BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pesan Sponsor ’Soekarno Kecil’

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 12.14

Pesan Sponsor ’Soekarno Kecil’
Prabowo Subianto ngotot menjadi calon presiden. Dipesan kawan dekat dan penyandang dana.
PERMADI, SH, 69 tahun, punya mimpi menyatukan dua Soekarno. Yang pertama adalah Prabowo Subianto, calon presiden Partai Gerindra, yang disebutnya Soekarno kecil. Yang lain: Puan Maharani, cucu proklamator itu. Permadi, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini menjadi anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, ingin keduanya menjadi calon presiden dan wakil presiden. ”Ini pasangan hebat,” kata Permadi, Jumat pekan lalu.
Dengan modal suara 4,5 persen, berdasarkan perhitungan cepat, Prabowo percaya diri dan lincah mencari kawan koalisi. Ia datangi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, dan seteru lamanya, Wiranto, yang juga bos Partai Hati Nurani Rakyat. Ia juga sowan ke kediaman pemimpin Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir, dan orang nomor satu di Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, serta sejumlah partai kecil. Kepada mereka, Prabowo menjajakan diri sebagai calon presiden.
Semula putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini tidak pasang harga tinggi. Ketika berkunjung ke rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, sebelum pemilu legislatif, ia menyatakan bersedia dijadikan calon wakil presiden. Sehari setelah pemilu, saat Prabowo bertandang lagi ke kediaman Megawati, kembali ia tegaskan sikapnya itu.
Menurut sumber Tempo, dua orang yang mendorong Prabowo menjadi calon presiden adalah Permadi dan Direktur Gerindra Media Center Haryanto Taslam. Kepada Prabowo, kedua orang ini menyatakan Megawati sudah tidak bisa lagi ”dijual” dalam pemilu. Argumentasinya, saat menjabat sebagai presiden incumbent pada Pemilu 2004, ia kalah melawan Yudhoyono. Padahal, sebagai presiden, Mega tak kekurangan sponsor. ”Sekarang apa modal Megawati? Rapat Kerja Nasional PDIP saja tidak dilaksanakan di hotel, kok,” kata sumber Tempo. Permadi menampik tudingan menjadi ”kompor” Prabowo. Tapi ia menyatakan ”memiliki banyak kesamaan pemahaman dengan Prabowo”.
Menurut Permadi, jabatan wakil presiden dalam konstitusi hanyalah pelengkap penderita. Padahal Prabowo punya agenda melakukan perubahan dan itu, kata Permadi, hanya bisa dilakukan jika ia menjadi presiden. ”Pak Prabowo itu pintar dan petarung,” ujarnya.
Sumber lain mengatakan Prabowo ngotot menjadi calon presiden juga karena pesanan penyandang dana: pengusaha Hashim Djojohadikusumo, yang tak lain dari adiknya sendiri. Sumber Tempo menyebutkan Hashim mengatakan ini dalam beberapa kali rapat terbatas dengan Prabowo dan timnya. Prabowo juga menegaskan kembali ihwal ini saat berkunjung ke rumah Jusuf Kalla. Malkan Amin, orang dekat Jusuf Kalla, membenarkan soal permintaan Prabowo itu. Adapun Haryanto Taslam menyangkal soal faktor Hashim tersebut. ”Pendukung Prabowo ingin dia menjadi presiden. Sebagai adik, Pak Hashim tentu mendukung,” kata Haryanto.
Apa pun, Jusuf Kalla emoh dengan Prabowo dan memilih Wiranto sebagai pendamping. Jumat pekan lalu, keduanya menyatakan secara terbuka sebagai pasangan yang siap berlaga.
Prabowo juga tidak mungkin menempel ke Partai Amanat Nasional. Dalam Rapat Kerja Nasional di Yogyakarta, Sabtu malam, pekan lalu, partai matahari biru itu telah mengibarkan bendera: berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mencalonkan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Mimpi Permadi menyatukan dua Sukarno masih belum menembus pagi.
Sunudyantoro, Munawwaroh, Iqbal Muhtarom

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/04/LK/mbm.20090504.LK130241

Hikmah Kasus Antasari Azhar

Hikmah Kasus Antasari Azhar

Oleh Bambang Widjojanto
Sebagai orang nomor satu di KPK, segala sikap, perilaku, dan gerak-geriknya diperhatikan banyak kalangan.
Itu sebabnya saat rumor keterlibatan Antasari Azhar merebak menjadi sinyalemen dan perlahan kian terungkap terkait pembunuhan Nasrudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, banyak pihak makin penasaran dan sebagian menjadi shock.
Gile bener, belum genap satu hari Antasari menyatakan ”saya tidak terlibat” kasus pembunuhan Nasrudin, keesokannya lembaga Kejaksaan Agung—tempat Antasari membangun karier puluhan tahun—justru mengumumkan, Antasari adalah salah satu tersangka dalam pembunuhan Nasrudin, dengan kualifikasi otak pembunuhan berencana. Kenekatan macam apa yang membuat Antasari melakukannya?
Apresiasi
Lepas dari salah tidaknya dan terbukti tidaknya Antasari dalam tuduhan pembunuhan yang akan diungkap dalam proses persidangan, ada beberapa hal yang perlu diapresiasi dan pelajaran penting yang bisa dipetik hikmahnya agar proses penegakan hukum senantiasa ditingkatkan.
Pihak penyidik dari kepolisian perlu diapresiasi karena telah membuktikan kerja profesional yang amanah dan tidak berpihak akan selalu membuahkan hasil dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Jika kepolisian bertindak serupa dan tidak berpihak dalam membongkar kejahatan pidana di Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, dugaan keterlibatan money politics beberapa kandidat anggota legislatif dan menerima laporan Bawaslu atas berbagai pelanggaran pidana pemilu yang terjadi secara masif di sejumlah daerah pemilihan, citra dan kepercayaan lembaga kepolisian akan terus meningkat.
Tindakan kejaksaan juga perlu diapresiasi. Ini terkait dengan transparansinya untuk mengambil inisiatif guna memberitahukan kepada publik atas tindak pencekalan yang harus dilakukan guna merespons permohonan penyidik agar orang yang dituduh melakukan tindak pidana tidak melarikan diri. Kita perlu berupaya agar lembaga kejaksaan tidak diskriminatif sehingga tidak lagi terjadi anggotanya yang diduga terlibat memperjualbelikan barang bukti narkoba justru terkesan dilindungi.
Status
Terkait dengan kasus pembunuhan dan pada konteks kedua lembaga itu, perlu dilakukan klarifikasi agar tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan publik, apa status hukum Antasari? Dalam jumpa pers, Kejagung menyatakan, Antasari dicekal selama satu tahun karena sudah ditetapkan sebagai tersangka otak pembunuhan oleh Mabes Polri. Surat yang diterima Kejagung menyatakan, Antasari telah ditetapkan sebagai tersangka, Kamis (30/4), yang ditandatangani Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji.
Pihak Antasari melalui kuasa hukumnya menyatakan, yang dipegang Antasari adalah surat panggilan Polri, bukan surat Bareskrim yang dikirimkan ke Kejagung yang digunakan untuk meminta pencekalan. ”Antasari Azhar sudah menerima surat panggilan sebagai saksi dan akan diperiksa pada Senin, sekaligus membantah berita bahwa yang bersangkutan sudah menjadi tersangka”. Yang menarik, pihak kepolisian belum menjelaskan apa status Antasari dalam kasus itu.
Tindakan KPK juga perlu diapresiasi karena telah mengambil langkah proporsional dan meletakkan posisinya dalam keseluruhan kasus Antasari guna menjaga kepentingan lembaga. Pimpinan KPK menjelaskan, ”Yang diketahui pimpinan KPK adalah salah satu surat panggilan kepada Pak Antasari sebagai saksi.” Sedangkan untuk penyidikan, KPK menolak berkomentar karena yang berwenang adalah penyidik Mabes Polri. KPK tidak punya kapasitas menanggapi perkara ini. Pimpinan KPK juga sepakat menonaktifkan Antasari sebagai Ketua KPK dan memberikan jaminan, KPK akan terus menjalankan tugas dan kewenangan seperti biasa.
Langkah strategis
Apa yang sudah dilakukan KPK tampaknya sudah cukup. Namun, KPK dinilai perlu melakukan beberapa langkan strategis lain. Pertama, KPK harus memikirkan langkah lebih tegas untuk menunjukkan komitmen serius dan bertindak zero tolerance atas setiap sikap dan perilaku menyimpang sekecil apa pun dari unsur pimpinan KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan, pimpinan KPK diberhentikan bila menjadi terdakwa karena tindak pidana kejahatan. Itu sebabnya status Antasari harus diperjelas. Bahkan, Antasari dapat diberhentikan bila berhalangan tetap atau terus-menerus selama lebih dari tiga bulan tidak dapat melaksanakan tugas, sesuai dengan Pasal 32 Ayat (2) Huruf d UU No 30/2002.
Kedua, KPK harus me-review untuk menegakkan kode etik dan perilakunya secara konsisten. Ada indikasi, keterlibatan Antasari terkait dugaan pidana terjadi saat sedang menjalankan hobi. Padahal, hobi itu pernah dilarang dalam kode etik.
Ketiga, KPK perlu melakukan revive menyeluruh, apakah tindakan Antasari terkait kewenangannya sebagai pimpinan. Hal ini merupakan isu amat krusial dan sensitif dan perlu dilakukan secara obyektif. Tujuannya agar tidak ada peluang sekecil apa pun unsur pimpinan KPK menggunakan kewenangan untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan itu.
Keempat, KPK dengan segala keberhasilannya mempunyai banyak ”musuh” yang potensial menggunakan isu Antasari untuk ”mendelegitimasi” kewenangan KPK serta ”merusak” citra dan kepercayaan publik kepada KPK. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mengelola damage control agar citra dan kepercayaan publik atas KPK dapat senantiasa ditingkatkan.
Kelima, KPK seyogianya melakukan self control serta pembersihan atas segala sikap dan perilaku yang potensial menyimpang dari tujuan didirikannya KPK. Ada banyak suara miring yang perlu direspons dengan jujur dan elegan terkait obyektivitas KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Semoga kasus Antasari segera dibawa ke persidangan, dan lembaga penegakan hukum dapat mengambil manfaat atas kejadian itu.

Bambang Widjojanto Dosen Universitas Trisakti; Advisor Partnership dan Senior Lawyer di WSA Lawfirm
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/05/02544017/hikmah.kasus.antasari.azhar

Warna Baru Parlemen Jakarta

Warna Baru Parlemen Jakarta
Purnawirawan jenderal bukukan suara terbanyak.
Wajah parlemen Jakarta dipastikan bakal lebih berwarna selama lima tahun ke depan. Pemilihan calon anggota legislatif yang baru saja selesai telah menelurkan wajah-wajah baru di parlemen, dari artis, jenderal, hingga tokoh pemuda Betawi.
Dalam daftar terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Jakarta, Ahad lalu, tercatat ada 70 "orang baru" di antara 94 kursi yang diperebutkan. Sisanya, 24 orang, pernah menduduki posisi sebagai anggota Dewan periode 2004-2009.
Dari nama-nama baru itu, terselip selebritas Wanda Hamidah. Calon legislator dari Partai Amanat Nasional itu berhasil memperoleh kursi setelah mengantongi 8.768 suara dari wilayah pemilihan Jakarta Selatan. Dengan pencapaian itu, Wanda menjadi satu-satunya artis yang masuk ke Kebon Sirih. Aktor komedi Mandra juga maju sebagai calon legislator dari Partai Amanat Nasional, namun jumlah suaranya rontok.
Wanda mengaku yakin bakal terpilih. "Karena saya bekerja keras selama enam bulan terakhir, door to door mencari simpati dan tidak mengandalkan popularitas," tuturnya kepada Tempo kemarin.
Perempuan kelahiran 21 September 1977 itu berharap bisa berkontribusi dalam pembuatan peraturan daerah yang meniadakan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi warga miskin. "Saya ingin nggak ada lagi bayi-bayi yang disandera di rumah sakit karena orang tuanya tak mampu membayar," katanya.
Ada nama baru yang cukup tenar di Jakarta, yakni Abraham Lunggana atau yang lebih dikenal sebagai Haji Lulung, tokoh pemuda Tanah Abang. Calon legislator dari Partai Persatuan Pembangunan itu mengantongi 11.403 suara. Selain aktif di partai, Abraham menjadi Sekretaris Badan Musyawarah Betawi dan aktivis Pemuda Panca Marga.
Kalangan militer juga kebagian kursi. Tercatat, ada dua pensiunan jenderal duduk di parlemen DKI, yakni Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Berlin Hutajulu dan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Ferial Sofyan. Berlin memperoleh 8.788 suara di Jakarta Pusat. Sedangkan Ferial mencatat angka fantastis, 56.595 suara, sehingga membukukan diri sebagai anggota parlemen dengan suara terbanyak.
Ada juga para mantan pejabat Pemerintah Provinsi DKI yang mendapat kursi. Mereka adalah mantan Wali Kota Jakarta Utara Suprawito yang mewakili Partai Hati Nurani Rakyat, serta mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Syahrial dari PDI Perjuangan.
Keberadaan wajah-wajah baru di parlemen Jakarta itu bisa mengkhawatirkan jika mereka tidak segera melengkapi diri dengan tambahan wawasan tentang Jakarta. "Mereka harus menganalisis permasalahan yang terjadi di Jakarta," kata Amir Hamzah, pengamat kebijakan politik metropolitan dari Cabin for Watch and Empowerment, kepada Tempo kemarin.
Menurut Amir, jika ada anggota Dewan yang tidak tahu kendala yang dihadapi DKI selama ini, hal itu akan menghambat pembangunan. "Bisa mengancam pembangunan Jakarta," tutur Amir. Jika hal itu terjadi, "Pembangunan pada 2010 bisa sama dengan pembangunan 2008 dan 2009," ujarnya.
Di antara orang-orang yang berhasil bakal berkantor di Kebon Sirih, ada satu orang yang tersangkut kasus pidana pemilu. Nur Afni Sajim, calon dari Partai Demokrat, pada Februari lalu sempat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena melanggar waktu kampanye. Ia divonis bebas.
Anggota Komisi Pemilihan Umum DKI, Sumarno, mengatakan Nur Afni tetap bisa maju sebagai anggota Dewan sekalipun proses hukumnya tetap berjalan. "Pidana yang dikenakan tak serta merta menggugurkan pencalonan ataupun keanggotaannya di legislatif setelah terpilih," kata dia.
Menurut Sumarno, para anggota parlemen baru itu akan segera dilantik setelah masa jabatan anggota Dewan yang lama berakhir pada Agustus mendatang. "Kami segera melayangkan surat tembusan kepada parpol yang berisi nama-nama caleg ini sebagai langkah selanjutnya," tutur Sumarno. FERY FIRMANSYAH| EKA UTAMI| RUDY PRASETYO| ISTI
Yang Bertahan di Kebon Sirih
Dari 24 nama lama yang bertahan, ada 10 nama yang sudah dikenal masyarakat:
1. Nurmansyah Lubis (PKS)
2. Selamat Nurdin (PKS)
3. Prya Ramadhani (Golkar)
4. Igo Ilham (PKS)
5. Triwisaksana (PKS)
6. Nurjannah Hulwani (PKS)
7. Sayogo Hendrosubroto (PDIP)
8. Inggard Joshua (Golkar)
9. Maringan P. (PDIP)
10. Ahmad Husin Alaydrus (Demokrat)
EKA UTAMI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Metro/krn.20090505

Hatta dan Boediono bak Menghitung Kancing

Hatta dan Boediono bak Menghitung Kancing


Siapa calon wakil presiden (cawapres) yang bakal digandeng Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Sampai kemarin,masih menjadi tanda tanya.Namun nama Hatta Rajasa dan Boediono menguat,mengapa?


Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku telah mengantongi nama cawapres pilihannya. PengakuanSBYsaatmenggelar konferensi pers di Hotel Intercontinental, Jimbaran,Bali,Minggu (3/5), merupakan sinyal kuat siapa yang akan dia pilih. Hal itu dia lakukan hanya berselang sehari setelah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN memutuskan koalisi dengan Demokrat dan menduetkan Hatta sebagai cawapres SBY.

Jika mengaitkan pernyataan SBY dengan tawaran yang diajukan partai-partai politik, sudah bisa diprediksi siapa nama yang sudah dikantongi SBY. Setidaknya, bersamaan dengan pernyataan pers tersebut, sudah dua nama tokoh parpol yang disodorkan untuk berdampingan dengan SBY,yakni Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Hatta Rajasa (PAN).Di luar kedua nama tersebut, ada tokoh lain,yakni Akbar Tanjung (Golkar), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), danGubernurBIBoediono.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga telah bergabung dalam koalisi dengan Demokrat, belum juga mengajukan nama cawapres. Perolehan suara yang tidak signifikan dalam Pemilu 2009 membuat modal bargaining position mereka lemah dalam koalisi. Karena itu, sulit menyodorkan nama cawapres kepada SBY.

Dengan demikian, posisi cawapres asal parpol kini tinggal mengerucut pada dua nama, yaitu Hidayat Nur Wahid dan Hatta Rajasa. Sementara peluang Akbar tampaknya semakin sulit karena Jusuf Kalla sudah ”mengunci” tokoh-tokoh Golkar lewat manuver koalisi besar dengan PDI Perjuangan, Hanura, dan partai-partai politik lainnya. Hidayat memang cukup populer sebagai cawapres SBY.Jejak rekam (track record)-nya yang bersih dan background sebagai mantan Presiden PKS maupun Ketua MPR,membuat dirinya punya nilai tawar tersendiri.

Sayangnya,kerja sama Hidayat dengan SBY belum pernah teruji. Apalagi Hidayat memiliki resistensi di kalangan kader Demokrat. Jika merujuk pada lima kriteria yang diajukan SBY bagi cawapres, bisa dipastikan Hidayat terganjal kriteria ketiga, yakni tingkat akseptabilitas di masyarakat secara luas.Berdasarkan kalkulasi tersebut, maka peluang Hatta semakin besar. Hatta sudah terbiasa bekerja sama dengan SBY. Dia juga memiliki tingkat akseptabilitas lebih tinggi dibanding Hidayat.

Di luar tugas Hatta sebagai pembantu Presiden SBY, dia kerap disebut sebagai seorang yang menjembatani pertemuan antara SBY dan para tokoh partai lain.Dalam catatan Seputar Indonesia, selama dua bulan terakhir,Hatta berhasil menjadi mediator pertemuan antara SBY dan MS Kaban (PBB), Muhaimin Iskandar (PKB), Hilmi Aminuddin (PKS),Amien Rais (PAN), dan Suryadharma Ali (PPP). Pertemuan itu untuk menentukan langkah-langkah koalisi bersama.

Pertemuan para tokoh partai Islam dengan SBY itu untuk selanjutnya ditindaklanjuti pembahasannya oleh Tim Sembilan Partai Demokrat.Pertemuan SBY dengan para tokoh partai selalu dilakukan di kediaman pribadinya di Puri Cikeas, Bogor. Dari sinilah, Hatta terbukti memiliki kriteria sebagai orang yang loyal kepada atasannya dan memiliki akseptabilitas yang bisa diterima oleh partai mana pun. Dari kriteria cawapres yang disyaratkan oleh SBY, terlihat bahwa SBY akan memilih seorang cawapres yang memiliki kecocokan figur dengan dirinya.

Dan Hatta pun, tampaknya memenuhi kriteria yang dimaksud oleh SBY dan memiliki chemistryyang pas. Peluang Hatta untuk terpilih menjadi cawapres SBY juga bisa dinilai dari pertemuan antara SBY dan pendiri PAN, Amien Rais, di awal [akan kedua April lalu.Amien yang terkenal sangat kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintahan SBY, dalam waktu singkat bisa mengubah haluan politiknya seusai pertemuan itu.

Bahkan seminggu setelah bertemu SBY, tepatnya pada Minggu (19/4),Amien menggelar pertemuan silaturahmi di pendopo rumahnya di Yogyakarta.Tanpa di hadiri oleh Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, saat itu Amien sudah langsung mengumumkan cawapres dari PAN yang akan disandingkan oleh SBY, yaitu Soetrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Selain mempertimbangkan cawapres dari kalangan partai politik, SBY pernah mengatakan bisa saja mengambil cawapres dari nonparpol.

Nama teknokrat yang akrab disebut- sebut sanggup mendampingi SBYsebagaicawapresadalahGubernur BI Boediono. Dengan pengalaman yang cukup panjang sebagai menteri sejak zaman pemerintahan BJ Habibie hingga SBY, Boediono merupakan satu-satunya ekonom yang dilirik oleh SBY.

Antara Hatta Rajasa dan Boediono, sama-sama memiliki peluang yang besar dengan latar belakang kekuatan yang berbeda. Namun, kepastian tentang siapa sosok yang tepat di antara keduanya,semua itu terpulang kembali kepada SBY. (rarasati syarief)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235734/

Sebanyak 59 Perempuan Masuk Senayan

Sebanyak 59 Perempuan Masuk Senayan
Mereka tak muncul di lima provinsi.
JAKARTA -- Sebanyak 59 calon legislator perempuan diperkirakan akan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan hasil rekapitulasi manual 49 daerah pemilihan di 21 provinsi, calon terpilih perempuan muncul dari 16 provinsi pada pemilihan umum legislatif kali ini.
Calon perempuan gagal melaju ke Senayan dari Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Barat. Lima daerah ini menyumbangkan 30 dari 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Sesuai dengan hasil perhitungan Centre for Electoral Reform, calon dari Partai Demokrat paling banyak memunculkan perempuan di lembaga legislatif. Sebanyak 20 perempuan terpilih dari total 91 kursi yang diperkirakan diperoleh Partai Demokrat.
Partai Hanura, yang diperkirakan menjadi peserta lolos ambang parlemen, sama sekali tak memunculkan seorang perempuan sebagai calon terpilih. Partai ini diperkirakan sudah mengantongi delapan kursi legislatif.
Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform Hadar N. Gumay memperkirakan perempuan yang berhasil meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat tak mencapai 20 persen. Meskipun, kata dia, jumlah perempuan yang masuk parlemen tahun ini lebih besar dari hasil pemilihan 2004. "Tapi bukan berarti lebih baik," kata dia.
Hadar menilai tidak ada makna keterwakilan 20 persen legislator perempuan karena hanya diperhitungkan di tingkat nasional. Apalagi, menurut dia, sejak masa pencalonan, partai kurang memperhatikan pencalonan calon anggota legislatif perempuan. Partai tak memenuhi syarat 20 persen calon per daerah pemilihan.
Calon itu pun, kata dia, tak dipersiapkan secara matang untuk dijadikan calon anggota Dewan. Partai cenderung mempersiapkan ala kadarnya. Kalaupun terpilih, kata dia, mereka memang aktif di partai politik. "Tidak ada didikan khusus," katanya.
Sampai kemarin Komisi Pemilihan Umum terus berupaya menyelesaikan penghitungan manual sebelum melewati tenggat 7 Mei. Komisi Pemilihan sudah menyelesaikan perhitungan manual dari 55 daerah pemilihan di 25 provinsi. Menurut Hadar, sampai perhitungan terakhir, jumlah kursi yang diduduki legislator perempuan akan mencapai 11,8 persen.
Penghitungan manual ini menjadi acuan pengusung pasangan calon presiden pada pemilihan 8 Juli nanti. Partai politik atau gabungan partai hanya bisa mengusung calon apabila memenuhi syarat 20 persen kursi legislatif atau 25 persen dari suara sah nasional.
Pada perhitungan suara di Sulawesi Selatan kemarin memunculkan muka lama dan baru di politik nasional. Partai Golkar merebut delapan kursi dan menempatkan antara lain Halim Kalla (adik kandung Jusuf Kalla), Emil Abeng (anak menteri di era pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, Tanri Abeng), Malkan Amin, Syamsul Bachri, Basri Sidehabi, dan Idrus Marham.
Partai Amanat Nasional diperkirakan mendapat tiga kursi dan menempatkan anak Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Partai Keadilan Sejahtera ada kemungkinan menempatkan Anis Matta dan Tamsil Linrung. Adapun Gerindra menempatkan Mestariani Habie. Mustafa Silalahi | GUNANTO ES | PUr
Perkiraan Perwakilan Perempuan di Parlemen
PartaiLegislator Perempuan Perkiraan Kursi
Demokrat2091
PDI Perjuangan 1466
Partai Golkar863
PAN530
PKS340
PPP327
Gerindra315
PKB112
Hanura-8

Keterangan:
Sumber: Centre for Electoral Reform
Data: Rekapitulasi manual di 31 daerah pemilihan
Dasar penghitungan: Peraturan KPU

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Nasional/krn.20090505.164444.id.html

Naik Tersandung Krisis

KREDIT USAHA RAKYAT
Naik Tersandung Krisis
Klaim penjaminan atas kredit usaha rakyat untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi meningkat. Menggerus modal Askrindo dan Jamkrindo.
USAHA Maman menanam cabai tergolong lancar. Naik-turunnya harga komoditas pertanian jenis ini tak membikin warga Purworejo, Jawa Tengah, itu menunggak pembayaran utang. Cicilannya, sekitar Rp 900 ribu per bulan untuk pinjaman Rp 5 juta dengan tempo enam bulan, lancar jaya.
Sudah tiga kali ini Maman menerima kredit yang sama. Awalnya, Januari 2008, bapak dua anak ini memperoleh Rp 3 juta. Setiap Rp 1 juta, ia diwajibkan mengembalikan Rp 1.119.000. Setelah pinjaman itu lunas, enam bulan kemudian pinjaman kedua cair, Rp 5 juta. Lantas berlanjut dengan kredit ketiga, juga Rp 5 juta, enam bulan berikutnya. ”Pinjaman ketiga jatuh tempo Juni nanti,” kata dia kepada Tempo akhir pekan lalu.
Maman adalah penerima kredit usaha rakyat yang disalurkan BRI. Program kredit untuk sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi ini diberikan dengan pola penjaminan pemerintah. Dua lembaga penjaminan pelat merah—PT Asuransi Kredit Indonesia alias Askrindo dan Perum Jaminan Kredit Indonesia atawa Jamkrindo—ditugasi menjamin kredit yang disalurkan melalui perbankan.
Pengusaha cabai itu termasuk yang beruntung bisa menyetor cicilan tepat waktu. Tak sedikit pengusaha mikro dan kecil lain yang menunggak pokok dan bunga pinjaman karena usahanya mengendur. Permintaan barang dari luar negeri yang berhenti karena krisis keuangan global menyebabkan produksi mereka merosot. Akibatnya, penghasilan anjlok.
Kredit yang nyangkut di sektor usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi cenderung naik sejak akhir tahun lalu. Ini ditunjukkan dengan permintaan klaim yang membanjiri lembaga penjaminan. Askrindo, misalnya, selama triwulan pertama 2009 ini telah mencairkan Rp 6,7 miliar, meningkat tiga kali lebih dibanding akhir tahun lalu (Rp 2,2 miliar).
Klaim yang dicairkan Askrindo itu baru sekitar separuh. Sebenarnya, total klaim yang diajukan perbankan mencapai Rp 12,8 miliar untuk triwulan pertama 2009. Bandingkan dengan permintaan klaim triwulan keempat 2008, yang baru Rp 3,6 miliar. Sedangkan Jamkrindo, menurut Direktur Utama Nahid Hudaya, telah mencairkan Rp 2,56 miliar per triwulan pertama tahun ini, dari total permintaan klaim sekitar Rp 3 miliar. Sedangkan pencairan akhir tahun 2008 Rp 1,92 miliar.
Sebagian klaim belum dibayarkan karena beberapa dokumen yang menjadi persyaratan mutlak pencairan klaim, seperti BI checking, belum dilampirkan pihak bank. BI checking adalah proses pengecekan oleh lembaga keuangan—baik bank maupun nonbank—ke sistem informasi debitor yang dikelola Bank Indonesia. Dari sini bisa diketahui kualitas kredit debitor, apakah berstatus lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, atau macet.
Jumlah kredit yang telah disalurkan tahun lalu Rp 11,03 triliun, dan kredit baru per triwulan pertama tahun ini Rp 1,9 triliun. Sekitar 80 persen dijamin Askrindo dan sisanya oleh Jamkrindo. Artinya, kata Direktur Pertanggungan dan Pemasaran Askrindo Hartono, tingkat non-performance loan termasuk kecil untuk 2008. Tapi, sampai Maret 2009, terjadi peningkatan non-performance loan dan klaim. ”Angka NPL persisnya belum dikeluarkan pemerintah,” kata Hartono kepada Tempo pekan lalu.
Peningkatan kredit seret usaha kecil membikin pemerintah gelisah. Sebab, kenaikan kredit macet berbanding lurus dengan klaim yang harus dibayarkan Askrindo dan Jamkrindo. Bila hal ini tak diurus, ujung-ujungnya BUMN penjaminan kredit ini yang bakal tekor. Kantong mereka terancam ludes hanya untuk membiayai klaim.
Dua pekan lalu, masalah tersebut dibahas dalam rapat koordinasi tingkat menteri perekonomian. Intinya: bagaimana upaya untuk memperbaiki performa kredit jenis ini. Misalnya dengan merestrukturisasi utang, juga melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha. Rencananya, pembahasan akan dilanjutkan pekan ini.
Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil seusai rapat dua pekan lalu mengatakan perkembangan kredit seret atas pinjaman yang dijamin pemerintah ini harus diawasi. Langkah pemetaan ini, kata dia, dilakukan sebelum pemerintah memutuskan untuk menggelontorkan dana segar kepada dua BUMN penjamin kredit sebagai penyertaan modal negara.
lll
KREDIT usaha rakyat diluncurkan pada November 2007. Tujuannya untuk menggerakkan perekonomian rakyat dan mengurangi angka pengangguran. Ada lima sektor usaha yang menjadi sasaran, yakni pertanian, perikanan dan kelautan, koperasi, kehutanan, serta perindustrian dan perdagangan.
Enam bank bertindak sebagai penyalur pinjaman, yaitu BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri. Berbagai aturan pun dibikin untuk memuluskan program ini. Misalnya mempermudah persyaratan bagi peminjam baru dan memperpanjang skema kredit bagi peminjam lama yang ingin mengembangkan usaha.
Satu tahun berjalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat evaluasi di Gedung BRI pusat akhir tahun lalu. Diputuskan, pemerintah akan meningkatkan penjaminan kredit dengan cara menyuntikkan modal ke Askrindo dan Jamkrindo sebesar Rp 2 triliun. Asumsinya, bila gearing ratio 10 persen, itu berarti kredit yang bisa dikucurkan akan mencapai Rp 20 triliun. ”Untuk menggerakkan sektor riil di tengah krisis keuangan global,” kata Yudhoyono saat itu.
Perinciannya, menurut Deputi Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Bidang Pengembangan, Restrukturisasi, dan Usaha Chairul Jamhari, Rp 1 triliun akan dikucurkan semester pertama tahun ini. Separuhnya lagi akan dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan semester kedua.
Penambahan modal itu, kata Hartono, untuk merespons lonjakan permintaan kredit. Pada akhir 2007, pemerintah menyetor modal Rp 1,45 triliun: Rp 800 miliar untuk Askrindo dan sisanya buat Jamkrindo. Rencananya, dana tersebut dipakai selama tiga tahun (2008, 2009, dan 2010). Asumsinya, kredit yang disalurkan Rp 5 triliun per tahun. Nyatanya, pinjaman yang terealisasi hampir Rp 12 triliun dalam tempo setahun saja.
Namun krisis membalikkan skena-rio. Rencana menyuntikkan Rp 1 triliun semester awal ini menyusut tinggal separuh. Menurut Hartono, ada kemungkinan tambahan modal Rp 500 miliar untuk Askrindo dan Jamkrindo disesuaikan dengan kemampuan anggaran. ”Berapa persen porsi masing-masing belum ditetapkan.”
Hitung-hitungan penambahan modal, seperti dikatakan Menteri Sofyan Djalil, berkaitan dengan tingkat kredit macet. Sumber berbisik, beberapa bank membukukan NPL kredit usaha rakyat di atas 5 persen. Perbankan memang tak terbuka soal ini. BRI, misalnya, yang menyalurkan sekitar 90 persen kredit usaha rakyat, mencatat NPL 3,02 persen. Kepala Divisi Program BRI Eria Desomsoni mengatakan ada macam-macam penyebab pengusaha kecil merugi. ”Ada yang beralih sektor usaha, ada yang kena penggusuran,” katanya.
Direktur Usaha Kecil, Menengah, dan Syariah BNI Achmad Baiquni mengaku, dari total outstanding kredit jenis ini Rp 935,4 miliar, tingkat NPL-nya hanya 2,7 persen. Bank Mandiri, yang ”memborong” kredit sektor komoditas, mengaku kredit macet pada kredit usaha rakyat hanya 0,5 persen. ”Kami tidak banyak bergerak meski harga komoditas turun. Mungkin karena harga sawit sudah membaik,” kata Gunadi Sadikin, Direktur Mikro dan Retail Banking Bank Mandiri.
Askrindo, menurut Hartono, sudah mengambil ancang-ancang. Perseroan memperkirakan kredit seret akan naik ke posisi 5-6 persen. Prediksi ini didasarkan atas rata-rata NPL usaha mikro, kecil, dan menengah selama lima tahun terakhir, yakni 5,48 persen. Malah, berdasarkan informasi yang diterima Hartono, beberapa bank meramal kredit seret sektor ini bisa mencapai 8 persen dalam kondisi krisis. ”Kalau normal saja 5,48 persen, kondisi abnormal begini bisa lebih tinggi.”
Chairul berpendapat peningkatan kredit seret harus dipahami sebagai ongkos dari pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Lihat saja, kata dia, program kredit usaha rakyat diprioritaskan pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah baru, yang belum pernah memperoleh fasilitas kredit perbankan. Maka, bisa dipahami, kemampuan pengelolaan, perencanaan bisnis, dan konsekuensi terhadap kinerja masih merupakan persoalan.
Karena itu, Hartono menambahkan, peningkatan NPL yang membuat biaya klaim membesar jangan sampai membikin lembaga penjamin kredit rakyat kedodoran. Maksudnya, kata dia, suntikan modal diperlukan sebelum kantong kempis, agar lebih banyak lagi debitor lancar yang bisa difasilitasi. Tapi, kata Hartono, konsep kredit usaha rakyat harus lebih ditegaskan, yakni pengusaha kecil yang feasible dan belum tersentuh kredit bank diprioritaskan.
Retno Sulistyowati, Amandra Mustika Megarani, Heru Catur Nugroho (Purworejo)
Realisasi Kredit Usaha Rakyat 2008
Rp 12 triliun, disalurkan melalui:
BRIRp 8,603 triliun
BNI Rp 1,163 triliun
Bank Mandiri Rp 1,13 triliun
Bukopin Rp 628 miliar
Bank Syariah Mandiri Rp 332 miliar
BTN Rp 176 miliar


DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER
Realisasi Kredit Usaha Rakyat Triwulan I 2009
Kredit yang dijamin Askrindo Rp 1,7 triliun, melalui:
BRI Rp 1,64 triliun
BNI Rp 34 miliar
Bank MandiriRp 42 miliar
Bukopin Rp 20 miliar
Bank Syariah Mandiri Rp 2,6 miliar
BTN Rp 35 miliar


Kredit yang dijamin Jamkrindo Rp 500 miliar

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/04/EB/mbm.20090504.EB130230.id.html

Neo-Liberal

Neo-Liberal
PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun 2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.
Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Monthly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir dengan kegagalan.
Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran aktif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu diintervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional.
Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapitalisme sosial-demokratik”.
Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demokrasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pasar yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, ”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun adalah pikiran yang gila.”
Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Keynesian”.
Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neo-liberalisme” yang didaur ulang.
Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu.
Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial.
Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini?
Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik.
Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.
Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal” yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-hampir tak ada lagi.
Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.
Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending.
Goenawan Mohamad

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/04/CTP/mbm.20090504.CTP130245.id.html

DPR Tolak Gaji Prajurit Dirahasiakan

DPR Tolak Gaji Prajurit Dirahasiakan
Dibukanya akses terhadap gaji prajurit juga untuk mencegah adanya korupsi.
Jakarta -- Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menolak informasi tentang gaji prajurit dimasukkan kategori rahasia negara. Soal ini muncul saat Komisi Pertahanan DPR bersama pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Anggota DPR menilai merahasiakan informasi semacam ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. "Ini berlebihan," kata anggota Komisi Pertahanan, Zis Muzahid, dalam rapat. Soal gaji prajurit ini ada dalam Pasal 6 ayat 2 huruf a Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara.
Pasal 6 rancangan itu mengatur soal apa saja yang dikategorikan rahasia. Pasal itu meliputi cakupan dari rahasia negara, yang meliputi lima hal. Masing-masing rahasia negara yang berkaitan dengan pertahanan negara; rencana, organisasi, dan fungsi mobilisasi penyebaran TNI; intelijen; hubungan luar negeri; dan ketahanan ekonomi nasional.
Zis mengatakan dimasukkannya gaji prajurit sebagai rahasia negara bertentangan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur sejumlah informasi yang bisa diakses publik untuk sejumlah keperluan. Pada saat damai, kata Zis, gaji prajurit tak perlu dikategorikan sebagai rahasia negara. "Undang-undang ini terlalu rigid," kata dia.
Wakil Ketua Komisi Pertahanan Yusron Ihza Mahendra menilai gaji prajurit seharusnya tak masuk kategori rahasia negara. Ia menilai itu juga tak jelas kepada siapa informasi tersebut akan dirahasiakan, apakah kepada semua atau kepada pihak tertentu. "Apa Departemen Keuangan juga tidak boleh tahu?" kata Yusron.
Hal senada diungkapkan anggota Dewan lainnya, Abdillah Toha. Kategori rahasia negara untuk gaji prajurit akan menyulitkan Panitia Anggaran di parlemen, yang bertugas menyusun anggaran, termasuk anggaran untuk TNI. "Apa ini juga dirahasiakan dari anggota Dewan yang membahas anggaran?" kata Abdillah.
Anggota staf ahli Menteri Pertahanan, Agus Broto Susilo, yang mewakili pemerintah, mengatakan pengkategorian gaji sebagai rahasia negara tak bertentangan dengan Undang-Undang Rahasia Negara. Dalam undang-undang tersebut, kata Agus, informasi gaji bukan hal yang bisa diakses publik. Namun, ia sepakat jika gaji prajurit tak dikategorikan sebagai rahasia negara.
Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim, saat dihubungi terpisah, menilai sikap pemerintah soal ini sebagai cermin dari rezim yang menerapkan asas kerahasiaan penuh. Ia setuju atas sikap anggota DPR yang menolak gaji dikategorikan sebagai rahasia dan menilai usulan pemerintah tak memiliki dasar kuat. Gaji prajurit, kata Mufti, terkait dengan penggunaan dana publik. “Penggunaannya perlu diketahui publik, untuk menghindari adanya korupsi dan penyimpangan,” kata dia. Hal positif lainnya, kata dia, publik juga bisa tahu kondisi kesejahteraan prajurit sebenarnya dan bisa mengusulkan perbaikan. ABDUL MANAN | DWI RIYANTO AGUSTIAR
Daftar Rahasia Versi Pemerintah
Pasal 6 Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara mengatur tentang informasi apa saja yang dikategorikan rahasia. Ini adalah beberapa di antaranya, khususnya yang berkaitan dengan "rencana, organisasi, dan fungsi mobilisasi penyebaran TNI".
Informasi yang berkaitan dengan struktur terperinci TNI, penempatan, kemampuan staf dan daftar gaji, persenjataan dan sistem kendali TNI, badan/dinas satuan tugas, grup, detasemen, kesatuan khusus atau fasilitas khusus.
Informasi yang berkaitan dengan tugas dan kemampuan tempur TNI atau kekuatan lain, dinas atau satuan tugas, atau segala sesuatu yang berpotensi untuk menjadi area atau sasaran permusuhan/penghancuran.
Organisasi, fungsi, dan kemampuan teknis yang dimaksudkan untuk pengumpulan intelijen elektronik.
Informasi tentang pejabat tinggi negara dan pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab atas kesiagaan pertahanan.
Informasi yang berkaitan dengan rancang-bangun, pengujian industri, dan penempatan dalam kesatuan tentang prototipe baru persenjataan, teknologi tempur, amunisi, dan kemampuan mobilisasi industri.
Organisasi, penyebaran, persenjataan, tugas, dan kemampuan kesatuan intelijen dan organ-organnya.
Materi dan data geodetik dan peta, model dan data digital, citra, film dan photograph, dokumen photographic, yang berisi lokasi, tipe, karakter, penggunaan, atau rekayasa perlengkapan fasilitas dan area penting.
Informasi yang berkaitan dengan impor dan ekspor persenjataan, teknologi perang, dan amunisi untuk penggunaan (perbekalan) TNI menghadapi perang.
Data tentang tipe, keberadaan, dan karakteristik dari perlengkapan khusus, senjata, amunisi, perlengkapan perlindungan orang, instrumentasi, dan material yang digunakan TNI.
sumber: daftar inventaris masalah RUU Rahasia Negara versi Pemerintah

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Nasional/krn.20090505.164422.id.html

Kepuasan Pekerja, Keuntungan Perusahaan

Kepuasan Pekerja, Keuntungan Perusahaan
Jalal
Aktivis Lingkar Studi CSR
Entah kebetulan atau tidak, kontes Britain's Got Talent beberapa minggu sebelum Hari Buruh Sedunia menampilkan Susan Boyle, yang menjadi sangat terkenal--lebih dari 47 juta orang telah melihatnya di YouTube--karena menyanyikan I Dreamed a Dream. Lagu tersebut salah satu nomor paling penting dalam opera Les Miserables, karya Claude Michel-Schonberg dan Alain Boublil, yang didasarkan pada novel klasik berjudul sama dari Victor Hugo. Les Miserables bercerita mengenai orang-orang yang berupaya keluar dari penderitaan berkepanjangan akibat kondisi buruk sekitar Revolusi Prancis.
Dalam lagu itu, Fantine, seorang buruh pabrik dan orang tua tunggal, berkeluh kesah soal mimpinya yang dibunuh oleh kenyataan hidup: "Dulu saya bermimpi bahwa hidup ini akan sangat berbeda dibandingkan dengan neraka di mana saya tinggal sekarang, jauh berbeda dibanding yang dulu tampak, tapi kini hidup telah membunuh mimpi itu." Fantine putus asa karena upahnya tak memadai untuk membiayai Cosette, anaknya yang sedang sakit. Ia menjual hartanya yang tak seberapa, juga rambutnya, lalu melacurkan diri. Tragisnya, semua usaha itu juga tak cukup karena Cosette ada di tangan Thenardier, yang lintah darat. Tak tahan atas kondisi sangat buruk itu, Fantine ambruk. Kali ini bukan hanya mimpinya yang mati. Jiwanya melayang dalam penderitaan luar biasa.
Potongan drama tersebut menyelinap ke benak jutaan aktivis buruh di seluruh dunia setiap mendekati 1 Mei. Mereka melihat bahwa banyak sekali rekan mereka yang masih juga berada dalam kondisi mirip Fantine, walaupun perjuangan telah mereka lakukan selama beberapa dekade. Ada banyak cerita yang bahkan lebih buruk daripada nasib Fantine, sehingga perjuangan mereka serasa semakin berat. Bagaimana mungkin, pikir mereka, sebuah pertumbuhan ekonomi yang tampak dahsyat luar biasa ternyata hanya membawa sedikit--kalaupun ada--perbaikan kondisi untuk buruh. Lebih buruk lagi, manakala krisis terjadi, mereka pulalah yang pertama dikorbankan.
Tidak mengherankan apabila gerakan buruh menjadi sangat apatis terhadap retorika peningkatan kesejahteraan yang datang dari pemilik modal maupun manajemen yang mewakilinya. Karl Marx dulu menyatakan keuntungan untuk pemilik modal memang datang dari pencurian nilai lebih yang sesungguhnya jadi hak buruh. Karena itu, memang selalu ada pertentangan kepentingan antara pemilik modal dan pekerjanya. Dalam kondisi kesejahteraan yang buruk, teori tersebut kemudian menjadi sangat menarik, termasuk jalan keluar yang harus ditempuh oleh buruh: revolusi. Maka Hari Buruh Sedunia selalu dibanjiri warna merah dan slogan-slogan revolusioner.
Walau teriakan-teriakan buruh kemudian menguap ke udara seiring dengan berlalunya 1 Mei, sesungguhnya teriakan itu menjadi pertanda adanya hubungan yang belum harmonis antara perusahaan dan pekerjanya. Selama ketidakadilan dan tekanan hidup lainnya masih dirasakan, slogan-slogan revolusioner akan terus mewarnai unjuk rasa. Pertanyaannya, apakah memang perusahaan akan dirugikan kalau membayar pekerja dengan baik, dan menyediakan berbagai sarana kehidupan yang layak.
Alex Edmans dari Wharton School Universitas Pennsylvania adalah orang yang membuktikan pada 2008 bahwa pendirian banyak ahli manajemen sumber daya manusia beraliran tradisional itu salah besar. Dalam pemikiran tradisional, buruh adalah sama dengan faktor produksi lainnya, sehingga harus diperlakukan sebagai obyek efisiensi biaya, seperti bahan baku. Buat para penganutnya, kepuasan para pekerja sesungguhnya hanya terjadi manakala bayaran dan fasilitasnya berlebih untuk pekerjaan yang tidak berat, yang akan merugikan perusahaan. Namun, Edmans berpendapat lain. Ia menganalisis data yang diekstrak dari "100 Best Companies to Work For in America" pada kurun 1984-2005 dan mendapati bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jauh melampaui kinerja nilai saham perusahaan-perusahaan lain.
Penelitian yang diganjar Moskowitz Prize--penghargaan tertinggi untuk penelitian kuantitatif yang menghubungkan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan kinerja keuangannya--itu secara meyakinkan membuktikan bahwa perusahaan yang dicintai pekerjanya dalam jangka panjang menangguk keuntungan dari peningkatan harga saham lebih tinggi 4 persen setahun dibanding kinerja rata-rata. Pasar saham dalam jangka pendek tampak belum menghargai perusahaan-perusahaan tersebut. Bahkan banyak pialang yang masih terjebak menghindari saham-saham perusahaan itu. Tak mengherankan, saham Costco tak begitu gencar diperdagangkan di lantai bursa, padahal Costco merupakan salah satu perusahaan paling menguntungkan.
Untuk mereka yang tak memiliki cukup kesabaran untuk memegang saham dalam jangka panjang, Edmans juga memberikan kabar baik. Jelas, perusahaan-perusahaan itu juga terbukti mendapatkan pekerja terbaik, tingkat absen yang rendah, pergantian yang jarang, dan motivasi kerja yang tinggi. Jumlah paten, produk baru, kontrak baru, serta laporan analis yang sifatnya positif jauh lebih banyak diperoleh. Hasilnya, kinerja keuangan nonsaham perusahaan-perusahaan itu juga lebih tinggi dibanding rata-rata. Detail penelitian itu sedemikian menakjubkannya, sehingga hampir tak mungkin orang yang membacanya bisa berkesimpulan selain bahwa pekerja yang puas adalah pekerja yang produktif.
Dalam Les Miserables, Cosette cukup beruntung. Wali kota sekaligus industriwan Jean Valjean bersumpah di telinga Fantine ketika sakratulmaut menjemput perempuan malang itu: "Dan akan kubawa ia ke dalam terang kehidupan." Valjean memenuhi janjinya. Cosette mendapati semua prasyarat kebahagiaan diupayakan oleh Valjean sejak saat pertama ia diadopsi. Bahkan, untuk memenuhi janjinya kepada Fantine, Valjean nekat menerobos barikade militer, kembali bertarung dengan Javert, musuh bebuyutannya, "hanya" untuk menyelamatkan Marius, pria yang dicintai Cosette.
Ada ratusan juta Cosette di dunia ini. Mereka adalah anak-anak buruh, yang status kesehatan dan pendidikannya sangat bergantung pada pendapatan yang diperoleh orang tuanya. Para pengusaha dan manajer sumber daya manusia sesungguhnya bisa memilih untuk menjadi Valjean, tanpa perlu menerobos barikade militer. Yang harus mereka upayakan adalah tingkat kesejahteraan yang memadai untuk orang-orang yang bekerja di perusahaannya. Kalau mereka tak ingin menjadi Valjean, mungkin penelitian Edmans cukup untuk menjadi pengingat bahwa kesejahteraan dan kepuasan pekerja itu berkorelasi positif dengan keuntungan perusahaan. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Opini/krn.20090505

Mewaspadai Papua Memanas Lagi

Mewaspadai Papua Memanas Lagi
Oleh Chusnan Maghribi

AMUKAN ratusan prajurit Batalyon 751 Sentani, Papua, 29 April 2009, menuntut petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) hirau terhadap pemenuhan peningkatan kesejahteraan hidup segenap prajurit. Sebab, ujung amukan (protes) yang bermula dari aksi solidaritas terhadap kematian Pratu Joko itu adalah tuntutan akan pemenuhan peningkatan kesejahteraan prajurit, khususnya mereka yang ditugaskan di Kabupaten Sentani dan Papua, serta segenap prajurit TNI umumnya.

Tak ada pilihan lain bagi pemerintah maupun institusi TNI kecuali memenuhi tuntutan tersebut. Apalagi, suhu politik di Papua akhir-akhir ini memperlihatkan isyarat mau memanas lagi.

Rangkaian tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini -mulai teror dan peledakan bom di sejumlah tempat seperti di Jembatan Muara Tani, pembakaran kantor Rektorat Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, sampai penyerangan terhadap kantor Polsek Abepura maupun satuan Brimob Papua yang menewaskan Briptu Dence Musa serta enam anggota Brimob lainnya luka-luka di Kabupaten Puncak Jaya- merupakan ''percik-percik api'' yang berpotensi ''membakar'' lagi Papua.

Karena itu, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah Papua maupun Papua Barat (Irian Jaya Barat/Irjabar) harus mewaspadainya sembari bergerak cepat melakukan segala sesuatu untuk mencegah suhu politik khususnya di Provinsi Papua memanas lagi.

Pemerintah sekarang ini perlu segera menempuh sekurangnya tiga langkah untuk mencegah api konflik Papua membara lagi. Pertama, menempatkan pasukan militer di objek-objek vital di seluruh wilayah Papua, mulai gedung-gedung pemerintah dan gedung-gedung sekolah maupun berbagai sarana infrastruktur penting lain sampai objek-objek ekonomi seperti proyek pertambangan emas Freeport di Kabupaten Mimika.

Penempatan kekuatan militer tersebut sangat dibutuhkan setelah aparat kepolisian di sana kerap dijadikan target penyerangan dan diperkirakan tak akan mampu meredam gejolak keamanan yang kelewat serius akibat ulah gerombolan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berdasar pengalaman masa lalu, anggota OPM selalu menjadikan objek-objek vital tersebut sebagai sasaran penyerangan.

Kedua, mengintensifkan operasi intelijen. Jelas, saat tengara OPM menggeliat melakukan berbagai kekerasan (penyerangan) seperti sekarang ini, dinas intelijen Republik Indonesia dituntut bekerja ekstrakeras, cermat, dan optimal guna menuai hasil maksimal.

Salah satu tugas penting yang mendesak dilakukan intelijen saat ini adalah menyelidiki dugaan keterkaitan kepulangan Nicolaas Jouwe (salah seorang tokoh OPM yang sejak 1965 bermukim di Negeri Belanda) di Papua pada 23 Maret 2009 dengan serangkaian tindak kekerasan belakangan ini.

Penyelidikan dilakukan guna mengetahui apakah Nicolaas berdiri di belakang aksi-aksi kekerasan itu ataukah tidak. Intelijen juga harus ''mengendus'' apakah sekarang ini ada pihak asing yang ikut ''bermain api'' di Papua atau tidak. Intelijen RI harus cerdas membuktikannya.

Ketiga, mengevaluasi dan merevisi kebijakan. Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi kebijakannya -terutama kebijakan otonomi khusus (otsus) yang dibingkai dalam UU Nomor 21 Tahun 2001- untuk Papua. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana UU Otonomi Khusus Papua itu sudah diimplementasikan dan sejauh mana implementasi otsus tersebut telah berdampak positif bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, serta kesejahteraan penduduk asli Papua.

Apakah implementasi otsus selama sekitar delapan tahun terakhir sudah memberikan kontribusi signifikan (efektif) bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan penduduk asli Papua ataukah belum?

Jika ternyata belum efektif, pemerintah pusat maupun Pemda Papua harus melakukan introspeksi objektif sembari bertanya di mana letak kekurangan (kesalahan) implementasi otsus hingga belum memberikan kontribusi maksimal bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan warga pribumi setempat. Setelah itu, pemerintah pusat maupun Pemda Papua dituntut serius melakukan perbaikan-perbaikan demi efektivitas kelanjutan implementasi otsus Papua kelak di kemudian hari.

Itu secepatnya wajib diwujudnyatakan agar tidak lagi terjadi kecemburuan sosial (social incomtemptuous), ketidakadilan ekonomi (economic injustices), serta benturan budaya (cultural shock) hingga makin memperkuat integrasi seluruh wilayah Papua ke dalam pangkuan RI.

Sementara itu, revisi kebijakan -terutama UU No 21/2001 tentang Otsus Papua- dipandang perlu dilakukan guna menyesuaikannya dengan realitas geografis-demografis-politis Papua yang relatif baru setelah Papua -berdasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 mengenai Pemekaran Papua- dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Bagian Barat (Irjabar).

Salah satunya merevisi pasal 1 huruf a agar eksistensi Provinsi Irjabar terakomodasi dalam UU No 21/2001 tersebut. Untuk itu, Majelis Rakyat Papua (MRP) diharapkan mau mengambil inisiatif untuk memfasilitasi pertemuan antara gubernur Papua, gubernur Irjabar, dan DPR Papua guna melakukan rekonsiliasi untuk merevisi pasal-pasal tertentu, sehingga bisa mengakomodasi keberadaan Irjabar.

Jika tidak segera dilakukan revisi, dikhawatirkan hal itu bisa ''dipermainkan'' pihak-pihak yang tidak menginginkan politik dan keamanan di Papua stabil, terutama OPM yang sejak didirikan pada 1964 memang menjadi ''benalu'' yang selalu meresahkan.

Dengan segera melakukan ketiga hal tersebut, diharapkan tengara pemunculan api konflik di Papua sekarang ini bisa cepat diredam, api konflik tidak jadi membara lagi di Bumi Cenderawasih itu.*

*) Chusnan Maghribi, penulis lepas, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Jogjakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=67314

Ritel Modern dan Market Power

Ritel Modern dan Market Power


Komisi Pengawas Per-saingan Usaha (KPPU) kembali membidik korporasi ritel asal Prancis, Carrefour, sebagai sasaran tembak.


Carrefour diduga melanggar Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 huruf a UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 17 berisi larangan melakukan monopoli, yaitu menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang/jasa tertentu. Sementara Pasal 25 berisi tentang penyalahgunaan posisi dominan yang bisa m e r u g i k a n konsumen dan menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar serupa.

Lewat dua pasal ini K P P U membidik dua hal: pasar pemasok (upstream) dan pasar ritel modern (downs t r e a m ) . Carrefour diduga melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri jasa ritel nasional untuk kelas hipermarket dan supermarket.Menurut bukti awal KPPU, pangsa pasar Carrefour di sisi hulu naik dari 44,75% menjadi 66,73%, sedangkan di hilir naik dari 37,98% jadi 48,38%.Itu terjadi setelah Carrefour mengakuisisi Alfamart tahun 2008.

Kasus ini masih dalam penyelidikan awal KKPU (31 Maret–12 Mei 2009). Carrefour terancam denda maksimal Rp 25 miliar.Atas semua tuduhan KPPU, Carrefour membantah hal tersebut. Menurut Carrefour, mengutip riset AC Nielsen, setelah akuisisi Alfamart pangsa di ritel modern menjadi 17% dan pangsa di pasar grosir 6,3%. Sejauh ini ekspektasi masyarakat terhadap KPPU begitu besar dalam mengatasi permasalahan persaingan usaha di bisnis ritel yang disinyalir kian tidak sehat.

Kehadiran peritel berskala besar (hipermarket) seperti Carrefour, Giant, dan Clubstore diyakini mengancam kelangsungan hidup usaha ritel berskala kecil. Di sisi lain, kehadiran ritel besar juga amat bermanfaat bagi konsumen: tempat belanja yang nyaman, kelengkapan produk dengan harga bersaing, bahkan terkadang lebih murah. Tak aneh bila gerai-gerai hipermarket seperti Carrefour dan Giant atau Hypermart selalu dipadati konsumen.

Sulit memastikan kehadiran hipermarket sebagai pembunuh ritel kecil dan pasar tradisional. R i s e t o l e h SMERU (2006) yang menyigi dampak supermaket pada pasar tradisional perkotaan di Depok dan Bandung menemukan: kehadiran supermarket berdampak signifikan pada penurunan jumlah pegawai pasar tradisional. Sebaliknya, keuntungan pedagang tradisional tak banyak terpengaruh.Kemerosotan kinerja pasar tradisional lebih banyak disumbang masalah internal: kurangnya dana pengembangan usaha, persaingan dengan PKL, infrastruktur yang minim,dan daya beli merosot. Hasil riset ini sepertinya kurang up to date.

Sebab,dalam 3–4 tahun terakhir ekspansi hipermarket demikian pesat. Hipermarket merangsek ke sejumlah penjuru kota, bahkan berdampingan dengan pasar tradisional. Carrefour misalnya, sejak masuk tahun 1998 kini sudah memiliki 60 gerai di 9 kota di Indonesia. Dengan gerai yang banyak dan tersebar,hal itu membuka peluang bagi pemasok melego banyak produknya di gerai-gerai Carrefour.

Terciptalah ketergantungan pemasok terhadap Carrefour. Kondisi ini membuat Carrefour memiliki bargaining power yang besar. Power inilah yang di kemudian hari jadi sumber aneka masalah. Misalnya, Carrefour memaksakan syarat-syarat perdagangan (trading terms) yang kurang menguntungkan, bahkan tidak masuk akal,buat pemasok. Ini pernah terjadi pada 2005. Carrefour memberlakukan aneka syarat perdagangan seperti fixed rebate, listing fee, term of payment, minus margin, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store, penalty.

Dari keseluruhan ini, listing fee dan minus margin dianggap amat memberatkan dan merugikan. Listing feemerupakan biaya dalam memasok produk baru ke tiap gerai Carrefour. Ini berfungsi sebagai jaminan bila barang tidak laku. Listing fee hanya diterapkan sekali dan tidak dikembalikan.Besar listing fee berbeda antara pemasok kecil dan pemasok besar. Hanya peritel besar yang bisa menerapkan listing fee. Ada korelasi positif antara listing feedengan kekuatan pasar (market power) peritel (Bloom,Gundlach and Canon, 2003).

Penghasilan Carrefour pada 2004 dari listing feemencapai Rp25 miliar. Listing fee yang semula dimaksudkan sebagai jaminan apabila produk pemasok tidak laku atau sebagai salah satu sarana pendistribusian tempat yang terbatas yang dimiliki peritel, dalam perkembangannya justru dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengalihkan keuntungan yang dimiliki pemasok kepada peritel secara tidak langsung.

Listing fee juga bisa menjadi instrumen peritel raksasa untuk menekan peritel berskala lebih kecil yang menjadi pesaing untuk meningkatkan biaya marjinalnya (marginal cost). Minus margin merupakan jaminan pemasok bahwa harga jual produk mereka paling murah. Bila C a r re - four mendapati bukti tertulis pesaingnya dapat menjual produk yang sama dengan harga lebih rendah, Carrefour meminta kompensasi dari pemasok. Ini jadi jaminan produk yang dijual di Carrefour lebih murah ketimbang di tempat lain.

Seperti listing fee, minus margin juga jadi instrumen ampuh menekan pesaing, selain bentuk pengalihan keuntungan pemasok ke peritel. Pada 2004, Carrefour meraih Rp1,9 miliar dari denda minus margin 99 pemasok. Atas praktik ini Carrefour didenda KPPU Rp1,5 miliar. Carrefour dinyatakan terbukti melanggar Pasal 19 huruf a UU No.5/1999. Fakta ini menunjukkan, market power yang dimiliki hipermarket bisa menekan pemasok lewat pendiktean standardisasi.

Lewat standardisasi inilah ritel modern menguasai pasar dengan mempraktikan perjanjian jualbeli tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas pemasok dengan harga supermurah. Misalnya,Wal-Mart di AS memanfaatkan suplai berlebih untuk mendepak penyuplai lama dan menekan harga pisang dari 1,08 euro (2002) menjadi 0,74 euro (2004).

Akibatnya, petani pisang di Kostarika sebagai penyuplai merugi dan tak bisa membayar buruh dengan upah minimum. Sebab, tiap USD1 harga pisang di Kostarika 57% jatuh ke korporasi, termasuk ritel. Artinya, standardisasi juga bisa merugikan petani. Market power ini makin mekar karena disokong sistem rantai pangan (agrifood chain).

Sistem ini menghubungkan mata rantai sejak gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan.Tidak ada price discovery.Ayam misalnya, mulai dari pembiakan hingga pemrosesan sama sekali tidak melibatkan penj u a l a n . Ayam ini hanya ditukar dengan uang saat muncul di supermarket. Artinya, sektor ini––mulai produksi, perdagangan, pengolahan hingga ritel—tak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi transnasional.

Berpijak dari fakta ini, penyelewengan market power oleh ritel modern seharusnya jadi batu pijak bagi KPPU buat menyusun guideline yang mengatur permasalahan penerapan tambahan biaya yang memberatkan pemasok. Dengan cara ini, penyalahgunaan market power bisa ditekan.(*)

Khudori
Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235670/

Sex, Power, and Murder

Sex, Power, and Murder
Oleh Djoko Pitono *)

Kisah-kisah menyangkut seks, kekuasaan, dan tokoh terkenal selalu menarik untuk diikuti. Kita dapat mengikuti beragam kisah itu mulai masa para nabi, zaman Romawi, zaman pertengahan, hingga sekarang. Konsep-konsep tentang kesetaraan dan hak-hak perempuan sekarang memang telah mencapai banyak kemajuan. Tetapi, semua itu belum mampu mengakhiri pandangan tentang perempuan dan kenikmatan seks sebagai aksesori kekuasaan.

Kisah tentang para harem King Solomon (Raja/Nabi Sulaiman) sering ditulis sebagai hak eksklusif sang raja. Kita juga dapat mengikuti bagaimana Sidharta muda sebelum menjadi Buddha. Dalam suatu kisah disebutkan, agar Pangeran Sidharta tidak meninggalkan istana, sang ayahanda mencoba mencegah dengan menyediakan ratusan perempuan cantik di dalam kompleks istana. Tetapi, usaha itu gagal total karena Sidharta tidak tertarik. Dari buku-buku, kita juga bisa mengikuti kisah-kisah kehidupan para kaisar Romawi dan Tiongkok serta raja-raja dan bupati di Jawa dengan banyak selirnya.

Kisah tentang seks dan kekuasaan akan lebih menarik bila tersaji dalam kaitan skandal, apalagi ada isu berbau agama, politik, atau kriminal, seperti pembunuhan.

Kita pernah mengenal kasus Sum Kuning di Jogjakarta saat seorang perempuan penjual jamu bernama Sumariyem diperkosa oleh sejumlah anak muda pada 18 September 1970. Kasus yang diduga melibatkan anak-anak pejabat elite itu dihentikan oleh Presiden Soeharto meskipun Kapolri Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso waktu itu bertekad mengungkapnya secara tuntas.

Apa yang disebut kasus Dice pada 1986 tak kurang menariknya. Dalam kasus itu, mantan peragawati bernama Dice mati terbunuh. Ada sejumlah pejabat yang disebut berkaitan dengan kasus tersebut sebelum akhirnya polisi menangkap Sirajuddin alias Pak De. Pengadilan akhirnya menghukum Pak De seumur hidup. Pada masa Presiden Habibie, hukuman dikurangi menjadi hanya 20 tahun. Tetapi, pada akhir Desember 2000 dia telah bebas bersyarat. Meskipun begitu, banyak pihak menilai kasus itu tetap misterius.

Di negeri lain, ada kisah Presiden Israel Moshe Katsav yang dipaksa mundur pada 2007 karena sering melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan-peremuan di kantornya.

Laporan Asuncion, Paraguay, pekan lalu lebih menarik lagi. Pasalnya, Presiden Fernando Lugo ternyata punya tiga anak dari tiga perempuan yang berbeda saat masih menjadi uskup! Rakyat Paraguay terperangah. Itu bukan sensasi atau fiksi karena Lugo telah mengakui dosa masa lalunya itu. Dia pun menolak desakan mundur.

Kita juga sudah tahu kisah petualangan libido Bill Clinton, terutama saat menjadi presiden Amerika Serikat. Kisah dengan warna kebohongan itu menyangkut Monica Lewinski, perempuan muda yang bekerja sebagai pegawai magang di Gedung Putih. Kasus tersebut membuat Clinton diadili oleh Senat AS meskipun selamat dari pelengseran sebagai kepala negara.

Kasus menarik lain menyangkut O.J. Simpson, mantan bintang sepak bola dan aktor film, yang dituduh membunuh istrinya, Nicole Brown Simpson, dan temannya, Ronald Goldman, pada 1994. Kasus tersebut begitu menggegerkan dan memperoleh perhatian luar biasa dari masyarakat. Banyak sumpah serapah dialamatkan kepada Simpson. Namun, setelah melalui sidang pengadilan yang berlarut-larut, pada 3 Oktober 1995 hakim menyatakan O.J. Simpson tidak bersalah.

Toh begitu, gugat-menggugat masih terus berlangsung antara keluarga korban dan O.J. Simpson. Tapi, akhirnya pada 21 Februari 2008 Pengadilan Los Angeles menangguhkan semua gugatan terhadap Simpson. Kasus tersebut begitu menarik sehingga banyak penulis mengabadikan dalam buku-buku. Beberapa di antara buku yang mengulas kasus itu adalah Outrage: 5 Reasons Why O.J. Simpson Got Away with Murder (1997) karya Vincent Bugliosi; O.J. Simpson Facts and Fictions (Daniel M. Huntt, 1999); O.J. Simpson is Guilty, but Not of Murder (William Dear, 2000); dan The Overlooked Suspect (2007).

KPK dan Antasari Azhar

Sekarang kita disuguhi laporan-laporan tentang terbunuhnya Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnain. Kasus itu jelas menarik sekali karena disebut menyangkut skandal seks. Polisi telah menangkap sejumlah tersangka dan akan memeriksa lainnya, termasuk Antasari Azhar, yang tidak lain adalah ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Laporan-laporan menyebutkan, Antasari dituduh berada di balik pembunuhan itu, mungkin karena khawatir perselingkuhannya dengan istri ketiga Nasrudin, Rani Juliani, diungkapkan ke publik. Dia telah dibebaskan sementara dari jabatannya di KPK.

Orang-orang bertanya akan bagaimanakah kelanjutan kasus tersebut? Banyak pertanyaan memang, tapi jelas tidak bisa dijawab dengan cepat. Mampukah penegak hukum menangani kasus itu secara profesional dan bermartabat? Atau sebaliknya, dapatkah Antasari membuktikan secara gamblang bahwa dirinya tidak terlibat pembunuhaan tersebut?

Masyarakat pantas mempertanyakan hal-hal itu karena pertaruhannya sangat besar, menyangkut reputasi KPK dan agenda besar bangsa ini dalam memberantas tindak pidana korupsi. Masyarakat pantas gelisah dan khawatir atas kemungkinan Antasari terbukti terlibat pembunuhan itu.

Sama gelisah dan khawatirnya dengan kemungkinan ketua KPK itu menjadi korban semacam konspirasi orang-orang yang menaruh dendam kesumat terhadapnya. Itulah akibat banyaknya tokoh dan pejabat terkemuka yang dikirim ke penjara oleh KPK karena korupsi.

Namun, ke mana pun arah perkembangannya, perlulah diingatkan bahwa masyarakat tidak dapat dibohongi. Siapa pun yang mencoba berbohong, tidak jujur, atau membuat rekayasa, betapa pun canggihnya, akan sia-sia. Benar kata sebuah ungkapan, "Crime does not pay." Sejarah telah membuktikannya. Berkali-kali. (*)

* Djoko Pitono adalah jurnalis dan editor buku.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Proyek Roro Jonggrang TI KPU

Komisi Pemilihan Umum
Proyek Roro Jonggrang TI KPU

Tabulasi nasional pemilu yang dihimpun sistem teknologi informasi (TI) Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir, Senin lalu. Tercatat 13.207.508 suara masuk dari 171-an juta suara. Menjelang batas akhir perhitungan, para calon anggota legislatif (caleg) dan tim sukses tekun menyimak angka-angka lewat 26 monitor komputer di lobi Ruang Flores, Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

Mereka memegang kertas, sesekali membuat catatan. Padahal, data yang masuk sangat pelit. Target KPU menampilkan hingga 80% dari total suara secara nasional dipastikan gagal. Para pengunjung juga tak beranjak ketika jaringan sempat terputus pada pukul 14.00 hingga 14.30 WIB.

Sedianya, perhitungan riil KPU itu bisa dijadikan panduan oleh para elite partai politik (parpol) untuk menjajaki koalisi. Namun tabulasi KPU kalah cepat dari hiruk-pikuk manuver koalisi. Tak ada data riil, data hitung cepat (quick count) lembaga-lembaga survei sudah cukup menjadi pedoman untuk merembukkan koalisi.

Lambatnya tabulasi komputasi itu diakui anggota KPU, Abdul Azis. "Kami akui bahwa dari segi penayangan memang lambat," katanya. Sebagai solusinya, KPU segera melakukan perhitungan manual secara nasional. KPU Pusat pun berupaya memasukkan data secara manual dengan mengoreksi hasil pemindaian yang tidak akurat.

Namun langkah itu tidak banyak menolong. "Setiap perbaikan melewati proses yang lama, karena setiap perubahan ada konsekuensinya. Dari semua yang sudah masuk, 40% belum tayang," Azis menjelaskan. Dia mengakui, perhitungan tidak memenuhi target.

Hal itu terjadi karena proses pengerjaan di daerah tidah mulus. Menurut dia, beban kerjanya begitu besar. Azis menolak anggapan bahwa keterlambatan itu terjadi karena kesalahan memilih metode intelligent character recognition (ICR). Metode ICR ini, kata Azis, sangat sederhana dan bisa diterapkan dengan mudah di masyarakat.

Masyarakat cukup menulis dengan angka benar di formulir C1. Namun, di lapangan, sistem yang dianggap sederhana itu mengalami beberapa sandungan yang berakibat fatal. Misalnya, pengisian pada satu kolom lebih dari satu angka. Sehingga pemindaian pun menghasilkan data yang tidak akurat. Misalnya, ada caleg yang tiba-tiba memperoleh lonjakan ratusan juta suara.

Azis mengakui, sosialisasi rekapitulasi TI di tingkat bawah tidak maksimal. "Karena berkaitan dengan proses-proses penyiapan infrastruktur. Disesuaikan dengan pemilihan teknologi, pengadaan jaringan, dan sebagainya," Azis menambahkan. Sosialisasi terhadap operator di tingkat kabupaten hanya dilakukan dua kali.

Ditambah kemungkinan hadirnya dua orang yang berbeda dalam pelatihan. Sementara itu, sosialisasi di tingkat PPS hanya mengandalkan buku panduan yang disertakan dalam pengiriman logistik pemilu. Masalahnya, apakah mereka sempat membaca buku petunjuk itu? "Bisa jadi tidak dibaca karena beban kerja mereka sangat besar," tutur Azis.

Server yang digunakan memang warisan Pemilu 2004. "Kami tidak bisa menelantarkan barang-barang itu dan kemudian beli. Itu bagian dari efisiensi," katanya. Sebenarnya server itu masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, KPU tidak mengantisipasi besarnya minat masyarakat.

Dalam perhitungan KPU bersama tim BPPT, Azis menerangkan, dengan kecepatan 128-500 kbps, itu sudah memadai. "Kami pikir cukup," katanya. Kenyataannya, server tidak mampu melayani antusiasme masyarakat yang tinggi. "Kami memang tidak menduga antusiasme masyarakat begitu tinggi, sehingga ada kekurangan pelayanan server," ujarnya.

Lantas KPU meminjam enam server dari BPPT. Totalnya mencapai 30 unit, dua hari menjelang target penayangan 80%. Tapi pentumbuhan data tetap lelet. Kendati penayangan tabulasi di Hotel Borobudur berakhir, akan dilakukan penayangan di website dan media center KPU hingga 9 Mei.

"Kami tidak bisa pasang target. Semuanya tergantung kinerja teman-teman di daerah dan di sini. Nanti malah membebani," Azis berkilah. Persoalan TI KPU itu, katanya, bermula dari lambatnya pengucuran anggaran. Baru pada 21 Januari 2009, dana pengadaan jaringan turun.

"Pada 27 Januari 2009, kami baru bisa melakukan pengadaan," kata Azis. Pemasangan jaringan berikut pengadaan hardware dilakukan pada bulan Maret. "Satu bulan waktu yang mepet. Dan ketika sudah siap, baru teman-teman BPPT masuk," katanya.

BPPT digandeng karena lembaga ini dinilai memiliki pengalaman dan kompetensi di bidang teknologi. Alasan lain, sebagai lembaga pengkajian ilmiah, selanjutnya BPPT dapat mengolah data hasil pemilu menjadi data akademis.

Faktor keterlambatan turunnya anggaran memang diakui Dalail, Kepala Biro Logistik KPU. Pengajuan anggaran dilakukan sesuai dengan prosedur. "Pada waktu menagih ke Depkeu, mereka bilang, dana belum juga turun. Kami juga bingung," tuturnya.

Anggaran itu sesuai dengan permintaan KPU berikut tim perencanaan dalam pengadaan TI. Untuk tabulasi tingkat pusat, anggaran pengadaan jaringan mencapai Rp 18 milyar (terealisasi Rp 14 milyar). Penyediaan integrator Rp 2,5 milyar, penyediaan perangkat Rp 2,5 milyar, dan penyediaan komputer 150 unit senilai Rp 1,2 milyar. Menurut Dalail, keterlambatan turunnya anggaran itu membuat persiapan TI KPU kurang matang.

"Tiga hari sebelum hari-H saja baru mendapat tempat di Borobudur. Yang jelas, persiapan sangat kurang. Idealnya, setahun sebelumnya sudah dipasang seluruhnya," kata Dalail. Pelatihan operator di daerah sangat kurang. Sosialisasi di tingkat PPS pun minim. "Operator yang ada di kabupaten/kota tidak begitu tahu persis harus berbuat apa," katanya.

Terkait keterlambatan tabulasi itu, Ketua Tim TI KPU, Husni Fahmi, tak banyak berkomentar. Ia meminta agar tenaga operator di daerah ditambah, supaya proses pemindaian bisa berjalan cepat. "Kami benar-benar minta bantuan agar teman-teman di daerah diperkuat tenaga tambahan. Mereka yang selama ini bekerja telah berupaya keras, lelah, sehingga memerlukan bantuan tenaga," ujarnya.

Menurut Roy Suryo, caleg dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Yogyakarta, sistem ICR itu merupakan sistem yang bagus dan proven. Namun, yang jadi masalah, waktunya mendesak. "Terlalu berani," katanya. Roy mengibaratkannya dengan proyek 1.000 candi dalam semalam, dalam kisah Roro Jonggrang. "Saya tahu persis bahwa ini proyek Roro Jonggrang," tuturnya.

Pada dasarnya, server yang digunakan tidak bermasalah. Masalahnya, menurut Roy, justru terjadi di bagian hulu, yakni pada bagian entry data. Artinya, pemasukan dan kelancaran data di tingkat pusat sangat bergantung pada entry point yang ada di daerah. "Dan saya yakin, perhitungan scanning ini nggak akan selesai. Makanya, harus diambil plan B dengan segera melakukan perhitungan manual," katanya.

Rohmat Haryadi dan Sukmono Fajar Turido
[Nasional, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=125668

Akhir Tragis Sang Biduan

Akhir Tragis Sang Biduan
Peshawar -- Hidup penyanyi yang kariernya sedang menanjak itu sungguh berakhir tragis. Ayman Udas tewas ditembak saudara laki-lakinya sendiri pekan lalu di Peshawar, Pakistan.
Satu-satunya kesalahan perempuan 30 tahun itu yang membuatnya menemui ajal adalah karena ia tampil di televisi. Dia meninggalkan dua anak dan suami kedua yang baru dinikahi 10 hari sebelum kematiannya.
Udas adalah penyanyi dan penulis lagu berbahasa Pastho, bahasa yang digunakan suku di wilayah Provinsi North-West Frontier. Dia sudah sering tampil di PTV, stasiun televisi milik pemerintah Pakistan.
Dipuja penggemar lantaran lagu-lagunya, Udas justru menghadapi tentangan keras dari keluarganya yang percaya wanita tak boleh tampil di televisi. Bahkan perempuan seperti itu dianggap pendosa.
Malu lantaran kepopuleran Udas yang kian meroket, dua saudara laki-lakinya memasuki flat si penyanyi ketika suaminya sedang ke luar pekan lalu. Mereka melepaskan tembakan dan tiga peluru bersarang di dada Udas. Kedua pria itu belum tertangkap.
Lagu terakhir yang dinyanyikan Udas di televisi sebelum penembakan itu seakan sudah meramalkan kematiannya. Tembang itu berjudul Saya Meninggal tapi Tetap Hidup, Karena Saya Tetap Hidup dalam Mimpi Para Pencinta Saya.
Kematian Udas mengejutkan komunitas seniman Peshawar lantaran melambangkan kemunduran terhadap kebebasan seni dan perempuan di wilayah yang makin didominasi kelompok Islam fundamentalis itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, para penghibur lain beberapa kali menerima ancaman mati dari kelompok Islam garis keras. Sejumlah artis beken Peshawar telah dipaksa untuk berhenti tampil sebagai penyanyi dan penghibur. Ancaman itu membuat sejumlah penghibur pindah ke luar negeri atau kota lain.
Namun, Udas bukan dibunuh oleh kelompok Islam. Usman Khan, suaminya, melapor kepada polisi bahwa istrinya dibunuh oleh dua saudara laki-lakinya sendiri karena mereka tak setuju dengan karier musiknya.
"Dia dibunuh karena melanggar tradisi keluarga," ujar Khan. Di Pakistan, ada tradisi yang dalam bahasa Sind disebut karo-kari, membunuh anggota keluarga sendiri yang dianggap telah mempermalukan keluarga.
Beberapa alasan penyebab honor killing ini, menurut Amnesty International, adalah mengenakan pakaian yang dianggap tak sopan, terlibat dalam hubungan seksual yang dianggap melanggar norma agama, dan menikah dengan orang dari suku atau agama lain.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Kependudukan mencatat tiap tahun ada ratusan orang, kebanyakan perempuan, Pakistan meninggal di tangan keluarganya sendiri demi karo-kari. Dan Udas tampaknya bukan korban terakhir. The Sunday Times | Amnesty International | UNFPA | Nugroho Dewanto

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Internasional/krn.20090505.164368.id.html

Kasus Penyiksaan Israel terhadap Warga Palestina Naik

Kasus Penyiksaan Israel terhadap Warga Palestina Naik
Sebuah laporan yang dipaparkan di depan PBB menunjukkan bahwa angka kasus penyiksaan Israel naik 15 persen pada periode yang sama.
JENEWA -- Tambah tahun, tambah pula jumlah kasus penyiksaan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. Misalkan pada periode Januari 2008 dibandingkan dengan Januari 2009. Pada periode pertama, jumlah pasien warga Palestina korban interogasi Israel hanya 1,45 persen dibanding pada Januari lalu yang meroket sampai 17 persen, atau terjadi kenaikan lebih dari 15 persen. Data itu diungkapkan oleh lembaga Physicians for Human Rights-Israel kemarin.
Physicians for Human Rights-Israel adalah satu dari delapan lembaga swadaya masyarakat yang diminta Komisi Antipenyiksaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bermarkas di Jenewa, memaparkan rekam jejak Israel. Ini merupakan fokus evaluasi PBB tahun ini selain rekam jejak Chad, Cile, Honduras, Nikaragua, dan Filipina, sebagai bagian dari evaluasi periodik terhadap seluruh negara.
Menanggapi hasil Physician itu, juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Mark Regev, menyatakan sudah pasti orang-orang yang memasuki Israel dari Jalur Gaza harus diperiksa atas alasan keamanan. "Karena sayangnya selama ini banyak sekali contoh orang yang minta izin masuk Israel dengan alasan medis, tapi kemudian dieksploitasi oleh para teroris," ujar Regev. "Lebih dari 13 ribu warga Palestina masuk ke Israel dari Jalur Gaza untuk menjalankan terapi medis. Munculnya ide bahwa Israel menjadikan terapi medis sebagai bagian dari operasi intelijen sangat tidak masuk akal."
Duta Besar Israel untuk PBB, Roni Leshno Yaar, menyatakan pemerintah Israel akan tampil di depan komite pada pertengahan pekan ini untuk menjawab apa pun pertanyaan yang berkaitan dengan masalah penyiksaan. "Israel sudah menyerahkan sebuah laporan terperinci pekan lalu dengan sejumlah dokumen yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu," ujar Yaar.
Dalam konferensi pers, Physicians for Human Rights tetap menyatakan bahwa praktek yang dilakukan Israel melanggar Kesepakatan Internasional Antipenyiksaan dan aturan umum kode etik medis, sehingga situasi kian memburuk.
Menurut catatan Physician, pada Januari 2008-Maret 2009, sedikitnya ada 438 pasien yang sudah diinterogasi di perbatasan Erez sebelum mendapatkan izin untuk berobat di luar Gaza. "Warga Palestina yang keluar dari Erez untuk mencari pengobatan di Yerusalem Timur, Yordania, Tepi Barat, dan Israel mengalami interogasi serius," ujar Hadas Ziv, yang mengepalai Physicians. "Situasi di perbatasan Rafah yang berbatasan dengan Mesir berbeda, namun prosedur untuk bisa meninggalkan Gaza juga sangat sulit," ujar Ziv.
Laporan itu juga menambahkan bahwa di Erez, badan intelijen Israel, Shin Bet, bahkan menginterogasi anak-anak di bawah umur, memotret para pasien tanpa persetujuan mereka, menahan pasien untuk jangka waktu yang lama, serta menghina, mengutuk, mempermalukan, dan mengintimidasi pasien. "Mereka yang tak cukup kuat menjalani proses itu tak akan mendapatkan izin keluar," Ziv melanjutkan. The Jerusalem Post | Akmal Nasery Basral

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Internasional/krn.20090505.164367.id.html

PILIHLAH "ANU"

PILIHLAH "ANU"


NomorT18011365
Edisi18/01
Halaman06
RubrikNasional
SubyekSETELAH 16 TAHUN
3 Jul 1971



Deskripsi
PEMILI KE-2 TAHUN 1971 SIFATNYA TAK BEDA DENGAN PEMILU PERTAMA
TAHUN 1955, MASYARAKAT LEBIH MEMILIH TANDA GAMBAR DARI PADA
CALON. 10 BUAH TANDA GAMBAR YANG DIIZINKAN SERTA TEMA KAMPANYE
PUN DIPERSEMPIT.




APAPUN jang anda pilih 3 Djuli ini katakanlah "Anu" anda belum
tentu bisa segera melihat hasilnja. Apa lagi sebelumnja. Tapi
itu lumrah. Tidak ada ramalan pendahuluan jang bisa di pegang
mengenai satu hasil Pemilihan Umum Indonesia. Negeri ini belum
tjukup modern untuk memiliki pengumpulan pendapat publik buat
memperkirakan pilihan rakjat mendjelang hari pemungutan suara.
Lagipula Pemilihan Umum di Indonesia -- karena perkembangan
politik jang belum teratur -- baru dua kali ini diadakan setjara
nasional. Jang berlangsung ditahun 1971 ini terdjadi 16 tahun
setelah Pemilihan Umum pertama, dan Pemilihan Umum pertama
ditahun 1955 itu terdjadi setelah 10 tahun Republik berdiri.
Seandainja setjara teratur tiap 5 tahun sekali orang memberikan
suaranja, maka ramalan dan perhitungan akan lebih mudah.

Itulah sebabnja kemelesetan ramalan terdjadi ditahun 1955. PSI,
misalnja, jang menjangka -- atau disangka -- akan dapat keluar
sebagai salah satu partai besar, ternjata malahan djadi
mentjiut. Sementara itu PKI dan terutama NU muntjul mendjadi
partai besar disamping PNI dan Masjumi. Berhasilnja NU di tahun
1955 -- satu partai jang dianggap mewakili golongan Islam
ortodoks -- di Djawa djuga tak pernah terbajangkan sebelumnja.
Lebih-lebih tak terbajangkan bahwa NU djustru mendapat pemilih
jang banjak dimana djuga PKI mendapat pemilih jang banjak.
Adakah pengalaman lama akan terulang pula dalam Pemilihan Umum
kedua hari Sabtu ini? Mungkin. Keadaan belum banjak berubah
didalam susunan dan nilai-nilai masjarakat. Tapi bagaimanapun
djuga, djarak waktu dua windu tjukup pandjang, dan dasar
perhitungan dulu belum tentu akurat untuk masa kini.

Partai-Partai Jang Melemah

16 tahun bangsa ini tidak pernah mengalami Pemilu setelah Pemilu
pertama 1955. Selama masa itu proses kehidupan politik sudah
berdjalan sedemikian rupa, sehingga fikiran tentang adanja
Pemilihan Umum sadja sudah djarang. Sedjak dibubarkannja
Parlemen hasil Pemilu 1955 bulan Maret 1960 oleh Presiden
Sukarno, memang Badan Perwakilan Rakjat tetap ada. Tetapi badan
perwakilan itu telah berubah dan makin sukar untuk menentukan
adakah disana tertjermin kekuatan-kekuatan sosial-politik
dimasjarakat atau hanja kekuatan jang sekedar memenuhi kebutuhan
jang sedang berkuasa. Apa jang di sebut wakil-wakil rakjat dalam
badan legislatif adalah hasil dari penundjukkan dari atas.

Masa itu djuga menundjukkan, bahwa arti pengertian "kekuatan
sosial-politik" tidak dengan sendirinja mentjerminkan banjaknja
suara rakjat dalam Pemilu dan kursi perwakilan diparlemen.
Parlemen dan partai-partai kehilangan dajanja, berhadapan dengan
langkah-langkah Presiden Sukarno dan TNI dibawah Djenderal
Nasution. Meskipun tokoh Masjumi Prawoto Mangkusasmito
sebelumnja menulis sadjak bahwa "demokrasi tampak miring", tapi
saat itu pengertian demokrasi djustru sedang membingungkan
dimaklumkannja Demokrasi Terpimpin dari atas telah menggantikan
demokrasi parlementer jang dibulan Nopember 1945 djuga
dimaklumkan dari atas hingga melahirkan banjak partai. Dan
Demokrasi Terpimpin itu njatanja diterima oleh sebagian besar
chalajak politik, ketjuali Masjumi, meskipun tafsirannja
berbeda-beda. Orang-orang Murba menginginkan dari sistim baru
itu timbul partai tunggal. PKI menghubungkannja dengan Konsepsi
Presiden tahun 1957 untuk memasukkan orang-orang komunis dalam
Kabinet. Tentara menjokongnja karena menganggap tidak beres para
politisi sipil, sementara kesatuan negara sedang amat terganggu
oleh pergolakan daerah PNI setudju mungkin karena dekat dengan
Bung Karno-nja, dan NU mungkin karena pandangannja waktu itu
memang sering tak sama dengan Masjumi, sementara sikapnja untuk
beroposisi memang belum pernah nampak. Sementara itu banjak
orang lain terpikat oleh sembojan kembalinja "semangat
Revolusi".

Perbedaan tendensi dalam menerima Demokrasi Terpimpin itulah
jang kelak menjebabkan timbulnja konflik-konflik mendjelang masa
sendjakala pemerintahan Sukarno. Meskipun demikian, tahun-tahun
permulaan Demokrasi Terpimpin adalah periode politik non-partai
Di Kabinet jang dipimpin Presiden Sukarno semua Menteri harus
melepaskan afiliasi kepartaian mereka, dan dari ABRI duduk 11
Menteri. Pegawai tinggi dilarang berpartai, ABRI mulai duduk
dibirokrasi non-militer dan PN-PN. Dan setelah-Parlemen hasil
Pemilu dibubarkan karena menjerang rentjana anggaran belandja,
dibentuklah Parlemen baru dengan 283 anggota, dengan wakil-wakil
partai tjuma sekitar 130 orang, meskipun diantara 131 anggota
golongan karya dan lain-lain masih terdapat djuga
"tangan-tangan" parpol. Bersama dengan itu makin terkenallah
istilah "karyawan" sebagai orang jang tidak berada dibawah
parpol -- diantaranja dipakai para seniman dan intelektuil dalam
Manifes Kebudajaan tahun 1963. Masa itu barangkali merupakan
masa jang disebut Lenin sebagai "revolusionisme non-partai". Dan
itu sudah tentu tak dikehendaki PKI, jang menganggap partai
sebagai alat pokok perdjuangan, bahkan orang komunis selalu
menganggap partainja sebagai sesuatu jang luhur Lagipula PKI
djuga harus mempertahankan hidup dan identitasnja.

Pendidikan Politik Massal

Maka tak mengherankan bila PKI-lah sebenarnja jang mempelopori
kebangkitan partai-partai dibabak keduanja Demokrasi Terpimpin.
Sementara itu hubungan Sukarno -- TNl mulai terganggu. Mungkin
karena Presiden lagi mengimbangi kekuatan tentara dengan
kekuatan partai-partai, ia mulai meningkatkan posisi Front
Nasional dalam kehidupan partai-partai masih utuh dan bulat,
meskipun di Front Nasional ada djuga orang-orang non-partai atau
jang dianggap non-partai, Slogan NASAKOM jang makin lama makin
keras, djuga makin lama makin diartikan sebagai koalisi
partai-partai PNI, NU dan PKI pertama. Dan dengan dipelopori PKI
makin keraslah "kompetisi Manipoli" untuk mengarah kepada partai
mana jang bakal djadi "partai pelopor" Kegiatan parpolpun makin
menghebat dengan PKI sebagai sutradara dan pemain utama
Pengerahan massa, pawai drumband, demonstrasi-demonstrasi
hebat-hebatlah merajakan ulaln-tahun, semua itu mendjalar dari
kota kedesa. Suasana terasa seperti sedang menudju suatu kontak
fisik jang besar, sementara TNI dan golongan karya jang
didukungnja berada dalam keadaan defensif. Dan karena segala
hiruk-pikuk politik itu di lakukan diluar Parlemen, termasuk
pemukulan dan pembunuhan, hampir seluruh lapisan masjarakat,
terutama para pemuda, mengalami proses pendidikan politik jang
militan Pertumpahan darah besar-besaran setelah 1 Oktober 1965
adalah akibatnja.

Adakah proses pendidikan politik setjara massal selama
tahun-tahun itu berpengaruh dalam Pemilu 1971 ini? Tentunja
demikian Dan karena pendidikan massal itu terutama dilakukan
partai-partai -- sekarang chususnja tinggal PNI dan NII
nampaknja akar partai tjukup kokoh. Suasana kampanje mendjelang
3 Djuli kinipun menun-djukkan sisa-sisa militansi beberapa tahun
jang lalu, sekitar 1965, dikalangan ormas-ormas. Tapi tentu
sadja perlu di tjaat, bahwa meskipun partai-partai mengambil
inisiatif penting dalam pengganjangan PII tahun 1965-1966,
mereka merosot kembali peranannja sedjak 1966- 1967. Dihadapan
Sukarno jang sedang djatuh mereka ternjata belum djuga kuat,
dibawah Suharto mereka merasa terdesak atau seperti kehilangan
ilham. Tak mudah memperkirakan posisi Golkar dipemungutan suara
1971 ini

Dimana Anak-Anak Muda?

Pemilihan Umum jang sekarang djuga sukar diramalkan djika
diingat faktor komposisi pemilih Penduduk Indonesia selama 16
tahun telah bertambah dari 77.987.879 djiwa menurut sensus tahun
1954 men-djadi 114.972.428 menurut Sensus jang diadakan tahun
1970. Sedang djumlah jang berhak memilih dari hanja 43.104.464
ditahun 1955 telah meningkat mendjadi 57.750.615.

Jang penting dari jumlah 57 djuta itu terdapat mereka jang pada
Pemilu 1955 tak ikut memilih. Mereka itu sekarang
setidak-tidaknja berada dalam usla antara 18 dan 30 tahun atau
setjara pukul rata berusia 25 tahun, Enambelas tahun jang lalu,
sebagian mereka adalah tabula rasa dalam politik, polos. Sebab
sedjumlah diantaranja masih berumur 5 tahun, bahkan 2 tahun --
dan ingusan dalam arti harfiah. Meskipun begitu setelah 1955
banjak hal terdjadi. Masa pergolakan daerah ditahun 1957 dan
terutama masa "Kompetisi Manipolis" ditahun 1960-an pasti
membekas. Sebagian besar pemuda tentu merasakan zaman berpawai
dengan drumb-band di masa Nasakom itu. Dari sini djuga
muntjulnja penggerak-penggerak utama kekuatan jang kemudian
menumbangkan kekuasaan Sukarno dan melahirkan pemerintahan jang
sekarang. Mereka ini kemudian sebagai apa jang lazim disebut
Angkatan '66. Berapa djumlah mereka ini'? Perhitungan kasar
menundjukkan paling tidak mereka meliputi 50% dari jang berhak
memilih sekarang. Atau diukur dengan djumlah 360 kursi jang
diperebutkan dalam pemilihan untuk anggota DPR sekarang suara
dari kalangan pemuda ini akan men-tjakup sedikitnja 180 kursi

Apakah artinja? Seandainja mereka berkumpul dalam satu wadah dan
wadah itu turut dalam Pemilu, mereka sesungguhnja adalah
golongan pertama jang harus diperhitungkan tapi sebagaimana
telah terdjadi, pada pemuda ini tidak berada dalam satu wadah;
mereka tersebar didalam partai-partai politik, di dalam Golkar
dan diluar tanda gambar jang manapun. Termasuk dalam kategori
terachir ialah semua mereka dari jang apatis sampai kepada jang
paling ekstrim tidak mau ikut memilih -- seperti halnja dengan
kelompok pemuda jang menamakan dirinja Golongan Putih.

Satu problim penting untuk kini dan masa depan adalah kenjataan
terpetjahnja suara warganegara muda. Mereka terpetjah dalam
menghadapi pemerintah -- jang dulu turut mereka lahirkan sendiri
dan terutama dalaml menghadapi ABRI, kekuatan jang menentukan
perkembangan Indonesia jang akan datang. Selain jang sudah
memihak partai-partai dan jang menundjukkan sikap "keras"
terhadap militer, menarik djuga fenomena pemuda-pemuda Golput.
Celompok sematjam Golput memang hanja terdiri dari beberapa
gelintir pemuda. Waktu "kampanje" mereka djuga terlalu sempit
dan terlambat. Tetapi sebelum Golput memperdengarkan suaranja,
orang sudah mendengar sikap jang sama selain di Djakarta, djuga
di Bandung, Surabaja dan Jogja. Setelah Golput bergerak dan
mendapat publisitas dipers, sikap itu rupanja punja gema. Di
Jogja lahir "Germo" nama lelutjon untuk Gerakan Moral. Di
Djakarta dan Bandung mahasiswa dikampus djuga bersuara meereka
lebih-kurang memprotes banjaknja tangan Pemerintah mendjelang
Pemilu, menekan hak-hak azasi dan lain-lain untuk memenangkan
Golkar.

Pemerintah & Pemilu

Djika peran penguasa sebagai wasit kini digugat sikapnja, apakah
itu karena pada masa kampanje Pemilu 1955 dulu tidak ada
"permainan" Pemerintah? Nampaknja tjukup ada. Dan karena
pemerintah menurut sistim jang berlaku waktu itu adalah partai
jang memimpin kabinet, partai jang kebetulan berkuasa setjara
sistimatis dan terarah telah memanfaatkan kekuasaannja untuk
me-nolong memenangkan partainja dalam Pemilu.

Dimulai dengan Kabinet Ali pertama dari PNI, jang menghampiri
saat Pemilu 1955, dilakukanlah usaha "parpolisasi' aparat
pemerintahan, terutama dikalangan pamong-pradja. Proses ini
dimula dengan penggantian personil pemerintahan ditingkat atas,
posisi sekretaris sekretaris djenderal dan djuga pos-pos
perwakilan luarnegeri serta tingkat propinsi. Tindakan ini dapat
dipandang sebagai pukal awal dari tradisi ketergantungan pegawai
negeri kepada parta politik.

Kabinet Burhanuddin Harahap jang menggantikan Kabinet Ali hanja
beberapa minggu sebelum Pemilu mentjoba mengurangi kembali
pengaruh PNI di kalangan pegawai negeri itu. Tentu sadja dengan
berusaha menggantikan pegawai jang PNI dengan pegawai-pegawai
simpatisan Masjumi atau PSI. Dengan itu satu tradisi merupakan
partai-politikkan aparat pemerintah telah dirintis, meskipun di
tahun 1959, saat mulainja Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno
dan ABRI mentjoba menjetopnja: pegawai tinggi pemerintah dan
perusahaan negara di larang berparkir. Dari situ agaknja bisa
didjelaskan langkah memuntjulkan Kokarmendagri dan Kokar-Kokar
lainnja: dengan alasan untuk sekadar membersihkan pengaruh
politik kedalam aparat pemerintah. Alasan itu sudah tentu bisa
difahami.

"Monolojalitas"

Meskipun begitu, dari soal penempatan Tempat Pemungutan Suara di
kantor-kantor nampak bahwa Pemerintah memang bukan sekadar
melakukan "deparpolisasi" birokrasi melainkan "golkarisasi".
Sebagai rentjana singkat soalnja memang soal menambah djumlah
suara buat tanda gambar No.5, sebagaimana tersirat dalam
formulir-formulir "monolojalitas". Sebagai rentjana djangka
pandjang, barangkali itulah satu tjara untuk mengketatkan
koordinasi dan kontrol terhadap birokrasi Indonesia jang
terkenal sulit dirapikan. Tapi sementara itu orang tahu, bahwa
tindakan "deparpolisasi" pegawai negeri hanja bisa dibenarkan,
asal pem-bentukan Kokar-Kokar diinsjafi bahajanja jaitu bahaja
kalau-kalau ukuran ketjakapan pegawai seterusnja musti
digantikan dengan ukuran "kesetiaan" pada Pohon Beringin. Jang
demikian bisa menghantjurkan norma-norma administrasi jang
wadjar. Dan karena itulah agaknja beberapa tokoh-tokoh Golkar
belakangan ini menjatakan bahwa "golkarisasi" itu bersifat
sementara -- untuk selandjutnja digantikan dengan korps
birokrasi jang benar-benar tidak memihak atau "steril". Walaupun
demikian, image Pemerintah sebagai "wasit" jang tidak memihak
kini memang tidak tjukup terlihat.

Tapi tidakkah pemihakan Pemerintah diluar lembaga Pemilihan
Umum, bisa dianggap wadjar kalau orang mengingat kehidupan
politik di-negara seperti AS dimana bahkan Presiden sendiri
turut ber-kampanje? Bisa sadja sebenamja. Hanja rupanja di
Indonesia kini ada hal jang menjebabkan pemihakan itu dirasa
kurang patut. Pertama, ialah pemihakan ABRI kepada Golkar.
Sebenarnja ABRI ditentukan tidak ikut memilih dan mendapat 75
kursi djatah --suatu ketentuan jang sudah mulai sedjak djaman
Front Nasional dan Demokrasi Terpimpin di tahun 1959. Kedua,
adanja sikap jang masih ingin memandang Pemerintah,
personifikasinja sekarang ialah Presiden, sebagai tokoh "diatas
semua golongan". Ini sebagian merupakan bekas kenangan dari masa
demokrasi parlementer dulu. Pada masa itu, Presiden Sukarno jang
dianggap memihak Kabinet Ali Sastroamidjojo ditahun 1954,
mendapat kritik dari Natsir: ia dianggap telah meninggalkan
posisinja sebagai "Bapak Negara" jang menengahi pertentangan
partai-partai.

Dan bagaimana djika dibandingkan sekarang? Presiden Suharto
sebagai Menteri Hankam pernah mengandjurkan agar isteri-isteri
pradjurit memilih Golkar. Sebenarnja banjak ahli politik jang
menganggap hal itu djustru baik sekali, mengingat Presiden
Suharto sudah sewadjarnja mengambil posisi seperti lajaknja
seorang kepala Pemerintahan jang dipilih rakjat, jakni
berkampanje dalam Pemilu untuk memperpandjang masa djabatannja.
Tapi sisa-sisa pemikiran masa lalu memang masih kuat. Agaknja
karena itulah Nj.Tien Suharto baru-baru ini menjatakan, bahwa
"Pak Harto berada diatas semua golongan". Presiden dianggap tak
patut berkampanje, seolah-olah untuk djabatan itu ia tak dipilih
rakjat.

Setjara umum, sikap menghadapi Pemilu 1971 dengan UUD '45 memang
mirip dengan sikap menghadapi Pemilu 1955 dengan UUD'50.

Pilihlah tandagambar.

Tak ubahnja dengan Pemilu jang sekarang, Pemilu pertama dulu
djuga sifatnja lebih memilih tanda-gambar, dan kurang tampak
memilih tjalon. Bahkan dulu tjalon-tjalon perseorangan -- jang
tidak ada dalam Pemilu sekarang -- djuga harus kampanje dengan
mnenampilkan tandagambar. Dan tandagambar jang rupa-rupa itu
--ada jang mirip-mirip kode hwa-hwe, seperti Tjupu Manik
Astagina misalnja -- oleh jang empunja dikampanjekan dengan
tafsiran jang sedemikian rupa sehingga sebuah partai lebih
dikenal melalui tandagambarnja daripada melalui program dan
perdjuangannja. Sikap tradisionil untuk menghormati
simbul-simbul memang masih kuat.

Dan hal itu masih berulang pada kampanje Pemilu kedua ini: tidak
hanja berlaku dalam parpol, tetapi djuga dalam Golkar jang
dianggap tjukup banjak punja tokoh-tokoh pembaharuan. Barangkali
ini dilakukan karena kesadaran bahwa rakjat Indonesia masih
lebih mudah menerima sebuah tandagambar dari pada program dan
perdjuangan sesuatu golongan. Barangkali djuga karena sedikit
tokoh partai dan Golkar sendiri jang masih terikat sebara tak
sadar pada sikap lama itu. Ditambah lagi, sistim pemilihan jang
dipakai kini masih memungkinkan rakjat untuk tidak menentukan
langsung wakil-wakilnja sendiri, melainkan ditentukan oleh para
pemimpin organisasi peserta Pemilu. Tentu sadja harus ditjatat
bahwa kinipun ada usaha menampilkan tjalon-tjalon jang dianggap
menarik, terutama oleh Golkar -- seperti Sultan Hamengkubuwono,
Adam Malik dan lain-lain. Meskipun dulu PKI ada mentjobanja
djuga, misalnja dengan menampilkan pelukis Affandi, tapi dalam
hal mengadjukan tjalon, sekarang ini memang nampak ada kemadjuan
sedikit.

Sebab antara kampanje Pemilu 1955 dengan jang sekarang, memang
ada perbedaan penting. Disamping djumlah tandagambar jang
diizin-kan ikut dalam Pemilu sekarang hanja dibatasi 10 buah
sadja, tema kampanje untuk Pemilu kedua inipun telah
dipersempit. Misalnja tidak satupun diantara kesepuluh kontestan
mempersoalkan perdjuangan ideologi selain Pantjasila dan UUD 45
sebagai dasar -- meskipun bukan tidak mungkin tafsirannja masih
berbeda-beda. Dan penjempitan tema kampanje itu memang
ditjantumkan dalam ketentuan kampanje jang dikeluarkan Ketua LPU
Menteri Dalam Negeri. Tidak hanja itu. Bahkan djuga dalam lagu
Pemilu misalnja. Lagu Pemilu 1955 jang disiarkan RRI
menjebut-njebut kata-kata "Menurut pilihan bebas rahasia", tapi
apa bunji lagu Pemilu 1971? Seakan sebuah instruksi, bait
terachirnja berbunji: "Pilihlah wakilmu jang dapat dipertjaja,
Pengemban AMPERA, Dibawah Undang-Undang Dasar Empat Lima". Tentu
sadja meskipun dalam lagu ini tiada kata-kata "bebas rahasia",
itu tidak berarti dengan sendirinja Pemilu 1971 tidak akan
bebas-rahasia -- setidak-tidaknja begitulah jang tertulis dalam
buku resmi.

Issue Jang Tersingkir.

Walaupun begitu, apa jang tertjantum dibuku resmi itu toch
ternjata masih djadi persoalan. Sebabnja mungkin karena
terlihatnja peranan ABRI setjara terang-terangan dipermukaan --
bukan hanja sebagai pendjaga keamanan, jangan berarti keamanan
pemilih, tapi djuga sebagai penjokong Golkar. Dibandingkan
dengan tahun 1955, ini memang hal jang baru.

Akan tetapi peranan ABRI dan terutama TNI-Angkatan Darat bukan
pula tidak ada dalam suasana Pemilu tahun 1955. Kegiatan Letnan
Kolonel Zulkifli Lubis dibelakang (atau didepan?) kabinet
Burhanuddin Harahap waktu itu dengan djelas terlihat
padaterdjadinja penangkapan-penangkapan dihari-hari sekitar
Pemilu. Usaha fihak Angkatan Darat ini agaknja gabungan antara
usaha pemberantasan korupsi jang djuga banjak melibatkan
orang-orang partai -- dan jang terkena adalah orang PNI --
dengan usahanja untuk membendung meningkatnja pengaruh komunis
dikalangan ma- sjarakat pemilih. Dan tentu sadja itu djuga
mentjerminkan kehendak TNI untuk ikut dalam kantjah politik --
suatu kehendak jang sudah lama dirasakan, bersama timbulnja
keketjewaan terhadap politisi sipil. Menindak korupsi adalah
sekaligus menundjukkan gigi dan mentjanangkan missi jang
populer.

Dalam hubungan ini tjukup menarik bahwa suara anti-korupsi
praktis tidak terdengar sebagai tema kampanje Pemilu 1971, baik
oleh partai politik maupun oleh Golkar. Bahkan djuga tidak
terdengar disuarakan oleh mereka jang tidak mau memilih dan
bernama Golput, bekas-bekas peserta Komite Anti Korupsi tahun
1970. Masalah korupsi jang sebelumnja ekplosif setjara tiba-tiba
mereda dan menghilang. Mengapa demikian?

Dari fihak partai-partai issue korupsi dan pemberantasannja
agaknja djauh kurang mendesak dibandingkan dengan issue tentang
intimidasi, dilanggarnja hak azasi dan sebangsanja jang sekarang
in; sedang dirasakannja setjara langsung. Sedang dari fihak
Golkar, jang platformnja adalah pembangunan dan pembaharuan,
lebih mudah dimaklumi: memakai issue korupsi dalam kampanje
berarti memukul aparat pemerintahan sendiri. Apalagi issue
anti-korupsi sedjak 1969 biasanja dirasakan memukul fihak ABRI
fihak jang djustru sekarang menopang Golkar.

Sementara itu pers, berbeda dengan keadaan sekitar Pemilu 1955,
ternJata kini djuga tak merepotkan itu. Dan apabila pers memang
merupakan tjermin suasana sosial-politik, maka jang tertjermin
kini di Indonesia njatalah suatu ketegangan lain. Djika kekuatan
kekuatan beradu dan jang dibitjarakan ialah soal hak azasi
disatu pihak dan pembaharuan dilain fihak, itu berarti suatu
periode jang amat menentukan sedang dalam proses. Sebab jang
dipersoalkan adalah hal-hal fundamentil dalam kehidupan
bernegara.

Konflik & Ketjemasan.

Maka bisa dimengerti bila penjelewengan dan korupsi mendjadi
terasa kurang penting dan mendesak sekarang. Perkara korupsi
adalah perkara administrasi jang sedang bekerdja. Perkara hak
azasi dan pembaharuan adalah perkara suatu bangsa jang sedang
menentukan sikap. Tak mengherankan, djika banjak orang
menghadapi Pemilu 1971 dengan tegang. Apalagi karena Pemilu bagi
masjarakat belum djadi soal biasa, dan masih merupakan peristiwa
besar jang sangat djarang terdjadi. Ditambah dengan ingatan akan
masa kekerasan berdarah 5-6 tahun jang baru lalu, kekerasan dan
konflik jang disana-sini terdjadi sekarang makin mentjemaskan.

Sudah barang tentu ketegangan itu tidak lantas tiba-tiba akan
lenjap dengan selesainja orang memasukkan suara kedalam kotak.
Akan tiba giliran para petugas di TPS.melakukan penghitungan
suara. Dan menampakkan betapa buruknja tjuatja djika sudah
terdengar peringatan misalnja dari Imron Rosjadi (NU) bahwa
puntjak ketegangan djustru akan terdjadi pada saat tersebut.
Disitu memang terletak bahaja. Apakah akan djadinja nanti,
sekiranja partai-partai menjatakan bahwa ada ketjurangan dalam
penghitungan suara dan kemudian menjatakan tidk mengakui
hasil-hasil dari Pemilu ini? Meskipun kedengarannja kekuatiran
derikian terlalu dramatis, tapi hal itu bukan tidak mungkin
terdjadi. Soalnja siapkah fihak pemerintah menampung
akibat-akibat jang mungkin timbul? Dan partai-partai, jang
selama masa kampanje kom-pak dan melatih diri dalam keberanian,
tidakkah akan terpetjah-petjah karena tidak semua pimpinannja
bersedia "berkonfrontasi" dengan penguasa?

Tentu sadja ideal, bila semua berdjalan tanpa kemungkinan
seperti itu. Kcnjataan menundjukkan bahwa suatu Pemilu sering
berakibat buruk, karena orang menghadapinja dengan terlalu
serius -- meskipun untuk Pemilu kedua di Indonesia ini orang
memang sukar untuk tidak demikian. Tetapi, sedjauh konflik bisa
dicegah tanpa paksa, keadaan politik setelah Pemilu akan
mendorong semua fihak untuk saling melakukan pendekatan kembali
(lihat halaman 11 & 12).

Koalisi-koalisi akan terdjadi, mungkin antara Golkar & Parmusi &
Katholik disatu fihak dan NU & PNI dilain fihak. Dengan kata
lain ketegangan mungkin mereda. Korban djiwa memang djatuh,
dalam Pemilu 1971 ini seperti djuga dalam Pemilu 1955 (menurut
laporan LPU waktu itu, 150 orang terbunuh atau hilang, tapi
mereka petugas-petugas keamanan menghadapi gerombolan). Dan
Pemilu memang penting. Tapi ia bukan satu soal jang harus
memetjah-belah Republik. Ia hanja perlu mengadjar orang
Indonesia untuk berbeda-beda, selain bersatu -- bukan sadja
dalam kebudajaan, tapi djuga dalam politik.


http://www.pdat.co.id/tempo/view_article.php?article_id=60997