BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Illusionary Wealth

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.43

Illusionary Wealth

SEWAKTU menyelesaikan studi di Amerika Serikat (AS) saya sering tertegun
melihat nama-nama jalan yang sama di setiap kota.Tentu saja bukan nama
orang atau pahlawan seperti yang sering kita lihat di sini, melainkan
nama-nama seperti Green Street, Apple Street, First Street, dan seterusnya.

Namun ada nama jalan yang selalu saya temui di mana pun saya berada,
yaitu Market-Street, dan hanya sedikit kota yang punya jalan bernama
Wall-Street. Itulah nama dua jalan yang sekarang menjadi persoalan di AS
dan menjadi hujatan di sini.

Di AS, mereka mempersoalkan krisis keuangan, di kita berkibar asap-asap
pedih yang diteriaki sekelompok kecil politisi sebagai ”neolib”. Supaya
tidak tambah ruwet, kita kupas perlahan-lahan dan mohon buka pikiran
Anda sebersih-bersihnya, sebab berbahaya sekali menghantubirukan ekonom
sebagai neolib, apalagi kalau neolib dimaknai hantu busuk.

Pasar dan Ekonomi pasar

Kalau kita belajar ekonomi, di mana-mana di dunia ini (saya kira selain
di Korea Utara) yang Anda dapatkan hanyalah ekonomi pasar.
Sebagaiekonom,meskibukanorang makro, saya pun kecipratan belajar tentang
pasar.Jadi belajar ekonomi yaekonomi pasar,kecuali Anda yang belajar
teori ekonomi tahun 1950 atau 1960,saat aliran-aliran ekonom
alternatifnya masih bertempur memperoleh pengakuan.

Dalam filosofinya tentu setiap ideologi turut mewarnai teori ekonomi.
Berbagai orang kini mempersoalkan seakan-akan ekonom itu sudah sangat
propasar.Teman-teman yang belajar tentang ekonomi balik bertanya, apa
salahnya dengan pasar? Bukankah pasar itu bagus? Pasar itu artinya
demokrasi. Kalau di pasar politik kita menyebut kekuatan itu ada di
tangan rakyat, maka di dalam perekonomian rakyat itu kita sebut konsumen.

Kalau dalam pemerintahan ada pemerintah, dalam bisnis ada perusahaan.
Perusahaan tentu tidak sekelas dengan pemerintah, karena mereka terdiri
atas badanbadan hukum yang bersifat terbatas dan bermotif bisnis. Kalau
pemerintah mengurus kebijakan, bisnis menjadi operator usaha.

Lantas apakah yang dimaksud dengan motif bisnis? Motif bisnis di
Market-Street berbeda dengan motif bisnis yang digaung-gaungkan di
Wall-Street.Di Market-Street orang-orang membantingtulangbekerjasiang-
malam mencari sesuap nasi.Mereka adalah para wirausaha yang mengelola
usaha keluarga dan membentuk badan-badan hukum. Ada yang
berdagang,berjualan baju,kerajinan, membuathasil-hasilriset, inovasi
sampai menjual hasil produksi (pabrikan) dan jasa-jasa.

Di setiap kota kecil, setiap kali mengunjungi Market-Street, saya selalu
bertemu para aktivis komunitas yang dihormati masyarakat. Mereka
bersama-sama membiayai fasilitas publik, menjadi sponsor
kegiatan-kegiatan komunitas. Seorang teman, yang dibesarkan pada
keluarga yang memiliki toko peralatan memasak/ membuat kue, bercerita,
ayahnya selalu mengatakan ia berbisnis untuk melayani komunitas.

Toko mereka adalah rumah mereka. Kalau malam ada yang menggedor toko,
ayahnya pun membukakan pintu. Karena bagi mereka pembeli adalah tamu dan
mereka adalah tetangga yang perlu dilayani.Mereka terpaksa menggedor di
malam hari karena mereka sangat memerlukan bantuan. Misalnya seorang ibu
alat masaknya rusak,padahal dia sudah memegang kontrak mengirim masakan
ke sebuah pabrik.

Kalau toko tak dibuka,celakalah si ibu. Itulah ekonomi pasar. Terdiri
atas para pelaku usaha yang melayani konsumen, yang saling bersaing
merebut pelanggan.Mereka hanya akan bertahan kalau mereka memberikan
pelayanan, berinovasi dan beradaptasi terhadap kebutuhan pelanggan.

Wall-Street

Lain mereka, lain pula suasana yangsaya lihatdiNew York.Diantara
bangunan-bangunan besar yang megah terdapat sebuah jalan bernama
Wall-Street. Di jalan ini selalu kita temui orang-orang muda yang
serbasibuk,berjas,dan berdasi. Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi yang
berbasiskan keuangan. Mereka juga mengenal istilah pasar, tapi pasar
bagi mereka adalah pemilik uang, yaitu mereka yang ingin memperbesar
uangnya dari uang yang mereka kuasai.

Bagi mereka uang adalah magic. Orang-orang di Market-Street berpikir
tentang ekologi dan hubungan. Di Wall-Street hubungan tidak penting.Yang
lebih penting adalah kinerja, yaitu financial performance atau rate of
return. Maka bagi mereka, return, score, rating,ranking,dan ratio,lebih
penting. Sekalipun ada suatu negara, sebut saja Indonesia di tahun 1998-
1999, yang sangat menderita dan sangat memerlukan uang, mereka belum
tentu tergerak menuju ke sana, kecuali lembaga-lembaga ratingmemberi
rekomendasi.

Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi uang dan di antara pemain- pemain
keuangan itu selalu saja muncul derivatif-derivatif baru yang bersifat
predator. Sejak John Edmunds (1996) menulis cara baru menciptakan
kekayaan melalui securities dalam jurnal terkenal Foreign Policy, para
predator itu pun memainkan jurus-jurusnya.

Mereka menjadikan segala kebutuhan masyarakat dalam bentuk securities
yang selalu bisa diperdagang kan. Dua tahun terakhir ini masyarakat
seluruh dunia dibuat pusing karena energi dan properti diperdagang kan
melalui ”paper”. Mereka berhasil mengomando ”pasar” riil karena mereka
menguasai dalam bentuk paper, sehingga harga di pasar riil mengikuti
harga sekuritas.

Sifat-sifat harga yang semula mengikuti kehendak hukum ekonomi, yaitu
supply-demand, tibatiba bergeser mengikuti pola harga securities. Harga
bisa melambung tinggi sekali dan tidak ada hubungannya dengan
supply-demand, namun ia juga bisa kempis tiba-tiba saat ”bubble”-nya
pecah. Anda mungkin masih ingat harga minyak mentah tahun lalu hampir
menembus USD200/barel.

Menurut data dari NYMEX,sejak 2006 porsi perdagangan securities dalam
bidang energi telah mencapai 50%. Padahal pada 2003 porsinya baru
sekitar 4,6%. Goldman Sach, Morgan Stanley, dan Citibank, bahkan tahun
lalu mempunyai cadangan yang sangat besar dalam paper energyini.

Di Singapura, beberapa di antara para pelaku utama di sektor keuangan
bahkan sengaja memiliki ”storage” sekadar agar bisa ikut ”bidding”
menentukan harga minyak yang diatur Plats. Perilaku goreng-menggoreng
yang bersifat predatory ini jelas sangat membahayakan perekonomian.
Karena perilaku seperti itu pulalah ekonomi AS collaps dilanda krisis
yang sangat destruktif.

Uang dan Cepat Kaya

Sifat-sifat predatory yang ada di Wall-Street, yang dibawa oleh para
spekulator, sekarang menjalar ke mana-mana. Ia bukan hanya merasuki area
corporate finance dan securitiessaja, melainkan sudah memasuki area
personal finance.Di manamana saya bertemu orang yang berbicara soal
uang,uang,dan uang.

Uang seakan-akan menjadi magic.Mereka termakan kata-kata Robert Kiyosaki
yang memprovokasi, ”Jangan bekerja untuk uang, tapi buatlah uang bekerja
untuk Anda.”Yang mereka lupa, kehidupan ini berisi hal-hal yang lebih
dari sekadar uang, yaitu hubungan, kekeluargaan, dan mutual-caring
(saling memeliharasaling menjaga) sehingga membebaskan manusia dari
ketergantungan dengan uang.

Dalam paradigma Wall-Street manusia hanya berbicara tentang rate of
return dan kinerja ekonomi. Dalam kehidupan yang sehat, kita berbicara
tentang kontribusi ekonomi yang berkelanjutan,yang terdiri atas makanan
yang sehat, air yang bersih dan mengalir,tanah yang subur, dan
nilai-nilai yang kooperatif. Kalau manusia sudah ingin cepat kaya, maka
ia terperangkap dalam illusionary wealth, yaitu seakan-akan kekayaan itu
hanya uang.

Dengan cara yang demikian orang akan saling telan sebagaimana predator.
Di perusahaan mereka melakukan perampingan, outsourcing ke luar negeri,
sehingga banyak pengangguran. Harga sahamnya naik, tapi kesenjangan
meningkat.Konflik pun meluas dan dunia dihantui terorisme.

Kalau Anda mengajarkan orang cepat-cepat kaya,Anda juga harus ingat,Anda
menaburkan kekacauan karena kekayaan tak bisa diperoleh tanpa kerja
keras dan pengorbanan. Tuhan memberi kesempatan kita berjuang,agar
memperoleh kekayaan plus kearifan dari tempaan hidup.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244201/38/

Etika Komunikasi Kasus Prita

Etika Komunikasi Kasus Prita

Kemarin (Rabu, 3/6), Prita Mulyasari dibebaskan dari LP Wanita Tangerang
semenjak masuk sel pada tanggal 13 Mei 2009. Sebelumnya dia dimasukkan
sel setelah Kejaksaan Negeri Tangerang menjeratnya dengan Pasal 27 (3)
UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Prita dijadikan tersangka pencemaran nama baik RS Omni
Internasional,Alam Sutera, Tangerang setelah menulis keluhannya lewat
internet. Kalau terbukti bersalah dia diancam dengan pidana hingga 6
tahun penjara. Prita ”beruntung” karena kasus menjadi pusat perhatian
publik. Tak kurang dari 10.000 Facebooker mendukung pembebasannya. Ini
merupakan bentuk solidaritas sosial yang luar biasa.

Sekalipun melalui saluran maya, tak kepalang menimbulkan opini yang
layak diperhitungkan oleh aparat kejaksaan. Apalagi Dewan Pers juga
memberi dukungan kepada Prita. Iklim politik juga berpihak pada Prita.
Setidaknya dua capres tampil menjadi ”pembela” Prita. Beberapa kalangan
menilainya demi citra politik jelang pilpres 8 Juli 2009.

Kemarin siang,Megawati didampingi putrinya, Puan Maharani, Sekjen PDIP
Pramono Anung dan Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo membesuk Prita Mulyasari di
LP Tangerang. Adalah capres Jusuf Kalla yang memberi jaminan pembebasan
Prita. Alhasil, sekitar pukul 16.00 atau sejam setelah kunjungan
Megawati pada sekitar pukul 15.00 Prita pun menghirup udara bebas.

Sudah selesaikah urusan Prita? Belum, tentu saja. Pertama, Prita sendiri
hanya dibebaskan dari sel tahanan di LP Wanita Tangerang, tetapi belum
bebas dari status sebagai tersangka. Prita hanya berubah dari status
titipan kejaksaan di dalam sel menjadi status tahanan kota. Bahkan hari
ini Prita rencananya akan menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri
Tangerang.

Jaksa Agung sendiri kemarin mengakui bahwa kasus Prita sudah dilimpahkan
ke pengadilan. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji penahanan Prita
kini menjadi tanggung jawab pengadilan. Kedua, selama Prita––seorang ibu
dengan dua putra—belum dibebaskan dari semua tuduhan, nasib serupa boleh
jadi masih akan mengancam pada Prita-Prita yang lain.

Ancaman hukuman yang dialamatkan ke Prita membuat publik khawatir untuk
menyatakan pendapatnya berkenaan dengan kekecewaannya atas pelayanan
yang diberikan lembaga-lembaga pelayanan umum.Padahal, apatah ada
lembaga-lembaga pelayanan umum sejak sekolah, rumah sakit, transportasi,
perbankan, keamanan, pemerintahan, yang tidak pernah mengecewakan
publiknya?

Mencemarkan Nama Baik?

Seperti banyak diberitakan, Prita ditahan karena dituduh melakukan
pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional lewat internet.Kasus
ini bermula ketika Prita mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke
sebuah media dotcomdan kemudian dia kirimkan pula kepada teman-temannya.

E-mail itu berisi mengenai keluhannya terhadap RS Omni Internasional
yang sempat merawatnya. Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak
dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat
milis-milis. Pertanyaannya, apakah Prita benar-benar melakukan
pencemaran terhadap RS Omni Internasional?

Jika melihat isi e-mailnya berupa surat pembaca di sebuah media dotcom
kemudian kita menganalisisnya dengan metode analisis wacana (discourse
analysis), tampaklah di dalam e-mail-nya itu adalah narasi dalam bentuk
keluhan yang lazim dialami oleh seseorang yang mengalami kekecewaan atas
pelayanan. Dalam e-mail-nya itu Prita hanya menggambarkan pengalamannya
bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi
keluhan yang dialami.

Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan
melakukan hal sama dengan Prita jika mengalami pengalaman yang kurang
menyenangkan. Untuk sekadar diketahui bahwa analisis wacana (discourse
analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini dalam
bentuk tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan “jalan
pikiran” yang terdapat dalam naskah yang dianalisis.

Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang
dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap
bagian,kita selalu analis bisa menyimpulkan “jalan pikiran” yang
dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah
(wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya. Karenanya
kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti
kita pahami bersama.

Pertama, hendaknya sebuah versi wacana dipahami dari sudut pandang si
pembuatnya. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan
data, bolehlah dia disebut berbohong bahkan mencemarkan nama baik.
Tetapi jika yang bersangkutan masih mengacu pada fakta dan data, tidak
bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data
dan data menurut versinya sendiri.

Itulah yang namanya versi. Justru karena versi itulah terbuka peluang
versi yang lain.Inilah konsekuensi kedua. Hendaknya sebuah versi wacana
dijawab dengan versi lain. Hanya wacana yang fakta dan datanya lengkap
dan akurat itulah yang mesti dimenangkan. Hal ini pula sebaiknya yang
menjadi salah satu acuan dalam proses pengadilan dalam menghakimi wacana
vs wacana.

Memang RS Omni Internasional telah membuat wacana versinya sendiri dalam
bentuk hak jawab beserta iklan.Namun sayangnya langkah hukum masih tetap
diambil.Apa boleh buat,nasi telah menjadi bubur. Masalah telah
berkembang ke mana-mana dan telanjur masuk ke ranah hukum. Sementara
opini publik sepertinya berpihak pada Prita.

Komunitarian vs Libertarian

Benar, sepertinya semua opini publik seakan-akan –karena didukung oleh
media massa—berada di belakang Prita. Dalam mengungkapkan informasi,
Prita diasosiasikan telah melakukan komunikasi dengan prinsip etika
komunitarian. Bahwasanya, apa yang dia sampaikan ditafsirkan sebagai
upaya untuk kepentingan orang banyak.

Coba tengok kalimat pertamanya dalam tulisan e-mail di surat pembacanya
itu: ”Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia
lain.Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan titel
internasional karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka
semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

”Dalam kalimat ini jelas Prita mencoba mewakili kepentingan
publik,kemaslahatan semua orang. Sebagai kebalikan dari etika
komunitarian adalah etika libertarian. Etika ini dipakai oleh mereka
yang mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.Kebebasan yang
ditampilkan tak lebih sebagai upaya mengamankan kepentingan sendiri dan
kelompoknya saja.

Salah satu ciri dari penggunaan etika ini dalam berkomunikasi pada
pe-nonjolan individualisme,pada kebersamaan. Kendatidemikian,danmisalnya
masuk ke babak persidangan, di pengadilan kedua belah pihak masih
terbuka menempuh jalan perdamaian. Jika jalan ini yang dipakai,
selanjutnya adalah peluru sanopini; terutama oleh RS Omni Internasional.

Pihak RS berpeluang untuk mengedepankan wacana menurut versinya sendiri
atas kasus yang menimpa Prita. Bila versi RS lebih kuat dalam data dan
fakta ke-timbang versi Prita, niscaya publik mampu menilainya. Kita
tunggu perkembangan selanjutnya.(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244212/

Aksi Para Calon Presiden Mendukung Prita

Aksi Para Calon Presiden Mendukung Prita
Kalla pertama kali bicara, Mega bertindak mengunjungi dan SBY bertanya
pada Jaksa Agung.

Arfi Bambani Amri, Muhammad Hasits, Mohammad Adam, Bayu Galih

*VIVAnews *- Kasus Prita Mulyasari, ibu dua anak yang ditahan karena
menulis di milis, menjadi panggung tambahan di saat menjelang Pemilihan
Presiden 2009 ini. Calon-calon presiden tak lupa memberi komentar
mengenai nasib tersangka pencemaran nama baik itu.

Calon presiden yang pertama kali bicara adalah Jusuf Kalla. Rabu 3 Juni
2009 kemarin, pukul 12.00, Kalla mengatakan, bila proses penegakan hukum
atas Prita itu tidak sesuai prosedur, ibu dua orang anak itu harus
segera dibebaskan.

"Kalau itu tidak benar, kita perintahkan bebas," kata Jusuf Kalla di
kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu,
3 Juni 2009.

Kalla pun mendesak agar polisi kembali mempelajari kasus antara Prita
melawan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang itu. Kendati demikian,
Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membebaskan tahanan.
"Lihat nanti saja dulu," ujar Kalla. Dan ucapan Kalla terbukti, Rabu
sore, Prita dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
karena status penahanannya berubah jadi tahanan kota.

Berselang tak lama saat Kalla bicara mengenai Prita, calon presiden
Megawati Soekarnoputri berencana berangkat ke LP Wanita Tangerang,
tempat Prita ditahan. Hal ini diungkapkan politisi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, dalam jumpa pers di gedung Dewan.

Sorenya, Megawati mengeluarkan pernyataan yang dikirimkan ke media-media
massa bahwa Prita adalah korban pelayanan buruk dari Rumah Sakit
berkelas internasional. "Namun, ironisnya, bukannya keadilan yang ia
peroleh, ia malah ditahan hanya karena curhat melalui email ke beberapa
temannya, mengeluhkan layanan buruk dari Rumah Sakit tersebut," kata
Mega secara tertulis.

Bahkan Mega pun menyinggung kasus Prita ini sebagai bukti dampak dari
neoliberalisme. "Di mana kekuatan pasar bebas dengan lembaga-lembaga
multi nasionalnya dapat dengan mudah menggunakan hukum seperti UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tampaknya
memang dibuat untuk memuluskan kepentingan neolib dengan mengalahkan
kepentingan asasi (kebebasan ekspresi) rakyat kecil," kata Mega.

Pukul 15.00, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bicara melalui Juru
Bicara Presiden, Andi Mallarangeng. Andi menyatakan SBY dan ibu negara,
Ani Yudhoyono, memberi perhatian besar pada kasus ibu dua anak itu.

SBY bahkan langsung menanyakan latar belakang dan penanganan kasus Prita
pada Jaksa Agung, Hendarman Supanji dan Kapolri, Jenderal Bambang
Hendarso Danuri dalam rapat terbatas hari ini, Rabu 3 Juni 2009.

"Presiden minta Jaksa Agung melihat kasus ini dengan baik dan upayakan
kasus hukum bisa berjalan dengan pas dan klop, serta sesuai dengan rasa
keadilan," kata Andi.

SBY, lanjut dia, meminta kasus Prita diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
"Bagaimanapun penegakan hukum harus menggunakan hati," tambah Andi,
lantas menambahkan pertanyaan presiden kepada para pembantunya adalah
hal biasa, bukan bentuk intervensi.

Dan bentuk perhatian terhadap Prita ini berlanjut sampai hari ini. Pukul
08.00 ini, Jusuf Kalla ditemui keluarga Prita di kediamannya di Jalan
Mangunsarkoro, Jakarta. Apakah perhatian ketiga calon presiden kepada
Prita ini bisa membuahkan pembebasannya saat diadili di Pengadilan
Negeri Kota Tangerang?

• VIVAnews

http://politik.vivanews.com/news/read/63372-aksi_para_calon_presiden_mendukung_prita

Arti Ekonomi Kerakyatan

Arti Ekonomi Kerakyatan

*Wahyu Prasetyawan*
PENELITI SENIOR LEMBAGA SURVEI INDONESIA, DOKTOR EKONOMI-POLITIK LULUSAN
UNIVERSITAS KYOTO, JEPANG

Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai
menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat
yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi
kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik,
karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden.
Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan
karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah
ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk
menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi
yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya
sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat
yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi,
ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat
miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja
digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang
berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan
ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah
ekonomi kerakyatan?

Pertama-tama dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak
dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam
pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan
pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan
tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak
dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat
pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan
berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan,
gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang
pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani
yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan
produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun.
Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga
produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan
berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan
ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori
masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut?
Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan
ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena
proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan
miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan
jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat
kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang
berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat
menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat
lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai
/pro-poor growth/ (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada
masyarakat miskin).

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang
mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi
ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan
konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia
mengadopsi model tersebut dan memberikan nama /broad-based growth/
(pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report
yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah
didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah /broad-based
growth/ berubah menjadi /pro-poor growth/. Elemen penting yang saling
terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin:
pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini
berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan
ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.

/Pro-poor growth/ sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih
banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil
pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan
ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain
itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya
menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang
pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan
promosi UKM.

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai
pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan
2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan.
Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang
investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak
menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius
dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak
menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru
menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah
dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam
jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk
dipertanyakan.

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat.
Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan
dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap
sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan
rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001).
Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7.
Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena
tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan?
Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang
dikenal adalah /pro-poor growth/. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada
rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam
bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan
bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah
mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam
pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya
dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah.
Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak
miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik,
konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang
memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan
sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan
banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini
membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin
yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan
ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil
ketimpangan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/04/Opini/krn.20090604.167130.id.html

Dani Rodrik: Deglobalisasi Dunia

/Deglobalisasi Dunia/

*Dani Rodrik*
Guru Besar Ekonomi Politik pada Harvard University, peraih pertama
Hadiah Albert O. Hirschman yang diselenggarakan Social Science Research
Council

Mungkin perlu waktu beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum Amerika
Serikat dan negara-negara ekonomi maju akhirnya pulih dari krisis yang
terjadi saat ini. Namun, ekonomi dunia tidak bakal seperti dulu lagi.
Bahkan, dengan berakhirnya krisis, kita kemungkinan besar akan berada di
sebuah dunia yang sudah tidak begitu global lagi di mana perdagangan
dunia bakal tumbuh lebih lambat, sumber keuangan eksternal berkurang,
dan nafsu negara-negara kaya untuk membiarkan defisit neraca pembayaran
yang besar juga berkurang. Apakah semua ini berarti bencana bagi
negara-negara berkembang?

Seharusnya tidak. Ada tiga varian pertumbuhan di negara-negara
berkembang. Pertama, pertumbuhan yang dipacu pinjaman luar negeri.
Kedua, pertumbuhan sebagai produk sampingan /booming/ komoditas. Dan
yang ketiga, pertumbuhan yang dipacu restrukturisasi ekonomi dan
diversifikasi produk-produk baru. Kedua model yang pertama lebih
berisiko dari yang ketiga. Kita tidak boleh lengah, karena model pertama
itu banyak cacatnya dan sulit bertahan. Yang harus lebih diperhatikan
adalah potensi bahaya yang dihadapi negara-negara yang berada di
kelompok terakhir. Negara-negara ini perlu melakukan perubahan besar
dalam kebijakannya guna menyesuaikan diri dengan realitas baru ini.

Kedua model pertumbuhan yang pertama itu pasti akhirnya mengalami jalan
buntu. Dengan pinjaman luar negeri, pemerintah dan konsumen bisa untuk
sementara hidup di luar kemampuannya. Tapi ketergantungan pada modal
asing bukan strategi yang bijaksana. Persoalannya, arus modal asing
bukan hanya bisa dengan mudah berbalik arah, ia juga menghasilkan model
pertumbuhan yang salah, bertumpu pada mata uang yang /overvalued/, yang
dinilai berlebihan, dan investasi di bidang barang dan jasa yang tidak
dapat diperdagangkan, seperti investasi di bidang perumahan dan konstruksi.

Pertumbuhan yang dipacu tingginya harga komoditas juga rentan meletus,
karena alasan yang sama. Harga komoditas cenderung bergerak dalam
siklus. Ketika harganya tinggi, komoditas cenderung menggeser investasi
di bidang industri manufaktur dan barang-barang non-tradisional yang
dapat diperdagangkan lainnya. Lagi pula, /booming/ komoditas sering kali
menghasilkan kebijakan yang buruk di negara-negara yang lemah
lembaga-lembaganya, sehingga berujung pada persaingan mendapatkan
/resource rent/ yang jarang diinvestasikan dengan bijaksana.

Maka, tidak mengejutkan jika negara-negara yang mengalami pertumbuhan
jangka panjang yang konstan selama enam dekade terakhir adalah
negara-negara yang mengandalkan strategi yang berbeda, yaitu memajukan
diversifikasi barang-barang manufaktur dan barang-barang "modern"
lainnya. Dengan merebut pangsa pasar yang semakin besar di dunia,
negara-negara ini meningkatkan peluang kerja di dalam negeri di bidang
industri yang berproduktivitas tinggi. Pemerintah di negara-negara ini
bukan hanya mengejar "fundamental" yang kuat (misalnya, stabilitas
makroekonomi dan orientasi ke luar), tapi juga mengejar apa yang bisa
disebut kebijakan yang "produktivis": mata uang yang /undervalued/, yang
dinilai rendah, kebijakan industri, dan kontrol keuangan.

Cina merupakan contoh pendekatan semacam ini. Pertumbuhannya dipacu oleh
transformasi struktural yang luar biasa cepat ke arah peningkatan
produksi barang-barang industri yang canggih. Pada tahun-tahun terakhir
ini, Cina juga menikmati surplus perdagangan yang besar /vis-à-vis/
AS--rekanan mata uangnya yang /undervalued/ itu. Tapi bukan cuma Cina.
Negara-negara yang tumbuh dengan cepat sebelum terjadinya krisis
keuangan 2008 juga memiliki surplus perdagangan (atau defisit yang
sangat kecil). Negara-negara ini tidak mau menjadi penampung arus modal,
karena langkah semacam itu akan mengacaukan upaya untuk mempertahankan
mata uang yang bersaing.

Sekarang sudah menjadi bagian kearifan umum bahwa neraca eksternal yang
besar--yang dicontohkan oleh hubungan perdagangan bilateral
AS-Cina--merupakan penyebab utama krisis keuangan. Stabilitas
makroekonomi global mengharuskan kita menghindari ketidakseimbangan
neraca perdagangan yang besar di masa depan. Tapi kembalinya pertumbuhan
yang tinggi di negara-negara berkembang juga mengharuskan mereka mulai
lagi berfokus pada barang dan jasa yang dapat diperdagangkan. Di masa
lalu, fokus ini diakomodasi oleh kesediaan AS dan beberapa negara maju
lainnya untuk membiarkan defisit perdagangan yang besar. Ini bukan lagi
strategi yang mungkin cocok bagi negara-negara berkembang yang besar dan
menengah.

Karena itu, apakah persyaratan bagi tercapainya stabilitas makroekonomi
global dan persyaratan bagi pertumbuhan di negara-negara berkembang itu
saling bertabrakan? Apakah perlunya negara-negara berkembang
meningkatkan pasokan produk-produk industri itu pasti bentrok dengan
ketidakseimbangan perdagangan yang tidak bisa ditoleransi itu?
Sebenarnya tidak ada konflik yang inheren bila kita memahami bahwa yang
penting untuk pertumbuhan di negara-negara berkembang bukan besarnya
surplus perdagangan, atau bahkan volume ekspornya. Yang penting adalah
produksi barang (dan jasa) industri modern yang dapat meningkat tanpa
batas selama permintaan dalam negeri juga meningkat pada saat yang sama.
Mempertahankan mata uang yang /undervalued/ punya sisi baik karena ia
mensubsidi produk barang-barang tersebut di atas; tapi ia juga punya
sisi buruk, karena ia membebani konsumsi dalam negeri--karena itulah
sebabnya ia menimbulkan terjadinya surplus perdagangan. Dengan mendorong
produksi industri secara langsung, kita mungkin memperoleh sisi baik
tanpa sisi buruknya.

Banyak cara melakukan hal ini, termasuk mengurangi ongkos /input/ dan
jasa dalam negeri melalui investasi di bidang infrastruktur yang
terencana. Kebijakan industri yang eksplisit bisa menjadi instrumen yang
bahkan lebih kuat. Kunci utamanya adalah bahwa negara-negara berkembang
yang peduli terhadap daya saingnya di sektor modern bisa membiarkan mata
uangnya terapresiasi (dalam arti riil) selama mereka punya akses
mengambil kebijakan alternatif yang mendorong kegiatan industri secara
lebih langsung. Maka, berita baiknya adalah bahwa negara-negara
berkembang bisa terus tumbuh dengan cepat bahkan jika perdagangan dunia
melamban dan nafsunya untuk menampung arus modal berkurang. Potensi
pertumbuhannya tidak akan terpengaruh benar selama implikasi dunia baru
ini terhadap kebijakan dalam negeri dan luar negerinya dipahami.

Salah satu implikasinya adalah bahwa negara-negara berkembang harus
mengganti kebijakan industri riil dengan kebijakan yang bergulir melalui
nilai tukar mata uang. Implikasi lainnya adalah bahwa aktor kebijakan
eksternal (misalnya Organisasi Perdagangan Dunia) harus lebih toleran
terhadap kebijakan-kebijakan ini selama efeknya terhadap neraca
perdagangan dinetralkan melalui penyesuaian nilai tukar mata uang yang
layak. Diterapkannya kebijakan industri yang lebih luas adalah harga
yang harus dibayar untuk mengurangi ketidakseimbangan makroekonomi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/04/Opini/krn.20090604.167131.id.html

Verifikasi dan Kekayaan Capres/Cawapres

Verifikasi dan Kekayaan Capres/Cawapres
Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar FE Universitas Trisakti


EBERAPA hari yang lalu kita menyaksikan KPK telah memverifikasi kekayaan
capres dan cawapres berdasarkan laporan yang disampaikan kepada KPK.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa kekayaan semua pejabat, baik yang
masih menjabat maupun yang sudah mantan pejabat mengalami kenaikan.
Kenaikan itu tidak bisa kita ketahui penyebabnya hanya dari laporan yang
ada di publik. Kenaikan itu bisa dalam bentuk wujud (fi sik), dalam
bentuk nilai, atau harga pasar dari wujud fi sik yang meningkat. Jika
kenaikan itu hanya dari sumber remunerasi dari gajinya (bukan dari
bisnis yang diterima dari korupsi), persepsi rakyat selalu ‘wah’ enak
sekali ya. Rakyat bisa menghitung dengan menjumlahkan gaji yang
diterimanya dengan masa kerjanya. Biasanya hal itu selalu menimbulkan
pertanyaan juga. Sementara itu, di negara maju, misalnya, di Amerika
seorang pejabat publik tidak jarang kita temukan kekayaannya justru
berkurang setelah menjadi pejabat. Kenapa demikian? Presiden adalah
jabatan nomor satu paling tinggi yang dimaui dan diincar semua orang, at
all costs. Kendatipun gaji resminya hanya sekitar 250 juta, di bawah
gaji seorang direktur utama bank besar. Namun, kalau disuruh pilih orang
akan lebih menyukai jabatan presiden, mengapa? B Karena, di luar
kehormatan besar (ini sifatnya imateriil) yang diberikan kepada seorang
presiden dan keluarganya, ada hal luar biasa (bersifat material) yang
bisa dinikmati seorang presiden, yaitu kekuasaan mendistribusikan
kekayaan. Di tangan presidenlah kekuasaan memilih orang menjadi pejabat
yang akan berkuasa mendistri busikan kekayaan negara lagi. Di tangan
menteri, dirjen, sekjen, pimpinan lembaga, direksi komisaris, BUMN,
kepala unit, duta besar, dan jabatan lainnya yang memiliki kekuasaan
untuk mendistribusikan siapa yang akan menerima kenikmatan kekayaan atau
harta. Seorang presiden membawahi menteri keuangan yang akan menyusun
RAPBN yang jumahnya hampir mencapai Rp1.500 triliun per tahun yang akan
dibagikan kepada berbagai proyek baik rutin maupun pembangunan.

Memang setelah reformasi ada pembagian kekuasaan dengan DPR atau DPRD
dalam hal pembagian (distribusi dan alokasi) kekayaan itu. Ini merupakan
jawaban atau yang menjadi salah satu penyebab banyak orang yang ingin
menjadi calo legislatif dengan segala biaya yang dibutukan dan sebagai
satu alas an mengapa banyak orang mendirikan partai politik. Permainan
dalam alo kasi anggaran inilah yang membuat bebe rapa Menteri, Gu
bernur, Bupati, Dir jen, anggota DPR dan DPRD menjad tersangka korups
Kekuasaan dalam mengalokasi anggaran itulah yang menjadi salah satu
peluang yang bisa dimanfaatkan semua pihak (jika mau), baik langsung
oleh pemegang kekuasaan tadi maupun dengan cara halus melalui client
atau koncokonconya dalam menikmati kekayaan Negara itu. Apakah saluran
kekayaan itu suatu saat akan bermuara ke kantung pemberi kekuasaan atau
tidak, itu terserah loyalitas hubungan mereka.

Dengan memahami skenario ini, kita tidak perlu heran jika para tokoh
elite, baik yang diusung menjadi capres dan cawapres serta tim suksesnya
melakukan berbagai hal yang kadang tidak etis untuk mencapai tujuannya.
Kenapa keadaan ini masih bisa terjadi di negara kita? Jawabannya
sederhana, karena kita masih membiarkan praktik korupsi dan
penyalahgunaan wewenang itu berjalan seperti biasa tanpa dianggap
sesuatu yang salah dan harus dihentikan secara serius. Kendatipun kita
memiliki KPK, Tap MPR, Irjen, MenPAN, BPK, BPKP, Bawasda, dan DPR semua
itu mandul.

Karena semuanya ikut memberikan kontribusi dalam membiarkan proses dan
sistem itu berjalan. Mereka bisa berkontribusi sebagai pelaku,
membiarkan praktik-praktik tersebut terjadi dengan menutup mata. Yang
dilakukan para koruptor saat ini adalah mencari jalan korupsi alternatif
yang lebih aman dengan cara yang lebih halus dan canggih. Agar
tindakannya itu tidak sempat menjadi objek para pemberantas korup si.
Kasus Antasari Azhar, oknum MA, oknum kepolisian, kejaksaan, Komisi
Yudisial, DPR, BPK, dan Bea Cukai membuktikan kebenaran hipotesa ini.
Terus bagaimana dengan kegiatan verifi kasi kekayaan capres yang
dilakukan KPK? Verifi kasi adalah memastikan apakah laporan yang
disampaikan itu benar atau tidak. Verifi kasi biasanya didasarkan pada
laporan. Objek verifi kasi adalah laporan yang diterima KPK.

Pertanyaan apakah laporan yang disampaikan kepada KPK oleh para Capres
sudah lengkap dan mencakup semua kekayaan yang dimilikinya? Jawabannya
belum tentu. Apakah dengan kegiatan verifi kasi kekayaan yang tidak
dilaporkan itu bisa terdeteksi. Menurut ilmu pengauditan, tentu verifi
kasi tidak bisa menjamin kebenaran suatu laporan dianggap menggambarkan
situasi yang sesungguhnya. Kita mengenal detection risk, ketika audit
atau verifi kasi yang dilakukan tidak menemukan kesalahan.

Tindakan verifi kasi tentu tidak cukup menjamin bahwa laporan hasil
verifikasi KPK nanti akan benar . Verifi kasi hanya salah satu kegiatan
audit dari berbagai kegiatan audit yang dibutuhkan untuk meyakinkan
kebenaran suatu laporan. Bahkan kendatipun semua prosedur audit
dilaksanakan itu tidak bisa menjamin bahwa seorang auditor menjamin
kebenaran laporan audit yang dilakukannya. Seorang auditor independen
(kalaupun independen) hanya sampai pada batas keyakinan bahwa laporan
yang diauditnya tidak mengandung kesalahan material. Apakah KPK itu
independen? Apakah laporan itu sudah lahir dari suatu sistem pelaporan
yang memiliki lingkungan yang sehat, trustee, budaya yang etis, dan
manusia dan staf yang jujur masih perlu dibuktikan. Untuk kasus kita di
Indonesia semua komponen sistem pelaporan yang baik itu diragukan.
Proses menyembunyikan kekayaan melalui berbagai cara apakah kepada
keluarga, atau klien, konco, masih sering terjadi. Apa yang dilakukan
KPK sebenarnya hanya sekadar persyaratan formalitas atau kepura-puraan
yang menjadi ciri bangsa kita, seperti yang di sitir Kak Seto, “Kita
semua berbohong”.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/04/ArticleHtmls/04_06_2009_017_002.shtml?Mode=0

Kerakyatan Vs Neoliberal

Kerakyatan Vs Neoliberal
Oleh Ichsanuddin Noorsy Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
Universitas Gadjah Mada


P ERSETERUAN aliran pemikiran di Indonesia kembali mengemuka setelah
Prof Dr Boediono dipilih menjadi cawapres untuk Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Boediono dengan latar belakang ilmu ekonomi dan kebijakan yang
diambilnya selama menjadi pejabat publik telah dituding sebagai
neoliberal. Wiranto dengan segala kiprahnya menawarkan ekonomi kemandirian.

Prabowo Subianto bersama perjalanan kehidupannya memasarkan ekonomi
kerakyatan. Jika dirunut ke belakang, perseteruan pemikiran ini berakar
pada paham individu versus paham kemasyarakatan atau individualis versus
sosialis.

Paham individualis berpijak pada kebebasan berpikir dan berbuat. Paham
sosialis berpijak pada kepentingan bersama di atas kepentingan individu.
Ketika masuk ke wilayah kehidupan bernegara, hal tersebut menjadi
perdebatan ideologi. Dalam untaian pemikiran lebih lanjut, hal itu
menentukan aliran pemikiran ekonomi.

Di Indonesia, perdebatan itu minimal sudah terjadi sejak BPUPKI
bersidang. Pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengatakan bahwa negara
menolak paham liberalisme, demokrasi ala Barat, fasisme dan negara
boneka. Soepomo mengambil paham negara integralistik, yakni penghidupan
bangsa seluruhnya. “Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang
paling kuat atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan
seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup
bangsa dan negara seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat
dipisah-pisahkan.” kata Soepomo.

Pada masa Bung Karno (BK), pemikiran itu dapat ditelusuri pada
tulisannya bertajuk Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, pada 1932.
Tulisan itu bermuatan pokok sosiodemokrasi.

Yakni, demokrasi politik bersamaan dengan demokrasi ekonomi. Dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila itu, BK mengatakan,
“Jika kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat
Indonesia, marilah kita terima prinsip persamaan politik dan di lapangan
ekonomi pun kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya.” Pada pemikiran Bung Hatta, hal itu dapat
dibaca pada Daulat Rakyat 1931, dengan menggunakan istilah perekonomian
rakyat sebagai lawan perekonomian kolonial yang berwatak perbudakan,
menghisap, diskriminatif, mau menang sendiri, dan serakah. Dari sana Moh
Hatta bersikap bahwa Indonesia belumlah merdeka, jika hanya dengan
demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi.

Aliran berpikir para pejuang itu dituangkan dalam Kata Pembukaan UUD
1945, Pasal 33 dan penjelasannya, serta Pasal 23, 27 Ayat (2), 31, dan
34. Kata kunci dari ekonomi kerakyatan itu adalah penjelasan Pasal 33
UUD 1945 yang dipangkas sejumlah ekonom Indonesia. Yakni, dalam Pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan semua, untuk
semua, di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

Pemikiran founding fathers itu dilanjutkan Sritua Arief, Mubyarto, dan
Sri Edi Swasono. Sritua Arief dengan pemikiran permintaan efektif yang
dalam kebijakan ekonomi berarti mengutamakan kekuatan nasional dan
penguasaan pasar domestik oleh pelaku nasional. Mubyarto dengan
pemikiran ‘sistem ekonomi Pancasila’-nya. Sementara itu, Sri Edi Swasono
dengan penolakan ekonomi subordinasinya. Revrisond Baswir, Hendri
Saparini, Iman Sugema, dan saya memahami dan menerjemahkan hal itu
sebagai Ekonomi Konstitusi.

Dalam bahasa yang lebih ringkas, barang dan jasa publik harus tetap
dikuasai, diatur, diperuntukkan, dan didayagunakan setinggi-tingginya
bagi kemakmuran rakyat luas, dan tidak didikte mekanisme pasar. Pada
perspektif ini, paham individualis tidak berlaku karena hajat hidup
orang banyak yang dijunjung. Karena Indonesia juga mengakui, menerima,
dan melakukan pergaulan internasional, dalam perekonomiannya bersifat
closed open circuit economy. Artinya, keuangan dan komoditas tertentu
diberlakukan tertutup selama domestik mengalami defisit.

Kebutuhan modal pembangunan, jika menggunakan pemikiran Sritua Arief,
berpijak pada permintaan efektif yang menciptakan tabungan nasional
sehingga tabungan ini dapat digunakan untuk investasi. Sementara itu,
kekurangan atau ketiadaan komoditas tertentu dipasok dari dalam negeri.
Jika kemampuan dalam negeri terbatas, pasokan dari luar negeri tidak
boleh menciptakan situasi ketergantungan. Itu berarti pembangunan harus
berpijak pada sinergi padat karya dan padat modal. Dari cara berpikir
ini jelas sekali bahwa menerima utang luar negeri nyaris tidak
diperkenankan. Apalagi sampai memenuhi syarat-syarat yang
menjungkirbalikkan ekonomi konstitusi.

Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang fi
lsuf yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai
penganut paham individualis dan pembela kaum industri, Smith
mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar
akan mampu menggenapi dirinya sendiri.

Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan
permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga
(pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan
keniscayaan memperoleh keuntungan semaksimal-maksimalnya.

Sekitar 1729 di Inggris lahir The Bubble Act, yakni melarang para
pemilik uang untuk menjualbelikan surat-surat utang. Kekuatan lobi para
pemilik modal pada penguasa luar biasa sehingga pada 1829 UU itu dicabut.

Bersamaan dengan dinamika perekonomian yang didukung keberhasilan
revolusi industri, maka pada awal abad ke-19 David Ricardo meyakinkan
kerabatnya tentang kegunaan dan keuntungan perdagangan internasional.
Sejak saat itu isu tentang pertarungan kaum merkantilis yang melindungi
kepentingan ekonomi nasional (dengan subjektivitas agar bisnis dan pasar
mereka tidak tergerus) berhadapan dengan kaum industriawan yang menolak
proteksionisme.

Puncak dari pergumulan ini adalah perebutan pasar serta sumber daya
energi dan produksi, maka lahirlah Perang Dunia I dan II.

Amerika Serikat (AS) tidak lagi menghendaki Eropa mendominasi
perekonomian. Sekaligus diperlukan strategi baru bagaimana mengatur
perekonomian dalam pergaulan internasional.

Pemikiran itulah yang melahirkan apa yang disebut Bretton Woods tiga
lembaga ekonomi, yakni (Bank Dunia, IMF, dan GATT yang kemudian menjadi
WTO) dan satu lembaga politik (PBB). AS-lah penentunya yang berhadapan
dengan Uni Soviet. Fokus utama tidak berubah, yakni mekanisme pasar
bebas, kebebasan korporasi meningkatkan skala ekonomi melalui perluasan
pasar melewati batas negara, tidak dikenal barang dan jasa publik.

Washington consensus Namun, liberalnya pasar ini menemui kegagalan
karena AS terus mengalami defisit ang garan dan defi sit perdagangan.
Karena itu, pada Juli 1971 Presiden AS Richard Nixon mengubah sistem
nilai tukar tetap menjadi mengambang dan cadangan devisa diubah dari
emas menjadi dolar AS. IMF ‘menerapkan’ pada anggotanya melalui Jamaica
Agreement pada 1976.

Toh, situasi perekonomian AS tidak berubah.

Perekonomian Inggris juga mengalami hal yang sama. Dua negara
‘sekandung’ itu berpendapat, kesejahteraan mereka beralih ke negara lain
terutama karena Jepang dan Jerman telah kembali menancapkan pengaruh
mereka dalam kancah perekonomian. Maka lahirlah Washington Consensus
sebagai koreksi atas kegagalan bangun pemikiran ekonomi Bretton Woods
berbasis ekonomi neoklasik. Konsensus itu bisa diringkas pada soal (1)
larangan menyubsidi rakyat dan membiayai penyediaan dan pengelolaan
barang dan jasa publik melalui istilah disiplin fi skal. (2) Jika
pemerintah sudah telanjur terlibat pada penyediaan barang dan jasa
publik, harus dijual kepada swasta. Itulah yang dikenal dengan
privatisasi. (3) Meliberalkan semua sektor perekonomian dengan
memberlakukan asas nondiskriminatif antara pelaku asing dan pelaku
nasional. Hasilnya adalah, AS dan terutama negara G7 serta negara-negara
yang berpatron ke prinsip neoliberal itu mengalami krisis lagi pada
Oktober 2008. Menurut catatan National Bureau of Economic Research,
krisis ekonomi yang disebut sebagai siklus bisnis itu sudah terjadi 33
kali sejak 1854 sampai dengan 2007.

Dalam kajian ekonomi politik dan sosiologi pembangunan, maka ekonomi
neoliberal selalu menghadapi kegagalan mengatasi pengangguran,
kemiskinan, dan ketimpangan. Ekonomi berbasis neoli beral sebagaimana
dikaji ilmuwan Barat sendiri telah membuat orang kaya makin kaya dan
kaum papa makin ternista. Neoli beral bahkan telah memosisikan pengusaha
berhadapan dengan rakyat.

Jan Tinbergen menemukan penyebabnya, yakni karena diterapkannya the
greedy capitalism (1992) yang oleh Joseph E Stiglitz disebut sebagai
market fundamentalism (2002). Dengan alasan itulah sejak awal the
founding fathers kita menolaknya dan membahasakan ideologi ekonomi
Indonesia sebagai sosialisme Indonesia, walau istilah itu tidak
ditemukan dalam UUD 1945.

Bagaimana ke depan? Tergantung kita, setia pada pemikiran anak bangsa
dan cinta pada rakyat Indonesia atau memilih aliran pemikiran ekonomi
yang selalu menemui kegagalan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/04/ArticleHtmls/04_06_2009_017_003.shtml?Mode=0

Tema Debat Capres Tak Fokus

Written By gusdurian on Minggu, 31 Mei 2009 | 12.37

Tema Debat Capres Tak Fokus

MINTA MASUKAN Capres dari PDIP, Megawati Soekarnoputri, bertatap muka
dengan para wartawan di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta,
kemarin. Megawati mendengarkan masukan-masukan untuk persiapan kampanye
pemilihan presiden.

JAKARTA (SI) – Tema debat calon presiden dan calon wakil presiden yang
digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai masih sangat umum.Kalangan
akademisi berpendapat tema debat perlu dipertajam.

Kemarin KPU menentukan lima tema debat yang berhasil disepakati dengan
tim kampanye tiga pasangan capres dan cawapres.Lima tema tersebut
Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta
Menegakkan Supremasi Hukum; Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran;
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Demokrasi, dan Otonomi Daerah;
Pembangunan Jati Diri Bangsa; dan Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia
Indonesia.Dari 5 tema itu,3 untuk debat antarcapres dan 2 tema untuk
debat antarcawapres.

Anggota KPU I Gusti Putu Artha mengatakan, tema-tema tersebut dinilai
telah mewakili permasalahan bangsa. Dari tema tersebut bisa diketahui
visi, misi, dan program para pasangan capres cawapres. ”Debat ini akan
dilaksanakan di masa kampanye pemilu presiden (pilpres),” kata I Gusti
Putu Artha di Kantor KPU kemarin. Adapun kampanye pilpres akan
dilaksanakan pada 2 Juni hingga 4 Juli 2009. Rektor Universitas
Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri menilai perlunya penajaman tema agar
didapatkan pandangan yang utuh dari pasangan capres-cawapres tentang
visi-misi pemerintahan ke depan.

Gumilar mencontohkan, pada tema “tata kelola pemerintahan yang baik dan
supremasi hukum” seharusnya pasangan capres-cawapres dapat memaparkan
gagasannya mengenai reformasi birokrasi. Sebab,hambatan membangun tata
kelola pemerintahan yang baik terjadi akibat saling ketidakpercayaan
antara kelompok masyarakat sipil,negara,dan sektor swasta. “Dari
calon-calon pemimpin tersebut seharusnya bisa digali pemikiran mengenai
pembenahan pada sektor birokrasi, yang merupakan representasi
negara,”ujarnya.

Gumilar juga berpendapat bahwa fokus pada tema pengentasan kemiskinan
dan pengangguran masih perlu untuk dipertajam. Mengingat 70% penduduk
miskin tinggal di pedesaan, capres sebaiknya mampu untuk memaparkan
gagasannya tentang pembangunan sosial di pedesaan. “Bagaimana mereka
(capres) mampu untuk memberikan jawaban dalam mengembangkan sumber daya
manusia di pedesaan di tengah kondisi minimnya aset,” ujarnya.

Gumilar mengingatkan, dalam debat capres mendatang sebaiknya perlu
digali lebih jauh mengenai pembangunan kepedulian terhadap isu-isu
penting peradaban. Saat ini peradaban manusia berhubungan erat dengan
masalah energi, krisis lingkungan, serta kependudukan. Wacana
peningkatan kualitas pendidikan pun harusnya menjadi perhatian penting.

Menonjolkan Program

Menurut Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Nur
Ahmad Fadhil Lubis, tema yang ditentukan KPU masih terlalu luas. Menurut
dia, presiden adalah pemimpin besar yang tidak harus memahami segala hal.

“Seharusnya dalam debat itu masing-masing capres diberikan kebebasan
untuk menonjolkan program apa yang mereka perjuangkan. Jangan dibatasi
oleh tema tertentu,karena kekuatan setiap pasangan pasti berbeda,”ujar
Nur Ahmad kepada Seputar Indonesiatadi malam. Dengan penentuan tema
seperti ini, peraih gelar doktor dari Universitas California, Los
Angeles,AS, itu berpendapat, ada pasangan capres tertentu yang lebih
siap untuk menghadapi debat dibanding yang lain. Dosen Fisip Universitas
Airlangga, Surabaya, Daniel Sparingga, menambahkan,lima tema yang
disiapkan KPU sebenarnya penting.

Hanya saja, tema-tema itu lebih layak dijadikan sebagai perdebatan
akademis.“Seperti di seminar atau didiskusikan di dalam kelas,”nilai
Daniel kemarin. Dia berpendapat,untuk konsep debat pilpres semestinya
lebih banyak mendengarkan tawaran dari para kandidat,terutama seputar
masalah-masalah mendesak yang tengah dihadapi bangsa ini. Misalnya
dengan melakukan identifikasi sepuluh permasalahan mendesak. Kemudian
dari hasil identifikasi itu, para kandidat harus memaparkan solusi,
termasuk jawaban-jawaban alternatif dari sepuluh masalah hasil
identifikasi itu.

“Dari beberapa alternatif itu mereka lebih memilih yang mana,”tambahnya.
Hal senada diungkapkan oleh dosen Fisip Universitas Sriwijaya Palembang,
Ardian Saptawan. KPU semestinya tidak memilih tema normatif yang hanya
bisa membuahkan silat lidah capres dan cawapres. Dia menilai tematema
tersebut terkesan tidak menarik dan debat yang akan disiarkan secara
nasional tersebut menjadi hanya sebagai rutinitas.

“Tidak ada tema bersifat terobosan, misalnya bagaimana mengoptimalkan
percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia,”saran Ardian. Guru besar
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf,
mengingatkan bahwa selain tema,peran moderator akan sangat menentukan.
“Yang penting justru kecerdasan moderator untuk terus mengembangkan,
mengeksplorasi, dan menggali hingga sekonkret mungkin langkah yang akan
dilakukan dan target-target si calon untuk membuat kondisi menjadi lebih
baik bila terpilih nanti,”ujar Asep kepada Seputar Indonesia kemarin.

Menurut dia, dengan kecerdasan dan pengetahuan yang sudah terjamin
mumpuni, para moderator idealnya benar-benar mengerahkan kreativitas dan
“kemampuan spontan” dalam merespons lontaran-lontaran para calon, baik
yang berbentuk serangan maupun pembelaan. “Di panggung debat tanpa
panelis ini, tentu moderator harus berani dan lincah ‘mengadu-adukan’
para calon. Adu argumen, adu gagasan,dan adu solusi.Dari sana bisa diuji
betul seperti apa kompetensi dan kapasitas setiap calon,”kata Asep.

Lima Moderator

Kemarin KPU sudah menetapkan moderator untuk setiap tema debat. Kelima
moderator yang dipilih KPU adalah Rektor Universitas Paramadina Anies
Baswedan, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Aviliani, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada
Pratikno,Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin
Hidayat, dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fachmi Idris.

Menurut I Gusti Putu Artha, teknis debat capres-cawapres kemungkinan
akan memakan waktu 90 menit. Menurut dia, format debat diawali dengan
pemaparan visi, misi, dan program kandidat selama 7 hingga 10
menit.Kemudian, moderator mempunyai waktu memberikan pertanyaan
pendalaman pada kandidat selama 30 menit.Terakhir adalah tanya jawab
antarkandidat yang dialokasikan selama 30 menit. Pembahasan tema debat
capres dan moderator berlangsung lima jam di salah satu ruang rapat
lantai dua Gedung KPU kemarin.

Pembahasan secara tertutup tersebut diikuti oleh anggota KPU I Gusti
Putu Artha; anggota Tim Kampanye Jusuf Kalla-Wiranto, Burhanuddin
Napitupulu; anggota Tim Kampanye Megawati Soekarnoputri- Prabowo
Subianto, Firman Jaya Daeli; dan anggota Tim Kampanye Susilo Bambang
Yudhoyono- Boediono,Milton Pakpahan. Menurut Milton, dalam pembahasan
tentang tema dan moderator, tidak ada yang alot secara substansial.

Sejauh ini dia sepakat dengan tema karena sudah
mewakilibeberapapermasalahanbangsa. Firman Jaya Daeli memberikan
beberapa masukan tentang tema debat. Dia mengatakan, perwakilan tim
kampanye pasangan yang lain juga memberikan masukan. Tapi memang masukan
tersebut akhirnya tidak di akomodasi.”Tapi ya tidak masalah, ini semua
untuk kepentingan bangsa,”ujarnya. Tim Mega-Prabowo, melalui Firman,
menerima kelima tema tersebut.Pasangan Megawati-Prabowo pun siap dengan
semua tema yang telah disepakati.

”Kita taat asas seperti yang telah disepakati,” ujar Firman. Begitu pun
Burhanuddin Napitupulu. Namun, dia lebih menyoroti agar dalam masa
kampanye dimunculkan kampanye yang damai dan menjunjung etika. ”Ya, kita
harapkan agar tidak ada upaya mencederai pasangan lain saat
kampanye,”ujarnya.

Sekadar diketahui,kelima tema yang sebelumnya diusulkan KPU adalah
strategi tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih terkait penegakan
hukum dan hak asasi manusia (HAM); strategi peningkatan untuk mewujudkan
ketahanan pangan dan mengatasi kemiskinan serta pengangguran; ilmu
pengetahuan dan keagamaan; lingkungan hidup; dan fokus pembangunan lima
tahun ke depan. Secara garis besar tema yang awalnya diusulkan KPU
tersebut tidak banyak berubah dengan tema yang akhirnya disepakati.

Hanya tema jati diri bangsa yang akhirnya masuk. Di sisi lain tema
spesifik HAM yang sebelumnya masuk usulan KPU dihilangkan. Namun, bukan
berarti tema tersebut dihilangkan sepenuhnya. ”Tema HAM akan masuk di
dalam tema penegakan hukum,” ujar I Gusti Putu Artha. (pasti
liberti/fakhrur rozi/ deny bachtiar/ kholil)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/242523/38/

Tuhan Itu Pemalu

DIRIWAYATKAN oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Rasulullah pernah
bersabda, sesungguhnya Allah itu pemalu dan pemurah.


Bila ada seorang hamba yang mengangkat tangannya bermohon kepada-Nya
dengan sungguhsungguh, Dia malu untuk menolaknya dan melihat hamba-Nya
kembali dengan tangan kosong. Salah satu sifat yang dimiliki oleh semua
Rasul Tuhan adalah sifat malu melakukan tindakan tercela, baik di
hadapan manusia maupun Tuhan.

Jika manusia tidak lagi memiliki rasa malu,tak ubahnya dia dengan
hewan.Orang yang berbudi luhur tidak saja malu melakukan perbuatan
tercela, bahkan melihat orang lain berbuat asusila saja sudah malu
rasanya. Contohnya sangat mudah dan sederhana. Kita semua pasti akan
malu sendiri melihat orang lain berjalan telanjang di tempat keramaian.
Kita malu membaca berita sekian banyak wakil rakyat korupsi.Kita malu
menyaksikan sikap dan omongan politisi tidak bermutu, padahal tingkat
pendidikannya tinggi dan selalu mengatasnamakan rakyat.

Rasulullah bersabda, rasa malu dan iman itu dijadikan pasangan, jika
hilang salah satu,maka hilanglah yang lain.Jadi,salah satu indikator
apakah seseorang atau masyarakat itu masih memelihara iman atau tidak,
perhatikan saja tingkat kesetiaannya dalam menjaga kehormatan diri
berupa rasa malu berbuat yang tidak baik. Salah satunya adalah
korupsi,berbohong, tidak menepati janji, dan sekian banyak perbuatan
tercela lainnya.

Betapa rasa malu itu sangat vital, mudah diamati pada keluarga yang
terkena musibah.Misalnya saja ada seorang ayah atau kepala keluarga
yangmemilikistatus sosialtinggidan terhormat, pasti anggota keluarganya
akan bangga padanya.Namun, ketika yang bersangkutan tiba-tiba
diberitakan media massa sebagai penjahat negara dan kemudian masuk
tahanan,peristiwa itu bagaikan bencana tsunami yang menghancurkan
kehormatan dan kebanggaan keluarga. Semua anggota keluarganya merasa
berat menanggungmalu.

Mungkin saja ada segelintir orang yang tidak lagi memiliki rasa
malu,sehingga masuk kategori hewan dan telah hilang imannya. Rasulullah
bersabda, ”Perbuatan keji itu kotoran,sedangkan rasa malu itu hiasan.”
Ungkapan ini singkat,padat,dan memiliki kebenaran universal. Di manapun
kita bepergian, entah di dalam ataupun di luar negeri, sebuah masyarakat
dianggap tinggi peradabannya ketika masih memiliki rasa malu. Meski
tingkat ekonomi dan teknologi sebuah negara tergolong maju,tetapi ketika
tak lagi menjaga rasa malu, maka hancurlah bangsa itu.

Di antara bangsa yang masih menjaga kehormatan dirinya dengan memelihara
rasa malu adalah Jepang. Seorang menteri akan rela mundur dari
jabatannya, bahkan melakukan harakiri, kalau gagal melaksanakan tugas
yang diamanatkan kepadanya. Belum lama berselang bahkan mantan presiden
Korea Selatan melakukan bunuh diri karena dituduh korupsi. Daripada
membuat malu bangsanya dan menjadi beban pemerintah, lebih baik
mengakhiri hidup dengan cara saya sendiri,katanya. Secara pribadi saya
tidak setuju tindakan bunuh diri.

Tetapi yang patut direnungkan dan diteladani adalah kuatnya rasa malu
ketika gagal mengemban amanat. Rasa malu ketika menyusahkan orang lain.
Rasa malu ketika melakukan tindakan tercela dan merugikan masyarakat.
Sifat dan sikap seperti initampaknya semakinmenipisdan hilang dari dunia
politik dan birokrasi di Indonesia. Sering kali ditemukan,petugas polisi
lalu lintas tidak malu menerima uang sogokan dari pengendara yang distop
karena salah jalan.Petugas birokrasi yang kewajibannya melayani rakyat,
tidak malu meminta uang pada tamu yang datang meminta hakhaknya untuk
dilayani.

Banyak politisi tidak malu mengejar dan meminta-minta jabatan, meski
dirinya tidak memiliki kompetensi. Demikianlah, setiap hari kita melihat
perilaku sosial di sekeliling kita yang menunjukkan sifat malu semakin
menipis di negeri yang katanya religius ini.Padahal, menurut sabda
Rasul, iman dan malu itu pasangan yang tidak terpisahkan, jika hilang
yang satu maka hilanglah yang lain.Ada masyarakat yang memiliki rasa
malu namun tanpa iman, ada lagi yang mengaku memiliki iman tapi
kehilangan rasa malu.

Jika untuk urusan dunia,mereka yang menjaga rasa malu tampak lebih baik,
meski tidak beriman. Tinggal ditambahi saja iman. Sebaliknya, meski
mengaku beriman, tetapi jika tidak disertai sikap malu, imannya pun
tidak membuahkan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakat.Padahal akhlak mulia atau ihsan merupakan buah yang
diharapkan keluar dari iman.

Allah sendiri memiliki sifat malu.Ini suatu kabar gembira bagi mereka
yang tengah dalam kesulitan agar jangan segan-segan selalu berdoa dengan
sungguh-sungguh kepada Tuhan, mengadu dan mohon pertolongan agar
diringankan semua beban hidupnya. Lebih diutamakan lagi datang dan
memohon pada Tuhan di tengah malam, di saat orang lain umumnya tidur
lelap.Tuhan malu pada hamba-Nya yang bangun di malam hari khusus untuk
beraudiensi dengan-Nya, memohon ampunan, rezeki, dan apa saja yang
sangat dihajatkan.

Tuhan malu jika hamba tadi pulang dengan tangan kosong. Jangankan Tuhan
Yang Maha Pemurah,kita sebagai manusia saja pasti malu dan tidak tega
jika ada pengemis,teman,atau saudara yang datang dari jauh minta
pertolongan. Pasti hati kita tergerak untuk membantunya. Kekuatan doa
ini banyak diceritakan dan diyakini, terutama oleh para orangtua kita.
Banyak keajaiban hidup dan cerita sukses yang sulit dicerna oleh nalar,
namun mereka yakin sekali semua itu merupakan buah dari doa yang selalu
dipanjatkan kepada Tuhan.

Doa yang paling sering dipanjatkan orang tua adalah memohon pada Tuhan
untuk kebaikan dan kesuksesan anak-anaknya. Saya yakin, banyak cerita
sukses anak muda yang sebagian besar kesuksesannya adalah berkat doa
orang tuanya. Bahkan ada orang tua yang tidak saja rutin bangun salat
malam, khusus berdoa untuk anak-anaknya, bahkan ada yang disertai puasa
Senin-Kamis.Mereka berpandangan,ibadah itu semata untuk Tuhan. Tak ada
konsep kirim pahala.

Namun mereka juga yakin, doa orang berpuasa dan bangun tengah malam akan
lebih diperhatikan Tuhan, mengingat Tuhan malu dan maha pemurah,
sehingga pasti akan mendengarkan dan mengabulkan doa hamba- Nya yang
disampaikan dengan sungguh-sungguh. Dalam sabda yang lain Rasulullah
memberitahukan, doa yang dikabulkan Tuhan adalah yang senantiasa
dipanjatkan, baik waktu senang maupun waktu susah.

Artinya, seseorang itu memang sungguhsungguh mengingat Tuhan tidak saja
waktu mendapat musibah, tetapi juga ketika menerima kemudahan dan
kesenangan. ”Kalau engkau tidak memiliki rasa malu, berbuatlah apa saja
layaknya hewan, karena yang membedakan manusia dan hewan adalah adanya
rasa malu,” Rasulullah mengingatkan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/242519/38/

LBH Pers Akan Advokasi Prita

LBH Pers Akan Advokasi Prita

”Undang-undang ini membuat publik trauma menyampaikan pendapat.”

*JAKARTA* - Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) akan mengadvokasi
Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang menjadi tersangka kasus
pencemaran nama baik melalui surat elektronik. “Tim kami tengah
mengumpulkan informasi dan siap memberi pembelaan,” kata Direktur
Eksekutif LBH Pers Hendrayana kepada /Tempo/ kemarin.

Prita, warga Vila Melati Mas Residence, Serpong, menjadi tahanan titipan
Kejaksaan Negeri Tangerang di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
sejak 13 Mei lalu. Ia mendekam di Paviliun Menara, ruang tahanan khusus
titipan yang menunggu persidangan.

Pengacara PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola Rumah Sakit Omni
Internasional Alam Sutra Tangerang, Risma Situmorang, mengatakan pangkal
kasus ini adalah pemeriksaan Prita pada 7 Agustus 2008. Awalnya ia
didiagnosis menderita demam berdarah dengue lantaran saat diperiksa
dokter Inda, dokter jaga di Unit Gawat Darurat, trombositnya hanya 27 ribu.

Dokter Inda meminta agar pasien dirawat. Keesokan harinya, dokter rawat
inap, dr Hengky, mendapati trombosit Prita mencapai 181 ribu alias
normal. Lima hari kemudian, kata Risma, Prita memaksa pulang dan pindah
perawatan ke RS Internasional Bintaro. Pada 15 Agustus 2007 dia menulis
surat di sebuah milis berjudul “Penipuan yang Dilakukan oleh RS Omni
Internasional Alam Sutra”.

Dalam surat itu, ia mengaku dipaksa rawat inap dengan bukti trombosit
mencapai 27 ribu. Ia juga meminta bukti hasil laboratorium, tapi
ditolak. “Padahal sudah dijelaskan, hasil itu tidak valid dan tidak
pernah dicetak,” katanya.

Pihak rumah sakit sudah memperingatkannya bahwa tulisan itu tidak benar.
Akhirnya RS Omni menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Tangerang.
Mereka menuntut Prita membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 384 juta.

Menurut Risma, rumah sakit dirugikan karena kasus ini. “Banyak kerja
sama yang dibatalkan,” ujarnya. RS Omni juga menuntut kerugian imateriil
sebesar Rp 500 miliar untuk memulihkan nama baik rumah sakit dan Rp 20
miliar untuk pemulihan nama baik dr Inda dan dr Hengky.

Dua pekan lalu, kata Risma, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan RS
Omni dan menyatakan Prita terbukti melawan hukum. RS Omni naik banding
karena pengadilan hanya menjatuhkan hukuman ganti rugi materiil Rp 384
juta dan imateriil Rp 50 juta untuk rumah sakit dan Rp 25 juta untuk
masing-masing dokter.

Rumah sakit juga menempuh jalur pidana dengan Pasal 310 KUHP tentang
pencemaran nama baik dan UU Teknologi Informasi. “Itu hak orang untuk
menempuh jalur hukum,” kata Risma.

Sebaliknya, Hendrayana menyesalkan sikap kepolisian yang dinilai tak
memahami latar belakang Prita menulis pengalamannya melalui /mailing
list/. “Prita kan ibarat mengadu. Akar masalahnya adalah ketidakberesan
pelayanan publik, bukan niat untuk mencemarkan nama baik institusi
tertentu,” ujarnya.

Menurut Hendrayana, aturan ini akan berdampak buruk terhadap iklim
kebebasan berpendapat di Indonesia. “Undang-undang ini membuat publik
trauma menyampaikan pendapat.”

Menurut catatan /Tempo/, sudah ada dua orang yang jadi korban
undang-undang ini. Selain Prita, korban lainnya adalah Narliswandi alias
Iwan Piliang, seorang wartawan yang dituduh mencemarkan nama baik
seorang anggota DPR.

Selain LBH Pers, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) juga
siap membela Prita. “Kami tengah mendalami kasus ini dan siap memberi
advokasi,” kata Dedi Ali Ahmad, Koordinator Advokasi PBHI.

PBHI berpendapat keluhan Prita dijamin oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Adapun UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 69/Menkes/PER/III/2008
tentang Rekam Medis tertanggal 12 Maret 2008 menjamin bahwa
pasien/konsumen berhak meminta rekam medis.

Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Nurkholis, meminta keluarga Prita mengadukan kasus ini ke
Komnas HAM agar bukti-bukti yang lebih lengkap bisa diperoleh. “Kalau
hanya itu (surat elektronik) yang jadi alasan penahanan, itu
berlebihan,” katanya. Menurut dia, jawaban rumah sakit atas keluhan itu
di milis yang sama sudah cukup.

Gugatan perdata rumah sakit terhadap Prita juga dinilai oleh Nurkholis
amat ganjil. “Kalau rumah sakit merasa rugi, si ibu itu juga sudah rugi
akibat pelayanan yang dialaminya,” katanya.

Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menampik berkomentar soal
kasus ini. “Tanya Kapolda saja,” kata dia kemarin. Adapun Kepala
Kejaksaan Negeri Tangerang Suyono tidak bisa dimintai konfirmasi. “Bapak
sudah tidur,” ujar istrinya saat dihubungi /Tempo/ via telepon. *FERY
FIRMANSYAH| REZA MAULANA| JONIANSYAH| ISTI
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/29/headline/krn.20090529.166561.id.html

SBY Akan Perhatikan Budaya

SBY Akan Perhatikan Budaya

JAKARTA (SI) – Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berpendapat,perhatian pemerintah terhadap kebudayaan nasional selayaknya
terus ditingkatkan seiring membaiknya perekonomian.


“Setiap kepala negara selalu ingin memerhatikan kebudayaan,meski sampai
saat ini belum sampai pada hal yang diinginkan.Tetapi kalau terpilih
kembali sebagai presiden, saya punya semangat memajukan kebudayaan,”
kata SBY saat memaparkan visi-misi dalam dialog Presiden dan Kebudayaan
yang diselenggarakan oleh Federasai Teater Indonesia (FTI) di Graha
Bakti Budaya,Taman Ismail Marzuki (TIM),Jakarta,kemarin.

SBY berharap kebudayaan lima tahun mendatang di negeri ini dapat
memiliki jati diri, karakter, dan budaya nasional yang menjadi pilar dan
dorongan agar Indonesia menjadi negara yang maju, bermartabat, dan
sejahtera.Menurut SBY, Indonesia modern dan maju adalah Indonesia yang
tidak kehilangan jati diri dan karakternya. Untuk mencapai ke arah itu,
diperlukan strategi, aksi, dan langkah-langkah yang konkret baik pada
tingkat nasional maupun tingkat daerah.

“Bagaimanapun, karakter, jati diri, dan budaya bangsa harus diperkuat
dengan cara yang tentu dapat kita pilih,” ujar SBY Pasangan capres
SBY-Boediono sore kemarin menghadiri dialog yang diselenggarakan oleh
seniman dan budayawan Indonesia di gedung Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki.Kehadiran pasangan SBY-Boediono merupakan pasangan capres
yang terakhir memenuhi undangan seniman dan Budayawan, setelah pasangan
JKWiranto dan Megawati-Prabowo pada hari Minggu lalu.

Acara yang berlangsung selama hampir 1,5 jam dipandu langsung oleh Vivi
Alayda Yahya dan Norca M Massardi. Empat budayawan ternama dihadirkan
sebagai panelis dalam dialog itu, dan masing-masing memberikan dua
pertanyaan secara bergiliran kepada pasangan SBY-Boediono yang terbagi
dalam dua sesi. Keempat budayawan tersebut adalah Taufik Abdullah,
Komaruddin Hidayat, Radar Panca Dahana, Taufik Ismail,dan Abdul Hadi.

Disaksikan langsung oleh para pimpinan partai pendukung koalisi,
pasangan SBY-Boediono menjawab dengan gamblang semua pertanyaan panelis
dan memberikan berbagai solusi serta masukan tentang kebudayaan
Indonesia ke depan.SBY-Boediono sempat meminta saran dari para panelis,
bagaimana memajukan budaya bangsa yang selama ini dinilai masih minim
dalam kehidupan masyarakat.

Mulai dari arti kebudayaan di mata SBY-Boediono sampai perlunya sebuah
undang-undang kebudayaan untuk memajukan budaya di dalam negeri, menjadi
sebuah dialog yang menarik untuk disimak.Pertanyaan panelis yang cukup
dalam memunculkan sebuah menu baru yang menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintahan ke depan. Selama empat tahun pemerintahannya, kata SBY,
kebudayaan di Tanah Air mengalami kemajuan yang signifikan. Hal itu
dapat tercermin dari bangkitnya industri perfilman dan industri kreatif
masyarakat yang mulai meluas dan menjadi tren akhirakhir ini.

Kemampuan ekonomi kreatif tersebut menurutnya harus terus didorong untuk
menghidupkan kembali kebudayaan daerah, serta mampu meningkatkan
pendapatan daerah. “Ekonomi kreatif, ekonomi berbasis budaya harus kita
letakkan pada konteksnya yang benar. Bukan komersialisasi budaya untuk
tujuan yang negatif, tetapi bagaimana keunggulan kita harus
didayagunakan untuk kemakmuran rakyat dan untuk kesejahteraan pelaku
budaya itu sendiri, yang barangkali belum mendapatkan atensi yang
sungguh-sungguh,” ujar SBY.

Sementara itu, Boediono mengatakan memang dibutuhkan sebuah korelasi
antara pembangunan ekonomi dan kebudayaan.Dengan tumbuhnya pembangunan
ekonomi, kebudayaan juga bisa berkembang dengan baik.“Tanpa pembangunan
ekonomi,kebudayaan di awang-awang,”tandasnya. Menjawab tentang anggaran
dalam APBN untuk kebudayaan yang sangat minim, Boediono mengatakan
rumusan APBN tidak hanya diajukan oleh pemerintah, tapi juga dibahas
bersama oleh DPR.

Untuk meningkatkan anggaran kebudayaan, budayawan diharapkan dapat
melobi DPR agar anggaran yang dibutuhkan dapat terealisasi. Presiden
Federasi Teater Indonesia Radar Panca Dahana pada kesempatan itu
mengeluhkan minimnya anggaran kebudayaan yang hanya 0,001% dari APBN
atau sekitar Rp500 miliar. Hal ini dia nilai sangat jauh dari memadai,
mengingat kebutuhan untuk memajukan sebuah kebudayaan membutuhkan biaya
yang cukup besar.

“Malaysia itu punya anggaran sebesar Rp1 triliun hanya untuk promosi
wisata, sedangkan Singapura Rp2 triliun. Kebudayaan harus jadi
fundamental kita.Paling tidak untuk memajukannya, kita harus membuat
pertemuan puncak (summit) khusus tentang kebudayaan,”paparnya. (rarasati
syarief)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/242505/

Tjipta Lesmana : Saling Sindir: Komunikasi yang Tidak Sehat

Saling Sindir: Komunikasi yang Tidak Sehat

Seorang pakar komunikasi politik Amerika mengemukakan empat syarat
penting yang harus dipenuhi seorang politisi untuk bisa memenangi
pemilihan presiden.


Pertama,integritas calon yang tinggi. Kedua, program kerja yang
ditawarkan calon memikat rakyat.Ketiga, organisasi politik yang efisien
sehingga mampu menggerakkan mobilisasi massa.Keempat, dukungan
“logistik“ (baca: dana) yang kuat. Untuk merealisasikan syarat pertama
hingga ketiga, komunikasi politik sangat dibutuhkan.Bagaimana calon
dapat “menjual“ dirinya sedemikian rupa sehingga rakyat bersimpati dan
memberikan dukungan menggebu-gebu, jika ia tidak pandai berkomunikasi
langsung dengan mereka?

Bagaimana rakyat tahu dan tertarik dengan program kerja calon jika tidak
ada public exposure secara masif oleh calon dan partainya? Bagaimana
mesin partai bisa digerakkan optimal jika para kader partai tidak
berkampanye kepada konstituennya, termasuk konstituen lawan? Aristoteles
memberikan ilmu kepada mereka—khususnya politisi— yang ingin
mempengaruhi orang banyak lewat komunikasi.

Sekitar 2.500 tahun yang lalu filsuf ini memperkenalkan dan mengajarkan
teori retorika di sekolahnya yang bernama Leceum. Menurut Aristoteles,
supaya retorika seseorang bisa efektif, ada 3 persyaratan yang harus
dipenuhinya, yaitu etos (integritas, harga diri, kemampuan intelektual),
logos (kemampuan menyodorkan argumentasi, nalar) dan pathos(kemampuan
membangkitkan emosi orang banyak, sehingga mereka menjadi
marah,gembira,atau sedih).

Menurut hemat saya, para politisi kita,termasuk calon presiden dan calon
wakil presiden,kerap lebih menonjolkan aspek pathos ketika mereka
melancarkan komunikasi politik (baca: kampanye).Kecenderungan ini
sah-sah saja.Yang perlu diingat,Aristoteles tidak pernah mengatakan
bahwa pathos itu dibangkitkan sembarang.Ketika komunikator mencoba
membangkitkan emosi pendengarnya, mereka tetap dituntut untuk memakai
argumentasi yang kuat. Ingat, kita berbicara dalam konteks proses
pemilihan presiden, sehingga unsur argumentasi bertambah penting.

Fenomena “saling sindir“ menunjukkan penggunaan pathos yang tidak tepat,
bahkan ngawur, karena sangat tidak substantif. Contoh: Kalla berkata,
“Lebih cepat,lebih baik.“ Pihak SBY menjawab: “Cepat tidak selalu aman.“
Tudingan Mega bahwa ”BLT membodohkan rakyat,” dibalas, “Daripada Mega
yang tidak membantu rakyat.”Prabowo berkilah ”Kenapa puas dengan 7%?
Kenapa takut menetapkan 12%?”sebagai reaksi atas pernyataan SBY bahwa
pertumbuhan ekonomi pada akhir 2010 bisa mencapai 7%.

Kwik Kian Gie menuding Boediono pengikut ekonomi Neoliberal, lalu Chatib
Basri membalas,“Kwik tidak bisa bedakan neoliberalisme dan Neozep.”
Rakyat, saya kira, tidak suka dengan sindir-menyindir yang
kekanak-kanakan ini. Politisi kita kerap lupa bahwa komunikasi politik
yang diperlukan haruslah yang berkualitas, bukan asal-asalan.Dalam
proses komunikasi politik,pesan diibaratkan peluru.Karena pemilu identik
dengan peperangan (election is war), maka peluru-peluru itu tidak boleh
dimuntahkan seenaknya, melainkan harus tepat sasaran dan tepat waktu.

Begitu juga dengan pemilihan presiden: pesanpesan yang disampaikan
kepada rakyat haruslah tepat sasaran dan tepat waktu, sehingga dapat
menimbulkan efek yang optimal sesuai yang dikehendaki. Ekonomi
neoliberal yang bagaimana? Ekonomi kerakyatan yang bagaimana? Rakyat
kita seolah sedang menyaksikan tontonan berjudul “Neoliberal lawan
Kerakyatan”.

SBY-Boediono digambarkan sebagai representasi kubu neoliberal, sedangkan
Mega-Prabowo kerakyatan. JK-Win? Sepertinya berdiri di
tengah-tengah,mengambang. Tapi apa itu ekonomi kerakyatan dan bagaimana
implementasinya? Mega-Prabowo sampai sekarang tidak pernah
menjabarkannya secara eksplisit.Mereka hanya berteriak dan
menyerang.Namun, pada akhirnya serangan menampar diri sendiri.

*** Sistem ekonomi neoliberal bukan isapan jempol, tapi riil.
Penggagasnya adalah John Williamson. Konsepnya disebut juga “Washington
Consensus”. Sistem ekonomi ini mengandung dua prinsip dasar, yakni free
tradedan free market.Ada sekitar 10 karakteristik ekonomi neolibiral
ini, yang utama adalah (a) kebijakan fiskal yang ketat, (b) pencabutan
subsidi, (d) privatisasi BUMN, (e) reformasi sistem perpajakan, dan (f)
kebebasan investasi modal asing. Tentu, “Washington Consensus” juga
mengandaikan “cengkeraman” asing kepada bangsa sedang berkembang.

Mereka seperti sinterklas memberikan banyak utang kepada kita.Namun,di
balik sikap yang simpatik itu, mereka berusaha mendikte kebijakan
perekonomian kita. Neoliberal di negara kita tampaknya mulai berkibar
setelah Orde Baru runtuh.Maka,pemerintahan Megawati—juga Habibie dan Gus
Dur—sesungguhnya juga berwatak neolib.Penjualan(bahasakerennya:
privatisasi) BUMN digenjot habishabisan pada era Megawati.Campur asing
dalam perekonomian terasa sekali, misalnya dalam menyusun sebuah
undang-undang, atau pengurangan subsidi BBM.

Para menteri yang duduk dalam pemerintahan Megawati selalu mengklaim
mereka tidak salah. Penjualan BUMN semata-mata implementasi dari amanat
rakyat yang dituangkan dalam Ketetapan MPR ketika itu. Memang Bab IV
GBHN 1999–2004 dengan jelas memerintahkan pemerintah untuk
“mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan
terjadinya struktur pasar modal monopolistik dan berbagai struktur pasar
yang distortif yang merugikan masyarakat.

”Bukankah amanat MPR ini berwatak neoliberal? Tentang BUMN,GBHN
1999–2004 juga menegaskan, “Bagi badan usaha milik negara yang usahanya
tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi
melalui pasar modal.” Dengan “senjata” TAP MPR tentang GBHN ini
pemerintahan Gus Dur dan Megawati pun melego banyak BUMN. Nah, dalam
komunikasi politik para calon presiden dan calon wakil presiden, kenapa
substansi tidak dijabarkan secara rinci agar rakyat mengetahui duduk
persoalan yang sebenarnya?

Kenapa yang ditonjolkan hanyalah sindir-menyindir yang hanya
membangkitkan rasa kebencian satu sama lain? Jika fenomena
sindir-menyindir ini berlangsung terus, kita khawatir massa akar rumput
lamakelamaan akan terpancing, kemudian melakukan tindakan-tindakan
destruktif yang hanya merugikan rakyat kita.(*)

Tjipta Lesmana
Pengamat Politik dan Pakar Komunikasi Politik


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/241973/