BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kembalinya Hak Politik Terpidana

Written By gusdurian on Jumat, 27 Maret 2009 | 14.52

Kembalinya Hak Politik Terpidana
Mantan terpidana kasus korupsi termasuk di dalamnya.
Robertus Aji Saim, warga Pagar Alam, Sumatera Selatan, mengumbar senyum bahagia di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa sore lalu. Hatinya berbunga-bunga setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan keinginannya. Dia meminta Mahkamah menghapus syarat bakal calon anggota legislatif tak pernah dihukum pidana dengan ancaman di atas lima tahun.

"Putusan ini membuka peluang orang seperti saya untuk mencalonkan diri," kata Robertus di Mahkamah Konstitusi tiga hari lalu.

Robertus merupakan mantan terpidana dalam kasus pembunuhan. Semula ia berniat bersaing dengan calon lain merebut kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pagar Alam pada pemilihan umum 9 April nanti. Kasus pembunuhan ini mengubur niatnya.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif melarang pencalonan mantan terpidana yang dijatuhi hukum penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Aturan terdapat pada Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g.

Robertus merasa seumur hidup dirinya bakal terhambat maju sebagai calon legislator atau pemerintah daerah. Merasa dirugikan, pada 23 Januari lalu ia menguji materi kedua undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi.

Permohonan dikabulkan sebagian. Majelis hakim konstitusi yang diketuai Mohammad Mahfud Md. menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat atau conditionally unconstitutional. Artinya, ketentuan tak berlaku pada persyaratan tertentu.

Menurut Mahkamah Konstitusi, mantan terpidana bisa dipilih untuk jabatan publik melalui pemilihan langsung. Mantan terpidana memiliki hak dipilih kembali setelah lima tahun setelah menjalani hukumannya, bukan pelaku kejahatan berulang. Itu pun ia harus terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya mantan narapidana.

Mahfud mengatakan ketentuan itu berlaku untuk semua jenis pidana, termasuk korupsi. "Kita tidak membeda-bedakan pidananya," kata Mahfud kemarin. Pertimbangannya, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka dan PRRI/Semesta pun diberi amnesti dapat ikut berpolitik. "Kenapa terpidana lain tidak? Jadi kita samakan saja."

Menurut Mahfud, Mahkamah sudah memberi jeda lima tahun sebelum mantan terpidana ikut pemilihan. Praktek ini juga diterapkan di Malaysia. Di negeri jiran, Mahfud melanjutkan, mantan terpidana dapat ikut pemilihan setelah empat tahun dibebaskan. "Tapi di Amerika tidak ada syarat ini," kata dia.

Gayus Lumbuun, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, tak sependapat dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dinilai telah membuat norma baru dengan menerapkan syarat bakal calon itu. "Kalau membuat norma itu kan tugas DPR," kata dia.

Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko menyatakan syarat itu menguntungkan mantan koruptor. "Mereka dapat ikut pemilu dan terpilih lagi," kata dia. Danang mengatakan hak terpidana pulih setelah menjalani hukuman. Namun, secara moral, kata dia, koruptor tak layak mewakili rakyat di parlemen atau di pemerintahan.

Danang menyarankan partai menolak bakal calon yang pernah dipenjara karena kasus korupsi. Masyarakat juga disarankan tak memilih calon seorang mantan terpidana korupsi. "Masyarakat harus memberi sanksi sosial," ujarnya.

Tapi Mahfud menganggap penentu dalam pemilihan langsung adalah rakyat. Pemilih akan menentukan apakah mantan terpidana layak mewakili mereka di Dewan. "Makanya calon tersebut harus jujur pernah dipidana karena rakyat harus tahu," kata dia.

Robertus tak keberatan syarat dari Mahkamah Konstitusi. Ia menyatakan siap bertarung pada Pemilu 2014 lewat salah satu partai peserta pemilu yang ikut bertarung dalam pemilihan kali ini. SUTARTO | Cornila

Mereka Bisa Tampil Lagi

Mahkamah Konstitusi memutuskan mantan narapidana, termasuk terpidana kasus korupsi, bisa menjadi calon dalam kancah politik nasional dan lokal. Pernah menjadi terpidana tak menghapus hak politik seseorang untuk dipilih menjadi presiden, wakil presiden, kepala daerah, atau anggota lembaga legislatif lewat pemilihan langsung. Inilah sejumlah pejabat publik yang terlilit kasus korupsi.

Syarat:

Terpidana sudah lima tahun sejak keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Terpidana bisa langsung menjadi calon jika jujur menyatakan pernah menjalani kasus pidana.
Bukan residivis
1. Abdullah Puteh
Mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Kasus korupsi pembelian helikopter MI-2
Vonis kasasi 10 tahun penjara
Denda Rp 500 juta

2. Suwarna Abdul Fatah
Mantan Gubernur Kalimantan Timur
Kasus korupsi penyalahgunaan izin pemanfaatan kayu lahan sejuta hektare
Vonis kasasi empat tahun penjara

3. Syaukani Hasan Rais
Mantan Bupati Kutai Kartanegara
Kasus korupsi dana proyek studi kelayakan bandara dan dana pembebasan lahan untuk bandara
Vonis kasasi enam tahun penjara

4. Vonnie Aneke Panambunan
Bupati Minahasa Utara-Partai Demokrat
Kasus korupsi studi kelayakan Bandara Kutai Kartanegara
Vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 18 bulan

5. Nurdin Halid
Mantan anggota Fraksi Partai Golkar DPR
Vonis kasasi dua tahun penjara

6. Antony Zeidra Abidin
Anggota Fraksi Partai Golkar
Kasus skandal aliran dana Bank Indonesia
Dihukum empat setengah tahun penjara
Denda Rp 250 juta

7. Hamka Yamdu
Anggota Fraksi Partai Golkar
Kasus skandal aliran dana Bank Indonesia
Dihukum tiga tahun penjara
Denda Rp 150 juta

8. Noor Adnan Razak
Anggota Fraksi Amanat Nasional
Kasus proyek Pusdiklat Banten
Divonis tiga tahun

9. Sarjan Taher
Anggota Fraksi Demokrat
Kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, Sumatera
Dihukum empat setengah tahun di Cipinang, Jakarta

10. Saleh Djasit
Anggota Fraksi Partai Golkar, mantan Gubernur Riau
Kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran
Divonis empat tahun

11. Yusuf Emir Faisal
Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa
Kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, Sumatera
Proses sidang

12. Abdul Hadi Djamal
Anggota Fraksi Amanat Nasional
Kasus suap proyek pelabuhan dan bandara kawasan timur Indonesia
Nilai dugaan korupsi Rp 1 miliar
Proses penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi

12. Bulyan Royan
Anggota Dewan asal Partai Bintang Reformasi
Kasus korupsi pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Dihukum enam tahun

13. Al-Amin Nasution
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
Kasus suap alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan
Dihukum delapan tahun

Bahan: Tempo Newsroom
Naskah: SUTARTO



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/27/Nasional/krn.20090327.160666.id.html

Beda Pemilu dan Pasar

Beda Pemilu dan Pasar


KETIKA kecil,saya sering jalan-jalan ke pasar. Pada hari-hari tertentu, pasar sangat ramai. Dari kejauhan sudah terdengar suara riuh bagaikan suara gerombolan lebah.


Pengunjung berdesakan di tengah suara celoteh sahut-menyahut, tawar-menawar harga. Di sudut pasar yang agak lapang, biasanya ada tontonan komedi, sulap, dan akrobat sepeda. Setelah pengunjung berdatangan, mulailah pemain tadi membuka dagangannya menawarkan obat yang, katanya, bisa menyembuhkan seratus satu macam penyakit.Jadi,di balik penampilan sulap, akrobat, dan cerita soal kehebatannya pernah berkeliling Indonesia dengan sepeda, ujungnya ia menawarkan obat kuat dengan harga murah,terjangkau.

Meski pasar itu meriah dan hiruk-pikuk, cirinya yang menonjol adalah setiap pengunjung hanya berpikir untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri.Mereka berkumpul di satu tempat, tidak untuk berserikat, dan kehadirannya tidak disatukan oleh visi dan misi.Berapa mereka hendak membelanjakan uang, tergantung kemampuannya dan perhitungan untung ruginya,juga seleranya.

Politik dan Pemilu

Adapun politik dan kegiatan pemilu sangat berbeda prinsipprinsip dasarnya. Ini penting dipahami bersama mengingat sekarang ini Indonesia sah-sah saja disebut sebagai ”negara pilkada”. Hitung saja berapa jumlah provinsi dan berapa jumlah kabupaten,maka praktis tiada hari tanpa pilkada kalau saja diselenggarakan secara terpisah-pisah. Lucunya, sekarang ini pemilu sudah mendekati seperti pasar.

Dalam politik, orang maju bukan mewakili dirinya sendiri, tetapi ada komunitas yang dibela. Ada agenda yang diperjuangkan untuk memenuhi hajat masyarakat banyak. Makanya di situ ada istilah keterwakilan, bukannya setiap calon menjajakan dirinya. Yang terjadi sekarang ini, banyak calon legislator (caleg) menjajakan diri dengan memasang baliho, di bawah bayang-bayang foto tokoh yang dianggap berpengaruh, lalu didukung oleh logo partai politik (parpol).

Pertanyaannya, apakah para caleg itu betul-betul paham dan sejalan dengan visi dan misi parpol yang telah memberikan tiket untuk maju? Agak nakal lagi, apakah parpol itu juga memiliki visi, misi, dan program yang jelas untuk membela dan memperbaiki nasib masyarakat? Apakah parpol selama ini melakukan pendidikan dan pembelaan pada nasib rakyat yang dibujuk untuk memilih dirinya?

Kalau semua pertanyaan itu jawabannya negatif, politik dan pemilu tak ubahnya dengan pasar karena yang dominan adalah agenda kepentingan individu. Bahkan situasinya lebih buruk. Mengapa? Karena transaksi dalam pasar ada unsur transparansi dan ekuivalensi antara uang dan barang, keduanya saling menerima secara suka rela dan unsur bohong-membohongi sangat kecil.Baik pembeli maupun penjual ketika pulang dari pasar tidak merasa ada yang menipu dan ditipu.

Saya sendiri selalu berusaha berpikir positif dan penuh harap bahwa politik kita akan semakin sehat meski butuh proses lama. Namun mengamati mereka yang aktif di politik sebagian tidak begitu meyakinkan kualitas intelektual dan integritasnya, yang kemudian mengemuka adalah perilaku para elite bangsa ini yang terkesan semakin bodoh. Cara menarik simpati rakyat tidak terlihat elegan. Tak ada gagasan cemerlang, yang magnetis dan memiliki daya gravitasi sehingga gagasannya menjadi bahan pembicaraan dalam masyarakat.

Padahal suasana krisis Indonesia di penghujung era Soeharto dan kondisi saat ini tak jauh beda.Bahkan dalam beberapa aspek justru ke depan ini potensinya lebih gawat setelah perubahan UUD dan ekses euforia demokrasi yang vibrasinya sulit distop. Belum lagi ekses krisis keuangan global. Namun semua itu tenggelam oleh riuh-rendah dan hiruk-pikuk pasar politik yang para aktor utamanya tengah saling menjajaki dan tawarmenawar untuk merger.

Pasar politik diramaikan oleh para aktor lama yang mengejar the last flight, bahkan kemudian merakit pesawat sendiri berupa parpol baru, tetapi dikhawatirkan kandas begitu take off. Tidak cukup bahan bakar dan cuaca tidak mendukung. Berpolitik tanpa agenda yang jelas untuk memperjuangkan rakyat, dengan nurani dan nalar sehat, sama halnya mengkhianati demokrasi dan jati diri sebuah parpol. Panggung politik lalu berubah menjadi opera sabun dengan ongkos produksi yang amat mahal,alur cerita yang konyol,penonton semakin berkurang, dan aktor-aktornya pun akan turun pamornya.

Proses politik yang tengah berlangsung ini menyiratkan suatu hal bahwa negara itu begitu dominan perannya dalam kehidupan masyarakat. Maka orang harus masuk dan mengendalikan pemerintahan melalui instrumen negara kalau ingin membangun bangsanya.Kenyataan ini mestinya disadari oleh para intelektual dan tokoh-tokoh agama. Jika mereka hanya sibuk membangun institusinya sendiri tanpa memberikan kontribusi konstruktif pada penguatan dan kemajuan negara, kohesi sosial kita sebagai sebuah bangsa akan rapuh dan stagnan.

Salah satu pintu menyumbangkan gagasan dan perwakilannya adalah melalui mekanisme pemilihan umum. Namun, lagi-lagi disayangkan,instrumen peraturan dan perundang-undangan politik yang ada malah menghambat putra-putra terbaik bangsa ini untuk masuk ke parlemen. Jika parpol tidak sehat, bahkan berubah menjadi pasar yang dipenuhi calocalo, copet, dan penjual obat yang senang membual, aset institusi sosial kita malah saling bertabrakan, bukannya bersinergi.

Di sana ada lembaga parpol, lembaga perguruan tinggi, lembaga agama, lembaga ekonomi, dan sekian lembaga lain yang merupakan aset sosial yang lalu saling mengkritik dan menghujat dalam rumah yang sama: Indonesia. Kita perlu belajar dari pengalaman bangsa Jerman yang dikenal sangat maju, rasional, dan melahirkan pemikir besar dunia. Tapi justru di negara itu pernah muncul Nazi sebagai antitesis kebebasan berpikir dan berserikat tanpa saling berendah hati menciptakan sinergi dan simfoni kultur politik.

Maka terjadilah antiklimaks,from rationality into irrationality. Dalam bahasa prokem, para elite itu menjadi pin-pin-bo, pinterpinter bodo. Persis petinju yang sudah laku dan terkenal lalu bernafsu untuk menggilas lawan secepatnya, maka nalar sehat, penampilan indah, dan cerdas lalu hilang. Di situlah yang membedakan Muhammad Ali dari petinju lain.Dia main dengan memadukan otak dan seni serta menghibur penontonnya. Dia the real boxer, bukannya brutal fighter.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/224386/38/

Mutasi, Intervensi, dan Profesi Polisi

Mutasi, Intervensi, dan Profesi Polisi
Komisaris Besar Purn. Alfons Loemau

Pengamat masalah kepolisian
Dalam hari-hari terakhir ini beberapa media cetak dan elektronik memuat pemberitaan tentang sebuah ekspresi dari seorang petinggi Kepolisian RI, Irjen Herman S.S., mantan Kepala Polda Jawa Timur. Adapun silang sengkarut pemberitaan tersebut terpicu oleh konferensi pers seorang perwira tinggi Polri berbintang dua, yang pada suatu hari, setelah sekian tahun menjalankan tugas sebagai Kapolda Jawa Timur, dimutasikan ke Mabes Polri, digantikan oleh juniornya yang berpangkat brigjen. Kemudian yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri dari dinas aktif kepolisian, yang dilanjutkan dengan konferensi pers dan dilanjutkan dengan kegiatan bersafari ke beberapa pimpinan partai politik.

Adapun yang memicu keadaan sampai yang bersangkutan mengundurkan diri dari kepolisian adalah perbedaan kesimpulan atas penetapan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur. Menurut dia, apa yang telah ditetapkan tentang telah terjadi suatu tindak pidana berupa pemalsuan data dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Jawa Timur, yang dilakukan oleh Ketua KPUD Jawa Timur, adalah benar. Hal ini juga disampaikan kepada petinggi parpol tertentu ketika diminta memaparkan tentang anatomy of crime dari perspektif seorang mantan Kapolda mengenai masalah yang menjadi topik yang memanas akhir-akhir ini tersebut. Jika kesimpulan Herman benar, dapat kita duga bahwa hal tersebut mengakibatkan salah satu pasangan calon yang didukung oleh partai tertentu dimenangkan dalam putaran pemilihan gubernur Jawa Timur.

Setelah terjadi mutasi, Kapolda Jawa Timur yang baru mengubah status yang telah ditetapkan semula, yaitu dari tersangka menjadi saksi. Dan proses perkara, yang semula telah sampai pada tahap penyidikan, diulang kembali pada tahap penyelidikan. Padahal, sesuai dengan KUHAP, tahap penyidikan dan penentuan status tersangka adalah tahap lanjutan dari penyelidikan sebagai indikasi telah ditemukan bukti permulaan yang cukup. Hal ini mengandung arti bahwa tahap penyelidikan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan teknis, sistematis, taat asas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tentu kejadian ini menjadi pertanyaan kita semua.

Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP Pasal 184 (1), bahwa pembuktian perkara yang di dalam istilah kepolisian dikenal sebagai scientific crime investigation mengacu ke berbagai alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pengertian bukti permulaan yang cukup setidaknya mengandung pengertian bahwa suatu konstruksi pidana setidaknya didukung oleh dua alat bukti yang sah dari antara kelima alat bukti di atas. Apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan di mana berbagai upaya paksa telah dilaksanakan—dan ada hak-hak warga negara yang telah dirampas--penyidik diharuskan menyerahkan berkas perkara dan tersangka kepada penuntut umum. Tahapan yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut kemudian dinyatakan oleh penuntut umum sebagai P-21, berarti proses hukum memasuki tahap penuntutan.

Pertanyaan yang timbul adalah, pertama, apa peran Badan Reserse Kriminal Polri sebagai pembina fungsi teknis penyidikan? Kedua, apakah pernah melakukan audit investigasi melalui kontrol dan supervisi terhadap proses kegiatan penyidikan--mulai dari metode pengumpulan informasi dan data, metode analisis dan evaluasi, sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan konstruksi pasal yang dipersangkakan? Ketiga, apakah audit yang dilakukan oleh Bareskrim sebagai Pembina Fungsi Teknis pada saat proses pembuktian masih tetap berlanjut, dapat dikategorikan sebagai langkah intervensi yang membuat ketersinggungan bagi penyidik--dalam hal ini mantan Kapolda Jawa Timur? Keempat, apakah tidak perlu menguji kembali setiap hasil tahapan penyelidikan dan penyidikan, khususnya dalam menetapkan tersangka, sebagai wujud profesionalisme Polri sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang? Kelima, apakah dengan dalih transparansi, atau alasan pengunduran diri, dapat dibenarkan seorang penyidik membeberkan seluruh proses dan hasil penyidikan sementara suatu kasus kepada pihak lain di luar konteks kedinasan--apalagi melalui konferensi pers?

Langkah pengunduran diri seorang petinggi Polri patut diacungi jempol sebagai wujud tanggung jawab moral karena kegagalan profesional, antara lain akibat rendahnya kompetensi manajerial dalam menjalankan fungsi kontrol. Kegagalan tersebut mengakibatkan beberapa orang di Jawa Timur masuk penjara karena praktek yang salah dalam melakukan pengumpulan informasi dan data, salah melakukan analisis, dan pasti salah sampai tahap pemberkasan dan penyerahan berkas perkara. Kesalahan ini secara otomatis berpengaruh terhadap tindakan penuntut umum untuk menyatakan berkas perkara sebagai P-21, dan keputusan hakim, seperti pada kasus Asrori dan teman temannya. Pada kasus tersebut, Asrori dkk harus disidang dan dipenjarakan atas tuduhan yang bisa dibuktikan secara hukum, walaupun tidak pernah dilakukan. Kasus lain adalah kasus Lapindo Brantas, sebagai bentuk kejahatan korporasi, yang sampai saat ini belum dapat dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, dan kalau memang suatu tindak pidana, siapa saja yang dikategorikan sebagai pelaku.

Kejadian ini menunjukkan betapa rawannya independensi kepolisian dalam tugas penegakan hukum di era demokratisasi yang syarat dengan berbagai kepentingan politik dan praktek-praktek politisasi penegakan hukum. Di sisi lain, kejadian ini juga menguji kompetensi petinggi Polri yang secara manajerial bertanggung jawab atas proses rekrutmen, seleksi, pembinaan dan pengembangan, serta penempatan dalam jabatan di lingkungan kepolisian secara transparan dan akuntabel tanpa suatu intervensi karena kepentingan politis sesaat.

Semoga proses mutasi serupa ini, proses penentuan hasil penyidikan, dan campur tangan partai politik dalam manajemen organisasi profesi, mampu mengingatkan kembali kita semua ke masa lalu. Kecelakaan sejarah yang pernah melanda organisasi kepolisian, dengan mencuatnya kasus Bulog-gate, Brunaigate, sampai berakhir dengan pemakzulan seorang Presiden Abdurrahman Wahid beberapa tahun yang lalu sebagai hasil penyidikan yang dipaksakan, tidak perlu diulangi kembali. Marilah kita semua bereuforia menyambut dinamika demokratisasi di negeri tercinta ini, dengan segala konsekuensi dalam rangka pembelajaran. Dan kita berharap semoga kepentingan kemaslahatan rakyat bukan hanya kemasan slogan alias komoditas kampanye cari popularitas, yang sebenarnya merupakan ajang perebutan pepesan kosong. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/27/Opini/krn.20090327.160615.id.html

Pengarusutamaan dan Kepemimpinan Kelautan

Pengarusutamaan dan Kepemimpinan Kelautan
Arif Satria

Dosen Fakultas Ekologi Manusia, Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor
Pada 13 Maret 2009, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) berseminar tentang kelautan di Manado. Sebulan sebelumnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) juga menggelar Rembug Nasional Kelautan di Lemhannas, dan Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) menggelar dialog dengan partai politik. Ketiganya berusaha menjawab mengapa sektor kelautan dan perikanan belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan. Apakah proses Pemilu 2009 dapat menjadi titik masuk mainstreaming itu?

Gagalnya mainstreaming kelautan terlihat dalam berbagai kebijakan selama ini, dalam bidang pangan, energi, kemiskinan dan lapangan kerja, lingkungan, pertumbuhan, tata ruang, geopolitik, serta manajemen pembangunan. Pertama, dalam pangan, ikan belum menjadi komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, terigu, dan daging. Ukurannya, harga ikan belum menjadi pertimbangan dalam kebijakan perdagangan. Kedua, dalam energi, saat ini kita masih sangat bergantung pada energi fosil, padahal laut memiliki potensi sebagai salah satu sumber energi, baik energi angin, OTEC, energi gelombang, energi surya, maupun mikroalga. Hingga saat ini belum ada peta jalan pengembangan energi dari laut itu.

Ketiga, dalam hal kemiskinan, nelayan dan masyarakat pesisir belum menjadi target utama desain kebijakan antikemiskinan. Ukurannya, belum tersedianya data kemiskinan nelayan, lemahnya antisipasi terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak 2005 dan 2008 sehingga nelayan menjadi korbannya. Juga tidak dipertimbangkannya sektor kelautan dan perikanan (KP) dalam desain Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sistem KUR justru menjauhkan akses nelayan dan masyarakat pesisir dari pemodalan. PNPM pun belum menjangkau semua kota/kabupaten pesisir. Keempat, dalam bidang lingkungan, isu pemanasan global seolah hanya milik sektor kehutanan. Padahal serapan karbon oleh fitoplankton mencapai 40-50 miliar ton karbon per tahun, dan hampir sama dengan tumbuhan sekitar 52 miliar ton. Kelima, dalam pertumbuhan ekonomi, sektor kelautan, yang terdiri atas perikanan, transportasi laut, pertambangan, wisata bahari, dan sebagainya, juga belum diprioritaskan. Industri pengolahan ikan belum maksimal dan hanya beroperasi dengan 45 persen kapasitas terpasang. Sekitar 40 persen lalu lintas perdagangan internasional melewati laut Indonesia, dan kita belum mampu menangkap peluang ini untuk mendongkrak pertumbuhan. Terakhir, stimulus fiskal Rp 73 triliun bias ke perkotaan, dan alokasi untuk pesisir kurang dari Rp 1 triliun. Padahal pulau-pulau kecil sangat butuh sentuhan infrastruktur.

Keenam, dalam bidang geopolitik, sarana pertahanan di laut jauh di bawah darat. Dan banyak persoalan wilayah perbatasan belum diselesaikan. Ketujuh, dalam manajemen pembangunan, nomenklatur pembangunan belum berpihak ke sektor KP. Dalam penghitungan PDB, misalnya, formula yang saat ini ada bias darat dan underestimate terhadap sektor KP. Pertanyaannya, bagaimana kita memulai dan memperkuat mainstreaming?

Ocean leadership

Kegagalan mainstreaming di atas adalah kegagalan politik kelautan-perikanan, yang salah satu faktornya lemahnya ocean leadership kita. Ocean leadership diperlukan dalam mainstreaming KP, baik dalam keputusan politik (kebijakan) maupun manajemen pembangunan. Ada beberapa komponen penting dalam ocean leadership. Pertama, adanya visi kelautan yang selanjutnya tecermin dalam ocean policy yang komprehensif, sebagaimana Vision for Marine Policy of Korea atau Australia's Oceans Policy. Keberanian Gus Dur membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan adalah bagian dari kekuatan visinya tentang kelautan.

Kedua, kemampuan interaksi politik dengan legislatif untuk menghasilkan produk legislasi dan politik anggaran yang pro-KP. Ketiga, kemampuan membuat terobosan serta mobilisasi sumber daya nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung sektor KP. Ini mengingat masalah KP banyak di luar sektor KP itu sendiri. Di sinilah sebabnya Gerbang Mina Bahari ala Megawati dan Revitalisasi Perikanan ala SBY belum berhasil, karena kedua presiden itu masih setengah hati dalam mobilisasi sumber daya nasional untuk KP.

Keempat, keberanian membentuk Menteri Koordinator Kelautan, yang berfungsi mendorong koordinasi dan kerja sama lintas sektor dalam mendorong penguatan sektor KP. Fungsi itu selama ini dipegang Dekin, namun belum maksimal. Kelima, kemampuan mengontrol kesesuaian desain kebijakan dan payung program dengan satuan proyek. Ini penting karena sering kali yang menerjemahkan kebijakan/program nasional menjadi proyek APBN adalah eselon 4 ke bawah. Apa artinya kebijakan ideal tanpa didukung program-program APBN. Keenam, kemampuan menggalang dukungan daerah dalam kerangka mempertahankan NKRI. Negara kepulauan ini memerlukan kemampuan pemersatu melalui instrumen keadilan ekonomi. Pulau-pulau di perbatasan potensial terlepas bila keadilan ekonomi tidak terwujud. Dan sektor KP dapat menjadi jalan menuju keadilan ekonomi itu.

Kaukus kelautan

Meski demikian, seolah persoalan mainstreaming hanya ranah eksekutif, padahal legislatif dan partai politik memiliki kekuatan besar. Legislatif memiliki fungsi legislasi dan politik anggaran, dan di sinilah justru pangkal persoalannya. Dalam kerangka mainstreaming KP, hal yang perlu dilakukan di lingkungan legislatif adalah membentuk kaukus kelautan, yang lintas komisi dan fraksi, yang fungsinya memperjuangkan kepentingan KP dalam setiap keputusan legislatif. Karena itu, perlu identifikasi anggota legislatif yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk mainstreaming KP, dan lalu diikat dalam bentuk kaukus kelautan ini. Di sinilah kualitas anggota legislatif menjadi taruhannya, sehingga penting untuk memilih mereka yang punya komitmen membangun kelautan dan perikanan. Dan Pemilu 2009 merupakan momentum strategis untuk menghasilkan anggota legislatif dan presiden yang pro-KP. Dengan demikian, diharapkan ocean leadership makin kuat dan mainstreaming KP terwujud. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/27/Opini/krn.20090327.160616.id.html

Yang Salah, Sistem atau Pelaku?

Yang Salah, Sistem atau Pelaku?



Oleh SALAHUDDIN WAHID

Pemilu 1955 diikuti dengan semangat oleh masyarakat. Sebanyak 91,5 persen pemilih terdaftar menggunakan hak pilihnya, tetapi ternyata gagal memberi pemecahan bagi masalah konsensus politik Indonesia, bahkan justru memperparahnya.

Kekuatan yang relatif merata di antara empat partai (Masyumi+NU, PNI, dan PKI) tidak membuat kompromi politik yang bermakna dan efektif. Tak ada pihak yang mengaku memiliki legitimasi dan otoritas moral yang tadinya diharapkan akan menjadi milik pemenang.

Koran Suluh Indonesia (17/7/1956) menulis: ”jika pemilu tidak memperbaiki keadaan kehidupan, maka tidak hanya akan timbul kekecewaan pada rakyat, tapi muncul pula benih-benih yang bisa membahayakan kehidupan demokrasi parlementer di Negara kita.” Kabinet kedua Ali Sastroamijoyo sejak 1956 terbukti sangat tak efektif dalam menghadapi tantangan pada segi politik dan ekonomi.

Pemilihan Umum 1955 yang digantungi banyak harapan sebagai ”obat terbaik untuk mengatasi kekacauan dalam bidang politik” ternyata tidak menghasilkan buah yang dijanjikan, yaitu stabilitas. Maka, tidak terhindarkan muncullah pertanyaan ”apakah sistem politik yang dipakai saat itu tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia?”

Oligarki partai

Dewan Nasional (DN) didirikan Juli 1957 dengan anggota wakil-wakil fungsional serta daerah, termasuk para kepala staf angkatan perang. Segera DN itu menjadi alat manuver politik dan pengembangan kebijakan yang penting. Menurut Prof Utrecht, DN dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh pemerintahan parlementer. Menurut Soedjatmoko, DN itu untuk membongkar oligarki partai yang sudah bercokol.

Ir Djuanda menganjurkan pembubaran mekanisme partai dan menggunakan sistem konstituensi lokal: ”Anggota-anggota DPR seharusnya bukan mewakili partai politik, melainkan penduduk wilayah tertentu.” Iwa Kusuma Sumantri berpendapat, ”unsur-unsur oportunis dan egois, karena terkait partai, bisa terpilih sebagai wakil rakyat atau menjadi menteri.”

Ali Sastroamidjoyo mengatakan, ”yang salah bukan partai-partai tetapi tokoh-tokoh yang menyalahgunakan partai untuk kepentingan pribadi.” Sekjen PBNU Saifuddin Zuhri menyatakan, ”beberapa pemimpin partai menyalahgunakan fungsi partai untuk mencari kekayaan dan kedudukan diri sendiri.”

Soedjatmoko menganggap demokrasi telah runtuh karena perebutan kekuasaan tanpa batas di kalangan elite politik yang menghabiskan energi mereka sehingga tak ada yang tersisa untuk mengurus negara. Bung Hatta mengatakan, ”jika demokrasi kita sejauh ini tidak berjalan dengan memuaskan dan sering keluar jalur, maka itu bukan kegagalan demokrasi melainkan kegagalan mereka yang memegang jabatan.”

Dekrit presiden

Pengalaman revolusi dan kacaunya politik pada era itu membuat Bung Karno makin yakin bahwa kepemimpinan di puncak lembaga negara mutlak diperlukan. BK menyatakan bahwa dia sebenarnya tidak setuju terhadap Maklumat Presiden Nomor X 1945 yang mendorong tumbuhnya partai politik.

BK mengatakan kepada George Kahin (awal 1959) bahwa ”harus ada pemimpin yang bisa menetapkan keputusan; kepemimpinan amat penting bagi sistem.” Dekrit presiden mengenai berlakunya kembali UUD 1945 diharapkan mampu menyelesaikan kebuntuan demokrasi parlementer dan juga menghasilkan pemerintahan yang stabil dan kepemimpinan yang kuat.

UUD 1945 memang membuat pemerintahan lebih stabil, tidak mengalami gonta-ganti kabinet. Demokrasi Liberal diganti oleh Demokrasi Terpimpin. Bung Karno memasukkan ketua DPR dan ketua MA ke dalam DPR. Sejumlah tokoh nasional ditahan, seperti Syahrir, Hamka, dan Mohammad Roem.

BK mengalami akhir tragis dalam perjuangan beliau untuk memajukan bangsa dan negara setelah terjadi peristiwa G30S. Tetapi nama besar BK tetap akan dikenang sampai kapan pun.

Kembali ke UUD 1945?

Kita melihat bahwa kini banyak pihak yang menghendaki berlakunya kembali UUD 1945 yang asli setelah amandemen UUD 1945 ternyata tidak membawa perbaikan kehidupan masyarakat, baik dalam kesejahteraan ekonomi maupun nonekonomi. Banyak yang mengatakan bahwa demokrasi liberal tidak tepat bagi kehidupan politik kita.

Banyak juga pihak yang mengecam perubahan Pasal 33 UUD 1945 yang membuat kehidupan ekonomi kita terpuruk dan bergantung pada pihak LN. Sebetulnya ada pasal hasil amandemen yang lebih baik daripada yang asli, seperti pembatasan masa jabatan, tetapi ada juga yang perlu diamandemen lagi.

Kita mempunyai pengalaman dengan UUD 1945 asli kita yang telah mengalami pemerintahan otoriter, pada era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Kita mengalami pemerintahan demokrasi parlementer, yaitu era demokrasi liberal 1950-1959 dan kuasi presidensial 1999-2009. Keduanya menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil dan oligarki partai.

Sebenarnya yang salah itu sistemnya atau manusianya? Mereka yang mengkritik pemerintah atau menentang pemerintah Orde Baru yang kini aktif di beberapa partai, ternyata banyak yang mengulangi praktik busuk Orba.

Yang pertama harus kita perbaiki adalah karakter manusia yang menjadi politisi. Selama politisi bersikap pragmatis, menghalalkan semua cara, perbuatan tidak sejalan dengan perkataan, tidak beretika dan koruptif dalam arti luas (menyalahgunakan kekuasaan), sistem apa pun tidak akan membawa kita ke arah yang dicita-citakan.

Sistem presidensial harus kita perkuat dengan memberi semacam hak veto kepada presiden supaya pemerintahan bisa berjalan dengan efektif. Pasal-pasal UUD hasil amandemen yang dianggap bermasalah perlu dikaji kembali.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/27/02523923/yang.salah.sistem.atau.pelaku

Perkara Data Kependudukan

Perkara Data Kependudukan


Perkara data kependudukan tampaknya sudah menjadi problem nasional yang serius. Masalah inilah yang akhirnya menimbulkan kekisruhan data pemilih tetap (DPT) dalam pelaksanaan pemilu yang hanya tinggal hitungan minggu.


Tidak jelasnya DPT bukan hanya terjadi dalam Pemilu 2009 ini, tetapi berulang setiap lima tahunan. Bahkan konflik-konflik pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) seperti yang terjadi di Depok, Maluku Utara,dan terakhir Jawa Timur bersumber dari tidak validnya dan tidak pastinya DPT.Lebih dari soal pemilu dan pilkada, ketersediaan data kependudukan yang valid adalah keharusan bagi suatu negara.Tulisan ini akan memerkarakan ketiadaan sistem dan data kependudukan di Indonesia.

Kewajiban Pemerintah

Polemik tentang tidak validnya data kependudukan harus dikembalikan pada unsur-unsur dasar yang membentuk negara, yaitu adanya rakyat (staatsvolk), adanya wilayah (staatsgebiet), dan adanya kekuasaan (staatsgewalt).

Unsurunsur ini penting untuk menggambarkan bahwa negara diadakan oleh rakyat dan memberikan pelayanan kepada rakyatnya.Karena itu,data mengenai siapa-siapa saja yang menjadi rakyat sebuah negara merupakan sesuatu yang bersifat wajib. Kewajiban ini sangat mendasar karena pelayanan yang akan diberikan oleh negara kepada rakyatnya jelas akan bersandar pada data-data kependudukan tentang rakyatnya.

Jadi jika ada satu negara yang tidak memiliki data yang pasti mengenai jumlah dan status sosial ekonomi penduduknya, sebenarnya negara telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pemerintah sebagai pelaksana tugas negara berkewajiban uuntuk mengadakan sistem data kependudukan yang valid demi kebutuhan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Saya maksudkan dengan sistem data kependudukan adalah pendaftaran, pencatatan, pengolahan,dan pendayagunaan informasi serta data secara benar, tepat, terintegrasi, dan terus- menerus mengenai identitas serta keadaan status sosial ekonomi penduduk baik di tingkat pemerintahan daerah maupun di tingkat nasional. Kewajiban pemerintah ini tertuang dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Pasal 5 UU No 23 Tahun 2006 disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan administrasi kependudukan secara nasional.

Dalam Pasal 13 disebutkan bahwa setiap penduduk wajib memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang berlaku seumur hidup. Kewajiban untuk mengadakan NIK sejatinya merupakan tanggung jawab pemerintah karena dalam Pasal 2 disebutkan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan dan pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Ada sejumlah jawaban mengapa sistem data kependudukan ini penting dan harus diadakan oleh pemerintah.

Pertama, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia. Kedua, setiap penduduk berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dari negara sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan.

Ketiga, data kependudukan ini dibutuhkan untuk menjadi pegangan yang sama bagi seluruh instansi pemerintah sehingga tidak ada perbedaan tentang nama penduduk, jumlah penduduk, alamat penduduk, dan data status sosial ekonomi penduduk. Keempat, sebagai dasar bagi negara dalam hal ini pemerintah untuk menentukan penduduk yang memiliki hak untuk mendapatkan subsidi dan bantuan dari negara.

Kerancuan Dasar Kebijakan

Pertanyaan yang harus diajukan adalah bagaimana pemerintah selama ini menentukan jumlah pelayanan dan subsidi yang harus diberikan (termasuk Bantuan Langsung Tunai/BLT,beras untuk rakyat miskin /raskin,Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin/Askeskin, dan pendidikan gratis) kepada masyarakat jika pemerintah tidak memiliki data yang akurat tentang siapa, di mana,dan bagaimana kondisi status sosial ekonomi penduduknya.

Ada dua jawaban yang tersedia. Pertama, pemerintah mempergunakan data sensus BPS tahun 2000 yang kemungkinan tidak valid lagi dan kedua, pemerintah hanya mengira-ngira saja jumlah penduduk yang harus dilayani dan diberi subsidi.Jika kedua jawaban ini benar, hal itu merupakan malapetaka yang sangat besar dalam kehidupan bernegara di Indonesia di mana anggaran yang dikeluarkan pemerintah selama ini tidak mencerminkan kebutuhan yang sesungguhnya atas pelayanan yang harus diberikan.

Hal ini dapat diindikasikan terjadinya pemborosan keuangan negara secara terencana. Akan halnya DPT yang sekarang menjadi perdebatan dalam Pemilu 2009 hanyalah imbas dari buruknya sistem data kependudukan di Indonesia. Apa yang dikemukakan sejumlah kalangan baik parpol maupun lembaga studi mengenai kemungkinan terjadinya pemalsuan data-data kependudukan melalui rekayasa nomor induk kepagawaian (NIK) dalam kasus di Bangkalan sangat mungkin terjadi di daerah lain.

Pemalsuan melalui data-data fiktif penduduk dengan cara mengubah alamat dan tanggal lahir hanya bisa dilakukan jika data-data kependudukan yang ada di seluruh Indonesia tidaklah tunggal. Artinya, setiap pihak (BPS, Bappenas,BKKBN,KPU, dan lembaga lain) memiliki data kependudukan yang berbeda. Pemalsuan merupakan salah satu modus saja. Masih banyak modus yang mungkin dilakukan untuk memanipulasi data kependudukan atau menyalahgunakan data kependudukan.

Pertama, kepemilikan NIK ganda yang disebabkan tercatatnya seseorang lebih dari sekali dalam wilayah yang berbeda.Kedua,masih tercatatnya orang yang sudah meninggal dunia dalam DPT. Ketiga, tercatatnya bayi dan anak-anak yang belum berusia sebagai pemilih dalam DPT. Keempat, tidak terdaftarnya penduduk berusia pemilih yang sudah memiliki NIK karena kecerobohan petugas PPS dan KPU dalam melakukan pendaftaran pemilih sementara dan tetap. Kelima, masih banyaknya penduduk yang belum memiliki NIK karena berbagai alasan seperti penduduk yang bertempat tinggal liar dan atau masyarakat di perdesaan yang merasa tidak membutuhkan KTP.

Membangun Sistem Data Kependudukan

Perkara data kependudukan akan terus terjadi dalam pemilu, pilkada, dan tentu saja dalam pemerintahan dan pelayanan publik. Dalam jangka panjang, jika administrasi data kependudukan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik hasil pemilu dan pilkada yang terus-menerus dan berkepanjangan.

Pada sisi lain, ketiadaan data kependudukan yang terpadu dan valid mengakibatkan pemborosan keuangan negara karena setiap instansi pemerintah memiliki data yang berbeda dalam memberikan pelayanan.

Administrasi kependudukan yang baik bukan hanya akan menghindarkan korupsi yang terencana melalui kebijakan,konflik dalam pemilu,tetapi juga akan meningkatkan efisiensi pemerintahan dan tambahan sumber penerimaan melalui wajib pajak yang tidak dapat menghindar lagi.Tidak ada hal lain yang dibutuhkan untuk ini,melainkan komitmen presiden dan kepala daerah.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar Administrasi Negara FISIP UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/224355/

Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan

Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan


Oleh PAULINUS YAN OLLA

Sebuah seminar yang menampilkan Indonesia sebagai model kehidupan bersama dalam kerukunan sekalipun berbeda-beda, unità nella diversità, baru saja diadakan di Roma (Antara, 4/3).
Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini dalam sambutannya pada awal seminar jelas-jelas ”meminang” Indonesia menjadi pelaku perdamaian. Tawaran serupa telah diutarakan pula Perdana Menteri Australia (The Jakarta Post, 26/2) dan beberapa negara lain yang ingin melamar Indonesia sebagai mitra dalam percaturan relasi internasional (Kompas, 27/2).
Mengapa kerukunan Indonesia ingin dijadikan model oleh berbagai pihak di ranah internasional? Apa yang menarik dan karenanya sangat diharapkan dari Indonesia dalam pergaulan internasional?
Seminar di Roma membidik salah satu unsur sentral kearifan budaya (cultural wisdom) Nusantara yang kini mempunyai nilai pikat dan relevansi sangat tinggi, yakni kemampuan hidup bersama secara rukun dalam perbedaan. Sering terjadi pergesekan dalam relasi, tetapi keharmonisan telah menyejarah dan menjadi pengalaman dominan dalam hidup bersama di Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika menjadi daya pikat ketika di berbagai belahan Bumi terjadi konflik dan ketakutan akan terjadinya benturan antarbudaya. Ketakutan itu terlihat, misalnya, dari sikap panik negara-negara Eropa yang kehilangan akal menghadapi imigrannya yang berbudaya dan berkeyakinan lain. Kemampuan Indonesia untuk meramu perbedaan ratusan suku, bahasa, etnisitas, atau perbedaan agama menjadi sebuah harmoni tidak dapat diabaikan ketika dunia seakan disekap ketakutan terhadap orang asing (xenofobia) dan kebingungan dihadapkan pada pembauran manusia dalam keberagamannya di era globalisasi.
Pernyataan Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni, dobbiamo essere cattivi (kita harusnya jahat) terhadap orang asing, menjadi contoh lain kepanikan dan ketakutan menghadapi serbuan pendatang dengan keragaman agama, budaya, dan nilai hidup yang menyertainya (Corriere della Sera, 9/2).
Unsur Islam dan keharmonisan relasi antaragama di Indonesia menjadi daya pikat lain yang menaikkan pamor Indonesia pascaperistiwa serangan teroris, 11 September 2001. Islam Indonesia menampilkan wajah yang ramah dan moderat yang mampu hidup damai bersama agama-agama lain. Italia, seperti diungkapkan Franco Frattini, menginginkan Indonesia sebagai jembatan antara Barat dan Timur Tengah.
Politik identitas
Jonathan Sacks dalam usahanya mencari jalan untuk menghindari terjadinya benturan antarbudaya (the clash of civilizations) memperlihatkan adanya sebuah transformasi dari abad ke-20 ke abad ke-21, yakni perubahan dari politik ideologis ke politik identitas. Agama dalam politik identitas berperan sangat penting karena menjadi sumber jawaban atas identitas. Namun, pada saat yang sama, ia menjadi sumber perbedaan yang bisa melahirkan konflik (Jonathan Sacks, The Dignity of Difference: 10-11). Indonesia dapat disodorkan sebagai model kerukunan karena tampaknya berhasil menjawab kekhawatiran banyak orang yang mencurigai agama-agama sebagai sumber konflik.
Apakah berbagai tawaran menjadi model perdamaian dan kesempatan menjadi duta perdamaian itu akan dimanfaatkan Indonesia? Tantangan utama bagi Indonesia adalah agar mampu menjadi jembatan/perantara yang dapat dipercaya.
Sebuah jembatan hanya berfungsi ketika bisa menghubungkan dua sisi. Indonesia akan lebih mapan posisinya sebagai mediator bila meninjau kembali sikapnya terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ”musuh”. Mediasi memerlukan kekokohan sikap, tetapi itu tidak berarti tidak mengajak yang dianggap musuh untuk duduk di meja perundingan.
Tantangan lain adalah apakah Indonesia sendiri menyadari kekayaan serta keberagamannya sebagai sesuatu yang berharga? Ketika memasuki pertarungan kekuasaan dalam pemilu mendatang, ada partai politik yang mengusung isu pluralitas sebagai janji (The Jakarta Post, 1/3). Hal itu patut dikritisi karena pluralitas Indonesia bukanlah sebuah pengalaman yang bisa diklaim seakan buatan atau hadiah partai tertentu. Ia menyentuh dasar keberadaan bersama sebagai bangsa dan karenanya siapa pun yang berkuasa sebagai pemimpin wajib memeliharanya.
Praktik kerukunan hidup bersama di Indonesia di ranah internasional tampaknya dimaknai sebagai pembalikan dan jawaban atas tesis the clash of civilizations. Agama-agama di Indonesia ternyata mampu menjadi sumber identitas yang meneguhkan dalam globalisasi yang membuat manusia kehilangan orientasi. Mereka dapat pula merajut perdamaian dan merekat kesatuan dalam perbedaan.
Semoga kerukunan Indonesia yang dilirik bangsa lain dapat dimanfaatkan dan bukannya dirusak oleh bangsa sendiri!
Paulinus Yan Olla Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; Bekerja di Roma, Italia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/27/02403835/melirik.indonesia.sebagai.model.kerukunan.

Fenomena Selebritinya Penyakit Infeksi

Fenomena Selebritinya Penyakit Infeksi

Epidemi Ganda TB dan HIV

Oleh Prijono Satyabakti *

Ada pepatah yang berbunyi ''Sudah jatuh tertimpa tangga''. Arti bebasnya ialah ketika terkena musibah, belum sampai teratasi muncul lagi musibah lain. Mana yang lebih menyakitkan, jatuhnya atau tertimpa tangganya? Jawabnya adalah ''tak tentu''. Tapi, yang pasti jatuh itu menyakitkan dan diimpit tangga ya menyakitkan. Apalagi bersamaan.

Pepatah itu saya umpamakan dengan seorang yang mengidap HIV/AIDS, kemudian terinfeksi TB (baca: TBC). Atau, bisa juga sebaliknya, kena TB dulu baru terinfeksi HIV.

Apakah kasus itubanyak? Jawabnya, ya. Karena itu, dalam bidang epidemiologi sekarang sangat terkenal dengan istilah epidemi ganda TB-HIV.

Bagaimana itu bisa terjadi dan apa dampaknya? Berbicara dampak, ada dua hal yang utama, yakni dampak klinis dan dampak sosial. Untuk dampak klinis, baik TB ataupun HIV adalah penyakit infeksi yang berat. Terinfeksi salah satu saja sudah pasti merepotkan, apalagi sudah mengidap HIV terinfeksi juga TB, atau sebaliknya sudah menderita TB eh terinfeksi HIV juga.

Tentang dampak sosialnya makin heboh lagi. Walaupun TB sudah ratusan tahun dikenal, orang dengan penyakit TB pada umumnya mempunyai rasa inferior dalam penampilan ataupun pergaulan.

Akan jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah seorang pasien TB akan bercerita kepada familinya atau temannya, apakah itu teman sekampung atau teman sekantor, bahwa dirinya terinfeksi TB. Hingga ada sebagian orang yang mengatakan, TB adalah penyakit tidak elite.

Lain misalnya dengan hipertensi, jantung, diabet, dan yang lain. Orang dengan penyakit itu akan dengan tegarnya, bahkan mungkin bangga, bercerita bahwa dirinya terkena hipertensi, jantung, atau diabet.

Anggapan seperti itu masih tetap ada walaupun sekarang ini ada juga orang mampu yang terkena TB. Sedangkan untuk HIV/AIDS, walaupun stigmanya sudah cukup berkurang, pada banyak situasi ternyata masih menunjukkan bahwa stigma tadi masih ada.

Epidemi ganda

TB adalah penyakit infeksi yang dikenal lebih dari seratus tahun lalu. Kuman penyebabnya disebut mycobacterium tuberculosa, dikenalkan oleh Robert Koch pada abad ke-18. Ada berbagai jenis organ tubuh yang bisa terserang TB. Misalnya, paru, ginjal, tulang, dan otak. Tetapi, di antara banyak organ tadi, yang paling banyak terkena infeksi TB adalah organ paru.

Menurut catatan WHO, Indonesia negara kita yang tercinta ini tercatat sebagai urutan ketiga besarnya jumlah kasus TB di dunia, setelah India dan Tiongkok.

Penyakit itu sangat membahayakan. Selain mudahnya proses penularan dari seorang TB aktif adalah angka kematian yang cukup tinggi, terutama bila tidak diobati. Kemungkinan tidak terbayangkan, tanpa terapi yang benar TB akan menjadi fatal.

Suatu prediksi mengatakan, bila tidak diobati, sepertiga di antara pasien akan meninggal dalam setahun. Dan, kira-kira separuhnya akan meninggal dalam 5 tahun semenjak terdiagnosis TB.

Gampangnya begini, bila ada seratus orang terkena TB aktif dan tidak mengobati penyakitnya, dalam waktu setahun akan sekitar 30 orang yang meninggal dan dalam waktu lima tahun jumlah kematian akan menjadi sekitar 50 orang.

Kalau HIV/AIDS, walau tergolong suatu penyakit infeksi baru (new emerging desease), berkat angka kematiannya yang tinggi serta penularan yang sangat mudah pada kelompok yang birisiko, penyakit itu menjadi sangat dikenal. Bahkan, ada yang menyebut sebagai selebritinya penyakit infeksi.

Penyakit itu disebabkan virus yang bernama human imuno deficiency virus yang selanjutnya dikenal sebagai virus HIV. Virus HIV dalam tubuh manusia tinggal pada cairan tubuh. Ada tiga cairan tubuh yang potensial tinggi untuk menularkan, yakni cairan darah, cairan sperma, dan cairan vagina.

Fatalitas yang cukup tinggi dari HIV disebabkan turunnya imunitas yang cukup drastis akibat dari peningkatan jumlah virus HIV pada seorang yang terinfeksi HIV.

Nah, di sinilah kunci jawaban dari terjadinya epidemi ganda TB-HIV. Seorang ODHA (orang dengan HIV/AIDS), yang artinya adalah seorang pengidap HIV, akan mengalami penurunan imunitas yang cukup drastis. Dan, bila dia tinggal di negara dengan prevalensi TB yang cukup tinggi, dengan mudahnya dia akan tertular TB dan mengembangkan kuman TB tadi dalam tubuh.

Kebalikan dari proses itu bisa terjadi juga. Orang yang terinfeksi TB, karena infeksinya adalah kronis, daya tahan tubuhnya akan turun. Maka, apabila seorang pengidap TB mempunyai perilaku yang berisiko tertular HIV, dengan mudah proses penularan akan berlangsung sukses.

Hubungan TB dengan HIV sangat berarti dalam memperburuk keadaan. Sebab, TB dan HIV akan saling memperburuk keadaan. Kira-kira kronologinya sebagai berikut: HIV akan meningkatkan risiko tertularnya TB aktif. Seorang ODHA mempunyai kemungkinan kemudahan 50 sampai 100 kali tertular TB daripada mereka yang HIV negatif.

Dikatakan pula bahwa infeksi TB merupakan 40% penyebab kematian dari AIDS. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa TB adalah infeksi penyerta utama yang menyebabkan kematian ODHA

Dari sini munculah program untuk menangani epidemi ganda itu. Beberapa langkah utama yang dilakukan, antara lain, meningkatkan pencarian kasus TB pada ODHA atau mereka yang berperilaku berisiko tertular HIV/AIDS dan meningkatkan pencarian kasus HIV pada pasien TB. Itu karena seorang ODHA mudah terinfeksi TB. Dan, sebaliknya bisa-bisa orang TB juga terinfeksi HIV

*. Prijono Satyabakti, dokter dan dosen di Fakulras Kesehatan Masyarakat Unair. Ketua Pengda IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) Jatim

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=59732

Hikayat Jarum Mengumpulkan Benang

Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 13.40

Hikayat Jarum Mengumpulkan Benang
Di luar Golkar, Jusuf Kalla menyusun tim sukses. Setia mengusung duet Yudhoyono-Kalla.
SENYUM Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mekar­ dalam gambar tempel. Di sana, tepat di bawah foto, terdapat jargon ”Bersama Kita Bisa”. Poster kuning muda itu terekat erat di dinding kanan pintu masuk Graha L9, Kebayoran Lama, Jakarta. Gedung empat lantai itu adalah markas Institut Lembang Sembilan, sayap pendukung Jusuf Kalla di luar Golkar. Sti­ker bergambar Yudhoyono-Kalla dalam ukuran lebih kecil menempel di sejumlah bagian tembok pada semua lantai.

Meski Jusuf Kalla, Jumat dua pekan lalu, menyatakan siap menjadi calon presiden pada pemilu Juli nanti, Lembang Sembilan tidak menyiapkan pesta ”perceraian” Kalla dengan Yudhoyono. Lembaga itu justru sedang berusaha keras agar pasangan Yudhoyono-Kalla dipertahankan dalam pemilu nanti. ”Kami ingin beliau tetap bersatu menjadi negarawan,” kata pemimpin Institut Lembang Sembilan, Alwi Hamu.

Kamis malam pekan lalu, Alwi meng­undang rapat setidaknya 17 anggota tim Lembang Sembilan. Di antaranya guru besar akuntansi Universitas Trisakti, Sofyan Syafri Harahap, mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan. ­Pieter L.D. Wattimena, dan pengusaha sekaligus tim pemenangan Yudhoyono-Kalla, Yahya Ombara. Sejatinya, Alwi juga mengundang intelektual Siti Musdah Mulia, pengamat politik Fachry Ali, pengusaha Sofjan Wanandi, pengusaha asal Makassar, Tanri Abeng, dan politikus Golkar, Firman Subagyo. Sayang, mereka tak hadir.

Rapat pertama Lembang Sembilan­ sejak Jusuf Kalla menyatakan siap menjadi calon presiden itu berlangsung sampai pukul 11 malam. Menurut Alwi, pertemuan itu memang membahas perkembangan politik terakhir. Ia melihat ada upaya untuk memisahkan Yudhoyono-Kalla—baik dari pihak Yudhoyono maupun Kalla. Mereka, kata Alwi, adalah politikus yang tidak memiliki visi kenegarawanan. ”Mereka berusaha menurunkan derajat SBY-JK dari negarawan menjadi politikus. Ini bahaya buat masa depan bangsa,” kata Alwi Hamu.

Pertemuan Lembang Sembilan malam itu juga membahas tabloid dua mingguan Negarawan, yang menjadi alat propaganda Lembang Sembilan untuk memenangkan kembali Yudhoyono-Kalla. Wakil Pemimpin Umum Negarawan Fiam Mustamin mengatakan tabloidnya memberikan apresiasi kepada duet Yudhoyono-Kalla. ”Pertimbangan kami tetap rasional dan obyektif untuk kepentingan bangsa,” kata Fiam.

Editorial Negarawan yang terbit 15-28 Februari lalu ditulis oleh Yahya Ombara dan jelas-jelas mendukung duet Yudhoyono-Kalla. Akal sehat mana pun, kata Yahya, pasti akan meyakini pasangan Yudhoyono-Kalla tidak saja masih perlu dilanjutkan, tapi bahkan harus didukung. ”Tidak hanya ketika memasuki pemilu presiden, tapi justru sejak saat ini dalam menghadapi pemilu legislatif.”

Tabloid ini berkantor di lantai dua Graha L9. Sampul tabloid selalu me­ngetengahkan foto Yudhoyono-Kalla­ dalam pose yang harmonis. Pada tiga edisi yang sudah terbit, tabloid ini hanya meng-copy-paste berita-berita­ koran. Meski begitu, terbitan ini memuat banyak iklan—terutama dari perusahaan pelat merah. ”Itu iklan janji, belum tentu bisa ditagih,” kata Alwi Hamu. Menurut Alwi, tabloid dicetak lebih dari 100 ribu eksemplar di percetakan jaringan Grup Jawa Pos dan disebar gratis ke seluruh Indonesia. ”Saya komisaris, jadi bayar cetaknya belakangan. Kalau enggak terbayar, saya bilang potong gaji saya saja,” kata Alwi, terbahak.

l l l

GRAHA Lembang Sembilan ini di­resmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Agustus 2007. Saat awal berdiri enam tahun lalu, Lembang Sembilan adalah kelompok diskusi di rumah Kalla, Jalan Lembang 9, Menteng, Jakarta Pusat. Kelompok ini memang didirikan oleh sejumlah orang dekat Kalla untuk mendukung pencalonannya sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004. Saat itu Kalla bukan jago Golkar. Partai Beringin mencalonkan Wiranto, yang menang dalam konvensi Golkar. Kalla lalu membuat sekoci. Lembang Sembilan salah satunya.

Selain Kalla, ada delapan orang yang menjadi pendiri lembaga itu. Mereka adalah Achmad Kalla, Aksa Mahmud, Alwi Hamu, Muhammad Taha, Sofyan­ Djalil, Muhammad Abduh, Tanri Abeng, dan Syahrul Udjud. Menurut­ Kepala Kantor Lembang Sembilan Fiam Mustamin, para pendiri itu masih aktif di Lembang Sembilan dengan posisi beragam—sebagai pengurus harian atau penasihat. ”Mereka masih solid semua,” ujar Fiam.

Muhammad Abduh dan Syahrul Udjud menjadi anggota staf khusus di kantor Wakil Presiden. Sofyan Djalil mendapat bagian Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Sofyan Djalil dulu sekretaris tim sukses gabungan Yudhoyono-Kalla.

Kini, kata Alwi, Lembang Sembilan telah memiliki cabang hingga ke semua provinsi. Selain itu, lembaga ini memiliki perwakilan di hampir semua kota dan kabupaten. Lembang Sembilan, kata Alwi, melibatkan kelompok-kelompok yang ada di daerah. Di Jawa Timur, misalnya, mereka banyak me­libatkan komunitas pesantren. Di Sulawesi Utara, mereka mengikutserta­kan pendeta dan perkumpulan jemaat gereja. ”Kami multikultur dan etnis,” katanya.

Perahu cadangan lain untuk mengukuhkan dukungan kepada Jusuf Kalla adalah Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan. Ketua Umum Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan Hasanuddin Massaile sesumbar anggota Kerukunan berjumlah 14 juta orang dan tersebar di seluruh dunia. Di luar negeri, Kerukunan punya anggota kira-kira 500 ribu orang. Jusuf Kalla, kata Hasanuddin, ibarat jarum, sedangkan warga Kerukunan laksana benang. ”Ke mana pun jarum pergi, benang akan ikut,” katanya.

Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan mendukung Jusuf Kalla—baik tetap bersama Yudhoyono maupun tidak. Sikap mereka tidak harus sama dengan sikap Golkar. ”Ini perkumpulan kekeluargaan, bukan partai politik,” kata Hasanuddin.

Di dalam Kerukunan, berhimpun pula persaudaraan saudagar Bugis. Jusuf Kalla adalah anak saudagar Bugis, Haji Kalla. Setiap tahun, saudagar Bugis bertemu. Paguyuban ini dibentuk pada 1996. Mereka makin mendapat tempat saat Jusuf Kalla menggandeng mereka untuk mendulang dukungan pada pemilu lalu. Alwi Hamu adalah Sekretaris Jenderal Persaudaraan Saudagar ­Bugis.

Dari Bugis, Kalla menyebe­rang ke Minang. Di sana ada persaudaraan saudagar Minang—daerah asal Mufidah, istri Kalla. Selain itu, Kalla menggarap kelompok saudagar Melayu, Banjar, Bali, Aceh, dan Sunda. Mereka berhimpun dalam Forum Saudagar Nusantara. ”Mereka punya sumbangan besar memajukan ekonomi,” kata Alwi.

Sunudyantoro, Agung Sedayu



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/02/LU/mbm.20090302.LU129662.id.html

Surya Paloh Factor" dalam Politik Pilpres

Surya Paloh Factor" dalam Politik Pilpres

Senin siang pekan lalu, saya penuhi undangan ''tokoh-tokoh Aceh'' bertemu dengan Bang Surya --panggilan para junior untuk Surya Paloh-- untuk perbincangan pemimpin politik nasional. Ketika ada usulan untuk maju, Bang Surya menolak dengan santun.

Ketika diminta bicara, saya sampaikan bahwa hasil pemilu legislatif unpredictable, karena pemberlakuan sistem suara terbanyak. Proses pembujukan rakyat secara intensif dan massif yang dilakukan masing-masing caleg berpotensi mengubah atau memperteguh pendirian konstituen. ''Yang akan dipilih rakyat,'' ujar saya, ''bukan hanya partai, melainkan juga pribadi-pribadi yang mereka kenal dan terima pada tingkat lokal.'' Maka, seperti terjadi di Thailand, hasil pemilu legislatif kali ini berpotensi menghadirkan the unsophisticated politicians di dalam parlemen.

Akan tetapi, sambung saya, ekspektasi tentang pilpres tidak banyak terdistorsi. Popularitas Yudhoyono tetap teratas, diikuti Megawati Soekarnoputri. ''Maka'', ujar saya lagi, ''jika Bang Surya maju bersama Mbak Mega, hasilnya pasti ramai.'' Ia tertawa lepas hingga, sebagaimana biasa, kepalanya terangkat. Pertemuan informal itu berakhir tanpa kesimpulan.

Beberapa hari kemudian, Bang Surya tampil dalam acara Konsultasi Nasional Partai Golkar. Dalam kapasitas sebagai ketua dewan penasihat, ia mengecam elite DPP partai itu yang ''sedikit-sedikit bicara pokoknya SBY-JK. Urusannya apa?'' Dan dengan nada komando ia berkata: ''Tolong catat siapa elite DPP yang bersikap semacam ini.'' Seperti terdengar dalam tayangan Metro TV secara berulang-ulang, ucapan Bang Surya ini mendapat respons bergemuruh dari floor.

Gaya retorika kecaman yang mengandung daya komando ini memang milik Surya Paloh seorang. Ia ekspresif, dan karena itu suara, aspirasi, serta --dalam beberapa hal-- ''ambisi''-nya mudah terlacak di tingkat publik.

Kepribadian semacam ini secara struktural terdukung oleh fakta bahwa Surya adalah sosok independen. Artinya, ia secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara dan lembaga-lembaga politik. Dalam posisi sebagai pemilik dua media massa besar (koran Media Indonesia dan Metro TV), Surya bahkan telah menjadi ''faktor'' yang mempengaruhi wacana politik nasional.

Sosok kepribadian dan political instruments miliknya ini cocok dengan situasi politik nasional dewasa ini, yang cair dan bersifat multidirections. Ini pula yang menyebabkan posisinya terperhitungkan di dalam Partai Golkar: orpol yang mewadahi ''orang-orang besar'', dengan watak dan ambisi yang spesifik.

Walau hampir semuanya tidak berakar di tengah masyarakat, di dalam Golkar masing-masing ''orang besar'' itu punya andalan tersendiri. Di samping durasi karier, pemimpin anak organisasi andalan itu juga terletak pada kekayaan material dan political instruments. Maka, masing-masing menjadi ''lembaga dalam lembaga'' dan mengontrol wilayah kekuasaan tertentu --yang membuat ketua umumnya hanya primus inter pares atau first among equals (yang terkemuka di antara yang sederajat). Ini membuat --dalam sebuah partai yang tak mengandalkan ideologi sebagai instrumen evaluatif-- niat atau maksud sang tokoh menjadi sukar dibedakan dengan kebijakan resmi partai.

Dalam struktur horizontal relasi kekuasaan elite Golkar inilah sosok seperti Bang Surya menjadi ''hidup''. Di tengah keadaan multidirections dan tak terfokus, yang dibutuhkan hanya imajinasi, kemauan, dan kemampuan menfasilitasi program tertentu dari seorang tokoh. Inilah yang menjelaskan mengapa ada program yang tampak ''ganjil'' dalam Golkar: rapat-rapat akbar Golkar-PDIP di Medan dan Palembang pada tahun lalu, di bawah arahan Bang Surya. Dan dengan ringan, tanpa beban, Bang Surya menyerukan bahwa Golkar dan PDIP adalah sama.

Maka, dalam struktur relasi ini, Bang Surya adalah faktor yang mengarahkan Golkar kepada the politics of heroism. Keinginan partai digdaya, tidak dipandang sebelah mata oleh yang lain. Lawannya adalah the politics for the real. Artinya, dalam keadaan apa pun, Golkar harus ada dalam kekuasaan. Jika tak bisa sendiri, tidak ''haram'' berkoalisi dengan kekuatan lain yang potensial. Di sini, saya kira, Jusuf Kalla berada.

Rasanya, dua gagasan ini telah bersemai selama dua tahun di dalam Golkar. Maka, pasal 2,5% dari Dr. Mubarok hanya pemicu eksternal kecil yang mendorong, untuk sementara, ''kemenangan'' the politics of heroism di dalam Golkar. Kehadiran 33 ketua dewan pimpinan daerah Golkar ke rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menominasikannya sebagai calon presiden adalah refleksi nyata bahwa Surya Paloh adalah ''faktor''.

Hipotesis apa yang bisa dikemukakan di sini? Sementara hasil pemilu legislatif masih menjadi teka-teki, popularitas Yudhoyono sulit sirna dalam beberapa bulan ke depan. Di sini Golkar dihadapkan pada pilihan: memajukan the politics of heroism atau the politics for the real?

Fachry Ali
Pengamat politik
[Kolom, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 26 Februari 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=123678

Sampai Kapan Korupsi Terjadi?

Sampai Kapan Korupsi Terjadi?


KORUPSI lagi, tertangkap lagi; korupsi lagi, tertangkap lagi. Sampai kapan cerita memalukan ini terus terjadi. Inilah perasaan yang mungkin menggumpal di dada masyarakat, begitu mengetahui Abdul Hadi Jamal, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tertangkap tangan melakukan korupsi.


Kalau ditanya,masyarakat pasti sangat kecewa karena ternyata masih ada saja wakil rakyat yang tidak kapok dan terus nekat melakukan korupsi. Padahal, jelas-jelas korupsi terbukti merusak fondasi ekonomi dan menjauhkan bangsa ini dari cita-cita kesejahteraan. Sampai kapan korupsi terus terjadi?

Tertangkapnya Abdul Hadi memperpanjang daftar anggota/mantan anggota DPR yang ditangkap basah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan korupsi. Sebelumnya adalah Al Amin Nasution ( FPPP) yang tersangkut kasus pembangunan Pelabuhan Tanjung Api Api dan alih fungsi hutan di Bintan dan Bulyan Royan (FPBR) terkait kasus kapal patroli Departemen Perhubungan.

Anggota Dewan lain yang ditangkap KPK adalah Antoni Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu (mantan anggota FPG yang terseret kasus aliran dana BI),Yusuf Emir Faishal (FPKB) dan Sarjan Tahir (FPD) yang terjerat kasus Tanjung Api Api. Abdul Hadi sendiri tertangkap tangan saat menerima uang yang diduga suap dari pegawai Departemen Perhubungan, Darmawati, di perempatan Jalan Sudirman- Jalan Casablanca,Senin (02/03) malam.

Selain itu KPK menangkap Hontjo Kurniawan,komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti,yang diduga memberi suap untuk mengincar proyek pembangunan dermaga/bandara di wilayah IndonesiaTimur. Rentetan penangkapan anggota DPR membuktikan bahwa penyakit korupsi masih menjangkiti mereka yang memegang kekuasaan.

Meski tidak bisa digeneralisasi, penyakit yang didefinisikan Lord Acton dari Inggris, power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely,masih mengendalikan perilaku mereka yang memegang kekuasaan. Dengan posisi yang diduduki, mereka merasa mempunyai hak dan kuasa untuk mengumpulkankekayaan,meski melanggar rambu-rambu hukum.

Celakanya, mentalitas demikian menjangkiti wakil rakyat dari hampir semua partai politik, tidak peduli yang berlatar abangan,nasionalis,nasionalis-religius.Tidak ada hubungan antara ideologi yang digembar-gemborkan partai dengan perilaku yang dimanifestasikan kadernya.

Siapa pun yang berkesempatan memegang kekuasaan, kapan pun, dan di mana pun berpeluang melakukan korupsi. Sejauh ini partai politik terlihat belum sepenuhnya mampu mengontrol perilaku kader-kadernya. Tertangkapnya Abdul Hadi juga menunjukkan bahwa berbagai penangkapan anggota DPR sebelumnya tidak mampu menjadi efek jera bagi mereka yang akan melakukan korupsi.

Meski pada kasus berbeda,Abdul Hadi tidak merasa takut mengulangi motif yang dipraktikkan pendahulunya. Dengan tertangkapnya Abdul Hadi, KPK dan aparat penegak hukum lain, harus menanam pemahaman dan keyakinan bahwa korupsi yang sama akan terulang dan terulang.

Makanya, mereka sudah seharusnya terus memasang kewaspadaan penuh mengawasi berbagai perilaku pejabat publik yang berpotensi melakukan korupsi. KPK juga harus membuktikan keseriusan bahwa pihaknya akan mengejar siapa pun yang melakukan korupsi, hingga ke ujung-ujungnya.

Langkah KPK memenjarakan sejumlah pucuk pimpinan Bank Indonesia (BI) yang bertanggung jawab terhadap aliran dana ke DPR menjadi tonggak hukum yang harus dilanjutkan. Karena itu, dalam kasus Abdul Hadi ini, KPK harus menelusuri siapa saja yang terlibat, tak peduli yang bersangkutan berasal dari partai penguasa.Apalagi Hontjo Kurniawan sudah membeberkan nama yang ikut menerima uang suap.

Tak kalah penting,KPK juga harus mampu memberikan terapi kejut yang lebih keras lagi dengan meyakinkan hakim tindak pidana korupsi bahwa mereka yang menduduki jabatan publik yang terbukti korupsi layak diganjar seumur hidup.

Sejauh ini hukuman maksimal yang diterima koruptor baru 20 tahun penjara, seperti dirasakan ketua tim penyelidik BLBI, jaksa Urip Tri Gunawan. Lainnya, termasuk sejumlah anggota/mantan anggota DPR, hukumannya rata-rata hanya 5–8 tahun penjara. Selamat berjuang KPK.(*)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/218222/

iNews dan E-book Selamatkan Koran?

iNews dan E-book Selamatkan Koran?



Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05073081/inews.dan.e-book.selamatkan.koran

Renungan Hari Nyepi 2009

Renungan Hari Nyepi 2009
Bunga Tidak Pernah Bersuara

Oleh Gede Prama

Riuh, ribut, demikianlah kira-kira suasana komunikasi antarmanusia pada tahun 2009. Mantan Presiden AS George W Bush mengakhiri jabatannya dengan dilempar sepatu. Negeri ini juga riuh serta ribut urusan presiden dan pemilu.

Di tengah-tengah suhu komunikasi yang memanas ini, ada indahnya bila sekali-sekali sepi-sunyi yang mengemuka. Bukan sebagai lawan keributan. Hanya mengemuka seperti menarik napas dalam-dalam sekali waktu setelah lama tidak merasakan segarnya kehidupan.

Dalam menelusuri segarnya kehidupan, ada dua jalur yang tersedia. Ada yang berjalan dengan intelektualitas, ada yang melangkah di jalan-jalan bakti (devotion). Pada pendekatan pertama, semuanya dianalisis. Itu sebabnya para master meminta penekun meditasi di Barat (yang kebanyakan berjalan di jalan intelektualitas) segera merealisasikan kekosongan (emptiness). Begitu mengalami langsung kekosongan (bukan mengerti melalui intelek) baru bisa mengagumi sepi-sunyi.

Di jalan bakti, tidak diperlukan terlalu banyak perdebatan. Yang ada hanya bakti yang tulus, penuh sujud, rasa hormat yang mendalam. Dan ujung-ujungnya sama, mengalami kekosongan. Dalam bahasa seorang guru yang sudah sampai di puncak, lakukan terus-menerus bakti. Sampai di sebuah titik sehingga yang memberi, yang diberi, maupun pemberian sesungguhnya tidak ada. Itulah sepi-sunyi.

Sembah rasa

Di Timur dulunya kebanyakan manusia berjalan di jalan-jalan bakti. Itu sebabnya berdoa dipadankan dengan sembahyang. Ada kata sembah di sana. Awalnya memang dimulai dengan dualitas antara penyembah dan yang disembah, tetapi kemudian keduanya menjadi satu, serta ujungnya yang satu pun lenyap dalam keheningan.

Dan, semua sembah mulai dengan sembah raga. Namun, karena badan terbuat dari bahan-bahan yang bertentangan (air-api, tanah-udara), banyak manusia yang hanya menggunakan sembah raga kemudian mengalami guncangan-guncangan. Seberguncang bahan-bahan yang membentuk tubuh. Dari sinilah lahir kebutuhan melakukan sembah rasa. Di mana lebih dari sekadar menggunakan raga, badan mulai dibimbing oleh getaran-getaran rasa. Bukan rasa suka yang bertentangan dengan duka, bukan suci yang diseberangkan dengan kotor. Melainkan rasa yang memeluk mesra semuanya.

Seperti seorang ibu yang merawat putra tunggalnya. Tatkala putranya tersenyum, ia gendong. Manakala putranya menangis sambil menyisakan kotoran di tempat tidur, lagi-lagi ia gendong putranya dengan penuh kasih sayang. Sembah rasa juga serupa, belajar tersenyum pada apa saja yang datang dalam kehidupan. Sebagai hasilnya, hidup berputar lentur bersamaan dengan irama alam. Siang tersenyum pada cahaya terang dengan jalan bekerja. Malam berpelukan dengan kegelapan melalui istirahat di tempat tidur.

Di jalan ini, semuanya menjadi sembahyang. Tatkala makan, maka makanlah dengan penuh rasa syukur. Pada hari yang sama ada jutaan manusia kelaparan. Ketika menyapu, menyapulah sambil bersiul. Pada menit yang sama ada jutaan manusia sakit di rumah sakit. Bila begini caranya, every act is a rite. Setiap langkah adalah sembah.

Puisi Jalalludin Rumi menjadi wakil dalam hal ini. Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan, tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh.

Sembah rahasia

Ia yang sudah berjalan jauh dengan sembah rasa, suatu waktu akan melihat bila alam menyimpan banyak rahasia. Di Timur, Tantra adalah salah satu jalan rahasia. Tidak banyak orang yang bisa membuka pintu Tantra. Di samping berat juga berbahaya. Ada yang mengandaikan Tantra dengan jalan tol yang cepat sampainya. Namun, mengalami kecelakaan di jalan tol amat sangat berbahaya.

Itu sebabnya ada yang membagi perjalanan Tantra ke dalam tiga gerbang. Kehidupan diandaikan dengan pohon beracun karena banyak godaannya. Pada tahap pertama, manusia disuruh menjauh dari pohon beracun. Makanya banyak imbauan melakukan puasa, pengendalian diri, hidup berkecukupan, penuh rasa syukur. Begitu lewat gerbang pertama yang ditandai oleh kemampuan menguasai diri (self mastery) yang baik, kemudian di langkah kedua murid akan diminta untuk menjadi penjaga pohon beracun. Mulailah seorang penekun menjadi ”penggembala domba” bagi banyak kehidupan.

Ada yang jadi guru, penulis, pemimpin upacara, pemimpin yang jujur. Intinya satu, menjaga jangan sampai terlalu banyak kehidupan keracunan. Begitu jam terbang menjadi penggembala domba sudah cukup, baru boleh masuk ke inti sari Tantra: mengolah racun menjadi obat kehidupan. Makanya, bila di kebanyakan jalur hawa nafsu dilarang, di Tantra ada pendekatan menggunakan hawa nafsu (khususnya seks) sebagai kendaraan transformasi spiritual. Bukan untuk dibawa hanyut oleh nafsu, tetapi menghanguskan nafsu dengan nafsu.

Itu sebabnya di banyak tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, India, dan Amerika Latin banyak peninggalan-peninggalan tua yang memamerkan hubungan seksual. Di Bali disebut lingga-yoni, nyegara-gunung. Siapa saja yang sudah membumihanguskan semua keinginan (termasuk keinginan menjadi suci atau tercerahkan), ia mulai belajar melihat rahasianya rahasia.

Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia.

Seorang guru yang sudah sampai di sini pernah menulis: Physical isolation is not the true solitude. Totally free from any grasping, that’s the true solitude. Lepas bebas dari segala kemelekatan (baik-buruk, benar-salah), itulah keheningan sesungguhnya.

Ada yang bertanya, bila sudah lepas-bebas, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru berbisik kepada muridnya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti ibu pertiwi. Langit memayungi semuanya, ibu pertiwi bertindak ketat mengikuti hukum alam. Bila menanam jagung, buahnya jagung. Kalau memelihara kelapa, buahnya kelapa. Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1931.

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/04290969/bunga.tidak.pernah.bersuara

Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan

Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan

Oleh : A.M. Saefuddin *

Tiba-tiba menjadi sorotan publik. Atau, sebagian publik di tanah air ini digiring untuk menatap. Itulah bidikan media massa terhadap kader PKS, Rama Pratama (RP), yang kini masih duduk di Senayan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Arah nadanya -meski bersifat informatif- mendestruksikan citra. Adakah media punya agenda menjatuhkannya, baik secara pribadi atau institusi (Partai Keadilan Sejahtera)?

Terlalu vulgar dan -boleh jadi berlebihan- jika kita menuding adanya ''main mata" (konspirasi) antara media dan kalangan politisi yang berpretensi menjatuhkan lawan politiknya (RP), setidaknya institusi partainya (PKS). Tapi, satu hal yang tak bisa diabaikan, media tampaknya melihat daya magnet RP karena institusi partainya (PKS) yang selama ini dikumandangkan bersih.

Setidaknya, karakter ''bersih" itulah yang sering ''dijual" ke tengah publik dalam menghadapi Pemilu 2009 ini. Sementara itu, kasus yang menimpa Abdul Hadi Jamal dari FPAN itu menyebut-nyebut RP ikut terlibat. Setidaknya, dalam konteks kenaikan anggaran dari Rp 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun untuk proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. Paradoksalitas itulah yang tampaknya menggring media menilai sangat menarik atas kemungkinan keterlibatan RP.

Yang perlu kita ulas lebih jauh adalah, partai mana pun kini merasa terpanggil untuk menjaga citra bersihnya. Refleksinya, pimpinan partai merasa perlu mengambil tindakan tegas (memecat) para kadernya yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang dengan tujuan memperkaya diri.

Seperti kita saksikan, ketua umum PAN demikian responsif dan sangat cepat mengambil tindakan (memecat Abdul Hadi Jamal) dari status pengurus DPP, bahkan keanggotaannya. Meski tidak secepat PAN, DPP PPP pun mengambil tindakan tegas (memecat kepengurusan dan keanggotaan Al-Amin Nasution) sejalan dengan proses hukum yang dijalaninya akibat dugaan suap atas proyek pengalihan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Menyalahi

Dalam perspektif hukum, tindakan indisipliner DPP PAN dan PPP terhadap kadernya itu jelas menyalahi prosedur hukum. Posisi hukumnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan asas praduga tak bersalah, seharusnya para petinggi partai menghormati hak-hak hukum para kadernya. Bagaimanapun, mereka pernah ''berjasa" terhadap keberadaan partainya.

Namun, kita dapat memahami mengapa petinggi partai menindaknya. Secara politik, pembiaran partai terhadap kadernya yang dinilai bermasalah secara hukum akan berdampak destruktif terhadap citra partai. Dan hal ini cukup membahayakan bagi perolehan suara, baik pemilu legislatif ataupun tahap berikutnya: pilpres.

Untuk kepentingan citra positif partai itulah, para petinggi partai merasa terpanggil untuk menindak meski harus menelan korban tanpa mempertimbangkan kontribusi sang kader selama ini terhadap partainya.

Kiranya, publik sepakat dan sangat menghargai jika tindakan petinggi partai tersebut merupakan komitmen kuat antikorupsi. Persoalannya, mengapa tindakan tegas itu baru dilakukan menjelang pemilu, padahal indikasi tindakan koruptif sudah ada jauh sebelum Pemilu 2009 ini? Variabel ini menggiring publik menilai bahwa partai sejatinya tidak begitu committed terhadap cita-cita pemberantasan korupsi. Proporsi sifat reaktif menggambarkan tiadanya rencana dan kristalisasi sikap antikorupsi. Ada dusta -setidaknya ketidakseriusan- di sana yang kian terbaca jelas.

Di sisi lain, publik pun dapat bertanya lebih jauh, ada misi apakah di balik tindakan KPK menjelang pemilu ini? Pertanyaan kian menguat, mengapa partai-partai besar seperti PDIP, PD, bahkan PG relatif tak terjamaah KPK menjelang pemilu ini? Tindakan yang ada terkategori ''masa lalu", sebagaimana yang kita saksikan pada kasus BLBI yang menyeret beberapa kader dari PG, minus PD dan PDIP.

Sulit disangkal indikasi diskriminasi itu. Namun, hal ini pun dapat dipahami. Fakta politik menunjukkan, proses kehadiran KPK dan para personel intinya tak lepas dari dukungan politis beberapa partai besar yang eksis di Senayan.

Karena itu, publik yang cerdas tentu memahami sikap politik-hukum KPK yang relatif ''tebang pilih". Tapi, inilah ironi penegakan hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi, bukan hanya statusnya sebagai negara hukum, tapi spirit reformasi yang dicitakan sebelum menumbangkan Orde Baru.

Namun, tindakan KPK -meski terkandung nuansa diskriminasi dan cukup politis proporsinya- perlu kita acungi jempol sebagai upaya penegakan supremasi hukum. Harapan kita, tindakan hukum itu membuahkan sikap para kader dari partai mana pun, yang telah dan belum masuk lembaga dewan, untuk menjauhi praktik penyalahgunaan kekuasaan: bersifat langsung (korupsi), atau tak langsung (kolusi).

Sangat diharapkan, gebrakan hukum KPK tersebut membuat para pihak sadar untuk tidak bermain ''api" karena berpotensi ''mempesantrenkan" dirinya di balik jeruji besi.

Harapan publik, proyek ''bersih" (citra positif kader dan partai) tidak hanya sebatas menjelang pemilu. Proporsinya harus menjadi komitmen, sekaligus panggilan nurani dan menjadi sikap serta perilaku politiknya. Kita yakin, kepribadian konstruktif itu akan berimbas positif bagi kepentingan publik yang kini masih merana. Haruslah muncul empati. Inilah potret wakil rakyat atau pejabat publik yang kini ditunggu.

Mudah-mudahan, publik pun cerdas untuk tidak memilih potret para calon legislatif (caleg) dan calon pemimpin nasional yang sudah terindikasi kotor (busuk). Tidak mudah memang mengedukasi publik, apalagi para caleg dan calon-calon pemimpin nasional kini sedang ''obral" untuk mendapatkan suaranya sehingga penghalalan segala cara tidak dipersoalkan.

Obral itu pun menggiring massa bersikap pragmatis. Saling menguatkan untuk sebuah potret politik kotor. Akhirnya, kata ''bersih" dalam panggung politik hanyalah slogan. Semoga slogan ini dibumikan: menjadi perilaku politik di ruang mana pun dan bagi siapa pun.

*. A.M. Saefuddin, cendekiawan muslim

http://jawapos.com/

Visi,Misi,Gizi, Pici,dan Ruci

Visi,Misi,Gizi, Pici,dan Ruci


DALAM tiga bulan ini,penulis dua kali mengunjungi Manado.Januari lalu sebagai anggota Indonesia- Australia Joint Selection Team yang mewawancarai calon penerima beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) dan pertengahan Maret ini sebagai koordinator Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) tentang pembangunan berbasis kelautan.


Dari dua kunjungan itu,penulis terkesan pada cerita teman-teman dosen Universitas Sam Ratulangi soal bagaimana orang bisa memenangi pemilu.Menurut mereka, ada lima cara untuk memenangi pemilu yang mereka sebut sebagai visi,misi,gizi,pici,dan ruci. Seorang politikus tidak akan menarik perhatian pemilih kalau dia tidak punya visi.

Visi saja juga tidak cukup jika ia tidak mengetahui misi apa yang akan diembannya di parlemen, baik pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten ataupun kota. Punya visi dan misi juga tidak cukup kalau dia tidak punya ”gizi” alias dana. Pada setiap kampanye, jika ingin sukses menuai pengunjung atau pendukung, sang calon anggota legislatif itu harus, dalam bahasa Manadonya,”ba pici doi”.

Artinya, ia harus menghitung dengan jari-jemari tangannya lembaran uang yang akan dibagi-bagikan kepada para peserta kampanye. Ternyata, itu pun tidak cukup! Ia harus menggunakan senjata pamungkasnya, yaitu ruci alias curang! Lima cara itu bisa saja benarbenar dilakukan di lapangan, tetapi bisa juga tidak.

Tengoklah cara berkampanye para caleg, bukan visi dan misi yang mereka miliki,melainkan ”minta doa restu dan dukungan” kepada para pemilih. Brosur, foto, spanduk, dan baliho bisa saja bertebaran, tapi tanpa makna. Bagi yang memiliki gizi cukup,mereka bisa pasang iklan di berbagai media,mulai dari media cetak, radio, televisi sampai internet.

Bagi mereka yang tergabung dalam kelompok Ikatan Caleg Melarat/Miskin Indonesia,caranya lain lagi. Ada yang mengirim pesan singkat (SMS) minta bantuan dana,ada yang mengamen,ada pula dengan cara-cara yang tidak terpuji, menjadi penyalur narkoba atau memanen kelapa sawit yang bukan miliknya.

Dalam soal pici, ada yang menghambur-hamburkan uang dalam bentuk pembagian sembako seperti yang dilakukan MS Kaban (Ketua Umum Partai Bulan Bintang), bagi-bagi uang seperti yang dilakukan caleg Gerindra di Sumatera Barat, ada yang cukuran gratis seperti yang dilakukan PKS, atau sunatan dan kesehatan gratis seperti yang dilakukan caleg Golkar yang juga Ketua DPR,Agung Laksono.

Hal yang masih merisaukan banyak pihak ialah cara rucialias curang. Caranya pun macam-macam, dari penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT) atau melakukan kampanye disinformasi terhadap caleg atau pimpinan partai lain. Hari Minggu dan Senin lalu kebetulan penulis diundang salah satu LSM di Meulaboh yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian, Sunspirit.

Selama di Aceh, saat melakukan talk showsosialisasi pemilu damai di Aceh melalui radio lokal, Dalka FMdan FAS FM,tidak sedikit peserta dan pendengar yang menanyakan soal mengapa terjadi ”penembakan misterius”terhadap beberapa caleg salah satu partai lokal di Aceh (Partai Aceh) dan mengapa beberapa caleg dari partai lokal itu yang melakukan intimidasi terhadap para caleg dari partaipartai lokal lain dan partai-partai nasional?

Disinformasi juga berkembang di Aceh, antara lain agar rakyat hati-hati dalam memilih calon presiden jika ingin mempertahankan situasi damai di Aceh. Seorang mahasiswa Universitas Teuku Umar bertanya saat penulis memberikan kuliah umum di universitas itu mengenai Pemilu 2009 dan Masa Depan Perdamaian di Aceh.

Katanya, ”Menurut media massa, jika Megawati menang, ia akan membatalkan MoU Helsinki karena itu bertentangan dengan UUD 1945.” Penulis balik bertanya, di mana ia dapatkan informasi itu? Katanya dari sebuah surat kabar lokal yang terbit di Banda Aceh. Jawaban penulis singkat saja, ”Itulah model disinformasi.

Mana mungkin Megawati mengatakan itu karena itu bertentangan dengan hati nuraninya sendiri yang tidak ingin melihat setetes darah tumpah di Tanah Rencong. Kalaupun itu benar, Megawati melakukan bunuh diri politik!” Jusuf Kalla juga tak habis mengalami disinformasi yang isinya,jika ia menang, sistem neoliberalisme akan diterapkan di republik yang kita cintai ini.

Kalla sebagai pengusaha dianggap cuma mau cari untung untuk pribadi dan partainya saja. Belum lagi informasi negatif soal Prabowo Subianto dan Wiranto yang katanya pelanggar HAM. Namun, hal yang menarik adalah beberapa baliho terpampang di berbagai kota di Aceh, termasuk di Meulaboh, yang antara lain dipasang oleh anggota TNI aktif. Isinya berupa judul berita surat kabar berisi pesan dari SBY saat berkunjung ke Banda Aceh,bunyinya:

”Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: jagalah perdamaian dan Aceh di dalam NKRI adalah harga mati.” Bawaslu tampaknya hanya sibuk memonitor apakah seorang caleg atau pemimpin partai melakukan kampanye di luar jadwal atau bagi-bagi duit. Tapi kurang responsif untuk memonitor adakah para peserta pemilu yang melakukan kecurangan dengan cara melakukan disinformasi.

Visi, misi, gizi, pici, dan ruci bukan hanya terjadi di Sulawesi Utara atau Aceh,tapi bisa juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Jika tujuan menghalalkan cara lebih banyak digunakan oleh partaipartai politik atau para caleg, jangan salahkan orang yang berpandangan buruk terhadap politik dan partai politik atau bahkan terhadap pemilu itu sendiri. Demokrasi benar-benar di ujung tanduk! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/223851/38/

'Yu Beruk' Yustiningsih

NARA
'Yu Beruk' Yustiningsih
Hampir dua tahun tidur di pesawat.
Menjadi pelawak ternyata tak serta merta membangun image lucu. Setidaknya begitulah yang dialami Yustiningsih, pemeran Yu Beruk atau Mbok Beruk dalam dagelan Angkringan TVRI Jogja. Dia menjadi sosok perempuan bodoh, sok pintar alias keminter, suka ngomong ceblang-ceblung, dan terkesan nyenyengit.

Hal tersebut berbeda dengan kehidupan keseharian sebagai perias pengantin di sanggarnya, Nawangsari, di tempat tinggalnya di Jalan Bantul. Gara-gara image itu, Yustiningsih sempat tidak dipercaya orang kalau dirinya bisa merias pengantin.

Yustiningsih pun bercerita, ada orang Godean meminta dia merias anaknya yang akan menjadi pengantin. Mula-mula anaknya nggak mau karena takut wajahnya menjadi tidak karu-karuan dicoreng-moreng. Lalu ayah calon pengantin itu mengajak anaknya ke Sanggar Nawangsari. Barulah si anak tahu bahwa Mbok Beruk bisa serius mendandani pengantin.

Sesungguhnya, profesinya sebagai pelawak dilakoni Yustiningsih secara tidak sengaja. Itu terjadi pada 1966 lalu, saat dia sering diajak sang ayah, Padmodihardjo alias Kapuk, manggung ketoprak. Kapuk, yang dikenal sebagai pelawak, mendapuk anaknya sebagai sosok anak yang lucu dalam keluarga dagelan.

Yustiningsih kecil pun tak canggung memasuki panggung lantaran sejak usia 14 tahun sudah terbiasa menari di acara perayaan Tujuh Belasan dan hajatan. "Saya sendiri heran kok tiba-tiba jadi pelawak," tutur perempuan kelahiran Yogyakarta, 5 Januari 1950, ini saat ditemui Tempo di rumahnya yang asri karena penuh dengan aneka tanaman.

Sejak itu, Yustiningsih mengenal uang dan tidak mau lepas dari dunia panggung. Dia pernah nekat menyusul ayahnya yang sedang mentas di Madukismo. Malam-malam, sendirian, dia menggenjot sepeda mini yang diberi penerangan lilin. Padahal, paginya dia harus ulangan umum. Sampai di arena pentas, sang ayah yang sedang nongkrong di warung bakmi kaget. "Lho, kok iso tekan kene to? Trembelane ki, mesti nyusul, karo sapa kowe?," tutur Yustiningsih menirukan ucapan ayahnya sambil terkekeh.

Pentas yang sering digelar malam hari membuat Yustiningsih kecil sering tidak konsentrasi di sekolah, bahkan sering tidur di kelas dan sering bolos. Ayahnya lalu mengultimatum: tetap sekolah atau menjadi seniman. Dia memilih menjadi seniman.

Begitulah, Yustiningsih mengawali karirnya di dunia seni peran ketoprak. Pada usia 17 tahun, dia menikah dengan seniman serba bisa: Yusuf Agil, laki-laki keturunan Arab, pemimpin rombongan Ketoprak Tobong (ketoprak keliling) Dharmo Mudho, Ungaran.

Bersama laki-laki yang usianya lebih tua 13 tahun itu, Yustiningsih memiliki lima anak. Dia pun sempat ikut menjadi pemain ketoprak keliling di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka akhirnya bercerai lantaran Yusuf ingin menikahi anak buahnya. Dari pembagian harta gana-gini, Yustiningsih mendirikan kelompok baru pada 1974 dengan nama Mudho Rahayu. Uniknya, semua anggota ketoprak mantan suaminya masuk ke Mudho Rahayu. "Mereka bilang tidak mau ikut mbok tiri," ujar Yustiningsih.

Pada 1976, Yustiningsih menikah dengan Santosa dan dikaruniai empat anak. Pada 1982, dia memutuskan berhenti pentas keliling. Dia sempat mengalami masa pahit, tepatnya saat maraknya isu penembak misterius sehingga jam malam diberlakukan. Ketoprak tak boleh main, tapi Yustiningsih harus tetap memberi uang makan kepada 130 anak buahnya selama 23 hari. Dua tahun kemudian, ketoprak itu resmi bubar.

Yustiningsih tidak lantas diam. Dia sempat ikut pentas kelompok Ketoprak Siswo Budoyo di Alun-alun utara Yogyakarta. Selain itu, ayahnya yang bekerja di Jawatan Penerangan Bantul memintanya melamar di Jawatan Penerangan Yogyakarta. Dengan berbekal ijazah SMP, dia diterima sebagai pegawai negeri di RRI pada 1986. Dia bertugas mengasuh ruang budaya hingga pensiun pada Januari 2009 lalu.

Tiga tahun lalu, nenek 16 cucu yang masih tampak muda ini membintangi beberapa sinetron, Kepergian Bunda (bersama Widyawati dan Cornelia Agatha) dan Jomblo (bersama Parto Patrio dan "Guru Topan". "Setiap pagi pukul 05.30 pulang ke Jogja langsung ngantor. Sorenya berangkat lagi ke Jakarta, syuting. Hampir dua tahun saya tidur di pesawat," tuturnya.

Bagi Yustiningsih, masa pensiun bukanlah momok. Seabrek kegiatan masih dilakoninya, misalnya sebagai perias pengantin serta pengisi acara Dagelan Mataram Gudheg Jogja dan Mana Suka Pangkur Jenggleng di RRI. Juga, Mbangun Desa, Pangkur Jenggleng, dan Angkringan di TVRI Yogyakarta. "Sampai akhir hayat, aku akan tetap di seni. Mau apa to di rumah?" katanya.

Menurut Yustiningsih, image masyarakat menjadi salah satu barometer keberhasilannya. Suatu hari, dia memerankan Calon Arang di Ambarawa. Setelah itu, saat jajan di warung, dia dibenci oleh si pemilik warung. "Saking sengitnya sama aku, orang itu wegah ngedoli (nggak mau melayani). Didoli keri dhewe (dilayani paling akhir)," tuturnya. Sesampai di hotel, dia pun tertawa. PITO AGUSTIN RUDIANA

"Beruk Ki Munyuk Je..."

Tak banyak orang tahu siapa Yustiningsih. Nama indah milik perempuan kuning langsat itu seolah tertelan ketenaran Yu Beruk. "Dulunya saya nggak mau. Beruk itu munyuk je. Iya to?" katanya. Tapi, kalau sebagai pelawak, menjadi Yu Beruk tidaklah masalah. Apalagi kalau ujung-ujungnya membawa berkah yang banyak sekali.

Kristiadi, sutradara Angkringan di TVRI Yogyakarta, disebut Yustiningsih sebagai orang yang "bertanggung jawab" atas pemberian nama itu. Yustiningsih sendiri tidak tahu mengapa nama itu disandangkan kepada dirinya.

"Dulu saya pernah tanya, nyari nama saja kok pakai nama hewan. Njupuk ilham saka ngendi? Imajinasimu piye to, apak bentukku kaya beruk? He-he. (ambil ilham dari mana? Imajinasimu bagaimana, apa saya seperti beruk?)," tuturnya mengenang. Tapi kini dia senang. "Malah lebih dekat. Ketimbang Mbak, ora wangun, he-he." PITO AGUSTIN RUDIANA



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/25/Berita_Utama-Jateng/krn.20090325.160500.id.html

“Please Call Me Mbak Nia”

“Please Call Me Mbak Nia”



Laporan: Kartika Sari




Jakarta, RMonline. Sebulan Ngubek-ngubek Negeri Kanguru

Sebagai pemenang Elizabeth O’Neill Journalism Award dari Pemerintah Australia, wartawan Rakyat Merdeka Kartika Sari mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Negeri Kanguru selama satu bulan. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan bisa berpetualang dan mengubek-ubek empat kota sekaligus di Australia. Berikut ini laporannya yang akan disajikan secara bersambung.

Kita boleh bangga karena Aus­tralia punya beberapa Indone­sianis. Kebanyakan dari mereka adalah para akademisi. Salah satunya Virginia Hooker, dosen senior dari Australia National University (ANU) di Canberra yang belum lama ini pensiun.

Meski sudah pensiun, namun karena sumbangsih dan jasanya yang besar di dunia pendidikan, Nyonya Hooker masih dikar­yakan di ANU. Tak menghe­ran­kan jika dia mendapat gelar “Emi­ratus Professor” dari ANU.

Di ANU, salah satu universitas terkemuka di Australia, Hooker adalah Koordinator Program Pasca Sarjana yang mengajar mengenai agama Islam dan Indo­nesia. Dia juga dosen menjadi pembimbing di Department of Political & Social Change, Re­search School of Pacific and Asian Studies di ANU.

Saya pertama kali bertemu profesor yang masih tampak sehat dan cantik di usianya yang 62 tahun itu empat tahun lalu. Saat itu, saya diundang Peme­rin­tah Australia untuk meliput Aus­tralia-Indonesia Ministerial Meeting (AIMM) di Canberra ber­sama almarhumah Elizabeth O’Neill, Atase Kedubes Australia di In­donesia yang meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta pada 7 Maret 2007.

Rakyat Merdeka sangat senang me­ndapat kesempatan berbin­cang-bincang dengan Hooker di hari terakhir Konferensi Bilateral di Sydney pertengahan Februari lalu. Di coffee shop Hotel Inter­con­tinental Sydney, saya dan Hooker mengobrol sambil lunch. Tak di­ragukan lagi, akademisi yang sangat ramah itu, sangat In­do­nesianis dan mencintai Indonesia.

Saking cintanya dengan In­donesia, Hooker bahkan punya na­ma panggilan Indonesia. “Please call me (tolong panggil saya) Mbak Nia aja. Ja­ngan panggil saya Nyonya Hooker atau Virginia ya,” pintanya ke­pada saya sambil tersenyum.

Sebagai orang asing, bahasa Indonesia ibu dua anak itu cukup lancar. Hooker yang juga anggota Member of the Board Australia Indonesia Institute (AII) itu, tak henti-hentinya memuji Indonesia dan kebaikan serta keramahan masyarakat Indonesia.

“Saya sangat senang negara Anda. Menurut saya, Indonesia tidak hanya negara yang kaya akan sumber daya alam, tapi juga masyarakatnya sangat ramah, baik, tulus dan penolong. Saya juga sangat kagum dengan bu­daya dan kehidupan majemuk masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Di mata Hooker, masyarakat Indonesia sangat pintar, artistik, sensitif, supportive, terus terang, ramah dan punya sense of humor yang tinggi. “Saya punya teman dari banyak negara. Tetapi teman-teman dari Indonesia lah yang paling baik dan tulus. Misalnya saat saya terkena musibah atau sedang sedih, pasti teman-teman dari Indonesia yang rajin meng­kontak entah itu lewat e-mail atau telepon untuk memberikan du­kungan sehingga saya menjadi lebih tegar.”

Menurut Hooker, dia belajar bahasa Indonesia di Canberra sejak tahun 1964 jaman Presiden Soekarno. Pelajaran bahasa Indo­nesia sendiri, tambahnya, baru diajarkan di sejumlah sekolah Australia tahun 1980-an.

Nenek dua cucu yang hobi melahap rendang, gule, gado-gado dan masakan Sunda itu, mengaku salut dengan ma­sya­rakat Indonesia yang kuat. “Saya sangat bangga dengan orangtua di Indonesia yang tetap menye­kolahkan anak-anak mereka, meskipun kondisi negara Anda di jaman Presiden Soekarno tahun 1960-an sangat sulit,” pujinya.

Menurut profesor kelahiran 16 September 1946 itu, kelebihan-kelebihan yang dimiliki ma­sya­rakat Indonesia itu, sangat baik untuk menjalin hubungan dengan dunia luar, termasuk dengan Australia sebagai tetangga dekat.

Kesalahpahaman

Pada kesempatan itu, dia me­ng­akui masih banyak kesa­lah­pa­haman dan ketidaktahuan dari ma­syarakat Australia tentang Indonesia. Misalnya, orang Aus­tralia secara umum sulit mem­bedakan Islam secara umum dan Islam di Indonesia. Mereka ta­hunya Islam secara umum seperti dari Timur Tengah.

Menurutnya, terdapat sekitar 150.000 warga Muslim di Aus­tralia. Sebagian besar dari mereka adalah imigran dari Turki, Le­ba­non, Afrika dan Timur Tengah. Da­ri jumlah tersebut, Muslim In­donesia di Australia sangat se­dikit sehingga tidak jadi mainstream.

“Warga Australia tidak tahu banyak tentang Islam di In­donesia. Makanya, ini menjadi tantangan kita bersama untuk menjelaskan kepada mereka seperti apa sih Islam di Indonesia. Mereka cuma tahu Islam secara umum,” katanya.

Sebagai salah satu upaya so­sialisasi mengenai Islam dan kehidupan masyarakat Muslim di Australia, lanjutnya, warga non Muslim Australia diundang ma­suk ke masjid. Bahkan selama bulan Ramadhan, setiap hari ada berita mengenai kegiatan berbuka puasa bersama di sejumlah media massa Negeri Kanguru.

Profesor Hooker juga mengaku sangat tertarik melakukan peru­bahan sosial lewat sastra dan rajin membaca buku-buku sastra ten­tang Indonesia. “Saya bertemu dengan banyak sastrawan dan budayawan dari Indonesia, mi­sal­nya WS Rendra, Si Burung Me­rak,” pungkasnya.

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=72913