UKM). Walaupun
kalangan elite mungkin menganggap kam pa nye semacam itu berlebihan,
tetapi sebaliknya mungkin akan mengena di hati rakyat jelata. Begitu
juga deklarasi Mega-Pro di pusat pembu angan sampah Bantar Gebang.
Sebaliknya, kampanye dengan wacana muluk-muluk yang ditujukan untuk
kalangan menengah ke atas tidak mung kin mereka pahami. Namun, apa pun
cara nya, kampanye menggolkan pasangan untuk kursi RI-1 dan RI-2 makin
marak dan menarik per hatian. Memang itu tujuannya--menarik perhatian.

Mengenai perdebatan hangat neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan yang
mewarnai kampanye, kami kutip tulisan ekonom Dr Djisman S Simanjuntak di
Ekonomi Indonesia (2002) untuk memperingati 80 tahun ekonom Mohammad
Sadli “...Sepanjang menyangkut sistem ekonomi, sesungguhnya tidak ada
yang baru di kolong langit ini. Pilihan ekstremnya hanya dua, yaitu (1)
ekonomi pasar tanpa campur tangan kolektif, dan (2) perencanaan terpusat
tanpa kedaulatan produsen dan konsumen. Dalam kenyataannya, sistem yang
dianut sesungguhnya berada di antara kedua ekstrem tersebut. Dalam
pemilihan ini pun suara terbanyak bukanlah segala-ga lanya. Sistem
ekonomi harus merupa kan derivatif dari alam manusia di dalam alam
kehidupan.” Dalam kaitan ini, kata Djisman, patut disesalkan
“....Pemihakan apriori pada rekayasa kultural yang deterministik seperti
kap italisme, sosialisme dan ribuan isme-isme varian mereka.” Mengkaji
keberhasilan negara lain Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo
dalam bab V bukunya Rakyat Sejahtera Negara Kuat (2007) menulis, “Dalam
reformasi yang ha rus menda tangkan kesejahteraan rakyat, peran ekonomi
amat penting. Namun, ekonomi itu harus disusun dan dilaksanakan untuk
mewujud kan kesejahteraan rakyat banyak, bukannya hanya mendukung
kepentingan segolongan ke cil komponen bangsa. Itulah yang dikehendaki
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.

Karenanya, harus dibangun sistem ekonomi yang sesuai dengan tujuan
tersebut.” Mantan Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Jepang itu
selanjutnya menyatakan, untuk membangun sistem ekonomi yang kita
perlukan, sebaiknya kita mengambil bahan perbandingan dari sesuatu yang
sudah berjalan. Dia antara lain memilih Jepang sebagai bahan pembanding.

Karena, kenyataannya UKM yang tampaknya sedang digandrungi para capres
kita itu, di Jepang mampu menyerap 90% angkatan kerja.

Seandainya pengerahan kegiatan UKM bisa berjalan seperti itu di
Indonesia, masalah pengangguran bisa teratasi dan orang-orang miskin
bisa dientaskan dari kesengsaraan. “Dalam sistem ekonomi Jepang,” kata
Sayidiman, “Peran pemerintah penting untuk mendukung jalannya eko nomi,
yaitu dalam bentuk yang dinamakan admi nistrative guidance.” Ia
menjelaskan, pemerintah Jepang menentukan dan mengarahkan jalan nya
perekonomian, termasuk dunia bisnis perusahaan besar. Akan tetapi
pelaksanaannya sepenuhnya ada di tangan para pelaku ekonomi.

Ekonomi Jepang sering dinamakan Japan incorporated dengan pemerintah
sebagai pimpinannya dan dengan peran utama di tangan UKM, termasuk aneka
macam koperasi. Di dalam negeri, pemerintah memengaruhi jalannya ekonomi
untuk mencegah yang kuat makan yang lemah.

Sekalipun UKM banyak yang menjadi penyuplai perusahaan besar (Sogo
Sosha), eksistensi mereka terjamin, tidak larut ditelan perusahaan besar.

Di lain pihak, Sogo Sosha juga mempunyai kesempatan berkembang untuk
membangun kekuatan bersaing di dunia internasional. Perusahaan besar
bersaing dengan memperoleh dukungan dari pemerintah dalam batas-batas
yang dimungkinkan peraturan dan ketentuan internasional.

Untuk menghadapi tuntutan perdagangan bebas yang selalu diluncurkan AS
dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah Jepang selalu
berusaha melindungi usaha warganya agar tidak mati atau hancur ketika
berhadapan dengan usaha negara lain.

Menuju keseimbangan yang ideal Sistem perekonomian suatu negara
sebaiknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi, tetapi
juga kepentingan sosial. Itulah yang dilakukan Jepang. Sistem itu pun
kemudi an dianut di Korea Selatan. Menurut Sayidiman, sikap sosial
pemerintah Jepang itu tampak dalam mengambil keputusan-keputusan yang
tidak secara semena-mena mengorbankan eksistensi usaha kecil demi
kepentingan usaha besar. Tidak seperti yang dikeluhkan asosiasi pasar
tradisi onal Indonesia, misalnya, yang pasar-pasarnya pelan-pelan
tergusur oleh supermarket-supermarket yang megah. Di Jepang sekalipun,
supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan besar terus berkembang,
usaha-usaha dagang kecil dijamin tetap memiliki hak hidup dan tidak
kehilangan pe langgan.

Ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa berhasil dalam pembangunan
ekonomi dengan spirit sosial. Prasyarat itu adalah agar birokrasi
pemerintahan diisi orang-orang yang bermutu, baik intelektualnya,
patriotismenya, maupun ke wi rausahaannya. Hanya dengan personel bermutu
dalam birokrasi, administrative guidance dapat berjalan efektif. Karena,
swasta besar maupun kecil akan patuh pada kepemimpinan biro krasi yang
bermutu. Demikian Sayidiman.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/29/ArticleHtmls/29_05_2009_006_001.shtml?Mode=0

Neoliberalisme Kerudung ala PKS

Neoliberalisme Kerudung ala PKS

*Miftah Sabri Mangkudun*

# Pemerhati politik dari Universitas Indonesia

Neoliberalisme bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan kepada pasar.
Fondasi utamanya adalah kebebasan seluas-luasnya sehingga menciptakan
keadaan di mana kehidupan publik tunduk pada logika pasar. Tidak ada
ranah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditas. Semua bisa
diperjualbelikan. Fungsi sosial masyarakat yang merupakan nilai dasar
manusia direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari komoditas
ekonomi belaka. Pada kondisi seperti inilah politik tidak lagi memiliki
makna. Politik seharusnya merupakan keputusan-keputusan yang menawarkan
nilai-nilai. Sedangkan dalam konsep neoliberalisme, hanya satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar.

Polemik seputar masalah neoliberalisme pada hari-hari belakangan ini
masih berkutat pada masalah kebijakan ekonomi. Masyarakat terjebak pada
perdebatan yang mengawang-awang. Kita pun berpikir seolah-olah tidak
terjebak dalam neoliberalisme. Pendakwa dan terdakwa dalam polemik
menahbiskan diri sebagai bukan bagian dari neoliberalisme. Sehingga pada
titik tertentu perdebatan ini berujung pada pencitraan diri yang
berlebihan. Tapi apakah benar kita belum terjebak dalam neoliberalisme?
Apakah kita belum mereduksi nilai sosial kemasyarakatan sekaligus masih
mengejawantahkan fungsi politik yang hakiki?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan ini menjadi polemik jilid kedua dari
neoliberalisme, Mahfudz Sidik, salah seorang Ketua DPP Partai Keadilan
Sejahtera, telah menjawabnya. Sebagaimana diberitakan dalam situs
/www.mediaindonesia.com/ (Selasa, 26 Mei 2009), Mahfudz memberi
pernyataan, "...sentimen semacam ini (mengenakan kerudung) akan
dimanfaatkan oleh kandidat lainnya. Memang (penampilan) istri JK dan
Wiranto bagus. Kalau Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung akan
memunculkan efek positif bagi publik terhadap dukungannya untuk
SBY-Boediono." Selanjutnya, masih mengutip portal berita yang sama,
Mahfudz menyatakan, jika saran memakai kerudung dilaksanakan, PKS akan
lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisannya agar memilih
SBY-Boediono. Dalam media yang sama, hal ini didukung oleh Ketua DPP PPP
Lukman Hakim Syaifudin.

Dalam iklim demokrasi kita yang sangat menjunjung tinggi kebebasan ini,
bahasa politik semakin gampang dicerna. Ini bukan lantaran pesan-pesan
politik semakin mengakar dengan permasalahan masyarakat, melainkan
disebabkan oleh penyederhanaan politik itu sendiri. Mengenakan kerudung
yang merupakan sebuah nilai spiritual, yang dalam kaidah Islam arus
utama wajib hukumnya bagi setiap wanita, telah direduksi oleh Mahfudz
Sidik sekadar menjadi sentimen. Sehingga seolah-olah kerudung yang
dikenakan oleh istri Jusuf Kalla dan Wiranto hanya katalisator untuk
meningkatkan sentimen positif pasar (pemilih) terhadap pasangan
JK-Wiranto. Memperdagangkan kerudung sebagai sebuah "barang" tentu tidak
salah, banyak rakyat kita yang hidup dari usaha itu.

Tapi memperdagangkan "nilai" memakai kerudung sebagai sebuah komoditas
politik bukan hanya mereduksi nilai spiritual agama, tapi juga secara
tidak langsung mempertanyakan otoritas hukum agama. Bukankah pernyataan
di atas itu juga seolah-olah mempertanyakan otentifikasi pemakaian
kerudung oleh istri JK dan Wiranto; apakah karena Allah atau sekadar
untuk menciptakan sentimen positif? Saya tidak seberani Sidik menjawab
pertanyaan itu.

Bila Ibu Ani dan Ibu Herawati mengenakan kerudung, Mahfudz menyatakan
akan lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisan PKS. Kerudung, yang
pada konsepnya merupakan wujud ketundukan kepada Yang Maha Kuasa, dalam
politik kita saat ini tunduk pada kehendak pasar. Penutup aurat itu
adalah sentimen yang bisa dimainkan di tengah-tengah pemilih yang dalam
asumsi para politikus kita lebih mementingkan simbol daripada nilai.
Kader dan simpatisan PKS pun berubah menjadi angka statistik di mana
aspirasinya tecermin dalam kurva-kurva yang akan bereaksi terhadap
sentimen simbol-simbol keagamaan, seperti kerudung. Bila nilai memakai
kerudung saja bisa direduksi sedemikian rupa menjadi sentimen, kita bisa
mempertanyakan simbol-simbol agama yang menjadi platform partai-partai
Islam, seperti PKS dan PPP. Maka semakin kuat saja kecurigaan bahwa
simbol-simbol agama yang selama ini diusung tidak lebih dari bentuk
neoliberalisme politik, reduksi nilai menjadi komoditas untuk
meningkatkan jumlah kursi dan menaikkan tawaran politik.

Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi sentimen, kepemimpinan
menjadi komoditas dan rakyat cuma dianggap sebagai pasar, maka kita
tidak lagi perlu berdebat tentang apakah neoliberalisme itu telah hadir
di Indonesia ini. Kita tidak bisa lagi mensimplifikasi polemik seputar
neoliberalisme sekadar masalah kebijakan ekonomi. Sebab, yang menakutkan
dari neoliberalisme bukanlah pasar bebas yang akan terus memperlebar
jurang antara orang yang berpunya dan yang tidak, melainkan pada saat
politik tidak lagi mampu memberi keputusan-keputusan yang menghasilkan
nilai-nilai. Politik menjadi parade kepalsuan, nilai menjadi sentimen,
kepemimpinan jadi komoditas, rakyat jadi pasar, dan tentu saja semua
kepalsuan butuh konsep pencitraan diri yang sempurna. Para kandidat bisa
menghabiskan berhari-hari waktunya untuk memoles diri, sedikit hari yang
tersisa digunakan untuk menyambangi konstituen.

Kita perlu berterima kasih kepada Mahfudz Sidik dan PKS, yang lewat
pernyataannya memberi kita gambaran tentang neoliberalisme politik yang
tengah menggurita. Pernyataan ini memberi terang kepada kita tentang
anomali politik yang terjadi belakangan ini. Kerudung untuk Ibu Ani dan
Ibu Herawati, demikianlah cara PKS menerapkan neoliberalisme politik di
Indonesia.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/01/Opini/krn.20090601.166797.id.html

Iwan Fals

Iwan Fals
Presiden Idaman


Siapa calon presiden pilihan Iwan Fals? Bukan Susilo Bambang Yudhoyono,
Jusuf Kalla, atau Megawati Soekarnoputri. Pelantun lagu Bento ini
menyebut pilihan lain: orang muda. ”Negara ini butuh tenaga muda untuk
memimpin,” katanya.

Iwan mengatakan, saat ini, Indonesia memerlukan pemimpin muda yang
tangkas mengurus persoalan dari Sabang sampai Merauke. Ia sendiri
mengangankan munculnya pasangan presiden dan wakil presiden berumur
antara 35 dan 45 tahun. Kenapa 35-45 tahun? ”Saya saja 47 tahun,
pinggang sudah kena,” kata Iwan berseloroh seraya memegang pinggangnya
yang kerap dilanda nyeri.

Kriteria calon presiden idaman itu diungkapkan penyanyi balada ini saat
hadir di kantor Kontras, Senin pekan lalu. Ia memberikan dukungan bagi
korban dan keluarga korban kekerasan Mei dan peristiwa Semanggi.

Iwan juga berharap calon presiden bisa seperti bekas Presiden Korea
Selatan Roh Moo-hyun, yang tak bisa menanggung malu setelah tersangkut
kasus korupsi. Bukan menyarankan calon presiden siap bunuh diri seperti
Roh, Iwan berharap, ”Paling tidak, ia memiliki rasa malu.”

Lalu kenapa Iwan masih bertahan tak ikut berpolitik? ”Saya tak banyak
mengerti dunia politik,” katanya. Wah, pasti karena malu juga.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/01/PT/mbm.20090601.PT130467.id.html

*Kapitalis dan Demokrasi*

*Kapitalis dan Demokrasi*


Rahardi Ramelan

Dengan ditetapkannya Boediono sebagai cawapres mendampingi SBY, muncul
polemik mengenai neoliberalisme. Pada sisi lain, capres-cawapres juga
semakin gencar mengetengahkan perlunya penerapan ekonomi kerakyatan
sebagai pilihan masa depan. Seolah-seolah ekonomi neoliberalisme telah
dibenturkan dengan ekonomi kerakyatan.

Kita akui, di dunia berkembang berbagai school of thought dalam bidang
ekonomi seperti, neoliberalisme, ekonomi neoklasik, neokonservatisme,
ataupun yang disebut dengan Washington Consensus. Berbagai sebutan dan
istilah tersebut, terutama keluar dari hasil pemikiran para akademisi di
perguruan tinggi, yang pada dasarnya berlandaskan pada masalah sekitar
deregulasi, perdagangan bebas, privatisasi, dan terutama pemikiran yang
mengandalkan peran pasar lebih besar dibandingkan dengan peran
pemerintah. Kenyataannya, ekonomi kita sudah mengikuti paham-paham tersebut.

Walaupun kita masih memiliki BUMN, yang berada di bawah kendali
pemerintah, tetapi patut disayangkan justru BUMN yang mempunyai tugas
pelayanan publik, seperti Telkom dan Indosat, telah berada di tangan
swasta (asing). Berbagai upaya deregulasi yang dimulai 1980-an, membuka
lebar kesempatan investasi untuk investor asing dan keanggotaan kita di
WTO menunjukkan bahwa perekonomian kita pada dasarnya telah berorientasi
pada mekanisme pasar global.

Hal itulah yang dirasakan oleh pelaku ekonomi tradisional atau ekonomi
rakyat, bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam ekonomi. Sektor
pertanian masih tetap termarginalkan. Perdagangan komoditas pertanian di
kota-kota besar dilakukan oleh pasar modern atau supermodern, sedangkan
para petani atau pengepul masih harus tetap bertransaksi di kaki lima
atau pasar kaget. Pertumbuhan nilai tukar petani tidak sejalan dengan
peningkatan kebutuhan hidup dan inflasi. Belum berkembangnya pasar dan
pasar lelang produk pertanian, mengakibatkan pembentukan harga menjadi
tidak transparan, dan petani tetap berada pada pihak yang tertekan.
Usaha kecil dan mikrotradisional lainnya, baik di sektor pedagangan
maupun industri, tidak dapat bersaing atau pun mengimbangi perusahaan
terstruktur yang dikuasai para kapitalis.

Walaupun Robert B Reich, menteri perburuhan semasa pemerintahan Presiden
Bill Clinton, dalam bukunya Supercapitalism (2007) telah mengungkap
pengaruh kapitalis dan pengusaha dalam politik di Amerika Serikat,
tetapi harus kita akui bahwa kehidupan politik kita pun telah
dipengaruhi oleh kapitalis dan pengusaha. Kapitalis dan pengusaha telah
memasuki dan memengaruhi ranah politik dan hukum, dan juga mempengaruhi
demokrasi. Beberapa kasus korupsi di departemen, perbankan, dan
pemerintah daerah yang diungkap oleh KPK, beberapa waktu yang lalu,
menunjukkan sudah terbaurnya antara kapitalis, pengusaha, politik, dan
demokrasi.

Tidak dapat dimungkiri, kita membutuhkan hadirnya kapitalis dan
pengusaha, yang bersama pemerintah, berkewajiban memperbesar ekonomi dan
kekayaan nasional. Sedangkan keberadaan DPR/DPRD sebagai legislator
bersama pemerintah, berkewajiban menjamin bahwa kekayaan yang dihasilkan
dari perekonomian tersebut dapat dinikmati secara berkeadilan oleh
seluruh masyarakat.


Tim Sukses

Terbaurnya kapitalis dan pengusaha dalam politik dan demokrasi telah
memengaruhi kewajiban pemerintah dan legislator untuk menentukan
peraturan dan kebijakan yang berkeadilan. Akibatnya, masyarakat kecil
pada umumnya merasakan bahwa berbagai peraturan dan kebijakan telah
tercemar, serta keadilan yang sesungguhnya tidak tercapai.

Pengalaman menunjukkan, untuk menempati jabatan strategis seseorang
selalu didukung oleh tim sukses, baik itu untuk jabatan eksekutif di
berbagai tingkat, jabatan politik, direksi BUMN, maupun menjadi anggota
legeslatif. Tim sukses ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, yang
biasanya didapatkan dari "sumbangan" pihak ketiga, baik perorangan,
perusahaan, maupun para kapitalis. Keadaan inilah yang ditengarai
menggerogoti kewibawaan dan pemihakan pejabat tersebut. Kita mengamati,
bagaimana perilaku lembaga publik dan pejabatnya yang semakin menyerupai
perilaku perusahaan dan kapitalis.

Sampai terlaksananya pilpres pada 8 Juli 2009 kepada masyarakat akan
disuguhi kompetisi antarcapres-cawapres bersama tim suksesnya. Denyut
kampanye ala bisnis sudah mulai dirasakan. Tidak dapat terelakan,
kompetisi yang hanya menentukan satu pemenang akan berlangsung secara
keras dan mati-matian. Masyarakat sudah capai melihat dan mengikuti
persaingan yang tidak sehat di antara kelompok pendukung
capres-cawapres. Persaingan itu sudah jauh dari moral dan etika sebuah
bangsa yang menganut ideologi Pancasila. Kita berharap, kompetisi ini
dapat diselenggarakan secara bermoral, beretika, dan berbudaya. Capres
dan cawapres telah menekankan agar kampanye diselenggarakan secara
santun dan bersih, serta diharapkan mereka juga dapat mengarahkan dan
mengawasi perilaku tim sukses beserta tim pendukungnya. Semuanya
terpulang kepada capres dan cawapres, karena siapa pun yang menang,
mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini.

penulis adalah mantan Menperindag

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=8330

Bukan-Jawa

Bukan-Jawa

Karena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada saya dengan senyum
mengasihani. ”Karena itu kau tak mengerti….”

Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak
menyukai tarian itu sebuah karya abad ke18 yang tak menggugah. Mungkin
sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya, menyimpulkan saya ”tak
mengerti”.

Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun
hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan
rebab. Komentarnya mengingatkan saya akan katakata seorang jurnalis
Belanda kepada Minke, tokoh Bumi Manusia Pramoedya Anan­ta Toer: seorang
Eropa yang merasa lebih kenal rak­yat di Jawa lebih baik ketimbang
Minke, sang inlander.

Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya
bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa itu ”Jawa”?

Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap jelas,
padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan Sultan Hamengku
Buwono X itu ”raja Jawa”, sementara kita dengan sah juga bisa mengatakan
bahwa ia—dengan segala hormat—tak lebih dari seorang sultan dari separuh
Yogyakarta. Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”, tetapi bisa juga
dikatakan sebenar­nya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono, calon
wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang lahir dan besar di
Blitar, Jawa Timur, dan sangat mungkin bahasa masa kanaknya bukan bahasa
Surakarta.

Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi siapa saja yang
datang dari Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi siapa saja yang datang
dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap….

Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah
orang yang dianggap penggerak ”separatisme” disekap. Untuk mengelabui
polisi, saya menyamar jadi pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang
Amerika yang ingin menulis laporan buat sebuah lembaga hak asasi
manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan
kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang
”telah banyak membunuh” orang Papua.

Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa
dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah
pemerintahan militer, yang pada 19651966 juga telah membunuhi ”orang
Jawa”, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Tapi saya tak yakin
apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan,
bahasa, pada akhir­nya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.

Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject
of ’Java’. Buku itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak
dari mana ”Jawa”, sebagai identifikasi, berasal. Saya merasa perlu
melacak itu. Saya dibesarkan di pesisir utara Jawa Tengah di mana orang
menggunakan bahasa yang berbedabeda, dan di antaranya jauh dari bahasa
yang dipa­kai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering
menonton wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit
dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak mengenal serimpi
melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan keragaman yang tak
tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan disebut
”Jawa”?

Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai
telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang
”Jawa” dengan modernitas. Wacana itu dan keinginan membentuk identitas
itu—muncul justru ketika modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa,
masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di
Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kesunan­an”,
dan istana yang biasa disebut ”Mangkunegaran”.

Dari keduanyalah mulamula orang bicara tentang ”Jawa”. Dunia ”Kesunanan”
adalah dunia ”Jawa” yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari
tatapan dan pemahaman para pengelola kolonialisme Belanda. Dunia
”Mangkunegaran”, yang lebih muda umurnya, punya kecenderungan
sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang
tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut
”Langenharjan” adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara
IV pada 1871: paduan antara busana formal Belanda (rokkie Walandi) yang
dipotong ekornya dengan keris dan kain batik. Berangsurangsur, rokkie
Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara
pernikahan orang di luar istana.

”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan
utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di
Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pemberton disebut sebagai the
sense of hidden ’Java’. Ada yang kemudian membuatnya sebagai misteri
yang memikat tentang ”Jawa”. Tapi, bagi saya, janganjangan yang disebut
oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia
Jawa” atau ”de geheime Javaansche wetenschap” itu satu peng­akuan akan
tak mungkinnya bahasa mana pun merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, sebagaimana
identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di negeri Antah Berantah.

Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu
menganggap saya—yang berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa
kepada satu nomor tari­an klasik ”bukan orang Jawa”. Sebagaimana saya
tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu ”Jawa” sebuah sebutan
yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau
permusuhan, atau pertalian.

/*Goenawan Mohamad
*/

/*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/01/CTP/mbm.20090601.CTP130476.id.html
*/

Empat Gelombang Pancasila

Empat Gelombang Pancasila

Sejak pertama kali digagas tahun 1945, sejarah Pancasila dapat dibagi
atas empat gelombang melewati beberapa pemerintahan.

Gelombang pertama adalah saat penciptaan, gelombang kedua merupakan masa
perdebatan, pada gelombang ketiga dilakukan rekayasa, sedangkan dalam
gelombang keempat terjadi penemuan kembali. Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno
berpidato di depan sidang BPUPKI menjawab pertanyaan ketua sidang
Radjiman Wedyodiningrat tentang dasar negara.

Memang sudah ada tokoh yang tampil sebelum Bung Karno seperti Soepomo
yang berpidato tentang perlunya rakyat, wilayah, dan pemerintahan.
Soepomo berbicara mengenai syarat berdirinya sebuah negara, bukan
tentang dasar negara. Pidato Soekarno disambut hangat dengan tepukan
sangat meriah.

Pada rapat 22 Juni 1945 tim sembilan yang diketuai Sukarno mencantumkan
tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945.Namun menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Hatta menerima pesan dari
masyarakat Indonesia bagian timur yang menolak masuk Indonesia bila
pernyataan itu dipertahankan.

Hatta kemudian merundingkannya, terutama dengan tokoh Islam. Akhirnya
dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945,persoalan syariat itu
tidak dimasukkan, sedangkan sila pertama dilengkapi menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa.Oleh bapak-bapak pendiri negara, Pancasila yang menjadi
bagian dari pembukaan tidak dituliskan sesuai dengan urutan dan rumusan
tertanggal 1 Juni 1945,tetapi mengalami penyesuaian seperti yang kita
kenal sekarang.

Masa Perdebatan

Setelah Pemilihan Umum 1955 terbentuk Konstituante yang bertugas
merancang UUD.Ketika itu diperdebatkan apakah Pancasila sebagai dasar
negara atau ideologi lain? Para tokoh Islam seperti M Natsir dan HAMKA
dengan tegas mengajukan Islam sebagai pilihan. Para tokoh itu berdebat
dengan argumen yang disertai kata-kata yang sangat keras dan tajam.

Partaipartai Islam mendukung Islam sebagai dasar negara. Sementara itu
partai-partai nasionalis dan komunis mempertahankan Pancasila. Tidak ada
pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara sehingga keputusan tidak dapat diambil.

Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti
yang diakui adalah Pancasila sebagai tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

Masa Rekayasa

Pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk
partai dan organisasi masyarakat. Awalnya ditentang berbagai
organisasi,tetapi pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahir Pancasila dilarang Kopkamtib.

Jasa Soekarno yang pertama kali menggagas Pancasila direduksi dengan
menciptakan narasi sejarah baru bahwa ada orang lain yang berpidato
sebelum Bung Karno di sidang BPUPKI dan yang otentik memang pengesahan
Pancasila tanggal 18 Agustus 1945.

Pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah diajarkan bahwa
Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak dari zaman
purbakala sampai masa sekarang. Upaya Nugroho Notosusanto itu ditolak
oleh panitia lima (Mohamad Hatta,Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sunario,
dan AG Pringgodigdo) yang tidak digubris pemerintah.

Pada 13 April 1968 dikeluarkan keputusan presiden tentang rumusan resmi
Pancasila.Tahun 1968 didirikan laboratorium Pancasila di Malang dan tiga
tahun kemudian diterbitkan seri laboratorium ini bersamaan dengan
dokumen yang berisi sikap ABRI tentang Pancasila.

TAP MPR tentang Penataran Pancasila dikeluarkan tahun 1978. Pada era
Orde Baru Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan
organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi ini dikampanyekan secara
nasional dan lewat pendidikan sekolah.Penataran dilakukan secara
berjenjang dari tingkat direktur jenderal departemen sampai tingkat RT
dengan memakai anggaran negara.

Dalam tempo 10 tahun telah ditatar sebanyak 72 juta warga negara.
Hasilnya tidak jelas. Istilah Pancasila melebar sampai ada kesaktian
Pancasila, sepak bola Pancasila, dan es campur Pancasila. Namun
Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir sifat yang
harus dihafal.Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi
kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur atau dibeli
murah dicap “tidak Pancasilais”.

Penemuan Kembali

Pada awal Reformasi, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan, sedangkan penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dihapuskan.Pancasila
tetap diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi.

Secara bertahap peringatan hari lahir Pancasila diselenggarakan kembali.
Walaupun pada mulanya ada rasa bosan dan jenuh terhadap penataran dan
slogan Pancasila yang selalu dikumandangkan rezim Orde Baru,kemudian
muncul kerinduan kembali pada ideologi ini.Suasana kesulitan ekonomi
yang dibayangi ancaman perpecahan mengakibatkan masyarakat menengok
kembali pada sesuatu yang bisa menjadi perekat bangsa.

Yang tepat untuk itu adalah Pancasila sebagaimana terbukti dalam
sejarah. Dari empat gelombang tersebut terlihat konflik dan konsensus
masyarakat mengenai Pancasila. Kalau kita sudah bersepakat Pancasila
dapat dijadikan alat pe-mersatu, mengapa masih mencari yang lain? Hal
itu hanya akan menimbulkan konflik baru.

Lebih baik perdebatan diarahkan bagaimana mengimplementasikan tiap sila
dalam menghadapi masalah internal dan eksternal kita sebagai bangsa dan
negara sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu pendidikan
Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi agar dilaksanakan dengan
metode dan substansi yang lebih menyegarkan dan diajarkan secara
dialogis.(*)

Asvi Warman Adam
Ahli Peneliti Utama LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243512/

Pembunuhan Karakter dalam Perkara Sisminbakum

Pembunuhan Karakter dalam Perkara Sisminbakum

Pada dasarnya pembunuhan karakter (character assasination) adalah suatu
usaha yang bertujuan menghilangkan orisinalitas atau keaslian karakter
seseorang dalam pandangan orang lain dan juga usaha untuk mengubah citra
positif seseorang agar menjadi negatif.

Praktik pembunuhan karakter merupakan hal yang sudah lumrah, sering
terjadi di Indonesia,dan sering digunakan sebagai metode politik secara
praktis yang dapat diterapkan kepada siapa saja.Tujuannya untuk
membentuk opini publik agar terjadi pendiskreditan kepada suatu personal
(individu) maupun suatu kelompok.

Dalam perkara dugaan korupsi Sistem Informasi Badan Hukum (Sisminbakum)
pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham),Kejaksaan Agung
RI (Kejagung) telah menetapkan tiga tersangka, yaitu Zulkarnain
Yunus,Syamsuddin Manan Sinaga, dan Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM,
yang semuanya adalah mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
(Dirjen AHU).

Terdapat kejanggalan dalam proses penanganan perkara Sisminbakum
terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM, di mana beliau sejak 10
November 2008 sampai dengan 15 Mei 2009 ditahan di Rutan Kejagung dengan
tuduhan korupsi pada Sisminbakum ketika menjabat sebagai Dirjen AHU.Pada
saat beliau menjabat sebagai Dirjen AHU,Yusril Ihza Mahendra menjabat
sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang tidak lain
merupakan atasan dari Prof Dr Romli Atmasasmita,SH,LLM.

*** Pada dasarnya, proses hukum yang diterapkan haruslah menerapkan
prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia
tersangka atau terdakwa. Penahanan seorang tersangka atau terdakwa
haruslah memenuhi konsepsi due process of law.

Penahanan seorang tersangka atau terdakwa adalah opsi terakhir dalam hal
adanya keadaan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 21 ayat (1)
Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu tersangka atau
terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup,dalam hal ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan
barang bukti atau mengulangi tindak pidana.

Dalam kasus Prof Dr Romli Atmasasmita, SH,LLM,persyaratan untuk dapat
dilakukan penahanan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP belumlah terpenuhi. Selain itu,penahanan terhadap Prof Dr Romli
Atmasasmita, SH, LLM tersebut diberlakukan tanpa terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan sehingga hal tersebut telah melanggar asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence).

Sebab apa pun tuduhannya sebelum diputus bersalah oleh hakim dan sebelum
putusan itu berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde), seseorang
harus dipandang tidak bersalah. Dengan adanya penahanan tanpa adanya
pemeriksaan terlebih dahulu berarti telah melanggar prinsip presumption
of innocence, itu juga berarti telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal
8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

”Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya....” Hal ini juga diatur
dalam instrumen hukum internasional, yaitu dalam Universal Declaration
of Human Rights (UDHR), yaitu dalam Pasal 11 UDHR yang menyatakan: “(1)
Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law in a public trial at which
he has had all the guarantees necessary for his defence. (2) No one
shall be held guilty of any penal offence on account of any act or
omission which did not constitute a penal offence, under national or
international law,at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time the
penal offence was committed.”

Sudah sepatutnya penahanan tersebut dipertanyakan, apakah penahanan
terhadap beliau sudah berdasarkan syarat-syarat penahanan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengingat saat ditahan beliau
sudah tidak menjabat lagi sebagai Dirjen AHU sehingga bagaimana mungkin
dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana ataupun merusak dan
menghilangkan barang bukti?

Kejanggalan lain,sebelum Prof Dr Romli Atmasasmita,SH,LLM ditetapkan
sebagai tersangka, sejak pertama kali dia dipanggil untuk diperiksa pada
tanggal 30 Oktober 2008 dan telah dikenai penahanan pascapemeriksaan
dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan tanggal 10 November
2008.Namun pada faktanya, Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM
sesungguhnya sudah dijadikan tersangka jauh hari sebelum 30 Oktober 2008.

Kesimpulan ini didapatkan dari fakta bahwa pada 10 Oktober 2008, ketika
Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM berada di Korea Selatan sebagai
anggota delegasi pemerintah yang dikoordinasi Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara, dia telah mendengar rumor yang menyatakan bahwa dirinya
akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Sisminbakum.

Selain itu dalam surat kabar Tribun Jabar tanggal 15 Oktober 2008,
terdapat pernyataan dari Jampidsus yang secara langsung dan tidak
langsung telah menyatakan Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM sebagai
tersangka dalam kasus Sisminbakum, padahal pemeriksaan saksi-saksi baru
dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2008.

Berdasarkan atas hal tersebut di atas,terlihat bahwa di Indonesia masih
diterapkan crime control model (arbitrary process/proses yang
sewenang-wenang). Dalam c r i m e control model, tersangka/ terdakwa
dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memedulikan
hak-hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan
harkat dan martabatnya. Apabila praktik pemberlakuan crime control model
seperti ini dil a k u k a n terus-menerus, kiranya tidak akan pernah
tercipta fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

*** Sudah selayaknya seorang tersangka atau terdakwa diperlakukan secara
lebih manusiawi dan tidak diperlakukan seolah-olah sudah terbukti salah
serta tidak membuat nama baik dan integritasnya dilanggar sebelum ada
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Berdasarkan atas hal tersebut, dapat diduga bahwa telah terjadi
pembunuhan karakter terhadap diri Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM
yang tentu hal tersebut merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia.
Hal tersebut sebagaimana yang telah dinyatakan Komisi Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Komnas HAM) melalui surat No
1.015/K/PMT-TUA/III/2009 tertanggal 13 Maret 2009 yang ditujukan kepada
Jaksa Agung RI yang pada intinya Komnas HAM menyatakan bahwa ditemukan
adanya indikasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam perkara
Sisminbakum terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM,

yaitu terdapat pelanggaran terhadap asas presumption of innocence dalam
proses penanganan kasus dan wewenang diskresi penahanan tidak
proporsional,yaitu dalam hal tujuan penahanan dan penolakan atas
permohonan penangguhan penahanan. Penahanan yang dialami Prof Dr Romli
Atmasasmita, SH, LLM tersebut tentu melanggar kehormatan maupun
martabatnya di mana setiap orang berhak atas perlindungan kehormatan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga,kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Selanjutnya dalam Pasal
28G ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
....” Perlindungan atas derajat dan martabat manusia yang diberikan
Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah dinyatakan dalam UUD
1945 tersebut di atas sesuai dengan United Nations Convention against
Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Tahun 1984. Konvensi itu
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel,
Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), terutama Pasal 11 yang
menyatakan:

“Each State Party shall keep under systematic review interrogation
rules, instructions, methods and practices as well as arrangements for
the custody and treatment of persons subjected to any form of arrest,
detention or imprisonment in any territory under its jurisdiction, with
a view to preventing any cases of torture.”

*** Bertitik tolak dari fakta-fakta tersebut, dapat diketahui dengan
jelas adanya kejanggalan dalam proses penahanan yang dilakukan terhadap
Prof Dr Romli Atmasasmita, SH, LLM. Siapa pun setuju bahwa sudah
seharusnya korupsi di muka bumi ini dan khususnya di Indonesia harus
segera diatasi dengan tidak memandang bulu siapa pun orangnya.

Setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
menerima ganjaran dengan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akan tetapi janganlah suatu penegakan hukum dibangun di atas pembunuhan
karakter dengan cara mendiskreditkan, menghancurkan, dan merusak
reputasi seseorang. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum dapat
dilakukan dengan disertai pula penghormatan terhadap hak asasi manusia
dan prinsip-prinsip due process of law.

Pada saat ini di beberapa belahan dunia terdapat adanya kecenderungan
atau arus tindakan balas dendam (retaliation) yang dilakukan para
koruptor terhadap para aktivis gerakan antikorupsi. Tindakan balas
dendam tersebut salah satunya dilakukan dengan cara menangkap para
aktivis gerakan antikorupsi dengan berbagai dalil melalui penegak hukum.

Adapun tindakan tersebut bertujuan melemahkan gerakan antikorupsi.
Semoga penangkapan dan penahanan terhadap Prof Dr Romli Atmasasmita, SH,
LLM dan Antasari Azhar,yang notabene keduanya merupakan aktivis gerakan
antikorupsi, bukanlahsalahsatubentuk dari tindakan balas dendam yang
dilakukan para koruptor.(*)

Dr Frans H Winarta
Advokat dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243509/

Menghindari Politisasi Jilbab

Menghindari Politisasi Jilbab

Dalam beberapa hari terakhir, jilbab menjadi isu panas di pentas
perpolitikan nasional. Isu jilbab menjadi sangat sensitif mengingat ada
beberapa istri calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres)
yang berjilbab dan tak berjilbab.

Tak ayal lagi, kontroversi jilbab yang mencuat akhir-akhir ini pun
dipahami sebagai kampanye untuk menarik dukungan masyarakat kepada
pasangan capres-cawapres tertentu dan di pihak lain untuk menggembosi
dukungan terhadap pasangan capres-cawapres lain.

Ibarat bola api, kini isu jilbab terus bergulir dan “dipingpong”ke
sana-kemari oleh politisi agar tidak “membakar” dan merugikan kubu
mereka.Tentu saja,harapan politisi adalah mendapatkan keuntungan secara
politis dari isu jilbab.

Politisasi Jilbab

Dalam sebuah buku berjudul Haqiqatu Al-Hijab,seorang pemikir kenamaan
asal Mesir,Muhammad Said Al-Asymawi,melakukan pembahasan yang cukup
mendalam terhadap persoalan jilbab. Pembahasan ini dilakukan untuk
merespons kontroversi jilbab (antara yang mewajibkan dan tidak
mewajibkan) yang kerap terjadi belakangan ini.

Salah satu kesimpulan menarik dari pembahasan beliau adalah bahwa jilbab
sering digunakan sebagai komoditas dan identitas politik. Dengan kata
lain, jilbab acap dipersoalkan dalam momenmomen tertentu yang bisa
mendatangkan keuntungan, baik secara politis, sosial maupun secara
finansial.

Pandangan Asmawi di atas mendapatkan konteks dan relevansinya dalam
beberapa peristiwa politik mutakhir di negeri ini. Sejumlah politisi
tampak mulai “mengibarkan”isu jilbab demi kepentingan mereka.
Sebagaimana para pelaku bisnis (jilbab), tidak jarang mereka melakukan
hal yang sama demi kepentingan mereka. Begitu juga dengan mereka yang
menggunakan jilbab hanya demi kepentingan strata sosial semata.

Politisasi jilbab sebagaimana di atas cenderung “mengeringkan” jilbab
dari makna-makna luhur yang terkandung di dalamnya. Masihkah ada makna
yang tersimpan bila jilbab dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan
politis, bisnis, status sosial, dan pamer kekayaan? Dalam kondisi
seperti di atas, jilbab tak lagi mencerminkan tingkat keimanan dan
keberagamaan.

Pa d a h a l , ajaran berjilbab sarat dengan nilai l u h u r , baik
secara keagamaan ataupun secara moralsosial. Secara keagamaan, jilbab
dimaksudkan agar seseorang tidak membangga-banggakan anggota tubuhnya
(terutama rambut) di hadapan Zat Sang Pencipta. Itulah sebabnya, tradisi
berjilbab tidak hanya berada dalam umat Islam semata, melainkan juga
dalam tradisi agama-agama samawi lainnya, seperti Kristen dan Yahudi
(terutama di kalangan agamawan).

Bahkan, tradisi jilbab dengan filosofi seperti di atas juga berlaku bagi
kaum lakilaki (dengan menggunakan sorban atau kopiah). Adapun dalam
konteks moralsosial, ajaran berjilbab bisa dipahami untuk menciptakan
kehidupan umat yang senantiasa menjunjung tinggi moralitas,menjaga
kesopanan dan kepantasan,

serta tidak membuka “keburukan” (baik keburukan diri sendiri maupun
kebaikan orang lain) di depan khalayak umum. Meminjam istilah yang
dilakukan profesor antropologi di Universitas Southern California,Fadwa
el- Guindi,jilbab merupakan fenomena umum dalam banyak kehidupan
masyarakat dan umat beragama.

Jilbab bisa berfungsi sebagai bahasa sosial budaya, bahasa perlawanan,
simbol ideologis dan kesalehan (Jilbab: antara Kesalehan, Kesopanan dan
Perlawanan,2003). Oleh karenanya, kita perlu memberikan apresiasi
setinggitingginya kepada mereka yang menggunakan jilbab dengan penuh
keikhlasan dan keutuhan niat untuk semata-mata menjalankan anjuran agama
dan melestarikan nilai-nilai sosial yang ada di dalamnya. Sebagaimana
kita juga perlu menghormati mereka yang tidak menggunakan jilbab karena
alasan dan keadaan subjektif yang dialaminya.

Ironi

Dalam hemat penulis,politisasi jilbab yang terjadi belakangan ini
menjadi ironi tersendiri. Setidaktidaknya karena empat alasan utama.
Pertama, alasan keagamaan. Sebagai elite bangsa, para politisi sejatinya
mendukung dan mendorong kesadaran umat beragama dalam mengamalkan
ajaran-ajaran luhur yang terkandung dalam agama.

Dalam bahasa kaum santri,hal ini dikenal dengan istilah ikhlas, yaitu
menjalankan ajaran agama dengan penuh keikhlasan,keimanan, kesadaran,
dan tanpa pamrih apa pun. Kedua, politisasi seperti ini tidak mendidik
bagi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat cenderung dibingungkan oleh
politisasi seperti ini.

Apalagi hal ini menyangkut persoalan ajaran agama yang diyakini oleh
sebagian masyarakat. Apabila dilakukan dengan cara-cara yang tidak
mendidik seperti di atas, politik akan semakin dipahami sebagai
“permainan” kalangan elite yang kerap menjual dan membodohi masyarakat.
Ketiga, politisasi jilbab “menghambat” proses pendewasaan masyarakat
dalam menentukan pilihan politiknya.

Proses pendewasaan berpolitik mulai ditandai dengan melemahnya pengaruh
ikatanikatan primordial masyarakat dalam menentukan pilihan politik,
baik ikatan primordial dalam bentuk ormas,mazhab,aliran atau bahkan
agama.Sudah selayaknya para politikus sebagai pihak yang mengklaim diri
sebagai elite bangsa ini memelihara dan mengembangkannya.
Keempat,terbentuknya budaya “politik latah”.

Sejauh ini, jilbab hampir tak pernah menjadi isu politik di panggung
perpolitikan nasional. Baik di lingkungan istana,birokrasi,departemen
ataupun lembaga-lembaga pemerintahan lain. Bahkan seorang Megawati
Soekarnoputri yang tak berjilbab pun pernah menjadi orang nomor satu di
republik ini. Inilah salah satu ciri khas keberislaman di negeri ini.
Keberislaman berjalan seiring dengan kebiasaan-kebiasaan lokal yang
sudah ada sebelum Islam datang di Nusantara.

Dalam keberislaman yang lentur seperti ini,hal-hal yang bersifat
substansial cenderung mendapatkan perhatian lebih besar ketimbang
hal-hal yang bersifat simbolis. Perjalanan sejarah keberislaman dan
kebiasaan lokal pun tersaji secara seimbang,moderat, dan saling
melengkapi.Hampir tidak ada “trauma sejarah” dalam perjalanan panjang
keberislaman dan budaya Nusantara.

Pengalaman Turki

Hal ini berbeda hampir seratus delapan puluh derajat dengan yang terjadi
di Timur Tengah,Turki khususnya.Hubungan keberislaman dengan budaya
setempat penuh dengan lika-liku romantika, bahkan juga penuh trauma.
Pada fase tertentu hubungan keberislaman dan kebiasaan setempat berjalan
sedemikian mesra.

Pencapaian puncak sebagai pusat kekhalifahan Ottoman bisa menjelaskan
tingkat kemesraan antara keberislaman dan kebiasaan setempat. Namun
dalam fase sejarah yang lain,hubungan antarkeduanya berjalan penuh
konflik dan mengembuskan aroma trauma yang sangat
kuat.Setidak-tidaknya,itulah yang dirasakan Mustafa Kemal Ataturk
beserta para pengikutnya yang secara resmi membubarkan sistem
kekhalifahan Islam Ottoman pada 1923.

Dalam pandangan mereka, keberislaman yang selama ini berkembang di Turki
cukup menghambat perkembangan negeri itu untuk mencapai peradaban
modern. Pengalaman Turki modern sering memberangus simbol-simbol
keberislaman yang dianggap berlawanan dengan simbol-simbol modernitas.

Azan dalam bahasa Arab pun pernah dilarang.Bahkan Istana Turki “alergi”
terhadap jilbab. Oleh karenanya, ketika Abdullah Gul dan Recep Tayyib
Erdogan menjadi Presiden dan Perdana Menteri Turki (2007), hal itu cukup
menghebohkan perpolitikan nasional Turki.Hal ini tak lain karena istri
kedua tokoh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu muslimah berjilbab.

Dalam hemat penulis, inilah pengalaman politik yang secara latah hendak
ditancapkan oleh pihak-pihak tertentu ke bumi perpolitikan Nusantara.
Disebut “politik latah” karena sejarah keberislaman dan budaya Nusantara
praksis tak mengalami kisah penuh liku seperti di Turki.Ketika seorang
Ibu Megawati Soekarnoputri yang tak berjilbab menjadi presiden, publik
menerima dengan baik.

Publik juga tidak mempersoalkan ketika Ibu Nyai Shinta Nuriyah Wahid
menjadi ibu negara pada masa kepemimpinan KH Abdurahman Wahid sebagai
Presiden RI keempat. Cukup ironis karena “politik latah”seperti di atas
hanya dilakukan dengan semangat simbolisme semata (seperti jilbab).

Adapun semangat perjuangan yang mengedepankan kepentingan rakyat
(sebagaimana dilakukan AKP di Turki) acap tidak diperhatikan. Harap
diingat, rakyat Turki memberikan kepercayaan kepada Abdullah Gul dan
Erdogan untuk memimpin negeri mereka bukan semata-mata karena mereka
Islamis atau karena istri keduanya berjilbab.

Rakyat Turki memberikan kepercayaan ini karena dalam kepemimpinan
keduanya perekonomian Turki mengalami kemajuan pesat. Begitu juga dengan
keamanan Turki. Para politikus dan elite bangsa ini harus membuktikan
kepada masyarakat bahwa perjuangan mereka tak lain untuk kepentingan
masyarakat dan negara.

Kepentingan seperti ini sejatinya dikedepankan di atas
kepentingan-kepentingan yang lain seperti kepentingan diri sendiri,
keluarga, dan kelompok. Apalagi dengan melakukan langkah-langkah politik
yang secara kasatmata dapat dipahami hanya untuk kepentingan mereka,
bukan kepentingan masyarakat luas (seperti dalam persoalan jilbab).
Cukup ironis bila partai politik di negeri ini justru melakukan politik
simbol seperti jilbab. (*)

Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir,
Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243511/

Perang Bintang di Langit Pemilihan Presiden

Perang Bintang di Langit Pemilihan Presiden

*M. Fadjroel Rachman*
DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA PENGKAJIAN DEMOKRASI DAN NEGARA KESEJAHTERAAN
(PEDOMAN INDONESIA)

Tiga jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat akan bertarung terbuka
dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 8 Juli 2009. Calon presiden
(capres) Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono didampingi calon
wakil presiden (cawapres) Boediono, cawapres Jenderal (Purn.) Wiranto
mendampingi capres Jusuf Kalla, dan cawapres Letnan Jenderal (Purn.)
Prabowo Subianto mendampingi Megawati Soekarnoputri.

Ketiga kubu jenderal purnawirawan itu disesaki juga oleh puluhan
jenderal TNI/Polri, sehingga tak terhindarkan segala pengetahuan dan
keterampilan strategi dan taktik berperang dikerahkan untuk memenangkan
kubu masing-masing. Dari kemampuan strategi teritorial, intelijen,
logistik, dana, dan komunikasi disinergikan. Tentu ada yang kalah dan
menang. Dari kubu yang menang, para jenderal berharap posisi
pemerintahan ataupun posisi strategis lainnya.

Reformasi 11 tahun lalu sangat mendambakan TNI menjadi profesional
dengan pengetahuan tempur dan peralatan modern, sejahtera hidup diri dan
keluarganya, serta reorganisasi TNI. Pada 2004, Juwono Sudarsono,
Menteri Pertahanan, mengungkapkan tuntutan reformasi, yaitu reorganisasi
TNI, "Tentara Nasional Indonesia idealnya berada di bawah Departemen
Pertahanan, sedangkan kepolisian di bawah Departemen Dalam Negeri."

Tuntutan ini dijawab langsung oleh Jenderal (Purn.) SBY, dan ia
menyampaikan visi berbeda dalam "Dialog Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden" yang digelar Komisi Pemilihan Umum pada 1 Juni 2004. SBY tetap
meyakini bahwa panglima TNI lebih tepat berada di bawah presiden sebagai
kepala negara. Bahkan SBY juga meyakini teritorial TNI tidak perlu
dihapuskan, seperti tuntutan reformasi. Pernyataan tersebut diulangi
oleh SBY pada 2008, "Saya tidak pernah mengatakan akan membubarkan
teritorial TNI."

Ketika terpilih sebagai presiden pada 2004-2009, tentu postur dan
struktur TNI sesuai dengan keinginan SBY dan disetujui oleh TNI karena
presiden adalah panglima tertinggi TNI. Tentu saja SBY yang paling
berhak menentukan kebijakan terhadap TNI/Polri, usulan Menteri
Pertahanan itu hanya dilihat sebagai masukan.

*Bermain politik*
Bermain politik? Tentu saja tak bisa dihindarkan karena, setelah
pensiun, mereka adalah warga negara biasa yang sama hak
konstitusionalnya dengan warga sipil lainnya. Di sinilah kekhawatiran
timbul, apakah capres/cawapres dari TNI tidak mempengaruhi keputusan
netralitas TNI/Polri. Kita segarkan ingatan tentang militerisme Orde
Baru. Secara definisi, militerisme berarti keterlibatan total ABRI dalam
kehidupan negara dan masyarakat, di masa Orba dengan ideologi Dwi Fungsi
ABRI. Prakteknya melalui empat pilar, yaitu pertama, kekaryaan. Hampir
tidak ada jabatan publik yang rentan untuk diduduki anggota ABRI aktif
semasa Orba. Kekaryaan ini kemudian dihapuskan setelah tergulingnya
Jenderal Besar (Purn.) Soeharto dan rezim otoriter Orba.

Kedua, komando teritorial. Selama Orba inilah kekuatan represif yang
paling efektif dan ditakuti masyarakat sipil, dari kodam, korem, kodim,
koramil, sampai babinsa, dapat melakukan apa pun atas nama stabilitas
dan keamanan. Di kampus, komando teritorial memanfaatkan resimen
mahasiswa untuk mengawasi kegiatan mahasiswa. Komando teritorial tetap
aktif, efektif, dan mengalami peremajaan hingga sekarang.

Ketiga, bisnis TNI. Bermula dari nasionalisasi perusahaan Belanda di
zaman Soekarno. Hingga sekarang, gurita bisnis TNI (dan Polri) adalah
kekuatan modal strategis di Indonesia, selain modal asing, modal badan
usaha milik negara, dan modal konglomerasi. Walaupun Pasal 76 (1)
Undang-Undang TNI mengakomodasi, "Dalam jangka waktu lima tahun sejak
berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh
aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara
langsung maupun tidak langsung."

Ulur-tarik terjadi hingga sekarang. TNI meminta bisnis koperasi mereka
tetap berjalan karena bukan bisnis korporasi. Bisnis TNI memiliki 25
yayasan, 1.071 unit bisnis, dan 1.520 badan usaha sesuai dengan Surat
Panglima TNI Nomor B/3385-08/15/06/Spers tertanggal 28 September 2005.
Pengambilalihan bisnis TNI diatur Pasal 76 UU Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI, lengkap dengan tenggat lima tahun setelah UU itu
diberlakukan. Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI (Diketuai Sekretaris
Menteri Negara BUMN, Said Didu) menemukan 277 koperasi dengan nilai aset
Rp 254,5 miliar. Dari Tim Nasional Pengambilalihan Bisnis TNI (Keppres
No. 7/2008) terdata total nilai aset koperasi dan yayasan TNI sekitar Rp
3,1 triliun, yaitu aset Yayasan Rp 1,87 triliun dan aset koperasi Rp 1,3
triliun. Total aset lahan berkategori barang milik negara yang dikuasai
TNI mencapai 1.619 bidang dengan luas 182.546,18 hektare.

Keempat, kedudukan TNI di bawah presiden dan posisi Panglima TNI dalam
pengambilan keputusan politik di kabinet. UU TNI menegaskan pada Pasal 3
(1), dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan
di bawah presiden; sedangkan pasal (2) berbunyi, dalam kebijakan dan
strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi
Departemen Pertahanan. Padahal, untuk memodernisasi sistem pertahanan
negara dan mengakomodasi demokrasi di tubuh TNI, kedudukan TNI
semestinya berada di bawah Departemen pertahanan (Polri di bawah Menteri
Dalam Negeri), sedangkan jabatan Panglima TNI dihilangkan dan diganti
dengan Kepala Staf Gabungan yang pimpinannya digilir dari Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

*Reformasi *
Selama 11 tahun reformasi, kita hanya melihat pemisahan TNI/Polri dan
hilangnya kekaryaan TNI/Polri di legislatif. Namun, problem teritorial,
bisnis, dan reorganisasi TNI di bawah Menteri Pertahanan dan Polri di
bawah Mendagri hilang ditelan waktu, dan publik melupakannya. Akibat
reformasi TNI/Polri terhambat sampai sekarang, keterlibatan para
pensiunan jenderal TNI/Polri di semua kubu sangat mencemaskan karena
mereka semua menjadikan reformasi TNI/Polri sebagai alat tawar-menawar
politik kepada lembaga dan individu TNI/Polri yang masih aktif.

Apalagi Prof Bilver Singh, peneliti National University of Singapore,
mengatakan potensi "bermain politik" TNI tetap ada karena (1) Peremajaan
struktur teritorial TNI, (2) Mantan anggota TNI sebagai partisipan dan
kompetitor pemilu, (3) Kontinuitas daerah konflik di Papua (versus
Organisasi Papua Merdeka) dan Aceh (versus Partai Aceh) atas nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, (4) Tradisi lama dan insting
psikologis aktif secara politik untuk menyelamatkan negara, (5)
Kegagalan sipil untuk memenuhi kepentingan TNI sebagai lembaga dan
korps, seperti anggaran minimal, kesejahteraan prajurit, fasilitas,
perlengkapan dan pelatihan yang buruk, serta cara berpikir sipil dan
petinggi tentara yang belum berubah.

Nah, di tengah perang bintang tiga purnawirawan TNI, hendaknya upaya
menyelesaikan agenda reformasi TNI/Polri terus disuarakan ketiga
purnawirawan (juga Jusuf Kalla, Megawati, dan Boediono) dalam kampanye
pemilihan presiden. Bukan sebagai alat tawar-menawar politik agar
TNI/Polri aktif mendukung mereka untuk terpilih sebagai presiden/wakil
presiden, melainkan sebagai bentuk kesetiaan TNI/Polri terhadap
reformasi dan demokrasi. Bila tidak, bukan hanya reformasi TNI/Polri
terancam, tapi juga hantu militerisme (Dwi Fungsi ABRI) di balik layar
akan mencekik mati demokrasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/02/Opini/krn.20090602.166879.id.html

Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?

Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?
Oleh: Suwarsono Muhammad

*LEBIH* cepat lebih baik. Frasa ini sekarang menjadi frasa politik baru
yang hari-hari ini begitu dikenal. Sesungguhnya, dalam manajemen, frasa
tersebut telah lazim dikenal. Prinsip pokoknya kira-kira begini: tidak
ada yang terbuang, baik dilihat dari sumber daya maupun peluang yang
tersedia. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, peluang yang ada hendak
dieksploitasi secara penuh oleh keunggulan organisasi.

Acuan itu menjadi semakin relevan dalam konteks organisasi yang tidak
sehat dan memerlukan perubahan. Sejak 1998, Indonesia sedang dalam
posisi seperti itu. Bahkan, mungkin telah terjadi sejak jauh-jauh
sebelumnya.

Kecepatan diperlukan ketika penyehatan sedang berada pada fase
penyelamatan, tahap pertama yang amat menentukan. Ketika itu harus
dibangun adanya ancaman bersama (/sense of crisis/): jika tidak segera
dilakukan tindakan yang cepat, organisasi bisa terancam mati. Dengan
metafora ketidaksehatan manusia, masa perdarahan tidak dapat dibiarkan
begitu lama karena akan menyebabkan kehabisan darah.

Fase-fase sesudahnya -stabilisasi dan pertumbuhan kembali organisasi-
juga memerlukan tindakan cepat meski tidak lagi secepat pada fase
penyelamatan. Setiap proses penyehatan memerlukan apa yang pada masa
lalu dikenal dengan sebutan bongkar dan pasang. Prinsip inilah yang
sekarang disebut perusakan kreatif (/creative destruction/). Yakni,
perubahan dengan pembongkaran dan pembaruan.

Manajemen perubahan model tersebut hampir sepenuhnya didorong dari atas
(/top down/) serta bersifat struktural, sistemik, dan programatik. Oleh
karena itu, hal tersebut sering disebut /leadership driven/. Dalam
implementasinya, itu memerlukan pemimpin karismatik (/Conger, 1989/).

Ada juga yang menamainya perubahan dengan pendekatan teori E, yang
mengedepankan prinsip-prinsip ekonomi (/Beer dan Nohria, 2000, Kotter
1996/). Ganjaran dan hukuman mendapatkan tempat terhormat sebagai
pendorong perubahan, tanpa melupakan kekuatan visi. Pendekatan ini
terlihat lebih menjanjikan, segera ada keberhasilan, setidaknya dalam
jangka pendek.

Pilihan pada pendekatan yang baru saja disebut itu sering didasari
pertimbangan bahwa jika tidak melakukan perubahan dengan segera,
eksistensi organisasi terancam. Inilah yang dikenal dengan diktum
berubah atau mati (/change or die/). Akibatnya, tidak mengherankan jika
ketika perubahan sedang berlangsung, pasti memakan korban - /no pain no
change/.

Itulah ongkos yang harus dibayar jika menghendaki keberhasilan
perubahan. Pada skala perusahaan, pemeluk dan praktisi pendekatan ini,
antara lain, adalah Al Dunlap ketika dia menyehatkan Scott Paper dan
Stanley Gault ketika memimpin perubahan di Rubbermaid (/Collins, 2001/).
Pendekatan teori E itu terlihat begitu populer tidak saja di Indonesia,
tetapi juga di negara-negara lain, karena memang terlihat sederhana dan
menjanjikan.

Tetapi, di sisi lain, ada yang mengatakan itu sebagai /so oversold, so
overgeneralized, and so unquestioned/. Perlu disadari bahwa risiko
memilih pendekatan E bukan sama sekali nol. Selain kemungkinan memiliki
korban lebih banyak, pilihan tersebut menjadikan organisasi merasa cemas
dan lelah berkepanjangan karena banyaknya inisiatif dan strategi baru
yang dicoba diprogramkan dan diimplementasikan dalam waktu yang begitu
pendek dan sering tumpang tindih (/initiative overload/). Bukan tidak
mungkin, pilihan itu akan mengalami kehabisan energi dan spirit
(/burnout/). Apalagi jika perubahan harus memerlukan waktu yang panjang
dan di saat yang sama tidak segera menghasilkan kemenangan-kemenangan
kecil dalam jangka pendek (/short term wins/).

Risiko menjadi lebih besar jika pilihan pendekatan tersebut
diimplementasikan pada organisasi atau masyarakat yang masih feodal.
Mereka hampir pasti seakan-akan tidak melakukan penolakan, tetapi
sesunguhnya mereka melakukan penolakan secara diam-diam dan tersembunyi
(/Murphy, 1998, dan Scott, 1985/). Di Indonesia, fenomena ini dikenal
dengan sebutan senjata orang-orang lemah (/weapons of the weak/), yang
bisa berwujud dari kepatuhan semu sampai memberikan tafsir salah pada
inisiatif strategis tertentu. Dalam bahasa Jawa, fenomena itu dikenal
sebagai /inggih-inggih mboten kepanggih./

Dengan demikian, persoalan pokoknya bukan sepenuhnya terletak pada frasa
lebih cepat lebih baik. Tetapi, lebih pada pengaturan agenda dan jadwal
perubahan. Perlu ada kesadaran dan kesabaran bahwa tidak ada orang atau
rakyat yang dapat terus-menerus berada pada masa perubahan dan transisi
berkepanjangan, yang biasanya penuh ketidakpastian. Harus ada jeda masa
stabil.

Oleh karena itu, mungkin ada diktum baru yang perlu diperkenalkan:
perubahan yang tidak harus membawa ketidaknyamanan: /change without
pain/ (/Abrahamson, 2004/). Perubahan lebih damai dan sejuk itu bisa
jadi merupakan pilihan yang mungkin lebih pas diterapkan di Indonesia,
yakni prinsip perubahan kombinasi kreatif (/creative combination/).

Perubahan itu lebih bersifat gradual dengan berusaha menjaga
keberlangsungan stamina dan tetap berada dalam situasi yang tampak tidak
terlalu kaos. Perubahan struktural akan terjadi sebagai akibat yang
tidak terhindarkan lagi dari proses perubahan gradual yang terus
berlangsung. Lamban, tapi lebih pasti. Boleh saja pilihan ini disebut
sebagai paradigma perubahan kultural, yang sering juga disebut sebagai
teori perubahan O (/Beer dan Nohria, 2000/).

Meski demikian, pilihan perubahan gradual juga bukan tanpa risiko. Jika
berlebihan, bisa jadi terkena tuduhan sebagai pihak yang anti perubahan.
Bahkan, sampai pada munculnya stigma pro-/status quo/. Secara politik,
tuduhan tersebut dapat berkembang menjadi tidak membela rakyat dan hanya
menjaga kepentingan para elite.

Ternyata, Indonesia itu indah. Selain ada proses memperebutkan kekuasaan
secara demokratis, ada juga pertarungan pilihan mazhab (/school of
thought/) dalam memimpin perubahan. Selamat untuk kedua pemeluknya.
Kedua aliran pemikiran tersebut sesungguhnya hanya merupakan sebuah
kontinum dari dua titik ekstrem.

/*) Suwarsono Muhammad/ * /, / * /dosen FE UII Jogjakarta dan dokter
perusahaan./

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=72812

Pucuk Dicita, Neolib Tiba

Pucuk Dicita, Neolib Tiba

BERBAJU hitammerah, Megawati Soekarnoputri berdiri di hadapan sekitar
seribu pengusaha yang memenuhi Grha Sabha Buana Surakarta, Jumat pekan
lalu. ”Tak usah khawatir, Anda juga rakyat,” ka­ta kandidat presiden
koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan
Indonesia Raya itu. Lalu, sambil mengepalkan tangan, Mega berkata lagi,
”Ekonomi kerakyatan bi­sa berjalan jika petani, buruh, pengusaha bekerja
sama.” Malamnya, deklarasi ekonomi kerakyatan dibacakan di Pasar Gede
Hardjonagoro, Kota Solo.

Sejak perang tanding antarcalon ­pre­siden dimulai, kata ”kerakyatan”
me­rebak bagai cendawan. Ia seolah menjadi kebalikan dari istilah
”neolib”, akro­nim neoliberalisme, yang mencuat setelah terpilihnya
Boediono sebagai pendamping Yudhoyono awal Mei lalu.

Oleh lawan politiknya, Boediono dituding sebagai biang neolib. Mazhab
ekonomi ini secara sederhana dipahami sebagai sesuatu yang mengharamkan
peran negara dalam pengelolaan ekonomi. Pasar adalah penentu satusatunya.

Boediono menyangkal tudingan itu. ”Masak, saya dituduh neolib,” katanya
ketika bertemu dengan civitas academica Universitas Gadjah Mada, pekan
lalu. Dalam wawancara dengan Tempo sesaat sebelum deklarasi
pencalonannya sebagai kandidat wakil presiden, ia mengaku prorakyat
kecil dan tetap memandang perlu intervensi negara. ”Ketika program
Bantuan Langsung Tunai dirumuskan, saya adalah Menteri Koordinator
Perekonomian,” katanya. Bantuan Langsung Tunai adalah program yang
mensubsidi orang miskin akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Tapi, bagi penentang Boediono, neolib adalah ”pucuk dicita ulam tiba”.
Isu ini dianggap ampuh merontokkan popularitas Yudhoyono, yang menurut
prediksi sejumlah lembaga survei masih tinggi. ”Pokoknya, isu neolib
akan kami buat seperti komunisme,” kata seorang sumber dalam tim sukses
KallaWiranto. Maksudnya, semua yang jelek akan ditimpakan pada neolib.

Di Bandung, saat pasangan SBY-Boediono dideklarasikan, spanduk dan
pamflet antineolib bertebaran. Akhir pekan lalu, muncul iklan layanan
masyarakat televisi yang menekankan ”bahaya” neoliberalisme. Di akhir
iklan, Kwik Kian Gie, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di
era Megawati Soekarnoputri, muncul menjelaskan soal bahaya
neoliberalisme. Anehnya, Kwik Kian Gie mengaku tidak tahumenahu soal
iklan itu. ”Bisa saja nama saya dica­tut,” katanya.

Yang terangterangan menuding Boediono neolib adalah Fuad Bawazier,
Menteri Keuangan di era Orde Ba­ru, yang kini menjadi anggota tim
kampanye Jusuf KallaWiranto. ”Neolib itu konsensus Washington, dekat
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan mafia Berkeley,” katanya.
Fu­ad membantah memakai isu neolib sebagai materi kampanye. ”Tanpa isu
itu, Boediono memang neolib sejati. Pengangkatan Boediono sebagai calon
wakil presiden makin menunjukkan SBY pendukung neolib,” ka­ta­nya.

Menurut Fahmi Idris, ketua tim kampanye KallaWiranto, Boediono
setidaknya mengakui neoliberalisme punya peran dalam ekonomi Indonesia
belakangan ini. ”Dalam pidatonya di Bandung, Boediono mengatakan akan
memo­derasi perkembangan ekono­mi. Artinya, dia mengakui ada yang
ekstrem dari pasar bebas. Akan memode­rasi itu artinya Boediono mengakui
ada­nya neolib,” kata Fahmi.

Tapi Fahmi menyangkal akan menggunakan isu ini untuk ”menembak”
Yudhoyono Boediono. Katanya, pasangan JKWin—begitu nama KallaWiranto
kini disingkat—bahkan tak mengutamakan isu eko­nomi dalam kampanye. ”Isu
politik, sosial, dan keamanan lebih menarik karena justru di situ JK
unggul,” ujar­nya.

Jadi benarkah Boediono neolib? Tony Prasetiantono, Ketua Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, menyebutkan rekannya cenderung
neo­klasik yang percaya kepada pasar. Kebijakan apa pun yang diambil,
Boediono tak melepas pasar begitu saja. ”Pak Boed juga percaya
intervensi pemerintah sangat penting,” katanya.

*Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Ahmad Rafiq
(Surakarta), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
*

*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/01/LU/mbm.20090601.LU130491.id.html
*

Nasib Program Pemberantasan Korupsi

Nasib Program Pemberantasan Korupsi

Agenda pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk.Setidaknya,
hal itu dapat ditelisik dari tidak jelasnya nasib Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor).

Bahkan setelah pertemuan antara unsur pimpinan DPR dengan pemerintah
(27/5), ketidakjelasan tersebut semakin nyata karena RUU Tipikor tidak
termasuk di antara RUU yang dikonsultasikan untuk disahkan sebelum
berakhirnya masa bakti DPR 2004–2009. Padahal, jika dibandingkan dengan
RUU yang dikonsultasikan, RUU Tipikor jauh lebih urgen untuk
diselesaikan pada periode sekarang.

Akankah tahun ini menjadi petaka dalam agenda pemberantasan korupsi yang
ditandai dengan matinya lembaga extraordinary yang lahir sebagai
anakanak Reformasi? Pertanyaan itu begitu masuk akal karena keniscayaan
pemberantasan korupsi menjadi ternisbikan dengan melelehnya komitmen
untuk mempertahankan, misalnya Pengadilan Tipikor. Tidak hanya itu,
dalam rangka revisi UU Tindak Pidana Korupsi, muncul gagasan untuk
menerapkan hukuman percobaan bagi pelaku korupsi.

Pengadilan Tipikor

Sejauh ini,Pengadilan Tipikor menjadi fenomena baru pemberantasan
korupsi. Memang, tidak semua pihak yang peduli dan fokus terhadap agenda
pemberantasan korupsi puas dengan performa Pengadilan Tipikor.Namun
bagaimanapun Pengadilan Tipikor mampu memberikan pesan bahwa tidak ada
toleransi bagi mereka yang menjadi terdakwa korupsi.

Dibandingkan dengan pengadilan umum, Pengadilan Tipikor jauh lebih
menakutkan. Buktinya, tidak ada pelaku korupsi yang bisa berkelit dari
hukuman. Bahkan menilik hukuman yang dijatuhkan, Pengadilan Tipikor
lebih memberikan rasa takut dibandingkan pengadilan umum.

Karena merasa tidak nyaman dan terancam, sejak semula banyak kalangan
mulai mempersoalkan keberadaan Pengadilan Tipikor ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Salah satu isu pokok yang dipersoalkan menyangkut dasar
pembentukan Pengadilan Tipikor yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No
30/2002).

Sebagaimana dinyatakan Pasal 53, atas dasar UU No 30/2002 dibentuk
Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan KPK. Celakanya,
argumentasi yang mempersoalkan dasar hukum Pengadilan Tipikor diamini MK.

Benar adanya,putusan MK yang dibacakan pada 19 Desember 2006 tersebut
tidak serta-merta membunuh eksistensi Pengadilan Tipikor karena dalam
tenggat waktu paling lama tiga tahun (batas akhir pada 19 Desember 2009)
DPR dan Presiden harus membuat Pengadilan Tipikor dengan undang-undang
tersendiri.Sekiranya dalam tenggat waktu itu DPR dan Presiden gagal
membentuk undang-undang tersendiri, penyelesaian kasus-kasus korupsi
yang disidik KPK akan ditangani pengadilan umum.

Pada awalnya, tenggat waktu tiga tahun tersebut dinilai cukup untuk
menuntaskan atau menindaklanjuti putusan MK. Namun karena political will
Presiden dan DPR yang makin tergerus dalam agenda pemberantasan korupsi,
sampai saat ini tidak terlihat tandatanda bahwa RUU Pengadilan Tipikor
akan selesai sampai garis waktu menyentuh tapal batas akhir masa jabatan
DPR periode 2004–2009.

Dalam kasus ini, saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa
Presiden dan DPR merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Rasanya,
tidak mungkin Presiden dan DPR tidak menyadari dan mengetahui bahwa
menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor sama dengan membunuh KPK.

Bisa jadi,meluruhnya keinginan memenuhi tenggat waktu tiga tahun yang
diamanatkan MK secara umum mencerminkan ketidaknyamanan pemerintah dan
anggota DPR dengan sepak terjang Pengadilan Tipikor. Membaca kondisi
yang ada saat ini, sulit berharap DPR untuk menyelesaikan RUU Pengadilan
Tipikor.

Selain meluruhnya political will, mayoritas mereka yang diberi tugas
menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor mendapat hukuman dari masyarakat,
yaitu dengan tidak dipilih lagi sebagai anggota DPR periode
2009–2014.Dengan kondisi seperti itu, anggota DPR periode 2009–2014
seharusnya menempatkan RUU Pengadilan Tipikor sebagai agenda pertama dan
utama yang harus diselesaikan dalam bulan pertama mereka dilantik.

Jika mereka mau melakukan langkah itu, tentu kita boleh berharap bahwa
akan ada semangat baru dalam agenda pemberantasan korupsi di DPR. Selain
itu, penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor dapat menjadi rujukan awal
untuk membedakan antara anggota DPR periode 2004–2009 dan anggota DPR
periode 2009–2014 dalam kelanjutan agenda pemberantasan korupsi.

Rujukan awal tersebut begitu penting karena dukungan lembaga legislatif
menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan agenda
pemberantasan korupsi. Sekiranya anggota DPR periode 2009–2014 tidak
mampu menyelesaikannya selama bulan pertama mereka dilantik, nasib
Pengadilan Tipikor harus diserahkan kepada ruang darurat yang disediakan
dalam UUD 1945.Pasal 22 UUD 1945 menyatakan:

dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu). Menilik
bahaya korupsi, klausul “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” amat
sangat terpenuhi untuk menerbitkan perppu guna menyelamatkan Pengadilan
Tipikor.

Hukuman Percobaan

Selain RUU Pengadilan Tipikor, sedang dipersiapkan pula revisi
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Salah satu argumentasi
dasar, revisi dimaksudkan untuk menyesuaikannya dengan beberapa
substansi yang terdapat dalam United Nation Convention Agains Corruption
(UNCAC).

Namun dari draf versi pemerintah terlihat adanya upaya untuk mengurangi
kewenangan KPK dengan cara merumuskannya secara tersamar.Kalau hal ini
tidak diwaspadai, revisi UU Tipikor bisa menjadi jalan lain untuk
mengamputasi KPK. Selain itu, yang cukup mencengangkan, munculnya
gagasan untuk menerapkan hukuman percobaan dalam penanganan kasus
korupsi. Gagasan ini sulit diterima akal sehat.

Di samping tidak menumbuhkan efek jera (deterrence effect) dalam
pemberantasan korupsi, hukuman percobaan juga berpotensi menimbulkan
“perselingkuhan” antara yang tersangkut kasus korupsi dengan penegak
hukum (seperti jaksa dan hakim) untuk menjatuhkan hukuman itu.

Selama ini, tidak diberi ruang saja, ada hakim yang berani menjatuhkan
hukuman percobaan.Dari hasil penelusuran awal yang dilakukanICW,
setidaknya sembilankasus korupsi telah divonis hakim dengan hukuman
percobaan.Artinya,kalau gagasan tersebut diakomodasi, jangan-jangan
hakim lebih memberikan prioritas pada hukuman percobaan dibandingkan
dengan hukuman lain yang lebih menjerakan.

Dengan demikian,gagasan hukuman percobaan seharusnya dibaca sebagai cara
lain membiarkan praktik korupsi semakin meruyak di negeri ini.
Penjelasan di atas mengisyaratkan kepada kita, negeri ini sedang
berhadapan dengan kekuatan yang menggunakan institusi negara untuk
melanggengkan praktik korupsi.

Oleh karenanya, jangan pernah lengah dan menyerah dan selalu rapatkan
barisan menghadapi mereka yang telah lama berupaya hendak menghancurkan
agenda pemberantasan korupsi.(*)

Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243880/

Berpikir Kritis dan Benar

Berpikir Kritis dan Benar

Baru-baru ini Majelis Ulama Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap
penggunaan Facebook. Alasannya Facebook sering digunakan oleh remaja
untuk mencari pacar dan melihat gambar-gambar tak senonoh.

Saya sendiri pengguna Facebook ( sarlito_sarwono@yahoo.com
This e-mail address is being
protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it )
dengan jumlah teman di dunia maya saat ini sekitar 3.000 orang. Jumlah
itu bertambah terus setiap hari. Ada saja yang menyapa saya setiap hari
(rata-rata 10 pesan masuk).

Ada yang sekadar menyampaikan salam kenal, atau bertanya saya sedang
apa, sampai yang bertanya soal skripsi atau tesis, bahkan bertanya
masalah pribadi (anaknya nakal-nakal seperti bapaknya, putus cinta dan
memutuskan cinta,malas belajar atau bingung memilih jurusan).

Ada pula yang bertanya bagaimana akhir kisah Manohara, atau siapa yang
akan jadi presiden Indonesia 2009, seakan-akan saya ini Pangeran Tengku
Fakri, putra mahkota Kesultanan Kelantan atau Ketua KPU. Saya sendiri
banyak dapat manfaat dengan punya teman-teman di dunia maya itu.

Ada mantan mahasiswa belasan tahun lalu tiba–tiba muncul di Facebook,
komplit berikut foto-foto zaman dulu yang tak ada di museum mana pun.
Bahkan saya pernah mencari sopir dan minta tolong transfer data dari
pita video ke CD lewat Facebook dan dapat.

Percaya atau tidak, temanteman maya itu ada anak-anak umur 6 tahun, tapi
menteri-menteri pun ada. Sangat bervariasi. Tidak sedikit pun terpikir
oleh saya dan saya belum pernah tahu ada penyalahgunaan Facebook seperti
yang dikatakan oleh para pembuat fatwa yang berhati mulia itu.

*** Orang awam pun tahu bahwa fatwa anti-Facebook itu tidak masuk
akal.Salah seorang awam pinggir jalan yang diwawancarai televisi
berkomentar, “Yang penting mental masyarakatnya yang diperbaiki, bukan
Facebook-nya yang dilarang”. Benar sekali kata awam yang bukan sekolahan
itu.

Zaman ini masyarakat sedang hobi ngebrik (citizen band,
“..break...break..”), ada istilah mojok (jam dua belas malam, mengobrol
di frekuensi yang jarang dipakai orang) dilanjutkan dengan kopi darat
(ketemu di suatu tempat) dan berkembanglah kisah perselingkuhan yang
mengganggu rumah tangga.

Tetapi para penggemar citizen band lain yang tergabung dalam Radio Antar
Penduduk Indonesia (RAPI) justru banyak yang berjasa dalam memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat, dari pencarian orang hilang (tim SAR),
pengamanan pawai 17 Agustus, sampai pengamanan pemilu (sejak 1972).

Di zaman telepon seluler (ponsel) lebih gampang lagi, cukup lewat SMS
(selangkah menuju selingkuh). Bahkan video klip porno (sebagian dibuat
sendiri) dengan bebas disebarluaskan dari ponsel ke ponsel melalui
fasilitas Bluetooth atau MMS. Tambah lagi, sekarang ada ponsel yang
namanya Blackberry.

Alat yang satu ini mampu mengakses internet dari ponsel. Bukan hanya
email atau Facebook, tetapi juga situs-situs porno.Kalau dulu negara
bisa berusaha melarang pornografi lewat Lembaga Sensor Film dan orang
tua bisa mencegah anak kecilnya menonton adegan ciuman di film TV dengan
mematikan TV atau memindahkan channel, sekarang siapa yang bisa mencegah
tontonan yang ada di genggaman yang bisa disimpan di saku orang? Itu
belum semua.

Masih banyak fitur sehubungan dengan teknologi informasi yang bisa
dideretkan di sini, yang semuanya bisa disalahgunakan. Celakanya,
berbeda dengan sembako yang makin lama makin mahal,harga alat-alat
teknologi informasi ini semakin lama justru semakin murah.

Kalau di tahun 1970-an telepon genggam berkamera dan berfasilitas hands
free (sehingga penggunanya bisa melenggang sambil menelepon tanpa
diketahui bahwa dia sedang menelepon) hanya digunakanoleh JamesBondagen
007 dari Kerajaan Inggris, hari ini pembantu di rumah saya pun sudah
memilikinya.

Tetapi kalau semua teknologi informasi difatwakan haram,maka bangsa
Indonesia ini akan kembali menjadi Suku Baduy atau malah jadi suku anak
dalam saja. Survei membuktikan bahwa belum ada satu pun negara di dunia
ini yang bisa menyejahterakan rakyatnya kalau hanya diatur dengan
fatwafatwa.

Taliban contohnya.Mereka mencobanya di Afghanistan,tetapi malah
negaranya hancur binasa. Tetapi buat saya, yang lebih memprihatinkan
adalah bahwa bangsa ini belum bisa berpikir yang benar.Artinya, bisa
membedakan mana yang sebab, mana yang akibat. Mana yang berhubungan
sebab-akibat, mana yang hanya kebetulan.

Kalau Facebook menimbulkan maksiat, tetapi sarana komunikasi lain
(bahkan surat pos biasa) bisa juga menimbulkan maksiat,maka artinya
bukan Facebook faktor penyebabnya. Apalagi kalau diketahui bahwa jauh
lebih banyak orang yang memberi dan mengambil manfaat dari Facebook
ketimbang yang menggunakannya untuk maksiat.

Kalau orang bisa flu karena babi, tetapi bisa flu juga karena
burung,maka jangan kaitkan babi yang flu dengan ayat Alquran tentang
daging babi. Pada tahun 1980-an, pernah terbit buku komik bertajuk Adik
Baru, ditulis oleh Profeseor Conny Semiawan, guru besar ilmu pendidikan
yang tersohor dan tidak ada cacat dalam kehidupan pribadi atau keluarganya.

Tetapi buku itu difatwa haram oleh MUI dan selanjutnya dibredel oleh
kejaksaan. Pasalnya, isinya adalah tentang pendidikan seks, yang menurut
para cerdik cendekia, khususnya para pemimpin umat Islam saat itu, bisa
membuat anak-anak yang belum siap mental jadi ingin mencoba- coba seks.
Di tahun 1980-an juga, pengurus Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) selama 10 tahun melancarkan program pendidikan seks untuk remaja.

Ketika itu BKKBN sendiri masih mengharamkan pendidikan seks, apalagi
membagikan kondom,kepada mereka yang belum menikah. Padahal sebagai
psikolog saya menghadapi kasus-kasus remaja yang sudah aktif secara
seksual,walau mereka belum menikah. Reaksi masyarakat tentu saja
negatif. Sama dengan yang mereka lakukan terhadap Prof Conny Semiawan.

Saya dianggap vulgar, menjatuhkan moral bangsa, dan sebagainya, termasuk
oleh rekanrekan sendiri di kampus. Contoh lain adalah pelarangan
pembagian kondom gratis kepada pekerja seks komersial di lokalisasi-
lokalisasi.Alasannya, karena seakan-akan pemerintah merestui perzinahan.
Padahal, maksudnya hanyalah untuk pencegahan penyakit kelamin (termasuk
AIDS).

Paradigma ilmu kesehatan dianulir begitu saja dengan doktrin agama yang
sempit, akibatnya penyakit kelamin dan aborsi makin meningkat di negara
kita,jauh lebih tinggi daripada di negara-negara “seks bebas”(tetapi
juga ”bebas”memakai kondom).

*** Yang mengherankan adalah bahwa yang tak bisa memilah-milah antara
yang penyebab dan yang bukan penyebab dan sebagainya itu.Dengan
demikian, mereka bukannya tak bisa berpikir, tetapi tidak mau atau tidak
kritis dalam berpikir.

Tetapi kalau disuruh ngomong paling cepat. Akibatnya, banyak omongan
yang dilontarkan begitu saya tanpa dipikir dulu.Dampaknya adalah inflasi
fatwa.Seperti halnya uang,kalau fatwa sudah kena inflasi, tidak ada
harganya lagi.Nauzubillahi min zalik.(*)

Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi UPI/YAI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/243870/

Pergeseran Praktek Politik Uang

Pergeseran Praktek Politik Uang

*Adnan Topan Husodo*
WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH

Data pelanggaran pidana pemilu legislatif 2009 yang direkap oleh
Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya peningkatan jumlah
temuan, khususnya dalam konteks pidana politik uang. Ini jika
dibandingkan dengan politik uang dalam pemilu legislatif 2004, yang
menurut data Panitia Pengawas Pemilu 2004 hanya mencapai 50 kasus.
Sedangkan untuk pemilu legislatif 2009, data pemantauan ICW di empat
kota, yakni Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar, menemukan
setidaknya 150 kasus dugaan politik uang. Bisa diduga, jumlah ini akan
membengkak karena secara nasional setiap daerah memiliki potensi yang
sama terhadap terjadinya pelanggaran politik uang.

Naiknya angka pelanggaran pidana politik uang sudah diprediksi jauh-jauh
hari sebelumnya, terutama ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
gugatan terhadap Pasal 214 huruf a sampai e UU No. 10 Tahun 2008
mengenai penetapan calon terpilih dengan nomor urut. Oleh MK, pasal
tersebut dibatalkan dan penetapan calon legislator terpilih kemudian
melalui perolehan suara terbanyak.

Bagi calon legislator yang mendapat nomor urut bawah (sepatu), putusan
MK merupakan anugerah karena peluang menang, yang awalnya sangat tipis,
menjadi lebih terbuka. Konsekuensinya jelas, pertarungan antarcalon
legislator, baik di lingkup internal partai politik maupun calon
legislator antarpartai politik peserta pemilu, menjadi kian intens.
Sebelum putusan MK partai politik adalah garda terdepan kampanye,
sedangkan dengan pembatalan pasal 214 di atas ujung tombak kompetisi
pemilu ada di masing-masing calon legislator.

*Kekosongan aturan*
Putusan MK juga telah membawa pengaruh terhadap aspek yuridis UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif , khususnya pada pengaturan dana
kampanye. Sebagaimana diketahui, bingkai regulasi dana kampanye dalam UU
Pemilu Legislatif menempatkan partai politik sebagai peserta pemilu.
Sementara itu, calon legislator merupakan bagian dari partai politik.
Melalui putusan MK, secara faktual calon legislator adalah peserta
pemilu bersama-sama partai politik dan calon anggota DPD. Masalahnya,
yang tidak diantisipasi seusai putusan MK adalah tidak adanya kewajiban
sama sekali pelaporan dana kampanye bagi calon legislator.

Kombinasi antara pertarungan yang kian tinggi antarcalon legislator dan
ketiadaan kewajiban pertanggungjawaban dana kampanye bagi calon
legislator membuka peluang lebar bagi penyalahgunaan dana kampanye. Jika
praktek pemberian uang atau materi lainnya dalam pemilu dilihat sebagai
pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah pelanggaran terhadap
aturan dana kampanye.

Kekosongan hukum dalam konteks aturan dana kampanye calon legislator
inilah yang meningkatkan praktek politik uang dalam pemilu legislatif
2009. Celah hukum lainnya adalah tiadanya aturan pemidanaan politik uang
dalam UU Pemilu Legislatif, apabila praktek politik uang dilakukan pada
masa tenang sebelum hari pencoblosan suara. UU Pemilu Legislatif hanya
mengatur pelanggaran politik uang pada masa kampanye dan hari pencoblosan.

*Pergeseran aktor*
Selain jumlah pelanggaran politik uang yang meningkat, perubahan lainnya
dapat dilihat dari sisi aktor. Pada pemilu legislatif 2004 pelaku
politik uang biasanya adalah para anggota tim sukses bayangan dari
masing-masing partai politik, sedangkan pada pemilu legislatif 2009
aktor politik uang bukan hanya mereka tapi juga calon legislator
sendiri. Kepentingan untuk mendapatkan suara terbanyak dari pemilih,
berinteraksi langsung dengan mereka, sekaligus kompetisi yang kian
ketat, telah memicu praktek politik uang oleh para calon legislator.

Dalam situasi ekonomi yang sulit dan tingkat pendidikan yang buruk,
sasaran politik uang selalu masyarakat di tingkat bawah. Mereka inilah
yang dengan senang hati menerima pemberian uang atau materi lainnya dari
calon legislator karena didorong oleh kebutuhan hidup konkret. Bahkan
terdapat sebuah kesimpulan sementara yang menyebutkan bahwa pemilu
legislatif 2009, termasuk di dalamnya praktek politik uang, telah
meningkatkan daya beli masyarakat miskin, meskipun untuk waktu yang
singkat.

Akan tetapi, pada pemilu legislatif 2009, sasaran politik uang bukan
hanya pemilih kelas bawah. Ada fenomena baru di mana pemilih dari akar
rumput lebih canggih mengakali kebutuhan hidup pada saat kampanye.
Strategi terima uang dari semua calon legislator dan memilih yang paling
besar pemberiannya merupakan sesuatu yang secara langsung merugikan
pelaku politik uang.

Karena pemilihan calon legislator dilakukan secara langsung oleh
pemilih, sulit mengukur tingkat loyalitas orang terhadap pilihannya,
meskipun sudah ada pemberian materi sebelumnya. Maka, tidak mengherankan
jika pada pemilu legislatif 2009 banyak ditemukan kasus di mana calon
legislator yang tidak lolos meminta kembali materi atau uang yang pernah
diberikannya kepada pemilih. Demikian pula adanya fenomena calon
legislator stres yang sebagian besarnya dipicu oleh hilangnya aset, uang
dan kekayaan pribadi calon legislator.

Sulitnya mengikat loyalitas pemilih melalui politik uang telah menggeser
sasaran politik uang pada penyelenggara pemilu, dari tingkat TPS,
kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Tak aneh jika main mata antara
calon legislator dan oknum penyelenggara pemilu sudah mulai ditemukan
kasusnya, terutama dengan modus penggelembungan perolehan suara calon
legislator. Bahkan ditemukan fakta di mana penyelenggara pemilu secara
aktif mendekati calon legislator untuk menawarkan jasa bantuan
pemenangan melalui utak-atik jumlah perolehan suara.

Beberapa anggota KPU daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh
pihak kepolisian karena melakukan penggelembungan suara, setidaknya
memberikan bukti yang cukup kuat. Bagi calon legislator, menyuap
penyelenggara pemilu jauh lebih pasti dibanding memberikan materi kepada
pemilih.

*Prediksi*
Berkaca kepada pengalaman pemilu legislatif 2009, titik rawan politik
uang dalam pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden paling tidak
ada pada tiga wilayah, yakni lemahnya regulasi tentang politik uang,
sepak terjang tim kampanye bayangan atau siluman, dan peluang
penyalahgunaan posisi pejabat /incumbent/.

Untuk yang pertama, dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 terdapat celah besar
aturan terkait dengan praktek politik uang, di mana tidak ada aturan
pidana politik uang yang berlaku pada masa hari tenang sebelum
pencoblosan. Artinya, dalam UU Pemilihan Presiden, jika praktek politik
uang dilakukan pada masa tenang sebelum hari pencoblosan, tidak ada
aturan yang dapat menjerat para pelakunya.

Tampaknya regulator sengaja mendesain celah hukum ini, karena tiadanya
aturan pidana politik uang pada hari tenang juga terdapat dalam UU
Pemilu Legislatif. Kaitan kepentingannya mudah, politik uang biasanya
kian massif terjadi pada masa menjelang pencoblosan. Tiadanya regulasi
politik uang pada hari tenang membuka jalan bagi berlangsungnya praktek
politik uang dengan lebih bebas tanpa bisa dijerat oleh hukum.

Kedua, aktor politik uang pada pemilu presiden biasanya adalah para
anggota tim sukses bayangan. Mereka leluasa melakukan praktek politik
uang karena eksistensinya dalam setiap kampanye tidak pernah diatur
dengan jelas. Padahal konsekuensinya bagi kualitas pemilu cukup berat,
karena dana kampanye ilegal bisa digelontorkan kepada tim bayangan dan
mereka membelanjakan dana itu dengan cara-cara yang melanggar aturan
juga. Pengalaman pemilu presiden 2004 juga menunjukkan bahwa tim sukses
bayangan adalah orang-orang yang memiliki akses besar terhadap dana
publik (APBN-APBD). Tak mengherankan jika dalam beberapa kasus korupsi
yang terungkap oleh KPK, uang hasil korupsi juga mengalir kepada tim
sukses bayangan.

Terakhir, posisi pejabat /incumbent/ yang dapat menggunakan dana belanja
sosial, baik di APBN maupun APBD untuk kepentingan terselubung praktek
politik uang. Naiknya alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009
dibanding 2008 merupakan indikasi sekaligus berpotensi disalahgunakan
oleh pejabat publik. Wajar jika pasangan JK-Win meminta agar gaji ke-13
bagi pegawai negeri sipil tidak dibagikan dulu, karena ini juga bisa
diselewengkan untuk praktek politik uang terselubung. Dari poin di atas,
tampaknya kita akan masih kesulitan membendung praktek politik uang.
Maka, tak aneh jika secara substansi, hasil pemilu selalu dianggap tidak
/legitimate/.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/03/Opini/index.html