BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mungkin tidak Ada Pilpres 2009

Written By gusdurian on Selasa, 21 April 2009 | 12.51

Mungkin tidak Ada Pilpres 2009
Oleh Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI


UNDANG-UNDANG Pemilihan Presi-den 2008 menyatakan bahwa peng-usulan presiden dan wakil presiden dilakukan partai politik atau gabung an partai politik yang memiliki minimal 20 kursi di parlemen, atau 25% suara sah dalam pemilihan legislatif. Ketentuan itu sengaja dibuat untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden/wakil presiden, dengan asumsi bahwa pemilihan presiden hanya akan diikuti dua atau paling tidak tiga pasangan. Kemungkinan pula pemilihan itu akan berlangsung hanya dalam satu putaran saja.
Namun, ada opsi yang dilupakan pembuat undang-undang tersebut, yakni kemungkinan hanya satu pasangan yang memenuhi syarat. Ini dimungkinkan hasil pemilihan seperti sekarang ini, dengan skenario koalisi tertentu. Kalau dilihat hasil perhitungan cepat (quick count) beberapa lembaga survei dan perhitungan sementara KPU satu-satunya partai yang sudah melewati batas ambang ini adalah Partai Demokrat. Perolehan partai yang lain adalah PDIP 14,8%, Partai Golkar 14,8%, PKS 7,5%, PAN 5,8%, PKB 5,6% , PPP 5%, Gerindra 4,5%, Hanura 3,6%.
Urutan nomor dua dan tiga memang bertukar tempat pada beberapa lembaga survei.
Hanya partai-partai ini (mungkin ditambah satu atau dua partai lainnya) yang akan duduk di DPR yang mematok persyaratan perolehan suara minimal 2,5%. Semua partai tersebut, kecuali partai baru Gerindra dan Hanura, telah ‘berkoalisi’ atau duduk di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya PDIP yang konsisten menjadi partai oposisi di parlemen dan tidak menempatkan kadernya di dalam kabinet.
Kalau dibandingkan dengan pemilu legislatif sebelumnya, terjadi pelonjakan suara Partai Demokrat (PD) sebanyak hampir 300%. Karena, dalam Pemilu 2004 partai yang didirikan SBY ini hanya meraup 7,45% suara. Tidak banyak kader partai ini yang menonjol dan di dalam parlemen kinerja mereka biasa-biasa saja. Kebanyakan pengamat menilai kemenangan Demokrat berkat popularitas Presiden Yudhoyono. Polling pendapat dari waktu ke waktu memang mengonfirmasi citra positif SBY, walau ada penurunan tapi tet ap masih di atas calon lainnya, seperti Megawati. Peluang koalisi Sementara itu, perhitungan suara legislatif belum usai. Petinggi partai telah melakukan per temuan secara intensif tanpa kenal waktu, siang atau malam, hari kerja atau libur akhir pekan. Dengan dalih membicarakan proses pemilu yang lalu, mereka telah saling menjajaki kerja sama. Mereka masing-masing tentu berhitung, apa yang akan diberikan dan apa yang akan diterima. Partai besar tentu memosisikan kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden, sedangkan partai menengah lainnya berharap dapat jatah di kabinet. Tentu saja mereka mesti menghitung secara masak-masak, kalau koalisi mereka kalah mereka bisa tidak memperoleh apa-apa. Jelas me reka akan memilih pasangan yang peluang menangnya lebih besar.
Persoalan lain adalah penempatan posisi presiden dan wakil presiden. Hampir semua adalah mencalonkan diri menjadi calon presiden hanya sedikit yang bersedia menjadi wakil presiden.
Megawati pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Sejak semula PDIP telah mencanangkannya sebagai calon presiden. Jadi, tidak mungkin Megawati dipasang sebagai RI-2. Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut-sebut sebagai salah satu calon, tetapi ia menyatakan dirinya sebagai calon presiden saja bukan sebagai wapres. Kalau masih tetap demikian, tentu tidak bisa keduanya berpasangan. Persoalan lain, apakah Golkar akan mengajukan Sri Sultan, sedangkan Partai Republikan yang mendukung Raja Yogyakarta ini tidak memperoleh suara yang signifikan. Akbar Tanjung disebut sebagai salah satu calon yang tidak mematok target RI-1.
Namun sekali lagi, apakah Golkar bersedia mengusungnya sementara Jusuf Kalla seba-gai ketua umum partai berlambang beringin ini masih ingin meneruskan ka riernya di pemerintahan.
Selain Sultan HB X, Wiranto dan Prabowo juga kader Golkar. Keduanya mendirikan partai sen-diri agar bisa menjadi kendaraan yang mengantarkan mereka ke kursi kepresidenan. Prabowo disebut berpeluang menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati. Namun, apakah suara koalisi PDIP dengan Gerindra bisa mencapai ambang atas 20% suara parlemen.
Tentu saja memenuhi syarat bila terbentuk koalisi PDIP-Gerindra-Hanura. Namun, apakah kedua partai yang terakhir ini (yang dipimpin dua jenderal pur nawirawan yang telah bersaing sebelum 1998) bisa bergabung? SBY di atas angin Kedudukannya sebagai incumbent dan kemenangan besar Partai Demokrat dalam pemilu legislatif ini meneguhkan kedudukan SBY. Baginya, lebih banyak pilihan tersedia. Ia dapat mengusung salah seorang menterinya (seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani) menjadi calon wakil presiden dan maju mengikuti pilpres.
Namun, SBY mesti menghitung pula konfigurasi parlemen yang dipimpin tiga besar (Demokrat, Golkar, PDIP). Lebih aman bila ia berkoalisi dengan partai besar.
Berkoalisi dengan PDIP dalam pilpres tentu mustahil. Karena, kedua tokoh partai ini sama mengincar jabatan RI-1. Sementara itu, koalisi Demokrat dengan Golkar meskipun sempat mengalami pasang surut, dan bahkan kerenggangan belakangan ini. Pengalaman selama empat tahun memperlihatkan bahwa SBY dan Jusuf Kalla bisa bekerja sama dan saling melengkapi. Ketika quick count yang mengunggulkan Demokrat diumumkan, Jusuf Kalla telah meng ucapkan selamat kepada SBY. Jelas ini suatu sinyal dari ketua umum partai berlogo be ringin. PKS tampaknya ingin berkoalisi dengan PD.
Ini diperlihatkan mereka jauh-jauh hari, bahkan Hidayat Nur Wahid disebut-sebut sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY. Tentu saja koalisi kedua partai ini sangat mungkin. Namun, bila PD memutuskan tetap berpasangan dengan Golkar, tentu wakil presiden bukan dari PKS.
Jatah menteri, selain Demokrat dan Golkar, akan diperoleh partai lainnya (PKS, PAN, PKB, PPP) bila mereka juga ikut bergabung.
Bila skenario tersebut yang diterapkan, yang diajukan sebagai presiden dan wakil presiden kemungkinan hanya satu pasangan. Bila ini terjadi, apakah perlu diadakan Pemilihan Presiden 2009? Presiden dan wakil presiden yang sekarang akan melanjutkan pemerintahan.
Sementara itu, kabinet dibongkar pasang dengan mengikutsertakan partai peserta koalisi.
Tentunya plus kontrak tertulis bahwa partainya tidak akan melakukan oposisi di parlemen. Oposisi dilakukan partai yang tidak duduk di kabinet.
Bila skenario ini yang berlaku, KPU akan ringan tugasnya dan tidak menerima caci maki lagi. Bagaimana dengan calon presiden alternatif lainnya? Mungkin mereka akan diperhitungkan dalam pemilu lima tahun mendatang. Namun, untuk sekarang ini mereka menjadi alternatif hanya sebatas di layar kaca.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/21/ArticleHtmls/21_04_2009_023_002.shtml?Mode=1

Kartini Sebelum Wahidin Sudirohusudo

Kartini Sebelum Wahidin Sudirohusudo


Selama ini Dr Wahidin Sudirohusodo dianggap sebagai pelopor Kebangkitan Nasional. Namun uraian berikut memperlihatkan bahwa Kartini lebih awal dalam menggagas etnonasionalisme.


Wahidin menggagas berdirinya Boedi Utomo dengan berkeliling Pulau Jawa menebar gagasan untuk memajukan pendidikan. Peristiwa itu terjadi tahun 1907. Setelah pensiun sebagai dokter pemerintah, dalam usia 50, Dr Wahidin berkeliling Jawa mempropagandakan studiefonds bagi pemuda Jawa yang ingin melanjutkan sekolah.

Di Batavia dia bertemu dengan Sutomo, 19, mahasiswa Stovia.Pertemuan itu memberi bekas yang dalam kepada Sutomo: "Suaranya yang merdu dan sarehitu membuka pikiran dan hati saya, mendatangkan cita-cita baru ... gemetar di seluruh tubuhnya ... pemandangannya menjadi luas, perasaan menjadi halus ... orang merasa akan kewajibannya yang maha luhur di dunia ini.

"Setahun kemudian,20 Mei 1908 Sutomo mendirikan Boedi Utomo di Gedung Stovia. Dia pun mengakui, "Dokter Wahidin, benar, sungguh benar kalau orang mengatakan bahwa kamulah yang menjadi pelopor pergerakan kita umumnya." Ide Wahidin tentang beasiswa itu dikembangkan Boedi Utomo dengan menyelenggarakan darmawarasejak 1913. Wahidin lahir tahun 1857 (sumber lain menyebut tahun 1852) di Desa Mlati,Yogyakarta.

Wahidin adalah saudara sepupu Radjiman Wiryodiningrat yang tahun 1945 dikenal sebagai Ketua BPUPKI. Sedari kecil Wahidin termasuk murid pandai yang disenangi teman dan gurunya. Sejak muda sudah tampak jiwa sosial dan pendidik pada dirinya. Sepulang sekolah dia membantu ayahnya dan kemudian mendatangi temantemannya yang belum bersekolah.

Dia menceritakan apa yang diterimanya di sekolah. Setelah menempuh pendidikan ELS di Yogyakarta,dia dikirim ke Batavia untuk masuk Sekolah Dokter Jawa yang lama pendidikannya 4 tahun.Hanya dalam 22 bulan, dia lulus dan diangkat menjadi asisten dosen di sekolah tersebut. Dia kemudian bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai 1899.

Pada 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalahmasalah sosial.Selain seorang intelek berpendidikan Barat,Wahidin adalah seorang pemain gamelan dan dalang wayang yang berbakat. Tahun 1907 dia berkeliling Jawa dengan menumpang kereta api kelas tiga.

Pernah ditanya mengapa sebagai orang terhormat dia bepergian di kelas tiga yang biasanya berisi wong cilik? Jawabannya, "Kalau ada kereta kelas empat, saya naik itu." Berpakaian ala Yogyakarta, dia menginap di rumah sahabat atau kenalannya. Untuk keperluan kampanye studiefonds itu,dia menghabiskan kekayaannya berupa 4 delman dan 18 ekor kuda.Wahidin meninggal tahun 1917.

Pembentukan Bangsa

Memajukan pendidikan seperti digagas Wahidin Sudirohusodo merupakan tonggak utama dalam proses pembentukan bangsa. Pembentukan Indonesia menurut Sartono Kartodirdjo berlangsung tidak seketika, melainkan melalui perkembangan selama berabad- abad di mana “bagianbagiannya secara bertahap terintegrasi ke dalam satu unit tunggal”.

Integrasi itu telah berlangsung sejak zaman prasejarah melalui pelayaran dan perdagangan,perkembangan yang terjadi semasa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta monopoli VOC abad ke-17/18. Pax Neerlandica (1800–1942) telah menciptakan jaringan birokrasi, komunikasi, sistem transportasi, agro-industrialisasi, dan sistem pendidikan. Jaringan ini dilengkapi pula dengan rasionalisasi, komersialisasi, urbanisasi dan modernisasi.

Kemudian muncullah organisasi etnonasionalis seperti Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra,Jong Ambon,dst. Secara implisit dinyatakan di sini keberagaman unsur-unsur yang ada di Nusantara yang berevolusi menjadi satu (bangsa).Konsep “bangsa”menurut Sartono mengacu kepada “sebuah komunitas politik yang keberadaannya didasarkan pada keinginan politik bersama yang bertujuan menciptakan masyarakat yang bebas, setara, bersatu yang memberikan kepada warganya kesejahteraan dan martabat dalam kehidupan antarbangsa”.

Bangsa baru jelas membutuhkan identitas nasional. Identitas nasional itu diperoleh melalui rekonstruksi sejarah nasional yang mengungkapkan pengalaman bersama di masa lalu. Masa lalu bersama itulah yang merupakan identitas nasional. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi masa lalu bersama itu dapat berperan menguatkan solidaritas dari suatu komunitas.

Dengan asumsi bahwa kebangkitan nasionalisme itu dimulai dari etnonasionalisme, maka (berarti) Kartini telah meletakkan dasarnya sebelum Wahidin Sudirohusodo. Hal ini terlihat pada Nota Kartini yang diuraikan di bawah ini.

Nota Kartini

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang berisi kumpulan surat-surat Kartini menjadikan ningrat Jawa itu sebagai tokoh emansipasi perempuan. Jarang dibahas, dua nota yang dikirimkan Kartini kepada Menteri Jajahan AWF Indenburg dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Rooseboom pada 1903.

Saat itu Menteri Idenburg tengah mempersiapkan undang-undang pendidikan bagi negeri jajahan. Kartini diberi pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa. “Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan lebih sejahtera? Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas?” Jawaban Kartini sangat tajam: “Orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami,tetapi kalau kami mau belajar mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami.”

Kartini menginginkan bangsa Jawa yang setara dengan Belanda. Berbeda dengan ide politik asosiasi yang dikemukakan Snouck Hurgronye. Tentu pengertian “bangsa Jawa” ini dapat dibandingkan pengertian “nasion”yang dikemukan Harsya Bachtiar di mana di dalam nasion Indonesia terdapat berbagai nasion lain yang lebih kecil, yakni nasion Jawa, nasion Minang, nasion Bugis, dan seterusnya.

Dengan kata lain, Kartini dapat dianggap berbicara tentang aspek etnonasionalisme yang dari sini kemudian berkembang nasionalisme. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa Kartini tidak hanya tokoh emansipasi perempuan, tetapi juga pelopor kebangkitan nasional.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/231589/

Berkaca pada Semangat Kartini

Berkaca pada Semangat Kartini


“Masing-masing sendiri-sendiri memang dapat berbuat sesuatunya akan memajukan bangsa kami. Tetapi apabila kita berkumpul, bersatu,mempersatukan tenaga, bekerja bersama-sama untuk usaha itu akan lebih besar hasilnya.”


RA Kartini Rangkaian kalimat itu selalu terngiang-ngiang dalam benak saya yang mendambakan persatuan bangsa ini untuk selalu berlari berakselerasi menuju kebaikan serta bayangan manis kemajuan perempuan yang juga menjadi bagian darinya.

Itu adalah salah satu pemikiran Raden Ajeng Kartini (1879–1904), seorang gadis muda yang berharap dapat memberikan sumbangan bagi semakin cerahnya masa depan kaum perempuan golongannya. Dia merupakan perempuan tersohor yang selalu berusaha agar semua perempuan Indonesia dapat senantiasa berperan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa. Hari ini adalah peringatan 130 tahun lahirnya Kartini.

Selebrasi ini selayaknya menjadi penyemangat bagi para pejuang kemajuan kaum perempuan. Dengan memperingatinya kita akan kembali terkenang bagaimana perjuangan Kartini yang ingin menerobos batasan-batasan yang mengungkungnya untuk maju. Semangat perjuangan Kartini terus hidup dari generasi ke generasi dan menjadi inspirasi banyak perempuan Indonesia.

Pemikirannya itu dapat kita lihat pada surat Kartini kepada beberapa temannya di Eropa yang diterbitkan JH Abendanon pada 1911 yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Belanda dikumpulkan menjadi buku berjudul Door Duisternis tot Lichtyang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".

Surat-surat Kartini juga disarikan salah satunya oleh Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Bisa dikatakan sampai saat ini buku tersebut menjadi buku pegangan bagi para pejuang hak kaum perempuan. Dalam surat-suratnya itu tergambar betapa Kartini berpikir jauh di depan zamannya yang sangat menyudutkan peran wanita.

Sang pahlawan bangsa kita ini memiliki semangat etos kerja yang menggebu-gebu.Dia merasa harus punya sesuatu hal berkaitan dengan bagaimana bersikap dan harus punya sikap entrepreneur. Jangan sampai selalu menyerah pada keadaan,selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan bagi semua perempuan untuk maju. Kartini membuka kesadaran perempuan untuk mengembangkan diri lewat pendidikan.

Dia melemparkan pemikiran dengan semangat bahwa perempuan harus mencapai potensi maksimalnya. Perempuan bagi Kartini harusnya tidak selalu tunduk dengan kungkungan budaya yang membuatnya terjepit. Bayangkan, di dalam keterbatasannya, dia mempunyai network dengan dunia luar. Sungguh luar biasa karena saat itu dia ada pada posisi yang sangat tidak comfortable.

Posisi Perempuan dalam Budaya

Kalau ingin sedikit merujuk sebab musababnya, Hannah Arendt, seorang ilmuwan sosial asal Amerika Serikat berdarah Jerman mengatakan bahwa perbedaan ini karena dalam kuasa pemerintahan dan juga budaya terdapat bentuk politik seksual (sexual politics).

Akan terjadi perbedaan peran dari jenis kelamin perempuan dan lakilaki yang berakar dari proses sosialisasi terhadap keduanya yang berdasarkan pola pikir patriarki. Perempuan selalu diposisikan sebagai subordinasi yang tak diperbolehkan untuk memiliki kemauan bebas (free will).

Bahkan perempuan diposisikan hanya sebagai pemanis rumah sebagaimana yang Kartini amati dari lingkungannya. Itu pun masih terjadi hingga saat ini walaupun kadarnya sedikit berkurang dan mulai membuka kesempatan bagi perempuan. Sebagai hasilnya, biasanya di Indonesia masih terjadi kerancuan, apakah mereka memilih menjadi perempuan karier, ibu rumah tangga,atau yang bergerak di bidang politik.

Kerancuan ini terjadi karena kultur budaya kita yang belum 100% menunjang perempuan berkarier atau berpolitik. Budaya kita selalu menginginkan perempuan berada sebagai ibu rumah tangga. Bahkan sampai saat ini pun masih banyak suami-suami yang masih ingin istrinya untuk selalu di rumah. Misalnya mereka berkata “Ah, saya ngak mau masakan pembantu, maunya masakan kamu (istri)” dan secara sadar serta halus membuat istrinya tidak beraktivitas di luar. Inilah yang harus kita ubah dengan semangat Kartini.

Pada dasarnya sebagai ibu rumah tangga, perempuan bisa berperan macam-macam. Perannya adalah sebagai hamba Tuhan, istri, mitra aktif, pendidik, profesional yang berkarier atau sebagai seseorang yang bersosialisasi inter dan antarkeluarga. Perempuan tidak bisa memajukan dirinya tanpa menetapkan suatu prioritas.

Masalah penetapan prioritas inilah yang akhirnya membuat perempuan sulit secara total menempatkan diri sebagai orang yang benar-benar bisa mewakili dirinya, keluarganya, masyarakatnya atau bangsanya. Prioritas inilah yang akan menjadi fokus agar perempuan dapat berkarier secara profesional. Untuk itulah,perempuan harus tahu dia mau jadi apa karena semua peran itu bisa dilakukan secara berkesinambungan dan paralel.

Sementara itu, dia harus profesional dalam arti menempatkan prioritas yang akan dilakukan. Misalnya seorang ibu rumah tangga sekaligus perempuan karier harus menanamkan pada dirinya bahwa dia harus bagus, harus tepat waktu, bisa mengurus rumah tangga serta sepenuhnya berusaha mengejar kariernya agar sukses.Alangkah baiknya lagi dia bisa menularkan kebaikan itu pada lingkungannya agar orang lain bisa lebih baik lagi.

Selama ini saya meyakini ada lima sifat yang harus dimiliki seorang perempuan profesional, yaitu fokus,cepat,fleksibel,ramah, dan harus mencintai tugasnya. Kesemuanya ini dapat dilakukan dengan basis keluarga yang kuat yang membuat kita bisa melangkah.

Keluarga yang kuat itu akan menjadi pijakan untuk anak-anaknya dan suaminya karena mereka berada pada posisi yang memahami hal yang harus dikembangkan dari setiap orang.Perempuan juga harus matching antara pikiran, perilaku, dan tampilan.

Super-Team

Sebagai jalan keluar bagi perempuan yang ingin terus berkarier, harus dibuat komitmen dengan suami bahwa dia bisa beraktivitas di luar jika sudah menjalankan yang benar di dalam rumah. Harus dibuat suatu keseimbangan antara fungsi perempuan di dalam rumah serta di rumah. Cara seperti itu menjadi bentuk penghargaan terhadap suami sebagai partner serta anak kita.

Harus tercipta saling pengertian tugas masingmasing dalam keluarga.Jangan sampai ada pandangan merendahkan dari satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya. Ciptakan juga kondisi saling mengapresiasi kebaikan yang dilakukan. Apresiasi orang lain.Misalnya ketika suami melakukan kebaikan, jangan dibilang itu sebagai “keharusan”,melainkan dinilai sebagai usaha baik dan harus ada apresiasi.

Selain itu, perempuan sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karier harus menciptakan suatu kondisi yang nyaman dan dijalankan secara konsekuen, konsisten, dan kontinu serta sikap saling membutuhkan dalam anggota keluarga. Keinginan untuk menyelesaikan persoalan bersama- sama harus menjadi dasar keluarga.

Di sini Kartini membuat kita sadar bahwa kita –laki-laki dan perempuan– harus membangun bangsa bersama-sama. Dalam keluarga super-team masing-masing harus tahu posisinya. Jangan sampai malah perempuan setelah berkarier tidak menghargai suaminya. Mengenai posisi ini juga jangan berlebihan. Misalnya kalau dalam Islam suami itu jadi imam, sementara istri dan anak jadi makmum.

Kalau dalam tentara suami komandan, istri dan anak prajurit. Jangan sampai malah kebalikannya, suami jenderal, namun istri merasa lebih tinggi dari jenderal. Kesuksesan itu adalah hasil kerja keras, kesabaran, dan yang sangat penting persahabatan dengan berbagai kalangan. Jangan sampai perempuan selalu tertindas, tetapi jangan pula besar kepala. Selalu evaluasi diri kita. Jangan menyalahkan orang lain atas segala kesalahan maupun kegagalan. Selamat Hari Kartini, Kartini-Kartiniku.(*)

Mien R Uno
Presiden Direktur Duta Bangsa


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/231588/

“Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah”

“Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah”

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-269
Oleh: Adian Husaini
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com


http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9144:mitos-kartini-dan-rekayasa-sejarah-&catid=3:catatan-akhir-pekan-adian-husaini&Itemid=58

Kelucuan Kekuasaan

Written By gusdurian on Senin, 20 April 2009 | 14.14

Kelucuan Kekuasaan

Di salah satu stasiun televisi, pelawak Polo mencoba menjelaskan mengapa kelompok lawak Srimulat tak lagi eksis berpentas di Taman Ria Senayan.

Jawabannya karena Srimulat sudah kalah lucu dari pentas di gedung sebelahnya (Gedung DPR/ MPR).Walaupun hanya guyonan, hal itu justru memicu hadirnya pertanyaan serius: apakah kekuasaan itu lucu? Jawabannya akan sedikit lebih tegas andai saja gedung parlemen itu dipenuhi para pelawak.

Namun,bisa saja Polo menyangkal bahwa tanpa kehadiran para pelawak pun perilaku politisinya tak kalah seru mengundang tawa. Jumlah politisi artis, termasuk yang berlatar belakang pelawak, diperkirakan melonjak pasca-Pemilu 9 April 2009.

Namun, belum tentu kelak mereka bisa melucu di forum-forum DPR yang menuntut keseriusan.Bisa jadi “politisi pelawak” sangat menyadari bahwa kalau mereka melucu, belum ada jaminan menang lucu dibandingkan yang lain.

Bisa jadi justru “politisi bukan pelawak” malah lebih lucu. Barangkali karena itulah,“politisi pelawak” seperti Komar sungguh tampak tidak lucu lagi di kala mengikuti rapat-rapat DPR. Soal kelucuan politik, K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-lah maestronya.Sewaktu menjadi presiden, banyak joke (cerita lucu) yang dilontarkannya.

Buku kumpulan leluconnya sangat laris saat itu.Tak hanya para pejabat nasional dan lokal yang dibikin tertawa oleh cerita-cerita lucu sang presiden, tetapi juga bahkan Presiden Amerika Serikat waktu itu, Bill Clinton.Saking lucunya Gus Dur,ilmuwan sosial Arief Budiman pernah menyindir bahwa Gus Dur hendak menyelesaikan begitu kompleksnya urusan negara dan pemerintahan dengan lelucon.

Sungguh pun Gus Dur lantas lengser secara dramatis melalui Sidang Istimewa MPR yang dipercepat, dia tercatat telah membawakan sejumlah perubahan mend a s a r. Gus Dur adalah s a l a h satu khaz a n a h bangsa di dunia politik, yang hendak membuktikan bahwa “kekuasaan itu lucu”.

Bahwa ada dimensi kelucuan dalam kekuasaan.Gus Dur ingin membuktikan bahwa di era demokrasi pun kelucuan- kelucuan kekuasaan itu masih demikian melekat. Gus Dur sendiri pernah memberi kata pengantar sebuah buku humor politik Mati Ketawa Cara Rusia dan memberikan pesan bahwa otoritarianisme bisa dilawan dengan lelucon.

Lucu

Namun, apakah lucu itu? Secara sederhana pertanyaan itu dapat dijawab, lucu adalah sesuatu yang membuat kita tertawa.Kalau itu yang jadi soal, pertanyaannya adalah apa saja yang membuat kita tertawa? Marilah kita bikin daftar: (1) lucu yang datangnya dari kisahkisah yang tidak logis, sarkastik, kurang masuk akal a laGus Dur; (2) menertawakan keteledoran, kelalaian, kepongahan, bahkan kemalangan a la Charlie Chaplin; (3) lucu karena ada gerakan-gerakan tertentu yang membuat tertawa.

Kelucuan adalah drama komedi, lawan dari tragedi. Sayangnya banyak hal yang membuat kita justru menertawakan musibah. Film-film komedi yang dibintangi Charlie Chaplin atau film kartun Tom and Jerry penuh adegan musibah alias kemalangan dan kita terbahakbahak. Adegan-adegan slapstick dalam film-film komedi memang sering terkesan terlalu dibuat-buat untuk memaksa penontonnya tertawa.

Ada skenario lucu yang dikarang terlebih dulu, beberapa adegan sengaja dibikin hiperbolis guna mengundang tawa. Namun,ada juga yang memang bersifat situasional atau yang dikenal dengan istilah komedi situasi. Ini lebih merupakan adegan lucu yang tanpa diskenariokan.

Barangkali kelucuan jenis inilah yang banyak mengemuka di panggungpanggung politik kita.Tentu saja para kampanyewan dan kampanyewati tidak berniat melucu sewaktu orasi tebar janji dan bernyanyi- nyanyi. Tentulah para negosiator politik (baik lelaki maupun perempuan) tak bermaksud melucu saat menentukan perubahan-perubahan sikap politik yang ekstrem.

Namun,halhal itu banyak ditafsirkan orang sebagai kelucuan- ke l u - cuan tersendiri. Para penyindir kekuasaan telah memperoleh banyak bahan dari perilaku-perilaku para politisi dalam memanfaatkan dan menciptakan bahasa politiknya.

Politik tak hanya seni menentukan koalisi dan kebijakan, tetapi juga seni berkata-kata,dan jauh daripada itu berbahasa. Menurut novelis George Orwell (1946), “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable, and to give an appearance of solidity to pure wind”.Apakah politik itu semacam sistematisasi kebohongan yang dimaafkan? Pertanyaan ini tentu segara memunculkan perdebatan.

Tidak Lucu

Tapi, peristiwa politik kadang juga disebut sebagai “tidak lucu”. Istilah ini lebih merujuk pada kejengkelan, kedongkolan bahkan kemarahan pada suatu peristiwa politik. Misalnya, banyaknya warga masyarakat yang punya hak pilih tetapi tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Legislatif 9 April sungguh “tidak lucu”. Yang “tidak lucu” itu tentu sudah dirasakan keterlaluan dan sangat mengganggu.

Janji-janji politisi yang di luar nalar, sangat melambung dan absurd, tentu juga sudah “tidak lucu”sedari awal. Jadi batas antara yang “lucu” dan “tidak lucu” dalam politik sangat tipis dan kontekstual. Kalau demikian, politisi yang suka berpindah- pindah partai,apakah lucu atau tidak lucu? Yang suka berubah- ubah sikap “dalam sekejap” dan berlomba-lomba “balik badan” lucu atau tidak?

Barangkali kita akan mengukurnya bahwa kalau masih membuat kita tertawa, kita sebut lucu, tetapi kalau sudah membuat ketertawaan menjadi kejengkelan, maka sungguh tidak lucu. Para humoris mencoba mengklasifikasi guntingan-guntingan peristiwa dan adegan politik yang lucu dan menyisihkan yang tidak lucu untuk bahan lawakannya.

Namun, para kritikus politik sebaliknya, sibuk mencatat mana-mana dari adegan politik yang “tidak lucu”. Kalau begitu di manakah tempat bagi Abu Nawas dan Nasruddin Hoja? Mereka “menertawakan kekuasaan” dengan caranya sendiri.Dalam suatu kisah,Abu Nawas sukses memantati Khalifah Harun al-Rasyid tanpa membuat sang raja marah, bahkan terpingkal- pingkal karena bagian pantat celana Abu Nawas diberi gambar yang lucu.

Kisah Nasruddin berikut menyinggung perilaku politisi. Suatu saat Nasruddin menjadi pelayan istana, termasuk mengurus makanan raja.Suatu hari di depan hidangan lezat raja bertanya, apakah hidangan itu terbuat dari sayuran terbaik di dunia.

Nasruddin menjawab teramat baik. Sang raja pun suka makanan itu, tapi lima hari kemudian bosan, dan memerintahkan untuk menyingkirkannya. Nasruddin berupaya membela diri dengan mengatakan bahwa hidangan itu dibuat dari sayuran terburuk di dunia.

“Belum satu minggu,” kata raja, “engkau mengatakan itu sayuran terbaik,mengapa sekarang mengatakan yang terburuk?” Nasruddin menjawab, “Memang benar Tuanku, tapi dalam hal ini hamba pelayan raja, bukan pelayan sayuran.” Esok kedelai, sore tempe.(*)

M Alfan Alfian
Dosen FISIP
Universitas Nasional,
Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/231269/http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/231269/

Mata Rantai Bernama ’R’

Mata Rantai Bernama ’R’
Jhonny Allen Marbun berkukuh tak menerima duit Rp 1 miliar seperti disebut Abdul Hadi Djamal. Asisten pribadinya menjadi kunci penting untuk soal ini.

YANG ditunggu akhirnya datang juga. Turun dari mobil Ford Everest-nya yang berhenti di depan tangga pintu masuk Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jhonny Allen Marbun langsung bergegas masuk. Ia tak menggubris pertanyaan puluhan wartawan yang mengepungnya. Dengan tangkas dokter hewan itu meloncat ke dalam lift yang langsung membawanya ke lantai delapan.

Di sini sejumlah penyelidik KPK sudah menunggunya. Jhonny langsung diminta memasuki kamar pemeriksaan. Tak lebih dari tujuh jam, Senin pekan lalu, Wakil Ketua Panitia Anggaran sekaligus anggota Komisi Perdagangan DPR tersebut diperiksa KPK. Sekitar 20 pertanyaan diberondongkan penyelidik ke pria kelahiran Pangururan, Sumatera Utara, 49 tahun silam itu.

Pada pukul 15.00, Jhonny keluar dari Gedung KPK. Begitu melihat bosnya sudah keluar, 13 pengawal Jhonny yang berbadan tegap langsung menempel rapat. ”Pokoknya, saya tidak tahu persoalan yang dilakukan orang lain. Tanya saja kepada Abdul Hadi Djamal,” katanya ketika seorang wartawan bertanya perihal duit Rp 1 miliar yang disebut-sebut telah diterimanya. Dengan cepat Jhonny masuk ke mobilnya dan melesat meninggalkan KPK.

l l l

JHONNY diperiksa KPK dalam kaitannya dengan kasus Hadi Djamal, anggota Komisi Perhubungan DPR, yang ditangkap KPK pada Senin 2 Maret di bawah jembatan Casablanca, Jakarta Selatan. Sewaktu ditangkap, Hadi Djamal berada di dalam mobil Darmawati Doreho, Kepala Tata Usaha Distrik Navigasi Tanjung Priok, Departemen Perhubungan. Saat itu Hadi Djamal menumpang mobil Darmawati.

Dari dalam mobil Honda Jazz biru milik Darmawati inilah petugas menemukan duit US$ 90 ribu dan Rp 54,5 juta—total sekitar Rp 1 miliar—yang membuat keduanya tak berkutik. Selain menangkap Hadi Djamal dan Darmawati, KPK juga membekuk Hontjo Kurniawan, Komisaris Utama PT Kurnia Jaya Wira Bakti. Petang itu ketiganya baru saja melakukan pertemuan di rumah makan Sari Kuring, Jakarta Pusat.

Kasus ini diduga erat berkaitan dengan soal penambahan dana anggaran stimulus dengan nilai total Rp 12,2 triliun yang tengah dibahas Panitia Anggaran. Di sini Hontjo, pengusaha yang kerap mengerjakan proyek Departemen Perhubungan di wilayah timur, merapat ke Darmawati, bekas Kepala Seksi Perencanaan Perhubungan Laut.

Pengusaha ini mengincar sejumlah proyek yang didanai anggaran itu. Misalnya pembangunan Pelabuhan Selayar, Pelabuhan Bone, dan Bandara Toraja, yang total nilainya sekitar Rp 100 miliar. Lewat Darmawati ini pula Hontjo kemudian mengenal Hadi Djamal, yang juga anggota Panitia Anggaran. Hadi Djamallah yang kemudian membawa permintaan Hontjo itu ke Jhonny. ”Hontjo menyatakan ia menyediakan dana Rp 3 miliar agar proyek-proyek itu disetujui,” ujar sumber Tempo. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, menyatakan kasus ini memang berkaitan dengan pembangunan proyek Departemen Perhubungan.

Kepada KPK, Hadi Djamal bernyanyi nyaring perihal aliran dana itu. Ia mengaku Hontjo sudah menurunkan duitnya tiga kali. Tujuan akhirnya, agar Panitia Anggaran meloloskan sejumlah proyek yang diincar pengusaha asal Surabaya itu. Nah, menurut Hadi Djamal, duit dari Hontjo Rp 1 miliar juga sudah ia ”setorkan” ke Jhonny. Untuk memuluskan rencana itu, menurut sumber Tempo, Jhonny dan Hadi Djamal ”berkoordinasi” dengan Panitia Anggaran lainnya, Enggartiasto Lukita. Beberapa jam sebelum ditangkap KPK, Hadi Djamal bertemu Enggar di kantor bekas Ketua Real Estate Indonesia (REI) itu, di Kebayoran Baru, untuk membicarakan anggaran stimulus.

Selain ke Jhonny, duit itu, menurut sumber Tempo, sempat juga masuk ke ”ruang kerja” anggota Fraksi Partai Amanat Nasional lainnya, Arbab Paproeka, US$ 40 ribu (sekitar Rp 400 juta). ”Uang itu dititipkan ke staf pribadi Arbab,” ujar sumber Tempo itu. Kepada Tempo yang mendatangi lantai 19 ruang kerja Arbab, Fiar, staf Arbab, mengaku dititipi uang oleh Hadi Djamal. Ia menegaskan uang itu bukan untuk diserahkan ke Arbab. ”Beberapa saat setelah ditangkap, Hadi Djamal menelepon saya, meminta uang itu dikirim ke KPK,” ujar Fiar. Adapun Arbab menyatakan tak tahu-menahu soal duit itu. ”Saya tidak ada hubungannya dengan soal itu,” ujar Arbab.

Hadi Djamal juga menyebut pertemuan antara beberapa orang dari Panitia Anggaran dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, di Hotel Four Seasons, Jakarta, pada 19 Februari, sebagai awal kasus ini. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Jhonny itu, menurut Hadi Djamal, juga dibahas proyek-proyek yang diincar Hontjo. Pengakuan Hadi Djamal ini mengejutkan banyak orang. ”Saya meminta dia berterus terang saja,” kata Mohamad Iskandar, pengacara Hadi Djamal.

Semua anggota DPR yang namanya ”didendangkan” Hadi Djamal menampik disebut terlibat ”kasus Hadi Djamal” ini. Kepada wartawan di DPR, Jhonny menegaskan dirinya tak pernah menerima duit itu. ”Satu perak pun sejak jadi anggota Dewan saya tidak pernah terima dari Hadi Djamal,” katanya. Jhonny juga mengirim surat ke Panitia Anggaran, menegaskan yang dikatakan Hadi Djamal tak benar. Soal pertemuan Four Seasons, Jhonny menyatakan tak ada kaitannya dengan proyek Departemen Perhubungan.

Pernyataan sama keluar dari Anggito Abimanyu. Menurut dia, pertemuan itu untuk membahas kenaikan stimulus. ”Saya tidak bicara proyek per proyek. Saya tidak terlibat dan tidak ada pembicaraan sedikit pun dalam pertemuan itu mengenai rincian proyek-proyek di Departemen Perhubungan,” katanya.

Enggartiasto, yang Senin pekan lalu diperiksa, juga membantah dirinya terlibat kasus Hadi Djamal. Menurut Enggar, pertemuan di Four Seasons tak ada kaitannya dengan proyek Departemen Perhubungan. Ia juga membantah membuat pertemuan dengan Hadi Djamal. ”Di kantor saya ada pertemuan, tapi bukan dengan AHD, saya undang pejabat Departemen Perhubungan, karena malam itu harus selesai dan ada pengurangan anggaran,” katanya kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu.

l l l

JHONNY Allen bisa membantah soal ini. Sebuah sumber Tempo menyebutkan, Jhonny memang tak menerima duit itu langsung dari Hadi Djamal. Tapi sumber ini menyebut sebuah nama: Resco. ”Duit itu diberikan lewat R,” ujar sumber. Dari penelusuran Tempo, Resco adalah staf khusus Jhonny Allen. Resco kerap mendampingi Jhonny dalam acara-acara di luar kantor. ”Dia dibawa Jhonny dari Papua,” ujar sumber itu, menyebut asal daerah pemilihan Jhonny pada 2004 yang berhasil membuat dirinya masuk Senayan.

Haeri Parani, pengacara Hadi Djamal lainnya, tak membantah adanya sosok Resco ini. ”Benar, dia mata rantai penting,” ujar Haeri. Menurut Haeri, memang dalam pengakuannya kepada penyelidik, Hadi Djamal menyatakan menyerahkan duit Rp 1 miliar kepada Resco. Penyerahan dilakukan pada 27 Februari lalu di Hotel Ritz Carlton, Kuningan. ”Istilahnya, itu poskonya,” ujarnya. Karena itu, menurut Haeri, KPK semestinya juga memeriksa Resco. Dihubungi pekan lalu, juru bicara KPK, Johan Budi S.P., menyatakan belum mengetahui apakah KPK sudah memanggil Resco atau belum. ”Akan saya cek dulu,” kata Johan.

Adapun Resco kini raib entah ke mana. Tempo, yang mendatangi ruang kerja Jhonny Allen di lantai sembilan gedung DPR, Senin pekan lalu, tak menemukan Resco. ”Sejak sekitar sebulan lalu Pak Resco tidak pernah lagi terlihat,” ujar beberapa karyawan DPR yang bertugas di lantai sembilan.

Naek Siregar, sekretaris Jhonny, membenarkan atasannya memiliki asisten pribadi bernama Resco. Sementara Naek merupakan penugasan Fraksi, Resco adalah ”bawaan” Jhonny. Saat ditanya di mana sang ”aspri” itu kini, wajah Naek langsung berubah. ”Saya tidak tahu, itu bukan urusan saya,” ujarnya sembari meninggalkan Tempo.

Di Jayapura, sejumlah pengurus Partai Demokrat juga mengaku tak mengenal Resco. ”Tidak ada nama kader atau simpatisan Partai Demokrat bernama Resco di Papua,” ujar Manu Mulait, Sekretaris Pengurus Cabang Partai Demokrat Kabupaten Puncak Jaya, kepada wartawan Tempo di Jayapura, Cunding Levi.

Dihubungi pada Kamis pekan lalu, Jhonny Allen dengan nada keras menyatakan tak tahu-menahu perihal Resco itu. ”Tanyakan saja itu kepada Hadi Djamal,” katanya.

Mata rantai ini, yang sampai kini belum terdengar suaranya, memang harus ditemukan. Dari pengakuan ”R” inilah—jika ia berkata jujur—kelak bakal terbukti, siapa yang pembohong: Hadi Djamal atau Jhonny.

L.R. Baskoro, Anne L. Handayani, Rini K., Akbar Tri Kurniawan

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/20/KRI/mbm.20090420.KRI130116.id.html

"Rapat Rakyat", Pencarian Makna Kepemimpinan

"Rapat Rakyat", Pencarian Makna Kepemimpinan


Ia dapat menjadi kepribadian yang kuat dan teguh dalam semua keadaan, tetapi, ia juga dapat menjadi perahu rusak yang dalam samudra kehidupan ini diombang-ambingkan gelombang berbagai macam kenafsuan...” (Driyarkara).

Ini adalah kisah di lain dunia. Rapat rakyat adalah ideologi sekaligus alat legitimasi kekuasaan kota Wijaya. Lewat rapat rakyat, segala hal baik itu soal pemimpin, undang-undang, dan segala urusan publik diputuskan dan dilaksanakan. Dalam rapat rakyat semua warga kota boleh urun pendapat dan mengemukakan gagasannya secara bebas tetapi bertanggung jawab.

Rapat rakyat adalah serpihan-serpihan pengalaman. Pengalaman itu kaya dan beraneka, terentang dari zaman ketika penguasa tunggal berkuasa sampai zaman ketika semua bebas bersuara. Serpihan-serpihan itulah yang diangkat dalam pentas Teater Driyarkara bertajuk ”Rapat Rakyat” yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 18-19 April 2009.

Naskah karya K Andi Tarigan, SA Tama, dan Betha yang disutradarai Adi Kurdi itu dipentaskan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-40 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Pementasan ini mengusung tema pencarian makna kepemimpinan dan kedaulatan rakyat.

Empat puluh tahun lalu STF Driyarkara didirikan atas prakarsa Prof Dr Nicolaus Drijarkara SJ. Drijarkara adalah seorang pelopor perkembangan filsafat di Indonesia. Ia pun pernah menjabat sebagai anggota MPRS dan DPA dalam kurun waktu 1962-1967.

Keberadaan STF Driyarkara di atas mimpinya itu dimaksudkan sebagai tempat pelajaran dan penelitian filsafat akademik. Selain itu, lembaga akademik ini bermaksud menyiapkan manusia-manusia pemikir bagi Indonesia yang inklusif lintas SARA. Semangat inilah yang mencitrakan STF Driyarkara sebagai sumber pemikiran yang bertanggung jawab, berorientasi pada harkat kemanusiaan yang universal.

Krisis kepemimpinan

Teater yang ditampilkan oleh para mahasiswa STF Driyarkara itu berkisah tentang kota Wijaya yang mengalami krisis kepemimpinan. Hakim agung pun mengusulkan untuk mengadakan rapat rakyat untuk mencari pemimpin baru. Rapat rakyat digelar dan di sana diputuskan mengadakan audisi para calon pemimpin rakyat.

Pemilu dilangsungkan, kampanye digelar. Para peserta dari berbagai kalangan mulai dari artis penyanyi dangdut, rastafarian, sesepuh kampung, hingga pengusaha berlomba merebut hati dewan juri. Tak dinyana, pilihan pemimpin rakyat kota Wijaya jatuh kepada Satriyo Piningit yang dijuluki Bang Sat (diperankan Bovan). Ia sosok yang eksentrik, mistik, karismatik, dan sok mencintai kebijaksanaan.

Masa kepemimpinan Satriyo Piningit diisi dengan kuliah-kuliah untuk mencerdaskan kehidupan kota walau pada praktiknya menjadi bentuk pembodohan kepada rakyat. Indoktrinasi dilancarkan secara halus dan kehidupan kota pun menjadi kacau. Perekonomian remuk karena rakyat sibuk belajar, berpikir, tetapi tidak bertindak dan tidak terampil berkarya.

Muncullah Bung Sukwoso, diperankan SA Tama, yang haus kekuasaan. Ia berusaha merebut kursi Satriyo Piningit dengan segala cara: menghasut dan mengadu domba rakyat.

Atas semua intrik-intrik dan gesekan-gesekan itu muncul pertanyaan di hati rakyat: apa itu kepemimpinan? Mungkinkah pribadi-pribadi yang egois dan haus kuasa dapat hidup bersama dan membentuk kota? Itulah yang kini tengah dialami Indonesia yang sedang mencari pemimpin baru.

Para mahasiswa STF Driyarkara mengajak kita berpikir secara jernih dalam menentukan pilihan. Semoga saja presiden yang terpilih nanti dapat membawa rakyatnya pada kehidupan yang lebih baik lagi.(ELOK DYAH MESSWATI)



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/20/03404322/rapat.rakyat.pencarian.makna.kepemimpinan

Antara NKRI dan Federalisme

Antara NKRI dan Federalisme

Oleh: Abdurrahman Wahid


Istilah NKRI dipakai oleh para pendiri negara ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah sebuah negara dengan kepemimpinan tunggal dan arah perjalanan hidup yang sama bagi warga bangsa ini.

Namun kini istilah yang berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia, sering dijadikan lawan bagi sebuah istilah lain, yaitu keberbagaian (pluralitas) dan toleransi. Padahal itu semua perlu ada, untuk menjawab tantangan yang mengganggap kita tidak mungkin membuat sebuah negara dan bangsa yang bersatu.

Beberapa bidang telah memiliki format persatuan yang jelas sehingga tidak memerlukan penegasan. Contohnya adalah bahasa nasional kita yang dikembangkan dari bahasa Riau, antara lain oleh Raja Haji Ali,yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Dari bahasa Riau itu, kemudian muncul dua buah bahasa pada tingkat nasional, yaitu bahasa nasional kita -dikenal dengan nama bahasa Indonesia. Juga bahasa nasional Malaysia -disebut juga bahasa Malaysia. Untuk mendukung keberadaan bahasa Indonesia itu, dibuatlah istilah NKRI. Tentu saja, hal-hal seperti itu tidak pernah dijelaskan dengan gamblang.

Kesatuan dan ‘federalisme’ ternyata berkembang dengan baik dalam pengelolaan negara. Lalu timbul keinginan untuk menekankan kesatuan sehingga dengan sendirinya istilah NKRI semakin banyak muncul dalam pembicaraan di kalangan bangsa kita.

Sebab lainnya adalah banyaknya tuntutan otonomi yang akan semakin memupus kekuatan pusat (dan tentu saja semakin kuatnya kekuatan pemerintah daerah dan penambahan kekuasaannya).

Ada pihak yang merasa bahwa kedua hal itu tidak perlu dikemukakan lagi, minimal dalam rumusan resmi berbagai instrumen dasar negara kita. Dengan sendirinya, hal itu akan diliput oleh berbagai undang-undang organik. Dengan demikian, instrumen-instrumen dasar tersebut tidak perlu kita ubah dan tidak perlu adanya amandemen.

Namun sekarang pola dialog tentang UUD menjadi “kemasukan angin” dan kita lalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda- beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya “salah sambung” yang terjadi antara kita sendiri.

Memang, mencari pengertian yang sama tentang sesuatu hal, apalagi yang terkait dengan instrumen dasar sebuah negara, bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan juga kejujuran mutlak di samping kemampuan (expertise).

Karena itu, dialog di antara berbagai pihak tentang instrumen dasar negara seperti digambarkan di atas memerlukan kesabaran dan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, cara “menyelesaikan” masalah undang-undang dasar kita memerlukan ketabahan yang boleh di kata luar biasa. Karena itu, panjangnya waktu dan penunjukan siapa yang membicarakan undang-undang dasar itu, menjadi sangat penting bagi negara kita. Penilaian akhir tentang perlu atau tidaknya UUD kita di amandemen, bukanlah perkara kecil.

Dalam sebuah halaqoh tentang konstitusi dan temu wicara hukum acara yang diselenggarakan DPP PKB dan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penulis adalah korban dari sebuah komplotan jahat yang akhirnya memaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Juli 2001.

Mengapa penulis menamakan proses itu sebagai komplotan? Berarti ada sesuatu yang melanggar hukum dan menentang konstitusi? Jawabnya karena hal itu memang demikian, Dimulai dari Pansus Bulog dan Brunei Gate, yang dipimpin Bachtiar Chamsyah. Hal itu saja sudah dapat menunjukkan adanya proses idealisasi nilai-nilai yang dianggap “Islami” sebagai capaian yang harus diperoleh organisasi-organisasi Islam. Bukankah itu pelanggaran konstitusi? Bachtiar Chamsyah sendiri melakukan pelanggaran undang-undang dengan membiarkan pintu sidang-sidang pansus terbuka sekitar sepuluh centimeter. Maksudnya, agar para wartawan dapat merekam pembicaraan yang terjadi dalam ruangan.

Padahal, sebuah undang-undang secara spesifik melarang sidang-sidang pansus dilakukan secara terbuka. Memang, karena dari semula sejumlah parpol dan perwira tinggi TNI sudah memutuskan untuk menyingkirkan penulis dari jabatan Presiden RI. Karena itu, segala macam pelanggaran dibiarkan saja. Bahkan, alasan formal yang tadinya berupa ‘pelanggaran legalitas’ oleh penulis, akhirnya tidak dapat dibuktikan. Akibatnya, diambil keputusan politik untuk menyingkirkan penulis dari jabatan kepresidenan.

Langkah itu diambil dengan berbagai macam pelanggaran, seperti tidak adanya pembicaraan hal itu di DPR RI dan pelanggaran di Mahkamah Agung, ketika keputusannya diberitahukan kepada MPR RI oleh ketua Mahkamah Agung RI. Padahal, undang-undang menyatakan bahwa hal itu harus diputuskan dan disampaikan oleh sebuah komisi khusus di lingkungan MA sendiri.

Penulis bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut, hanya karena ia tidak menyukai perang saudara antara sesama warga negara RI, yang tentu akan menimbulkan korban jiwa.

Nah, kepentingan pribadi para pemimpin partai untuk melengserkan penulis, ternyata membawakan konsekuensinya sendiri sehingga soal-soal yang berkaitan dengan kondisi hukum nasional kita terabaikan sama sekali dan tidak dibicarakan lagi.

Namun tentu saja, di antara hal yang penting dibicarakan dalam masalah pelanggaran terhadap konstitusi adalah akibatnya yang semakin banyak. Yaitu merajalelanya korupsi di hampir semua bidang kehidupan. Baik oleh warga negara di luar pemerintahan, juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Contohnya yaitu kemalasan para birokrat untuk mendasarkan perbuatan mereka kepada kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan.

Kaum birokrasi pemerintahan yang mana pun, membawa cara kerja mereka sendiri dalam menentukan sikap lembaganya. Langkanya penertiban atas cara kerja para pegawai negeri yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang itu, menimbulkan sikap bahwa hal itu harus mati-matian dipertahankan. Herankah kita kalau hal seperti itu melahirkan pendapat bahwa korupsi tidak bisa hilang dari negeri kita?

Jakarta, 6 April 2007

Sumber: GusDur.net

Plus-Minus Rapor Sang Jenderal

Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 14.06

Plus-Minus Rapor Sang Jenderal

Langkah Prabowo Subianto masuk bursa calon presiden dan wakil presiden ditanggapi beragam.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Indira Fernida mengatakan pencalonan Prabowo sebagai presiden maupun wakil presiden merupakan kemunduran demokrasi secara umum. "Jika benar terjadi, akan menjadi hambatan bagi penegakan HAM di Indonesia," kata Indira kemarin.

Budiman Sudjatmiko, mantan pendiri Partai Rakyat Demokratik yang bergabung dengan PDI Perjuangan, berpendapat Prabowo berhak dicalonkan maupun mencalonkan diri. “Tapi diharapkan calon tidak terlibat dalam masalah hukum.”

Di antara tokoh yang masuk bursa calon presiden dan wakil presiden, Prabowo memang termasuk tokoh paling kontroversial.

Pada zaman Soeharto, karier militer Prabowo sempat meroket luar biasa. Dialah orang pertama di angkatannya, Akabri 1974, yang meraih bintang tatkala dilantik sebagai Komandan Kopassus, Desember 1995. Saat pasukan elite ini dimekarkan, 1996, ia naik pangkat menjadi mayor jenderal.

Tapi karier militer Prabowo pun kandas sebelum waktunya. Pada 1998, vonis Dewan Kehormatan Perwira dalam kasus penculikan para aktivis membuat Prabowo pensiun delapan tahun lebih awal. Prabowo pun tak pernah meraih pangkat bintang empat.

Di luar itu, Prabowo sempat diterpa berbagai isu miring, baik yang dilontarkan oleh kalangan aktivis kemanusiaan maupun koleganya di tentara. Prabowo, misalnya, sempat diisukan membiarkan terjadinya--bahkan dituduh berada di balik--kerusuhan massal Mei 1998. Sebagian rekannya di militer, seperti Letnan Jenderal (Purn.) Sintong Pandjaitan, menuding Prabowo pernah terlibat dalam upaya kudeta.

Prabowo dan orang-orang terdekatnya telah menangkis semua tuduhan miring itu. Hasilnya terbilang positif. Dalam pemilu kali ini, Partai Gerindra, yang didirikan Prabowo, masuk daftar sepuluh besar partai, menggusur 30-an partai lama.

Tak mengherankan jika Fadli Zon, mantan aktivis mahasiswa yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Gerindra, mengatakan peluang Prabowo dalam pencalonan presiden maupun wakil presiden cukup positif. "Persoalan masa lalu (Prabowo) tidak akan berpengaruh karena sudah lama selesai," kata dia.

Apa pun nilai rapor seorang Prabowo, menurut Budiman, "Keputusan berada di tangan rakyat yang memilih." FAMEGA SYAVIRA | JAJANG J | PDAT



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/headline/krn.20090416.162659.id.html

Pemimpin Besar

Pemimpin Besar

DI suatu kesempatan saya membaca kutipan ini: First rate people hire first grade people. Second rate people hire third grade people. Tulisan itu lama saya renungi,dan selalu saya ingat setiap kali saya terlibat dalam berbagai kesempatan merekrut orang atau pemimpin, menjadi juri, atau menyaksikan cara pemimpin-pemimpin kita mengangkat atau memilih orang.

Kualitas orang-orang yang mereka angkat benar-benar mencerminkan kualitas mereka. Saat ini pikiran saya muncul kembali karena inilah saatnya pemilihan. Inilah saatnya para pemimpin mencari pasangan dan sebentar lagi memilih orang untuk duduk di berbagai posisi.

Di berbagai jajaran, para pejabat tinggi pun sedang kasak-kusuk mengatur posisi dan mencari teman. Setelah saya pelajari dan renungi kata-kata di atas, akhirnya saya sampai pada kesimpulan, kebesaran atau kehebatan seorang pemimpin tercermin dari siapa yang mereka mau angkat. Ada baiknya mereka kenali,merenungi siapa diri kita sebenarnya, dan ingin dikenang sebagai apakah Anda saat memimpin?

Sukses Pilihan

Berbagai tekanan dan lobi selalu muncul setiap saat perubahan jabatan-jabatan strategis dilakukan seorang pemimpin. Ada pemimpin yang berketetapan hati, memilih berdasarkan pandangpandangan objektif. Ada pula yang penakut,tengok sana-tengok sini, dengar kiridengar kanan, melayani segala kepentingan agar prinsipnya kuat.

Terhadap pemimpin yang terakhir kita perlu mengingatkan. Pertama, bukan karena jabatan itulah Anda menjadi berpengaruh, melainkan karena punya pengaruhlah maka Anda berhak ada di sana. Jadi sadari betul, kursi itu bukanlah pemberian orang, tetapi sebuah mandat kepercayaan. Kedua, ingatlah pesan Bill Cosby.

“Saya tidak tahu rahasia untuk meraih sukses, tapi saya tahu prinsip rahasia kegagalan, yaitu saat Anda ingin menyenangkan semua orang,” kata Cosby.Ketiga, sukses apa pun di dunia ini adalah fungsi dari memilih. Dimulai dari memilih sekolah, pasangan hidup, karier, sampai keputusankeputusan yang sulit dan memilih orang, adalah penentu bagi setiap keberhasilan.

Keempat, jelas bahwa Anda dinilai dari siapa orang-orang yang Anda pilih. Ternyata benar, di belakang orang-orang hebat selalu terdapat orang-orang yang juga hebat. Perhatikan saja, pemimpin besar yang benar-benar unggul selalu berpikir keras membujuk orangorang hebat agar bisa membantu dirinya.

Perhatikanlah mengapa perusahaan-perusahaan swasta yang mandiri jauh lebih unggul dibanding perusahaan-perusahaan milik negara. Jawabnya adalah karena mereka mandiri, ingin benar-benar sukses dan suksesnya itu sangat ditentukan oleh orang yang mereka angkat.Yang membantu mereka. Sebaliknya,di perusahaan-perusahaan milik negara, terlalu banyak pemangku kepentingan yang merasa berhak ikut mengatur.

Akibatnya pilihan menjadi sangat terbatas dan dilematis.Maka sekali kita mendapatkan orang hebat di BUMN,maka hebatnya dia melebihi hebatnya CEO perusahaan swasta. Sudah di BUMN yang banyak tekanan kok bisa menolak diatur orang lain? Kok bisa punya keberanian memilih? Ingat pepatah di pembuka tulisan ini,“Second rate people hire third grade people”.

Jadi kalau sampai jajaran yang diangkat seorang pemimpin adalah manusiamanusia KW 3 atau KW 4 (KW adalah istilah dalam bahan-bahan bangunan yang mencerminkan kualitas), maka ia bukanlah manusia KW1 (manusia unggul,kelas terbaik). Silakan kembali periksa niat-niat Anda, manusia seperti apa yang Anda cari, dan siapa sebenarnya diri Anda.

Leader dan Follower

Sering dikatakan pula pemimpin adalah orang yang memimpin dengan pengaruh, bukan memimpin dengan jabatan (otoritas). Seorang pemimpin diikuti karena orang-orang sayang padanya dan pengaruhnya kuat.“They follow you because they want to,they love to,or because what you have done for them.”

Ada pengaruh yang muncul karena Anda orang yang layak dicintai, berbuat yang benar dan Anda menunjukkan kinerja.Posisi ini berbeda dengan pemimpin lain yang tegas,namun selalu berkata, “Kalau saya tidak bisa beri izin, Saudara mau apa?” Orang terpaksa mengikutinya karena mereka harus, karena pemimpin itu punya surat keputusan dan legalitas. ”They follow you because they have to,”kata Jhon Maxwell.

Pemimpin yang pertama bercita-cita menjadikan anak buahnya pemimpin. Baginya leaders create other leaders. Seorang pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang melahirkan pemimpin. Sedangkan pemimpin yang kedua menjadikan anak buahnya sebagai pengikut.Leaders create followers.

Apa yang membedakan leaders dengan followers? Mudah saja. Leaders adalah seorang yang memberi arahan dan melakukan perubahan. Ia menetapkan tujuan tersebut. Ia mengisi kalendernya dengan program yang jelas. Ia mendatangi orang lain dan mengambil inisiatif. Setiap kali masalah datang, ia sudah siap dengan jawaban dan solusinya.

Ingat,pengaruh dan kehebatannyalah yang mengantarnya menjadi pemimpin. Sebaliknya seorang follower adalah seseorang yang bekerja berdasarkan arahan atau petunjuk. Baginya, anak buah tidak boleh berinisiatif.Ia hanya bereaksi saja. Jadi bekerjanya reaktif. Ia pun mengisi agendanya berdasarkan request atau perintah. Jadi ia tidak mendatangi orang kalau tak diberi wewenang atau disuruh.

Setiap masalah datang ia selalu panik, menanti, dan menunggu arahan. Tanya sana-sini, tetapi menyalahkan orang lain dan berargumentasi. Masalah-masalah yang muncul selalu masalah-masalah lama yang datang dengan persoalan baru yang tidak bisa direspons. Karena jabatannya itulah ia merasa punya pengaruh.

Lebih dari itu follower adalah orang yang sangat setia, namun juga menyimpan segudang masalah. Masalah terbesar adalah pencemburu,mudah tersinggung dan sangat sensitif,terutama kalau leader yang diikutinya tersinggung atau terganggu. Maka kalau ada yang menyinggung pemimpinnya, mereka seakan menjadi orang yang paling siap pasang badan.

Mereka sangat agresif dan membenarkan setiap langkah atasan mereka. Selain itu mereka sangat tidak bisa menerima kedatangan orangorang hebat. Mereka sadar bahwa mereka bukan manusia unggul. Maka mereka kerap memagari pemimpinnya dengan melarang orang-orang lain mendekat.

Ketika ada seorang pemimpin yang akan bergabung dan dekat dengan pemimpin yang diikutinya,mereka ingin cepat-cepat menyingkirkan orang itu karena baginya orang itu merupakan ancaman. Maka ada baiknya sekarang para pemimpin mengevaluasi diri dan memeriksa kembali orangorang yang berada di sekitar dirinya.

Apakah mereka first rate people atau third grade people? Apakah mereka orang-orang yang Anda miliki sekedar follower atau benarbenar leader? Untuk memimpin secara efektif, Anda jelas butuh great leaders. Dan great leader bukanlah orang yang perlu Anda takuti. Justru orang-orang yang takut di sekitar Anda itulah yang perlu Anda waspadai.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230230/38/

Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Jakarta - Utang Indonesia, baik dari pinjaman luar negeri maupun penerbitan
surat berharga negara (SBN/obligasi pemerintah), diperkirakan kian menumpuk
jika tidak ada perubahan mendasar. Jebakan utang yang didesain oleh para
ekonom pemerintah (ekonom Mafia Berkeley) selama 40 tahun terakhir ini akan
membuat Indonesia kian terpuruk dalam lilitan utang.


"Siapa pun yang akan menjadi presiden di masa depan harus ada perubahan
dalam menyelesaikan persoalan utang. Jika kebijakan ekonom masih setia pada
Mafia Berkeley maka Indonesia terus dijajah melalui instrumen utang," kata
Ekonom Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (14/4).
Data menujukkan, selama lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, jumlah nominal utang telah membengkak dari Rp 1.275 triliun pada
2004 menjadi Rp 1.667 triliun pada 11 Februari 2009. Tanpa perubahan
kebijakan, utang luar negeri akan mencekik rakyat Indonesia dan para ekonom
Mafia Bekeley akan bersukacita dengan situasi ini.


Ia menyatakan, pernyataan yang menegaskan tidak terhormat jika Indonesia
tidak membayar utang merupakan statement tidak bertanggung jawab dan
mengekalkan penjajahan asing melalui instrumen utang. "Seorang pemimpin
harus melakukan terobosan besar terhadap persoalan utang. Tanpa ada
perubahan kebijakan maka tidak ada yang bisa diharapkan dari pemimpin
seperti itu," tandasnya.


Noorsy mengatakan, ekonom Mafia Berkeley telah menjalankan strategi jitu
guna menjerat bangsa ini melalui utang-utang baru. Jadi sebenarnya ekonom
Mafia Berkeley mengirim sinyal kepada siapa pun yang terpilih agar tunduk
pada garis kebijakannya. Ekonom-ekonom seperti ini melihat IMF, Bank Dunia,
ADB dan lembaga pemberi utang sebagai malaikat penolong, meringankan beban
defisit APBN dan berperan positif bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.

Ia menjelaskan. jerat utang terhadap pemerintah Indonesia terlihat dari
pembayaran cicilian dan bunga atas utang lama yang lebih besar dari
pencairan utang baru. Selisih keduanya hampir mencapai Rp 10 triliun. Ekonom
Mafia Barkeley menggunakan privatisasi BUMN dan penerbitan SBN untuk menutup
selisih Rp 10 triliun tersebut.


Menurutnya, Indonesia membutuhkan perubahan, yakni pemimpin yang berani
melakukan terobosan. Pilihan kebijakan yang dilakukan yakni tidak membayar
utang sama sekali karena utang tersebut menjadi sarang korupsi dan
persekongkolan, restrukturisasi utang dan menolak utang baru sembari
melakukan pengoptimalan penerimaan dalam negeri. "Prinsipnya, pemimpin baru
harus setia pada konstitusi '45 dan mencintai rakyat melalui terobosan
kebijakan," katanya. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk pada
popularitas, meninabobokan rakyat dan menyatakan kondisi perekonomian saat
ini baik-baik saja.


Pembayaran utang berupa cicilan dan bunga menjadikan APBN tersandera dan
tidak memiliki keleluasaan dalam membiayai program-program pendidikan,
kesehatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. "Masyarakat adil-makmur
hanya ilusi jika kebijakan ekonomi pemerintah memprioritaskan pada
penumpukan utang," paparnya.
Sementara itu, ekonom dari INDEF, Imam Sugema, yang dihubungi SH secara
terpisah menilai kalau saat ini visi ekonomi yang dijalankan oleh
pemerintahan Yudhoyono-Kalla masih sangat liberal, sehingga berdampak pada
semakin bertambahnya angka kemiskinan.


Karenanya, siapa pun yang terpilih pada Pilpres mendatang, lanjut Imam,
harus membentuk tim ekonomi yang jelas dengan visi ekonomi yang kuat dan
tidak lagi berlandaskan pada sistem ekonomi liberal. "Kalau pemerintah yang
akan datang tetap menerapkan sistem ekonomi yang liberal seperti saat ini,
bisa dipastikan masa depan perekomian Indonesia akan semakin suram dan angka
kemiskinan akan terus bertambah, sekalipun program BLT dan PNPM tetap
dilanjutkan. Hal ini terjadi karena perekonomian kita sangat bergantung pada
kepentingan asing," tukasnya.


Dia juga menambahkan, akibat sistem ekonomi leberal tersebut, bangsa
Indonesia juga semakin terlilit utang luar negeri. "Karena hampir seluruh
proyek-proyek yang sedang dijalankan pemerintah, pendanaannya memang
bersumber dari sana. Kalau bisa pola-pola semacam itu harus dibatasi oleh
pemerintahan mendatang. Demikian juga dengan pengelolaan fiskal yang saat
ini masih sangat boros, sehingga total utang pemerintah saat ini telah
mencapai Rp 1.695 triliun," tandasnya
http://www.sinarharapan.co.id:80/berita/0904/14/sh03.html


Waduh! Utang RI Meningkat Rp 80 Triliun per Tahun

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang tahun 2005-2008, peningkatan utang negara naik rata-rata Rp 80 triliun per tahun.

Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun per tahun.

Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan melalui siaran resminya kepada pers di Jakarta, Rabu (8/4). "Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus membayar pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Saat ini Indonesia tengah berada dalam posisi keterjebakan utang (debt trap) yang sangat parah," kata Dani.

Ia mengatakan, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan trend yang meningkat. Pada awal tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sementara total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101 ,9 triliun.

Outstanding utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2009 juga terus meningkat dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Selain itu, total utang dalam negeri juga meningkat signifikan dari Rp 662 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 920 triliun pada tahun 2009. "Artinya, pemerintah berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang lima tahun," ujarnya.

Sebelumnya, fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantas Korupsi menyatakan bahwa sejak 1967 hingga 2005 pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen. Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan. "Transaksi utang luar negeri selama ini justru membebani. Indonesia selama ini dipaksa terus membayar utang," tuturnya.

Ia menilai, pemerintah harus menggenjot upaya untuk mengurangi beban utang dengan cara menegosiasikan penghapusan utang kepada pihak kreditor. Langkah tersebut harus diikuti dengan komitmen untuk menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri baru.

Ia mencontohkan sejumlah negara, seperti Nigeria, Argentina, Ekuador, dan Pakistan, telah mengambil langkah-langkah penghapusan utang.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/08/09435115/waduh.utang.ri.meningkat.rp.80.triliun.per.tahun


Eskalasi Utang Indonesia, Berbahayakah?
Jumat, 27 Maret 2009 | 04:54 WIB
KOMPAS.com - Ketidakmampuan pemerintah untuk keluar dari ketergantungan pada utang yang semakin besar, menurut sejumlah kalangan, menunjukkan pemerintah sudah pada tahap ketagihan pada utang. Ketergantungan Indonesia pada utang hanya bisa dikurangi dengan mengurangi stok utang secara signifikan, menggenjot penerimaan (terutama pajak), dan adanya keberanian politik untuk merombak belanja negara.

Kendati rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menunjukkan penurunan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan terus meningkat dari Rp 1.294,8 triliun (2004) menjadi Rp 1.623 triliun (2008) dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 1.667 triliun. Peningkatan terjadi baik pada utang luar negeri maupun surat berharga negara.

Lonjakan juga terjadi pada jumlah bunga yang harus dibayar, dari Rp 62,5 triliun (2004) menjadi Rp 65,2 triliun (2005), Rp 79,1 triliun (2006), Rp 79,8 triliun (2007), Rp 88,62 triliun (2008), dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 101,7 triliun atau naik rata- rata 10,3 persen per tahun selama kurun 2004-2009.

Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN karena menyedot anggaran pembangunan. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah terus dipaksa menerbitkan utang baru. Besarnya utang baru yang diterbitkan ini cenderung terus meningkat, bahkan melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN.

Sebelumnya, Bank Indonesia dalam kajian stabilitas keuangan 2008 juga sudah mengingatkan kecenderungan meningkatnya tekanan utang luar negeri. Stok utang luar negeri, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, meningkat dari 62,021 miliar dollar AS (2006) menjadi 62,253 miliar dollar AS (2007) dan pada 2008 serta 2009 diperkirakan 65,446 miliar dollar AS dan 65,730 miliar dollar AS.

Yang mencemaskan, menurut kajian BI tersebut, peningkatan utang ini juga terjadi pada utang jangka pendek yang meningkat dari 16,5 miliar dollar AS (2006) menjadi 23,1 miliar dollar AS atau meningkat 40,2 persen pada 2007. Akibatnya, rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap total utang luar negeri juga naik dari 13 persen menjadi 17 persen.

Demikian pula rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa yang meningkat dari 38,7 persen (akhir 2006) menjadi 40,6 persen (akhir 2007), sementara laju peningkatan cadangan devisa lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan utang luar negeri jangka pendek.

Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul karena besarnya pembayaran utang luar negeri.

Pemerintah sendiri, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto, melihat tak ada yang perlu dicemaskan dengan terus meningkatnya utang. Menurut dia, utang yang besar dan peningkatan utang tidak akan jadi masalah selama dipakai untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif dan dikelola dengan baik.

Hal senada diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu. Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan defisit yang berasal dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan pada kemampuan dalam negeri.

”Pemerintah punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, baik penerbitan, pelunasan, pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, maupun peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu utang tak terjadi,” ujarnya.

Tak konsisten

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, menilai, eskalasi utang menunjukkan tidak konsistennya kebijakan pemerintah dengan komitmen untuk mengurangi ketergantungan pada utang.

Menurut Dradjad, terus meningkatnya utang adalah akibat tak adanya keberanian pemerintah untuk merombak struktur belanja negara.

”Jika kita terus membiarkan pola belanja negara seperti ini dan segala sesuatu ditutupi dengan utang, pada satu titik nanti kita akan mengalami kondisi seperti yang pernah dialami Argentina dengan siklus utangnya. Dampaknya tidak hanya ke APBN. Kebijakan ekonomi kita juga akhirnya didikte pihak luar,” ujarnya.

Keberatan juga diungkapkan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Priambodo terhadap niat pemerintah menambah stimulus fiskal hingga 2 persen dari PDB.

”Menurut saya, se-urgent apa pun, kalau itu menaikkan defisit, harus benar-benar digunakan untuk kegiatan yang meningkatkan kemampuan membayar utang dan risikonya rendah. Kalau arahnya tak jelas, seperti pemotongan pajak pada stimulus yang sekarang, lebih baik jangan,” ujarnya. (tat/aik)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/27/04544912/eskalasi.utang.indonesia.berbahayakah

Utang Dongkrak Cadangan Devisa
Jumat, 3 April 2009 | 13:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Cadangan devisa Indonesia bertambah menjadi 54,8 miliar dollar AS pada 31 Maret 2009 atau meningkat dibandingkan posisi devisa per Februari 2009 yang hanya mencapai 50,564 miliar dollar AS.

Hal tersebut diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, seusai shalat Jumat, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (3/4). "Cadangan devisa naik karena aliran dana yang masuk ke BI lebih besar dari yang kita keluarkan," kata Boediono.

Menurutnya, cadangan devisa tersebut disumbang dari pinjaman global dan masukan dari ekspor. "Cadangan devisa itu sebagian dari utang atau pinjaman global, sebagian masukan ekspor dari dana migas yang langsung masuk ke BI," tuturnya.

Selain itu, Boediono juga menyebut adanya aliran dana asing yang masuk dalam beberapa minggu terakhir ini, juga menambah suplai devisa dalam negeri, kendati jumlahnya tidak begitu besar. "Itu bagus," ujarnya.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/03/13352475/utang.dongkrak.cadangan.devisa
Utang Kapal Bekas Jerman
Pemerintah Diminta Ajukan Penghapusan
Konvensi PBB bisa menjadi landasan.

Jakarta -- Pemerintah diminta mengajukan penghapusan utang atas kapal bekas Jerman Timur sebesar US$ 480 juta. Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development Donatus K. Marut mengatakan kapal tersebut tidak memberi manfaat, mengandung korupsi, dan melanggar hak asasi manusia.

"Karena terjadi beberapa pelanggaran (dalam perjanjian jual-beli kapal), pembelian kapal itu otomatis batal," kata Donatus dalam Seminar INFID tentang Upaya Penghapusan Utang Indonesia Ditinjau dalam Perspektif Keadilan dan HAM di Jakarta kemarin. Menurut dia, Jerman maupun Indonesia sama-sama melakukan kesalahan dalam pembelian kapal tersebut.

Sebanyak 39 kapal bekas Angkatan Laut Jerman Timur, yang terdiri atas 16 Parvim corvettes, 14 Frosch troop landing ship tanks, dan 9 penyapu ranjau Condor, dibeli Indonesia dari Jerman Timur. Harganya sebesar US$ 442,8 juta, tidak termasuk biaya perbaikan dan pemeliharaan kapal.

Indonesia, kata Donatus, melanggar perjanjian tujuan pembelian kapal yang antara lain awalnya akan digunakan sebagai kapal dagang, untuk mencegah penyelundupan, dan menyelamatkan bidang perikanan. Nyatanya, kata dia, kapal digunakan mengangkut prajurit ke daerah konflik, yakni Aceh dan Timor Timur. "Itu merupakan pelanggaran hak asasi," kata Donatus.

Pemerintah Jerman, kata dia, tak seharusnya menjual kapalnya kepada Indonesia karena tahu barang tersebut rongsokan. Dalam sebuah kajian, di negara tersebut juga ada undang-undang yang mengatur larangan untuk menjual kapal perang kepada negara yang sedang mengalami konflik.

Meski dalam perjanjian tidak disebutkan, kata Donatus, kapal itu tidak boleh digunakan untuk perang. Pada saat pembelian kapal, beberapa daerah di Indonesia sedang dilanda konflik sehingga penggunaan kapal tersebut berpotensi diselewengkan.

Menurut Donatus, Konvensi Wina pada 1968 maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2006 tentang korupsi bisa menjadi landasan hukum penghapusan utang pembelian kapal tersebut. Selain itu, bisa menggunakan yurisprudensi penghapusan utang antara Norwegia dan Ekuador pada 2006.

Norwegia pernah memberi utang kepada Ekuador berupa kapal yang tujuannya untuk memberi manfaat ekonomi. Ternyata utang tersebut justru merugikan. Akibatnya, Norwegia menghapus utang tersebut dan memberikan hibah sebagai kompensasi. “Beban utang bisa dialihkan ke pendanaan program- program pembangunan yang bermanfaat, seperti program penanggulangan HIV/AIDS. AQIDA SWAMURTI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/Nasional/krn.20090416.162643.id.html

KPPU Versus Carrefour

KPPU Versus Carrefour

Kata Pengantar:

Selama sebulan terakhir, kasus Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) versus Carrefour Indonesia kembali mencuat. KPPU menuding Carrefour Indonesia melakukan monopoli di pasar upstream (pemasok), sedangkan Carrefour menegaskan tidak akan mengubah perilaku karena tidak berbuat salah.

Bagaimana sebenarnya masalah ini, Vennie Melyani dari Koran Tempo mewawancarai Ketua Tim Penyelidik Kasus Carrefour-KPPU Dedie S. Martadisastra dan Direktur Coorporate Affair Carrefour Irawan D. Kadarman, Selasa lalu, pada kesempatan terpisah. Irawan didampingi kuasa hukum Carrefour, Ignatius Andy, dari kantor pengacara Ignatius Andy. Berikut ini petikannya:

Ketua Tim Penyelidik Kasus Carrefour KPPU Dedie S. Martadisastra
"Monopoli Boleh Asal Tidak Jadi Beban"

Bagaimana sebenarnya duduk perkara kasus Carrefour?

Carrefour tidak hanya menjual komoditi ke konsumen, tapi juga menjual servis ke pemasok berupa listing fee, penyediaan tempat, promosi, dan sebagainya. Yang dibidik KPPU sebenarnya segmen pasar dengan pemasok di pasar upstream ini. Sedangkan dari sisi pangsa pasar ke konsumen, sampai saat ini KPPU tidak melihat ada masalah.

Lalu, dugaan monopoli itu dari sisi mana?

Pasal 25 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur tentang posisi dominan. Di pasal itu disebutkan: dilarang menggunakan posisi dominan, baik langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan. Dominasi tidak disalahkan kalau seandainya tidak membebani. Monopoli boleh asal tidak jadi beban. Jadi, posisi dominan itu mengatur persyaratan perdagangan, apa-apa yang tidak boleh.

Jadi berdasarkan pasal itu, ada indikasi Carrefour melanggar?

Carrefour bertindak sebagai lokomotif. Di gerbong yang lain ada pemasok dan semua yang terkait dengan industri retail modern. Sebagai lokomotif Carrefour harus membawa gerbongnya ikut maju, jangan sampai ketinggalan. Jika Carrefour sukses, orang yang support dia juga harus maju, jangan ada yang dirugikan.

Apakah KPPU menilai Carrefour sudah menekan pemasok dan pemasok dirugikan?

Ini masih harus diklarifikasi apakah pemasok rugi. Tapi ada missing link karena keuntungan Carrefour yang besar tidak dinikmati oleh pemasok. Seharusnya everybody is happy. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan dalam perdagangan. Bargaining power yang besar memang bisa menimbulkan abuse, tapi ini masih harus dibuktikan. Kami juga akan memanggil pemasok, pemerintah, dan saksi ahli di bidang industri retail modern.

Bukankah antara pemasok dan peretail modern sudah menyepakati perjanjian jual beli?

Perjanjian itu juga harus mengacu pada peraturan, misalnya Peraturan Presiden 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2008 yang juga mengatur hal sama. Aturan pemerintah ini mengatur aktivitas perdagangan supaya adil.

Jadi dugaan pelanggaran yang dilakukan Carrefour mengacu pada persyaratan perdagangan juga?

Kami tetap mengacu pada dominasi pasar, tapi melibatkan beberapa hal, termasuk persyaratan perdagangan. Dampaknya luas.

Riset Nielsen Company Januari 2008 menyebutkan pangsa pasar Carrefour setelah mengakuisisi Alfamart di pasar retail modern nasional 17 persen dan di pasar grosir nasional 6,3 persen. Sementara KPPU menyebutkan pangsa pasar Carrefour di upstream (pasar pemasok) 66,73 persen dan di downstream (pasar retail modern) 48,38 persen. Kok bisa beda?

Bisa saja terjadi seperti itu. Ada perbedaan persepsi dan metode. Kami juga akan memanggil Nielsen untuk mengklarifikasi dasar riset mereka. Kredibilitas Nielsen kami anggap baik karena itu multinational company. Kalau salah, reputasi mereka bisa habis.

Direktur Coorporate Affair Carrefour Irawan D. Kadarman dan
Ignatius Andy, Kuasa Hukum Carrefour dari Kantor Pengacara Ignatius Andy
"Yang Diributkan KPPU Tidak Masuk Akal"

KPPU menduga Carrefour melakukan monopoli sehingga merugikan pemasok kecil. Bagaimana Carrefour menyikapi ini?

Irawan: Kami meminta KPPU membuktikan dugaan itu. Kami tidak akan mengubah perilaku karena tidak berbuat salah.

Ignatius: Pada prinsipnya Carrefour menolak dugaan tersebut.

Terhadap dugaan Carrefour melakukan dominasi pasar?

Ignatius: Yang disebut pasar itu apa? Jangan mentang-mentang Carrefour terkenal lalu dianggap dominan.

Irawan: Pangsa pasarnya didefinisikan dulu, apa benar kami mendominasi? Data Carrefour yang ada dalam laporan KPPU juga tidak akurat. Angka-angka itu sumber datanya dari mana?

Produk Carrefour beragam. Kami menjual elektronik, bersaing dengan Agis, Best Denki, dan Electronic City. Menjual busana, bersaing dengan Matahari dan Ramayana. Baru untuk produk pangan kami bersaing dengan Hypermarket dan Giant.

Ignatius: Secara faktual, yang disebut pesaing Carrefour tidak terbatas dari segmen hipermarket saja, tapi Carrefour bersaing dengan multiformat. Tidak ada satu pun retail modern yang mendominasi pasar. Semua berkompetisi di area yang sama dengan target konsumen yang sama. Ini sangat fundamental sekali.

Dugaan KPPU lebih mengarah pada pangsa pasar pemasok, pasar upstream...?

Ignatius: KPPU keluar dengan konsep upstream dan downstream. Mereka menciptakan teori seolah-olah Carrefour adalah produsen yang menjual jasa kepada pemasok. Kami kaget. Jangan dibalik. Bukankah dalam hubungan dengan pemasok justru kami adalah pembeli barang? Carrefour membeli barang dari pemasok. Yang diributkan KPPU tidak masuk akal.

Irawan: Istilah upstream dan downstream juga tidak dikenal di bidang retail modern. Tidak mungkin 60 persen pemasok penjualannya didapat dari Carrefour. Penjualan Carrefour di total penjualan pemasok tidak akan lebih dari 20 persen, ini sesuai dengan prinsip: jangan menempatkan telur di satu keranjang.

Carrefour diduga menerapkan biaya tinggi kepada pemasok...?

Ignatius: Carrefour memiliki sekitar 4.000 pemasok dan 70 persennya adalah usaha kecil menengah. Sedangkan persyaratan dagang (trading term) adalah hasil negosiasi, kontrak jual-beli. Jika Carrefour menekan, pemasok akan lari dan mereka punya pilihan untuk menjual ke tempat lain.

Apakah benar biaya yang dibebankan kepada pemasok bertambah setelah mengakuisisi Alfa?

Itu terjadinya kapan? Kontrak lama masih memperkenankan itu. Kontrak yang baru, baru dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan. Dalam Peraturan Presiden juga diperkenankan. Saat membeli, Alfa kami tidak sekadar mengganti logo, tapi sistem teknologi informasinya ditambah, dalamnya diubah, dan jumlah barang yang dijual bertambah. Itu yang tidak terlihat.

Apa upaya Carrefour menghadapi kasus ini?

Ignatius: Kami masih menunggu panggilan lanjutan dari KPPU. Dari pertemuan sebelumnya, KPPU juga belum menjawab klarifikasi yang kami minta. Mereka masih menampung pertanyaan kami.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20090416.162615.id.html

The SBY Factor

The SBY Factor

Seorang teman penulis menceritakan pengalamannya terkait sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, SBY adalah figur yang penuh perhitungan, cermat, dan mampu membaca perubahan peta politik secara cepat.


Dia tidak sedang berpromosi,melainkan merefleksikan ingatannya tentang kehebatan insting politik SBY.Ditambah dengan kemampuan bicaranya yang di atas rata-rata, lengkaplah sudah kapasitas SBY sebagai seorang politisi tangguh,walaupun berlatar belakang militer. Saat itu 2003, beberapa bulan sebelum Pemilu 2004. SBY yang masih “anak bawang”di panggung politik nasional berencana mendirikan Partai Demokrat (PD).

Partai ini direncanakan sekaligus menjadi “kendaraan politik” menuju pencalonan presiden 2004. Teman tadi tak percaya PD bakal mampu menjadi kendaraan ideal bagi SBY.Pasalnya, sebagai partai baru, sulit bagi PD untuk menembus perolehan suara 15%, sebagai syarat pencalonan presiden 2004. Namun SBY memiliki insting politik tajam. Dia hanya mengatakan bahwa secara matematis, PD akan mampu merebut 7% sampai 8% suara. Modal tersebut cukup bagi PD sebagai partai baru, karena koalisi akan dibuka untuk menarik dukungan dari partai-partai lain.

Setengah tidak percaya, teman tadi hanya berharap agar SBY tak terlalu bermimpi. Apa yang terjadi? Luar biasa, prediksi SBY tentang suara PD terbukti. Pada pemilu 2004 PD memperoleh 7,3% suara, sekaligus menjadi fenomena baru. Modal itu pula yang mengantarkan SBY ke kursi presiden.

Insting Politik SBY

Kini cerita kembali berulang. Saat memimpin rapat PD beberapa bulan lalu SBY menekankan agar PD bekerja lebih keras untuk menaikkan target, dari 15% menjadi 20%. Padahal saat itu belum berlaku electoral threshold (ET) 20%, yang menjadi syarat pencalonan presiden.

Kini sekali lagi, insting politik SBY terbukti. Berdasarkan penghitungan cepat (quick count) Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada pemilu legislatif, PD memperoleh 20,28% suara,jauh mengungguli Golkar (14,90%) dan PDIP (14,03%)—dengan asumsi data masuk 97,15%. Hasil tersebut mengejutkan, walaupun suara PD oleh sejumlah lembaga survei diprediksi akan naik,namun tak sebesar saat ini.

Dengan hasil ini, maka PD menjadi satu-satunya partai yang mampu mencalonkan presiden sendiri,tanpa koalisi. Tentu opsi ini tidak kaku, mengingat kemungkinan besar koalisi masih akan menjadi pilihan realistis untuk mengawal pemerintahan ke depan agar lebih efisien di parlemen. Dari ilustrasi di atas, tuduhan bahwa SBY lamban dan tidak fokus dengan sendirinya terbantahkan. Justru yang muncul adalah sikap cermat, penuh perhitungan, dan terukur.

Tak banyak politisi yang memenuhi kriteria ini. Kebanyakan politisi masih sibuk menjual jargon, namun lemah dalam kerja politik riil. Menarik menganalisis sejumlah faktor di balik kecemerlangan suara PD di pemilu legislatif kali ini. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi melonjaknya perolehan suara PD. Pertama, kunci utama kemenangan PD masih terletak pada sosok SBY sendiri. Dia bagai magnet yang mampu memainkan (mengendalikan) irama politik nasional, di tengah serangan lawanlawan politiknya. Harus dicatat, SBY adalah presiden pertama di era reformasi yang mampu menyelesaikan masa jabatannya.

Sebelumnya, BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati tidak memerintah dengan lengkap satu periode. Lihat juga bagaimana koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang sejak awal terlalu “dinamis” cukup menyulitkan posisi SBY. Dalam konferensi pers baru-baru ini di Cikeas, SBY mengakui hal tersebut. Dia heran karena ada menteri dari partai yang “menghantam” program pemerintah, padahal dia sendiri terlibat dalam pembahasan. Cerita tak jauh berbeda terjadi di Senayan.Beberapa isu yang seharusnya mendapat dukungan koalisi di parlemen, ternyata hasilnya berbeda.

Isu pembentukan UKP3R, impor beras, resolusi Iran,dan interpelasi adalah potret kecil tekanan politik ke SBY, yang justru dilakukan oleh partaipartai pendukungnya sendiri. Masih banyak penelikunganpenelikungan lain yang dihadapi sepanjang lima tahun pemerintahannya. Namun SBY tetap tegak berdiri di tengah kepungan lawan dan kawan politik yang identifikasinya makin kabur. Siapa lawan dan siapa kawan makin tak jelas.Para menteri dari partai pun yang partainya “mengganjal” pemerintah tak bisa berbuat banyak karena di sisi lain juga terikat loyalitas partai.

Padahal, posisi menteri adalah jabatan publik dengan tugas kenegaraan untuk melayani rakyat dan bangsa. Dalam upaya mengatasi situasi yang sulit ini,SBY dengan jurus soft power-nya, perlahan tapi pasti terbukti mampu mengendalikan keadaan.Wapres Jusuf Kalla (JK) yang sempat dianggap sebagai “matahari kembar” dan “the real president” nyatanya masih berada dalam barisan.Riak-riak kecil yang mewarnai hubungan SBY-JK selama ini ternyata hanya di atas panggung.

Di belakang, keduanya masih menunjukkan kekompakan, sebagaimana mereka tunjukkan saat mengunjungi korban Situ Gintung beberapa waktu lalu. Kedua, kemenangan PD ditopang oleh mesin politik luar partai yang kembali bergerak mendukung SBY menjadi presiden. Organisasi sayap pendukung seperti Majelis Dzikir SBY Nurussalam (MDZ),Jaringan Nusantara, Kaum Muda Indonesia untuk Demokrasi (KMI) dan organ-organ pendukung lain sudah bergerak sejak beberapa bulan lalu untuk memanaskan mesin-mesin politik masing-masing.

Tak ada overlapping dalam pola pengorganisasian di antara organ-organ tersebut. Konflik pun nyaris tak ada yang sampai membesar, karena tujuannya sama, yaitu mendukung pencalonan SBY. Bagi PD sendiri antusiasme sayap gerakan ini juga berdampak positif,karena sebagai partai yang masih muda,mesin PD akan kerepotan jika harus bertarung sendirian melawan mesin Golkar dan PDIP yang usianya lebih dari 40 tahun. Ketiga,kinerja pemerintah dan komunikasi politik yang efektif.

Semua pihak mengakui bahwa pemerintahan SBY,walaupun masih ada kekurangan,namun sejumlah agenda telah berhasil dijalankan. Khususnya program-program prorakyat yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.Keampuhan program prorakyat SBY terbukti membuat panik lawan-lawan politiknya.

PDIP, yang semula menentang dan mengecam BLT, secara mengejutkan berbalik 180 derajat dengan mendukung BLT secara implisit melalui iklan “pengawasan distribusi”BLT.Namun, sejatinya iklan tersebut justru merupakan blunder politik PDIP, yang terbukti dengan penurunan suara partai banteng dibanding 2004 lalu.

The Next SBY’s Agenda

Pasca kemenangan PD di Pemilu legislatif, tugas tak ringan langsung menghadang SBY. Yang dimaksud adalah upaya membangun koalisi yang efektif untuk mengamankan program-program pemerintah lima tahun ke depan. Koalisi lima tahun pertama, sebagaimana kita saksikan bersama, penuh dengan intrik dan manuver, sehingga membuat kinerja pemerintah tak maksimal.

Tak ada aturan baku dalam koalisi tersebut, sehingga banyak partai yang menunjukkan “kegenitan” politik. Di pemerintahan, partai menempatkan menterinya (mendukung pemerintah),namun di parlemen mereka juga menghantam program yang didukungnya. Irasional. Seharusnya, jika partai tersebut memang sudah tidak segaris lagi dengan pemerintahan yang didukungnya, maka ia dapat menarik menterinya, sehingga menghindari conflict of interest.

Faktanya tidak demikian, karena sebagian besar partai memilih bermain dua kaki—sebuah potret kemunduran politik. Dalam konferensi pers di Cikeas setelah pemilu legislatif SBY menggarisbawahi hal ini. Dia lalu menuntut, jika koalisi terbentuk, harus ada piagam bersama yang disepakati oleh anggota koalisi.Dengan demikian,tak akan ada lagi cerita “matahari kembar” ataupun politisasi di parlemen. Jika itu terjadi, maka konsolidasi kita sudah mengarah pada titik yang benar.(*)

Zaenal Budiyono
Analis di Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230193/