BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Memihak yang Tersingkir

Written By gusdurian on Sabtu, 21 Maret 2009 | 15.03

Memihak yang Tersingkir

ST SULARTO

Yusuf Bilyarto Mangunwijaya dan Sutan Sjahrir sama-sama humanis. Mangunwijaya termasuk salah satu pengagum Sjahrir. Apresiasi Mangunwijaya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan lisan maupun tulisan selalu merujuk Sjahrir.



Mangunwijaya dan Sjahrir memiliki filosofi dasar yang mirip. Kemanusiaan harus dibela dengan segala risiko. Perbedaannya, yang satu seorang rohaniwan, satunya lagi tidak begitu hirau dengan agama. Sjahrir yang humanis menjadi korban politik kekuasaan, sementara Mangunwijaya yang muncul kemudian menempatkan konflik politik Sjahrir vs Soekarno dalam ungkapan yang berimbang, secara tidak langsung merupakan nuansa humanisme. Bagi Romo Mangun, Sjahrir dan Soekarno adalah dua tokoh nasional yang saling memperkaya dan saling melengkapi.

Paham humanisme mempersatukan Sjahrir dan Mangun. Humanisme bukan paham yang monolitik, tetapi berbentuk dalam berbagai model kendati semuanya mengedepankan paham dimensi esensial manusia universal. Terbentang sejak gerakan humanisme Renaisans di Eropa abad ke-16 hingga ke-17, humanisme kosmopolitan, humanisme Pencerahan, hingga humanisme baru pascamodernisme, humanisme Mangunwijaya memungut unsur positif semua humanisme.

Praksis pendidikan, bidang yang bagi Romo Mangunwijaya merupakan bidang paling strategis untuk penghargaan harkat kemanusiaan diperkaya sisi-sisi positif humanisme. Dari humanisme Renaisans yang mengagungkan rasionalitas dia pungut hak dasar yang harus dimiliki setiap anak manusia, utamanya hak pendidikan dasar bagi anak miskin.

Sejalan dengan humanisme baru pascamodernisme dan Pencerahan, Mangun menekankan metode pendidikan yang mampu menumbuhkan dalam diri anak kesadaran tentang multidimensionalitas dan pluralitas. Metode yang dianjurkan adalah metode pencarian bersama, antara guru dan murid, metode pendidikan yang ditemukan dan disarankan oleh tokoh-tokoh seperti Freire, Ivan Illich, Montesori; sesuatu yang kemudian sebagai referensi praksis pendidikan yang dikembangkan SD Mangunan dengan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Anak didik adalah subyek sekaligus obyek praksis pendidikan. Pilihan Romo Mangun menjadi salah satu penggagas-pemikir sekaligus praktisi pendidikan bagi anak miskin merupakan sesuatu yang tidak dipersiapkan secara sengaja. Dia memasuki wilayah itu sebagai semacam serendipitas (serendipity) atau kecelakaan di tengah pergulatannya mendampingi rakyat kecil.

Konsep kegunaan

Ketika praksis pendidikan menjadi salah satu lahan pengembangan humanisme, konsep arsitektur dia bongkar tidak sekadar hasil rekayasa bangunan, melainkan dengan konsep guna dan citra. Dia tekankan fungsi sebuah bangunan. Istilah arsitektur dia singkiri, diganti dengan istilah ”wastu” yang bermuatan lebih hakiki, menyeluruh, dan berkait langsung dengan pemanusiawian manusia. Konsep kegunaan menunjuk pada manfaat, keuntungan, dan pelayanan yang diperoleh dari bangunan.

Kebiasaan dan keberanian menggunakan bahan-bahan lokal seperti yang selalu dipraktikkan Romo Mangun, termasuk juga dalam memanfaatkan teknologi lokal menggunakan tenaga sekitar, dengan tidak meninggalkan sentuhan modern, dari sisi lain merupakan bentuk representasi lain keberpihakan pada peningkatan harkat manusia miskin. Ditempatkan dalam zaman kini, dengan penekanan kepentingan aspek ekonomi sebagai panglima, maka ada kecenderungan mengukur kemanusiaan dan arsitektur sebatas aspek ekonomi. Konsep ini, menurut Romo Mangun, berarti mereduksi aspek kehidupan yang seharusnya merupakan sesuatu yang utuh dan membangun relasi kebersamaan dengan sekitar.

Panelis yang arsitek sekaligus penerus fanatik gaya Mangunwijaya merefleksikan beberapa ciri yang disebutnya sebagai pesan sekaligus roh yang ingin disampaikan atas nama humanisme.


Obsesi kemanusiaannya tidak saja diwujudkan dalam konsep bangunan, gagasan, dan praksis pendidikan, tidak hanya lewat berbagai seminar dan khotbah di gereja, tidak hanya dalam novel-novelnya, tetapi juga dalam segala kegiatan praksis politik advokasi. Advokasinya untuk rakyat Kedungombo dan pinggir Kali Code menegaskan keberpihakan, termasuk dukungannya pada ide federalisme dan reformasi Indonesia.

Romo Mangun berpolitik, tidak berpolitik dalam arti mencari, membesarkan, dan melanggengkan kekuasaan sebagai virtue yang dianjurkan Machiavelli. Dalam berpolitik Romo Mangun menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan demi kesejahteraan umum, kemaslahatan, dan kebaikan bersama.

Semua kegiatan dan perjuangan Romo Mangun perlu dibaca sebagai keberpihakan yang tulus kepada manusia miskin, tersingkir, dan tergusur. Seorang panelis berspekulasi, sekiranya tidak berlatar belakang seorang rohaniwan, tidak mustahil ia menggunakan marxisme sebagai senjata untuk membela kaum tertindas. Karena iman Katolik-lah terutama, Romo Mangun mengkritik PKI, sebuah partai yang tidak pernah mau mengakui Sjahrir sebagai politikus yang bersih dan jujur.

Meski sangat kritis terhadap perkembangan negeri ini, Romo Mangun optimistis di tengah pesimisme rakyat kecil. Ia masih membayangkan pada tahun 1998, tanggal 26 Mei, beberapa hari setelah Soeharto melengserkan diri, membabak dua tahap Indonesia tampil sebagai negara besar setelah sekian tahun sia-sia membuang energi. Di usia 100 tahun Sumpah Pemuda, tahun 2020 dan 205 di usia 100 tahun Indonesia Merdeka, katanya, negeri ini akan mencapai a truly democratic Indonesia has taken shape. Semata-mata kemerdekaan politik tidak cukup. Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan seluruh warga secara penuh dalam iklim demokrasi yang memberi keadilan kepada semua warga tanpa pilih kasih.

Warisan yang ditinggalkan, setelah 10 tahun Romo Mangunwijaya ”berangkat” adalah sebuah buku yang terbuka dengan halaman-halaman kosong untuk diisi oleh generasi kemudian; kalimat-kalimatnya masih koma, yang tidak saja perlu diperkaya, diaktualisasikan, tetapi juga perlu dilaksanakan. Tantangan atas dehumanisme ada di depan mata! Praktik pemerintahan yang kurang berpihak pada rakyat akan memperparah keterpinggiran kita, tidak saja oleh sisi negatif globalisasi anak kandung neoliberalisme tetapi juga oleh keterpicikan berseteru di antara kawan sendiri! Melik nggendong lali!



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05252111/memihak.yang.tersingkir.

Humanisme Mangunwijaya

Humanisme Mangunwijaya
Buku yang Terbuka

Berbicara tentang Mangunwijaya berarti berbicara tentang humanisme, sebuah topik yang senantiasa aktual, tidak lekang, dan terus diperjuangkan. Humanisme menuntut pembaruan hidup, terlebih-lebih sikap terus menjadi manusiawi, ziarah kehidupan dari hominisasi menuju humanisasi menurut istilah Drijarkara.

Melalui pergulatan pemikiran, penghayatan, dan hidup keseharian dalam kategori sebagai arsitek, novelis, aktivis LSM, pendidik dan pastor, Romo Mangun melakukan peziarahan tanpa kenal lelah. Rekam jejaknya amat liat, merasuki segala bidang kehidupan dengan fokus penghargaan tinggi terhadap harkat manusia, yang tidak terbebas dari kekurangan, tetapi memperoleh kedudukan tertinggi di atas segala ciptaan.

Lewat karya-karya yang bernapas humanis, dia meninggalkan warisan secara fisik dalam novel, bangunan arsitektur, dan buku-buku referensi.

Keberpihakannya pada mereka yang miskin (tidak selalu dalam arti ekonomis) dan terpinggirkan sangat signifikan. Kritik kerasnya tentang kebangkitan dari rasa rendah diri, inlander bangsa kuli, disampaikan dengan segala cara, bahkan sering berkesan sarkastis.

Mengenai praksis pendidikan, sebuah istilah yang selalu dia sampaikan mengutip kosakata temuan Paulo Freire, sikapnya jelas: praksis pendidikan selama ini membelenggu anak didik. Dari semua jenjang pendidikan, terpenting adalah pendidikan dasar, terutama sekolah dasar. Fasisme Jepang dan militerisme era Orde Baru menjadi sasaran tembak kritisnya. Pendidikan harus membebaskan, kata panelis Supratiknya, sehingga ia melakukan uji coba SD Mangunan.

Arsitektur di mata Mangunwijaya bukanlah sekadar perwujudan rancang bangun, melainkan juga bangunan kehidupan. Menurut panelis Eko Prawoto— salah satu arsitek pengikut fanatik gaya arsitektur Romo Mangun—substansi arsitektur yang terutama adalah perkara nilai, gagasan, dan sikap batin. Arsitektur merupakan rangkaian relasi yang majemuk.

Dari semua karya fiksinya, kata panelis Ayu Utami—novelis yang belum pernah bertatap muka dengan Romo Mangun—tidak pernah ditampilkan manusia yang sungguh-sungguh keji. Tokoh Durga yang dalam alam pikir orang Jawa adalah tokoh ”hitam” dia balikkan sebagai tokoh ”putih” yang senantiasa muncul dalam semua novelnya, tidak hanya dalam novel Durga Umayi.

Konsep kemanusiaan yang padu, demikian Ahmad Syafii Maarif, membuat kehadiran Romo Mangun mengatasi ruang dan waktu. Kekaguman Romo Mangun tentang pemikiran dan praksis politik Sutan Sjahrir karena keduanya menempatkan sisi kemanusiaan sebagai fokus, menurut Maarif, kemanusiaan Sjahrir dilengkapi dengan pengalaman getir hidup dalam masa penjajahan Belanda, Jepang, dan kemudian di bawah rezim otoritarian Orde Baru. Bertemulah konsep dunia dan manusia yang tidak pernah hitam putih dalam Sjahrir maupun Mangunwijaya.

Humanisme yang dikembangkan Mangunwijaya ibarat buku yang masih terbuka, masih koma, belum titik. Humanisme dengan fokus jati diri manusia yang abu- abu, tidak hitam-putih, masih perlu terus dikembangkan. Tidak mudah memang sebab masih berkembang subur kultur budaya feodalisme yang telanjur mendarah daging, pencampuradukan ”milikku” dan ”milik negara” warisan feodalisme khas Jawa maupun warisan sebagai bangsa terjajah. Memang, walaupun belum terjabar luas, Romo Mangun menawarkan konsep manusia humanis dengan istilah manusia Pasca-Indonesia, Pasca-Nasional, Pasca-Einstein.

Yang dicita-citakan adalah sosok manusia Indonesia yang terbuka pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Di tengah karut-marut bangsa Indonesia saat ini, humanisme Mangunwijaya menjadi relevan. Dia ibarat menawarkan tempat menengok pada saat kehidupan berbangsa dan bernegara belum menempatkan manusia sebagai fokus, di tengah praktik dehumanis yang hadir dalam keseharian kita. (STS)



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05264852/buku.yang.terbuka



Mangunwijaya dalam Novel

ERWIN EDHI PRASETYO

Membaca novel Romo Mangun berarti membaca humanisme yang dikembangkan Mangunwijaya. Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel, serta tindakan konkret Romo Mangun, menunjukkan sosok multidimen- si dan multiperhatian.

Setiap dimensi itu diisinya dengan penuh kesungguhan dan dengan energi yang hampir tanpa batas. Melalui novel, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Romo Mangun adalah sosok pendongeng yang murah hati. Ia bercerita dengan lincah, dengan gaya bahasa sederhana sehingga pembaca dengan mudah bisa menyelami isi novelnya.

Mangunwijaya benar-benar merayakan perbedaan cara bertutur di dalam novelnya. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.

Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan. Novel ini bisa dinikmati oleh beragam kalangan yang punya selera rasa berbeda-beda. Ditambah Durga Umayi dan Burung-burung Manyar, kedua novel itu memenuhi resep manjur cerita, yakni memiliki karakter terfokus dan terbatas. Ada ketegangan asmara dan soal hidup mati. Novel-novel ini menunjukkan Romo Mangun adalah pencerita piawai dengan tetap berusaha menjaga kedalaman sastra.

Teks-teks gelap

Dari sisi gaya penulisan, Romo Mangun tampak mengambil jalan yang unik. Yang dilakukannya berbeda dengan kaidah umum tulisan, misalnya dalam dunia media massa, bahwa paragraf awal harus dibuat semenarik mungkin, sebab paragraf awal bagaikan sinar yang akan menerangi teks-teks di bawahnya. Romo Mangun, dalam rumusan Ayu Utami, justru menempatkan ”teks-teks gelap” sebagai paragraf pembuka yang dinamai sendiri oleh Romo Mangun sebagai teks ”prawayang”.

Di sisi lain, yang menarik dari novel-novel Mangunwijaya ialah selalu konsisten tidak pernah menggambarkan tokoh lelaki superideal pujaan setiap wanita. Karakter ini mirip seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pramoe- dya Ananta Toer atau Ahmad dalam Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana.

Mangunwijaya juga tak mau terjebak pada stereotip Barat sebelum postmodern yang membagi perempuan dalam dua karakter utama; perawan murni yang baik-baik dan perempuan penggoda, perempuan korban dan femme fatale. Ia melukiskan tokoh-tokoh perempuan yang senang dengan tubuh mereka tanpa mengeksploitasi seksualitas dan birahi perempuan.

Keindonesiaan

Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya dan Sutan Takdir, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, dengan berani ia membuat dialog yang mengolok-olok mereka yang dianggap pahlawan, tetapi tanpa ada kebencian di dalamnya.

Meski kini bangsa Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik, toh cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas, dan kapitalisme global kini gantian memerkosa (Ibu) Pertiwi. Perkosaan ini menjadikan Pertiwi layu dan tak berdaya, miskin yang selanjutnya melahirkan kekerasan-demi kekerasan menuntut keadilan. Dari kisah ini pun tertangkap pesan kamanusiaan Romo Mangun, kekerasan hanya akan menghasilkan perlawanan dan kekerasan yang lain sehingga akan saling meniadakan dan menghancurkan.

Dalam novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa). Oleh karena itu, Ayu Utami menggolongkan karya sastra Romo Mangun dalam kanon sastra Indonesia. Mangunwijaya disejajarkan dengan Pramoedya dan Sutan Takdir.

Dengan kanon sastra itu berarti karya-karya mereka masuk dalam kesusastraan yang wajib dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami keindonesiaan, yang sekaligus juga menjadi patok, tonggak kebesaran kesusastraan Indonesia. Membaca karya ketiga tokoh itu akan mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05274133/mangunwijaya.dalam.novel.

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

A FERRY T INDRATNO

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

Nilai-nilai yang disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus) dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.

Konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

A FERRY T INDRATNO Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/05242168/pedagogi.humanisme.mangunwijaya

Rumah-Rumah Tanpa Dinding

Rumah-Rumah Tanpa Dinding


KEMAJEMUKAN penduduk bumi kian hari kian kita rasakan.Secara fisik memang tidak leluasa bergerak semau kita karena dibatasi banyak faktor, entah tembok, sungai, lautan atau penjaga wilayah perbatasan antarnegara.



Belum lagi diperlukan biaya yang tidak murah kalau bepergian ke luar negeri. Namun secara intelektual, budaya, dan agama, tembok-tembok itu semakin pendek dan bahkan roboh. Dengan kemajuan teknologi internetdan televisi,masyarakat secara mudah melakukan ziarah budaya ke rumah dan wilayah orang lain. Sekarang ini, dengan mudahnya kita mempelajari budaya dan agama orang lain,tukar-menukar pikiran atau bahkan saling hujat bukan lagi peristiwa aneh.

Itu semua terjadi dalam dunia gagasan melalui sarana internet dan buku-buku. Konsep rumah budaya dan agama yang lama telah mengalami perubahan sangat drastis. Rumah-rumah itu sekarang seakan berdiri tanpa tembok atau dinding pembatas yang kokoh, tetapi sekadar pembatas diri berupa identitas dan garis maya yang mudah dilangkahi dan ditembus. Dengan mudah orang keluar-masuk, melangkahi garis pembatas yang bersifat abstrak.Orang dengan leluasa melakukan passing-over atau keluyuran ke dunia yang berbeda.

Umat beragama yang berbeda keyakinan bisa saling berdialog, berantem, berdebat, saling hujat, atau bercanda secara serius maupun main-main tanpa mesti bertemu secara langsung dan personal. Di sana tak ada moderator yang mengatur waktu atau majelis ulama yang menetapkan rambu-rambu. Dalam dunia kuliner, misalnya, saat ini orang tak lagi terikat secara fanatik terhadap menu warisan orangtua yang diperkenalkan sejak kecil.

Di mal misalnya, jenis makanan mancanegara ramai dikunjungi para pembeli. Beragam musik terdengar di sana-sini. Anak-anak ABG yang menginjak umur belasan tahun tak jelas identitas dan jati dirinya.Yang selalu dikejar adalah bagaimana lulus matematika,bahasa Inggris,dan ilmu pengetahuan umum dengan mencontreng jawaban ganda yang telah tersedia dengan tidak perlu memeras otak.Perjuangan hidup mungkin baru dirasa serius ketika berebut bangku kuliah dan lapangan pekerjaan.

Selebihnya hidup dijalani dengan datar-datar saja. Rumah-rumah budaya dan agama itu terasa tanpa dinding.Dari dalam mudah memandang ke luar,sementara dari luar terbuka untuk memandang dan masuk ke dalam. Doa-doa bersama lintas pemeluk agama sering diselenggarakan. Dialog antariman menjadi semakin populer dan sering dilakukan. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang basis agamanya Kristen, segelintir sarjana ahli ketimuran dan khususnya ahli Islam sangat sibuk menerima undangan seminar.

Kampus-kampus bergengsi di sana dianggap belum lengkap kalau belum memiliki departemen studi keislaman. Sebaliknya, universitas di Jepang,China,dan Korea Selatan mulai membuka diri dengan menawarkan program-program internasional dengan pengantar bahasa Inggris sehingga muncul istilah Asianization of Science and Universities. Tukar-menukar dosen dan mahasiswa lintas negara semakin intens dilakukan.

Di wilayahAsia Timur,yang tumbuh tidak hanya bidang ekonomi saja, melainkan juga pusat-pusat ilmu pengetahuan yang hendak menyaingi keunggulan Barat. Kota-kota besar dan universitas ternama tampil sebagai miniatur dunia baru dengan suasana budaya dan agama yang plural. Mereka menatap masa depan dengan referensi baru.Identitas lama para mahasiswanya perlahan mengalami metamorfosis. Mereka tentu saja masih memiliki memori dan identitas primordialnya.Namun tidak lagi kuat, yang bertahan sekadar garis lingkar yang samar sebagai batas psikologis.

Pernikahan lintas suku,bangsa, dan negara bermunculan yang pada urutannya melahirkan generasi hibrida. Sebuah generasi yang juga disebut sebagai finger generation ataupun gadget generation yang asyik sendiri berjam-jam memainkan komputer dan mobile phone untuk menjelajahi dunia. Ketika membayangkan itu semua,di mana dan bagaimana serta apa yang akan terjadi dengan bangsa,budaya, dan masyarakat Indonesia? Sejauh ini saya mengamati ada beberapa universitas yang mewakili budaya dan putra Indonesia serta potensial didorong agar menjadi world class university.

Namun sebagian besar masih bersifat lokal provinsial. Sejak dari dosen,karyawan,dan mahasiswa mayoritasnya putra daerah, berbicara dengan bahasa daerah, dan mimpi-mimpinya juga dibatasi oleh semangat kedaerahan. Memang ada beberapa universitas yang berperan sebagai katalisator dan fasilitator bagi lahirnya ”generasi Indonesia” yang pandangan dan komitmen moralnya sudah ”mengindonesia” dan bahkan mendunia. Namun situasinya harus didorong terus.

Sayang, energi para petinggi bangsa ini justru lebih banyak tersedot untuk memenangi persaingan dan perebutan kekuasaan politik, bukannya turut berperan aktif memikirkan masa depan penduduk bumi yang dihadapkan krisis ekonomi dan lingkungan. Kadang terpikir, rasanya yang membuat stabil dan mampu bertahan bangsa ini adalah rakyat menengah ke bawah. Sementara yang ke atas malah membuat kacau dan bangkrut.

Dalam dunia politik, di mana para caleg begitu bergairah memasang fotonya di berbagai sudut kota dan desa, benarkah mereka itu didorong oleh komitmen dan visi membela bangsa dan memperbaiki nasib rakyat ataukah itu bagian dari agenda mendapatkan lapangan kerja dengan bayangan gaji tinggi? Mungkin saja ada yang didorong oleh idealisme cinta bangsa. Mereka obral janji, ”Kalau nanti saya terpilih jadi presiden, gubernur, bupati atau anggota DPR, saya akan ....”Artinya, kalau tidak terpilih, jangan-jangan mereka itu tidak akan berbuat apaapa.

Sementara ketika terpilih dan jadi, betulkah mereka akan memenuhi janjijanjinya? Kalau kita sendiri tidak mampu menjaga dan membangun bangsa sendiri, tidak mampu menghasilkan generasi unggul yang cinta bangsa, rumah Indonesia ini sangat terbuka bagi siapa pun yang hendak masuk.Bahkan modal asing telah masuk ke bilikbilik rumah agama dan budaya kita.

Terima kasih kepada ulama yang selalu mengingatkan agar keyakinan, paham, dan akidah umat dijaga. Namun pertanyaannya, seberapa efektifkah menjaga komunitas umatnya ketika tembok-tembok rumah itu telah tergantikan oleh sekadar garis dan bahkan mereka saling berkomunikasi melalui internet yang tersedia kapan saja dan di mana saja? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222647/38/

Indonesia Tolak Hibah Pesawat Mirage

Indonesia Tolak Hibah Pesawat Mirage
Jakarta - Indonesia menolak hibah satu skuadron pesawat tempur Mirage dari Qatar. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tawaran itu ditolak karena minimnya anggaran yang tersedia untuk perawatan. "Hibahnya sih oke, tapi pemeliharaannya itu mahal," kata Juwono di kantornya, Departemen Pertahanan Jakarta, kemarin.

Tawaran hibah ini datang enam bulan yang lalu, disampaikan secara lisan oleh Duta Besar RI di Qatar, Rozy Munir. Menurut Juwono, sebenarnya syarat pelaksanaan hibah ini sangat ringan, yaitu cukup Menteri Pertahanan Indonesia mengirim surat kepada Menteri Pertahanan Qatar.

Juwono mengatakan, dilihat sepintas saja sudah bisa dipastikan bahwa hibah pesawat buatan Prancis tahun 2000 ini akan membutuhkan banyak biaya perawatan. Padahal pagu anggaran Departemen Pertahanan dan TNI tak memungkinkan untuk itu. Apalagi fokus pemeliharaan saat ini ditujukan pada pesawat angkut, seperti Hercules. Selain itu, kata Juwono, hibah itu bukan berarti tak ada biaya sama sekali. "Tetap ada. Misalnya, biaya perantara," ujarnya.

Bagi Departemen Pertahanan, penolakan itu juga karena pertimbangan lain. Menurut Juwono, ada dua beban yang akan muncul jika hibah diterima, yaitu soal dana dan beban pada sistem alat pukul udara. Dari segi sistem, hibah ini akan menambah beban pada anggaran serta mengganggu perencanaan yang telah ada. Saat ini TNI Angkatan Udara memiliki pesawat tempur F-5 dan F-16 buatan Amerika Serikat dan Sukhoi buatan Rusia.

Dalam sistem pemukul udara, Juwono melanjutkan, yang dipentingkan adalah varietas teknologi untuk daya tangkal. Dari segi jumlah, pesawat yang kita miliki memang tidak mencukupi. "Karena itu, kita beli Sukhoi, walaupun mahal," ujarnya. Dengan begitu, sistem penangkalan kita masih setara dengan Singapura kalau tahun depan negara itu membeli 24 pesawat F-15.

Menurut Juwono, awalnya Angkatan Udara tertarik kepada tawaran hibah ini. Namun, dia telah menjelaskan soal pagu anggaran yang tak memungkinkan, serta kekhawatiran tersedianya suku cadang. "Kita harus tahu betul apakah pabrik pembuatnya akan bertahan terus untuk buat atau tidak. Jangan-jangan malah punah," ujarnya. TITIS SETIANINGTYAS



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/20/Nasional/krn.20090320.160093.id.html

Golput Bukan Pilihan Cerdas

Golput Bukan Pilihan Cerdas

Banyak peneliti ataupun lembaga survei yang telah mempublikasikan hasil riset tentang golput dengan beragam alasan yang dikemukakan. Sikap pro dan kontra pun bermunculan seiring dengan benturan kepentingan masing-masing. Megawati pernah mengemukakan bahwa golput bukan WNI dan tak layak tinggal di Indonesia, sedangkan Gus Dur mengkampanyekan golput setelah partainya "kalah" di depan hukum.

Tingginya angka golput yang diperkirakan akan meningkat memang cukup mengkhawatirkan. Beberapa pihak berupaya mencoba meminimalkannya, di antaranya merasa perlu dan mendorong untuk dimunculkannya "fatwa haram". Golput merupakan pilihan yang kurang baik, meski merupakan suatu pilihan. Sebab, pemilu itu sendiri bertujuan memilih calon pemimpin bagi umat.

Mengklaim golput sebagai pemenang memang masuk akal bila hanya ditinjau dari segi persentase suara. Tapi menjadi tidak masuk akal karena golput (dengan alasan apa pun) tidak bisa mewakilkan anggotanya baik di eksekutif maupun legislatif. Apalagi bila mereka mengklaim pemerintahan yang terbentuk menjadi illegitimate. Jadi layakkah golput disebut pemenang?

Benarkah mereka pemilih kritis/cerdas? Sayangnya, analisis dari kesimpulan itu tidak berlanjut. Golput, karena merasa kepentingan pribadinya "dirampas", kritiskah mereka? Golput, karena "menganggap" semua partai jelek, kritiskah mereka? Golput, karena ikut-ikutan "biar" dianggap sebagai orang kritis, kritiskah mereka? Atau bahkan karena "saya kan tidak berdosa kalau nantinya negara makin hancur, karena saya tidak memilih mereka alias golput".

Pemilih yang kritis adalah pemilih yang sadar akan eksistensi dan kedaulatan negara yang karena itu memilih menjadi bagian kewajibannya sebagai warga. Bahwa negara harus memiliki pemerintah yang didukung penuh rakyatnya. Bahwa setiap warga negara mempunyai rasa optimisme, nasionalisme, dan andil membangun negara. Mereka tidak putus asa, karena harapan itu masih ada. Perlawanan demokratik terhadap golput harus dilakukan dengan gerakan sadar memilih. Tidak memilih dalam pemilu adalah hak, meskipun tidak baik bagi demokrasi.

Siti Umiyati
Jalan Raya Wangun Tajur
Ciawi, Bogor

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/20/Opini/krn.20090320.160068.id.html

Kalla Belajar Gunakan BlackBerry

Kalla Belajar Gunakan BlackBerry


MAKASSAR (SINDO) – Demam BlackBerry saat ini memang sedang melanda Indonesia. Jika di Amerika Serikat (AS) Presiden Barack Obama tidak pernah lepas dari gadget yang bisa digunakan untuk menelepon, mengirim SMS, dan mengirim e-mail tersebut,Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla justru sedang dihinggapi demam BlackBerry.


Setidaknya dalam sepekan terakhir ini Wapres mulai belajar menggunakan Black- Berry.Ketertarikan Kalla terhadap BlackBerry bisa dilihat saat berada di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Makasar, Sulawesi Selatan, kemarin.“Eh, gimana kita pakai ini,” kata Kalla sambil memandangi BlackBerry jenis boldhitam. Mendengar pertanyaan tersebut, Ibu Mufidah Jusuf Kalla yang berada di sampingnya langsung turun tangan. Tidak kalah sigap, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi yang juga berada di pesawat tersebut ikut urun rembuk.

Beberapa saat Wapres terlihat serius memainkan BlackBerry barunya itu. Selama ini Wapres Kalla menggunakan ponsel model lama. Sesekali Wapres yang juga didampingi putrinya, Chairani, mencoba membuka posting blog menggunakan Black- Berry-nya. Utak-atik Black- Berry yang dilakukan Kalla tersebut dilakukan untuk mengisi waktu luang di selasela kesibukannya menghadiri kampanye terbuka Partai Golkar di Makassar hari ini.

Setibanya di Makassar,kemarin, Kalla mendatangi Kantor Wilayah Ditjen Pajak Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara untuk menyerahkan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan orang pribadi. (ant/yakin achmad)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222873/38/

Manusia Pascakematian Humanisme

Manusia Pascakematian Humanisme

Bambang Sugiharto

”Humanisme” adalah isu yang kini telah menjadi purba, kedaluwarsa. Begitulah kesan umum dalam era pascamodern milenium ketiga ini. Namun, sebetulnya itu tidak sepenuhnya benar.

Sebagai aliran filsafat ataupun ideologi, mungkin hal itu memang sudah berlalu. Humanisme telah didekonstruksi, dari sisi teoretis maupun praktik. Namun sebagai wacana reflektif ihwal humanitas atau tentang apa artinya menjadi manusia, hal itu jauh dari kedaluwarsa. ”Humanisme” kini justru menuntut perenungan ulang.

Dalam arus perubahan yang demikian cepat dan mendasar, sistem-sistem keyakinan tradisional memang terasa tak lagi memadai untuk memahami kompleksitas dunia manusia. Meskipun demikian, dinamika perkembangan pemikiran ihwal manusia pada masa lalu akan mempertajam pengamatan kita atas apa yang sesungguhnya menjadi pokok persoalan manusia hari ini dan masa depan.

Persoalan humanisme

Pada intinya, humanisme adalah gerakan sosiokultural yang secara sistematik berusaha mengartikulasikan makna humanitas atau kodrat manusiawi: apa kira-kira tujuan kepenuhan hidupnya dan apa tolok ukur kemajuan peradaban moralnya. Dalam percaturan wacana ilmiah Barat wujud awalnya sudah tampak pada sistem pendidikan Paideia Yunani antik. Berkembang dalam kurikulum Artes Liberales di Abad Pertengahan.

Humanisme lalu menjadi narasi besar dan gerakan budaya pada masa Renaisans sekitar abad ke-15. Gerakan ini ditopang para sarjana (Umanisti) yang mempelajari kurikulum Studia Humanitatis (yang kini biasa disebut Humaniora alias ilmu-ilmu yang dianggap membuat manusia lebih manusiawi).

Bila ”humanisme” kita artikan secara luas sebagai bermacam upaya untuk merumuskan hakikat dan ideal humanitas, sejak humanisme Renaisans praktis dunia intelektual modern Barat merupakan rentetan pemikiran yang terus-menerus mengkaji ulang gerakan awal itu melalui berbagai versi ”humanisme” barunya. Meski demikian, tak selalu menggunakan label ”humanisme” secara eksplisit.

Pada abad ke-17, misalnya, ada humanisme Protestan; di sekitar Abad Pencerahan ada humanisme Rasionalistik. Abad ke-19 ada humanisme Romantik yang bertegangan dengan humanisme Positivistik. Ada pula humanisme Revolusioner yang dijinakkan kemudian oleh humanisme Liberal; belum lagi humanisme Nazi dan versi para korbannya.

Masih lebih banyak lagi. Pada pertengahan abad ke-20, kita menyaksikan humanisme versi eksistensialisme, pragmatisme ataupun marxisme. Di pengujung abad ke-20, muncul humanisme yang ”antihumanis” versi Heidegger, atau sebaliknya, antihumanisme yang justru ”humanis” versi Foucault.

Lantas ada pula humanisme baru Gereja Katolik ala Paus Yohannes Paulus II. Masing-masing memiliki sejarah dan pendasarannya sendiri, dengan terminologi dan wacana retoriknya sendiri, tetapi terutama dengan korban-korban ideologisnya masing-masing.

Ironi yang terakhir itulah masalahnya: berbagai ideal kemanusiaan dalam kenyataannya membawa kebrutalan-kebrutalan dan korban tertentu juga yang tidak manusiawi. Di balik ideal-ideal itu, unsur kepentingan dan aksen kelas, ras, jender, atau asumsi-asumsi metafisik tertentu sepertinya tak terhindarkan, yang lantas melahirkan diskriminasi berikut konsekuensinya. Humanisme Renaisans, misalnya, ditandai pula dengan tirani keluarga Borgias, Medici, dan Tudor.

Para pembebas macam orang-orang Yunani, Romawi, bahkan kolonial Amerika dalam kenyataannya juga memiliki budak-budak. Dalam berbagai zaman, ideal kemanusiaan nyatanya kerap tidak memperhitungkan kaum perempuan; menyingkirkan mereka yang tidak berbahasa Yunani, Latin, atau Inggris. Merendahkan yang tidak berkulit putih, menelantarkan anak-anak, dan seterusnya.

Menyiangi persoalan

Perspektif pascamodern telah dengan telak mengkritik dan membongkar berbagai bentuk ”humanisme” juga. Secara teoretis, misalnya, humanisme telah dianggap terlampau antroposentris dan merupakan agen utama pengusung universalisme.

Universalisme tak lain daripada imperialisme terselubung; bersifat individualistis, falosentris, kepanjangan dari ideologi kaum borjuis, dan sebagainya.

Dalam kenyataannya, manusia kini hanyalah produk mesin sejarah dan barang mainan gurita konglomerasi raksasa. Sementara itu, di dunia non-Barat humanisme kerap dianggap biang keladi individualisme, dan di bidang keagamaan dituding sebagai penyebab pemurtadan.

Meski demikian, kendati air bekas mandi bayi memang kotor, kita toh tak perlu membuangnya sekaligus dengan bayinya.

Bermacam bentuk humanisme adalah upaya-upaya dalam beragam konteks untuk senantiasa melihat manusia sebagai pusat gravitasi yang tak pernah bisa diabaikan. Sistem-sistem hukum modern yang penting, demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, norma-norma kinerja birokrasi, adalah beberapa saja dari banyak prestasi yang telah lahir dari berbagai bentuk humanisme.

Di sisi lain, dalam dunia yang kian terancam fanatisme kelompok dengan tendensi penghukuman semena-mena terhadap segala pihak yang ”lain”, hanya bentuk-bentuk humanisme pulalah yang merupakan alternatif-alternatif paling menarik.

Humanisme kini

Masalahnya hanyalah bahwa kini humanisme lebih baik, tak lagi dilihat dari posisi subyek (manusia) sebagai pusat gravitasi. Mengambil inspirasi dari fenomenologi Levinasian dan poststrukturalisme Foucauldian, humanisme kini dapat berangkat dari ”yang Lain” atau ”Liyan” dan berbagai struktur luaran, yang memungkinkan aku menemukan diriku sebagai subyek.

Dalam kerangka macam ini, kemanusiaan lantas bukanlah esensi bukan pula tujuan, melainkan proses yang berkesinambungan. Humanisme adalah proses yang dinamis untuk memahami apa artinya menjadi manusia, melalui hubungan dan dinamika perbedaan.

Meski demikian, paradoksnya, humanisme sekaligus adalah juga proses mempertahankan sikap kritis terus-menerus di hadapan segala otoritas luaran yang memaksakan kehendaknya tanpa alasan yang jelas.

Sikap kritis-otonom macam itu pulalah sebenarnya yang sepanjang zaman telah melindungi martabat manusia dari segala bentuk manipulasi, penjajahan, dan kesewenangan oleh sistem-sistem kekuasaan.

Sikap kritis, dan terutama oto-kritik, ini pula yang akan mencegah ideal-ideal kemanusiaan menimbulkan banyak korban, dan membimbing spesies manusia pada kematangan evolusinya.

Bambang SugihartoGuru Besar Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB), Editor Buku Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan (Jalasutra, 2008)



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/03380861/manusia.pascakematian.humanisme

Presiden PKS Tantang Abdul Hadi

Dugaan Suap Anggota DPR
Presiden PKS Tantang Abdul Hadi


Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring menantang Abdul Hadi Djamal, tersangka kasus dugaan suap terkait pembangunan dermaga di wilayah Indonesia timur, untuk membuka semua fakta di persidangan.

"Buktikan saja dengan mengungkap fakta-fakta di persidangan. Jangan `nyanyi`, `tembak sana`, `tembak sini`, itu black campaign (kampanye hitam)," katanya kepada wartawan usai berkampanye di Lapangan Wika, Jakarta Timur, Jum`at (20/3) petang.

Sebelumnya, Abdul Hadi menuduh anggota DPR dari PKS, Rama Pratama, hadir dalam rapat informal pantia anggaran DPR di Hotel Ritz Carlton, Jakarta yang memutuskan kenaikan alokasi dana stimulus dari Rp10,2 trilun menjadi Rp12,2 triliun.

Abdul Hadi, yang telah dipecat dari keanggotaannya di Partai Amanat Nasional (PAN) akibat kasus itu, juga mengatakan bahwa kenaikan dana stimulus itu berujung pada dugaan suap yang menjerat dirinya.

Abdul Hadi ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima uang sebesar Rp54,5 juta dan 90 ribu dolar AS dari pengusaha Hontjo Kurniawan melalui pegawai Departemen Perhubungan, Darmawati. Pemberian itu diduga terkait dengan pembangunan dermaga di wilayah Indonesia bagian timur.

Terkait masalah tersebut, Tifatul mengatakan, sebaiknya semua pihak menyerahkan kasus itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tifatul juga menegaskan, belakangan ini partainya memang sering kali menjadi "sasaran tembak" kampanye hitam, seperti tuduhan terhadap pimpinan PKS di Indramayu yang dituduh memperkosa gadis. "Ketua PAC PKS Indramayu dituduh memperkosa, padahal kemudian terbukti yang memperkosa adalah preman. Dan kita tidak mengenal PAC, yang ada adalah DPC (Dewan Pimpinan Cabang)," katanya.

DPP PKS, lanjutnya, melakukan kontrol yang ketat terhadap anggota legislatifnya. "Termasuk Rama Pratama juga saya kontrol, saya bilang `Rama, jangan main-main kamu`," katanya.

"Kalau Hadi Djamal sudah tertangkap tangan, ya tolong tanggung jawab dong, jangan memfitnah orang. PKS tidak akan menjadi `bumper` koruptor," tegasnya.

PKS pun, kata Tifatul, tidak akan menutupi jika memang ada kadernya yang terbukti melakukan penyelewenangan jabatan seperti korupsi, dan jika terbukti akan ditindak tegas.

Di tempat yang sama, Rama Pratama, yang juga berkampanye di tempat itu, mengatakan jika dirinya telah menyerahkan kasus itu kepada proses hukum, dan telah menugaskan tim kuasa hukumnya untuk menangani kasus tersebut. "Sekarang saya ingin konsentrasi untuk memenangkan pemilu, jadi ke depan saya tidak mau menanggapi lagi soal itu. Biar pengacara saya saja yang menjawab," katanya.

Di tempat terpisah, anggota Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid usai berkampanye di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa PKS tidak akan memecat Rama Pratama karena yang bersangkutan telah bersumpah tidak melakukan apa yang dituduhkan terhadapnya. Apalagi Rama Pratama juga berani diperiksa KPK.

Hidayat mengatakan, Abdul Hadi juga tidak bisa membedakan hotel tempat pertemuan, apakah Hotel Ritz Carlton atau Hotel Four Season. "Ternyata yang dimaksud di Four Season dan Rama Pratama juga mengaku tidak ikut dalam pertemuan di sana," katanya.

Senada dengan Tifatul, Hidayat juga menegaskan, PKS bersikap tegas terhadap kadernya yang melakukan penyimpangan, bahkan hingga pada pemecatan. [EL, Ant]


http://gatra.com/artikel.php?id=124184

Mega Tuding BLT Rendahkan Harga Diri

Mega Tuding BLT Rendahkan Harga Diri
Panitia Pengawas menuding ada pelanggaran karena melibatkan anak-anak.
Jember -- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengkritik kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) dan menyebut program itu mengajari rakyat bermental pengemis. "Apa artinya uang Rp 200 ribu bila ibu-ibu dempet-dempetan antre tidak ubahnya pengemis? Anak-anak mereka melihat ibunya seperti tidak punya harga diri," kata Megawati saat berorasi di depan sekitar 15 ribu pendukungnya di lapangan Kelurahan Mangli, Kaliwates, Jember, Jawa Timur, kemarin sore.

Megawati dan PDI Perjuangan mengaku telah mengajukan protes keras atas kebijakan itu, tapi ditanggapi sinis pejabat pemerintah. Padahal, kata Mega di depan massa, dana miliaran rupiah itu akan lebih berguna jika digunakan untuk membangun fasilitas umum, seperti jalan, sumur, fasilitas mandi-cuci-kakus, serta beasiswa untuk pendidikan. "Uang miliaran kok dihambur-hamburkan," katanya dengan nada ketus.

Ia lantas melemparkan pertanyaan kepada massa pendukungnya tentang semakin mahalnya harga bahan pokok dan tarif angkutan umum. Massa serta-merta dijawab, "Ya, mahal." "Lo, katanya ini zaman reformasi? Makin lama kok seperti zaman Orde Baru?" ujar Megawati menimpali.

Megawati datang di Jember sekitar pukul 15.20 WIB. Setelah berpidato sekitar 30 menit, dia pun meninggalkan arena kampanye. Bersama rombongannya, Megawati bertolak menuju Yogyakarta.

Dalam kampanye ini, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Jember menganggap partai moncong putih itu telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Pemilu karena mengikutsertakan anak-anak. "Kami akan memanggil penanggung jawab kampanye terbuka PDI Perjuangan untuk meminta klarifikasi dugaan pelanggaran kampanye, yaitu membawa anak-anak," kata Ketua Panwaslu Jember Agung Purwanto.

Menurut dia, kewenangan Panwaslu dalam kasus ini hanya mengklarifikasi, kemudian membahasnya dalam rapat Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Selain melanggar Undang-Undang Pemilu, kata Agung, membawa anak-anak dalam kampanye dijerat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Berdasarkan pantauan Tempo, dalam acara kampanye itu tampak ratusan anak ikut serta bersama orang tua mereka. Bahkan ada beberapa ibu yang membawa bayi dan anak di bawah lima tahun. Anak-anak itu ikut serta orang tua mereka dalam pawai kendaraan bermotor dan mengikuti acara kampanye terbuka di lapangan yang terletak sekitar 3 kilometer arah barat dari kota Jember tersebut. Dalam acara itu, ratusan pendukung PDI Perjuangan juga tidak mengenakan helm dan mengabaikan rambu-rambu lalu lintas.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Yusuf Iskandar mengakui kewalahan mengatur sekitar 15 ribu orang itu. "Padahal kami sudah wanti-wanti, agar tidak membawa anak-anak dan mematuhi peraturan lalu lintas," katanya. Namun, dia mengaku siap memenuhi panggilan Panitia Pengawas.

Ketua Partai Golkar Jusuf Kalla hari ini dijadwalkan berkampanye di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah itu, Kalla dijadwalkan berkampanye di Palembang. Untuk perjalanan kampanye ini, Kalla menyewa pesawat Boeing 737-300 dari PT Nusantara.MANAN | MAHBUB DJUNAIDY | KURNIASIH BUDI



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Nasional/krn.20090321.160210.id.html

Wader Goreng Sambal Terasi

Wader Goreng Sambal Terasi
Kenikmatan Bersantap Terasa Kian Serasi.
Hari mulai siang. Puluhan kendaraan bermotor berangsur-agsur datang. Tidak hanya kendaraan roda dua. Mobil berbagai merek dan tak sedikit yang kinclong tampak parkir berjajar tepat di depan sebuah warung di kawasan Ketintang Permai Selatan, Surabaya: Warung Wader Kincir Angin milik Wardi.

Pengunjung siang itu--yang merupakan pelanggan warung--terdiri atas beragam kalangan. Ada rombongan pegawai negeri sipil dari berbagai instansi. Ada karyawan swasta berbagai perusahaan, mahasiswa, juga masyarakat biasa.

Bersamaan dengan arah jarum jam menunjuk pada pukul 11.00 hingga pukul 14.00 WIB, bertepatan dengan jam santap siang, warung semakin padat.

Di dalam warung, ada yang memilih duduk lesehan, ada pula yang menempati kursi yang ditata rapi di antara meja-meja panjang. Sambil ngobrol ringan, mereka tampak lahap menyantap menu andalan warung ini: wader goreng. "Yang membuat sensasi kenikmatan karena wader disajikan di atas piring tanah," kata Sholihin, salah seorang pegawai swasta yang mengaku selalu menyempatkan diri mampir ke warung ini dua kali sepekan.

Di warung tersebut, penyuka makanan memang disuguhi wader goreng disertai sambal terasi khas Surabaya. Hidangan dilengkapi dengan beragam pilihan nasi, dari nasi putih biasa, nasi jagung, sampai nasi gurih. Banyaknya porsi nasi disediakan secara bebas. Pembeli bisa sesuka hati mengambil sesuai keinginan.

Menu pun masih dilengkapi kacang panjang, daun kemangi, daun papaya rebus, serta mentimun sebagai bahan lalapan. Maka, yang tampak saat itu adalah tangan yang cekatan menyuapkan sajian ke mulut, disertai dengan keringat bercucuran membasahi wajah yang dipicu rasa pedas sambal. Suara tawa riang di antara penikmat sembari bercanda karena kawannya tampak wajahnya memerah menahan pedas.

Ikan wader tak sebesar ikan air tawar lainnya, seperti lele, mujair, bandeng, atau gurame. Bahkan, bagi penghobi memancing, kerap muncul olok-olok bahwa mendapatkan wader adalah musibah. Namun, meski ukurannya sangat kecil, atau paling banter hanya sebesar jempol, ikan yang biasanya hidup bergerombol di sungai ini ternyata memiliki rasa yang tak kalah "maknyus" dibanding ikan air tawar lainnya.

Kelezatan ikan ini setidaknya bisa terlihat dari menjamurnya warung bahkan restoran-restoran yang tersebar di Kota Surabaya, juga di daerah lainnya yang juga menyediakan menu khusus wader goreng. Namun, Anda boleh membandingkannya. Wader di warung Mardi terasa lebih lezat. Harganya pun tergolong enteng di kantong, yakni Rp 6.000 setiap porsi.

Menurut Mardi, menu wader goreng telah membuat warung miliknya menjadi terkenal. Setiap hari, tak kurang dari 200 orang memadati warungnya. Dia menghabiskan sekitar 20 kilogram wader kali yang rutin diperolehnya dari seorang langganan yang setiap pagi mengirimkan wader segar kepadanya.

Jika Anda tidak suka wader, jangan urungkan niat Anda untuk mendatangi warung ini. Di Warung Wader Kincir Angin juga disediakan berbagai menu lainnya, seperti nasi goreng, mi pangsit, gurame bakar, ikan patin bakar, ayam panggang, ayam goreng, serta ayam penyet. Harganya juga Rp 6.000 per porsi.

Berbagai bothok juga disediakan. Ada bothok ikan patin, bothok ikan teri, bhotok telur asin, serta bhotok rempelo ati. Harganya dibanderol Rp 2.500 per bungkus, kecuali bothok ikan patin yang agak mahal, Rp 5.000 per bungkus.

Menu minuman pun menyegarkan, bahkan menyehatkan tubuh. Ada sinom, beras kencur, dan teh manis. Minuman sehat ini juga tidak mahal. Setiap gelas hanya Rp 3.000. ROHMAN TAUFIQ

Wader Goreng Goyang Kereta

Letaknya nyelempit di antara permukiman padat serta di tepi jalan sempit berpaving. Namun, tidak sulit menemukan Warung Wader Kincir Angin milik Mardi. Siapa pun yang ditanya akan segera menunjuk warung yang berdekatan dengan perlintasan rel kereta api itu. Getaran gerbong kereta terasa bersamaan lahapnya menyantap wader goreng.

Warung wader, seperti diakui Mardi, bermula dari ketidaksengajaan. "Semula di tempat ini saya hanya nyambi jualan es degan (kelapa muda) sambil membuka tempat cuci mobil dan motor," ujarnya.

Merasa jualan es degan lebih laris dibanding cuci kendaraan, Mardi lantas menambah menu jualannya dengan nasi dicampur bothok telur asin. Rupanya, bakat masak istrinya membawa hoki. Nasi bothok telur asin laris manis.

Mardi terus melengkapi menunya. "Saya teringat di Jember dan Lumajang banyak warung wader yang laris, ya, saya iseng coba menu wader. Ternyata malah bawa rezeki berlimpah," dia mengisahkan tentang awal mula menu utamanya yang mulai digelutinya pada 2001 itu. Usaha pencucian kendaraan pun dihentikan.

Sejak adanya menu wader, warung miliknya semakin diserbu pelanggan. Mardi pun membuka satu warung lagi di kawasan Ketintang Barat, tak jauh dari Rolak Gunungsari. Warung didesain secara nyaman dan alami karena pengunjung warungnya merasa sejuk oleh embusan angin dari Kali Jagir.

Agar bisa melayani seluruh pelanggannya, Mardi membagi jadwal buka dua warungnya. Warung lamanya dibuka mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 sore. Sedangkan warung di Rolak Gunungsari dibuka mulai pukul 12.00 siang hingga pukul 22.00 malam. ROHMAN TAUFIQ



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/20/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090320.160028.id.html

Lobi di Luar Senayan Harus Seizin Pemimpin DPR

Lobi di Luar Senayan Harus Seizin Pemimpin DPR
Pertemuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan pihak lain di luar pertemuan resmi hanya boleh dilakukan atas seizin pemimpin.
JAKARTA -- Pertemuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan pihak lain di luar pertemuan resmi hanya boleh dilakukan atas seizin pemimpin. "Tapi itu pun pengecualian," kata Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun ketika dihubungi tadi malam.

Ia menjelaskan, ketentuan itu diatur dalam Tata Tertib Anggota DPR Pasal 76 ayat 1 sampai 4. Aturan itu juga menyebutkan, lobi mesti jelas tujuannya. Tempat pertemuan diupayakan di gedung milik DPR, misalnya Wisma DPR di Kopo, Bogor, Jawa Barat.

Pernyataan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu hampir senada dengan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar dua hari lalu. Antasari menegaskan, Tata Tertib Anggota DPR melarang pertemuan anggota DPR dengan pihak lain di luar pertemuan resmi, apalagi jika membahas anggaran negara.

Penegasan itu disampaikan Antasari sehubungan dengan adanya pengakuan Abdul Hadi Djamal, tersangka kasus suap proyek pembangunan fasilitas laut dan udara di kawasan timur Indonesia.

Menurut pengakuannya, pada 19 Februari lalu digelar pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah anggota DPR dan wakil pemerintah di Hotel Four Seasons, Jakarta. Agenda pertemuan adalah pembahasan penambahan dana stimulus fiskal untuk proyek infrastruktur dari Rp 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun.

Hadi Djamal mengaku menghadiri pertemuan itu bersama politikus Partai Keadilan Sejahtera, Rama Pratama; Wakil Ketua Panitia Anggaran dari Partai Demokrat, Jhonny Allen; Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, yang didampingi stafnya; serta sejumlah pemimpin fraksi.

Rama disebut-sebut yang mengusulkan kenaikan anggaran, sedangkan Jhonny adalah inisiator pertemuan. Tapi Rama dan Jhonny membantah pernyataan itu.

Ketua DPR Agung Laksono dan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar belum bisa dimintai tanggapan tentang izin pertemuan di suite room lantai 12 Hotel Four Seasons tersebut. "Maaf, Bapak sedang rapat," begitu jawab Andi, ajudan Agung. Adapun panggilan telepon untuk Muhaimin tak dijawab. Jobpie S. | Titis Setianingtyas | Cheta Nilawaty



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/headline/krn.20090321.160231.id.html

Mencari Kaum Demokrat Sejati

Mencari Kaum Demokrat Sejati

Chris Panggabean

”We give no special power to wealth; the poor man’s voice commands equal authority.”

Theseus dalam drama karya Euripides (484 SM-406 SM)

Prinsip one man one vote dalam demokrasi sesungguhnya merefleksikan pengakuan kesetaraan bagi setiap individu dan simbol bahwa kekuasaan berasal dari suara rakyat. Demokratia atau kekuasaan oleh rakyat (rule by the people) tidak lagi semata soal prosedur, tetapi sejauh apa ia menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Kekuasaan oleh dan untuk rakyat mengasumsikan adanya kebaikan bagi semua (common good). Dalam tradisi republik, common good tercipta dengan partisipasi warga negara. Korupsi, buta huruf, kelaparan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran, terorisme, kriminalitas adalah kondisi sosial yang berkorelasi negatif dengan kesejahteraan masyarakat. Menghilangkannya sama dengan mewujudkan common good di masyarakat. Common good berbicara mengenai apa yang membuat masyarakat menjadi lebih baik dan demokrasi adalah instrumen pengantarnya.

Kultur politik dengan ciri-ciri ingatan pendek akan masa lalu, penuh permakluman, pragmatis, berpikir mistis dan feodal hanya melahirkan elite dan massa politik yang gampang berselingkuh demi kepuasan sesaat. Jika tidak demikian, mana mungkin figur- figur yang melakukan penyerbuan/kekerasan terhadap markas parpol tertentu serta pembunuhan dan penculikan terhadap para mahasiswa dan aktivis HAM bisa memiliki massa, memimpin partai, dan maju sebagai kandidat- kandidat presiden?

Akibatnya, politisi yang lahir dari kultur politik seperti itu membawa masuk nilai-nilai yang sama ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Akhirnya, korupsi dan manipulasi menjadi sesuatu yang banal dalam lembaga demokrasi kita. Demokrasi hanya akan berjalan lebih efisien dan fokus pada tujuannya jika institusinya dikendalikan oleh individu dengan karakter diri yang sejalan dengan nilai demokrasi. Sementara itu, koherensi dan sekaligus kenaifan demokrasi menjadi arena kontestasi menuju kekuasaan yang terbuka bagi siapa saja, termasuk mereka yang antidemokrasi.

Fasis atau demokrat

Kontra nilai demokrasi adalah fasisme. Jangan bayangkan fasisme hanya ada di Perang Dunia II dalam wujud Hitler atau Mussolini yang seolah amat populis dan prososialisme. Dalam bukunya, Fascism and Democracy in Human Mind (2006), Charny menjelaskan bahwa fasisme yang dimaksud adalah sikap atau predisposisi totaliter dan otoriter. Setiap manusia memiliki bibit tersebut, tetapi ada yang membiarkannya berkembang menjadi karakter dirinya.

Paradigma berpikir fasis cenderung mengarah pada sesuatu yang pasti dan absolut, karenanya ia bersikap intoleran pada ide yang berbeda, menuntut kepatuhan dan menyembah kekuasaan, menempatkan diri superior, siap melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak sekeyakinan, dan akan menyangkal atau mencari pembenaran atas kekerasan yang dilakukan terhadap kemanusiaan.

Demokrasi tidak akan menghasilkan common good di tangan karakter semacam itu. Mereka hanya akan melahirkan aturan- aturan yang menguntungkan diri dan kelompoknya, baik secara ekonomi maupun budaya. Tak peduli jika ekonomi nasional dan keutuhan bangsa menjadi taruhannya. Perda-perda dengan suasana kebatinan agama tertentu yang memicu segregasi bangsa dibiarkan.

Kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) atau skandal daftar pemilih tetap (DPT) di Jawa Timur yang menciptakan pemilih- pemilih fiktif demi melanggengkan kekuasaan adalah praktik paling terkini pribadi fasis di Republik ini. Tidak mustahil DPT fiktif pada Pilkada Jatim yang lalu akan diulangi secara lebih masif dan nasional dalam pemilu legislatif April nanti dan pilpres mendatang.

Seorang demokrat seyogianya bukan pemimpin yang maunya cuma dipuja dan dipuji sebagai yang paling berhasil dan tanpa cacat, yang tak rela ada pesaing lain, yang terjangkit sindrom Sin- derela. Sikap seorang demokrat hanya bisa beroperasi dalam diri yang rendah hati, menolak superioritas, selalu menempatkan kesetaraan akan sesama sekalipun berada pada posisi pemimpin. Oleh karena itu, tabiat demokrat lebih dapat diharapkan untuk mengupayakan peningkatan kualitas hidup masyarakat luas.

Kaum idiot

Idiot berasal dari bahasa Yunani, idiotes, istilah bagi orang- orang yang hidup dalam dunia privatnya sendiri, tak mau terlibat dalam urusan publik. Adapun dalam bahasa Latin artinya tidak peduli atau tidak mau belajar.

Mungkin kebanyakan dari kita adalah idiot. Beranggapan bahwa semua calon anggota legislatif (caleg) tidak bermutu, terburu- buru memutuskan menjadi golput, atau membiarkan pilihan kita jatuh pada wajah yang sering terlihat saja. Kita terlalu malas untuk melatih intelijensi politik. Padahal, hak suara yang kita miliki saat ini mampu mencegah secara demokratis kandidat yang bertabiat antidemokrasi untuk berkuasa. Pasti ada pribadi-pribadi nonfasis di antara ribuan calon anggota legislatif dan belasan calon presiden yang ada. Mungkin sosok-sosok itu tenggelam oleh para demagog berduit yang balihonya mampu menutupi sebuah gedung.

Ujilah segala sesuatu dari buahnya, takkan buah jeruk dihasilkan dari pohon kenari. Rekam jejak seseorang lebih penting dipakai sebagai patokan. Adakah seorang caleg peduli dengan masalah kesehatan (pengasapan dan pengobatan gratis) bulan-bulan belakangan ini saja atau dari dulu? Akankah kita akan memercayai janji akan mendukung dunia pendidikan dari kandidat yang punya riwayat menculik orang- orang kritis sebagai hasil pendidikan?

Masih ada waktu untuk mencari tahu siapakah yang memiliki rekam jejak sebagai seorang demokrat sejati. Dalam pesta demokrasi kali ini, kita akan ikut bergembira, bukan oleh suguhan dangdut, tetapi karena bangga dan haru menemukan nama-nama berintegritas.

Kita akan datang ke TPS tidak sebagai seorang idiot, lebih dari itu, dalam bilik suara kita akan menemukan minimal dua sosok demokrat: pada kertas suara dan pada diri kita sendiri.

Chris Panggabean Asisten Peneliti di Universitas Indonesia; Aktif di Lingkar Muda Indonesia





http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/04210520/mencari.kaum.demokrat.sejati.

Meratapi Matinya Retorika

Meratapi Matinya Retorika

P ARI SUBAGYO

Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh sapiens (bijaksana, berbudi) hanya karena ia ”loquens” (bertutur), tulis Paul Chauchard dalam Le Langage et La Pensee (terjemahan A Widyamartaya, Bahasa dan Pikiran, 1983).

Bagaimana jika pernyataan Chauchard itu disandingkan dengan liputan Kompas (1/3) berjudul ”Menyoal Tata Krama DPR”, ”Dengar Suara Dewan”, dan artikel Eep Saefulloh Fatah, ”Kepatutan Para Legislator”, yang menyoroti perilaku berbahasa para anggota DPR yang arogan, kasar, tidak sopan, dan tanpa tata krama? Juga dengan artikel L Wilardjo, ”PakiPelecehan” (Kompas, 28/2)?

Pernyataan Chauchard hanya sebatas utopia! Keberadaban berbahasa para wakil rakyat kita begitu rendah. Seorang anggota DPR bahkan tampak santai menanggapi kegemasan publik atas pernyataannya: ”Bahasa yang saya gunakan itu bahasa po- litik. Sidang DPR itu kan panggung politik dan kami politisi. Itu bahasa yang biasa.”

Apa yang hilang dari keadaban anggota legislatif yang terhormat? Layakkah para politisi menciptakan ”ragam bahasa politik” yang mengabaikan tata karma?

Retorika

Mencermati praktik berbahasa kaum legislatif—setidaknya dalam liputan Kompas tersebut—segera tercium aroma kematian. Retorika—keterampilan berbahasa terawal dalam peradaban manusia— agaknya sudah ajal.

Dalam tradisi Yunani klasik abad ke-5 SM, retorika lazim dipahami sebagai seni bertutur untuk memengaruhi pendengar atau mematahkan pendapat lawan. Corax, Tisias, dan Gorgias adalah tokoh-tokoh retorika perdana. Lalu Plato dan Aristoteles meletakkan dasar retorika yang sistematis dan ilmiah, dilanjutkan Cicero dan Quintilian pada zaman Romawi.

Plato—dalam dialog Gorgias—semula sebenarnya menampik teknik-teknik retorika. Menurut dia, persuasi bertentangan dengan upaya memperoleh pengetahuan. Tukang retorika bukanlah ahli. Mereka sekadar memproduksi keyakinan, bisa benar bisa sesat. Mereka memanipulasi ketidaktahuan masyarakat di persidangan dan majelis rakyat. Socrates bahkan menuding retorika sebagai seni menipu yang hanya membuahkan keadilan semu. Plato mulai berpikir positif dalam dialog berikutnya (Phaedrus). Ia menekankan, orator harus memahami pikiran (daya tangkap) pendengarnya, mampu mengolah argumen sesuai pikiran pendengarnya, dan melakukan itu semua pada saat yang tepat.

Aristoteles berpandangan lebih positif. Dengan penuh hormat ia memahami retorika sebagai jalan menuju kebenaran dan keadilan. Dibedakannya retorika menjadi tiga. Pertama, oratori (tuturan) deliberatif yang tenang dan penuh pertimbangan, cocok untuk keperluan politik dan perundangan. Setiap kata mengarah pada yang baik dan yang bijaksana. Kedua, oratori forensik yang pas untuk mengungkap kekeliruan tindakan, penyebab, serta motif-motifnya. Ketiga, oratori epideiktik yang mencerminkan kebajikan dan kejahatan. Pilihan kata, laras bicara, dan kemampuan mengendalikan gelegak emosi akan menunjukkan tabiat moral sang pembicara.

Cicero—politisi, penulis, dan orator ulung—mewujudkan retorika sebagai paduan antara kearifan berpikir dan keindahan bertutur. Menurut dia, pada saat bersamaan, seorang orator harus menciptakan tiga ”seni”: membuktikan (docere), menyenangkan (delectare), dan menyentuh perasaan (movere). Kemudian Quintilian—dalam buku De Institutione Oratoria—menguraikan lebih rinci teknik- teknik beretorika.

Jadi, retorika yang sistematis-ilmiah tidak hanya menuntut keterampilan berbicara (oratorical skills), tetapi juga sikap etis (ethical bearing). Kemampuan teknis- oratoris yang dilengkapi sikap mulia-etis itu lalu diyakini sebagai bagian dari seni hidup (the art of living). Maka, orator seperti Agathon, Polus, Licymus, Evenus, Alcimadas, Polycrates, Callippus, dan Thrasymachus memperoleh tempat terhormat dalam masyarakat. Retorika tidak hanya mengantar mereka menjadi politisi dan negarawan, tetapi juga dihormati sebagai seniman. Betapa indah kehidupan jika para politisi dan negarawan sekaligus juga seniman.

Prinsip kesopanan

Bahasa memang beragam. Ragam bahasa antara lain ditentukan oleh bidang penggunaannya, termasuk politik. Jadi, benar ada entitas bernama ragam bahasa politik, seperti dikatakan legislator kita, Effendi MS Simbolon.

Van Dijk (Parliamentary Debates, 2000) menyiratkan, kerja (utama) para politisi di parlemen adalah berdebat. Gedung parlemen dan sidang DPR merupakan panggung debat. Namun, karena mereka bukan kusir, tetapi aktor-aktor terpilih yang mengemban tugas mulia sejarah sebagai penyambung lidah—maka digaji tinggi oleh—rakyat, debat parlementer mestinya bukan debat kusir. Seturut anjuran Plato hingga Quintilian, sikap etis menjadi rambu perilaku para wakil rakyat tatkala berdebat.

Geoffrey Leech (Principles of Pragmatics, 1983) menyadari, tuturan yang melulu berorientasi pada kejelasan informasi justru berpotensi mengacaukan tujuan komunikasi. Misalnya, lalu terpicu konflik sehingga harmoni sosial terusik. Maka, Leech mengajukan Prinsip Kesopanan (Politeness Principles) yang mencakup enam maksim (rambu) komunikasi, yakni maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahhatian, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Jadi, meskipun memiliki fatsoen-nya sendiri, ragam bahasa politik seyogianya tetap etis, sesuai dengan Prinsip Kesopanan.

Saat meratapi retorika yang terkapar mati, berkelebat kisah ini. Syahdan, filsuf agung bangsa Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tze, ditanya oleh muridnya, ”Guru, apa yang pertama-tama akan Guru kerjakan andai kata Guru diberi kekuasaan memimpin negara?” Jawab sang filsuf, ”Pertama-tama saya akan memperbaiki bahasa. Mengapa? Karena selama penggunaan bahasa tidak beres, maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Akibatnya, hukum jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan.”

Sayang Kung Fu-tze tidak hidup di sini, pada zaman kini, dan menjagokan diri sebagai caleg atau capres. Kalau iya, kita pasti berbondong-bondong memilihnya.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/21/04234530/meratapi.matinya.retorika

Dahlan Iskan : RAPBN Krisis, Arena Perjudian Obama

Dahlan Iskan : RAPBN Krisis, Arena Perjudian Obama

Presiden Barack Obama minggu-minggu mendatang ini seperti memasuki arena perjudian besar di Amerika Serikat. Bukan saja untuk dirinya, juga untuk negara adikuasa itu.

Akankah ''perubahan'' yang dijanjikan selama kampanye bisa dia lakukan? Atau terganjal oleh DPR yang kini lagi membahasnya? Tantangan dari kalangan konservatif sangat kuat. Agenda perubahan yang dia ajukan memang luar biasa besarnya. Bisa dibilang seperti mengubah arah kendaraan yang sedang melaju ke utara menjadi harus mengarah ke selatan.

Dalam dua bulan ke depan ini, kita akan melihat situasi di AS mirip dengan suasana masa kampanye dulu. Obama akan banyak terjun ke lapangan, tampil di media, dan mengerahkan segala kemampuannya agar rencana anggaran tahunan (RAPBN) yang dia ajukan ke DPR tidak ditolak.

Inti perubahan yang akan dia lakukan memang tecermin dalam rencana anggaran itu. Kalau DPR menolak RAPBN tersebut (atau menerimanya tapi dengan melakukan perubahan besar), Obama berada dalam keadaan kritis hanya dalam hitungan bulan pada awal masa jabatannya.

Karena itu, Obama akan all-out memperjuangkan RAPBN-nya. Cara sukses yang pernah dia lakukan ketika mengegolkan anggaran stimulus hampir USD 1 triliun dulu akan dia ulangi. Bahkan dengan tambahan cara-cara baru lagi. Waktu itu Obama menekan wakil rakyat yang lagi bersidang dengan cara terjun langsung ke daerah-daerah yang terkena krisis.

Di situ Obama menjelaskan langsung kepada rakyat mengapa dirinya harus menganggarkan stimulus sampai sebesar itu. Kalau saja Senat menolak, maka rakyat tahu siapa yang sebenarnya membela rakyat. Perdebatan di ruang wakil rakyat itu dia imbangi dengan perdebatan langsung di tengah masyarakat.

Tapi, kini, persoalan yang dia hadapi lebih berat. Ini bukan lagi sekadar stimulus. Ini sudah menyangkut arah pembangunan negara yang sedang diusulkan untuk diubah. Anggota DPR dari Partai Republik sudah pasti akan menolak. Perubahan itu bukan saja mengubah apa yang sudah mendarah daging di masyarakat Amerika, tapi juga langsung menantang ideologi konservatif.

Obama tahu risiko yang sedang dia hadapi. Karena itu, dia menyiapkan strategi kaki seribu.

Kalau penentang utamanya, Rush Limbaugh, memiliki 25 juta pendengar setia di siaran radionya, Obama akan menggunakan 14 juta orang yang dulu mendukungnya lewat jaringan internet, e-mail, dan Blackberry. Kalau pendengar radio Limbaugh adalah pendengar yang pasif, 14 juta orang yang berada dalam jaringan e-mail Obama adalah orang yang aktif.

Jaringan itu akan dia pakai untuk menjadi kelompok penekan opini. Kalau jaringan tersebut dulunya digunakan untuk membuat Obama terpilih jadi presiden, kini jaringan yang sama digunakan untuk kampanye meloloskan RAPBN.

Bukan hanya itu. Tim Obama juga menggerakkan relawan untuk program ''mengetok pintu rumah tetangga''. Lebih dari seribu orang akan bergerak mengetok rumah-rumah orang yang dianggap menghambat pengesahan itu. Masih ada lagi gerakan yang lebih langsung: pendukungnya akan lebih rajin menelepon, mengirim e-mail, dan bicara secara langsung dengan anggota DPR yang dulu mereka pilih.

Lobi dan menekan anggota DPR akan terus dilakukan. Obama sendiri akan terus berkeliling daerah untuk bicara di depan umum, di media, dan di pertunjukan-pertunjukan lawak.

Dalam waktu dekat, kita akan melihat suasana mirip masa kampanye dulu bakal terulang di Amerika. Rasanya baru sekali ini ada sebuah RAPBN diperjuangkan seperti pemilu saja. Rakyat diajak memperdebatkannya.

Perdebatan di masyarakat akan menyaingi perdebatan di DPR. Bukan saja membicarakan uang itu akan digunakan untuk apa, tapi juga ke arah mana. RAPBN bukan dibicarakan di ruang tertutup oleh orang-orang tertentu saja di kamar hotel pula seperti membicarakan stimulus yang berakhir di KPK itu.

Apa saja persoalan rumit di RAPBN Obama?

Pertama adalah penanganan kesehatan. Sekarang ini terdapat 40 juta orang AS yang tidak tertangani oleh asuransi kesehatan. Obama akan membentuk asuransi kesehatan negara untuk orang miskin tersebut. Penentangnya menyatakan bahwa negara tidak harus menjadi agen asuransi seperti itu. Negara dianggap mengambil lahan bisnisnya pihak swasta.

Padahal, ideologi ''bisnis haruslah hanya dilakukan oleh swasta'' diyakini sebagai kunci keberhasilan AS selama ini. Tidak pantas negara dengan menggunakan uang rakyat menjalankan bisnis yang akan menyaingi usaha rakyat/swasta. Itu sudah menyangkut ''hakikat'' ideologi kapitalisme melawan sosialisme.

Lalu, soal pajak. Dalam RAPBN Obama, bisnis besar akan dikenai pajak lebih besar. Itu juga sudah menyangkut isu yang sangat sensitif di AS. Sama dengan kalau di Indonesia membicarakan soal jilbab atau Ahmadiyah atau Budha Bar.

Ideologi kapitalisme tentu menolak keras sistem pajak seperti itu. Pengusaha besar, melalui kerja keras mereka, adalah pahlawan pembangunan negara yang harus dihargai. Mengapa harus dipajaki untuk orang yang tidak mau kerja keras.

Obama sebenarnya tidak menaikkan pajak berlebihan. Dia hanya mengembalikan ke tarif pajak yang berlaku delapan tahun lalu. Tapi, kenikmatan pajak rendah itu sudah berjalan delapan tahun, sehingga mengembalikan ke tarif lama dianggap antiorang kaya. Memang, Presiden Bush yang melakukan pemotongan pajak yang sangat rendah delapan tahun lalu.

Di isu pajak ini, kalangan konservatif merasa khawatir pengusaha besar akan meninggalkan Amerika. Mereka bisa secara diam-diam memindahkan operasional perusahaan mereka ke negara yang memberi insentif pajak lebih baik.

Kota seperti New York sangat sensitif dengan isu seperti itu. Demikian pula bursa saham Wall Street. Turunnya indeks harga saham sampai menjadi sekitar 6.500 beberapa hari lalu kurang lebih akibat isu tersebut. Kalau saja pelarian modal itu sampai terjadi, timbul pertanyaan besar: apakah rencana ekonomi Obama akan berhasil? Di sini perdebatan akan sangat seru.

Tidak ada cara ampuh bagi Obama untuk mencegah larinya modal dari AS. Seruan agar mementingkan produk dalam negeri atau sejenisnya tidak akan efektif di negara demokrasi liberal. Karena itu, Obama akan menekan mati-matian negara lain (di forum G-20 di London akhir bulan ini) agar jangan memanfaatkan situasi di AS yang lagi mengenakan pajak tinggi. Obama tentu akan menekan negara yang memotong pajak dengan motif untuk menarik modal dari AS.

Soal sensitif lainnya adalah dihapusnya subsidi untuk pertanian. Itu sama sensitifnya dengan dihilangkannya subsidi pupuk di Indonesia. Di isu ini, penentangnya bukan hanya dari Partai Republik. Anggota DPR dari Partai Demokrat pun bisa-bisa akan banyak yang menentang. Mereka takut tidak terpilih lagi pada pemilu mendatang.

Obama memang akan menggerakkan jaringan partainya untuk ''menjaga'' anggota DPR dari partainya sendiri, tapi tidak mudah meyakinkan mereka. Rumah anggota DPR dari Partai Demokrat rupanya akan menerima banyak ketukan pintu di rumahnya.

Isu yang lain lagi adalah soal defisit anggaran. Dalam RAPBN yang sedang diperjuangkan ini, Obama merencanakan defisit USD 1,75 triliun. Itu sama artinya dengan 20 persen dari GDP (produk domestik bruto) Amerika. Inilah defisit terbesar dalam sejarah AS. Juga defisit dengan persentasi terhadap GDP yang luar biasa (APBN Indonesia tahun ini dibuat defisit 3 persen).

Defisit yang besar itu sama artinya dengan menambah utang yang sudah sangat besar. Bukan saja kalangan AS sendiri yang khawatir. Perdana menteri Tiongkok pun, Wen Jiabao, secara terbuka mengemukakan apakah uang Tiongkok yang selama ini ''dipinjamkan'' ke AS dalam posisi aman. Maklum, ada sekitar USD 1 triliun uang Tiongkok yang dipakai oleh AS. Obama sampai harus memberikan jaminan secara terbuka bahwa uang Tiongkok tersebut akan tetap aman.

Obama menyatakan defisit besar itu hanya sementara. Kian tahun defisit tersebut dia janjikan akan menurun. Pada akhir pemerintahannya empat tahun mendatang, defisit itu akan tinggal sekitar USD 500 miliar. Dan dalam delapan tahun ke depan sudah menjadi sangat kecil. Itulah yang diragukan penentangnya.

Kali ini juga bukan hanya dari Partai Republik, juga dari sementara kalangan Demokrat sendiri. Memang harus dipertanyakan: kalau saja terjadi arus modal keluar dari AS, apakah perencanaan itu tidak akan meleset.

Melihat dan mengikuti semua itu, kita di Indonesia seperti lagi belajar bagaimana sebaiknya APBN/APBD kita dibicarakan dan ke mana akan diarahkan. (*)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=58544

Masyarakat Antikorupsi Somasi KPK

Masyarakat Antikorupsi Somasi KPK
JAKARTA -- Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengajukan somasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan penyelidikan kasus Agus Condro. Menurut MAKI, ada indikasi KPK menghentikan penyelidikan kasus suap dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia pada 2004 itu. Koordinator MAKI H Boyamin Saiman menyatakan, jika dalam 14 hari KPK tidak memberikan jawaban, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Adapun juru bicara KPK, Johan Budi S.P., menegaskan, penyelidikan kasus Agus Condro terus dilakukan. Johan mencontohkan kasus mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna, yang membutuhkan waktu satu tahun dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Cheta Nilawaty



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Nasional/krn.20090321.160215.id.html

PDIP Janjikan Pendidikan Gratis

PDIP Janjikan Pendidikan Gratis


CALON anggota legislatif (caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Bekasi menjanjikan pendidikan gratis kepada warga setempat jika terpilih sebagai wakil rakyat di daerah tersebut.


Sebanyak 60 caleg PDIP kemarin menandatangani kontrak politik bersama Ketua DPC PDIP Kota Bekasi Mochtar Mohamad. Dalam kontrak politik tersebut, semua caleg PDIP berkomitmen mewujudkan penggratisan biaya pendidikan tingkat SMA dan SMK pada 2010,menyelesaikan perbaikan infrastruktur terhitung pada 2010–2012, dan menangani masalah banjir di Kota Bekasi. Selain itu, kontrak politik berisi dari kontrak tersebut mendukung program nasional PDIP mewujudkan sembako murah,menciptakan lapangan kerja,dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

”Jika terpilih sebagai anggota legislatif 2009–2014, mereka (60 caleg) tidak bisa menjalankannya, mereka harus siap untuk tidak dicalonkan pada Pemilu 2014 mendatang,” ujar Mochtar di Bekasi kemarin. Caleg PDIP Rikky Tambunan mengatakan, kontrak politik tersebut merupakan dorongan dari partai agar caleg dan kader PDIP tetap fokus memperjuangkan rakyat dalam rangka menyejahterakan bangsa.

”Kami akan terus berjuang agar APBD Kota Bekasi selalu prorakyat,agar bisa dinikmati langsung oleh rakyat,”katanya. (wahab firmansyah)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222876/

Membedah Suap Dana Stimulus APBN 2009

Membedah Suap Dana Stimulus APBN 2009

Oleh Adnan Topan Husodo *

KEMBALI salah satu anggota DPR dicokok KPK karena dugaan suap. Kali ini yang tertangkap tangan adalah Abdul Hadi Djamal (AHD), anggota DPR Komisi V dari Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus caleg DPR RI dapil Sulsel I. Karena tindakan korupsi itu, KPK telah menetapkan AHD sebagai tersangka dan PAN langsung memecat dirinya sebagai anggota dan pengurus partai, yang otomatis membuat pesakitan itu tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR untuk periode berikutnya.

Satu hal yang menarik dari perkembangan kasus ini adalah nyanyian tersangka AHD bahwa yang terlibat dalam kasus suap dana stimulus 2009 bukan hanya dirinya. Dalam beberapa kesempatan, AHD menyebut nama Jhonny Allen Marbun, wakil ketua Panitia Anggaran DPR dari Partai Demokrat, lantas Anggito Abimanyu, ekonom sekaligus kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, dan terakhir Rama Pratama, mantan aktivis '98, anggota Panitia Anggaran DPR RI dari PKS.

Atas pengakuan tersebut, semua orang yang diakui AHD mengetahui kasus suap dana stimulus 2009 kompak menyangkal. Bahkan, Rama Pratama dan PKS telah mengajukan somasi kepada AHD. Sangat mungkin, gugatan somasi ini akan berujung pada pelaporan pencemaran nama baik.

Dari kasus ini, ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, setiap anggota DPR yang ditangkap tangan oleh KPK, cepat atau lambat, akan memberikan informasi mengenai pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Tentu saja pengakuan semacam itu bukan tanpa dasar, karena disampaikan dalam keadaan sadar dan memiliki konsekuensi hukum jika mengandung unsur kehobongan. Artinya, tersangka yang sudah menyebut nama pihak lain dapat saja digugat balik dengan pasal pencemaran nama baik.

Anehnya, di antara semua kasus korupsi di KPK yang melibatkan anggota DPR, tidak ada satu pun anggota DPR atau pihak lain yang disebut-sebut oleh tersangka/terdakwa kemudian mengajukan keberatan melalui upaya hukum. Contoh kasus adalah Paskah Susetta, mantan anggota DPR Komisi IX -kini kepala Bappenas- yang kerap disebut-sebut oleh Hamka Yamdu dalam berbagai persidangan.

Atau, misalnya, Azwar Chesputra dan teman-temannya di Komisi IV DPR yang dikatakan Yusuf Emir Faisal terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Pelabuhan Bagan Siapi-api, Sumatera Selatan. Sementara untuk kasus suap dana stimulus yang menjadikan AHD sebagai tersangka, Jhonny Allen Marbun dan Anggito Abimanyu juga tidak pernah berencana melakukan gugatan balik meski namanya meluncur dari mulut AHD.

Bandingkan jika para anggota DPR itu, misalnya, disebut-sebut oleh media massa atau LSM terlibat dalam korupsi, tentu reaksinya akan spontan muncul dan taring kekuasaannya akan menyeringai. Barangkali, tanpa menunggu waktu yang lama, laporan pencemaran nama baik sudah disampaikan kepada polisi.

Atas hal ini, muncul beberapa pertanyaan krusial. Apakah orang-orang yang disebut namanya oleh para tersangka atau terdakwa itu memang terlibat korupsi? Jika tidak, mengapa mereka tidak berupaya maksimal menjaga atau mengembalikan nama baiknya melalui jalur hukum? Apakah ini berarti sebenarnya mereka terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui kejadian korupsinya?

Kedua, ada upaya untuk menggiring wacana suap dana stimulus APBN 2009 hanya kepada pelibatan anggota DPR di komisi V, tempat AHD bertugas. Logika yang dibangun, karena suap ini terkait dengan proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di wilayah Indonesia bagian timur yang notabene berada di komisi V dan Departemen Perhubungan sebagai mitra kerja, maka yang pasti terlibat menjadi calo anggaran ialah anggota di komisi V.

Sebaliknya, alat kelengkapan DPR lain, seperti panitia anggaran, tidak ada kaitannya sama sekali dengan komisi V. Apalagi jika anggota Panggar yang disebut AHD bertugas di komisi yang berbeda.

Menyesatkan

Terus terang, argumentasi di atas sangat menyesatkan. Oleh karena itu, saya menganggap hal tersebut sebagai upaya mengelabui fakta yang sebenarnya. Dalam dokumen kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan 23-24 Februari 2009, sangat jelas dinyatakan adanya persetujuan alokasi dan besaran dana stimulus fiskal 2009 senilai Rp 73,3 triliun oleh Panggar DPR. Dari total dana tersebut, Rp 17,0 triliun dialokasikan untuk belanja negara di mana Rp 12,2 triliunnya merupakan belanja infrastruktur.

Selanjutnya, dokumen itu menyatakan kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan merupakan bentuk persetujuan DPR yang bersifat final. Tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut.

Penegasan atas keterlibatan penuh Panggar DPR dalam pengalokasian dana stimulus terdapat pada poin yang menyebutkan bahwa rincian alokasi belanja menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ditetapkan bersama oleh Panggar dengan Menkeu 5 (lima) hari setelah rapat kerja tanggal 23-24 Februari 2009, yakni tanggal 1 Maret 2009.

Mengacu pada waktu penangkapan AHD oleh KPK pada 3 Maret 2009, semakin jelas kaitan antara proses pembahasan dana stimulus di Panggar DPR dengan lobi para calon kontraktor yang sangat mungkin berjalan sangat intens.

Bisa jadi, lobi yang berujung suap dalam belanja dana stimulus senilai Rp 12,2 triliun tersebut terjadi juga pada proyek-proyek lainnya yang ada di berbagai komisi dan departemen teknis atau pemerintah daerah. Perlu diingat, uang sebesar itu harus dihabiskan hanya dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan, yaitu Maret-Desember 2009. Potensi suap-menyuapnya menjadi kian rentan karena dana itu dikucurkan menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden.

Kembali ke pengakuan AHD, bahwa yang terlibat dalam kasus itu bukanlah dirinya sendiri, tetapi juga ada pihak lain yang lebih menentukan sebagaimana yang digambarkan olehnya dalam pertemuan di Hotel Ritz Charlton.

Untuk membuktikan kehadiran orang-orang yang disebut AHD dalam rapat tersebut, caranya tidaklah sulit. Cukup KPK meminta manajemen Ritz Charlton untuk memutar kembali rekaman CCTV di hotel tersebut pada waktu dan jam yang disebut AHD telah terjadi pertemuan empat pihak.

Jika hasil rekaman itu membenarkan pernyataan AHD, nasib orang-orang yang ikut dalam rapat informal di hotel mewah tersebut akan ditentukan oleh proses hukum selanjutnya. Bagi partai-partai yang kerap menggunakan slogan antikorupsi, seperti PKS dan Demokrat, tentu saja hal itu akan jadi pukulan telak menjelang pemilu. Bisa-bisa, tingkat kepercayaan publik menukik tajam yang akan berimbas pada dulangan suara kedua partai tersebut. Kita lihat saja gebrakan KPK selanjutnya. ***

*. Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=58394

YUDHISTIRA

YUDHISTIRA


SBY sudah benar sebagai singkatan nama Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Susilo benar karena SBY memang berusaha menjunjung tinggi etika, moral, dan akhlak. Bambang juga benar sebab SBY senantiasa berup


aya bersikap dan berperilaku ksatria penuh rasa tanggung jawab.Yudhoyono juga tepat sebagai nama seorang serdadu di masa kemelut peperangan dan kecamuk pertempuran. Namun di masa damai tanpa pertempuran, apalagi peperangan, rasanya nama Yudhoyono agak terlalu militan. Pada masa tanpa kekerasan militer, rasanya singkatan SBY lebih tepat untuk nama Susilo Bambang Yudhistira! Semua tetap sama,hanya beda untaian huruf oyono diganti menjadi istira saja, namun bisa berdampak makna lebih selaras karakter nama!

Beberapa kali, pada pertemuan di Istana Negara, saya sempat nguping perbincangan SBY dengan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Dari pembicaraan tingkat tinggi tersebut saya tidak merasa hadirnya daya hard-power sebagai alat pemecah masalah. Dengan kesantunan budi pekerti seperti karakter Yudhistira di lelakon Wayang- Purwa mau pun Mahabharata, SBY selalu memberikan solusi yang mengutamakan kepentingan rakyat tanpa suasana kekerasan.

Beda dari Bima yang berangasan dan Arjuna yang narsis, kepribadian Yudhistira memang cenderung lemah lembut, namun senantiasa lurus dan tegas terkemas dalam soft power. Memang sikap hati-hati dan penuh perhitungan Yudhistira rawan ditafsirkan sebagai ragu-ragu dalam mengambil putusan. Bahkan oleh para lawan politiknya, seperti Kurawa,secara sinis pesulung Pandawa ini dituduh sebagai penakut dan pengecut.

Memang Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang berperan mirip Batara Narada dari swargaloka itu,sempat mengeluh kepada saya mengenai sifat ragu-ragu SBY dalam mengambil keputusan, namun sebenarnya bukan pengecut atau penakut, melainkan akibat terlalu baik hati,maka enggan melukai hati siapa pun.

Sikap Yudhistira yang terlalu baik hati hingga tidak ingin melukai hati Kurawa juga sempat membuat Bima,Arjuna,Drupadi,bahkan Kresna gregetan! Saya sendiri sempat gregetan ketika SBY berlama-lama dalam mengambil keputusan mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2008.Terkesan SBY mengulur waktu akibat ragu-ragu mengambil keputusan yang memiliki kandungan dampak risiko politik dan ekonomi bukan alang-kepalang.

Terkesan SBY bimbang terombang-ambing antara pertimbangan dan perhitungan tekanan politik dengan desakan nasib rakyat. Maka ketika akhirnya SBY memutuskan untuk menaikkan harga BBM saya makin gregetan karena menganggap SBY lebih mengutamakan keselamatan politik ketimbang kesejahteraan rakyat. Beberapa hari setelah pernyataan keputusan mengecewakan itu saya sempat mempertanyakan keputusan yang saya anggap tidak merakyat itu langsung kepada SBY di kediaman pribadinya di Cikeas.

Secara sopan, halus, dengan soft-power tulus tapi tegas seperti Yudhistira, SBY memberikan penjelasan mengapa begitu lama mengambil keputusan itu. Ternyata SBY memang sekadar cermat mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin dipersiapkan untuk semaksimal mungkin mengurangi penderitaan rakyat akibat kenaikan harga BBM, yang tidak bisa tidak, memang harus dilaksanakan akibat kenaikan harga minyak dunia yang merajalela.

Terbukti setelah harga minyak dunia merosot, SBY langsung konsekuen memerintahkan, bahkan memaksakan, harga BBM di Indonesia harus ikut merosot! Saya bukan anggota partai politik, juga tidak memiliki ambisi politik, maka bukan calon anggota legislatif, calon bupati, calon gubernur, calon wakil presiden apalagi calon presiden. Karena itu tidak ada yang perlu curiga, khawatir, apalagi jijik bahwa naskah ini saya tulis demi menjilat apalagi berkampanye bagi pihak mana pun juga.

Sama sekali tidak ! Saya menulis naskah ini berdasar nurani atas kenyataan yang saya lihat, dengar, dan rasakan secara pribadi. Saya yakin para peserta Pemilu 2009 tentu sama sekali tidak akan terpengaruh— secara positif mau pun negatif—oleh isi sebuah naskah sederhana yang hanya merupakan pendapat subjektif saya seorang diri belaka, tanpa mau akibat memang tidak mampu mewakili pendapat seluruh rakyat Indonesia! MERDEKA! (*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222881/38/

Pak Wali Ngontel Sambangi Rakyat

Pak Wali Ngontel Sambangi Rakyat
Wajah Sri Hesti gelisah. Berulang kali ia melongok ke ujung jalan, berharap tamu yang sudah ditunggu selama satu jam segera tiba. Begitu pula wajah puluhan orang yang berkumpul di bawah tenda, kemarin pagi. Mereka telah menanti sejak pukul 07.00 demi memberikan sambutan meriah kepada tamu istimewa yang dijanjikan hadir.

Tak lama kemudian, sang tamu istimewa tiba. Dialah Wali Kota Surakarta Joko Widodo, hadir beserta rombongan. Tak seperti biasa, Joko dan rombongan bersepeda. Sepeda diparkir, peluh diseka. Hari ini jadwal Pak Wali mengunjungi Kampung Ngipang, RT 01 RW 21, Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari.

Gamelan pun ditabuh, makanan ringan--ketela dan berbagai jenis jamu gendong--diedarkan. Giliran masyarakat menumpahkan unek-unek mereka kepada Joko, yang telah memimpin Surakarta sejak 2005. “Kami berharap Pak Wali memberi bantuan perbaikan jalan yang rusak akibat banjir,” ucap Jumiyat, Ketua RT setempat. Sedangkan Sri Hesti berharap Joko membantu pembangunan gedung posyandu.

Joko pun tanggap. Dia menyatakan bantuan perbaikan jalan akan segera direalisasi. “Bantuan sudah ada dan akan terus kami pantau. Jika masih kurang, ya, ditambahi sendiri,” katanya, disambut gelak tawa masyarakat. Dalam kesempatan itu dia memberikan bantuan Rp 37 juta untuk perbaikan fasilitas umum. Sedangkan posyandu, Joko sanggup setor Rp 50 juta.

Program kunjungan ini ia sebut Mider Projo. Sejak tiga tahun lalu Joko setiap Jumat dua pekan sekali bersepeda keliling wilayah Kota Surakarta. Ia mewajibkan kepala dinas, kepala bagian, dan kepala kantor ikut berkeliling. “Dengan begitu, mereka mengetahui langsung permasalahan di lapangan,” ia menjelaskan.

Dia mengaku memiliki daftar absensi pejabat yang sering mbolos saat acara Mider Projo. Absensi itu ia gunakan sebagai salah satu tolok ukur saat pergeseran posisi. “Pejabat jangan hanya di kantor. Manfaatnya tidak hanya keputusan yang akurat, tapi badan juga sehat,” tuturnya.

Setelah lagu Caping Gunung diiringi gamelan selesai, Joko, yang didampingi istrinya, Iriana, pamit pulang. Warga berjejer, berebut untuk berjabat tangan sembari mengucapkan terima kasih. Tapi kali ini Joko tak mengayuh pit onthel. Mobil dinas telah menunggu. Matahari kian terik, dan sederet tugas lain menanti Joko di kantor. UKKY PRIMARTANTYO



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Berita_Utama-Jateng/krn.20090321.160153.id.html

Calon Presiden dan ‘New Media’

Calon Presiden dan ‘New Media’
Lily Yulianti Farid, penulis, aktif mengembangkan citizen journalism

I even have read those messages that have started with a sentence like "I know that the president is not going to read this message..."

(Blog Mahmud Ahmadinejad)

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blognya pada 14 Agustus 2006, dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog tersebut melampaui angka 12 ribu di hari pertama. Dan ketika berita ini tersebar ke seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog tersebut saking padatnya kunjungan warga maya (netizen).

Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik Amerika Serikat dan Barat ini untuk menyapa dunia melalui blog memang menjadi berita di kala itu. Ada yang memuji, tapi tak sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi manusia di Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk terhadap blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda terselubung rezim yang dipimpinnya.

Meski tak banyak tulisan yang di-posting oleh Ahmadinejad dalam tiga tahun terakhir dan bahkan tak ada artikel sepanjang 2008, ia setidaknya telah menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam empat bahasa--Persia, Arab, Inggris, dan Prancis--itu diawali dengan biografi panjang. Ketika respons pengunjung memuncak, sementara hasil posting-nya semakin gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya meluangkan waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) memeriksa semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan yang disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti.

Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blognya, di pengujung 2007 Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu membaca pesan yang masuk daripada menulis posting baru. "Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan kalimat 'saya tahu bahwa Presiden tidak akan membaca pesan ini’.”

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan tetap terus mengalir dan ia memiliki "kolam ide" berkat komentar dari segala penjuru dunia. Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti aktivitasnya di situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah kanal komunikasi yang didesain agar sang Presiden bisa bercakap-cakap secara lebih personal dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang sejak Rabu lalu (4 Maret) mengisi lahan blogger tamu Kompasiana. Posting pertama berjudul “Assalamu Alaikum”, tulisan dua paragraf sebagai salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar pembaca. Beberapa jam sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menulis blog di Kompasiana. Posting pertama Prabowo berjudul "Pengalaman Singkat Saya Bermilis" ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen puluhan komentar dan meroket sebagai salah satu tulisan terpopuler.

Respons yang tumpah-ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. Pejabat, politikus, dan newsmaker lainnya yang memutuskan membuat media personal pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang selama ini diberitakan kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya sendiri. Bagi sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah tantangan awal untuk menumbuhkan kepercayaan audiens, meski tentunya agak sulit meyakinkan audiens bahwa calon presiden dan wakil presiden yang supersibuk bakal punya waktu membaca semua komentar.

Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah cerminan rakyat "dunia nyata" yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakannya adalah rakyat dunia maya merupakan audiens yang bisa langsung merespons secara kritis dan menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya terhadap suatu pandangan.

Gelombang new media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat pemerintah, politikus, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus new media, yakni orang-orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media alternatif yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas terbentang dari hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah penguasa dan politikus korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar yang kehilangan independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang.

Pada Pemilu 2009, peran new media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang telah dicatat Barack Obama dalam pemilihan presiden AS, ketika barisan pendukung dan relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat web-based organizing campaigns. Di Tanah Air, politikus ramai-ramai mengikuti jejak Obama, merambah blog, serta SNS (social network system), seperti Facebook dan Youtube. Tak cukup beriklan di media mainstream, tim komunikasi calon legislator dan calon presiden pun terjun ke media alternatif.

Sayangnya, penguasa dan politikus yang terbiasa dirubung staf itu banyak yang terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau calon presiden lainnya, menemui publik lewat blog merupakan hal yang penting mengingat bahwa netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok yang mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil, meski hanya 15 menit sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Opini/krn.20090321.160188.id.html

Police Watch: Herman SS Ditekan Kapolri, Diintervensi SBY

Police Watch: Herman SS Ditekan Kapolri, Diintervensi SBY
Laurencius Simanjuntak - detikNews



Jakarta - Mantan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman SS tiba-tiba melunak setelah dipanggil Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri 20 Maret kemarin. Padahal, sebelumnya polisi bintang dua ini begitu lantang berbicara tentang intervensi Mabes Polri terhadap dirinya. Ada apa?

"Dari kasus tersebut memang terlihat sekali secara nyata tekanan yang dihadapi," ujar Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane saat dihubungi detikcom, Sabtu (21/3/2009).

Tidak hanya itu, menurut Neta, dipanggilnya Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat terbatas jajaran Polkam di Istana Negara Kamis 19 Maret lalu, juga turut mempengaruhi sikap lunak Herman.

"Analisa saya, bisa dikatakan SBY juga intervensi," tegas Neta.

Menurut Neta, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi penanganan tindak pidana pemilu. Para Kapolda, kata Neta, nantinya tidak berani untuk mengusut aduan dari Panwaslu setempat tentang pelanggaran pidana pemilu.

"Buat apa panwaslu dibentuk kalau laporannya hanya akan dimasukkan ke keranjang sampah," tandasnya.

Tindakan Herman yang mengungkap intervensi Mabes Polri dalam kasus dugaan pemalsuan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jatim kepada publik dianggap Kapolri telah melanggar kode etik. Setelah ditegur, Herman mengaku salah atas tindakan yang menurutnya di luar prosedur.
(lrn/lrn)

http://www.detiknews.com/read/2009/03/21/052558/1102899/10/police-watch-herman-ss-ditekan-kapolri-diintervensi-sby