BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kalau KPU Ngotot,Akan Terjadi Bencana Besar

Written By gusdurian on Sabtu, 21 Februari 2009 | 12.57

SELAIN mendapat tuduhan dari partai bahwa MK diintervensi dan mulai ada kolusi, MK juga menghadapi perlawanan dari KPU. Salah satunya KPU tidak mau mematuhi putusan MK yang dalam penentuan calon anggota legislatif (caleg) menggunakan suara terbanyak.


KPU sepertinya lebih memilih menggunakan nomor urut.Bagaimana jawaban Mahfud atas perlawanan KPU ini? Berikut lanjutan wawancara SINDO dengannya.

Bagaimana Anda menanggapi perlawanan KPU yang tidak mau mematuhi putusan MK soal suara terbanyak?

Di KPU tidak ada orang yang berlatar hukum. Sama sekali. Lalu yang memberi nasihat itu mantan wakil ketua KPU. Dia ini juga tidak punya latar belakang hukum. Tetapi dia ini sangat pintar di bidang politik,yaitu Pak Ramlan (Prof Dr Ramlan Surbakti). Dia memberi saran bahwa putusan MK itu final, tapi tidak mengikat.

Ramlan berani memberi saran ke KPU seperti itu,mungkin dia punya dasar kuat?

Memang pernah ada putusan MK yang tidak langsung berlaku sebelum ada perppu (peraturan pemerintah pengganti undangundang) atau undang-undang yang mengganti itu, tidak berlaku. Dia lantas memberi contoh putusan MK tentang calon independen kepala daerah. Kata dia, putusan itu tidak berlaku sebelum ada penggantinya, yaitu UU No 12/ 2008 atau belum ada revisi.

Tapi itulah orang yang tidak tahu hukum,tidak semua putusan MK itu harus ada revisi undangundang. Banyak sekali contohnya. Misalnya UU Terorisme oleh MK batal,tapi nggakada itu revisi atau penggantinya, lalu UU Pemilu yang mengatur bahwa calon DPD tidak dicantumkan asal daerah tinggal. Nah, MK menyatakan harus tercantum. Tidak ada itu revisi dan langsung dijalankan oleh KPU.

Kenapa soal ini mereka minta perppu.Maka saya jelaskan, harus dilihat putusan MK. Yang perlu undang-undang atau perppu itu kalau terjadi kokosongan hukum. Karena peniadaan sesuatu itu menyebabkan sesuatu tidak jalan. Kalau ini kan begitu diputuskan langsung disuruh jalan. Seperti KY dan UU Pemerintahan Daerah yang butuh udang-undang atau perppu.

Adakah landasan yuridis yang bisa menegaskan kewenangan putusan MK sehingga tak perlu lagi dipersoalkan KPU?

Harus diingat bahwa MK itu kewenangannya berdasarkan langsung UUD, yakni Pasal 7 dan Pasal 24, sehingga putusannya bernilai undang-undang.Ini berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang diberikan kewenangan oleh undangundang. MK diberi kewenangan oleh UUD sehingga harus dibedakan. Nah, yang begitu itu KPU,masih terus mau berwacana, padahal waktunya sudah tidak memungkinkan. Mau berwacana, tapi teori begitu, sementara penguasaan dia atas teori itu kurang.

Apa akibatnya kalau KPU terus begitu?

Kalau KPU tetap memaksakan dengan nomor urut, pasti terjadi bencana besar. Kenapa? Pertama, karena peraturan itu jelas tidak sah. Kedua karena orang yang sudah mendapat suara terbanyak, lalu diberlakukan nomor urut, padahal ada putusan MK. Maka, pasti KPU yang dihancurkan orang. Makanya saya segera berteriak agar KPU selamat dan pemilu juga selamat.

Bayangkan kalau KPU masih berbicara seperti itu, misalnya tanggal 9 April,maka tanggal 10 April bisa ribut, hancur pasti KPU dan seluruh KPU akan gagal kalau itu yang dilakukan. Bahaya sekali. Karena apa pun hasil pemilu pasti ribut.Kalau pada akhirnya kembali pada suara terbanyak, maka nomor urut yang ribut karena KPU sudah mewacanakan itu, dan kalau yang diberlakukan nomor urut maka suara terbanyak yang akan ribut karena putusan MK begitu. Itu bahayanya KPU berwacana.

Lalu apa solusinya?

Solusinya begini,kembalikan putusan MK sebagaimana aslinya. KPU itu menjalankan putusan MK sesuai dengan UU No 10/2008 (tentang Pemilu). UU No 10 itu mengatakan setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Nahitu jalan saja,tidak boleh lalu KPU menyusun setiap ada anggota tiga terpilih harus ada dari perempuan (zipper system). Sejak dulu itu tidak ada aturan di UU,di putusan MK juga tidak ada. Kalau diadakan, itu kan berarti mengatur. Nah, kalau sudah mengatur itu wewenangnya DPR. Tapi dia sudah berwacana begitu, itu yang bahaya sekali.

Anda sering mewacanakan bahwa MK menganut keadilan substantif, bisa dijelaskan lebih detail?

MK sekarang menganut paradigma keadilan substantif yang membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang,jika undangundang tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undangundang itu tidak adil.Yang kami abaikan dalam memutus adalah undangundang yang jelas-jelas tidak adil saja.Adapun yang adil ya tetap diikuti, sebab kalau dalam setiap putusan kita menyimpangi undang-undang secara sama rata,itu namanya bukan keadilan substantif, tapi keadilan tiranik. MK akan menjaga integritas, kejujuran,dan kemandirian.

Dengan modal itu kami akan mengetokkan palu keraskeras untuk turut memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum, tak peduli orang mengkritik atau memuji. Mumpung punya kewenangan memegang palu untuk turut memperbaiki keadaan.

Contoh konkretnya?

Kita mulai pada putusan Pilkada Jatim. Saat itu kita mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada keadilan dalam kami mengadili. Jadi begini, menurut UU Pemda tidak ada sebuah pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali bencana alam. Tidak ada kewenangan bagi MK menyuruh untuk pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena itu wewenangnya KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, kalau kita tidak bisa menghukum dan hanya menghitung dokumen, padahal dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran, lalu apa gunanya ada MK?

Lalu kita merumuskan, kalau ada sebuah kecurangan dilakukan secara terstruktur dan masif dilakukan pejabat, maka itu kita batalkan . Lalu orang ribut, mereka bilang MK melanggar undangundang, ya memang betul. Tapi MK punya alasan karena MK boleh keluar dari undangundang karena undangundang saja boleh kita batalkan kok, masa aturan yang tidak adil mau kita laksanakan. Tentu ada dasarnya.Kita bentuk keadilan sendiri karena dalam UUD 1945,MK itu dibentuk untuk mengawal UUD. Itu yang namanya keadilan substantif MK harus kreatif untuk mencari keadilan, kalau perlu melanggar undang-undang, dan itu sudah banyak kita lakukan. Itu ada dasar teorinya dan dasar konstitusinya.

Berarti MK Boleh memutuskan melebihi dari tuntutan atau ultra petita?

Kalau dalam uji materi undang-undang saya termasuk orang yang tidak setuju dengan ultra petita.Tapi kalau dalam konflik peristiwa, seperti misalnya sengketa kewenangan, sengketa pemilu,sengketa pilkada, itu kan konflik peristiwa, bukan konflik norma,itu boleh. Kadang orang tidak membedakan bahwa MK menangani konflik norma dan konflik peristiwa.

Nah, konflik peristiwa itulah yang boleh, seperti putusan MK dalam Pilkada Jatim. Saya berbeda dengan Pak Jimly (Jimly Asshiddique) karena dia menerapkan ultra petita dalam konflik norma seperti dalam uji materi UU KY yang melebihi dari apa yang dimohonkan dan dibatalkan semua pasalnya.

Nah, saya tidak setuju itu. Soalnya, kalau konflik norma ada ultra petita,maka dia sudah masuk pada ranah legislatif. Tapi kalau konflik peristiwa boleh. Karena saya tidak mau terikat dengan undangundang kalau tidak adil. Karena itu,untuk kasus Jatim itu sudah jadi yurisprudensi. Walaupun ada juga yang menggerutu, ya tidak apaapa. Tapi buktinya kan sekarang sudah selesai. Dan keputusan kita bahwa terjadi kecurangan terstruktur dan masif dilakukan oleh pejabat kan sekarang terbukti dengan Ketua KPUD yang menjadi tersangka. (rahmat sahid)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215340/38/

Ponari

FENOMENA tabib cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur, mengajak kita—kalau mau—merenung lebih jauh. Sesuai pernyataan WHO,fenomena Ponari membuktikan sebenarnya jalur pelayanan kesehatan di dunia, termasuk Indonesia, bukan terbatas hanya jalur tunggal yang dimonopoli sistem pelayanan kesehatan tradisional kebudayaan Barat belaka.


Bagi yang khawatir anggapan pelayanan kesehatan multijalur tidak modern, bahkan ketinggalan zaman,perlu menyadari bahwa forum ilmu pelayanan kesehatan di Jerman—sebagai salah satu negara termodern di dunia— tegas menyatakan bahwa di antara langit dan bumi tersedia aneka ragam jenis pelayanan kesehatan yang tidak semuanya perlu dibuktikan secara ilmiah.

Apalagi ”ilmiah” itu terbatas kaidah akademis kebudayaan Barat.Dan masih menurut WHO, de facto pelayanan kesehatan bukan sekadar suatu bentuk ilmu,melainkan bagian dari peradaban dan kebudayaan.

Maka,Depkes Jerman tidak malu membuka jalur resmi bagi pengobatan-pengobatan yang dianggap tidak ilmiah karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah,seperti ramuan obat-obatan tradisional, ginseng, akupunktur, terapipiramidal, terapi-magnetis, homeopathi, sampai pengobatan spiritual,seperti yang dipraktikkan bocah Jombang bernama Ponari itu.

Yang utama dikendalikan adalah jangan sampai ada praktik pelayanan kesehatan bentuk apa pun yang membahayakan bagi pasien. Mengagumkan, bagaimana sebagian kaum intelektual Indonesia masa kini justru memiliki arogansi akademis kebudayaan Barat lebih hebat ketimbang Jerman dengan sama sekali tidak sudi mengakui,bahkan mencemooh,jalur pelayanan kesehatan non-Barat sebagai takhayul, klenik, tidak masuk akal-sehat, bahkan penipuan!

Beda dengan China dan India, politik pelayanan kesehatan di Indonesia enggan menghargai, apalagi mengakui, karsa dan karya peradaban dan kebudayaan pengobatan tradisi bangsa sendiri! Nama ”jamu” yang merupakan warisan kebudayaan Nusantara sempat akan diganti menjadi ”herbal”,konon agar sekadar terkesan lebih modern dan keren! Benak sebagian ilmuwan kesehatan Indonesia sudah begitu dikuasai,bahkan dijajah,imperialisme kebudayaan Barat.

Hingga tanpa disadari gigih melakukan pembinasaan kebudayaan bangsa sendiri! Tidak heran apabila praktik pelayanan kesehatan Ponari yang berakar di bumi kebudayaan Nusantara sendiri itu dituduh sebagai klenik, takhayul,bahkan penipuan yang mematikan logika!

Di sisi lain, fenomena Ponari membuktikan jaringan pelayanan kesehatan nasional belum optimal menjangkau seluruh anggota masyarakat. Ribuan rakyat dari berbagai pelosok Nusantara (termasuk dari kedutaan negara sahabat) berduyun-duyun ke Jombang untuk antre memperoleh penyembuhan Ponari, sampai bocah cilik tidak berdosa itu kelelahan

Bahkan setelah Ponari menghentikan pelayanan pun massa menuntut agar praktik pengobatan tabib cilik itu kembali dibuka agar perjalanan mereka dari jauh ke Jombang tidak sia-sia. Tampaknya pemerintah masih perlu mengintensifkan dan memperluas jaringan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Bukan hanya melalui jalur tradisional Barat, namun justru juga jalur tradisional kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.

Jika Jerman, yang bukan negara terbelakang, itu tidak malu membuka multijalur pelayanan kesehatan, kenapa Pemerintah Indonesia harus malu mengakui karsa dan karya kebudayaan pelayanan kesehatan bangsa Indonesia sendiri di samping tetap mengembangkan pelayanan kesehatan sistem akademis Barat yang memang memiliki kelebihan potensi tersendiri itu! Politik pelayanan kesehatan Indonesia seyogianya jangan ingkar falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan resmi mengakui kebhinneka-tunggal-ikaan kebudayaan kesehatan nasional, pemerintah justru mampu memegang kendali mekanisme gerak pelayanan kesehatan nasional secara lengkap, hingga tidak perlu terjadi ledakan histeria massa lepas kendali di Jombang itu! Tetapi yang utama diperhatikan dan dilaksanakan adalah perlindungan atas hak-hak Ponari sebagai anak Indonesia seutuhnya.

Jangan sampai akibat masyarakat membutuhkan,bahkan menuntut, kemampuan khusus sang tabib cilik ini lalu Ponari habis-habisan dieksploitasi, dimanfaatkan, bahkan dikorbankan untuk kehilangan hak-haknya sebagai anak. Sebagai anak Indonesia, Ponari jangan sampai kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, dan bermain! (*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215336/38/

Suara Terbanyak atau Banyak Bersuara?

Apa lagi maunya KPU? Gumaman itu meluncur begitu saja dalam perjalanan saya dari London ke Birmingham, 19 Februari lalu.


Dari internet saya menyimak polemik muncul kembali mengenai penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak yang telah diputuskan MK pada 19 Desember 2008, yang dikatakan Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay sebagai “kado akhir tahun”. KPU ternyata belum merasa nyaman dengan putusan tersebut.

Mereka meminta Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai suara terbanyak,membonceng materi perppu tentang pemberian lebih dari satu tanda dan penetapan daftar pemilih tetap. Logika yang dibangun KPU kirakira demikian: setelah MK membatalkan Pasal 214 UU Pemilu (UU No 10/2008) telah terjadi kekosongan hukum mengenai cara untuk menetapkan caleg terpilih.

Untuk menambal kekosongan hukum tersebut, menerbitkan perppu adalah cara termudah dan tercepat, juga menjamin kenyamanan kerja KPU. Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dalam setiap putusan MK.Ketika MK menyatakan sebuah ketentuan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sangat mungkin belum ada hukum yang menggantikannya.

Meminjam Hans Kelsen, fungsi badan seperti MK dalam pengujian undang-undang hanyalah negative legislator. MK hanya dapat membatalkan suatu ketentuan hukum, tetapi (seharusnya) tidak membuat norma hukum baru.Hanya DPR bersama pemerintah yang memiliki kekuasaan konstitusional untuk membuat undang-undang sebagai positive legislator.

Pakem seperti itu ternyata sudah ditinggalkan MK. Terbukti dalam putusan pengujian UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 19 Desember 2006, MK telah menyelipkan norma baru. Keyakinan konstitusional MK menyatakan bahwa pembentukan pengadilan tipikor dengan cara menyelipkannya dalam undang-undang lain bertentangan dengan UUD 1945.

Para pakar hukum yang menyimak putusan tersebut rata-rata setuju bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional.Berdasarkan ketentuan UU No 24/2003 (UU MK), pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Persoalannya, apa jadinya bila pakem formalistik tersebut diikuti?

Semua kasus yang saat ini ditangani Pengadilan Tipikor bubar jalan.Para terdakwa korupsi akan melenggang kangkung tanpa konsekuensi lebih lanjut,dan atas nama hukum mereka tidak boleh diadili untuk kedua kalinya untuk perkara yang sama.

Demi kemaslahatan,MK kemudian menyelipkan norma dalam putusannya yang memberikan napas selama tiga tahun bagi Pengadilan Tipikor hingga 19 Desember 2009. Karena dirasakan bermanfaat, putusan itu umumnya dapat diterima banyak pihak, termasuk para penggiat antikorupsi. ***

Putusan tentang suara terbanyak umumnya juga disambut baik,terutama oleh parpol-parpol yang berniat menerapkan suara terbanyak seperti PAN, Demokrat, dan Golkar, walaupun harus diakui pula bahwa ada yang menentang,seperti PDIP dan (terutama) para aktivis perempuan.

Sejak awal MK juga telah menyadari bahwa kontroversi tentang legal vacuum dapat terjadi.Itulah sebabnya dalam putusannya MK menyatakan bahwa KPU dapat mengatur soal suara terbanyak itu berdasarkan mandat Pasal 213 UU Pemilu, yang intinya menyebutkan bahwa KPU berwenang menetapkan caleg terpilih.

Diskresi itu memang luar biasa karena materi yang akan diatur oleh KPU sebenarnya setingkat undangundang, namun jadi tidak berlebihan karena diperintahkan oleh MK melalui putusannya.Diskresi KPU,karenanya, tidak boleh melebihi dari apa yang diperintahkan MK. Misalnya KPU tidak boleh membuat aturan suara terbanyak berdasarkan pembedaan caleg laki-laki dan caleg perempuan.

Dengan demikian,dalam tataran ini KPU sebenarnya hanyalah pelaksana dari ketentuan yang dibuat oleh legislator, baik positive legislator (DPR dan pemerintah) maupun negative legislator(MK). Mudahnya,dasar hukum dalam penentuan suara terbanyak adalah UU Pemilu, terutama ketentuan Pasal 213, dan putusan MK tanggal 19 Desember 2008.Putusan MK bernilai sama dengan undang-undang, dan dalam beberapa hal bahkan bisa melebihi ketentuan undang-undang.

Misalnya MK pernah mengesampingkan ketentuan Pasal 50 UU MK yang menyatakan bahwa MK hanya boleh menguji undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945. Karena itu putusan MK harus dilaksanakan tanpa pengecualian, termasuk oleh KPU.

Pertanyaannya, apakah terhadap putusan tersebut masih dibutuhkan perppu? Atau apakah perppu harus dikeluarkan untuk memperkuat putusan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini: tidak! Secara teoretis, perppu dibutuhkan karena adanya kegentingan yang memaksa, yang bisa saja ditafsirkan secara subjektif oleh presiden. Namun, yang juga tak kalah pentingnya adalah perppu perlu dikeluarkan karena ada kekosongan hukum.

Dalam perkara suara terbanyak, tidak terjadi kekosongan hukum karena KPU dapat mendasarkan tindakannya pada putusan MK yang bernilai sama dengan undang-undang. Mengeluarkan perppu (atau lebih tepatnya meminta perppu kepada presiden) dengan alasan kekosongan hukum sama sekali keliru. Ketika berkunjung ke KPU Inggris di London saya semakin menyadari betapa beratnya kerja KPU kita.KPU Inggris tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu, termasuk hasilnya.

Proses pemilu diserahkan ke masing-masing pemerintah lokal, kepada pejabat yang disebut dengan returning officer. KPU Inggris hanya memberikan guidance dan lebih bertanggung jawab terhadap voter information dan voter education. Kepada salah seorang komisioner di sana saya katakan,“Dibandingkan KPU kami Anda lebih beruntung karena tugas Anda lebih ringan. KPU kami harus mengerjakan urusan pemilu dari A hingga Z.”

Sampai titik ini,rasa salut dan hormat perlu disampaikan kepada KPU. Namun, rasa hormat itu sering hilang begitu saja manakala melihat perilaku KPU yang tidak jelas juntrungannya. Dalam perkara meminta perppu, ketimbang menyelesaikan soal suara terbanyak, bagi saya,beberapa anggota KPU hanya ingin selalu terlihat tampil di publik dengan terus banyak bersuara! (*)

Refly Harun
Peneliti Senior Cetro Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215308/

Potret Negeri tanpa Simponi

Potret Negeri tanpa Simponi

Oleh Ario Djatmiko *

Keliru kalau Anda berharap menyaksikan tontonan heboh dari Michael Frank. Musiknya datar dan tidak tergesa-gesa. Tetapi, itulah yang membuat saya harus datang untuk kali kedua.

Mengapa? Ada keteduhan dan identitas di sana. Michael Frank lebih mengajak kita berdialog ketimbang memaksa untuk berdecak kagum. Tampak ringkih, penampilan dan lagunya pun nyaris sama. Tidak jadi soal, penonton sangat menikmati.

Berbicara musik jazz, kita tidak boleh melewatkan satu nama, Oscar Peterson. Dizzy Gillespie menyebutnya "sang maharaja". Sayang, sang maharaja itu pada 23 Desember 2007 dipanggil menghadap Sang Khalik. Beruntung, saya sempat menikmati dialog jazz dengannya 26 tahun silam. Dia berkata, "Orang sering keliru melihat jazz sebatas pertunjukan skill. Keterampilan hanyalah prasyarat untuk memperluas ruang eksplorasi. Sedangkan, unsur utama jazz adalah kebebasan dan kreativitas".

Itulah yang membedakan musik jazz dengan musik lain. Oscar Peterson berkata, "Jazz adalah 'proses pencarian' yang tidak pernah selesai. The real democracy ada di musik jazz. Dia menunjuk pemain basnya; Saya bisa memaksa dia bermain. Tetapi, saya tidak bisa memaksa dia untuk memberikan yang terbaik".

Mengapa? Sebab, memberikan yang terbaik itu urusan spirit dan rasa. Terbaik bukan berarti lantas pamer keterampilan tanpa batas. Bukan, tetapi kesediaan membuka dialog! Inilah awal lahirnya harmoni. Tanpa harmoni, musik akan hambar tanpa nyawa dan tanpa identitas. Lirih dia berkata, "Sebenarnya, hidup ini adalah bagian dari simfoni. Mungkin Tuhan menciptakan musik agar kita lebih memahami apa arti harmoni dalam kehidupan ini".

Mungkin terlalu filosofis, tetapi Oscar Peterson benar. Di tengah kehidupan yang kian kompleks ini, pemahaman tentang harmoni menjadi teramat penting. Pertanyannya, benarkah selama ini kita sadar akan pentingnya harmoni?

Mengukur Stabilitas

Apakah arti harmoni? Common sense, harmoni itu identik dengan indah. Perasaan damai, hijau, teduh, pokoknya everybody happy. Benarkah kita sudah memiliki perasaan seperti itu di bumi pertiwi ini? Lantas, musik apakah yang Anda dengar di negeri ini? Lolongan PKL yang tergusur, tangisan kepedihan, dan aroma kematian di mana-mana.

Apakah itu suara indah yang membawa sinar Ilahi atau musik kematian? Belum cukup, musik iblis mengiringi deru mesin penghancur hutan, bumi dan laut yang terus bekerja tanpa jeda. Sungguh kemampuan destruktif yang mengagumkan. Apakah itu harmoni? Siapakah yang harus menjawab?

Presiden The Eurasia Group, Ian Bremmer, menulis The J Curve buku tentang a new way to understand why nations rise and fall. Ada empat level stabilitas negara. Negara dengan stabilitas tinggi, menengah, rendah, dan terakhir negara gagal. Intelektual muda, Yudi Latif, menaruh Indonesia di level negara dengan stabilitas rendah. Artinya, hukum masih berjalan, tetapi pemerintah sedang berjuang untuk mencapai efektivitas dalam mengimplementasikan kebijakannya. These states are not well prepared to cope with sudden shock.

Dan, kapan negara itu dikatakan gagal? Negara tanpa stabilitas dan tendensi, chaos. Di sini, pemerintah tidak mampu lagi mengimplementasikan kebijakan. Terjadi fragmentasi, negara sepenuhnya dikontrol kekuatan luar.

Mungkin Yudy Latif benar, Indonesia ada di level low stable state. Beberapa pertanyaan mengganggu, bukankah kebijakan negara saat ini telah didikte kekuatan luar? Bukankah stabilitas negara ditujukan untuk menjaga investasi asing? Faktanya, hukum telah lama meninggalkan rakyat kecil.

Esok masih ada. Pertanyaannya, ke mana negeri ini menuju? Kita harus tetap menyimpan optimisme. Peter Drucker mengingatkan, tomorrow is an opportunity. Tetapi, semua itu bergantung musik apa yang akan kita mainkan. Di sini jelas, pemahaman tentang harmoni dalam bernegara menjadi conditio sine qua non.

Membangun Harmoni

Oscar Peterson mengingatkan, harmoni tidak mungkin dicapai tanpa dialog. Benar, Socrates ribuan tahun lalu mengingatkan, kemampuan berdialog adalah bagian paling mendasar yang harus dimiliki manusia beradab. Kebajikan hanya mungkin lahir dari dialog. Gagasan besar selalu diawali dengan dialog. Dalam bahasa Yunani kuno, dia-logos berarti a free flow of meaning between people.

Tidak ada paksaan! Di era modern ini, Peter Senge mengatakan, dialog adalah bagian paling inti dalam menjalankan organisasi. Ketulusan menerima ide, melihat ke depan bersama, dan menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Negara bukan hadir sebatas ikatan rasional.

Lebih dari itu, negara membutuhkan ikatan spiritual dan emosional yang dalam. Hanya dengan dialog, spiritual and emotional alignment tersebut terbangun. Itulah fondasi rumah kita yang bernama Indonesia. Tanpa fondasi yang kuat, sebagus apa pun desain di atas, rumah tersebut akan rontok.

Apakah dialog kebangsaan masih mungkin dilakukan para elite kita? Terasa benar, ketulusan semakin jauh atau mungkin hilang! Tertutup oleh dorongan selfish yang tak berbatas. Yang tampak hanyalah rivalitas politik yang semakin tajam dan tidak sehat. Sepi gagasan besar, ruang penuh iklan politik yang mahal, tapi murahan. Retorika kata kian banal.

Dalam situasi homo homini lupus -manusia merupakan serigala bagi sesamanya- ini, masihkah kita bisa bicara tentang demokrasi? Samuel Huntington mengingatkan, demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Sebab, ia dapat mengundang inefisiensi dan ketidakpastian. Hannah Beech pun menulis, perlu tingkat peradaban tertentu untuk dapat memaknai demokrasi.

Jalan Baru?

Mungkinkah demokrasi tanpa dialog akan membawa negeri ini ke cita-cita bangsa? Sampai kapan rakyat harus menunggu? Korban sudah terlalu banyak, cahaya di depan kian meredup.

Saya teringat kata-kata Radhar Panca Dahana, "Sudah lama saya kehilangan kepercayaan pada sistem pemerintahan dan sistem politik negeri ini. Mungkin berlawanan dengan nurani intelektual saya. Tetapi, saya melihat dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan pemerintahan otoriter yang benevolence (baca: budiman)."

Mungkin dia benar! Selama ini, negeri kita berjalan tanpa simfoni. Kita harus menerima jenis musik baru yang sesuai dengan peradaban kita. Sebba, itulah yang akan menyelamatkan negeri ini. Apa pun jenis musik yang hadir, -lagu sakral gubahan Kusbini- ini, seharusnya mengukir relung jiwa para pemimpin bangsa. Padamu negeri, aku berjanji.....bagimu negeri, jiwa raga kami.

* Ario Djatmiko, dokter, ketua Litbang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jatim

http://jawapos.com/

Para Ahli Kubur dari Jombang

Para Ahli Kubur dari Jombang
Emha Ainun Nadjib
BUDAYAWAN

Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."

Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."

Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun, mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah, pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke belahan itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.

Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan Allah.

Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu sepenuhnya terserah-serah Tuhan.

Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa saja.

Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam, kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara mereka.

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania atau ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia cintai.

Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh. Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan. Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."

"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku. Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya, tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu sejenak. Letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."

Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak ngerti.

"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada suara lain yang membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!"



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/21/Opini/krn.20090221.157534.id.html

Dari Bursa Hinggap di Senayan

Written By gusdurian on Rabu, 18 Februari 2009 | 12.29

ADU KUAT BAKRIE VERSUS BAPEPAM (BAGIAN TERAKHIR)
Dari Bursa Hinggap di Senayan
Upaya membuka kasus Bumi terendus sebelum rapat. Ada gerilya politik.
Pengantar
Akuisisi kilat PT Bumi Resources Tbk terhadap tiga perusahaan tambang senilai Rp 6,2 triliun kembali mengguncang pasar modal Indonesia.

Spekulasi yang mencurigai adanya benturan kepentingan dan manipulasi harga dalam transaksi itu memicu otoritas pasar modal turun tangan. Kembali Bapepam berhadapan dengan kelompok usaha Bakrie.

Penelusuran Tempo menemukan sejumlah kejanggalan tersebut. Tak ketinggalan aroma intervensi politik dalam kasus ini. Ikuti liputannya dalam tulisan berseri mulai Senin lalu.

Sejatinya ada empat topik yang dibawa Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu. Sesuai dengan urutan pembahasannya, topik yang dibawa adalah kasus PT Antaboga Deltasekuritas, PT Bumi Resources Tbk, PT Sarijaya Permana Sekuritas, dan PT Renaissance Capital.

Sepuluh menit pertama dipakai Fuad untuk membeberkan kasus pengelolaan dana investasi Antaboga, yang juga pemegang saham PT Bank Century Tbk. Seusai pembahasan Antaboga, ia beralih ke Bumi. Tapi baru saja Fuad hendak membuka mulut, mendadak pemimpin rapat Olly Dondokambey angkat bicara.

Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta pembahasan Bumi ditunda. Olly mengusulkan agenda rapat tersebut lebih baik mendahulukan kasus-kasus pasar modal yang secara langsung merugikan kepentingan masyarakat umum.

Usulan ini diamini oleh anggota-anggota komisi lainnya. Walhasil, pembahasan mengenai Bumi pun layu sebelum berkembang. Selain Bumi, komisi menolak membahas sengketa Renaissance Capital dengan Merrill Lynch.

Sumber Tempo membisikkan, memang ada yang tidak biasa dalam presentasi Fuad hari itu. Ketua Bapepam, dia menyebutkan, menambah satu topik pada materi presentasinya dalam rapat yang sebelumnya sepakat hanya membahas persoalan Antaboga, Century, dan Sarijaya ini.

Namun, manuver sang Ketua Bapepam rupa-rupanya terendus sebelum rapat dimulai. Bahan rapat setebal 23 halaman yang dibagikan Bapepam kepada anggota Komisi menjadi pembahasan di luar rapat.

Di dalamnya dijelaskan kasus Bumi berawal ketika anak usaha kelompok Bakrie ini mengakuisisi tiga perusahaan tambang, yakni PT Dharma Henwa Tbk, PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batubara.

Pembelian dilakukan bertahap pada akhir Desember 2008 dan awal Januari 2009 dengan nilai total Rp 6,18 triliun. Bapepam menyatakan transaksi itu masuk kategori material. Artinya, baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham.

Sumber tadi kembali bertutur, Fraksi Partai Golkar terlihat paling gelisah dengan niat Bapepam memaparkan kasus tersebut. Gerilya politik menjelang rapat langsung dilakukan lewat seorang anggotanya dengan target menggugurkan pembahasan Bumi.

"Saya yakin lobi itu sudah dibicarakan di antara anggota Komisi dari Fraksi Partai Golkar," kata dia. Lobi tersebut terbukti sukses. Kasus Bumi sama sekali tak disentuh dalam rapat itu.

Namun, Olly, yang memimpin rapat, mengaku tak tahu soal kesepakatan di luar rapat agar kasus Bumi tak dibahas. "Saya datang agak telat, dan langsung memimpin," ujarnya kepada Tempo.

Setahu dia, alasan rapat yang berlangsung selama dua jam tersebut tidak mengutak-atik Bumi semata-mata karena keterbatasan waktu.

Begitu pun Olly mengakui kasus Bumi, Century, Sarijaya, dan Renaissance sebenarnya masuk daftar permasalahan yang dikumpulkan staf ahli komisi Keuangan dan Perbankan.

Daftar itu lantas dibahas dalam rapat pemimpin komisi sepekan sebelum rapat dengan Bank Indonesia dan Bapepam digelar. Rapat pimpinan sepakat memprioritaskan pembahasan kasus Century dan Sarijaya. Alasannya, komisi telah dijadwalkan menerima pengaduan dari nasabah dua kasus tersebut sehari sebelum rapat.

Kasus Bank Century dan Sarijaya dinilai sangat terkait dengan kepentingan publik. "Sebaliknya, kasus Bumi dianggap hanya melibatkan orang-orang tertentu," kata Olly. Karenanya, ia juga bingung ketika Fuad datang membawa agenda lain pada rapat dengar pendapat tersebut.

Anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Marwoto Mitrohardjono, juga tidak mengetahui adanya lobi menjelang rapat dengan Bapepam pekan lalu. Yang dia tahu, rapat batal membahas kasus Bumi karena keterbatasan waktu. "Sebenarnya saya menyesal, karena ada banyak pertanyaan pada kasus itu," ujarnya.

Sebaliknya, Fuad mengungkapkan permintaan pembahasan Bumi justru datang dari komisi. Faktanya, kata dia, seorang anggota Dewan telah mengirim surat ke Bapepam beberapa waktu lalu. Isinya gawat, Fuad dituduh melindungi Bumi dalam kasus ini.

Sontak Fuad naik darah mendengar tudingan tersebut. "Kata siapa itu? Gila apa saya," katanya saat ditemui Tempo pekan lalu. Supaya tidak dianggap "main mata", Fuad akhirnya membawa kasus Bumi ke rapat komisi.

Tapi sumber lain di Dewan menduga keputusan Fuad membawa kasus Bumi ke rapat komisi sebagai upaya mencari dukungan politik. Selain sensitif bagi anggota Dewan, ia menuturkan, kasus ini sensitif bagi pemerintah.

Sayangnya, sumber itu melanjutkan, partai-partai saat ini sedang mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilihan Umum 2009. Perilaku berjaga-jaga ini berimbas pada cara menyikapi sebuah kasus.

Terlebih lagi, ia menganalisis, kalau kasus tersebut terkait dengan partai besar. Bumi adalah anak usaha PT Bakrie and Brothers Tbk, yang dimiliki keluarga Bakrie. Salah satu anggota keluarga ini menempati salah posisi strategis di Golkar. "Harus berhati-hati, semua harus dilihat dari kemungkinan-kemungkinan koalisi," ujarnya.

Tapi semua spekulasi tersebut dibantah oleh anggota Fraksi Partai Golkar, Ahmad Hafiz Zawawi. Ia memastikan tak ada niat partainya untuk meredam kasus Bumi, apalagi melakukan lobi politik untuk membatalkan pembahasan kasus tersebut bersama Bapepam.

"Kalau ada yang bicara begitu, itu su'udzon (buruk sangka) yang berlebihan," kata Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan ini saat ditemui Tempo kemarin.

Menurut dia, ditundanya pembahasan kasus Bumi lantaran keterbatasan waktu. "Kasus Bank Century lebih penting, sampai ada nasabah yang mati."

Adapun Olly berharap bisa secepatnya membahas kasus ini. Meski begitu, dia tak bisa memastikan waktunya karena agenda Komisi sangat padat dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpajakan. "Itu semua kan juga buat kepentingan Bapepam," katanya.

Kepada Tempo Fuad menyatakan tekadnya menuntaskan persoalan Bumi. Dia memastikan Bapepam, yang dipimpinnya, bebas dari segala tekanan. Di saat krisis seperti sekarang, banyak perusahaan yang kesulitan likuiditas. "Ada yang legowo, ada juga yang ribut kalau merugi, terus menyalahkan broker," ujar dia.

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya bersama Komisaris Utama Bumi Nalinkant A. Rathod mempertanyakan pemeriksaan yang dilakukan Bapepam. Pasalnya, mereka merasa Bumi telah menjalankan proses akuisisi sesuai dengan aturan. "Padahal, kalau ngobrol dengan mereka (Bapepam), selalu saya jelaskan, saya tidak tahu apakah ada kaitan politiknya atau tidak," kata Ari.


--------------------------------------------------------------------------------

TIM SELUSUR:
Penanggung Jawab: Setri Yasra
Penulis: Efri N.P. Ritonga
Penyumbang Bahan: Agoeng Wijaya, Yandhrie Arvian, Wahyuddin Fahmi, Wahyu Muryadi



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/18/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20090218.157198.id.html

Perkembangan Kelembagaan Partai Politik

Perkembangan Kelembagaan Partai Politik
Ulla Fionna, Ph.D.
PENGAJAR DI UNIVERSITY OF SYDNEY DAN MACQUARIE UNIVERSITY

Jatuhnya Soeharto pada 1998 menjadi titik balik bagi partai politik di Indonesia. Tapi sejauh mana partai politik di Indonesia telah melembaga di negara ini? Artikel singkat ini akan mencoba menganalisis sejarah perkembangan parpol Indonesia dan membandingkannya dengan hasil penelitian penulis di akar rumput (grassroots) tingkat lokal di Malang, dalam rangka menganalisis kemajuan parpol selama masa reformasi.

Pada dasarnya sejarah Indonesia mencatat bahwa parpol di Indonesia tidak pernah dapat berkembang dengan baik karena alasan yang beragam. Dalam masa awal sejarahnya, walaupun banyak partai yang berawal dari perkumpulan massal dan mendapat dukungan publik yang besar (seperti Partai Komunis Indonesia/PKI dan Sarekat Islam/SI), partai tidak dapat mengembangkan potensinya. Mulai awal masa kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya Orde Lama pada 1966, sangat sulit bagi parpol untuk berkembang. Dengan dana dan sumber daya manusia yang terbatas, partai-partai pada masa itu tidak dapat mengembangkan sayap di daerah-daerah dengan baik.

Bagaimana dengan sekarang? Sejauh mana kemajuan parpol kita pascareformasi?

Studi tentang parpol berpendapat bahwa salah satu faktor terpenting keberhasilan kerja partai adalah kekuatan organisasi mereka. Kekuatan inilah yang menunjang tumbuh dan kuatnya akar mereka di masyarakat. Dari segi sudut pandang ini, setelah lebih dari setengah abad kita merdeka, partai politik di Indonesia masihlah dalam tahap awal perkembangan. Dilihat dari aspek-aspek dasar seperti ideologi dan platform, parpol di Indonesia yang ada sekarang ini tidak jelas identitasnya. Ideologi dan program hanyalah pernyataan yang kosong belaka. Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya. Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia--selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya, berusaha menggabungkan citra nasionalisnya dengan kedekatannya terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pun masih amat bergantung pada karisma Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri) untuk menarik pendukung. Padahal, demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa “mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan terhadap identitas dan organisasi partai.

Dilihat dari kacamata organisasi fisik, partai-partai kita juga masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar yang mampu terus eksis di luar masa kampanye dan pemilu. Kebanyakan partai masih “tidur” kalau tidak ada pemilu, dan cabang-cabang mereka juga tutup. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya kantor tetap. Walhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas juga terhenti dan partai menjadi vakum.

Kalau dilihat dengan lebih teliti lagi, komitmen para pemimpin pun sulit dicapai. Bagi partai besar, biasanya pemimpin mereka memegang jabatan lokal (seperti wali kota atau bupati) atau menduduki kursi legislatif. Biasanya, dengan adanya jabatan ini, sangat sulit bagi mereka untuk membagi waktu dengan partai, walaupun ada partai-partai yang menganjurkan kadernya meninggalkan jabatan partai ketika terpilih sebagai calon legislator. Di saat yang sama, bagi sebagian besar aktivis partai, kegiatan kepartaian adalah sambilan atau hobi, sedangkan pekerjaan utama mereka biasanya menyita sebagian besar waktu mereka.

Kembali ke segi dana, partai di Indonesia sangatlah segan bersikap terbuka tentang masalah sumber dana mereka. Para pemimpin tingkat lokal biasanya hanya mengindikasikan adanya “donasi” dari pendukung partai, tanpa mengidentifikasi dan menjelaskan lebih lanjut. Padahal, partai yang lebih melembaga harusnya bisa menggantungkan diri pada iuran anggotanya sendiri. Jadi, hubungan macam apa yang dibangun antara kalangan bisnis dan partai politik kurang transparan dan dampaknya terhadap kinerja partai politik juga patut diperhatikan.

Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada popularitas partainya saat pemilu. Adapun partai-partai muda, seperti PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen, sedangkan PAN tertatih-tatih untuk mempertahankan eksistensinya di tingkat lokal. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat tetap bertahan--tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai biasanya mengejar produk “jadi” dari selebritas sebagai calon anggota legislatif mereka. Memang tren ini menandakan ketidakmampuan dan kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi bisa juga ini karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu, dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal perkembangannya. Jadi, terutama bagi partai muda, belum ada kader yang siap maju.

Jadi, apakah ada kemajuan bagi partai di masa reformasi? Sebetulnya kemajuan mereka sangat berarti. Terobosan besar mereka adalah mereka sudah mampu menentukan nasib mereka sendiri, tidak seperti zaman Orba ketika mereka sangat diatur oleh pemerintah. Dengan adanya kebebasan ini, mereka bisa tetap aktif di luar masa pemilu--walaupun ini ternyata jadi tantangan untuk beberapa partai. Meskipun penelitian penulis mungkin tidak berlaku untuk daerah-daerah lain di Indonesia, tetap saja data ini menjadi indikasi penting bagi tingkat kemajuan parpol di Tanah Air. Kesimpulan penulis, keberhasilan partai bergantung pada bagaimana mereka menggunakan kebebasan yang ada sekarang untuk mengatur organisasinya. Partai-partai yang lebih bisa mengatur organisasinya, seperti Partai Golkar dan PKS, akan lebih mampu pula untuk tetap aktif di masa non-pemilu. Artinya, mereka juga lebih bisa eksis di tingkat lokal. Sebaliknya, sangat sulit bagi PAN untuk tetap eksis karena kemampuan organisasi mereka di tingkat lokal cukup rendah. Bagi partai yang bisa menggantungkan suaranya pada karisma pemimpin, seperti PAN dan PDIP, kemampuan organisasi lokal barangkali tidak terlalu penting, asalkan pemimpin mereka tetap di tampuk pemimpin. Akan tetapi, bila pemimpin berganti, kekuatan dukungan juga akan terpengaruh.

Walaupun mudah untuk bersikap pesimistis terhadap parpol Indonesia, harus diingat bahwa usia reformasi Indonesia masih teramat muda. Terlebih lagi, seperti yang dijelaskan pada awal artikel ini, parpol Indonesia tidak pernah berhasil berkembang dalam sejarah. Jadi, partai-partai yang ada sekarang butuh lebih banyak waktu untuk belajar, unjuk diri, dan membuktikan kemampuannya. Tetapi, tentu saja, lain partai lain kapasitasnya. Idealnya, pilihan rakyat akan menyaring dan menyingkirkan partai yang kurang kuat. Partai yang organisasinya lebih rapi akan lebih berhasil mengembangkan aktivitas dan platformnya, sehingga mereka akan lebih stabil eksistensinya di tingkat lokal. Partai yang kurang kuat bisa mencoba muncul lagi dan menarik hati pemilih, dan disaring lagi, demikian seterusnya.

Jadi, yang diperlukan oleh parpol bukan hanya dukungan, tapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada parpol pilihan mereka. Perjalanan parpol Indonesia ke arah kemajuan masihlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, parpol kita juga sedang belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu saja banyak--dan sangat mudah bagi parpol untuk menjadi non-aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi parpol yang kurang efisien. Pemilihan Umum 2009 nanti adalah ujian penting bagi kematangan, bukan hanya bagi parpol, tapi juga bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/18/Opini/krn.20090218.157142.id.html

Keedanan Republik Baliho

Keedanan Republik Baliho
Amiruddin al-Rahab
PENELITI POLITIK DAN HAK ASASI MANUSIA DI JAKARTA

Saat ini gairah politik terasa bagaikan gelombang tsunami yang siap melanda republik. Riuh-rendah, tak ada ruang yang lolos dari sergapan baliho politik yang betul-betul menunjukkan gairah meluap. Namun, dalam seluruh kegairahan itu, tampak dunia politik republik ini tanpa tujuan dan tenggelam dalam ruang kosong.

Saya sempat mengunjungi Provinsi Aceh, Papua, Jawa Barat, dan tak terkecuali tentu Jakarta. Di empat provinsi ini, ke mana pun mata mengarah, senyum kenes menggoda para politikus yang dipantas-pantaskan langsung menyergap. Dari semua baliho politik itu, wajah politik republik ini betul-betul kosong dan banal, karena kebanyakan pesannya berupa bujukan "pilih saya, pilihlah saya”.

Baliho-baliho itu, jika dinilai dari kacamata estetika dan grafis, sungguh amburadul. Pilihan huruf, komposisi, warna, dan figur tampak tak saling mendukung. Selain itu, dipasang serampangan tanpa mempertimbangkan sudut pandang. Bahkan bertumpuk dengan spanduk obat batuk, atau iklan rumah dan pulsa.

Akibatnya, pesan dan image politik yang hendak dibangun si calon legislator hilang dari cercapan mata pemirsa, karena kalah indah oleh spanduk barang jualan. Alih-alih mendatangkan simpati, baliho dan spanduk-spanduk itu malah membuat jengkel dan menjadi sampah yang mengotori serta merusak keindahan kota. Sementara itu, dari kacamata politik, baliho dan spanduk-spanduk tersebut tidak mengandung cita-cita politik, gagasan lokal, apalagi gagasan kebangsaan. Bisa dikatakan bahwa dalam membuat dan memasang spanduk, para calon betul-betul telah kehilangan urat malu.

Semua bentuk dan isi spanduk para calon legislator kebanyakan sama. Pertanyaannya, di mana masyarakat (pemilih) mengetahui kelebihan si calon dan partainya dibandingkan dengan calon dan partai yang lain? Apa program kerja si calon dan partainya di daerah pemilihan itu jika kelak mereka terpilih? Bagaimana dan apa metode kerja yang akan dipakai si calon dan partainya dalam mengimplementasikan visi, misi, dan program partainya? Persoalan apa dari daerah yang hendak diperjuangkan si calon di level nasional? Serta masalah nasional apa yang hendak dicarikan dukungannya di daerah oleh si calon?

Padahal di Aceh, misalnya, daerah yang baru saja memasuki situasi damai, tentu banyak persoalan yang bisa diangkat menjadi tema program kerja si calon anggota DPR RI kelak. Misalnya, program kerja sama dengan partai lokal, pembenahan lebih jauh hubungan pemerintahan provinsi dengan pusat dalam kerangka daerah berpemerintahan sendiri (self-governing territory), proses perdamaian eks-kombatan dan kompensasi untuk korban konflik, kelanjutan program rehab-rekon yang telah dilakoni oleh BRR, pemajuan ekonomi di daerah tengah dan pantai barat, serta artikulasi yang lebih tajam dan mangkus tentang implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sayangnya, tidak ada satu pun calon anggota DPR RI di Aceh yang mencantumkan soal-soal serius ini. Lantas, untuk apa rakyat Aceh memilih Anda menjadi legislator?

Lalu Jawa Barat, provinsi yang paling dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yang akan memiliki kontingen anggota DPR RI paling banyak, yaitu 99 orang, anggota DPR dari Jawa Barat akan menjadi kaukus terkuat di DPR. Maka, program pembentukan kaukus Jawa Barat untuk memperjuangkan perbaikan infrastruktur ekonomi di wilayah selatan Jawa Barat bisa menjadi isu sentral. Wilayah selatan Jawa Barat adalah kantong kemiskinan dengan jumlah penduduk yang besar.

Jakarta lebih edan lagi. Persoalan ibu kota negara yang selalu diteror banjir setiap tahun serta diintai oleh urbanisasi setiap hari, dan kemacetan lalu lintas yang terus menggila, absen dari spanduk para calon legislator. Jakarta seakan tanpa masalah di mata calon legislator.

Singkatnya, sesuai dengan sistem politik sekarang ini, DPR RI memiliki kekuasaan legislasi dan anggaran. Jika pimpinan parpol dan calon legislatornya menyatu dalam visi, misi, dan program, kampanye spanduk bisa mengusung beberapa RUU yang akan diperjuangkan si calon jika ia terpilih. Termasuk jumlah anggaran yang akan mereka perjuangkan untuk mengatasi isu-isu pokok.

Mengapa keedanan politik dengan baliho yang seragam ini terjadi di empat provinsi yang berbeda?

Pertama, partai politik tempat si calon legislator bernaung gagal menginternalisasi visi, misi, dan program partai kepada kadernya. Ketika kegagalan itu mewabah, para calon yang dihadapkan pada sistem sabung politik (pemilu) terbuka menjadi mengalami disorientasi. Akibatnya, di mata calon legislator, ikut serta dalam pemilu menjadi semata-mata urusan individual dan pencapaian ambisi individual pula. Partai hanya loket tempat ambil formulir. Kondisi ini kian mendapat legitimasi dari Mahkamah Konstitusi yang menetapkan sistem suara terbanyak.

Kedua, kecenderungan watak calon legislator adalah kelanjutan dari watak partai politik itu sendiri. Watak partai politik di Indonesia saat ini adalah personal party (partai milik individu sang ketua umum), yang berciri mengabdi kepada si ketua umum demi mencapai kehendak pribadinya. Pengurus partai adalah kepanjangan tangan si ketua umum, bukan pengemban visi, misi, atau program partai. Jadi, hubungan calon legislator dengan partai lemah, sementara keterkaitan dengan ketua umum lebih kuat. Sebagian besar partai politik peserta Pemilu 2009 menunjukkan ciri ini.

Ketiga, pimpinan partai tidak mengenali karakter dan permasalahan di setiap daerah pemilihan. Implikasinya, partai juga gagal mendidik para calon legislatornya mengenali masalah di daerah pemilihannya masing-masing. Tradisi calon instan dan drop-dropan menjadi salah satu faktor penyebab hal ini.

Keempat, partai tidak memiliki analisis perkembangan masyarakat dan blue print pembangunan politik secara nasional serta regional. Akibatnya, partai politik tidak mampu menyiapkan gagasan dan program yang bisa diadu oleh si calon dengan calon lain kecuali tampang. Akibatnya, wajah politik kian pragmatis, transaksional, dan berjangka pendek. Sikap "pokoknya terpilih dulu, urusan belakangan" mewabah.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/18/Opini/krn.20090218.157143.id.html

Clinton Mencari Timbal Balik?

Written By gusdurian on Selasa, 17 Februari 2009 | 12.25

Clinton Mencari Timbal Balik?

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton akan berkunjung ke Indonesia pada 18–19 Februari, sebagai bagian dari diplomasi internasional AS di bawah Presiden Obama untuk memperbaiki citra internasionalnya.


Kunjungan itu dilihat sebagai awal dimulainya pendekatan baru dan lebih segar terhadap hubungan internasional AS.Kunjungan Clinton ke Jakarta –meskipun Indonesia bukan mencerminkan dunia Islam– diyakini berkaitan dengan pidato pelantikan Obama sebagai Presiden AS, di mana dikatakan bahwa Obama akan membangun hubungan dengan dunia Islam berdasarkan penghargaan dan kepentingan timbal balik.

Kunjungan Clinton ke Indonesia dan ke troika Asia Timur, Jepang, China,dan Korea Selatan merupakan petunjuk pentingnya kawasan Asia untuk agenda politik luar negeri AS di bawah Obama.AS memandang Asia sebagai kawasan yang sedang berkembang, baik dalam segi kemakmuran maupun pengaruh.

Yang sebenarnya menarik untuk diamati di sini adalah bahwa kunjungan Clinton ke Indonesia itu merupakan awal dimulainya sebuah proses panjang, di mana AS memiliki komitmen untuk memperbaiki hubungannya dengan dunia Islam berdasarkan kepentingan dan penghargaan timbal balik.

Orang mungkin akan bertanya, apakah hal itu mungkin terjadi, atau apakah dunia malah akan melihat proses itu sebagai awal dimulainya permasalahan baru atau janji-janji yang muncul dalam tawaran Obama kepada dunia Islam? Bahwa Obama akan memperbaiki hubungan AS dengan dunia Islam adalah langkah yang cukup tepat.

Namun, langkah itu saja dianggap tidak cukup. Sebab, hubungan yang baik dengan dunia Islam juga menuntut sebuah kepercayaan dari dunia Islam yang hingga kini sepertinya belum tampak. Ada persepsi umum bahwa dunia Islam dilihat –akan terus dilihat– sebagai wilayah dari mana dan melalui mana aksi-aksi teroris dilakukan.

Dalam konteks ini, penghargaan timbal balik antara AS dan dunia Islam sepertinya tidak akan pernah muncul kecuali kedua belah pihak menyatakan secara terbuka penolakan mereka terhadap aksi-aksi kekerasan dan teror. Penolakan semacam itu secara terbuka, sepertinya belum tampak di dunia Islam.Penghargaan timbal balik sangatlah tidak mungkin terwujud, kecuali langkah-langkah berani diambil oleh AS dan negara-negara Islam moderat, khususnya untuk menentang aksi-aksi para ekstremis.

Clinton berharap mendengar pernyataan semacam ini dari pemerintah Indonesia ketika dia berkunjung ke Jakarta. Dalam konteks demikian, kepentingan timbal balik (mutual interest) akan muncul jika kedua pihak sama-sama memiliki kebutuhan untuk mengerahkan sumber daya mereka untuk mencapai kepentingan bersama.

Kalau saja AS dan dunia Islam secara sendiri-sendiri tidak memiliki kepentingan yang sama untuk mendapatkan sesuatu dari apa yang telah mereka setujui, maka kepentingan timbal balik dipastikan tidak akan pernah muncul. Karena itu,dalam kunjungannya ke Jakarta,Clinton diharapkan memberi klarifikasi mengenai apa yang dimaksud oleh AS mengenai kepentingan timbal balik itu.

Sama pentingnya untuk dunia Islam adalah menafsirkan terhadap konsep kepentingan timbal balik itu secara akurat,benar,dan memadai agar dia tidak terjebak dalam prinsip yang diajukan oleh AS itu.

*** Sikap kooperatif yang diperlihatkan oleh AS sekarang ini dan hasil kunjungan Clinton ke Indonesia perlu diamati lebih jauh lagi untuk memastikan, apakah memang terdapat kepentingan timbal balik antara AS dan dunia Islam. Di sinilah persoalan akan muncul,yaitu ketika AS maupun dunia Islam memandang konsep kepentingan timbal balik itu dari perspektif yang kontradiktif dan sempit.

Setelah pertemuannya dengan Wakil Presiden AS Joe Biden,wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dilaporkan mengatakan bahwa masa depan hubungan antara Barat dan dunia Islam sangat tergantung pada pendekatan AS terhadap dunia Islam. Tidak seluruhnya jelas mengapa Jusuf Kalla berpikir bahwa AS perlu mengambil pendekatan kepada dunia Islam.

Mungkin saja apa yang dikatakan Jusuf Kalla itu berkaitan dengan cara-cara Washington di bawah George W Bush yang menggambarkan dunia Islam sebagai jihadist dan extremist, sebuah nada yang telah membentuk reaksi politik AS selama ini. Jika ternyata itu yang ada dalam pikiran Jusuf Kalla, dia sebenarnya keliru untuk tidak menyebut suarasuara lainnya dari dunia Islam yang selama ini telah dibuat bisu dan dibelenggu oleh pemerintahan mereka sendiri.

Misalnya, distribusi ekonomi yang lebih merata, akuntabilitas dan transparansi pemerintah yang lebih besar,keamanan dari kemiskinan,kelaparan, penyakit menular, kekurangan gizi, diskriminasi, dan pemberantasan korupsi.

Jadi,jika Jusuf Kalla tahu dari awal bahwa Obama ingin membangun kemitraan dengan negara-negara Islam berdasarkan kepentingan timbal balik, pada waktu di Washington, dia seharusnya mengusulkan kepada AS untuk memfokuskan kebijakan barunya itu pada suara-suara atau keprihatinan di atas. Jadi bukan pada level kepentingan (politik) timbal balik, di mana AS dan dunia Islam merasa perlu hanya membangun hubungan yang langgeng demi perdamaian dunia.

Dalam kunjungan pertamanya ke luar negeri,Clinton mengatakan bahwa dia akan ”menjangkau sedalam mungkin” dunia Islam. Ini merupakan langkah pembuka AS yang sangat positif.Namun, ketika Clinton sudah menjangkau dunia Islam, maka dalam proses itu dia seharusnya mulai tidak dengan mendikte dunia Islam seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Bush, tetapi mulai dengan dialog dan mendengar keluhan masing-masing pihak.

Clinton harus sadar bahwa sebagian besar dunia Islam juga mencita-citakan bagi negara mereka sendiri sebuah demokrasi,kebebasan bersuara, dan nilai-nilai moral lainnya sama besarnya dengan AS. Mungkin yang dianggap tidak disukai oleh dunia Islam selama ini adalah standar ganda dari kebijakan luar negeri AS.

Karena itu, jika Clinton mengunjungi negara-negara Islam lainnya di masa mendatang, dia harus siap mendengar ”tuduhan” semacam itu. Bukan hanya itu,waktu juga akan menjawab apakah kunjungan Clinton ke Indonesia itu dan ke negara- negara Islam lainnya kelak,murni untuk mencari kepentingan dan penghargaan timbal balik.(*)

Bantarto Bandoro
Dosen Pascasarjana
Hubungan Internasional
FISIP Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214168/


Mengagendakan Proses Hukum Hambali
Tuesday, 17 February 2009
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton dijadwalkan akan datang ke Indonesia pada tanggal 18 hingga 19 Februari 2009.


Beberapa waktu lalu sejumlah media massa memberitakan dalam kunjungan Clinton, tidak akan disinggung tentang proses hukum atas Hambali. Hambali adalah warga negara Indonesia yang ditahan di AS karena diduga menjadi salah satu pelaku teror 11 September (9/11).

Hambali yang juga pemegang paspor Spanyol ditangkap oleh otoritas Thailand pada bulan Agustus 2003. Segera setelah ditangkap oleh otoritas Thailand, Hambali diserahkan ke AS. Saat ditahan di Guantanamo, Indonesia telah berupaya untuk meminta Hambali diekstradisi dan menghadapi proses hukum di Indonesia karena keterlibatannya dalam Bom Bali. Sayangnya di bawah administrasi Bush upaya Indonesia tersebut kandas.

Penutupan Guantanamo

Pada minggu pertama menjabat Presiden AS,Barrack Obama telah mengeluarkan instruksi untuk menutup kamp penahanan kontroversial di Guantanamo Bay.Instruksi ini merupakan janji Obama agar AS lebih menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping kamp penahanan Guantanamo mengundang kontroversi di AS, yang menjadi permasalahan juga adalah mereka yang ditahan.

Ada yang telah ditahan bertahun-tahun ternyata tidak terkait dengan tindakan terorisme, sehingga dibebaskan. Belum lagi permasalahan yurisdiksi untuk mengadili mereka yang ditahan mengingat pengadilan AS dianggap tidak berwenang. Keputusan yang dibuat Obama meski mendapat apresiasi yang luas, namun telah mengakibatkan banyak konsekuensi ikutan.

Pertama, pasca ditutupnya kamp tahanan Guantanamo bagaimanakah proses hukum selanjutnya dari para tahanan? Kedua, apakah mereka akan dibebaskan atau segera diadili? Ketiga, apakah mungkin para tahanan yang kebanyakan adalah warga negara asing diminta oleh negaranya masing-masing?

Terkait dengan Hambali menjadi pertanyaan apakah Hambali akan segera diproses di AS,ataukah akan diserahkan ke Indonesia untuk diadili.Apakah Indonesia dapat meminta Hambali untuk diekstradisi dan dilakukan proses hukum di Indonesia? Dalam konteks itu, masalah Hambali perlu diagendakan dalam pembicaraan antara Menlu Indonesia dan AS sehingga segala sesuatu akan menjadi jelas.

Membawa Hambali

Bagi Indonesia, membahas masalah Hambali dengan pemerintah AS memiliki dasar yang kuat. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, Hambali sangat diinginkan oleh pemerintah untuk diproses hukum di Indonesia.Ketika Hambali diserahkan oleh otoritas Thailand ke AS, sebenarnya Indonesia juga meminta kepada Thailand.

Bahkan pada suatu ketika Polri telah mengirim personilnya ke AS untuk melakukan penyidikan atas keterlibatan Hambali dalam Bom Bali. Ini menunjukkan keinginan yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk melakukan proses hukum atas Hambali.Namun karena AS saat itu menahan Hambali dan hendak melakukan proses hukum maka keinginan Indonesia untuk mendapatkan Hambali tidak terlaksana.

Kedua, meskipun Hambali telah melakukan tindakan kriminal, sepanjang Hambali belum melepaskan kewarganegaraan Indonesianya maka pemerintah tetap harus memberi perlindungan. Perlindungan diberikan oleh negara atas dasar hubungan kewarganegaraan dari warga negara (citizenship) dengan negaranya.

Pemerintah Indonesia berhak untuk melindungi warga negaranya di luar negeri meskipun warga negara tersebut terlibat dalam tindak kriminal. Perlindungan tidak berarti membenarkan atau membela perbuatan kriminal yang dilakukan oleh warga negaranya. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah AS ketika William Nessen,jurnalis independen yang meliput Aceh, ditahan oleh aparat penegak hukum Indonesia.

Meski dia akhirnya ditahan atas dasar penyalahgunaan visa berkunjung, namun Kedutaan Besar AS ketika itu memberikan perlindungan. Pejabat kedutaan bahkan melakukan pendampingan, bersama pengacara yang ditunjuk, ketika Nessen harus menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Dalam proses hukum,perlindungan diberikan pemerintah kepada warga negaranya agar mereka tidak diperlakukan di bawah standar HAM oleh negara yang menahan.Penahanan tanpa kepastian diadili, bahkan tidak didampingi oleh pengacara dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM,paling tidak perlakuan di bawah standar HAM yang seharusnya.

Di bawah kepemimpinan Bush, berbagai pelanggaran HAM tersebut berlangsung.Tidak ada satu negara ataupun lembaga swadaya masyarakat pun yang berhasil mengubah kebijakan perang melawan teroris yang diprakarsai oleh Bush. Ketiga, argumentasi untuk mengagendakan masalah Hambali sangat relevan ketika di AS terjadi pergantian kepemimpinan yang memiliki visi yang kontras.

Bush dengan Partai Republiknya dinilai tidak memperhatikan HAM.Tidak demikian dengan Obama dengan Partai Demokratnya yang mempunyai perhatian yang serius terhadap masalah HAM. Oleh karenanya wajar bila Menlu Hassan Wirajuda mempertanyakan proses hukum atas Hambali dari sisi HAM kepada Menlu Clinton.

Indonesia tidak perlu sungkan-sungkan bila isu HAM yang dijadikan pembicaraan mengingat Partai Demokrat memiliki platform yang kuat dalam penghormatan terhadap HAM. Atas dasar inilah wajar bila Menlu Wirajuda meminta kepada Menlu Clinton untuk diagendakan dan dibahas proses hukum atas Hambali.

Kecuali ada suatu agenda yang tersembunyi untuk tidak membahasnya. Namun demikian terlepas dari apa yang telah diuraikan, satu hal yang perlu dihindari oleh pemerintah Indonesia. Hal tersebut adalah bila ternyata AS mewajibkan Indonesia untuk melakukan proses hukum atas Hambali.

Salah satu alasan adalah karena pengadilan AS tidak memiliki yurisdiksi (lack of jurisdiction) untuk mengadili Hambali. Bila ini terjadi maka terkesan Indonesia sekedar mengikuti kebijakan AS ketika dibutuhkan.Tentu ini tidak baik di mata publik Indonesia. Ini bahkan dapat menjadi batu sandungan bagi pemerintahan SBY-JK karena tidak memiliki kemandirian dari tekanan negara besar.(*)

Hikmahanto Juwana
Guru Besar Fakultas Hukum UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214153/


Datangnya Hillary Clinton ke Jakarta
Tuesday, 17 February 2009
Masuknya Indonesia dan Asia ke dalam daftar negara pertama yang dikunjungi Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) merupakan sebuah tradisi baru.


Pasalnya selama ini kunjungan Menlu AS selalu memprioritaskan kawasan Eropa.Ini sekaligus makin menguatkan image Obama sebagai ikon pembaharu AS.Agenda Clinton di Jakarta akan difokuskan pada pembangunan hubungan bilateral yang lebih baik dalam komitmen yang komprehensif antara Indonesia– AS.

Selain itu masalah-masalah regional dan internasional yang menjadi perhatian kedua negara akan dibahas juga. Irisan kepentingan antara Jakarta-Washington dalam landscape hubungan internasional terkini cukup signifikan.

Agenda Strategis

Ada beberapa agenda strategis, di antaranya adalah; pertama, dalam pembangunan demokrasi dan penghargaan hak asasi manusia (HAM).AS dan Indonesia adalah dua negara demokrasi terbesar di dunia dengan dua kultur yang berbeda.

Pemilihan umum yang akhirnya dimenangkan Obama lalu menjadi acara populer yang ditunggu-tunggu jutaan penonton televisi di berbagai penjuru dunia. Demokrasi di AS terlihat sudah berjalan demikian rapi dan dewasa. Sementara itu, Indonesia pasca- Orde Baru terbukti mampu melakukan konsolidasi demokrasi, mendorong good governance dan penegakan HAM.

Pemilihan umum langsung dan kebebasan pers menjadi indikator komitmen Indonesia dalam mengawal demokrasi tersebut.Sejumlah apresiasi datang dari berbagai pihak. Seperti medali demokrasi dari International Association of Political Consultant (IAPC).

Lalu juga pada 2005, Freedom House melaporkan bahwa Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar yang patut dijadikan model bagi negara-negara muslim lainnya.Indonesia termasuk ke dalam kategori negeri bebas (free), sejajar dengan negara-negara maju di dunia Barat.

Terakhir,Desember tahun lalu, Indonesia menggelar Bali Democracy Forum (BDF), yang diikuti 31 negara dari Asia dan Australia. Kedua, membangun dialog antara Barat dan dunia Islam.Saat wawancara televisi di Al-Arabiya, Obama mengakui bahwa terkadang AS membuat kesalahan,termasuk dalam kebijakan luar negerinya.

Untuk itu ia menegaskan bahwa negara paman sam tersebut bukanlah musuh bagi dunia Islam.Sebaliknya,AS ingin menuju era baru hubungan Barat-Islam atas dasar saling menghormati.Untuk menuju ke sana, ada indikasi AS memilih Indonesia sebagai pintu masuk dalam upaya membuka dialog yang lebih luas ke negara-negara Islam.

Kebijakan George W Bush yang memilih jalan kekerasan di Irak,Palestina dan Afghanistan mendapat respons negatif dari komunitas muslim dunia. AS seolah menjadi musuh bersama (public enemy). Keberpihakan AS kepada Israel juga membuat dunia mengecam dan marah.

Kampanye demokrasi di Irak pasca Saddam Hussein juga tak seindah yang digembar- gemborkan Bush. Sementara aksi ”perang melawan terorisme” di Afghanistan nyatanya juga tak membuahkan hasil nyata.Osama bin Laden hingga kini tak terjamah.Inikah bukti nyata kegagalan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah dan dunia Islam? Ketiga, upaya bersama mengatasi isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam isu ini dengan digelarnya United Nations Climate Change Conference (UNCCC) Desember 2007,di Bali yang diikuti 189 negara dan menyepakati Bali Roadmap. Kesepakatan itu merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh semua negara menuju konferensi PBB tentang perubahan iklim global yang akan diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark, 2009.

Selanjutnya, hasil dari konferensi di Kopenhagentersebutakandiratifikasi oleh negara-negara di dunia untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan berakhir pada tahun 2012. Keikutsertaan AS dalam Bali Roadmap memberikan sinyal positif bagi keberhasilan menyatukan seluruh bangsa dalam satu aksi bersama untuk menyelamatkan bumi.

Seperti yang kita ketahui, AS ialah negara emiten karbon dan negara industri yang sangat besar. Jika tanpa keikutsertaan AS dalam Bali Roadmap, upaya penyelamatan bumi tidak akan maksimal.Awalnya AS dalam sempat menolak Bali Roadmap forum tersebut, namun akhirnya setuju setelah Presiden SBY dan Sekjen PBB,Ban Kimoon mengawal jalannya sidang. Pada era Obama sekarang ini, Indonesia- AS dapat bekerja sama dalam mengawal Bali Roadmap agar sesuai target yang diinginkan jelang konferensi Kopenhagen.

Penguatan Peran

Dalam spektrum diplomasi yang lebih luas, dapat disimpulkan bahwa kunjungan Clinton kali ini seolah menjadi penegasan dari posisi Indonesia yang makin penting di panggung dunia. Indonesia semakin didengar di forum-forum internasional, bahkan, kita adalah satu dari sedikit negara yang diundang dalam G-20.

Indikasi lain, kalau kita pantau minggu-minggu ini, banyak sekali kunjungan menlu negara asing ke Indonesia,mulai dari Menlu Thailand, Uzbekistan dan Solomon yang masih dijadwalkan.Ini dapat diartikan bahwa peran Indonesia makin diakui di regional dan internasional.

Lompatan besar ini dipengaruhi oleh setidaknya dua faktor, pertama, kemajuan dan prestasi Indonesia mendapat apresiasi dari masyarakat dunia. Kedua, terjadinya perubahan-perubahan setelah berakhirnya pengotak-ngotakan dunia atas dua blok, Barat dan Timur, dan sejalan dengan itu menguatnya multilateralisme.

Bukti dari kemajuan diplomasi itu adalah terpilihnya Indonesia pada sembilan organ-organ penting di PBB dan organisasi internasional lainnya. Pada organ-organ penting itu Indonesia terpilih dengan rata-rata angka dukungan sangat tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB. Bahkan Indonesia juga dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan (DK).

Sesuatu yang di masa lalu sangat mustahil,mengingat rekam jejak kita yang dianggap sebagai negara pelanggar HAM.Bahkan pada November 2007 lalu, Indonesia memimpinSidangDKPBB, menggantikan Prancis. Besarnya dukungan masyarakat internasional itu merupakan penegasan kembalinya Indonesia ke ”orbit” negara-negara strategis di dunia.

Sebuah ungkapan yang eksplisit dikatakan oleh Presiden Rusia,Vladimir Putin, bahwa Indonesia saat ini merupakan negara paling dinamis dan penting di Asia Pasifik. Kini kita patut menunggu apakah setelah Clinton ke Jakarta, Presiden Obama juga akan datang.Kedatangan Obama akan menegaskan pentingnya posisi Indonesia di mata AS dan dunia, khususnya dalam mendorong tiga isu di atas.(*)

Zaenal A Budiyono
Analis Politik
di Kantor Staf Khusus
Presiden Bidang Komunikasi Sosial


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/214150/

Hugo Chavez Menang

Hugo Chavez Menang
"Hal ini akan menciptakan sebuah kediktatoran," kata Oposisi.
KARAKAS - Presiden Venezuela Hugo Chavez bersama para pendukungnya kemarin merayakan kemenangannya setelah hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat memutuskan untuk mengamendemen konstitusi yang membatasi masa kepresidenan.

Hal ini membuka jalan bagi Chavez untuk berkuasa selama mungkin sepanjang tetap terpilih dalam pemilihan umum presiden. Dengan kata lain, dia berpeluang menjadi presiden seumur hidup di negeri di Amerika Latin itu.

"Siapa yang memilih 'ya' hari ini telah memilih sosialisme, memilih revolusi," teriak Chavez di hadapan ribuan pendukungnya yang memadati jalan-jalan di sekitar Istana Kepresidenan Miraflores.

Kembang api pun menyala di langit Karakas. Seorang pendukung Chavez berjalan di tengah kerumunan massa sambil membawa sebuah lukisan sang Presiden dengan tulisan "Selamanya".

Josefa Dugarte, warga setempat, menatap kerumunan itu dari serambi apartemennya dengan pandangan cemas. "Orang-orang ini tak menyadari apa yang mereka lakukan," dia bergumam.

Referendum pada Minggu lalu meminta rakyat untuk memutuskan "ya" atau "tidak" soal penghapusan batas masa jabatan yang melalui pemilihan publik, yakni untuk jabatan presiden, gubernur, anggota parlemen, wali kota, dan dewan kota.

Hasil sementara dari penghitungan 94 persen suara menunjukkan bahwa 54,36 persen mendukung dan 45,63 persen menolaknya. Hal ini berkebalikan dengan hasil referendum serupa pada Desember 2007, dengan 51 persen suara menolak amendemen.

Presiden Dewan Pemilihan Umum Nasional Tibisay Lucena menyatakan lebih dari 11 juta dari sekitar 17 juta orang yang memiliki hak pilih telah ambil bagian dalam referendum kali ini.

Amendemen konstitusi itu menghapus ganjalan bagi Chavez, yang sudah dua kali berturut-turut memegang jabatan presiden sejak 1998, untuk dipilih kembali sebagai presiden periode ketiga pada 2012. Saat pertama kali terpilih sebagai presiden, dia mengaku ingin berkuasa hingga 2049, saat usianya 95 tahun.

"Pada 2012 akan ada pemilihan presiden, dan jika Tuhan tidak berkehendak lain, jika rakyat tidak memutuskan lain, prajurit ini siap menjadi kandidat," kata Chavez, tentara karier yang kini berusia 54 tahun.

Di markas kelompok penentang Chavez, musuh-musuh sang Presiden saling berpelukan dan sebagian menangis. Mereka mengatakan, hasil referendum ini dicurangi dengan gerakan massal Chavez yang memakai sumber daya negara untuk mengerahkan para pemilih melalui kampanye di media pemerintah, tekanan terhadap dua juta pegawai negeri dan pidato presiden yang wajib disiarkan semua stasiun televisi.

Ketika pengadilan, badan legislatif, dan lembaga pemilihan umum berada di bawah pengaruh Chavez, serta kini tanpa batasan masa kepresidenan, tampaknya Chavez tak mungkin dihentikan.

"Praktis hal ini akan menciptakan sebuah kediktatoran. Dia akan mengendalikan semua kekuasaan, menghapus pemisahan kekuasaan, mengabaikan ketelitian dalam pemakaian sumber daya negara, dan menghambat musuh-musuhnya," kata pemimpin Oposisi, Omar Barboza, kepada The Associated Press.

Tapi Chavez tampaknya tak peduli pada kritik oposisi. Dia mengatakan telah menerima ucapan selamat pertama dari gurunya, bekas Presiden Kuba Fidel Castro. "Kemenangan ini juga milikmu, Fidel, milik rakyat Kuba dan milik Amerika Latin," kata Chavez.

Kemenangan itu memperkuat mandat Chavez dan mendorongnya untuk memperluas gerakan sosialisnya, yang termasuk nasionalisasi berbagai aset swasta dan perluasan kendali negara terhadap perekonomian. AFP | AP | BBC | KURNIAWAN

Chavez Terus Berkuasa

Warga Venezuela memberikan suaranya pada Minggu lalu dalam referendum konstitusi yang memungkinkan Chavez memegang kursi kepresidenan selama mungkin sepanjang dia menang dalam pemilihan umum. Chavez telah berkuasa selama 10 tahun dan mengaku ingin memimpin negara pengekspor minyak di Amerika Selatan itu selama sekurang- kurangnya satu dekade lagi.

BEBERAPA PERISTIWA PENTING

1998: Chavez terpilih sebagai presiden dengan 56 persen suara dan dilantik pada Februari.

1999-2001: Menggalang dukungan dari opini publik untuk meloloskan konstitusi baru yang memperkuat kekuasaan eksekutif.

2002-2003: Setelah berbulan-bulan dilanda unjuk rasa, Chavez lolos dari kudeta militer dan mogok nasional selama dua bulan yang mengguncang industri minyak.

2003: Memulai kampanye sosial besar-besaran dengan memberikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan makan murah kepada mayoritas rakyat miskin.

2004: Menang dengan 58 persen suara melawan oposisi dalam referendum peninjauan konstitusi.

2005: Menandatangani dekrit reformasi tanah untuk mengurangi pemilikan tanah yang luas.

2006: Terpilih kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya dengan 63 persen suara.

2007: Mengumumkan nasionalisasi sektor listrik dan telekomunikasi. Tapi dia kalah dalam referendum pertama soal perpanjangan masa jabatan kepresidenan.

2008: Menandatangani kerja sama minyak dan gas dengan Rusia dan membahas pengembangan program nuklir sipil.

2009, 15 Februari: Referendum kedua soal penghapusan aturan yang melarang Chavez untuk dipilih kembali sebagai presiden.

Referendum

Presiden Hugo Chavez meraih kemenangan besar dalam referendum pada Minggu lalu. Ini kebalikan dari kekalahannya dalam referendum serupa pada Desember 2007, dengan 51 persen suara menolak amendemen konstitusi.

"TIDAK" 45,63%
"YA" 54,36%

SUMBER: DEWAN PEMILIHAN UMUM NASIONAL



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/17/Internasional/krn.20090217.157019.id.html

Rezim Kerahasiaan Pemilu 2009

Rezim Kerahasiaan Pemilu 2009
Agus Sudibyo
DEPUTI DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA

Iklan politik menjadi primadona bagi para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 triliun (baca: Rp 2 triliun 208 miliar), meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai Rp 1,327 triliun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, Internet, serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan menggelembung karena, menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik semakin gencar menyapa publik.

Namun, gegap-gempita iklan politik selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa saja, serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru nanti.

Transparansi
Partai politik, para calon legislator, dan kandidat presiden tidak mempunyai tradisi, juga tidak dikondisikan untuk secara terbuka menjelaskan ihwal dana politik yang mereka gunakan. Publik tidak mengetahui apakah kampanye politik benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik APBN/APBD, dana departemen, dana dekonsentrasi, dan seterusnya. Publik juga tidak akan tahu seandainya, di balik gebyar iklan pemilu di media, beroperasi dana dari para pengusaha hitam, pejabat bermasalah, atau dana hasil money laundering.

Aturan main pemilu sangat tidak memadai dalam mengantisipasi masalah ini. Menurut Undang-Undang Pemilu, hanya biaya kampanye partai politik yang harus dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tidak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari para simpatisan. Undang-Undang Pemilu juga hanya menyatakan "dana kampanye dapat berasal dari sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi besarannya" (pasal 138). Tanpa penjabaran lebih operasional, tentu klausul semacam ini mudah dilanggar atau diinterpretasikan secara berbeda.

Potensi pelanggaran juga cukup besar ketika UU Pemilu menjelaskan: "materi kampanye meliputi visi, misi, dan program" (pasal 94). Padahal kampanye pemilu lazim dilakukan dengan materi apa saja: slogan, warna khas partai, profiling tokoh partai berikut prestasi-prestasinya, dan lain-lain. Ruang lingkup kampanye yang tidak komprehensif mempermudah manipulasi dan merebaknya iklan-iklan terselubung. Di sini mungkin beroperasi dana-dana politik "liar". Sementara itu, transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada partai politik, dan tidak eksplisit diwajibkan kepada pihak media dan biro iklan yang berurusan langsung dengan pemasang iklan.

Persoalannya jelas, tidak ada yang gratis dalam politik! Determinasi politik uang terhadap independensi pemerintahan dan legislatif yang baru menjadi keniscayaan. Ironisnya, publik tidak mempunyai basis informasi yang cukup untuk mengantisipasi masalah ini. Sejauh terkait dengan dana politik, semuanya serba gelap bagi publik. Pemilu seperti berlangsung dalam rezim kerahasiaan.

Kinerja KPU
Bayang-bayang rezim kerahasiaan juga tecermin dari kinerja KPU dalam menyiapkan pemilu. Perumusan peraturan-peraturan KPU tidak melibatkan unsur publik secara memadai. KPU terkesan merahasiakan proses tersebut dari pengetahuan publik. Tidak jelas pula kapan dan melalui medium apa peraturan-peraturan KPU diumumkan ke publik. Manajemen logistik pemilu yang menyerap dana publik sangat besar dan secara langsung mempengaruhi persiapan pemilu juga diragukan akuntabilitasnya. Apakah proses tender logistik pemilu dilakukan secara fair, apakah audit aset dilakukan terhadap peserta tender, apakah para pemenang tender cukup kapabel dan tidak mempunyai konflik kepentingan? Publik tidak mempunyai akses yang memadai untuk mengetahui hal-hal ini.

Membuka diri dan memberikan informasi kepada publik belum menjadi bagian integral dari kerja KPU. Pada 2008, publik dihadapkan pada simpang-siur informasi tentang hasil verifikasi administratif partai politik peserta pemilu dan daftar calon sementara anggota legislatif. KPU di sini cenderung reluctant terhadap akses informasi dari masyarakat. Permintaan informasi dianggap merepotkan, kritik dilihat sebagai cermin ketidaksukaan. Upaya pers menggali informasi tentang persiapan pemilu dianggap sebagai gangguan. Cukup bisa dipahami jika kemudian sejumlah wartawan melaporkan KPU ke Dewan Pers karena menghambat akses media untuk mendapatkan informasi.

Pemilu semakin dekat, ada beberapa perubahan dalam pelaksanaannya. Namun, sedikit penjelasan yang sampai ke kalangan bawah. Survei nasional Indo Barometer Desember 2008 menunjukkan, hanya 51,8 pemilih yang mengetahui pemilu legislatif dilaksanakan pada April 2009. Sebanyak 61,3 pemilih cenderung membayangkan pemilu akan dilakukan dengan mencoblos, bukan mencentang. Ada potensi 60 persen suara tidak sah, karena 60 persen responden tidak tahu bahwa mencentang gambar partai dan nama calon legislator sekaligus adalah tidak sah.

Diseminasi informasi secara signifikan menentukan sukses pemilu. Masyarakat membutuhkan pemahaman yang cukup tentang tahap-tahap, problem, dan perubahan sistem pemilu. Persoalannya, hal ini tidak diimbangi dengan kesigapan KPU untuk menyediakan sistem pelayanan dan penyebaran informasi yang terbuka, efektif, dan cepat. Jika banyak anggota masyarakat masih buta informasi ketika pemilu semakin dekat, cukup meragukan pemilu akan terselenggara secara berkualitas, terbuka, jujur, dan adil.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/17/Opini/krn.20090217.157048.id.html

Tanpa ’Margbar Amriki’, tanpa Poros Setan

Iran
Tanpa ’Margbar Amriki’, tanpa Poros Setan
Tiga dekade Revolusi Iran. Presiden Ahmadinejad menyambut baik keinginan pemerintah Barack Obama untuk berdialog.
Teheran, 10 Februari 2009. Ribuan warga Iran berkumpul di Lapangan Kemerdekaan. Sebagian besar pendukung Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Gambar Ayatullah Khomeini dalam ukuran raksasa berdiri tegak, tatapannya tajam.

Tiga puluh tahun Revolusi Iran, ”Margbar ­Amriki”, ”Matilah Amerika”, masih merupakan yel yang paling sering diteriakkan dalam demonstrasi-demonstrasi besar. Bangunan bekas Kedutaan Besar Amerika yang pernah dikuasai mahasiswa militan selama 444 hari telah menjadi milik Garda Revolusi. Pasukan elite yang legen­daris itu menggunakannya sebagai museum spionase dan pusat pelatihan khusus untuk menghadapi Amerika Serikat.

Ada yang berubah setelah tiga dekade Iran melalui aneka kesusahan: perang, terorisme, isolasi, konfrontasi, dan berbagai sanksi internasional. Dalam pidatonya Selasa pekan lalu, Ahmadinejad menyebutkan sudah masa­nya untuk politik yang lebih diplomatis, berdasarkan perundingan yang adil dan sejajar. Tentu ia tidak membicarakan situasi dalam negeri Iran.

Ahmadinejad menyambut baik ke­inginan pemerintah baru Amerika Serikat di bawah Barack Obama, pemerintah yang akan lebih mengedepan­kan dialog. Sepekan setelah resmi menjabat presiden, Obama mengatakan, dialog dengan Iran adalah hal yang akan ia wujudkan. ”Namun ini bukan persoalan semalam dua malam karena semuanya sudah berlangsung sangat lama dan kompleks,” kata Obama.

Ahmadinejad juga menyinggung Iran yang membuka pintu lebar-lebar untuk bekerja sama dengan dunia luar, dan menjelaskan program nuklir Iran yang bertujuan damai. Ahmadinejad tengah memperlihatkan wajah Iran yang bersahabat. Sejak revolusi 1979 itu, hubungan diplomatik Iran-Amerika putus. Penyanderaan 66 orang—sebagian besar warga Amerika—di Kedutaan Besar Amerika oleh mahasiswa militan Iran pada November 1979 memperparah hubungan keduanya.

Sejak itu, berbilang pemerintah silih-berganti di Amerika, semuanya menempatkan Iran sebagai musuh. Puncaknya pada pemerintah George W. Bush, yang menyebut Iran sebagai ”poros setan” dan memasukkan negara itu ke daftar musuh perang melawan teror bersama Hamas dan Al-Qaidah setelah serangan 11 September. Apalagi belakangan program nuklir yang terus dikembangkan Iran menjadi alasan jitu bagi Amerika dan sekutunya untuk kian memojokkan Iran.

Kini Iran menghadapi banyak tantangan. Menghadapi pemilu Juni nanti, Ahmadinejad mulai berhitung kekuatan. Ia sadar dua pertiga populasi penduduk Iran, yang berjumlah 70 juta jiwa, adalah anak muda di bawah 25 tahun. Mereka yang mulai melek politik tentu saja akan berkeberatan jika Iran terus-menerus berada di bawah kendali para ulama konservatif.

Isu mulai bergeraknya kalangan moderat kembali ke panggung politik memang makin kencang berembus. Motor penggerak reformasi Islam Iran, Mohammad Kha­tami, bahkan sudah memastikan akan ikut bertarung dalam pemilu nanti. Khatami menang telak dalam pemilu Iran pada 1997, yang memuluskan jalannya menuju kursi presiden. Kehadirannya memunculkan harapan reformasi dan demokrasi di Iran.

Meski bersikap keras, Ahmadinejad­ yang konservatif berhasil membuat rakyat Iran berpihak kepadanya. Ia memikat rakyat dengan menunjukkan sikap nasionalisme yang kental, mati-matian menekan angka korupsi, serta melipatgandakan gaji pegawai negeri dan pensiunan. Meski hidup di bawah isolasi dunia internasional, Iran menikmati berkah dari kenaikan harga minyak.

Kini, 30 tahun setelah serangan massa ke markas besar tentara Shah Reza Pahlevi itu, garis keras Islam Iran tidak bisa lagi menutup mata. Revolusi Islam Iran tengah bergerak menuju era baru. Mungkin mereka tak lagi meneriakkan yel-yel ”Margbar Amriki”.

Angela Dewi (AP, BBC, CNN)



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/16/ITR/mbm.20090216.ITR129530.id.html

Simplifikasi Demokrasi

Simplifikasi Demokrasi
A. Bakir Ihsan
DOSEN ILMU POLITIK UIN JAKARTA

Transisi demokrasi sejatinya bergerak ke arah konsolidasi. Tapi fakta-fakta justru terjebak pada simplifikasi yang berbuah distorsi, bahkan anarki. Inilah yang kita saksikan atas peristiwa tewasnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat akibat brutalitas demonstran. Walaupun hasil visum dokter menunjukkan faktor meninggalnya adalah serangan jantung, aksi demonstrasi tetap menjadi bagian dari pemicunya. Namun, fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan sebagai salah satu landasan demokrasi. Yang bisa kita lihat dari realitas tersebut adalah terjadinya simplifikasi atas demokrasi. Demokrasi diperlakukan sebatas kepentingan. Dalam beragam bentuknya, gejala simplifikasi ini bisa dilihat dari deviasi prosesi demokrasi yang melibatkan elite politik dan publik.

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terganggu dengan pengeras suara demonstrasi yang membuat gaduh Istana. Sejak itu, polisi memperketat penggunaan pengeras suara para demonstran di depan Istana. Sepintas kenyataan tersebut memperlihatkan paradoksalitas di tengah euforia kebebasan. Demokrasi yang menyuguhkan ruang kebebasan menjadi gaduh dan menyebabkan orang lain terganggu. Dan, atas alasan ini, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 membenarkan pelarangan atas kegaduhan itu.

Pada level bawah, masyarakat digaduhkan oleh kontestasi yang semakin memanas menjelang hari H Pemilihan Umum 2009. Sebagian kontestan melakukan segala cara, termasuk pelanggaran mencuri start, untuk meraih simpati. Bahkan, dengan penerapan suara terbanyak, kegaduhan semakin intens seiring dengan persaingan di antara kontestan dalam satu partai sekalipun. Kenyataan ini bila dibiarkan dapat menyulut potensi anarkisme aksi (Kompas, 30 Desember 2008).

Kenyataan di atas merupakan rangkaian dari euforia demokrasi yang melibatkan kepentingan elite dan rakyat. Demokrasi memberi ruang yang sama untuk saling memahami dan menghargai aspirasi. Kegaduhan terjadi ketika salah satu komponen bersikap eksklusif dan mengabaikan aspirasi yang lain. Inilah yang menyebabkan demokrasi melahirkan efek domino yang tak jarang bertolak sisi dengan substansi demokrasi itu sendiri, seperti anarkisme dan barbarisme.

Demokrasi lahir dalam dua sisi sekaligus: kebebasan sekaligus ketaatan. Setiap orang punya peluang (kebebasan) yang sama untuk mengaktualisasikan aspirasinya. Kebebasan ini dimaksudkan sebagai medium kesederajatan warga negara.

Kesederajatan teraktualisasi ketika hukum ditaati. Dengan kata lain, demokrasi tanpa (ketaatan) hukum, akan menjadi lahan penyelewengan kebebasan. Itulah yang terjadi dalam aksi-aksi yang anarkistis. Atas nama kebebasan, kesetaraan menjadi mati. Ketika aturan main ditetapkan, maka ketaatan pada aturan main menjadi ujung napas demokrasi. Tanpa itu, maka demokrasi akan menjadi alat legitimasi (baca: simplifikasi) sekelompok orang (elite) untuk meraih keuntungan berdasarkan kepentingan masing-masing.

Demokrasi sebagai medium aktualisasi aspirasi mengharuskan adanya proses (evolusi) yang efektif. Sehingga aspirasi dapat dipahami dan diterima tanpa pemaksaan apalagi tindak kekerasan. Substansi sebuah aksi adalah ekspresi aspirasi agar diapresiasi. Apalagi dalam demokrasi perwakilan (indirect democracy), penyampaian aspirasi bertumpu pada bagaimana aspirasi diartikulasi, diapresiasi, dan diterima oleh lembaga perwakilan. Bukan pada bagaimana aspirasi didistribusikan (disalurkan) dan diekspresikan, karena saluran suara sudah dilembagakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.

Itulah sebabnya, salah satu prasyarat penting dalam demokrasi adalah pelembagaan (institusionalisasi) unsur-unsur demokrasi. Pelembagaan tersebut menyangkut penguatan peran dan fungsi masing-masing lembaga, sehingga semua mekanisme demokrasi dapat dijalankan secara maksimal dan substantif. Munculnya demonstrasi dengan segala cara, termasuk cara-cara anarkistis, merupakan efek dari tidak optimalnya fungsi pelembagaan suara rakyat. Proses penguatan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, misalnya, berhenti pada aspek simbolis dan prosedur semata. Akibatnya, kecenderungan distorsi peran dan ambiguitas fungsi kelembagaan menjadi menonjol.

Sejak reformasi, eksistensi dan peran yang dimainkan DPR bukan memperkuat fungsi kelembagaannya, melainkan lebih pada penguatan kepentingan partai (primordial) dan pribadi (individual). Beberapa kasus korupsi yang menimpa anggota Dewan dan peningkatan tunjangan di tengah kinerja yang buruk merupakan bukti dari distorsi fungsi tersebut. Apalagi di tengah gurita peran DPR yang cenderung melampaui wewenang konstitusi yang bertumpu pada sistem presidensial.

Dalam kondisi demikian, sejatinya DPR bisa lebih mudah mengontrol kebijakan pemerintah bagi kepentingan rakyat. Namun, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat, beberapa keputusan yang dikeluarkan anggota Dewan justru kental dengan kontradiksi, sehingga tidak jarang harus diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi. Pelembagaan fungsi aparatur negara secara ideal dapat mengurangi kegaduhan dalam demokrasi. Paling tidak "mempersempit" ruang apologi untuk melantangkan suaranya, apalagi bertindak anarkistis, yang dapat mengganggu kepentingan publik. Lebih dari itu, pelembagaan tersebut dapat meminimalisasi upaya simplifikasi persaingan elite yang mengorbankan rakyat.

Jalan tengah
Kegaduhan dalam demokrasi merupakan keniscayaan. Ini terjadi karena demokrasi hadir di bumi manusia bukan di kota Tuhan (city of God). Manusia dengan segala kepentingan dan aspirasinya bisa mengarah pada penguatan state of nature ala Hobbesian. Demokrasi hadir sebagai jalan tengah antara idealisme ketuhanan (nilai-nilai universal) dan pragmatisme keduniaan (nilai-nilai relatif). Karena itu, demokrasi hadir sebagai tata nilai sintesis agar kehidupan teratur tanpa menisbikan ragam kepentingan.

Itulah sebabnya, aturan dalam demokrasi mensyaratkan keteraturan. Mekanisme harus ditegakkan di antara ekstremitas kepentingan. Dan hal tersebut harus dilalui melalui proses yang berkelanjutan. Demokrasi bukanlah realitas yang given. Ada proses transisi untuk memperkuat arah menuju konsolidasi. Perjuangan untuk menyejajarkan martabat kemanusiaan yang sering terdistorsi oleh ambisi primordial sejatinya begitu kuat selama transisi. Di sinilah kearifan kita semua diperlukan untuk menyadari bahwa kita ada karena orang lain ada. Kita adalah manusia yang penuh kepentingan yang melalui demokrasi diajak untuk mengerti kepentingan "yang lain". Kalau tidak, transisi akan memperpanjang simplifikasi atas demokrasi dengan segala konsekuensinya, termasuk anarki.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/17/Opini/krn.20090217.157049.id.html

KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap

RUU Tipikor
KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap



Jakarta-Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin mengusulkan penambahan pasal terkait suap dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penambahan pasal tersebut harus dilakukan sekarang agar saat diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak direduksi oleh legislator.
Demikian pendapat M Jasin di sela-sela suatu diskusi, Senin (16/2). “Harus ada penambahan pasal mengenai suap karena mengantisipasi kebiasaan DPR yang mengurangi pasal-pasal krusial dari setiap RUU yang diajukan,” ungkapnya.
Pasal yang diusulkan dalam perkara suap, menurutnya, seperti yang diatur dalam UNCAC (United Nation Convention on Against Corruption), di mana Indonesia sudah meratifikasi melalui UU No 7 Tahun 2006.
Pasal suap yang diminta untuk ditambahkan adalah Pasal 15 UNCAC, mengenai sebelum suap berpindah tangan, sudah dapat dipidana. Kemudian Pasal 16 UNCAC mengatur suap yang melibatkan pejabat publik dan pejabat organisasi internasional. Lalu Pasal 21 UNCAC yang mengatur penyuapan di sektor swasta.
Hasil draf RUU Tipikor yang dibuat tim perumus pimpinan Andi Hamzah menunjukkan, apa yang diatur dalam UNCAC belum ada sama sekali. Menurutnya, sejak awal, mengenai penyuapan seperti diatur dalam UNCAC harus diajukan dan diperjuangkan berbagai pihak.
Menurutnya, strategi itu sangat penting karena beberapa kali DPR mereduksi pasal-pasal krusial dalam setiap RUU yang mereka bahas. Ia mencontohkan tentang perlindungan saksi dan korban, terutama yang mengatur tentang saksi yang mengungkapkan kasus pertama kali (whistle blower) yang direduksi di tengah jalan saat pembahasan.
Kini, sejumlah kasus yang ditangani KPK sebagian besarnya terkait gratifikasi atau suap yang melibatkan kalangan Dewan, di antaranya kasus Al Amin, Bulyan Royan, dan kasus Yusuf Emir Faishal.
Sebelumnya, komisi ini juga mengapresiasi hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi pemerintahan yang menduduki peringkat pertama dalam kasus suap. Dalam survei itu juga disebutkan adanya indikasi suap pada pengadilan.
Namun, komisi ini menolak mengomentari lebih jauh soal tindakan KPK sebagai lembaga supervisi terkait survei itu. KPK menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, sebaliknya melihat adanya proses perbaikan di dalam tubuh Polri saat ini.
“Jangan dicampuradukkan tugas KPK dengan hasil pekerjaan TII. Biarkan TII menjelaskan kepada publik apa dasar survei itu. Tidak benar kalau kami mengomentari pekerjaan orang,” kata Haryono Umar pekan lalu.
Survei TII terhadap 15 instansi pemerintah menyebutkan, kepolisian menjadi lembaga yang paling banyak menerima suap dibanding lembaga publik lain. Rata-rata nilai suap per transaksi mencapai Rp 2,273 juta.
(leo wisnu susapto)