BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pembredelan Media

Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 14.01

Pembredelan Media
JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi membatalkan ancaman pembredelan atas media massa melalui pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD. Ketua Mahkamah Mahfud Md. menyatakan pasal 98 ayat 2, 3, dan 4 serta pasal 99 ayat 1 dan 2 menyebabkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bertentangan dengan konstitusi.

”Menyatakan mengabulkan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud kemarin. Pasal itu dinilai tak konsisten dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yakni mekanisme tindakan terhadap pers harus melalui jalur Undang-Undang Pers.

Uji materi terhadap lima pasal dalam Undang-Undang Pemilu diajukan delapan pemimpin redaksi media cetak, yakni Pemimpin Redaksi Harian Terbit Tarman Azzam, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan Kristanto Hartadi, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Sasongko Tedjo, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Ratna Susilowati, Pemimpin Redaksi Media Bangsa Badiri Siahaan, Pemimpin Redaksi Koran Jakarta Marthen Selamet Susanto, Pemimpin Redaksi Warta Kota Dedy Pristiwanto, serta Pemimpin Redaksi Cek dan Ricek Ilham Bintang.

Mahkamah melalui putusannya menyatakan seluruh dalil pemohon atas pasal itu cukup beralasan. Pasal 98 ayat 2 menyatakan terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan pasal 93, 94, dan 95 Undang-Undang Pemilu, KPI atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary mengatakan tidak mengatur media. EKO ARI WIBOWO



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/25/Nasional/krn.20090225.157906.id.html

Cebolang

Cebolang



TEATER itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terkadang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya, ekspresinya bisa tangis.


Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang satu ke idiom yang lain.


Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang mana pun kini, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khazanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu—sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri—adalah sebuah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang.


Sejarah kebudayaan itu dapat disebut ”Jawa”, tapi yang tak dapat ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang sering dianggap ”kasar” dan ”kurang-Jawa”.


Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di Kota Slawi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir tak pernah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang tanpa dibayar.


Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang kiai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia seorang santri yang keras.


Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia tak bertahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya, sebab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke Solo dan kuliah di STSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wilayahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya. Selain mendalang—dan jadi penerus ayahnya—ia ikut dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab dengan Rendra.


”Saya ini seperti Karna,” katanya pada suatu ketika, ”Tak punya bapak yang jelas. Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain.”


Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.


Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang melarikan diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram menyerbu.


Gundono beruntung. Versi yang dipakainya—dengan judul Cebolang Minggat—bukanlah teks yang seperti mumi di museum. Ia bekerja sama dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan mengatakan: ”Ini adalah Centhini abad ke-21.”


Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. Ia, tulisnya, ”seorang petualang dan pencinta Jawa”. Ia menggubah kembali 4.200 halaman, 722 tembang, 2.000 bait lebih itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandraan yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan teks asli. Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah. Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari Gargantua Rabelais. ”Centhini, c’est Rabelais!” kata sejarawan Onghokham kepada sang penyadur.


Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya Centhini—teks yang merupakan pertemuan berbagai alir. Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan, nostalgia, dan kreativitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti dikatakan dalam pengantar, adalah ”pengembaraan edan luar batas”.


Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu Inandiak duduk di depan laptop. Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis, lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: ”Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana…”.


Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini agak kikuk, dan Inandiak melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan akhir—tapi itu justru yang menyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundono meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam upacara santri, dan gamelan, dan joget, dan suara bariton yang berkisah….


Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang melarikan diri dari rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang. Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan ”ilmu yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lainnya”.


”Ayahanda, ilmu apa itu?”


”Cinta.”


Goenawan Mohamad



http://tempointeraktif.com/hg/caping//2009/02/23/mbm.20090223.CTP129603.id.html

Mengintip Gila Belanja Orang Kaya Indonesia

Mengintip Gila Belanja Orang Kaya Indonesia
Nurul Hidayati - detikNews



Jakarta - Gila belanja orang kaya Indonesia selama ini hanya diobrolkan di kalangan terbatas. Yang bukan komunitas sosialita, hanya bisa mendengar dari sas-sus.

Namun untunglah ada Amelia Masriari. Ikon shopaholic Indonesia ini mengabadikan kegilaan belanja orang kaya Indonesia di bukunya yang masuk deretan "buku laris" di toko buku terkemuka: Miss Jinjing.

Dalam bukunya, lulusan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini menuturkan kegilaan belanja orang kaya Indonesia. Dia mengutip Survey Singapore Tourism Board yang menunjukkan bahwa pengunjung Singapore Great Sale terbesar adalah orang Indonesia.

"Makanya tidak usah heran kalau iklan Uniquely Singapore nyaris setiap hari muncul setengah halaman koran nasional," tulis perempuan yang berprofesi sebagai personal private buyer ini.

Lalu mengapa orang Indonesia doyan belanja ke Singapura? Jawabnya, bukan karena harga murah atau lebih beragam, namun karena lebih bebas. Dandan seadanya oke saja, tanpa harus dilirik dengan pandangan sinis oleh orang lain dan sales attendant butik.

"Coba kalau di Indonesia, berpenampilan seadanya pasti malah dipandang sebelah mata, melecehkan. Pokoknya harus rapi, wangi dan niat dandan," tulis ibu 3 anak ini.

Belanja di Singapura juga bebas pelukan atau cipokan di pinggir jalan. Coba di Indonesia!

Hong Kong Tourism Board, Malaysian Tourism Board dan Thailand Tourism Board, juga sangat menyadari bahwa rakyat Indonesia pangsa potensial. Karena itulah mereka rajin pasang iklannya. Hasilnya jelas.

"Orang Indonesia di Cina terkenal sangat heboh jika melihat barang bagus. Apalagi mereka tidak terlalu sering menawar harga. Jelas aja ini bikin para penjual senang melihat tampang Indonesia lewat di depan tokonya. Malah sering dipanggil, Miss...miss Indonesia, let's have a look..." cerita pengasuh blog belanja-sampai-mati.blogspot.com ini.

Penggila belanja Indonesia juga eksis di Eropa. Suatu ketika Amelia ke gerai Chanel di Saks Fifth Avenue, New York. Begitu melangkahkan kaki masuk, si Beauty Assistant yang tahu Amelia orang Indonesia langsung bilang begini,"Mrs XXX baru aja tadi dari sini."

Bahkan, sales assistant Chanel di BGM bisa menyebutkan dengan sangat fasih nama keluarga pejabat yang nyonya besarnya (TS) seminggu lalu habis beli tas di butik tersebut. Pelanggan lainnya ada nyonya TAB dan DP.

Amelia juga menceritakan, butik Etienne Aigner di Muenchen pernah mengalami kehebohan gara-gara seorang ibu pejabat Indonesia setingkat menteri -- plus rombongan, datang memborong. Sebanyak 80 tas dibeli oleh si Nyonya dan rombongannya pasti ikut beli, entah berapa.

"Sampe-sampe tuh butik Aigner kehabisan barang dan minta diambil dari gudang lagi," tulis Amelia.

Ketika iseng ditanya oleh seorang penjaga butik tentang keperluan tas tersebut, dengan entengnya si ibu itu menjawab, "Untuk oleh-oleh keluarga di kampung."

Jelas oleh-oleh yang supermahal! Sebab jika tas Aigner satu bijinya paling murah Rp 8 juta, berarti 80 tas itu sejumlah Rp 640 juta. Hanya untuk oleh-oleh?

"Ditambah lagi nih, denger-denger sebelum tiba di Muenchen, mereka terlebih dulu ke Paris. Mereka juga melahap butik Hermes, memborong setidaknya 40 tas - birkin, garden tote bag, lindy bag, kelly bag dan lain-lain," tulis Amelia yang jadi ngiler.

Info Amelia yang satu ini tak boleh dilewatkan: dari sales assistant di Hermes, salah satu kolektor tas Hermes terlengkap di dunia adalah seorang ibu mantan pejabat setingkat menteri asal Indonesia. Konon, beliau ini mempunyai koleksi tas Hermes yang tergolong sangat lengkap dari segi model dan warna. Sedikitnya dia punya 30 pieces!

"Coba bayangkan jika harga Hermes rata-rata 50 juta/pcs, artinya nilai koleksinya minimal 1,5 miliar!" tulis Amelia. Uhuk, uhuk, bikin keselek! (nrl/iy)

http://www.detiknews.com/read/2009/02/25/103222/1090170/10/mengintip-gila-belanja-orang-kaya-indonesia

Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu

Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu
Djoko Suud Sukahar - detikNews



Jakarta - Imej politik sebagai 'alat menipu' dan politisi sebagai 'penipu' sekarang mulai menjadi kenyataan. Rakyat kini tidak lagi 'mengenal' partai politik dan tokoh politik. Semuanya dianggap sama, sama-sama 'pembeli'. Disitulah rakyat bisa 'berjualan'. 'Menjual' suara pada siapa saja yang berhasrat 'membeli'. Inilah negatifitas lokal yang selama ini tertutupi kearifan lokal tampil secara telanjang.

Politik uang rasanya tak perlu diributkan. Undang-undang yang menyoal itu sudah tertimbun buku-buku tebal di perpustakaan. Disebut begitu, karena semua pihak sedang asyik melakukan transaksi jual-beli suara. Rakyat 'menjual', dan para calon wakil rakyat yang membelinya.

Transaksi macam ini di berbagai daerah memang berbeda-beda. Ada yang menjual dan membeli langsung, tapi ada pula yang pakai cara pseudonim. Itu campur-aduk dengan tradisi dan budaya setempat. Taklah heran jika sebagian terendus media dan diberitakan. Kendati sebagian besar tidak terekspos karena berbagai alasan.

Namun berkat itu, di Jawa binatang bunglon beranak-pinak. Di kawasan Indonesia Timur telur cecak menetas tak terbilang banyaknya, dan di wilayah utara, meliputi Maluku, Ternate, Tidore, Sulawesi, Sangihe, Talaud serta Miangas dan Marore politik dubo-dubo berbiak dengan suburnya.

Binatang bunglon memang bisa berubah warna sesuai tempat yang dipijak. Satwa mimikri ini di Jawa sebagai simbolisasi manusia plin-plan. Tidak teguh pendirian, tapi anehnya teguh tujuan dalam mengeruk keuntungan dan demi penyelamatan. Di ranah politik, bunglon figur manusia mencla-mencle. Dan itu diasumsikan sebagai jatidiri politisi serta pemilih oportunis.

Di Indonesia Timur, binatang yang bertabiat menyerupai bunglon adalah cecak. Binatang ini kendati tak bisa berubah warna, tapi dia punya watak yang mirip-mirip dengan bunglon. Cecak kalau terdesak dan ingin kabur ke lain hati selalu meninggalkan jejak dengan melepas sebagian ekornya. Dan watak yang mengesankan konsekuen dan konsisten itulah yang membuatnya dipersamakan dengan kejelekan bunglon.

Sedang di kawasan 'Indonesia Utara', istilah umum untuk sifat peniruan bunglon dan cecak itu disebut 'politik dubo-dubo'. Ini sebuah strategi meruntuhkan lawan, dengan memecah-belah kekuatan siapa saja yang ingin berkuasa. Memang amat mirip politik penjajah, karena kelahirannya distimulasi oleh devide et impera buatan Belanda.

Negatifitas lokal itu yang sekarang tampil telanjang. Penampilan itu terjadi serentak. Semula pola ini merasuk ke dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bertabur uang, dan mendekati pemilihan umum ini menjadi 'senjata rakyat' dalam bertransaksi. Transaksi untuk 'mengkadali' para calon legislatif (caleg) yang ambisius tampil sebagai pemimpin.

Memang 'politik rakyat' itu dipraktekkan bukan untuk meraih kekuasaan. Mereka melakukan itu dengan tujuan yang amat sederhana, yaitu meraup uang. Materi itu yang disasar. Dengan 'gaya lokal' mereka beraksi, dan dari aksi itu maka para caleg itu akan masuk perangkap. Bukan jadi 'penipu', tapi malah jadi korban 'penipuan rakyat'.

Kesibukan 'penipu' yang ramai-ramai 'ditipu' rakyat itulah yang kini gegap di se-antero negeri. Tiap caleg dengan rela hati menghamburkan uang miliaran rupiah untuk 'ditipu' rakyat. Harapannya membubung ke angkasa, yakin jabatan wakil rakyat bakal disandang.

Itu pula yang membuat orang Madura menyebut caleg itu sebagai 'calegen', orang kesedak. Bisa mati karena kaget dengan perolehan suara yang di luar dugaan. Bisa stroke akibat yang sama. Atau mungkin jadi gila karena jatuh miskin dan tidak menjabat apa-apa.

Adakah ini yang disebut manusia sakti di abad modern? Hendak stroke dan menjadi gila dipamer-pamerkan. Serta mendekati ajal tiba memajang photo dimana-mana, meniru Ronggowarsito yang mampu meramal hari kematiannya sendiri? Naudzubillahi mindzalik !

(iy/iy)

http://www.detiknews.com/read/2009/02/25/103239/1090184/103/para-penipu-ramai-ramai-kena-tipu

Nasib Guru Setelah Sertifikasi

Nasib Guru Setelah Sertifikasi


Oleh M As'adi

Kusnan, salah seorang guru SMP di Temanggung, Jawa Tengah, ke mana-mana kini menenteng laptop dan mengendarai motor baru. Koleganya, Suyanto, pun lebih nyaman bolak-balik rumah ke sekolah karena Avanza warna silver selalu menyertainya.

Memang, tak sedikit kini, guru di daerah Temanggung yang berkendara roda empat, meski keluaran tahun 1980-an alias mobil lawas, seharga Rp 15 juta sampai Rp 20 juta.

Pun demikian dengan Nurilah, guru SMP yang suaminya pekerja swasta, sekarang bisa bernapas lega. Setelah hampir tujuh tahun menerima sisa gaji sekitar Rp 300 ribu karena dipotong utang, Nurilah kini kembali menikmati penghasilan yang lumayan.

Perubahan ekonomi kalangan pendidik yang selama ini hidup ngos-ngosan, terjadi setelah pemerintah memberikan tunjangan profesi melalui program sertifikasi. Bagi guru yang lulus program sertifikasi, setiap bulan akan menerima tunjangan profesi yang besarnya setara gaji pokok.

Peningkatan penghasilan cukup besar ini, tak ubahnya seperti pengentasan 'kemiskinan' para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Apalagi, bagi suami istri yang berprofesi sama dan keduanya telah lolos sertifikasi, penghasilan Rp 10 juta per bulan sudah di tangan.

''Selain untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak, penambahan penghasilan ini saya gunakan pula untuk membeli laptop dan menambah perbendaharaan buku. Masak kalah dengan murid yang sudah maju dalam olah teknologi,'' kata Kusnan, kepada Republika, pekan ini.

Bagi Kusnan, yang sehari-hari mengajar matematika ini, berkah kelulusannya dalam program sertifikasi guru membuatnya dapat menyisihkan sebagian gaji. Hal yang hampir tak pernah terpikirkan sebelumnya. ''Jangankan membeli laptop, untuk memenuhi kebutuhan keseharian saja sudah berat,'' katanya.

Setiap kali tunjangan yang diberikan per tiga bulan itu diterima, Kusnan lebih leluasa membeli buku-buku yang selama ini tak mampu dibelinya. Buku jelas sangat penting untuk memperkaya wawasannya dalam mengajar.

Dan dengan menaiki motor barunya, kegiatan kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang diadakan setiap sepekan sekali, tak lagi luput diikuti.

Lain Kusnan, lain pula Suyanto. Setelah lulus program sertifikasi guru yang diberlakukan mulai 2008, berbekal gaji Rp 4,6 juta per bulan, ditambah penghasilan istrinya sekitar Rp 2 juta yang berprofesi sebagai PNS, Suyanto lebih mendahulukan membeli Avanza bekas seharga Rp 70 juta.

Dengan cara kredit, tergapailah kendaraan impiannya itu. ''Dari pendapatan sekarang, saya bisa mengajukan kredit Rp 100 juta. Kalau dicicil sepuluh tahun, sedikitnya masih punya sisa Rp 2 jutaan, ditambah gaji istri untuk memenuhi kebutuhan hidup,'' katanya.

Tunjangan profesi setelah kelulusannya dari program sertifikasi Depdiknas itu, dirasakan Nurilah benar-benar sebagai berkah. Tujuh tahun lalu, Nurilah terpaksa berutang Rp 30 juta. Dana itu dipakai untuk menambal biaya anaknya yang hendak masuk ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Belum lagi utang itu lunas terbayar, anak keduanya menyusul ke jenjang serupa. ''Sisa utang saya waktu itu tinggal Rp 20 juta. Lalu saya tutup, dan berutang lagi Rp 60 juta, masih ditambah utang ke koperasi. Padahal, gaji saya sebelum sertifikasi hanya Rp 2,3 juta,'' katanya.
Setiap bulan, dia mesti mencicil ke bank Rp 1,4 juta untuk jangka waktu sepuluh tahun, ditambah cicilan koperasi Rp 600 ribu. Pendapatan dari suaminya sebagai pekerja swasta, hanya mampu untuk membiayai kos dan uang makan kedua anaknya di Yogyakarta.

''Setiap semester, saya selalu pinjam koperasi. Ya, gali lubang tutup lubanglah. Tapi sekarang lumayan, walau sedikit, tapi masih bisa menabung,'' katanya.

Bambang, seorang guru SD, setelah lolos sertifikasi, merasakan hidupnya lebih nyaman. ''Begitu menerima tunjangan untuk tiga bulan pertama sebesar Rp 4,6 juta, saya langsung berhenti ngojek,'' ungkapnya.
Bahkan, Yoga yang mengajar di sebuah SMP, lantaran istrinya lulus sertifikasi, kini sudah bisa membuka tabungan haji. ''Alhamdulillah, bisa mencicil utang dan punya tabungan haji.''

Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan berkualitas.

Meningkatnya penghasilan guru ini, memunculkan fenomena menarik. Pengamat pendidikan yang juga Kepala SMK Negeri 2 Temanggung, Hendro Martono, mengungkapkan, sebagian guru memilih menggunakan tunjangan itu untuk konsumtif, tapi sebagian lainnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas profesinya.

Secara umum, kata Hendro, belum terlihat perubahan profesionalisme guru secara signifikan sebagai akibat langsung kenaikan tunjangan profesi itu. ''Saya belum melihat ada perubahan sikap yang mendasar. Tunjangan profesi itu baru pada meningkatkan penghasilan.''

Peningkatan penghasilan melalui tunjangan profesi, paparnya, masih sebatas menjamin guru yang lulus sertifikasi tak lagi dibebani persoalan kebutuhan hidup. Dari enam guru yang lulus sertifikasi di sekolah pimpinannya, dia mencontohkan, belum ada satu pun yang menunjukkan upaya peningkatan profesi.

''Memang ada yang membeli laptop supaya tidak gagap komputer, yang merupakan salah satu deskripsi kompetensi,'' katanya. Guru yang punya kemauan dan kesadaran untuk meningkatkan profesi dengan melakukan investasi produktif, masih jauh dari harapan. ''Ini tak lepas dari sistem sertifikasi, yakni portofolio tanpa uji kompetensi.''

Penilaian portofolio, menurutnya, tak lebih hanya pada penghargaan. Pertimbangan masa kerja, misalnya, menjadi semacam konversi keprofesionalan guru.

Atau dengan kata lain, masa kerja dikonversi dengan keprofesionalan. ''Artinya, portofolio hanya merupakan pengakuan bahwa yang bersangkutan sudah profesional, meski pengakuan itu belum tentu benar.''

Hendro lebih setuju sistem sertifikasi melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). ''PLGP lebih menjamin, karena melalui pendidikan dan latihan, tidak hanya sekadar berkas.''

Melihat kenyataan saat ini, bagi guru yang telah lolos sertifikasi disadarkan, ada satu konsekuensi bahwa tunjangan profesi bukan sekadar meningkatkan penghasilan. Namun, disertai upaya pengembangan diri serta meningkatkan profesionalismenya.

''Ada dua opsi, pertama pemerintah menfasilitasi memberi pelatihan dan pendidikan, kedua guru-guru memiliki kesadaran untuk terus belajar atau disadarkan,'' kata Hendro.

Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Temanggung, Milono, mengaku belum tahu persis dampak sertifikasi itu. Dalam waktu dekat penelitian di lapangan akan dilakukan.

''Saya tahu baru sebatas cerita dan oborolan. Untuk mengetahui secara persis, kami berencana meneliti, apa yang terjadi setelah guru lolos sertifikasi dan menerima tunjangan,'' katanya.

Pengangguran dan Perekonomian

Pengangguran dan Perekonomian


Di masa kampanye saat ini,salah satu topik populer yang selalu diperdebatkan adalah angka pengangguran. Perdebatan di media massa tampak bersemangat dan penuh percaya diri walau sejatinya terkadang menjurus ke pertunjukan pemahaman yang masih jauh dari situasi faktual.


Besarannya melulu hanya dikaitkan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran yang meningkat disimpulkan sebagai kegagalan dalam mengelola pertumbuhan ekonomi.Padahal, keterkaitan antara keduanya cukup kompleks.

Tiga Pola Hubungan

Menghubungkan keduanya membutuhkan kehati-hatian.Setiap angka perlu dipahami tidak saja dari konsep definisi yang melatarbelakanginya, tetapi juga dari karakteristik masyarakat yang membangun bunyi dari suatu angka.

Jika ini kurang dipahami, kita akan bingung sendiri.Sebagai contoh ketika angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan (TW) II/2008 (year on year) sebesar 6,4%, angka pengangguran pada Februari tahun tersebut menunjukkan 8,46%; ketika pertumbuhan di TW III turun menjadi 6,1%, angka pengangguran juga turun ke angka 8,39%.

Menjelaskan fenomena angka pengangguran dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi memang tidak mudah.Untuk kasus Indonesia, dari perspektif sosial budaya, angka pengangguran sekaligus merefleksikan tiga karakteristik perkauman besar sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pertama, kelompok masyarakat yang sensitif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Penambahan atau penurunan persentase pertumbuhan ekonomi akan, secara umum,sangat berpengaruh terhadap naik turunnya angka pengangguran. Di sini akan berlaku hukum elastisitas tenaga kerja di mana 1% pertumbuhan ekonomi akan menurunkan sekian persen angka pengangguran.

Domain ini sebagai karakteristik dari kelompok pencari kerja terdidik yang tinggal di lingkungan elite atau menengah kampung-kampung urban.Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang membuka kesempatan kerja baru akan ditangkap oleh kelompok ini untuk bekerja di sektor formal.

Dinamika perekonomian sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar kerja kelompok tersebut. Kecenderungan ini pun tidak begitu saja dapat diasumsikan secara linier. Karena, jika pertumbuhan ekonomi menghasilkan kesempatan kerja yang kurang diminati dan mereka yang sedang mencari pekerjaan masih memiliki daya topang ekonomi keluarga yang relatif baik, mereka tetap akan berada di kelompok yang menunggu dan akan tergolong sebagai penganggur.

Kedua adalah kelompok kurang terdidik dan miskin,tinggal di daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan perdesaan yang berbudaya tradisional monodoksi (yang dalam istilah Piere Bourdieu, tokoh postmodernisme, disebut sebagai kelompok doxa). Kelompok ini tidak akan terpengaruh langsung oleh dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Pada saat ekonomi tumbuh atau melamban, mereka tetap bekerja guna menyambung hidup.Apa saja yang bisa dikerjakan,mulai dari jenis pekerjaan serabutan, buruh tani, pedagang asongan,menjual jasa sebagai tukang semir sepatu, tukang becak, tukang cukur,kuli angkut atau bahkan bekerja sebagai pemulung.

Kelompok ini justru merupakan lapisan terbesar dari total angkatan kerja Indonesia. JH Boeke, peneliti Belanda ternama di akhir abad ke-19 yang mengkaji tentang dualisme ekonomi di Hindia Belanda dan Clifford Geertz yang memberi pencerahan tentang proses involusi di sektor pertanian, memiliki pandangan yang sama bahwa di kelompok masyarakat bawah, tekanan ekonomi justru acap disiasati dengan peningkatan kebersamaan membagi kue kesempatan ekonomi yang kecil (involusi).

Penduduk akan beramai-ramai bekerja melakukan sharing labour (sekaligus sharing poverty).Dapat dipahami jika semakin sulit perekonomian di daerah kantongkantong kemiskinan, angka pengangguran justru mendekati nol%. Ketiga, kompleksitas dinamika hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh proses transformasi budaya pada lapisan menengah di Indonesia.

Di antaranya transisi pola hubungan emosional dalam rumah tangga (antara suami dan istri) ke arah yang lebih terbuka, terjadinya penurunan fertilitas yang memungkinkan seorang ibu memiliki waktu yang lebih luang, dan semakin renggangnya norma yang restriktif terhadap wanita untuk bekerja.

Maka peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mendorong kaum perempuan “rumahan” (yang semula tidak digolongkan sebagai angkatan kerja) untuk bekerja di luar rumah. Kecenderungan ini akan mendesak para pencari kerja aktif untuk tetap menganggur.

Pertumbuhan ekonomi, dalam konteks tertentu dan pada tahapan pembangunan yang masih transisional, dapat saja justru akan meningkatkan angka pengangguran. Angka pengangguran akan berkorelasi secara negatif dan prediktif dengan pertumbuhan ekonomi, berlaku di negara-negara yang telah maju yang semua penduduknya berpendidikan tinggi dan perekonomiannya didominasi sektor formal.

Jangan Gegabah

Angka pengangguran memang terlihat sederhana dan dengan semena- mena digunakan untuk mengkritik kinerja pembangunan atau sebaliknya mengukur keberhasilan pembangunan. Padahal di balik angka tersebut jalinan kompleksitasnya tidak cukup sederhana, terkandung beragam dimensi sistemik pembangunan yang sangat kompleks.

Sangat gegabah untuk terlalu berani membuat target-target angka pengangguran yang dipatok pada posisi rendah hanya karena latar belakang asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan tinggi.Terlalu menyesatkan kalau serta-merta secara linier dan terkesan menggampangkan kita mengatakan: setiap pertumbuhan perekonomian makro pasti akan menurunkan angka pengangguran atau sebaliknya.

Setiap kelompok spektrum budaya dan lapisan sosial masyarakat memiliki pola-pola sendiri yang kalau disatukan dalam suatu pola nasional akan menghasilkan pola yang terkadang tidak berpola.(*)

Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Humas dan
Hukum Badan Pusat Statistik,


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/216689/

Indikasi KPK Mulai Goyah

Indikasi KPK Mulai Goyah

Oleh Adnan Topan Husodo *

Jika boleh disebut, prestasi KPK pada awal 2008 memang mengagumkan. Beberapa anggota DPR diseret karena berbagai praktik suap dan indikasi pemerasan. Demikian halnya sebagian pejabat BI telah menjadi pesakitan karena kasus korupsi dana YPPI.

Tetapi, memasuki awal 2009, derap KPK dalam menangani kasus korupsi kakap justru perlahan-lahan menurun. Bisa dikatakan KPK mengalami masa paceklik. Meskipun selalu ada kasus korupsi yang ditangani KPK, bobot kasusnya menjadi pertanyaan besar.

Terbaru, KPK berhasil mengungkap kasus dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian alat kesehatan (rontgen) di Departemen Kesehatan (Depkes) untuk proyek 2007 dengan nilai kerugian negara ditaksi Rp 4,8 miliar. Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan seorang tersangka berinisial M yang disebut-sebut merupakan kepala Biro Perencanaan Depkes sekaligus pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut.

Bukan Prioritas

Dilihat dari berbagai aspek, kasus tersebut sebenarnya bukan prioritas KPK. Nilai kerugian negara yang ''hanya'' Rp 4,8 miliar sama sekali bukan dalam kategori yang layak untuk ditangani KPK. Meskipun KPK bisa saja menangani kasus tersebut, menjadi kian jelas kesimpulannya bahwa kita memasukkan parameter lain dalam penentuan kasus korupsi yang seharusnya diproses KPK, yakni ukuran aktor dan modus korupsi.

Dalam kasus tersebut, aktor yang baru bisa diungkap KPK adalah pimpinan proyek (pimpro). Memang, dalam UU KPK, posisi pimpro dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang menjadi bagian dari mandat KPK untuk menanganinya.

Tetapi, pimpro bukanlah aktor yang signifikan jika kita melihat masalah utama korupsi di Indonesia yang bercorak state capture bahwa pelaku korupsinya adalah politisi dan kelompok bisnis. Demikian halnya dengan modus markup yang merupakan modus tradisional (kuno) dalam kasus korupsi. Pendek kata, KPK masih berkutat pada isu korupsi birokrasi, bukan korupsi politik.

Kasus Korupsi Penting

Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada agenda tertentu sehingga KPK terus ''memproduksi'' kasus-kasus kelas teri? Kekhawatiran yang muncul adalah jika KPK kemudian lalai untuk mendalami, menangani, dan meneruskan proses hukum kasus korupsi kelas kakap (korupsi politik). Perlu dicatat bahwa hingga hari ini KPK masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai.

Pertama, kasus Agus Condro. Kasus itu sampai sekarang tidak jelas juntrungannya. Alasan yang dibangun KPK bahwa kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Penyelidikan dan penyidikan memang kerap menjadi senjata pemungkas untuk menjawab pertanyaan publik atas akuntabilitas penegakan hukum.

Karena proses itu merupakan wilayah monopoli KPK, sulit bagi masyarakat untuk mengetahui secara lebih jauh apakah KPK sebenarnya tengah memproses atau diam-diam memetieskan.

Sulit juga untuk menilai apakah kasus tersebut layak ditindaklanjuti atau tidak. Sebab, semua data pendukung dan bukti-bukti yang ada dipegang sepenuhnya oleh KPK. Pada akhirnya, meneruskan atau tidak kasus yang ditangani KPK menjadi sangat politis nilainya.

Jika melihat kasus di atas, KPK seharusnya menempatkan perkara Agus Condro sebagai prioritas untuk ditangani. Argumentasinya jelas, kasus itu adalah kasus yang besar kemungkinan melibatkan aktor besar. Tidak hanya pejabat BI, tetapi juga politisi senayan sebagai penentu kebijakan politik dan cukong yang menjadi donatur. Sebagaimana kita ketahui, praktik politik uang dalam pemilihan pejabat publik oleh DPR adalah masalah krusial yang menjadikan DPR sebagai lembaga korup.

Data-data dari PPATK yang telah diserahkan ke KPK, berikut pengakuan Agus Condro yang menerima cek perjalanan, kian menunjukan bahwa dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Gultom ada kekuatan uang yang memeranguhi keputusan DPR untuk memenangkan Miranda. Sebenarnya, pengakuan tersebut bukan hanya muncul dari Agus Condro. Beberapa mantan anggota DPR yang KPK sendiri juga memanggil beberapa saksi kunci yang besar kemungkinan bisa menjadi tersangka. Misalnya, Nunung, istri mantan calon gubernur DKI Jakarta Adang Daradjatun. Siapa Nunung sebenarnya, apa peran yang dimainkan dalam kasus tersebut, masih menjadi misteri hingga hari ini karena lambannya proses hukum yang diambil KPK.

Kedua, kasus korupsi dana YPPI pada BI. Meskipun KPK sudah menyeret para petinggi BI ke Pengadilan Tipikor, termasuk Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden SBY dan dua anggota DPR yang terlibat. Tetapi, bau diskriminasi masih sangat terasa. Terutama terhadap para pihak yang disebut-sebut para terdakwa sebagai pihak yang mengetahui terjadinya kasus tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Paskah Suzetta yang kini sebagai kepala Bappenas.

Jika aktor yang terlibat dalam kasus korupsi dana YPPI tidak dituntaskan KPK, akan ada sebuah persepsi negatif yang timbul bahwa KPK menerapkan kebijakan tebang pilih karena lebih condong hanya menindak pihak BI, bukan DPR. Padahal, kalau kita melihat secara lebih jauh, pihak yang memiliki wewenang kuat untuk menentukan terjadi atau tidaknya kasus YPPI adalah DPR. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengegolkan permintaan BI, baik dalam kaitannya dengan penyusunan UU BI dan penyelesaian politik perkara BLBI.

Ketiga, kasus BLBI, baik yang melibatkan banker swasta maupun perbankan BUMN. Sebagaimana kita ketahui, Kejaksaan Agung telah kehilangan legitimasi untuk memproses kasus dugaan korupsi dana BLBI dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK karena suap. Suap itu ditengarai memiliki kaitan langsung dengan penyelesaian perkara BLBI yang tengah ditangani Kejagung.

Karena itulah, seharusnya KPK menempatkan diri sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan secara hukum pelanggaran korupsi dana BLBI senilai triliunan rupiah yang sudah bertahun-tahun tidak jelas rimbanya.

Degradasi

Keasyikan KPK dalam menangani perkara-perkara kelas kejaksaan dan kepolisian telah menyeret opini publik yang luas bahwa KPK memiliki kepentingan politik untuk tidak melanjutkan kasus-kasus besar yang menjadi PR utamanya. Apa kepentingan politik itu, semua dapat dilihat dari seluruh proses awal pemilihan pimpinan KPK sebelumnya. Karena yang paling mungkin, posisi tawar kelompok kepentingan dapat dibangun pada tahap ini.

Degradasi peran KPK dari lembaga superbodi menjadi lembaga penegak hukum konvensional merupakan sinyal awal gagalnya penegakan hukum yang independen. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran KPK dimaksudkan untuk menangani perkara korupsi besar yang memiliki hambatan politik dan hukum, bukan kasus korupsi kecil dan sederhana, baik dari sisi aktor, nilai kerugian, maupun modus korupsi yang terjadi.

Adnan Topan Husodo , wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=54292

Daerah Meredam Krisis

Daerah Meredam Krisis

Akhir tahun lalu muncul skeptisisme di berbagai kalangan terhadap ekonomi Indonesia dalam menapaki tahun 2009. Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia merisaukan akan adanya gelombang PHK yang semakin membesar pada tahun 2009.


Jumlahnya bisa mencapai hingga satu juta orang. Ini karena sektor industri terpaksa harus menurunkan kinerjanya akibat pasar ekspor yang mengerut. Para pelaku industri akan memangkas produksinya antara 20%-30%.

Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen juga menyampaikan hal yang sama, pada awal Desember 2008 dilaporkan bahwa PHK bahkan sudah terjadi di sejumlah perusahaan besar di berbagai daerah sejak beberapa bulan sebelum munculnya krisis keuangan global.

Bahkan, pada tahun 2009, diperkirakan lebih dari tiga juta buruh akan terkena PHK, terutama buruh yang bekerja di sektor riil, seperti manufaktur dan perdagangan. Untunglah masih ada secercah optimisme. Faisal Basri, ekonom UI,melihat dari sisi yang berbeda. Jangan terlalu merisaukan pengangguran. Munculnya kekhawatiran akan adanya PHK besar-besaran tahun depan merupakan sesuatu yang ”berlebihan”.

Melihat pola pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja pada tahun-tahun sebelumnya diperoleh angka bahwa 1% pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan lapangan kerja baru bagi sekitar 700.000 orang. Kalau memang benar demikian, pertumbuhan produk domestik bruto 4% sekalipun niscaya tak akan membuat angka pengangguran terbuka menggelembung.

Namun optimisme yang dipompakan oleh Faisal Basri ini bukan tanpa syarat. Pemerintah harus menggenjot belanja modal sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan undang-undang. Artinya, defisit APBN bisa dinaikkan hingga 3% dari PDB, bukan justru diturunkan sebagaimana tercantum di dalam APBN 2009.

Belanja modal diarahkan untuk pembangunan infrastruktur di sentra produksi pertanian dan industri manufaktur, serta pelabuhan berikut perangkat penunjangnya. Mencermati pandangan Faisal Basri saya berpikir bahwa pesan yang ingin disampaikan olehnya adalah pemerintah harus berani dan jangan takut malu untuk menerapkan kebijakan intervensionis seperti yang direkomendasikan oleh John Maynard Keynes untuk mengoreksi kegagalan pasar.

Kebijakan Intervensionisme

Menekan angka pengangguran, menurunkan jumlah penduduk miskin dengan memberi mereka kesempatan kerja produktif secara berkelanjutan, adalah agenda mendesak yang harus segera dilakukan. Pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan program-program yang bersifat padat karya produktif melalui kebijakan belanja daerah yang efektif dan relevan dengan situasi krisis.

Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto meski baru mencapai 54%-57%. Namun kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%.

Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara sisanya sebesar 8,8% berhubungan langsung dengan pembeli/ importir di luar negeri. 8,8% pengusaha inilah yang harus diberdayakan oleh pemerintah daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh World Economic Forum tahun 2008 dengan responden para pelaku bisnis menunjukkan bahwa tiga permasalahan utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia adalah (1) birokrasi pemerintah yang tidak efesien,dari penelitian tersebut ternyata sebanyak 19,3% responden menganggap bahwabirokrasipemerintah yang tidak efisien adalah yang paling problematik; (2) keterbatasan dan kualitas infrastruktur 16,4% responden menyatakan bahwa kualitas jalan raya, transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang artinya sangat buruk., dan (3) korupsi,10,7% responden menilai bahwa korupsi merupakan faktor yang menjadi penghambat dalam menjalankan bisnis.Masalah ini tidak hanya terjadi di pusat melainkan juga di daerah.

Percepatan Penyelesaian APBD

Kapasitas manajemen pemerintah daerah hingga saat ini masih jauh dari memuaskan, terutama dalam bidang manajemen keuangan. Per 30 Januari 2009 baru 318 pemerintah daerah atau 66,7% yang berhasil menyelesaikan APBD.Namun yang benar-benar APBDnya sudah berbentuk Peraturan Daerah baru 156.

Sedangkan sebanyak 162 baru terbatas pada pembahasan penyelesaian dengan DPRD atau masih dalam proses evaluasi di pemerintahan yang lebih tinggi. Kondisi ini tentu memunculkan skeptisme mampukah pemerintah daerah mengelola uang sebesar 327,08 triliun (37,72%) dari APBN yang berupa dana perimbangan?

Selain dana perimbangan Pemerintah Daerah juga terlibat dalam pengelolaan dana subsidi yang besarnya mencapai Rp323, 34 triliun (37,28%). Hasil studi tentang profil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang dilakukan oleh PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad 2008 menunjukkan bahwa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang memiliki daya saing yang tinggi dilihat dari indikator total input sebagian besar didorong oleh kekayaan sumber daya alam.

Sedangkan untuk kabupaten/ kota di Jawa yang memiliki daya saing tinggi ekonominya berbasis pada sektor industri dan jasa. Di lain pihak, peringkat 10 terendah berdasarkan indikator agregat input didominasi oleh daerah kabupaten/ kota yang aktivitas ekonomi utamanya bergerak dalam sektor pertanian dan merupakan daerah yang miskin sumber daya alam.

Pembelanjaan APBD yang Cepat

Pembelanjaan APBD yang lebih cepat untuk menjaga ekonomi tetap berputar membutuhkan kebijakan intervensionis.Fokus kebijakan ini diarahkan untuk mendorong laju perkembangan ekonomi daerah melalui tiga pilar yaitu infrastruktur,pertanian,dan energi. Namun mungkinkah itu semua dilakukan dengan keterbatasan alokasi anggaran? Menurut saya semua serbamungkin.

Memang, belanja modal yang dianggarkan pemerintah pusat hanya Rp90, 71 triliun (10,46%) dari total APBN. Namun, jika dibelanjakan secara efisien, efektif, dan relevan untuk peningkatan ketersediaan infrastruktur, niscaya hal itu akan membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian daerah karena mobilitas arus barang menjadi semakin lancar.

Kita memang dibuat tertegun oleh belanja untuk subsidi yang sangat besar.Alokasi APBN untuk subsidi mencapai Rp323,34 triliun atau setara dengan 37,28% belanja APBN. Subsidi ini diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.

Kita harus mampu mengelola subsidi dengan baik.Di benak kita harus ditanamkan bahwa subsidi itu bersifat temporer dan ad hoc tujuannya adalah untuk menyehatkan perekonomian dan menjaga daya beli masyarakat.Subsidi memberikan celah bagi munculnya grey area dalam perekonomian.

Munculnya black market dan spekulan adalah hal yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu subsidi harus dikawal dengan penegakan yang tegas dan tanpa pandang bulu. Agenda yang sangat mendesak dan tidak kalah penting adalah mendorong pemerintah daerah melakukan reformasi birokrasi pemerintah daerah, terutama dalam manajemen keuangan, sumber daya manusia,dan teknologi informasi.

Terobosan reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan model pencangkokan atau pendampingan. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah akan lebih baik dalam membuat perencanaan pembangunan daerah, penyusunan kebijakan dan program, penganggaran dan monitoringhingga ke pengendalian dan evaluasi. Ini relevan dengan anggaran yang relatif terbatas yang harus dikelola dengan ketat dan fokus.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara bersama-sama untuk menerapkan kebijakan yang mungkin kurang popular, tapi harus diambil, yaitu kebijakan pendampingan manajemen keuangan daerah.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah memfasilitasi DPRD untuk pelatihan keuangan daerah agar memiliki mindset yang sama dengan eksekutif. Adanya sinergi dalam public spending antara pemerintah pusat dan daerah yang fokus pada upayaupaya penanggulangan krisis dimungkinkan sekali dampaknya dapat diredam.(*)

Dr Ir Fadel Muhammad
Gubernur Gorontalo


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/216693/

Jangan Jual Murah Suara Anda

Jangan Jual Murah Suara Anda
Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia Bogor

Di antara kegenitan para elite bermanuver untuk kemenangan mereka dalam pemilu ataupun pemilihan presiden 2009, ada pertanyaan esensial yang perlu kita kemukakan. Apa arti demokrasi dengan segala ritual di dalamnya yang telah kita lalui selama satu dekade ini bagi umumnya rakyat kita yang masih tergolong jauh dari sejahtera? Pertanyaan ini layak diajukan untuk menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua, khususnya para elite, agar tidak terjebak terlalu dalam pada politik narsistik dan politik autis yang sibuk mematut-matut diri serta sibuk dengan dirinya dan kelompoknya tanpa mengingat kejenuhan rakyat yang melihat perilaku tersebut.

Yang perlu kita sadari bersama adalah, demokrasi yang telah kita jalankan selama satu dekade ini ternyata belum berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Parameternya adalah angka kemiskinan kita hari ini. Terserah Anda ingin menggunakan angka kemiskinan yang mana, angka yang sangat moderat ala BPS yang jumlahnya 37,17 juta jiwa (16,58 persen) penduduk Indonesia, atau angka yang lebih mengejutkan seperti yang disampaikan Bank Dunia, yakni sekitar 49,5 persen rakyat Indonesia berpendapatan di bawah US$ 2 per hari alias miskin.

Bagaimana kelompok rakyat yang sedemikian itu memaknai demokrasi? Jawabannya sederhana, demokrasi itu hanya bermanfaat ketika ia berimplikasi pada tercukupinya kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, apakah itu yang berkaitan dengan pangan, papan, kesehatan, dan perumahan. Sebab, seperti yang dikemukakan Maslow, orientasi dan kebutuhan utama kaum duafa tersebut adalah pemenuhan kebutuhan pokok. Ketika demokrasi tidak berimplikasi pada akses yang lebih baik terhadap semua itu, demokrasi telah kehilangan urgensi dan relevansi keberadaannya bagi rakyat miskin.

Kalau kita merujuk pada pandangan Amartya Sen, peraih Nobel ekonomi, demokrasi sesungguhnya bisa dijadikan senjata ampuh rakyat miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sen mengatakan bahwa demokrasi mampu menghilangkan kemiskinan akut melalui cara berikut. Pertama, demokrasi akan mempermudah eksisnya keterbukaan dan transparansi di mana hal tersebut bisa digunakan untuk mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, khususnya dalam hal penyediaan kesempatan dan akses sumber daya ekonomi dan penyediaan barang publik penting yang dibutuhkan orang miskin, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pangan.

Kedua, dengan adanya demokrasi, orang miskin akan bisa memanfaatkan vote (suara) yang dimilikinya sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Ketika mereka menganggap pemerintah yang dipilih tidak mampu meningkatkan taraf hidup mereka, orang miskin ini dapat mengoreksi kinerja pemerintahan dengan jalan mengalihkan vote kepada entitas politik yang lebih mampu memenuhi aspirasi mereka.

Mekanisme demokrasi tersebut menyebabkan pemerintah yang berkuasa tidak bisa abai dalam menolong kalangan miskin dan marginal jika mereka tetap ingin terpilih dalam pemilihan umum. Demikian logika bahwa demokrasi bisa mengatasi masalah kemiskinan. Tesis Sen, tentang peran demokrasi yang mereduksi kemiskinan, untuk kasus negara kita memang belum terjadi seperti yang diharapkan. Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya adalah karena adanya asimetri informasi dalam transaksi politik antara rakyat miskin dan para politikus dalam pasar politik kita.

Ada dua bentuk transaksi politik dalam pasar politik tersebut. Transaksi politik yang pertama adalah dalam pemilihan presiden, pemilu atau pilkada. Dalam transaksi politik ini memang para politikus mau tidak mau harus memperhatikan kepentingan orang miskin, khususnya pada saat kampanye, seperti melalui aktivitas bantuan-bantuan sosial kemasyarakatan. Transaksi politik kedua adalah di antara sesama politikus dalam interaksi mereka di ranah pengambilan keputusan publik baik di eksekutif maupun legislatif, baik dengan sesama elite dari partai yang sama maupun dengan elite parpol lain pasca-pemilu-pilkada--dalam rangka menentukan posisi jabatan publik penting di eksekutif ataupun kebijakan dan program-program pembangunan.

Pada transaksi pertama orang miskin masih terlibat sebagai konsumen politik, sedangkan pada transaksi kedua yang berposisi sebagai penjual dan konsumen dalam pasar politik adalah para politikus, sehingga tidak mengherankan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan pun adalah kepentingan elite, bukan orang miskin tersebut. Walaupun ada partai oposisi, fakta menunjukkan bahwa dagang sapi politik antarparpol berkuasa dan oposisi masih tetap bisa terjadi. Dan celakanya, kepentingan orang miskin secara substansial hampir tidak pernah menjadi buah dari kesepakatan politik tersebut.

Fenomena asimetri informasi ini diperparah dengan minimnya kesadaran rakyat miskin akan kekuatan vote yang dimilikinya. Hampir tidak ada masyarakat miskin yang menyadari bahwa kekuatan vote yang mereka miliki bisa mengubah nasib mereka, dalam arti bahwa vote yang dimiliki itu hanya akan diberikan kepada para politikus yang benar-benar bisa membayar vote itu dengan ketersediaan barang-barang publik (kesehatan, pendidikan, pangan dan perumahan) dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah ketika kemudian vote tersebut dijual dengan sangat murah hanya dengan uang beberapa puluh ribu atau beras beberapa belas kilogram. Akibatnya, demokrasi gagal mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Di sinilah kemudian arti penting peran third sector (kalangan masyarakat madani) untuk memperbaiki ritual demokrasi kita agar bisa berimplikasi pada berkurangnya kemiskinan, yakni dengan cara menghilangkan asimetri informasi dalam pasar politik melalui reformasi preferensi rakyat miskin melalui pendidikan politik. Di samping itu, agar proses pencerahan politik melalui pendidikan politik tersebut mencapai targetnya, lembaga filantropi masyarakat madani perlu membantu masyarakat miskin dalam hal menyediakan akses ekonomi dan pasar. Hal ini perlu agar mereka tidak terjebak dalam perangkap money politics yang "memaksa" mereka menjual dengan harga murah vote yang mereka miliki. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/26/Opini/krn.20090226.157993.id.html

Kalla Mendemitologikan Luar Jawa

Kalla Mendemitologikan Luar Jawa

Oleh M. Alfan Alfian *

Setelah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Ikatan Pemuda Muhammadiyah M. Izzul Muslimin mengemukakan kembali komentar Kalla bahwa kepemimpinan nasional ditentukan oleh kapasitas dan elektibilitas, bukan dari Jawa atau luar Jawa (Jawa Pos, 25/2/2009). Tentu saja pernyataan Kalla tersebut menarik, sekaligus spekulatif.

Menarik karena memang perkawinan antara nasionalisme Indonesia dan demokrasi, antara lain, menghasilkan demitologi politik berbasis primordial. Spekulatif karena, sebelumnya, Kalla pernah menengarai bahwa karena dari luar Jawa, maka peluangnya untuk menjadi presiden kecil. Dia harus realistis. Tetapi, kalau kemudian ternyata "maju tak gentar" menjadi capres Golkar, tentu dia akan tercatat dalam sejarah sebagai pelopor demitologi luar Jawa.

Pandangan Kalla sangatlah dapat dipahami bahwa dengan pertimbangan lebih rasional, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi presiden. Belajar dari pengalaman pemilihan presiden di Amerika Serikat yang dimenangkan Barack Hussein Obama, dalam demokrasi langsung segala sesuatu bisa terjadi.

Peluang Golkar

Namun, apakah masyarakat Indonesia sudah benar-benar siap? Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab tanpa disertai dengan eksperimentasi-eksperimentasi politik dari para elite. Pertanyaannya, kalau demikian, dapat dibalik, apakah Kalla, tokoh nasional yang berasal dari Sulawesi Selatan itu, siap dicapreskan oleh Golkar? Kalaupun Kalla "siap", maka siapkah internal Golkar merestuinya?

Dalam konteks yang lebih luas dan jangka panjang, perspektif demitologi politik capres luar Jawa perlu dipatahkan oleh Golkar sebagai partai modern dan bersifat catch-all. Sumbangsih Golkar dalam pembangunan rasionalitas politik bangsa ditunggu, dan partai beringin itu memiliki kesempatan emas ke situ, justru di tengah proses penentuan capres internal yang tengah dilakukan.

Seperti diketahui, Rapimnas Golkar Oktober 2008 memutuskan agar Dewan Pimpinan Daerah (DPD) mengusulkan nama-nama untuk disurvei oleh beberapa lembaga polling independen yang disewa Golkar. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar telah mengirimkan surat edaran ke DPD-DPD, tetapi keputusan penetapan capres dan calon wakil presiden (cawapres) masih akan dilakukan pasca-pemilu legislatif, kecuali ada perubahan yang dramatis.

Pada akhirnya, elite-elite struktural Golkar-lah yang berpeluang menentukan hasil akhir. Di sinilah peluang Kalla untuk menjadi capres Golkar (katakan Blok J) lebih besar, mengingat posisinya sebagai ketua umum.

Apabila Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak lagi mengajak Kalla sebagai pendampingnya (cawapres), tampaknya, tak ada alternatif lain yang lebih terhormat bagi Kalla kecuali berjuang untuk menjadi capres Golkar dan ''merealisasikan kata-katanya". Dia bisa jadi pejuang penjebol mitos, bahkan menjadi tokoh yang layak membandingkan dirinya dengan Obama. Dalam konteks ini, mestinya Kalla pantang mundur atau menyerah.

Rasional dan Sederhana

Kebutuhan kita dalam membangun demokrasi yang kukuh jangka panjang yang mempertegas nasionalisme Indonesia adalah melawan mitos primordial politik. Ideologi memang masih diperlukan sebagai basis nilai dan menjadi ciri khas partai-partai politik. Namun, preferensi publik dalam memilih pemimpin, idealnya rasional dan berbasis kompetensi, bukan emosional, apalagi primordial.

Demokrasi memberikan peluang yang besar bagi berbagai elemen di dalamnya untuk checks and balances. Konsekuensinya, pemimpin yang terpilih tentu saja tidak dapat "semau gue". Ada indikator kerja yang terukur dan terpantau. Kalau gagal dan tidak amanah, demokrasi menyediakan hukumannya sendiri.

Arah politik Indonesia ke depan mestinya demikian. Namun, harus diakui bahwa sebagian besar di antara kita masih menganggapnya sebagai mimpi. Mengapa? Dalam konteks "demokrasi persyaratan", apakah memang sudah memadai? Bagaimana dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dibanding dengan rakyat Amerika Serikat, misalnya. Bagaimana pula dengan sejumlah persyaratan lain, termasuk mentalitas dan kultur politik kita?

Demokrasi politik kita masih bertumpu pada pertarungan kepentingan yang sengit antarpartai politik. Pertarungan alias kompetisi sesungguhnya biasa saja dalam politik. Tetapi, banyaknya peserta kontes politik berpotensi membuat jalannya kompetisi politik semakin rumit. Kompetisi politik kita ke depan seharusnya semakin sederhana sehingga memudahkan publik berpikir dan bersikap rasional.

Bukan hanya Kalla, tetapi juga segenap elite poltik kita saat ini dituntut untuk tidak saja menjadi aktor-aktor "jangka pendek", tetapi lebih dari itu, juga arsitek-arsitek politik "jangka panjang". Sejarah dan wajah demokrasi kita ke depan, bagaimanapun, tak dapat dilepaskan dari sepak terjang mereka hari-hari ini. (*)

M. Alfan Alfian , dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://jawapos.com/

Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang

Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang
Todung Mulya Lubis, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Judul tulisan ini terdengar aneh. Membicarakan advokat sebagai advokat pejuang sepertinya sesuatu yang ganjil, sebuah anomali. Di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, siapa pun yang bicara tentang advokat pejuang akan dituding sebagai orang yang tak realistis, seorang pemimpi yang tak mengerti perubahan zaman. Sebab, dalam zaman yang komersial seperti sekarang, semua itu diukur dengan uang. Time is money. Perjuangan telah hilang dari kosakata dunia advokat, dan advokat mulai menjadi apa yang disebut sebagai ”the hired gun of the client”. Kerja utama advokat pertama dan terutama adalah membela kepentingan klien, membela yang membayar. Lantas di mana letaknya perjuangan di sini? Kenapa kita bicara tentang advokat pejuang?

Sebagai seorang advokat yang sudah berkiprah selama 35 tahun, saya tetap merasa perlu meneriakkan kepada semua advokat, semangat untuk menjadi advokat pejuang. Bukankah dalam Undang-Undang Advokat, UU No. 18/2003, advokat itu dinobatkan sebagai penegak hukum, an officer of the court? Sebagai penegak hukum, tugas kita tidak semata-mata untuk kepentingan klien yang kita bela. Ada “nilai” lain yang perlu diingat, yaitu nilai rule of law dan justice. Sebagai advokat, kita juga dituntut untuk ikut menegakkan rule of law dan justice. Tantangan advokat dengan demikian adalah membela kepentingan kliennya dengan tetap berpegang pada nilai-nilai supremasi hukum dan keadilan.

Secara historis, advokat itu adalah pejuang yang membela kepentingan rakyat. Lihatlah, para advokat pejuang kita, seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, Hasyim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Haryono Tjitrosubono, dan lainnya. Mereka adalah advokat yang berhasil menjalankan filsafat hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan dalam pekerjaan mereka sebagai “officer of the court”. Hilangnya generasi advokat pejuang itu seperti hilangnya wartawan pejuang, misalnya Mochtar Lubis, P.K. Oyong, dan B.M. Diah. Generasi baru telah tumbuh yang di dalamnya komersialisme lebih utama ketimbang supremasi hukum dan keadilan, tempat “mafia peradilan” bergentayangan di antara kita.

Tidak mengherankan jika berbagai survei menempatkan aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, maupun polisi, sebagai aparat yang rentan terhadap suap. Survei yang diadakan KPK belum lama ini menempatkan pengadilan sebagai lembaga dengan skor integritas terendah, 2,5. Survei lain yang diadakan oleh Transparency International Indonesia juga menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang rentan terhadap suap, meski masih di bawah kepolisian, bea-cukai, imigrasi, dan pemerintah daerah. Dalam survei tersebut juga diungkapkan bahwa publik menghendaki agar prioritas pemberantasan korupsi diutamakan di lembaga penegak hukum. Kedua survei di atas, meski hanya berupa survei persepsi, haruslah membuat kita prihatin. Sudah sedemikian burukkah persepsi masyarakat tentang aparat penegak hukum yang seyogianya memperjuangkan kepentingan keadilan bagi masyarakat?

Advokat memang tidak disebut dalam survei KPK maupun Transparency International Indonesia. Saya kira tak disebutnya advokat tak mesti membuat kita para advokat tidak merasa ikut bersalah. Saya menafsirkan bahwa ketika survei tersebut bicara tentang pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, kita para advokat juga berada di sana. Bukankah kita juga bagian dari aparat penegak hukum, an officer of the court, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat? Suka atau tidak suka, kita para advokat dengan berlakunya UU Advokat sudah memasukkan diri kita ke kategori aparat penegak hukum. Advokat adalah bagian dari satu orkestra penegakan hukum yang memainkan peran khusus dan penting, sama pentingnya dengan polisi, jaksa, dan hakim.

Dalam kuliah-kuliah ekonomi, kita selalu diajari tentang teori penawaran dan permintaan, supply and demand. Sebuah harga adalah pertemuan antara penawaran dan permintaan. Dalam analogi, korupsi juga merupakan produk dari penawaran dan permintaan. Karena itulah sekarang ini, ketika bicara tentang korupsi, orang mulai bicara tentang dua hal: demand side and supply side. Pejabat penerima suap selalu ditempatkan sebagai orang yang berada dalam demand side, sedangkan pengusaha yang menyuap ditempatkan dalam supply side. Saya khawatir, kita sebagai advokat akan gampang dituduh sebagai pihak yang berada dalam supply side. Kata pepatah tua: orang tak bisa bertepuk sebelah tangan. Korupsi juga tak bisa bertepuk sebelah tangan.

Saya mengutip hasil kedua survei di atas bukan dengan maksud menuduh advokat telah melakukan suap. Survei yang saya kutip itu adalah survei persepsi, bukan investigasi tentang kasus korupsi. Tapi adalah bijak jika kita mulai melakukan introspeksi tentang tugas mulia kita sebagai advokat yang secara historis selalu kita katakan sebagai profesi yang mulia, officium nobelium. Walaupun kita tak memegang palu, pleidoi yang kita sampaikan di pengadilan juga merupakan sebuah karya hukum yang harus kita perlakukan sebagai dokumen hukum yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan supremasi hukum dan keadilan.

Kita semua yang menjadi advokat mendambakan kemenangan, tak ada yang menghendaki kekalahan. Kita semua juga mendambakan reward yang menebalkan deposito kita di bank. Semua itu tidak salah. Sebagai advokat, kita semua punya hak untuk sukses dan kaya, punya hak untuk memiliki rumah, mobil, dan deposito. Untuk itulah kita bekerja. Tetapi kita sebagai advokat merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang kita cintai ini. Sebagai warga negara, kita juga terikat kepada cita-cita kita berbangsa dan bernegara, kepada UUD 1945 dan Pancasila, yang kalau kita baca salah satunya adalah menegakkan negara hukum (rechtstaats) dan keadilan sosial. Di sini kita mempunyai kewajiban (duty) untuk bersama-sama sebagai bangsa meneruskan mimpi pendiri negara ini, bukan sekadar terlepas dari penjajahan tetapi juga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri.

Angin perubahan sedang melanda kita semua, hakim, jaksa, dan polisi. Mereka sedang melakukan pembenahan karena itulah suatu conditio sine qua non. Sorot mata publik tengah diarahkan kepada instansi penegak hukum. BPK dan KPK, misalnya, juga tak abai meneropong apa yang terjadi di tubuh instansi penegak hukum kita. Perubahan memang tengah terjadi, dan kita semua mesti ikut dalam perubahan ini. Kita sebagai advokat tak boleh ketinggalan kereta.

Di sinilah kita dituntut untuk kembali ke khittah kita menjadi advokat pejuang, aparat penegak hukum yang berintegritas dalam membela kepentingan pencari keadilan. Sekali lagi mari kita camkan semboyan perjuangan yang dulu selalu kita teriakkan: "Biar Langit Runtuh, Keadilan Akan Tetap Kita Tegakkan." *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/27/Opini/krn.20090227.158109.id.html

Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang

Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang
Todung Mulya Lubis, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Judul tulisan ini terdengar aneh. Membicarakan advokat sebagai advokat pejuang sepertinya sesuatu yang ganjil, sebuah anomali. Di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, siapa pun yang bicara tentang advokat pejuang akan dituding sebagai orang yang tak realistis, seorang pemimpi yang tak mengerti perubahan zaman. Sebab, dalam zaman yang komersial seperti sekarang, semua itu diukur dengan uang. Time is money. Perjuangan telah hilang dari kosakata dunia advokat, dan advokat mulai menjadi apa yang disebut sebagai ”the hired gun of the client”. Kerja utama advokat pertama dan terutama adalah membela kepentingan klien, membela yang membayar. Lantas di mana letaknya perjuangan di sini? Kenapa kita bicara tentang advokat pejuang?

Sebagai seorang advokat yang sudah berkiprah selama 35 tahun, saya tetap merasa perlu meneriakkan kepada semua advokat, semangat untuk menjadi advokat pejuang. Bukankah dalam Undang-Undang Advokat, UU No. 18/2003, advokat itu dinobatkan sebagai penegak hukum, an officer of the court? Sebagai penegak hukum, tugas kita tidak semata-mata untuk kepentingan klien yang kita bela. Ada “nilai” lain yang perlu diingat, yaitu nilai rule of law dan justice. Sebagai advokat, kita juga dituntut untuk ikut menegakkan rule of law dan justice. Tantangan advokat dengan demikian adalah membela kepentingan kliennya dengan tetap berpegang pada nilai-nilai supremasi hukum dan keadilan.

Secara historis, advokat itu adalah pejuang yang membela kepentingan rakyat. Lihatlah, para advokat pejuang kita, seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, Hasyim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Haryono Tjitrosubono, dan lainnya. Mereka adalah advokat yang berhasil menjalankan filsafat hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan dalam pekerjaan mereka sebagai “officer of the court”. Hilangnya generasi advokat pejuang itu seperti hilangnya wartawan pejuang, misalnya Mochtar Lubis, P.K. Oyong, dan B.M. Diah. Generasi baru telah tumbuh yang di dalamnya komersialisme lebih utama ketimbang supremasi hukum dan keadilan, tempat “mafia peradilan” bergentayangan di antara kita.

Tidak mengherankan jika berbagai survei menempatkan aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, maupun polisi, sebagai aparat yang rentan terhadap suap. Survei yang diadakan KPK belum lama ini menempatkan pengadilan sebagai lembaga dengan skor integritas terendah, 2,5. Survei lain yang diadakan oleh Transparency International Indonesia juga menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang rentan terhadap suap, meski masih di bawah kepolisian, bea-cukai, imigrasi, dan pemerintah daerah. Dalam survei tersebut juga diungkapkan bahwa publik menghendaki agar prioritas pemberantasan korupsi diutamakan di lembaga penegak hukum. Kedua survei di atas, meski hanya berupa survei persepsi, haruslah membuat kita prihatin. Sudah sedemikian burukkah persepsi masyarakat tentang aparat penegak hukum yang seyogianya memperjuangkan kepentingan keadilan bagi masyarakat?

Advokat memang tidak disebut dalam survei KPK maupun Transparency International Indonesia. Saya kira tak disebutnya advokat tak mesti membuat kita para advokat tidak merasa ikut bersalah. Saya menafsirkan bahwa ketika survei tersebut bicara tentang pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, kita para advokat juga berada di sana. Bukankah kita juga bagian dari aparat penegak hukum, an officer of the court, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat? Suka atau tidak suka, kita para advokat dengan berlakunya UU Advokat sudah memasukkan diri kita ke kategori aparat penegak hukum. Advokat adalah bagian dari satu orkestra penegakan hukum yang memainkan peran khusus dan penting, sama pentingnya dengan polisi, jaksa, dan hakim.

Dalam kuliah-kuliah ekonomi, kita selalu diajari tentang teori penawaran dan permintaan, supply and demand. Sebuah harga adalah pertemuan antara penawaran dan permintaan. Dalam analogi, korupsi juga merupakan produk dari penawaran dan permintaan. Karena itulah sekarang ini, ketika bicara tentang korupsi, orang mulai bicara tentang dua hal: demand side and supply side. Pejabat penerima suap selalu ditempatkan sebagai orang yang berada dalam demand side, sedangkan pengusaha yang menyuap ditempatkan dalam supply side. Saya khawatir, kita sebagai advokat akan gampang dituduh sebagai pihak yang berada dalam supply side. Kata pepatah tua: orang tak bisa bertepuk sebelah tangan. Korupsi juga tak bisa bertepuk sebelah tangan.

Saya mengutip hasil kedua survei di atas bukan dengan maksud menuduh advokat telah melakukan suap. Survei yang saya kutip itu adalah survei persepsi, bukan investigasi tentang kasus korupsi. Tapi adalah bijak jika kita mulai melakukan introspeksi tentang tugas mulia kita sebagai advokat yang secara historis selalu kita katakan sebagai profesi yang mulia, officium nobelium. Walaupun kita tak memegang palu, pleidoi yang kita sampaikan di pengadilan juga merupakan sebuah karya hukum yang harus kita perlakukan sebagai dokumen hukum yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan supremasi hukum dan keadilan.

Kita semua yang menjadi advokat mendambakan kemenangan, tak ada yang menghendaki kekalahan. Kita semua juga mendambakan reward yang menebalkan deposito kita di bank. Semua itu tidak salah. Sebagai advokat, kita semua punya hak untuk sukses dan kaya, punya hak untuk memiliki rumah, mobil, dan deposito. Untuk itulah kita bekerja. Tetapi kita sebagai advokat merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang kita cintai ini. Sebagai warga negara, kita juga terikat kepada cita-cita kita berbangsa dan bernegara, kepada UUD 1945 dan Pancasila, yang kalau kita baca salah satunya adalah menegakkan negara hukum (rechtstaats) dan keadilan sosial. Di sini kita mempunyai kewajiban (duty) untuk bersama-sama sebagai bangsa meneruskan mimpi pendiri negara ini, bukan sekadar terlepas dari penjajahan tetapi juga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri.

Angin perubahan sedang melanda kita semua, hakim, jaksa, dan polisi. Mereka sedang melakukan pembenahan karena itulah suatu conditio sine qua non. Sorot mata publik tengah diarahkan kepada instansi penegak hukum. BPK dan KPK, misalnya, juga tak abai meneropong apa yang terjadi di tubuh instansi penegak hukum kita. Perubahan memang tengah terjadi, dan kita semua mesti ikut dalam perubahan ini. Kita sebagai advokat tak boleh ketinggalan kereta.

Di sinilah kita dituntut untuk kembali ke khittah kita menjadi advokat pejuang, aparat penegak hukum yang berintegritas dalam membela kepentingan pencari keadilan. Sekali lagi mari kita camkan semboyan perjuangan yang dulu selalu kita teriakkan: "Biar Langit Runtuh, Keadilan Akan Tetap Kita Tegakkan." *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/27/Opini/krn.20090227.158109.id.html

SBY dan Megawati Masih Terancam

SBY dan Megawati Masih Terancam


Setelah sekian lama lembagalembaga survei tidak memublikasikan survei independen mereka kepada publik, Selasa (23/2) Lembaga Riset Informasi (LRI) merilis sebuah survei yang dilaksanakan pada 8–16 Februari 2009.


Survei tersebut dilakukan di 33 provinsi (99 kota/kabupaten atau 3 kabupaten di 33 provinsi) pada 8–16 Februari 2009.Pada survei LRI tersebut, Partai Golkar menempati urutan pertama dengan 20,1%.Posisi kedua ditempati Demokrat 15,5%, posisi ketiga diraih PDIP 15,3%, diikuti PKS 11,6%, Partai Gerindra 5,29%, PAN 5,13%,PPP 2,86%,PKB 2,33%,Hanura 1,96%,dan PBB 0,9%.

Hasil survei ini angkanya tidak jauh dengan hasil survei internal Partai Golkar yang dilakukan pada akhir bulan Januari 2009 di sejumlah daerah pemilihan. Disebutkan oleh Agung Laksono, Partai Golkar mendapat 19,3% suara,Partai Demokrat 16,22%, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 14,28%.

Survei tersebut dilakukan di 77 daerah pemilihan dengan total sampel sebanyak 30.800 responden serta dilaksanakan oleh Lembaga Survei Indonesia, Indo Barometer,dan Polling Center. Hasil dari kedua lembaga survei tersebut agak berbeda apabila dibandingkan dengan hasil survei rata-rata dari tiga lembaga survei yang melakukan survei pada bulan Desember 2008.

Ketiga lembaga tersebut adalah Lembaga Survei Nasional (LSN) pimpinan Umar Bakri, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani, dan Lembaga Survei LP3ES. Hasil rata-ratanya, Partai Demokrat menjadi partai teratas dengan dukungan 22,2%, PDIP kedua dengan 21,8%, Partai Golkar ketiga dengan 14,2%,Partai Gerindra dengan 5,5%, PKS kelima dengan 4,7%, PKB keenam dengan 4,3%, PAN ketujuh dengan 3,7%, PPP kedelapan dengan 2,9%, serta Partai Hanura 2,6%.

Dengan menggunakan perbandingan survei bulan Desember dari tiga lembaga survei yang melakukan survei pada Februari dengan satu lembaga survei, terlihat pergeseran popularitas partai-partai politik yang jelas akan menimbulkan rasa senang ataupun tidak senang.

Perubahan sebuah persepsi masyarakat sangat dimungkinkan terjadi di mana terbentuknya persepsi banyak dipengaruhi oleh rangsangan parpol dan para patron masingmasing. Yang menarik adalah lonjakan Partai Golkar dari posisi ketiga dengan perolehan suara 14,2% mendapat kenaikan sekitar 5% dan kini berada di posisi utamamenjadi20,1%.

PartaiDemokrat mengalami penurunan sebesar 6,5% (dari 22,2% pada Desember menjadi 15,5% pada Januari),PDIP turun 6,5% (dari 21,8% menjadi 15,3%).Yang menarik, PKS naik 6,9% (dari 4,7% pada Desember 08 menjadi 11,6% pada Februari 09).Gerindra stagnan di kisaran 5% lebih, PAN mengalami kenaikan 1,4%, PPP menurun 0,1%, PKB melorot 2%, dan Hanura menurun 0,7% menjadi 1,96%.

*** Melihat posisi partai-partai politik tersebut dan melirik pelaksanaan pemilu pada 9 April nanti,sementara ini justru Partai Golkar menjadi partai yang dikatakan teraman untuk mengusung capres sesuai persyaratan UU Pilpres yang mensyaratkan angka 25% suara sah nasional.

Apalagi sekarang, Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla menunjukkan sinyal positif untuk maju menjadi capres walaupun keputusan finalnya nanti keluar setelah pemilu legislatif. Kalau berkaca pada hasil pemilu 2004, Partai Golkar dengan perolehan 20,1% hanya membutuhkan 5% tambahan,peluang koalisi yang akan diperebutkan adalah dari PKS,Gerindra,PAN,PPP, PKB dan Hanura.

Koalisi Partai Golkar akan lebih ringan dibandingkan pesaing utamanya, PDIP dan Partai Demorat (PD). Dari perkembangan situasi, dengan menggandeng PKS yang kini sudah mengantongi 11,6%, capres Partai Golkar akan melenggang dengan aman. Kalaupun lepas dari PKS,Partai Golkar masih berpeluang berkoalisi dengan Partai Gerindra atau PAN, maka persyaratan 25% akan sudah terpenuhi.

PD dan PDIP apabila salah dalam melakukan pendekatan akan rawan bahaya. PD dan PDIP masih membutuhkan dukungan sekitar 9–10%.Apabila kedua partai tersebut salah dengan strategi koalisi,mungkin akan terjadi salah satu capresnya tidak dapat maju dalam persaingan pilpres Juli nanti.

Kini, kelihatannya koalisi menjadi sebuah pertarungan terpenting bagi parpol-parpol besar untuk mengalahkan sebuah elektabilitas calon presiden itu sendiri. Tidak akan ada gunanya sebuah elektabilitas capres,kalau pada saatnya nanti parpol pendukung tidak mampu memenuhi syarat yang ditetapkan.

Melihat dari manuver PD dan PDIP, maka kelihatannya PDIP dinilai selangkah lebih maju, terus aktif melakukan pendekatan dan pembicaraan dengan parpol-parpol lain. Sementara PD masih terkunci dengan keyakinan koalisi akan dilakukan setelah didapatnya hasil pemilu legislatif.

Kelambatan gerak dan pengambilan keputusan parpol dalam menyikapi pilpres dibandingkan dengan cepatnya dinamika situasi politik akan dapat merugikan capresnya sendiri. Walaupun demikian waktu yang tersisa masih dapat dimanfaatkan oleh ketiga parpol utama tersebut, baik dalam upaya meningkatkan perolehan suara maupun upaya membangun koalisi.

Inilah kegunaan hasil sebuah survei yang memang khusus diperuntukkan bagi penyusunan sebuah strategi. Dengan mengabaikan survei, parpol hanya terbuai dengan sebuah perkiraan dan keyakinan semu, yang jelas akan sangat merugikan diri sendiri.

Para perancang strategi dan analis baik Partai Golkar, PD ataupun PDIP kini dituntut untuk berpikir lebih taktis dan realistis dalam pengambilan keputusan agar mampu merebut kekuasaan yang memang merupakan sasaran akhir mereka.(*)

Prayitno Ramelan
Analis Indset


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/216992/

Sakit yang Membawa Berkah

Sakit yang Membawa Berkah


KITA semua pernah sakit dan tentu saja kalau bisa, sakit itu jangan hadir lagi.Namun secara statistik, sakit selalu datang berulang kali pada kita dengan tingkat kepedihan dan penderitaan berbeda-beda.


Katanya,Raja Firaun termasuk orang yang sedikit sekali dihampiri sakit. Paling banter hanya batuk ringan dan flu. Dia selalu sehat dan gagah perkasa sehingga membuat dirinya sombong dan mabuk kekuasaan sampai-sampai menganggap dirinya Tuhan yang paling pantas ditakuti dan disembah oleh rakyatnya.

Semakin majunya ilmu kedokteran dan semakin banyaknya orang berkunjung ke rumah sakit dan toko obat,atau ada juga yang ke dukun, jelas menunjukkan satu hal: semua orang ingin sehat dengan ongkos apa pun dan berapa pun, bahkan ada yang mesti berutang sana-sini. Ketika kesehatan menjauh dari kita, tiba-tiba pola hidup berubah. Hidup menjadi tidak produktif, pikiran dan emosi terkena imbasnya. Dunia yang semula terasa ramah dan pemurah, lalu berubah menjadi pelit dan masam.

Blessing in Disguise

Orang Barat punya ungkapan bijak, blessing in disguise. Ungkapan ini ekuivalen dengan ungkapan ”hikmah di balik musibah”.Bahwa di balik peristiwa sakit atau bahkan tragedi yang menimpa manusia atau bangsa seringkali muncul anugerah selama kita mampu membaca lalu menggalinya.

Dalam konteks politik, karena musibah tsunami, gerakan separatisme Aceh Merdeka bisa diredam dan jalan ke arah kedamaian di Aceh menjadi jauh lebih mulus.Semua itu sulit dibayangkan kalau saja tidak terjadi musibah tsunami. Gara-gara Nagasaki dan Hiroshima dibom tentara Sekutu, rakyat Indonesia memperoleh momentum emas untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.Tentara Jepang lalu ngacirpulang kampung. Dalam konteks individu, pernah saya bertemu seorang ibu supersibuk dan superwoman.

Dia sangat aktif dan produktif hidupnya dalam bisnis dan sebagai produsen film. Dalam memimpin anak buahnya dia sangat perfeksionis. Semua harus dikerjakan dengan hasil optimal sampai anak buahnya pontang-panting mengikuti cara kerjanya. Begitu pun pembantu rumah tangganya. Mesti apik kerjanya karena kalau tidak, sang majikan yang akan mengerjakannya sendiri. Pendeknya, dunia seakan dalam genggamannya sendiri karena sulit memercayakannya kepada orang lain. Suatu hari musibah datang dan tidak bisa ditolak.

Dia terserang penyakit yang mengharuskannya istirahat total di atas tempat tidur dan untuk memenuhi hajat hidupnya banyak tergantung pada pembantunya di rumah.Mulai dari makan, minum, buka jendela, ganti pakaian, semuanya mesti minta tolong pembantunya yang selama ini kurang dia hargai kinerjanya,kecuali yang terpenting menjaga rumah. Terbayang,betapa laju kehidupan yang semula berjalan kencang dan mulus tiba-tiba berhenti mendadak.

Hidup berubah drastis. Langit seperti runtuh, porak-porandalah ritme hidupnya yang telah dibangun bertahun-tahun. Dia mesti belajar berdamai dengan dirinya dan sakitnya meski perlu waktu dan energi kesabaran amat tinggi. Berbagai upaya pengobatan dia lakukan,tetapi tetap saja kesembuhannya lamban sekali. Sedikit demi sedikit ada kemajuan.

Dengan susah payah dia belajar membuka jendela di pagi hari. Subhanallah, serunya suatu pagi.Dengan perjuangan berat dia membuka jendela lalu tertatap matahari pagi dengan cahayanya kuning keemasan. Mengapa baru sekarang saya bisa mengagumi indahnya sang surya yang begitu indah dan pemurah memancarkan cahayanya untuk menghangatkan semua penghuni bumi ini?

Bibirnya berucap pelan penuh kekhusyukan.Lalu dia beralih memandang dedaunan yang rindang di belakang rumahnya.Dia amati daun yang sudah menguning jatuh diterpa angin.Dia dengarkan suara kokok ayam yang terasa merdu. Nyanyian burung yang terasa ceria di telinga. Semua ini merupakan nyanyian dan tarian alam yang sudah berlangsung ribuan dan bahkan jutaan tahun. Mengapa baru sekarang aku bisa mengamati dan mengagumi?

Mengapa aku mesti sakit dahulu dan tidak mampu berjalan baru bisa membaca ayat-ayat Tuhan ini? Sesalnya dalam hati.Dengan kondisi fisiknya yang hampir tak berdaya itu, dia baru mampu menghargai betapa besar jasanya pembantu di rumah yang setia melayani makan, minum, membersihkan badan, menyediakan obat, dan menemaninya ketika diperlukan. Tanpa mereka saya akan sangat sengsara dalam kesepian.Namun mengapa selama ini aku tak mampu melihat ketulusan para pembantuku ini? Kata hatinya menyadari kesalahannya yang selama ini merasa sebagai superwoman.

Demikianlah. Setelah sakit cukup parah, ibu tadi mengalami perubahan amat drastis dalam memandang kehidupan. Dalam memandang orang-orang di sekitarnya. Dalam memandang matahari, memaknai malam ketika datang menyelimuti bumi, mencermati ketika daun jatuh diterpa angin. Bahkan juga telinganya menjadi peka mendengarkan nyanyian burung.Mata hatinya menjadi peka setelah sakit. Dia merasa, di balik sakit yang menimpanya terdapat bingkisan kasih Ilahi berupa peringatan agar dia menjadi rendah hati, menghargai sesamanya, dan mensyukuri kehidupan untuk memperbanyak amal kebajikan.

Cerita semacam itu mudah ditemukan kalau saja kita mau menggali berbagai peristiwa di sekitar kehidupan kita sendiri.Teman saya sebulan lalu kakinya tersandung batu dan jempol kakinya terluka serius sehingga mesti dioperasi. Sebulan tidak bisa bermain golf, permainan yang amat digemarinya. Dia mesti membatalkan agenda bepergian ke luar negeri.Padahal peristiwanya sederhana. Hanya tersandung batu. Saya tersadar, katanya melalui telepon, betapa sombongnya saya, seakan dunia dalam genggaman saya.Saya punya uang bisa berkeliling dunia.

Namun sekarang saya mesti di rumah, berjalan dengan tongkat. Saya merenung, katanya. Saya mesti bertobat, memperbanyak zikir kepada Allah, membaca buku, dan berkumpul dengan keluarga. Ketika sakit, kita menjadi semakin sadar, betapa istri dan anak-anak sangat mencintai kita. Namun kadang kita tidak merespons mereka karena lebih sibuk di luar bersama orang lain dengan dalih mencari uang untuk keluarga.

Padahal yang keluarga dambakan bukan lagi uang, tetapi kebersamaan yang hangat.Keluarga rindu salat berjamaah di rumah, dilanjutkan bincang-bincang penuh keintiman dalam suasana religius. Tidak mudah menemukan anugerah di balik musibah. Namun jika Anda atau keluarga dekat pernah sakit cukup serius, coba renungkan dan gali hikmah di baliknya. Insya Allah akan ditemukan suatu parsel kasih sayang Ilahi di balik musibah itu. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/217021/38/

Melemahnya Efek Jera Pemberantasan Korupsi

Melemahnya Efek Jera Pemberantasan Korupsi

Oleh Emerson Yuntho *

Kejaksaan Agung beberapa hari lalu mengeluarkan kebijakan terkait penanganan perkara korupsi. Yaitu, tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara saat penyidikan. Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. (Jawa Pos, 18 Februari 2009).

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 10 tersangka yang mengembalikan keuangan negara saat prosesnya disidik Kejaksaan Agung. Beberapa di antaranya pengusaha properti Tan Kian dalam perkara korupsi dana Asabri. Ada juga Abdul Latief, Hasyim Sumiana, dan Usman Dja'far dalam perkara korupsi pengucuran kredit Bank Mandiri kepada PT Lativi Media Karya. Para tersangka itu tidak pernah ditahan.

Kebijakan kontroversial itu jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka kasus korupsi dan justru kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi sehingga sudah selayaknya harus ditolak. Penolakan ini didasarkan sejumlah alasan.

Pertama, tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Seharusnya kebijakan pengusutan dan penindakan dalam kasus korupsi, selain berorientasi mengembalikan uang negara, juga bertujuan menimbulkan efek jera. Salah satunya menahan seseorang sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Tidak ditahannya tersangka korupsi (meskipun telah membayar kerugian negara) justru berdampak pada pengurangan efek jera atau bahkan tidak memberikan efek jera sama sekali.

Munculkan Deal

Kebijakan baru kejaksaan itu juga berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan jaksa karena tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung. Dengan demikian, pengembalian uang negara yang dikorupsi itu memiliki motif tertentu.

Akibat lain, penanganan perkara korupsi jadi kehilangan efek menjerakan. Koruptor kaya akan dengan mudah mengembalikan uang hasil korupsi dan melanjutkan aktivitas bisnis seolah tidak memiliki persoalan hukum. Bagaimana dengan seorang koruptor miskin, yang melakukan korupsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup?

Kedua, penghitungan kerugian negara rawan masih menimbulkan perbedaan. Dalam setiap penanganan perkara korupsi proses penghitungan jumlah kerugian negara saat ini masih menimbulkan perbedaan penafsiran baik oleh kKejaksaan, badan pemeriksa keuangan (BPK), badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), maupun pengadilan. Bukan tidak mungkin nilai yang dihitung kejaksaan jauh lebih kecil daripada penghitungan lembaga lain sehingga negara dirugikan jika putusan pengadilan memutus lebih besar. Menghitung kerugian negara lebih baik dilakukan di pengadilan.

Ketiga, penyerahan aset milik koruptor rawan dimanipulasi. Sejauh ini kebijakan pembayaran kerugian negara masih belum jelas apakah harus tunai atau aset atau dapat keduanya. Persoalan akan muncul apabila pengembalian kerugian negara ini dilakukan dalam bentuk aset. Bukan tidak mungkin aset yang diberikan oleh tersangka adalah aset bodong atau aset yang nilainya telah dinaikkan (markup).

Praktik ini sering terjadi dalam beberapa penanganan kasus korupsi dana bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Mayoritas aset yang dijaminkan debitur BLBI pada saat dijual, nilainya dapat merosot hingga 70 persen. Proses penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena pelaku telanjur mendapatkan pengampunan dan dihentikan kasusnya.

Keempat, kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang hasil korupsi dikhawatirkan berlanjut pada kebijakan penghentian atau memetieskan suatu perkara korupsi atau mengalihkan pada kasus perdata. Kondisi ini bukan mustahil terjadi, meskipun UU Antikorupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana atau kesalahan seseorang.

Dalam catatan ICW, terdapat beberapa kasus korupsi yang tersangkanya mengembalikan uang negara, namun kasusnya belum berujung ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi kredit macet Bank Mandiri dengan tersangka mantan menteri Abdul Latief. Sejak tersangka mengembalikan kerugian negara Rp 368 miliar pada Kejaksaan Agung pada 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga dilimpahkan ke pengadilan.

Kelima, seharusnya Kejaksaan Agung dapat mencontoh langkah yang ditempuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi, KPK langsung menahan tersangka, melakukan penelusuran aset (asset tracing), melakukan tindakan penyitaan aset milik tersagka, dan pencekalan pergi keluar negeri.

Keempat langkah yang diambil KPK tersebut justru efektif mengoptimalkan pengembaliaan uang negara yang dikorupsi. Penahanan yang dilakukan KPK juga tidak menyurutkan langkah tersangka untuk mengembalikan uang negara dengan harapan dapat pengurangan tuntutan hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sedikitnya sudah ada 19 kasus di KPK, dan sejumlah tersangka korupsi meskipun ditahan tetap mau mengembalikan uang hasil korupsi yang diterimanya.

Kebijakan ditahan atau tidak ditahan seorang tersangka seharusnya bukan didasarkan tindakan tersangka mengembalikan atau tidak mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Namun, kebijakan menahan atau tidak tersangka harus tetap berpedoman pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya pasal 21 ayat 1 tentang kebijakan menahan tersangka yaitu bila tersangka diyakini tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan menghilangkan barang bukti, atau tidak akan melarikan diri.

Justru muncul kekhawatiran bila kebijakan tidak menahan bagi pelaku korupsi diterapkan. Hal ini akan membuka peluang bagi tersangka untuk mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, atau bahkan melarikan diri ke luar negeri.

Jika pun dianggap sebagai penghargaan (reward) terhadap tersangka korupsi yang kooperatif dengan mengembalikan kerugian negara, langkah yang diambil kejaksaan bukan dengan cara tidak menahan pelaku korupsi. Namun, pengembalian uang hasil korupsi tersebut harus menjadi dasar bagi jaksa untuk meringankan tuntutan hukuman bagi pelaku. Sekali lagi, beri efek jera bagi koruptor dan jangan beri keistimewaan.

*. Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW di Jakarta

http://jawapos.com/

Pulau Terluar

Written By gusdurian on Selasa, 24 Februari 2009 | 12.59

Pulau Terluar
Menjaga Miangas Tak Jadi Las Palmas

Pasca-kehilangan Sipadan-Ligitan, perhatian publik dan Pemerintah Indonesia pada nasib pulau-pulau terluar lainnya meningkat pesat. "Pencaplokan" dua pulau di sisi timur Pulau Kalimantan itu oleh Malaysia jadi pelajaran penting bagi Pemerintah Indonesia, yang dituding tak sanggup menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

Tak jarang trauma Sipadan-Ligitan membuat isu pencaplokan pulau terluar bergerak bak bola liar. Inilah yang terjadi pada isu pencaplokan Pulau Miangas oleh Filipina yang beredar di publik sepanjang pekan lalu. Desakan agar pemerintah bertindak cepat dan tegas pun mengemuka dari banyak kalangan, mulai wakil rakyat, pengamat politik, hingga masyarakat.

Di jajaran pemerintah mencuat "desakan" senada. Seperti dinyatakan Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Tedjo Edhy Purdijanto, di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Jumat pekan lalu. Tedjo meminta Departemen Luar Negeri (Deplu) melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Filipina terkait dengan status Pulau Miangas. "Kami berharap, Deplu merasa tertantang untuk selalu membicarakan masalah ini," katanya. Tujuannya, tentu saja agar kasus Sipadan-Ligitan tak terulang.

Di tengah isu Miangas yang memanas, pihak Deplu terlihat tenang-tenang saja. Menurut Menlu Hassan Wirajuda, selama ini tak ada masalah dengan status Pulau Miangas. "Secara hukum, tidak ada keraguan. Secara politis, sampai saat ini Filipina tidak pernah mengklaim Pulau Miangas milik dia," ujar Hassan.

Memang, pada masa penjajahan Belanda, terjadi perebutan status Pulau Miangas antara Belanda dan Amerika Serikat, yang ketika itu menguasai Filipina. Karena tak tercapai kata sepakat, masalah ini diserahkan ke Mahkamah Internasional pada 1925. Hasilnya, pada 4 April 1928, hakim tunggal berkebangsaan Swiss, Max Hubber, menyatakan bahwa Miangas masuk dalam teritori Hindia Belanda.

Keputusan itu diterima pihak Amerika Serikat. "Status kepemilikan Miangas juga diperkuat dengan adanya protokol perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Filipina pada 1976," kata Hassan. Bahkan, di antara angkatan laut kedua negara terjalin kerja sama. Setiap tahun, dilakukan border committee meeting. Salah satunya dengan melakukan kerja sama patroli di wilayah perbatasan.

Itulah sebabnya, Hassan Wirajuda tampak kesal terhadap pihak-pihak yang meributkan status Miangas. "Kita sering ribut tanpa tahu masalahnya. Buang waktu, buang energi," tutur Hassan.

***

Guliran isu pencaplokan itu bermula dari temuan peta wisata yang mencantumkan Pulau Miangas (disebut dengan istilah Las Palmas) dan Pulau Marore sebagai daerah wisata di Davao, Filipina. Kebetulan Konsul Jenderal RI di Davao, Lalu Malik Partawana, mengambil peta itu dari Bandar Udara Internasional Davao ketika akan berangkat ke Manado, dua pekan lampau.

Malik terperangah melihat peta yang bertanda Departemen Pariwisata serta Departemen Transportasi dan Komunikasi Filipina itu. Sebab Pulau Miangas dan Marore adalah pulau-pulau yang ada dalam wilayah Republik Indonesia. "Saya segera melaporkan kejadian ini ke Jakarta. Setelah itu, saya tidak memberikan statemen apa pun," ujar Malik.

Meski tidak ada klaim resmi dari Pemerintah Filipina, pencantuman Miangas dalam peta wisata Davao itu semestinya bisa menjadi pengingat bagi Pemerintah Indonesia. Yakni agar serius menjaga dan memajukan perekonomian di Miangas dan puluhan pulau terluar lainnya yang dihuni.

Miangas adalah sebuah desa pulau di Lautan Pasifik, dengan luas 3,15 kilometer persegi, yang hanya dihuni 678 jiwa. Pulau kecil ini terletak di ujung utara gugusan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, dan berbatasan langsung dengan Pulau Mindanao di Filipina Selatan, sehingga masuk area Border Cross Agreement. Namun jarak Miangas ke Manado (324 mil laut) lebih jauh dibandingkan dengan ke Tanjung Saint Agustin di Mindanao (50,4 mil laut).

Menurut Fanmy S. Unsongs, Kepala Sub-Bagian Pemberitaan Humas Pemerintah Kabupaten Talaud, posisi itu membuat warga Miangas dan Kepulauan Talaud lebih banyak melakukan transaksi jual-beli dengan masyarakat Filipina. "Ini tidak bisa dimungkiri, masyarakat Miangas sangat terbuka kepada warga Filipina," kata Fanmy.

Pola perdagangan itu mulai berubah sejak beroperasinya dua kapal ke Miangas. Dua pekan sekali, kapal Pelni dan kapal Perintis menyambangi Pelabuhan Miangas. Rute kapal Pelni dimulai dari Bitung, kemudian singgah di Lirung dan Karatung, baru terakhir di Pulau Miangas. Bila cuaca bagus, perjalanan ini hanya ditempuh dua hari.

Sedangkan rute kapal Perintis lebih panjang. Berangkat dari Bitung, singgah ke Makalehi, Tahuna, Melonguane, Lirung, Beo, Esang, Geme, Kakorotan, dan Karatung, sebelum akhirnya sampai di Miangas. Waktu tempuhnya pun lebih lama, empat hari.

Tapi jadwal dua kapal itu bisa berantakan bila sedang musim angin barat, ketika laut tak bersahabat. Bisa sampai sebulan bahkan tiga bulan dua kapal itu tak menyambangi Miangas. Alhasil, suplai bahan makanan pokok dan bahan bakar pun terputus. Padahal, Miangas hanya mengandalkan kopra dan hasil laut produk budi daya alam asli.

Menurut Fenmy, untuk mengatasi krisis pangan di Miangas pada saat musim angin barat, pemerintah membangun gudang logistik, tahun lalu. Biaya pembangunannya Rp 150 juta. "Ini juga salah satu upaya memberikan perekonomian yang lebih baik kepada warga," ujar Fenmy.

Pemerintah berupaya pula mengurangi keterisolasian Miangas dengan rencana membangun bandar udara. Rencana ini bergulir dua tahun terakhir, tapi belum juga terealisasi. Kendalanya terletak pada pembebasan tanah. Warga mengajukan biaya ganti rugi Rp 150.000 sampai Rp 250.000 tiap meter persegi. Sedangkan pemerintah hanya menyanggupi Rp 100.000.

Keseriusan pemerintah pusat dan daerah memajukan perekonomian Miangas tak lepas dari insiden pengibaran bendera Filipina pada Juni 2005 oleh warga Miangas. Kejadian ini dipicu tewasnya Sekretaris Desa Miangas, Jongki Awala, akibat berkelahi dengan Kapolsek Miangas, Inspektur Dua Ayub Dareda.

Menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Alex Retraubun, Miangas bersama 11 pulau terluar lainnya memang menjadi prioritas pemerintah dari sisi keamanan maupun ekonomi. Pembangunan infrastruktur dan prasarana penunjang lainnya gencar dilakukan di pulau-pulau itu. Di Miangas, misalnya, kini berdiri pelabuhan laut yang memadai, layanan telekomunikasi seluler, sekolah sampai tingkat menengah atas, kantor bea cukai, pos imigrasi, dan PLN.

Hanya saja, sampai saat ini, di Miangas belum tersedia satu pun pompa bensin. Tak mengherankan bila premium menjadi barang langka dan mahal. Harganya bisa mencapai lima kali lipat harga normal. Padahal, usulan pembuatan pom bensin pernah diajukan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Toh, menurut Alex, pembangunan ekonomi di Miangas di masa mendatang akan terjamin dari sisi pendanaan. Sebab Bappenas tengah menggodok rancangan pembangunan jangka menengah untuk wilayah perbatasan. "Ini agenda penting dan kalau sudah masuk Bappenas, berarti ada kepastian pembangunan di wilayah perbatasan, termasuk Miangas," ujar Alex.

Astari Yanuarti, Bernadetta Febriana, dan Rach Alida Bahaweres
[Nasional, Gatra Nomor 15 Beredar Kamis, 19 Februari 2009]


http://gatra.com/artikel.php?id=123414

Mencoba Kebijakan Afirmatif ala Jerman

Mencoba Kebijakan Afirmatif ala Jerman


Oleh Tri Cahyo Utomo

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) akhir 2008 dinilai bakal menurunkan secara signifikan keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan kita. Alasannya adalah karena keputusan lembaga tinggi negara itu menegasikan ketentuan Pasal 214 Undang-undang (UU) No 10/2008 berkaitan dengan penetapan calon terpilih anggota legislatif yang didasarkan pada urutan nomor.
MK berkeyakinan pasal tersebut tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, calon yang mendapat suara terbanyaklah yang berhak duduk di lembaga legislatif. Dengan demikian, tujuan dalam pasal 55 ayat 2 UU itu tidak berguna lagi. Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dengan cara menempatkan paling sedikit satu calon perempuan dari setiap tiga orang caleg, sangat sulit direalisasikan. Keputusan MK itu dianggap akan mempersulit pemenuhan kuota 30% perempuan di legislatif.

Walaupun MK menegasikan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampaknya berencana tetap memperjuangkan keterwakilan perempuan dengan cara memberikan keistimewaan (lewat kebijakan afirmatif) dalam Pemilu 2009. Direncanakan, jika sebuah parpol di sebuah daerah pemilihan (dapil) berhasil merebut tiga kursi dan kebetulan ketiga-tiganya laki-laki calon legislatif (caleg), maka kursi ketiga harus diberikan kepada perempuan caleg berpendukung tertinggi.

Rencana KPU itu pun menimbulkan kritik. Tidaklah layak KPU sebagai pelaksana undang-undang malah membuat undang-undang baru. Rencana kebijakan afirmatif KPU itu kemungkinan besar akan menimbulkan konflik internal parpol. Sulit dipahami jika caleg ketiga terpilih (kebetulan laki-laki) harus menyerahkan kursinya kepada perempuan caleg yang sesungguhnya tidak memenuhi kuota suara minimum.

Kontroversi antara keputusan MK yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak di satu pihak serta keinginan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan di lain pihak, mendorong penulis memberikan sebuah saran penyelesaian.

Sistem Distrik
Dalam literatur ilmu politik, sistem pemilihan anggota parlemen jika disederhanakan ada tiga macam, yakni sistem distrik, sistem proporsional, dan campuran. Masing-masing sistem ini mempunyai variasi.

Sistem pemilu dan penetapan caleg terpilih dalam Pemilu 2009 seperti direkomendasikan MK, masuk dalam kategori sistem distrik dengan varian tertentu. Di sini wilayah nasional dibagi menjadi sekian distrik/dapil.

Masing-masing dapil memperebutkan sejumlah kursi legislatif. Para pemilih menjatuhkan pilihannya hanya kepada salah satu dari sekian calon. Para calon yang terpilih menjadi anggota legislatif adalah mereka yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak pada urutan sekian teratas, sesuai dengan kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan tersebut.

Adapun calon lain, yang perolehan suaranya lebih rendah, otomatis tidak terpilih. Misalnya, di dapil X diperebutkan tiga kurs, maka mereka yang terpilih adalah tiga caleg yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak.

Keunggulan sistem ini, antara lain, mereka yang berpendukung terbanyak adalah yang terpilih. Dalam kaitan dengan penetapan caleg terpilih di Indonesia, keputusan MK sejalan dengan argumen ini.

Menurut MK, argumen ini searah dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu, keunggulan sistem ini, pemilih bisa memilih langsung caleg yang dianggap terbaik. Lagipula, sistem ini mendekatkan hubungan antara caleg dengan konstituen. Pola ini mendorong sistem kepartaian yang sederhana.

Kelemahan sistem ini, antara lain, adalah kesulitan para caleg yang kurang mendapat dukungan cukup banyak untuk melenggang ke gedung parlemen. Hanya caleg dari partai-partai besar dan mempunyai pendukung besar yang bisa menang. Untuk Indonesia, penggunaan sistem ini tentu akan mempersulit upaya meningkatkan keterwakilan kaum perempuan dalam parlemen.

Berkecimpungnya kaum perempuan Indonesia di arena politik belum begitu lama, mendalam, dan meluas. Konsekuensinya, pada waktu mereka mendaftar sebagai caleg, mereka tidak begitu dikenal dan nantinya tidak banyak dipilih.
Kebijakan afirmatif yang direncanakan KPU tentu tidak sejalan dengan sistem distrik. Selain itu, kelemahan sistem distrik yang lain adalah tidak ada keseimbangan jumlah suara dukungan bagi masing-masing caleg terpilih. Ada caleg terpilih dengan suara begitu banyak, akan tetapi ada pula caleg terpilih dengan suara cukupan saja. Lebih lanjut, perolehan suara dukungan dalam pemilu kadang tidak seimbang dengan perolehan kursi di lembaga perwakilan.

Sistem Proporsional
Seperti halnya sistem distrik, sistem proporsional juga bervariasi. Pada masa Orde Baru, kita menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Dalam sistem ini, pimpinan partai membuat daftar para caleg dan menentukan rangking.

Karena menganut sistem daftar tertutup, pemilih menjatuhkan pilihan pada partai, baik itu untuk aras nasional, provinsi ataupun kabupaten/kota. Jumlah kursi yang diperoleh partai didasarkan pada suara sah yang diperoleh di suatu dapil dibagi total suara sah dikalikan jumlah kursi yang diperebutkan. Caleg terpilih biasanya mereka yang berada di rangking atas.

Keunggulan sistem ini adalah tingginya tingkat proporsionalitas. Kursi yang diperoleh di parlemen seimbang dengan suara yang diperoleh dalam pemilu. Dalam kaitannya dengan upaya mendongkrak jumlah kaum perempuan duduk di lembaga legislatif, sistem ini dianggap lebih menjanjikan.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, setiap partai berkewajiban mengajukan satu perempuan caleg dari setiap tiga caleg yang diajukan. Dengan cara seperti ini, jumlah kaum perempuan yang duduk di legislatif bisa mendekati angka 30%.

Selain itu, keunggulan sistem ini adalah adanya jumlah suara yang sama yang diperlukan bagi setiap caleg agar terpilih. Keunggulan lain sistem ini, suatu daerah pemilihan tidak cepat mengalami perubahan wilayah cakupannya.

Kelemahannya adalah ketidakmungkinan seorang pemilih memilih caleg idamannya. Juga hubungan caleg / anggota legislatif dengan konstituennya tidak dekat. Jumlah partai cenderung banyak pula.

Sistem Campuran
Sistem distrik memang memiliki kekuatan, yakni mampu merekrut calon berkualitas. Namun ia memiliki kelemahan pula, yaitu tidak bisa dipakai sebagai sarana pendongkrak jumlah kaum perempun di kursi legislatif yang baru nanti. Karena itu, untuk memungkinkan kenaikan keterwakilan kaum perempuan, sistem Pemilu 2014 perlu diubah.

Caranya dengan mencampur/menggabungkan sistem distrik dan sistem proporsional. Kelemahan sistem distrik bisa dikurangi dengan menggunakan sistim proporsional. Dengan sistem proporsional, parpol berkewajiban menempatkan satu perempuan caleg dalam setiap tiga caleg yang diajukan, sehingga jumlah mereka di parlemen meningkat.

Sistem campuran ini digunakan kali pertama oleh Jerman Barat (kemudian dilanjutkan Jerman) untuk memilih anggota Bundestag atau lembaga legislatif, dan semakin banyak diikuti negara lain seperti Rusia, Italia, Hongaria, Jepang, dan Selandia Baru (Dalton 2002: 233).

Di Jerman, anggota parlemen direkrut melalui dua cara sekaligus. Separo direkrut dengan sistem distrik dan separuh lagi direkrut dengan sistem proporsional. Setiap pemilih memiliki dua kartu suara: satu kartu dipakai untuk memilih caleg yang maju berdasar sistem distrik, sedangkan kartu lain digunakan untuk memilih partai favorit.

Jika sistem campuran ini digunakan di Indonesia akan memungkinkan perekrutan anggota legislatif yang berkualitas, peningkatan jumlah kaum perempuan di parlemen, pengurangan suara yang hilang, paling sedikit sebagian caleg/ anggota legislatif mau berhubungan dekat dengan konstituen. Memang sistem ini lebih mahal dan ruwet. Akan tetapi demi kepentingan bersama, mengapa tidak dicoba saja? (35)

— Tri Cahyo Utomo, dosen Magister Ilmu Politik Undip

http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=53178