BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Bintang Baru dari Negeri Ginseng

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.54

Perppu: Kreativitas yang Keliru

Monday, 02 February 2009
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberlakukan mekanisme suara terbanyak dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dinilai berimplikasi pada terbatasnya peluang kaum perempuan.Benarkah demikian?


Apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun pemerintah melalui perppu dapat mengintroduksi kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan? UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif sebenarnya relatif lebih maju dalam kebijakan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dibandingkan UU sebelumnya.

Pasal 55 ayat (2) UU tersebut menggarisbawahi bahwa setiap tiga orang (bakal) calon terdapat sekurang- kurangnya satu perempuan (bakal) calon. Akan tetapi perlu segera dicatat bahwa amanat UU Pemilu Legislatif sebenarnya adalah kebijakan afirmatif untuk meningkatkan persentase perempuan minimal 30% dalam daftar caleg yang diajukan setiap partai politik (parpol) peserta pemilu.

UU yang sama tidak mengatur kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam mekanisme penetapan caleg. Dengan kata lain, sejak awal desain UU No 10 Tahun 2008 tidak mengatur otoritas KPU untuk menetapkan satu dari tiga caleg terpilih berasal dari perempuan.

Kreativitas yang Keliru

Oleh karena itu,inisiatif KPU yang hendak mengatur keharusan bagi parpol peserta pemilu memberikan satu dari tiga kursi legislatif yang diperolehnya bukan hanya tidak sesuai dengan amanat UU Pemilu, melainkan juga mendistorsi mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK.Apalagi sangat jelas bahwa ruang lingkup tanggung jawab KPU bukanlah menciptakan regulasi baru di luar aturan main pemilu yang diamanatkan UU.

Tanggung jawab KPU terbatas pada pengaturan teknis pemilu sebagai operasionalisasi dari amanat UU Pemilu, termasuk keputusan MK yang merupakan koreksi konstitusional terhadap sebagian materi UU. Kreativitas KPU untuk menerjemahkan UU jelas diperlukan agar proses penyelenggaraan pemilu lebih menjamin tegaknya prinsip kebebasan memilih,kesetaraan kesempatan bagi parpol peserta pemilu, serta berlangsungnya pemilu yang demokratis, fair, dan damai.

Namun jika kreativitas KPU tidak mencakup ruang lingkup tugas pokok, fungsi,dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu, jelas hal itu merupakan suatu kekeliruan yang perlu dikoreksi. Di tengah buruknya kinerja KPU dewasa ini yang diperlukan bukanlah kreativitas yang keliru, melainkan kesungguhan para anggota mengoptimalkan segenap pikiran dan energi untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu yang semakin dekat. Itu artinya KPU perlu melihat kembali fokus dan prioritas agendanya sesuai jadwal dan tahapan pemilu yang telah dibuat sebelumnya.

Perppu Juga Keliru

Dalam perkembangan mutakhir, KPU mengusulkan agar kebijakan afirmasi untuk meningkatkan peluang keterpilihan caleg perempuan diterbitkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu).Ironisnya,sejumlah pihak, termasuk pemerintah dan beberapa anggota DPR, merespons positif gagasan ini, padahal tidak ada “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai prasyarat utama penerbitan perppu seperti diamanatkan oleh konstitusi.

Karena itu penerbitan perppu bukan hanya berpeluang digugat kembali melalui judicial review oleh para caleg pria terpilih yang berhak (atas dasar keputusan MK sebelumnya),melainkan justru bertentangan dengan materi UU No 10 Tahun 2008 yang sama sekali tidak mengatur kebijakan afirmasi dalam penetapan caleg terpilih.

Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat mengintroduksi materi hukum baru melalui perppu jika hampir tidak ada argumen konstitusional yang mendukungnya? Peningkatan keterwakilan politik perempuan, termasuk melalui penetapan caleg terpilih, jelas menjadi komitmen kolektif bangsa kita.

Terbatasnya jumlah kaum perempuan di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif patut menjadi keprihatinan kita sehingga diperlukan kebijakan afirmasi untuk meningkatkan representasinya. Namun tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hal itu dapat ditempuh melalui cara atau prosedur yang cenderung melanggar hukum.

Apabila sejak awal UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur kebijakan afirmasi dalam rangka peningkatan persentase caleg yang diajukan parpol peserta pemilu, introduksi afirmasi yang sama tidak bisa dilakukan dalam konteks penetapan caleg terpilih. Keputusan MK menggarisbawahi bahwa penetapan caleg terpilih melalui mekanisme suara terbanyak tidak memerlukan revisi UU ataupun perppu.

Apalagi jika perppu yang dimaksudkan itu tak hanya mendistorsi kembali keputusan MK, tetapi juga merupakan materi hukum baru yang jelas-jelas tidak diatur dalam UU No 10 Tahun 2008.

Tambal Sulam

Kecenderungan KPU untuk memanfaatkan “jalan pintas” perppu untuk menutupi ketidakmampuan memahami tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu jelas patut disesalkan. Kecenderungan demikian bukan hanya menjadikan berbagai regulasi pemilu tambal sulam, melainkan juga cenderung menciptakan ketidakpastian hukum bagi segenap pemangku kepentingan pemilu.

Komitmen yang besar terhadap peningkatan keterwakilan politik kaum perempuan tidak serta-merta membolehkan KPU,pemerintah,atau siapa pun menghalalkan prosedur hukum yang akhirnya menciptakan pelanggaran sistemik terhadap UU itu sendiri.

Karena itu yang diperlukan saat ini bukanlah kreativitas hukum yang keliru seperti rencana penerbitan perppu kebijakan afirmatif perempuan dalam penetapan caleg terpilih, melainkan mendorong KPU bekerja lebih serius atas dasar aturan main pemilu yang telah ada. Terlalu berisiko bagi bangsa kita membiarkan KPU menciptakan berbagai kreativitas yang bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi melanggar UU.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/209921/

Perppu: Kreativitas yang Keliru

Perppu: Kreativitas yang Keliru


Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberlakukan mekanisme suara terbanyak dalam penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dinilai berimplikasi pada terbatasnya peluang kaum perempuan.Benarkah demikian?


Apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun pemerintah melalui perppu dapat mengintroduksi kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan? UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif sebenarnya relatif lebih maju dalam kebijakan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dibandingkan UU sebelumnya.

Pasal 55 ayat (2) UU tersebut menggarisbawahi bahwa setiap tiga orang (bakal) calon terdapat sekurang- kurangnya satu perempuan (bakal) calon. Akan tetapi perlu segera dicatat bahwa amanat UU Pemilu Legislatif sebenarnya adalah kebijakan afirmatif untuk meningkatkan persentase perempuan minimal 30% dalam daftar caleg yang diajukan setiap partai politik (parpol) peserta pemilu.

UU yang sama tidak mengatur kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam mekanisme penetapan caleg. Dengan kata lain, sejak awal desain UU No 10 Tahun 2008 tidak mengatur otoritas KPU untuk menetapkan satu dari tiga caleg terpilih berasal dari perempuan.

Kreativitas yang Keliru

Oleh karena itu,inisiatif KPU yang hendak mengatur keharusan bagi parpol peserta pemilu memberikan satu dari tiga kursi legislatif yang diperolehnya bukan hanya tidak sesuai dengan amanat UU Pemilu, melainkan juga mendistorsi mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK.Apalagi sangat jelas bahwa ruang lingkup tanggung jawab KPU bukanlah menciptakan regulasi baru di luar aturan main pemilu yang diamanatkan UU.

Tanggung jawab KPU terbatas pada pengaturan teknis pemilu sebagai operasionalisasi dari amanat UU Pemilu, termasuk keputusan MK yang merupakan koreksi konstitusional terhadap sebagian materi UU. Kreativitas KPU untuk menerjemahkan UU jelas diperlukan agar proses penyelenggaraan pemilu lebih menjamin tegaknya prinsip kebebasan memilih,kesetaraan kesempatan bagi parpol peserta pemilu, serta berlangsungnya pemilu yang demokratis, fair, dan damai.

Namun jika kreativitas KPU tidak mencakup ruang lingkup tugas pokok, fungsi,dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu, jelas hal itu merupakan suatu kekeliruan yang perlu dikoreksi. Di tengah buruknya kinerja KPU dewasa ini yang diperlukan bukanlah kreativitas yang keliru, melainkan kesungguhan para anggota mengoptimalkan segenap pikiran dan energi untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu yang semakin dekat. Itu artinya KPU perlu melihat kembali fokus dan prioritas agendanya sesuai jadwal dan tahapan pemilu yang telah dibuat sebelumnya.

Perppu Juga Keliru

Dalam perkembangan mutakhir, KPU mengusulkan agar kebijakan afirmasi untuk meningkatkan peluang keterpilihan caleg perempuan diterbitkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu).Ironisnya,sejumlah pihak, termasuk pemerintah dan beberapa anggota DPR, merespons positif gagasan ini, padahal tidak ada “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai prasyarat utama penerbitan perppu seperti diamanatkan oleh konstitusi.

Karena itu penerbitan perppu bukan hanya berpeluang digugat kembali melalui judicial review oleh para caleg pria terpilih yang berhak (atas dasar keputusan MK sebelumnya),melainkan justru bertentangan dengan materi UU No 10 Tahun 2008 yang sama sekali tidak mengatur kebijakan afirmasi dalam penetapan caleg terpilih.

Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat mengintroduksi materi hukum baru melalui perppu jika hampir tidak ada argumen konstitusional yang mendukungnya? Peningkatan keterwakilan politik perempuan, termasuk melalui penetapan caleg terpilih, jelas menjadi komitmen kolektif bangsa kita.

Terbatasnya jumlah kaum perempuan di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif patut menjadi keprihatinan kita sehingga diperlukan kebijakan afirmasi untuk meningkatkan representasinya. Namun tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hal itu dapat ditempuh melalui cara atau prosedur yang cenderung melanggar hukum.

Apabila sejak awal UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur kebijakan afirmasi dalam rangka peningkatan persentase caleg yang diajukan parpol peserta pemilu, introduksi afirmasi yang sama tidak bisa dilakukan dalam konteks penetapan caleg terpilih. Keputusan MK menggarisbawahi bahwa penetapan caleg terpilih melalui mekanisme suara terbanyak tidak memerlukan revisi UU ataupun perppu.

Apalagi jika perppu yang dimaksudkan itu tak hanya mendistorsi kembali keputusan MK, tetapi juga merupakan materi hukum baru yang jelas-jelas tidak diatur dalam UU No 10 Tahun 2008.

Tambal Sulam

Kecenderungan KPU untuk memanfaatkan “jalan pintas” perppu untuk menutupi ketidakmampuan memahami tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemilu jelas patut disesalkan. Kecenderungan demikian bukan hanya menjadikan berbagai regulasi pemilu tambal sulam, melainkan juga cenderung menciptakan ketidakpastian hukum bagi segenap pemangku kepentingan pemilu.

Komitmen yang besar terhadap peningkatan keterwakilan politik kaum perempuan tidak serta-merta membolehkan KPU,pemerintah,atau siapa pun menghalalkan prosedur hukum yang akhirnya menciptakan pelanggaran sistemik terhadap UU itu sendiri.

Karena itu yang diperlukan saat ini bukanlah kreativitas hukum yang keliru seperti rencana penerbitan perppu kebijakan afirmatif perempuan dalam penetapan caleg terpilih, melainkan mendorong KPU bekerja lebih serius atas dasar aturan main pemilu yang telah ada. Terlalu berisiko bagi bangsa kita membiarkan KPU menciptakan berbagai kreativitas yang bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi melanggar UU.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/209921/

Kesehatan untuk Semua

Sugeng Bahagijo

Penuhilah kebutuhan kesehatan warga negara dan Anda akan memenangi pemilu.

Tidak percaya? Dalil ini dibuktikan Obama. Sekitar setahun sebelum pemilu, rencana kesehatan Obama dinilai sebagai yang terbaik, bahkan lebih baik daripada rencana milik calon presiden AS dari Republik, termasuk John McCain, rival utamanya.

Dari segi cakupan (untuk semua), pendanaan, pilihan konsumen, dan kemudahan pengelolaan (administrative simplicity), rencana kesehatan Obama lebih unggul (Collins dan Kriss, 2008).

Obama merancang sistem asuransi kesehatan bagi semua warga AS. Bagi 47 juta warga yang hari ini tidak terlindungi, Obama menyediakannya. Caranya, semua anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua orang dewasa wajib memilikinya. Bagi yang tidak mampu, pemerintah akan membayar preminya. Dananya berasal dari model campuran dari iuran perusahaan, dana pemerintah federal, dan negara bagian plus iuran peserta bagi yang mampu (mixed private-public group insurance).

Bagaimana Indonesia? Lima tahun pasca-Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2004, yang hendak menata ulang jaminan kesehatan, kita belum mendengar rencana para calon presiden untuk mempercepat pelaksanaan SJSN. Tujuh bulan menjelang pemilu presiden, kita juga belum melihat rencana kesehatan yang rinci dan kredibel, yang oleh pemilih dapat dinilai, didukung, atau ditolak.

Kesehatan Indonesia

Meski lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bagus, kinerja kesehatan Indonesia masih tertinggal. Tahun 2008, anggaran kesehatan hanya 2,49 persen dari APBN. Tahun 2009, anggaran kesehatan naik ke 2,8 persen dari total APBN, sementara standar WHO sebesar 15 persen (Kompas, 6/1/2008). Bila harus memilih, mestinya kesehatan lebih utama ketimbang pendidikan yang meraup anggaran 20 persen.

Wajar jika kinerja kesehatan masih tersisih. Angka kematian ibu masih tinggi dan diperkirakan Indonesia akan gagal meraih target MDGs 2015. Meski kini Indonesia ramai dengan rumah sakit internasional, kita juga disodori berita seperti meninggalnya Muhammad Reinaldi (lima bulan) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ia dipulangkan sesudah dirawat selama 29 hari karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya perawatan (Berita Kota, 1/11/2008).

Ketimpangan hak atas kesehatan akan berlanjut jika perubahan tidak dilakukan. Ketiadaan asuransi sosial menjadi sebab. Lindhental (2004) mencatat, dari 210 juta lebih penduduk, hanya 17 juta jiwa yang terlindungi asuransi kesehatan. Apalagi praktik yang ada membolehkan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter) menarik biaya dari pengguna tanpa batasan. Pemerintah daerah bahkan menggunakan pendapatan ini sebagai sumber utama pendapatan asli daerah ketimbang pajak jasa restoran dan usaha hiburan. Ini tidak lain pajak regresif bagi yang lemah (GTZ, 2008).

Guru besar kesehatan masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menunjukkan, yang terjadi adalah you get what you pay for, akses atas jasa kesehatan ditentukan daya beli dan pendapatan. Padahal, daya beli dan pendapatan rata-rata keluarga Indonesia masih setingkat UMR. Pasar kesehatan dan usaha swasta kesehatan dapat dibenarkan asal akses bagi yang lemah menjadi mudah dan kinerja kesehatan nasional tidak inferior. Patut diingat, derajat kesehatan sebuah bangsa bukan ditentukan besaran kue ekonomi, tetapi distribusi kue ekonomi. Itulah hasil kajian kinerja kesehatan antarbangsa oleh Norman Daniels, guru besar Universitas Harvard (2001).

Pengalaman Asia Timur

Berkaca pada pengalaman Asia Timur, ada kaitan positif antara demokratisasi politik dan derajat kesehatan di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Di Jepang, sejak LDP pecah, kompetisi partai politik kian ketat. Merebut hati pemilih dan warga negara tidak lagi bisa diandalkan pada prestasi masa lalu. Parpol kian merasakan, mereka perlu tampil dengan kebijakan sosial bagi semua lapisan sosial (Wong, 2008). Kompetisi politik ketat itu mendesak perubahan dari pendekatan targeting dengan anggaran minimal menjadi pendekatan universal dan anggaran maksimal.

Di Indonesia, terbitnya UU SJSN 2004 tentang jaminan sosial tak bisa disangkal merupakan karya politik, dengan PDI-P dan Golkar sebagai sponsor utama. UU ini digodok sejak 2002 dan tahun 2004, tahun akhir jabatan Presiden Megawati, DPR mengesahkannya. UU SJSN ini merupakan kemajuan besar karena dilandasi pada konsepsi perlindungan untuk semua, perempuan dan lelaki, kaya dan miskin. Terkandung di dalamnya upaya membagi beban dan manfaat (pooling risks and benefits) antara yang mampu dan tidak mampu. Dengan demikian, ketimpangan sosial ekonomi dikurangi.

Menjelang pemilu presiden Agustus 2009, kita menanti apa dan bagaimana rincian kebijakan kesehatan para capres. Pemilih mencari jawab bagaimana lapangan kerja diciptakan, pendapatan ditingkatkan, biaya kesehatan dan pendidikan terjangkau. Mereka memerlukan sedikit citra dan retorika. Selebihnya, yang dicari adalah kenyataan.

Sudah saatnya para capres menjawab. Misalnya, mengapa kita pelit dalam alokasi anggaran kesehatan. Apakah ini akan dipertahankan? Benarkah Jamkesnas akan dilanjutkan? Bagaimana dengan mereka yang tidak tercakup Jamkesnas?

Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/02/00274219/kesehatan.untuk.semua

Sri Adiningsih : Ayo, Kita Turunkan Indeks Kesengsaraan

Sri Adiningsih : Ayo, Kita Turunkan Indeks Kesengsaraan

Sejak Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada 2004, kita selalu memimpikan kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan maju. Tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di kawasan ini. Apalagi, bangsa Indonesia kaya akan sumber daya alam dan memiliki tanah subur yang dapat ditanami sepanjang tahun. Bukan mimpi siang bolong kalau kita berharap memiliki kehidupan yang makmur dan maju sejajar dengan bangsa-bangsa tetangga kita.

Namun, mimpi itu tetap tidak mudah diraih. Dalam ekonomi dunia yang semakin dinamis dan volatilitasnya tinggi, kita harus jatuh bangun untuk bertahan. Kehidupan masyarakat kita masih saja cenderung memburuk. Padahal, kita sedang menghadapi krisis ekonomi global yang dalam dan panjang. Karena itu, perlu ada pemahaman yang baik tentang kondisi hidup masyarakat agar kita tidak salah mengambil langkah.

Dengan situasi krisis ekonomi dunia yang semakin dalam seperti sekarang, amatlah lumrah kalau kita ingin mengetahui apakah kehidupan kita semakin membaik atau memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan, di negara seperti Amerika Serikat yang sangat kaya, masyarakat mulai menanyakan lagi kualitas hidup mereka. Apakah semakin baik atau semakin buruk? Harian terkemuka AS the New York Times pada edisi 12 September 2008 mulai mengkhawatirkan memburuknya kehidupan mereka yang diukur dengan misery index atau indeks kesengsaraan (penjumlahan angka inflasi dan pengangguran) yang sudah diatas 10 persen.

Indeks yang dulu dibuat oleh Arthur Okun, penasihat ekonomi Presiden AS Lyndon Johnson pada akhir 1960-an itu dapat dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesengsaraan masyarakat. Indeks terkecil sejak 1948 diraih AS pada 1953 sebesar 3,74 pada zaman Presiden Eisenhower. Meski indeks sejak 1993 selalu di bawah 10, indeks tertinggi terjadi pada 1980 sebesar 20,76 (terbesar sejak 1948). Namun, indeks rata-rata dalam 60 tahun terakhir adalah 9,46.

Naiknya indeks kesengsaraan menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat AS semakin sengsara karena tingginya inflasi dan pengangguran. Nilai indeks diperkirakan sudah mencapai lebih dari 11 saat ini. Padahal, sejak 1983 nilai rata-rata adalah 7,95. Berarti bahwa kehidupan masyarakat AS semakin memburuk dengan adanya krisis ekonomi pada saat ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Angka indeks kesengsaraan Indonesia memang naik turun selaras dengan kondisi ekonomi dan kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan Bank Indonesia (BI), indeks kesengsaraan Indonesia sebesar 19,09 pada 2002, merosot menjadi 14,66 pada 2003. Itu berarti pada masa-masa itu tingkat kesulitan hidup masyarakat menurun.

Pada 2004, seiring dengan adanya pemilu yang menimbulkan pemanasan suhu politik, nilainya agak naik menjadi 16,24. Pada 2005, meski kondisi ekonomi sudah pulih dari krisis dan harapan masyarakat terhadap kehidupan yang lebih baik tinggi, indeks kesengsaraan hidup justru naik tajam menjadi 28,33. Ini disebabkan naiknya harga BBM lebih dari 100 persen pada saat itu. Demikian juga jumlah pengangguran yang naik.

Pada 2006 dan 2007 angkanya sempat turun menjadi 16,90 dan 15,69. Namun, pada 2008 angkanya naik lagi menjadi 19,47. Jelas ini bukan perkembangan yang baik bagi kehidupan masyarakat. Sebab, tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia semakin sengsara.

Bagaimana dibanding negara-negara lain pada 2008? Ternyata umumnya negara-negara tetangga dapat meningkatkan kesejahteraan lebih baik. Negara jiran Malaysia angkanya 8,9; Thailand 6,9; Singapura 8,8; dan India 15,1; Pakistan 26,4; Turki 20,9 (diambil dari the Economist 17 Januari 2009). Dari data yang ada, jelas bahwa indeks kita hanya lebih baik dari Pakistan dan Turki pada pada 2008.

Namun, dibanding tiga negara di kawasan ASEAN yang disebut di atas, tahun lalu kualitas kehidupan bangsa Indonesia masih di bawah negara Malaysia ataupun Thailand. Masalahnya menjadi semakin mengkhawatirkan karena kita sedang dilanda krisis ekonomi global yang dampaknya bisa lebih besar dan lama.

Tantangan 2009

Tingginya indeks kesengsaraan itu menunjukkan ada yang salah dengan pengelolaan ekonomi kita. Memburuknya kualitas kehidupan masyarakat perlu kita sikapi. Indonesia harus mengubah kebijakan ekonomi agar mampu mengatasi masalah kesengsaraan masyarakat saat ini, serta bisa meningkat pada masa mendatang. Jangan sampai kualitas hidup masyarakat memburuk lagi.

Jelas bahwa kebijakan ekonomi yang sering responsif, populis, namun tidak menyelesaikan masalah mendasar ekonomi bangsa ini tidak dapat mengangkat kualitas hidup rakyat. Sudah saatnya kita bersama-sama bekerja agar jangan lagi mengulang berbagai kesalahan dalam pembuatan kebijakan yang dapat meningkatkan kesengsaraan masyarakat.

Tahun ini merupakan tahun pemilu. Kita mesti menjaga agar jangan sampai politisasi kebijakan ekonomi ataupun anggaran untuk kepentingan pemilu terjadi. Dengan utang yang sudah besar (akan meningkat lagi), serta tingkat kesengsaraan masyarakat yang tinggi, tidak perlu ditambah dengan masalah lain, sehingga dapat meningkatkan kesengsaraan masyarakat pada masa mendatang. Jogja, 31 Januari 2009

Sri Adiningsih

Ekonom UGM

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=50008

Distorsi Pasar Politik

Distorsi Pasar Politik
Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia

Dalam suatu kehidupan demokrasi, politik citra adalah niscaya. Melalui citra, suatu entitas atau individu politikus menempatkan dirinya sebagai bagian dari ekspektasi positif publik. Adalah suatu realitas yang tak mungkin dimungkiri bahwa upaya mendapatkan vote dari publik identik dengan penerimaan publik terhadap suatu entitas politik dan salah satu yang menentukan dalam penerimaan itu adalah citra yang baik. Dalam pasar politik, merupakan hal yang niscaya pula mengemas produk-produk politik sedemikian rupa menawan agar para pemilik vote tertarik membelinya. Tetapi citra adalah tampilan dan kemasan luar. Voter yang memilih suatu entitas politik hanya berdasarkan citra semata sesungguhnya dari kacamata ekonomi-politik telah terjebak dalam fenomena asimetri informasi politik.

Tetapi fenomena ini bukanlah suatu hal yang salah dalam demokrasi. Kesalahan pilihan publik akibat asimetri informasi adalah hal yang wajar dan tak perlu dikhawatirkan, karena pasar politik yang sehat akan mengoreksi pilihan-pilihan yang salah karena bias citra tersebut. Pasar politik yang sehat itulah yang perlu kita hadirkan agar benar-benar demokrasi yang kita nikmati adalah demokrasi kontributif terhadap perbaikan semua sisi kehidupan. Lalu bagaimana menghadirkan pasar politik yang sehat tersebut?

Demokrasi dalam pandangan pakar ekonomi-politik adalah proses transaksi di pasar politik. Dalam pasar politik, ada produsen, yakni para politikus dan partai politik. Para produsen politik memproduksi beragam produk yang ditawarkan kepada para rakyat sebagai pemilik vote (konsumen). Produsen politik yang akan berkontribusi pada lahirnya pasar politik yang sehat adalah jika produsen politik tersebut mampu menyajikan produk-produk politiknya pada dua pendekatan yang dilakukan secara simultan, yakni; pertama, orientasi pragmatis dalam rangka membangun citra yang baik. Dalam konteks inilah political marketing menjadi niscaya. Semua potensi yang menarik yang dimiliki oleh suatu partai politik adalah suatu keniscayaan untuk dipamerkan ke hadapan para pemilik vote, dari yang sangat substantif seperti platform dan prestasi-prestasi publik sampai hal-hal yang tidak substantif, seperti keelokan fisik kandidatnya atau bahkan kedekatan primordial dengan pemilik vote. Kedua, orientasi substansi dan altruistik, yakni bahwa para produsen politik itu, ketika mereka hadir dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan politik, mampu merepresentasikan diri sebagai entitas yang memberikan solusi bagi permasalahan bangsa.

Artinya, produsen politik yang kontributif bagi pencerahan demokrasi di era kekinian kita adalah ketika mereka bisa memadukan proporsi antara orientasi pragmatis dan altruistik. Orientasi pragmatis adalah hal yang niscaya dalam rangka mendapatkan penerimaan politik dari para pemilik vote. Tetapi, setelah vote itu didapat, yaitu ketika mereka sudah menduduki jabatan politik penting di lembaga-lembaga negara, orientasi altruistiklah yang harus lebih mendominasi.

Tanpa orientasi pragmatis, suatu entitas politik akan sulit mendapatkan keberpihakan para pemilik vote, karena serasional apa pun para pemilik vote, sesungguhnya fenomena asimetri informasi adalah niscaya, apalagi umumnya para pemilik vote Indonesia memilih bukan karena pertimbangan-pertimbangan rasional substansial.

Tetapi, tanpa orientasi altruistik, entitas politik yang hadir di lembaga-lembaga negara hanya akan menjadi para rent-seeker ekonomi-politik. Bukan menjadi solusi terhadap masalah bangsa, melainkan menjadi sumber masalah itu sendiri. Dan perilaku tersebut bisa berdampak pada hadirnya pasar politik yang eksploitatif terhadap kepentingan publik yang kemudian melahirkan apatisme terhadap demokrasi.

Faktor kedua yang menentukan sehat-tidaknya pasar politik adalah faktor konsumen politik, yakni para pemilik vote. Ada dua faktor penentu yang, menurut hemat saya, menentukan hadirnya konsumen politik yang kontributif terhadap hadirnya pasar politik yang sehat, yakni faktor kesejahteraan dan pendidikan. Kesejahteraan berimplikasi pada minimalisasi bias voter, karena dampak distorsi dari politik uang dan pendidikan meminimalisasi bias voter lantaran dampak distorsi dari asimetri informasi.

Dengan angka kemiskinan kita yang masih sangat besar, pasar politik kita hari ini masih rentan terhadap distorsi politik uang. Dengan demikian, meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak hanya identik dengan keniscayaan pembangunan ekonomi, tetapi juga identik dengan keniscayaan hadirnya pasar politik dan demokrasi yang sehat. Begitu juga mereduksi bias voter melalui pendidikan, khususnya pendidikan politik, sesungguhnya menjadi tugas semua stakeholder yang menginginkan hadirnya pasar politik dan demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat haruslah melibatkan banyak negarawan, baik sebagai produsen maupun konsumen di pasar politik. Untuk itu, kita harus menjadi bangsa yang negarawan. Tetapi bangsa negarawan tidak akan hadir dalam lingkungan kebodohan. Kita tahu sampai hari ini angka statistik menunjukkan masih sekitar 82 persen anak bangsa ini yang berstatus pendidikan sekolah menengah pertama ke bawah, yang menunjukkan kita masih harus berjuang keras menjadi bangsa yang negarawan tersebut.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/03/Opini/krn.20090203.155626.id.html

Beban Kesehatan Akibat Perang Gaza

Beban Kesehatan Akibat Perang Gaza
Fachmi Idris, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

"Sebenarnya apa tujuan yang diinginkan oleh Israel dengan melancarkan serangan ke Jalur Gaza?" Satu pertanyaan mendasar yang pastinya hanya bisa dijawab oleh Israel sendiri. Jawaban umumnya adalah untuk membela diri, membalas serangan roket yang diluncurkan Hamas. Tapi, melihat fakta berupa dampak yang begitu hebat dan luas akibat kebrutalan dan keserampangan Israel, banyak pengamat dan pemimpin dunia menilai bahwa serangan tersebut lebih merupakan skenario Israel untuk menghancurkan Gaza. Bahkan begitu kejamnya tentara Israel mengejar dan membunuh orang-orang Palestina tanpa pandang bulu. Mungkin ada benarnya, apa yang dikhawatirkan pengamat dunia, jangan-jangan ada skenario genosida di balik serangan Israel tersebut.

Semua tahu bahwa perang merupakan perselisihan pihak-pihak bersengketa dengan memakai kekuatan senjata. Tanpa maksud untuk mengadili dan menilai siapa yang benar atau salah, yang menang atau kalah, dan tanpa maksud mendukung salah satu pihak yang bertikai, maka masyarakat dunia senantiasa menyeru kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dalam meja perundingan tanpa kekerasan senjata. Tujuannya untuk menghindari semakin banyak korban yang tidak berdosa dan kerusakan yang tidak diinginkan akibat perang. Korban yang terukur secara kuantitatif sangat jelas. Korban mati, dari bayi sampai orang dewasa yang tidak berdosa, lebih mudah dihitung. Korban yang tidak terukur, berupa cacat permanen atau status kesehatannya menjadi terganggu, merupakan beban masa depan yang sangatlah berat.

Masyarakat dunia telah membuat aturan untuk disepakati bersama dalam bentuk Hukum Humaniter Internasional atau dikenal dengan The Law of War tentang apa-apa yang tidak boleh dilakukan dalam perang oleh pihak-pihak yang bertikai dengan dalih apa pun. Aturan tersebut ditujukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, antara lain dengan melindungi orang-orang yang tidak terlibat atau dianggap tidak terlibat dalam perang, melokalisasi perang hanya pada daerah pertempuran bukan di daerah masyarakat sipil, serta menghindari kerusakan yang hebat dari dampak peperangan dengan membatasi metode dan senjata yang digunakan dalam peperangan.

Pada 1967, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 237 yang dipertegas oleh Majelis Umum PBB dengan resolusi 2252, yang menegaskan bahwa hak asasi manusia harus dihormati oleh setiap pihak yang terlibat pertikaian, mereka harus memenuhi semua kewajiban yang telah mereka terima dalam konvensi Jenewa 1949. Walau resolusi-resolusi ini sering kali dianggap sampah oleh negara agresor, paling tidak kita harus selalu saling mengingatkan tentang hal ini.

Dilihat dari kacamata kejujuran, serangan brutal dan serampangan Israel tersebut lebih merupakan tragedi kemanusiaan dan telah melanggar Hukum Humaniter Internasional (Konvensi Jenewa 1949, Protokol Jenewa I dan II 1977, dan Hukum Den Haag). Banyak korban yang jatuh akibat serangan Israel tersebut justru di pihak warga sipil yang tidak terlibat dalam perang dan tidak tahu-menahu soal perang, yaitu anak-anak dan wanita. Sebuah persoalan humanitarian yang mau tidak mau pada akhirnya melibatkan profesi kedokteran yang memiliki tradisi luhur (noble officium) serta selalu tergerak dalam membantu dan menyelamatkan nyawa setiap manusia.

Masalahnya kemudian muncul berita yang menyedihkan bahwa serangan Israel juga menghantam sejumlah rumah sakit yang di dalamnya terdapat pasien sebagai orang yang tidak berdaya dan tenaga medis, seperti dokter dan perawat, yang sedang bekerja untuk kepentingan kemanusiaan. Serangan tersebut juga telah menghancurkan terowongan yang menghubungkan Jalur Gaza dengan dunia luar sehingga menyulitkan keluhuran profesi kesehatan dalam membantu korban luka dan lain-lain karena sulitnya pasokan daya dukung pengabdian profesi yang diperlukan, seperti obat-obatan, peralatan medis, dan relawan medis yang akan membantu lebih lanjut.

Berkaitan dengan ekses kesehatan, dari perkembangan terakhir diduga Israel telah menggunakan senjata kimia berupa bom yang mengandung fosfor putih dalam serangannya (sebagaimana diakui oleh Human Rights Watch, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berkedudukan di New York). Tindakan Israel tersebut jelas-jelas melanggar aturan perang yang melarang penggunaan senjata pemusnah massal, seperti senjata kimia dalam bentuk fosfor putih tersebut, serta mendapat kecaman keras dari PBB dan dunia internasional.

World Medical Association (WMA) dalam deklarasinya di Santiago pada 2005 mengutuk setiap pihak yang menggunakan dan mengembangkan senjata kimia dan biologis (senjata pemusnah massal). Pertimbangannya jelas, senjata tersebut berdampak bukan hanya kepada anggota militer di area target peperangan, tapi juga ke area yang sangat luas sampai ke permukiman masyarakat sipil. Belum lagi ia akan mengancam kesehatan manusia dalam jangka waktu lama, menyebabkan kesakitan, penderitaan, serta penyakit dan kerusakan populasi yang sangat lama. Lebih parah keadaannya akan menyebabkan perubahan lingkungan hidup permanen, kompleks, dan tidak bisa diprediksi, termasuk kerusakan pada tanaman, hewan, dan sumber air serta merusak sumber makanan bagi manusia. Kondisi ini akan semakin miris mengingat tenaga, teknologi, dan pelayanan kesehatan yang ada selama ini tidak dapat berbuat banyak untuk membantu memulihkan penderitaan korban akibat senjata kimia dan biologi.

Deklarasi WMA menggambarkan bahwa akan ada beban masalah kesehatan kronis apabila isu penggunaan senjata kimia merupakan kenyataan lapangan. Bangsa Palestina di Jalur Gaza akan mengalami penderitaan yang sangat panjang, jauh setelah perang selesai yang pada gilirannya akan mengalami krisis kemanusiaan baru terkait dengan problem dan beban kesehatan baru.

Kepedihan, penderitaan, kecacatan, wabah penyakit, kelaparan dan busung lapar, serta ketakutan dan depresi berkepanjangan pada anak-anak dan wanita adalah problem kesehatan yang secara nyata merupakan dampak perang di Gaza. Keadaan ini diperparah lagi dengan akan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang menyediakan sumber makanan dan sumber air bersih yang dibutuhkan oleh penduduk Jalur Gaza.

Untuk menghindari krisis kemanusiaan lanjutan pascaperang yang sarat dengan problem kesehatan tersebut, walaupun dengan asa yang mulai pupus, masyarakat dunia yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus cepat mengambil tindakan tegas untuk menghentikan perang brutal yang dilancarkan oleh Israel. Tidak cukup dengan hanya kecaman, kutukan, dan resolusi di atas kertas dan di atas podium karena selama ini Israel tidak pernah mengindahkan itu semua.

Saatnya sekarang bagi badan dunia yang berwenang untuk tujuan mengawal hak asasi manusia segera tampil secara konkret hadir di Jalur Gaza untuk mengawasi dan bahkan menghentikan secara total perang yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Bukan hanya gencatan senjata "pura-pura", yang tiba-tiba secara sepihak dan mendadak senjata kimia dihambur-hamburkan lagi untuk rakyat yang tidak berdosa.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/03/Opini/krn.20090203.155625.id.html

Harga Keekonomian dan Transportasi Perdagangan

Sekarang adalah momentum bagi rakyat untuk mendesak regulator (pemerintah) dan dunia usaha mengoreksi harga aneka barang di dalam negeri,utamanya harga produk pertanian dan produk manufaktur.


Juga momentum yang tepat untuk melancarkan desakan mengoreksi aneka tarif jasa, terutama tarif transportasi. Kita harus ingat pentingnya menurunkan harga aneka barang hingga ke level harga keekonomiannya. Kalau akhir-akhir ini pemerintah berusaha menjual premium dan solar pada harga keekonomian, pemerintah juga harus bekerja keras membenahi sistem transportasi perdagangan dalam negeri.

Itu agar harga aneka barang yang dibayar rakyat riil harga keekonomian, baik produk manufaktur maupun produk pertanian. Bukan harga tinggi akibat moral hazard para birokrat dan “raja-raja kecil”di jalan raya. Harga keekonomian adalah hakikat, karena di dalamnya terkandung keadilan atau fairness bagi produsen, negara, dan konsumen.

Harga keekonomian juga mencerminkan adanya proteksi terhadap konsumen oleh negara yang mengadopsi mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas yang berasaskan transparansi, harga keekonomian mestinya lebih mudah diwujudkan.

Apalagi, para produsen dan penyedia jasa bersaing begitu ketat dengan membangun proses produksi dan pemasaran yang efisien agar bisa menjual dengan harga kompetitif atau murah.Harus ada transparansi agar terbangun kompetisi sehat dan jauh dari moral hazard.

Harga yang kita bayar setiap kali membeli kebutuhan pokok atau produk manufaktur di pasar dalam negeri belum mencapai level harga keekonomian, bahkan terbilang sangat mahal. Sebabnya sistem transportasi perdagangan kita sarat dengan praktik moral hazard akibat ketiadaan sistem dan standar tarif.

*** Bangunan struktur harga kita memang di luar kelaziman. Harga dibentuk oleh biaya tumpang tindih peraturan pemerintah pusat-daerah, perilaku korup oknum regulator,dan “diterimanya” praktik hukum rimba oleh preman di jalur transportasi perdagangan.

Singkatnya, dalam harga yang kita bayar untuk setiap produk pertanian/perkebunan maupun barang manufaktur, kita “dipaksa” mengongkosi inkompetensi pemerintah dalam membuat dan mengharmonisasi peraturan pusat dengan daerah. Biaya distribusi dan transportasi perdagangan idealnya hanya berkisar 6–12% dari harga jual sebuah produk di pasar.Kelaziman itu tidak berlaku di Indonesia.

Biaya transportasi perdagangan di Indonesia tercatat paling mahal. Sebab, biaya transportasi perdagangan untuk produk manufaktur mencapai 18–20% dan rata-rata 38% untuk produk pertanian/perkebunan. Sejak harga BBM mahal, biaya transportasi perdagangan produk pertanian/ perkebunan bahkan sudah mencakup 40% dari harga jualnya di pasar.

Belum ada standar tarif resmi untuk transportasi perdagangan.Tarif ditentukan oleh operator angkutan barang tanpa patokan yang jelas. Sepanjang perjalanan menuju pasar, transportasi perdagangan dibebani lagi dengan biaya siluman di pos-pos penimbangan serta pungutan liar oleh preman jalanan.

Penyimpangan akut pada mekanisme transportasi perdagangan itu menjadi pembenaran bahwa rakyat selama ini membayar harga barang jauh di atas level harga keekonomian. The Asia Foundation bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) memublikasikan temuan mereka terkait masalah ini pada April 2008.

Studi yang fokus pada masalah biaya angkutan barang di Indonesia itu didukung Canadian International Development Agency (CIDA) dan Bank Dunia. Rangkaian survei komprehensif di sembilan rute angkutan barang di dalam negeri itu membuahkan laporan tentang “Biaya Transportasi Barang: Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia”.

The Asia Foundation-LPEM-FEUI berkesimpulan,biaya angkutan jalan yang mahal dan tidak pasti menjadi salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan di Indonesia. Kesimpulan seperti ini mengacu pada hasil penelitian biaya perizinan, pungutan di jalan, dan berbagai pengeluaran akibat buruknya prasarana jalan.

Survei ini berhasil mengidentifikasi siapa yang mengenakan pungutan kepada para sopir, di mana pungutan itu dikenakan, dan berapa besar pungutannya. Kesimpulan lain, dibandingkan negara lain di Asia atau dunia pada umumnya, daya saing perdagangan Indonesia dirugikan oleh banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi serta tingginya biaya angkutan barang.

Untuk beberapa sektor ekspor, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri mencapai lebih dari 40% dari total biaya logistik dan biaya angkutan. Studi itu juga menggarisbawahi fakta biaya angkutan barang dalam negeri yang begitu tinggi merupakan hambatan besar bagi pertumbuhan di Indonesia.

Biaya logistik di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam, Thailand,Malaysia,dan China. Pemerintah daerah juga menyumbang terjadinya peningkatan biaya dengan mengeluarkan berbagai perizinan dan memberlakukan berbagai retribusi yang merupakan hambatan bagi angkutan barang dalam negeri melalui darat.

Praktik-praktik semacam ini tidak sesuai dengan kerangka hukum nasional. Pemberlakuan retribusi jalan dan pembayaran berbagai bentuk perizinan umumnya,bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Retribusi semacam ini tidak dimanfaatkan untuk pemeliharaan atau membatasi perdagangan sumber daya alam yang dilindungi.

Namun, semata-mata hanya bertujuan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah. Masih menurut studi itu, peraturan mengenai jembatan timbang yang semestinya menyangkut kepentingan publik selalu diabaikan. Hasil studi ini menunjukkan, ratarata 52% truk membawa kelebihan muatan hingga 45% dari beban yang diperbolehkan.

Kelebihan muatan sudah biasa terjadi dan menyumbang pada tingkat kerusakan jalan secara eksponensial. Oknum aparat dan preman memperburuk situasi ini.Pembayaran ilegal untuk oknum aparat dan preman memperburuk persepsi penegakan hukum dan iklim usaha.

*** Bagaimanapun, pembenahan sistem transportasi perdagangan bagi terbentuknya harga keekonomian adalah kewajiban pemerintah. Di dalam kewajiban itu terkandung semangat melindungi dan memperlakukan rakyat dengan seadil-adilnya sekaligus menyempurnakan mekanisme pasar bebas yang terlanjur kita adopsi.

Akhir-akhir ini, pemerintah memburu siapa saja untuk dijadikan wajib pajak dan membidik apa saja untuk dijadikan obyek pajak.Wajar jika kita minta pajak rakyat itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk perlindungan dan perlakuan adil dari pemerintah sebagai regulator.

Gunakan pajak rakyat itu untuk membenahi sistem transportasi perdagangan dan mewujudkan harga keekonomian barang. Relevan untuk mengedepankan masalah ini, sebab Departemen Perdagangan masih menyempurnakan RUU Perdagangan sebelum dibahas antardepartemen dalam waktu dekat ini.

RUU Perdagangan yang telah dibahas sejak 1996 itu akan diajukan ke DPR. Kepada perancang RUU perdagangan, kita titip pesan tentang urgensi membenahi sistem transportasi perdagangan dan urgensi mewujudkan harga keekonomian komoditas kebutuhan pokok rakyat serta produk manufaktur.(*)

Bambang Soesatyo
Ketua Umum ARDIN Indonesia,
Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri
Kadin Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210320/

Ekonomi Biaya Tinggi

Reformasi ekonomi di Indonesia kurang lebih telah dijalankan selama 10 tahun dengan hasil yang ambigu. Proses reformasi ekonomi itu dilakukan pada hampir semua sektor ekonomi, tetapi tidak banyak yang mengalami kemajuan.


Di sektor moneter, independensi bank sentral ternyata tidak lantas membuat kinerjanya menjadi lebih bagus meskipun aspek pengawasan mengalami kemajuan yang berarti. Di sektor riil telah terdapat banyak upaya untuk mereformasi ekonomi, baik pada aspek produksi, distribusi maupun konsumsi.

Tata niaga produksi untuk sebagian komoditas sudah dipangkas, tapi sebagian besar barang/jasa lain masih diselimuti praktik mafia distribusi yang tidak gampang diurai,misalnya pada komoditas pertanian.

Pada proses produksi, proses reformasi ekonomi boleh dikatakan jalan di tempat sehingga menjadi pemicu lambatnya pergerakan investasi di Indonesia. Inilah yang membuat secara keseluruhan Indonesia masih dijangkiti penyakit ”ekonomi biaya tinggi”.

Investasi dan Iklim Usaha

Investasi masih menjadi persoalan serius di Indonesia meskipun sekian banyak fasilitas telah diberikan kepada para investor seperti pengurangan pajak dan perpanjangan penggunaan lahan. Titik krusial yang mengakibatkan investasi tidak bergerak adalah menyangkut iklim investasi yang buruk.

Studi yang dilakukan International Finance Corporation (IFC), misalnya,menunjukkan prestasi yang kurang menggembirakan soal iklim investasi ini. Sekurangnya terdapat 10 variabel yang dinilai IFC untuk mengukur iklim investasi, yakni (i) memulai bisnis, (ii) perizinan, (iii) ketenagakerjaan, (iv) kepemilikan, (v) pengajuan kredit, (vi) perlindungan investor; (vii) pembayaran pajak, (viii) perdagangan lintas negara, (ix) penegakan kontrak, dan (x) penutupan usaha.

Berdasarkan penilaian dengan menggunakan parameter IFC tersebut, belum terlihat kemajuan sehingga peringkat Indonesia tidak mengalami perbaikan,bahkan dalam beberapa parameter justru mengalami kemunduran. Sekadar ilustrasi, indikator memulai usaha pada 2008 berada di peringkat 168,menurun ketimbang 2007 (peringkat 163).

Pola itu juga terjadi pada indikator pengurusan kredit dan perlindungan terhadap investor, bahkan peringkat tahun 2008 justru lebih rendah daripada 2007.Sementara untuk indikator perizinan, ketenagakerjaan, kepemilikan, pembayaran pajak,perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, dan penutupan usaha sedikit ada perbaikan.

Perbaikan itu boleh dikatakan kurang memiliki makna karena apabila dibandingkan negaranegara tetangga iklim usaha di Indonesia masih jauh tertinggal.Misalnya, jumlah prosedur memulai usaha posisi Indonesia berada di belakang Singapura, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Padahal, dalam konteks kompetisi penanaman modal asing, negara-negara itu merupakan pesaing Indonesia. Posisi yang sama juga terjadi pada aspek lain seperti biaya memulai bisnis, waktu memulai usaha,dan kerumitan pembayaran pajak. Salah satu sumber terpenting dari iklim usaha ini adalah soal pungutan liar (pungli).

Memang sebagian data sedikit memberikan harapan, sebab pembayaran ilegal (informal payment) terhadap pegawai pemerintah telah mengalami penurunan. Pada pertengahan 2005, persentase pembayaran ilegal kepada pegawai pemerintah mencapai 1,7% dari total ongkos produksi.Persentase itu telah menurun menjadi 1,3% pada pertengahan 2007 (LPEM,2008).

Namun, jika data itu disandingkan dengan temuan riset lain, harapan cerah itu mungkin harus ditahan terlebih dulu. Sekadar contoh, sebuah truk harus melewati 14 pos pungutan apabila melakukan pengiriman barang dari Makassar ke Kendari.

Dari pos sebanyak itu,64% biaya yang dikeluarkan merupakan pungutan tidak resmi dan hanya 36% yang berupa pungutan resmi (LPEM, 2008). Jadi, upaya pemerintah melakukan perbaikan iklim usaha cukup banyak pada level kebijakan, tapi dalam implementasinya banyak hal yang masih harus disentuh.

Ekonomi Biaya Tinggi

Deskripsi di muka pada akhirnya menyimpulkan realitas yang tidak dapat dimungkiri bahwa ekonomi biaya tinggi masih menjadi karakter bisnis di Indonesia. Beberapa hal mesti dilakukan untuk mendobrak kebuntuan ini.

Pertama, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk menyederhanakan regulasi yang menjadi ruang lingkupnya seperti perpajakan, jaminan kepada investor, ketenagakerjaan, dan penutupan usaha.Pada level ini, kinerja yang sudah dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia (tidak perlu Singapura dimasukkan) bisa menjadi benchmark.

Biaya-biaya siluman yang dikeluarkan untuk variabel- variabel tersebut bisa ditekan dengan pemanfaatan teknologi sehingga setiap proses pembayaran tidak harus ada tatap muka antara pegawai pemerintah dan (calon) investor.

Sementara yang menyangkut jumlah prosedur, pengurangan prosedur merupakan hal yang tidak dapat ditawar tanpa mengorbankan substansi yang lebih luas. Kedua,bagi pemerintah daerah diperlukan langkah serius untuk menekan munculnya perda-perda yang antiinvestasi.

Pengalaman Depkeu dan Depdagri yang mencabut ribuan perda bermasalah membuktikan bahwa banyak regulasi pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan semangat perbaikan iklim usaha. Oleh karena itu,pemerintah pusat sebaiknya secara tegas memberikan penalti terhadap daerah-daerah yang tidak mendukung ke arah perbaikan iklim usaha/investasi.

Adapun bagi daerah yang secara nyata memberikan kontribusi terhadap perbaikan iklim investasi (dan secara langsung mengurangi ekonomi biaya tinggi) perlu diberi insentif, baik dengan skema fiskal maupun nonfiskal.

Model inilah yang harus ditempuh pemerintah, baik pusat maupun daerah, sehingga perbaikan iklim investasi benar-benar nyata di hari depan. Tanpa langkah sistematis semacam ini, pengurangan ekonomi biaya tinggi hanya menjadi utopia.(*)

Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif Indef,
Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210321/

Saya Calon Presiden, Bukan Calon Wapres

Sultan Hamengku Buwono X:
Saya Calon Presiden, Bukan Calon Wapres
DIA dilahirkan dari garis darah raja-raja Yogyakarta. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, adalah sultan terpandang, negarawan yang dihormati, dan pernah menduduki sejumlah kursi terpenting birokrasi tinggi Indonesia: Wakil Perdana Menteri (1966), Wakil Presiden (1973-1978).

Kini, Pangeran Mangkubumi—anak sulung HB IX—yang naik takhta sebagai Sultan Hamengku Buwono X pada Maret 1989 mulai menapaki jejak Sultan sepuh almarhum. Dia merintis jalan ke lingkaran tertinggi Republik. Bedanya, Hamengku Buwono X hanya sudi membidik satu kursi: Presiden Indonesia.

Raja Yogya itu belum meyentuh garis ”pragmatisme” dalam pernyataan politiknya. Dan masih bertahan pada pilihan all or nothing. ”Saya calon presiden, bukan calon wapres,” dia menegaskan kepada Tempo, pekan lalu. Jika tidak ada dukungan menjadi presiden? ”Yo ora opo-opo,” ujarnya.

Toh, silaturahmi Sultan dengan Megawati, calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, melahirkan tanda tanya yang deras, memicu tebak-kancing banyak kalangan. Dia rajin pula menyambangi partai-partai lain. Maka Muladi, anggota Dewan Penasihat Golkar, menganggapnya telah melanggar garis partai dan meminta Sultan keluar dari Golkar.

Apa pun pernyataan resmi Sultan, hawa ”perjodohan politik” Mega-Buwono telah meruap, menyusul pertemuan kedua tokoh itu di Jakarta maupun di Istana Yogya. Tapi sang Sultan menepisnya begini kepada Tempo: ”Kami hanya omong-omong. Ibu Mega anak siapa, saya ini anak siapa, kami harus sama-sama menjaga nama baik orang tua dengan mengabdi.”

Di sela-sela kesibukannya, Sultan menerima Lusia N. Idayani dan Bernarda Rurit dari Tempo untuk wawancara khusus, yang kemudian dituliskan kembali oleh wartawan Tempo Agus Supriyanto. Perbincangan hangat dan rileks berlangsung di ruang tamu kediamannya di Keraton Kilen Yogyakarta, pada Jumat malam pekan lalu. Didampingi dua pendukungnya, Bondan Nusantara dan Dadang Yulianto, Sultan menghabiskan dua batang rokok merek Keraton, selama 90 menit pertemuan.

Berikut ini petikannya:

Anda terlihat semakin dekat dengan Megawati?


Saya tidak tahu. Saya sudah kenal lama sekali dengan dia.

Ketika beliau jadi wakil presiden dan presiden, komunikasi kami tetap secara pribadi. Ini kekerabatan individu. Beliau juga lahir di Yogya.
Jadi, belum ada kesepakatan?


Kami hanya omong-omong, belum final. Kita sama-sama paham Ibu Mega anaknya siapa, saya anaknya siapa. Bagaimana bapak kami berdua berkontribusi untuk negara. Mestinya anak-anak menjaga nama baik orang tua dengan memberi kontribusi maksimal bagi bangsa ini. Hakikatnya, mengabdi.
Apa saja yang sudah dibicarakan?


Bu Mega mengatakan PDI Perjuangan membutuhkan pemimpin nasional, bukan pemimpin partai politik. Berarti tidak mementingkan subyektivitas entah dirinya entah partainya. Negara kita ini kan presidensial. Ini bisa berjalan smooth kalau pemimpin tak lagi menjadi pembina dan pemimpin partai. Begitu pula menterinya.
Apa kriteria partai yang Anda harapkan mendukung Anda?


Semua partai sah, yang penting deal di dalam negosiasi. Koalisi itu kan ada kesepakatan, tidak mungkin waton (asal) mendukung. Hanya kita sering tidak bisa membedakan politik dan kebudayaan. Jangan semua ditafsirkan sebagai hubungan politik.
Apa bedanya politik dan kebudayaan?


Nek mung (bila) ngomong politik tok, tidak bicara peradaban, aku mung diapusi (hanya dibohongi). Jadi politik omong kosong. Dalam hubungan kemanusiaannya bagaimana? Misalnya, pemerintah memu-tuskan memberi orang miskin bantuan tunai langsung. Itu keputusan politik karena dianggarkan dalam APBN. Nah, perilaku membantu orang miskin itu aplikasi kebudayaan. Jika membantu orang miskin lalu bicara tentang politik, podo wae (sama saja) money politic dong.
Soal money tadi, Anda tidak menganggapnya penting?


Yo, mesti nganggo duit to. (Ya, tentu saja menggunakan uang). Naik mobil saja butuh bensin. Tapi soal ukuran kan relatif. Contohnya begini. Kalau Anda datang ke sini, siapa yang membiayai? Kan Anda sendiri. Tapi, kalau saya menyuruh orang menjemput Anda, berarti saya harus mengeluarkan duit. Tapi ini kan tidak. Jadi, beban biaya yang saya tanggung relatif lebih kecil.
Maksudnya, para pendukung Anda membiayai diri sendiri?


Ya, karena mereka punya harapan sama. Bahwa karakter saya sama dengan harapan mereka. Saya ke daerah-daerah itu hanya keluar ongkos hotel dan transpor karena mereka yang mengundang saya. Kalau saya punya tim sukses, saya harus membiayai segala keperluan di daerah-daerah. Kalau perlu yang datang saya bayari, saya beri uang transpor. Kita membangun kepercayaan: kalau rakyat percaya sama saya, kita bisa membangun kebersamaan. Perkara jadi atau tidak itu masalah lain.
Apakah sampai sekarang Anda belum menjalin kesepakatan dengan satu pihak pun?


Belum, karena kalau saya lakukan berarti mendidik yang tidak baik. Dan bertentangan dengan garis imajiner Keraton-Tugu, Keraton-Krapyak untuk membangun masyarakat. Pendekatan saya kebudayaan, peradaban, bukan materi.
Sejumlah politikus mendesak Anda keluar dari Golkar. Apa komentar Anda?


Lho, saya ini tetap kader Golkar. Ini semua proses politik, Golkar pun ada proses politik, menentukan pilihan nanti setelah pemilu. Saya melakukan manuver karena saya sudah mendeklarasikan jadi calon presiden. Selama saya tidak pindah kepengurusan ke partai lain, jadi tidak perlu dipersoalkan.
Benarkah Jusuf Kalla melarang Anda menjadi calon presiden?


Enggak mungkin. Saya sudah kirim surat (tentang pencalonan menjadi presiden), setelah 28 Oktober tahun lalu. Surat itu sudah dijawab. Dan Bapak Jusuf Kalla menyatakan bisa memahami. Kalau ada yang komentar seperti itu kan jealous saja.
Jadi, Anda akan terus di Golkar?


Yang menyuruh saya mundur itu kan maunya tidak ada kompetisi di Golkar. Mungkin orang-orang itu sudah antre jadi menteri. Kalau saya tidak ada di situ, otomatis mengurangi satu lawan politik pada waktu nominasi.
Mengapa Anda tetap di Golkar tapi aktif mencari dukungan dari partai lain?


Karena saya kader Golkar. Kalaupun dicalonkan partai lain, itu tak melanggar ketentuan. Mengapa saya harus memilih partai lain? Ada bupati, gubernur kader Golkar dicalonkan partai lain juga tidak masalah. Lha, terus masalahku ki opo? Sampai sekarang PDI Perjuangan kan cuma membuat kriteria. Umum sekali, siapa pun boleh.
Anda tetap ingin jadi calon presiden?


Deklarasi saya ini calon presiden, bukan calon wakil presiden. Saya beranalisis, wakil presiden itu produk koalisi. Tidak mungkin tanpa koalisi. Artinya, akan terjadi kristalisasi dalam proses membentuk koalisi: siapa akan jadi wakil presiden, siapa akan masuk kabinet. Akan terjadi negosiasi.
Mungkinkah Anda dicalonkan PDI Perjuangan sebagai presiden, bukan wakil?


Kita tidak bisa mengatakan itu sekarang. Setelah 9 April akan mengerucut. Partai yang memperoleh suara 24,5 persen sama artinya dengan yang mendapat 5 persen. Belum cukup memenuhi syarat 25 persen sehingga harus koalisi. Di situ akan terjadi tawar-menawar karena yang jadi presiden hanya satu, wakilnya juga satu.
Bagaimana kalau Anda tak cukup mendapat dukungan sebagai calon presiden?


Ya enggak apa-apa.
Anda akan mundur dari pencalonan?


Itu bisa terjadi. Bisa juga saya minta maaf karena tidak mampu membangun harapan. Tidak masalah, berarti rakyat memang tidak menghendaki. Saya tidak mau mengejar kekuasaan. Kalau tidak diberi kesempatan, yo ora popo (ya tidak apa-apa). Saya dididik oleh orang tua, kekuasaan tidak diperebutkan. Jadi, dari awal saya tidak membentuk partai politik untuk menjadi sekoci dan tidak membuat tim sukses.
Di mana basis kekuatan Anda?


Kalau itu closed, he-he-he.... Itu sama saja membuka rahasia dapur. Ada pengamat bilang Sultan hanya dikenal di Yogya dan sekitarnya. Saya malah terima kasih. Berarti dia enggak ngerti apa yang terjadi. Saya berharap para politikus mengecilkan saya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/NAS/mbm.20090202.NAS129421.id.html

Stalin

Stalin
Susanto Pudjomartono

Mantan Duta Besar RI di Rusia
BUKAN saja masyarakat dunia, banyak warga Rusia sendiri kaget tatkala pada akhir Desember lalu Stalin terpilih sebagai ”Tokoh Rusia” nomor tiga terpopuler dalam sejarah Rusia. Bagaimana mungkin orang yang telah membinasakan berjuta-juta jiwa itu terpilih sebagai tokoh terpopuler?

Stalin dikenal sebagai diktator yang brutal dan kejam. Ia bahkan pernah dijuluki ”sang penjagal gila”. Diperkirakan, selama hampir 30 tahun menjadi penguasa Uni Soviet (1924-1953), 10 sampai 20 juta orang Rusia tewas atau dihukum mati atas perintahnya, sekitar 6 juta di antaranya mati karena kelaparan, juga akibat kebijakannya.

Apa yang terjadi pada cara berpikir orang Rusia? Mengapa mereka mengagumi Stalin? Apakah setelah kurun waktu tertentu orang akan melupakan kejahatan seorang pemimpin dan hanya akan mengenang sisi positifnya?

Kompetisi mencari ”Tokoh Rusia Sepanjang Masa” diadakan oleh perusahaan televisi milik pemerintah, Rossiya, untuk mencari tokoh sejarah Rusia sejak zaman Tsar sampai periode Soviet sebagai bagian untuk membangun semangat patriotisme. Pemilihan dilakukan sejak Juni 2008 dan sekitar 50 juta warga Rusia memilih lewat telepon, SMS, atau Internet.

Ñama Stalin sudah mendominasi pilihan sejak awal. Baru pada saat-saat terakhir Pangeran Alexander Nevsky, yang hidup pada abad ke-13, menempati posisi pertama. Di tempat kedua, Pyotr Stolypin, yang menjabat perdana menteri sebelum zaman Bolshevik dan terkenal karena melakukan reformasi agraria. Keduanya mengalahkan Stalin hanya dengan perbedaan suara 5.000-an. Adapun penyair Alexander Pushkin dan Tsar Peter yang Agung terpilih di tempat keempat dan kelima.

Stalin terlahir di Georgia dengan nama Joseph Vissarionovich Djugasvili pada 1878 dari sebuah keluarga miskin. Sejak usia muda ia sudah terpesona oleh Marxisme, dan setelah putus sekolah seminari ia bergerak di bawah tanah dan beberapa kali dipenjara oleh rezim Tsar. Ia kemudian kenal dengan Lenin. Waktu revolusi Bolshevik pada 1917, ia sudah masuk lingkaran dalam pimpinan revolusi.

Sewaktu Lenin sebagai pemimpin Uni Soviet mulai sakit-sakitan, Stalin bersaing ketat dengan Trotsky yang sebetulnya sudah ditunjuk sebagai ahli waris Lenin. Setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin menyingkirkan Trotsky dan menjadikan dirinya pemimpin Rusia. Rezim Stalin melancarkan kebijakan ekonomi baru yang mengubah Uni Soviet menjadi negara industri maju. Tapi, kebijakan agraria gagal. Akibatnya, sekitar enam juta orang mati kelaparan.

Pada akhir 1930-an Stalin memulai pembersihan besar-besaran terhadap mereka yang disebut sebagai musuh revolusi. Jutaan orang dikirim ke kamp pengasingan (Gulag) dan jutaan, termasuk wanita dan anak-anak, dipekerjakan sebagai buruh kerja paksa di pabrik. Setidaknya delapan juta orang tewas akibat kerja paksa dan kelaparan di kamp-kamp tersebut.

Stalin juga membangun kultus individu yang membuat mayoritas rakyat Rusia menganggapnya pahlawan. Sewaktu pecah Perang Dunia II, Uni Soviet di bawah Stalin menjadi penentu kekalahan Jerman. Ditaksir sekitar 20 juta orang Rusia meninggal akibat perang dan satu juta orang dihukum mati sebagai desertir.

Stalin meninggal pada 1953 dan mewariskan sebuah Uni Soviet sebagai negara adidaya yang bertahan selama hampir empat dasawarsa, sampai ambruk pada 1991.

Kultus individu terhadap Stalin ditiadakan oleh Perdana Menteri Nikita Khrushchev, dan atas perintahnya jenazah Stalin yang dibalsem dan ditempatkan di sam-ping mausoleum Lenin dikeluarkan, dikremasi dan dimakamkan di deretan pahlawan Rusia.

Nama Stalin kembali populer terutama berkat ”promosi” Vladimir Putin sewaktu ia menjadi Presiden (2000-2008). Dalam buku pelajaran sekolah yang terbit pada 2007, kebijakan Stalin yang kejam digambarkan sebagai ”tindakan yang (memang) diperlukan”. Tapi, akibat tindakan pembersihan Stalin, ”telah tumbuh kelas manajer baru yang bisa menangani modernisasi pada saat terjadi kekurangan sumber daya manusia. Mereka setia pada penguasa tertinggi dan berdisiplin tinggi”, begitu tertulis dalam buku teks sekolah tersebut.

Putin sendiri pernah mengakui teror Stalin pada 1937 memang menakutkan dalam sejarah Rusia. Tapi Stalinisme, menurut dia, sebetulnya tak terlalu jahat. Pengeboman Amerika di Hiroshima dan Vietnam jauh lebih jahat. Di bawah Putin, perayaan ”Hari Kemenangan”, saat Uni Soviet di bawah Stalin mengalahkan Nazi, dipulihkan menjadi perayaan nasional terbesar.

Sejumlah pengamat menilai naiknya popularitas Stalin dilandasi dambaan masyarakat Rusia untuk menjadikan kembali menjadi negara nomor satu. Acara-acara televisi yang mengagung-agungkannya, serta mulai dilupakannya masa kelam zaman Stalin juga mengangkat kembali popularitas sang diktator. Secara tradisional masyarakat Rusia terbiasa dan menghormati pemimpin yang kuat. Mereka kurang peduli pada hak asasi manusia atau demokrasi, dan menganggap kesejahteraan lebih penting.

Putin dianggap pemimpin yang mampu merealisasikan mimpi bersama itu, maka dukungan terhadap Putin selalu kuat. Dalam jajak pendapat pada pertengahan Januari silam dukungan terhadap Putin tercatat 83 persen, sama seperti Oktober tahun lalu. Namun editorial harian Izvestia yang mengomentari terpilihnya Stalin perlu dicatat. Harian ini mengingatkan pada puluhan juta orang yang meninggal selama 30 tahun pemerintahan Stalin.

”Bila masyarakat memilih orang yang paling bertanggung jawab atas kekejaman sebagai tokoh terpopuler, itu merupakan gejala yang tidak benar dan bukan sesuatu yang membanggakan.” Tajuk rencana itu menyimpulkan, ”Ada kejahatan yang tidak akan bisa dilupakan, dan di sini kita tidak bicara mengenai kejahatan biasa, tetapi suatu genosida terhadap rakyat sendiri.”

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/KL/mbm.20090202.KL129416.id.html

Reformasi Hanya Buahkan Republik Diskusi

Reformasi Hanya Buahkan Republik Diskusi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tata cara pemilihan calon legislatif (caleg) menuai diskusi. Banyak suara diperdengarkan, banyak pendapat diperdebatkan.

Sebelumnya, pengesahan UU Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP) juga menimbulkan silang pendapat yang berkepanjangan. Debat itu sering sulit diurai ujung pangkalnya untuk merumuskan kesimpulan.

Hasil jajak pendapat juga merupakan bahan pembicaraan yang tidak kalah menarik. Entah itu menyangkut popularitas seorang calon ataupun prediksi partai dengan perolehan suara terbanyak. Serupa dengan perdebatan mengenai suatu kebijakan, hasil polling semacam itu juga tidak berpijak pada adanya informasi yang lengkap, jelas, dan meyakinkan.

Kebiasaan untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak sepenuhnya dipahami mungkin memang merupakan ciri reformasi yang sangat menonjol pada era pemerintahan saat ini. Kalau pada pemerintahan sebelumnya, era Orde Baru, setiap UU yang akan diajukan untuk dibahas perlu dilengkapi dengan "naskah akademis" yang mirip hasil disertasi untuk memperoleh gelar doktor (S-3), persyaratan semacam itu tidak diperlukan lagi saat ini.

Alasan untuk membuat naskah akademis tersebut menjadi acuan bila terjadi perdebatan dari hasil penafsiran suatu pasal atau bahkan suatu ayat yang dianggap kurang jelas atau bisa menimbulkan "multitafsir". Walaupun telah dilampirkan penjelasan atas suatu UU ataupun peraturan yang diterbitkan, sering penjelasan tersebut dianggap kurang menyeluruh. Belum dapat memberikan penjelasan selengkapnya. Sebab, baik UU, peraturan, maupun penjelasan dibatasi jumlah halaman dan kepentingan yang sangat subjektif.

Dalam keadaan seperti itu, suatu "naskah akademis" dianggap sebagai sumber yang netral untuk menggali kebenaran yang diperlukan. Jadi, keberadaan naskah akademis yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang keilmuan yang tidak pernah memihak sangat diperlukan. Itu sebabnya disebut sebagai naskah akademis.

Hasil jajak pendapat juga tidak pernah dipersoalkan oleh para ahli statistik. Sebab, memang tidak jelas secara statistik metode pengambilan sampel dan pengolahan data yang dilakukan. Memang tidak perlu karena semata untuk memuaskan pembaca atau pemirsa tertentu yang haus informasi.

Mereka senang memperdebatkan sesuatu, yang secara metodologi masih dipertanyakan akurasinya. Itu sebabnya tukang ketoprak, tukang bakso, penjual sate atau penjaja mi dan nasi goreng tidak berminat untuk mendiskusikan hasil jajak pendapat semacam itu yang hanya menghabiskan waktu dan membuang kesempatan memperoleh pembeli.

Kalau itu menyangkut harga minyak tanah yang melambung, gas yang mendadak hilang, harga daging yang melonjak, atau banjir yang tidak kunjung bisa diatasi, dipastikan mereka tertarik.

Bila kelompok tersebut, ditambah para buruh bangunan, petani penggarap, dan nelayan, yang dijaring lewat jajak pendapat tersebut, tentu hasilnya lebih mendekati kebenaran. Tentu memerlukan dana cukup besar untuk melakukan polling semacam itu.

Tak Tergerak

Lalu, kenapa pemerintah tidak tergerak? Lewat lembaga-lembaga resmi yang dimiliki, sebenarnya pemerintah dapat melakukan jajak pendapat mengenai tingkat kepuasan masyarakat atas program-program yang telah dan sedang dilaksanakan pemerintah. Sekaligus untuk mengetahui harapan rakyat terhadap pemerintahan yang akan datang. Bekal yang sangat berharga bagi siapa pun yang akan menjadi nakhoda bagi kapal besar yang sedang terombang-ambing berbagai persoalan tersebut.

Kegemaran melakukan diskusi dan mengadu pendapat atas persoalan yang tidak sepenuhnya dipahami lantaran tidak adanya kesempurnaan informasi telah dimanfaatkan media massa sebagai sumber berita yang tidak pernah kering. Surat kabar dan majalah asyik memberitakan hasil berbagai seminar, diskusi dan lokakarya dengan bumbu wawancara dari berbagai sumber yang juga berbahagia karena mendapatkan popularitas.

Televisi tidak henti menayangkan dialog dan wawancara dari para tokoh yang diharapkan mampu meningkatkan rating perusahaan dan sekaligus meraup iklan dari tontotan ''kaum elite" tersebut. Sementara itu, masyarakat kebanyakan lebih terpaku pada sinetron yang konyol, tetapi mampu menghibur ataupun mengharukan. Lebih tertarik bergoyang bersama penyanyi ''dangdut" yang mengabaikan atau malah tidak mengenal sama sekali UU Antipornografi.

Buah Reformasi

Reformasi yang berjalan lebih dari sepuluh tahun, ternyata, hanya menghasilkan ''republik diskusi" yang diberi ruang oleh proses demokratisasi yang ''kebablasan". Waktu yang amat berharga untuk kegiatan produktif dipakai mengadu pendapat atas suatu persoalan atau bahan perdebatan yang tidak sepenuhnya mengandung unsur-unsur utama suatu bentuk informasi. Kelangkaan data, sumber informasi, maupun tujuan utama menyebarkan informasi tersebut.

Namun, kegiatan "membuang waktu" tersebut memang telah membuahkan "balas jasa" yang cukup lumayan bagi pihak-pihak tertentu. Maka, akan sia-sia mengharapkan terwujudnya suatu pepatah China, "Saya tidak mencoba mencari jawaban, tetapi saya ingin benar-benar mengetahui dan mengerti apa pertanyaan yang diajukan".

* H Prijono Tjiptoherjanto, guru besar UI, saat ini anggota Komisi Ahli PBB untuk administrasi publik

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=50047

Bila TNI Jadi ”Tertuduh”

PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ada seorang perwira tinggi (pati) TNI-AD yang berkampanye ”Asal Bukan S” (ABS) masih memancing komentar banyak pihak, baik pengamat politik, petinggi TNI,kalangan DPR, maupun purnawirawan TNI.


Ada yang menuduh Presiden SBY ”memperalat” TNI, ada yang menudingnya ”tidak arif”,ada pula yang menyebut tuduhan itu ”menyakitkan TNI”. Memang tidak jelas siapa yang disebut dengan inisial S tersebut, karena paling tidak ada tiga purnawirawan pati TNI yang disebut-sebut akan ikut bertarung memperebutkan kursi kepresidenan pada Pilpres 2009,yaitu Presiden SBY sendiri,mantan KSAL Slamet Subijanto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Namun,nama terdekat dari inisial S itu tentu SBY. Pernyataan Presiden SBY saat menerima para petinggi TNI yang melaporkan hasil rapat pimpinan TNI dan para petinggi Polri di Istana Negara,Kamis pekan lalu,bagaikan petir di siang bolong.Betapa tidak,Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso sudah sering menyatakan bahwa TNI akan menjaga netralitasnya dalam pemilihan umum,baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.

Markas Besar TNI juga sudah membagi-bagikan ”Buku Putih” yang harus dibawa, dibaca, dan dipahami oleh seluruh anggota TNI dari tingkat bintara, tamtama, sampai ke perwira tinggi yang berisi pasal-pasal larangan bagi anggota TNI untuk memengaruhi jalannya pemilihan umum.Sebagai contoh,pada hari H pemilu seorang anggota TNI tidak boleh dekat-dekat dengan tempat pemungutan suara (TPS).

Mereka juga tidak boleh berkampanye mendukung atau tidak mendukung calon legislatif atau pasangan calon presiden atau calon wakil presiden tertentu.Pemilu 2009 merupakan tonggak sejarah penting bagi perjalanan politik bangsa, sebagai masa akhir proses konsolidasi demokrasi kita. Bagi TNI,Pemilu 2009 juga masa untuk menunjukkan netralitas politiknya yang merupakan bagian profesionalisme TNI. Memang pada Pemilu 2009 ini para anggota TNI (dan Polri) belum mau menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan suara.

Namun kita berharap tahun 2009 adalah masa akhir dari keengganan itu. Mencontreng dalam pemilu adalah hak individu warga negara, tak terkecuali para anggota TNI dan Polri.Yang membedakan TNI dan warga negara RI lainnya ialah anggota TNI adalah citizen in uniform (warga negara yang berseragam).

Sampai saat ini memang masih ada kekhawatiran di kalangan TNI dan juga di kalangan purnawirawan TNI yang pernah menjadi komandan lapangan, jika anggota TNI ikut pemilu, individu komandan di lapangan yang jauh dari pusat dapat ditarik ke sana ke mari untuk mendukung calon anggota legislatif atau calon presiden-wakil presiden tertentu.

Ini merupakan masalah bagi netralitas TNI. Di lain pihak,sebagian masyarakat Indonesia juga masih ada yang menyimpan ingatan bagaimana di masa Orde Baru jajaran komando teritorial TNI digunakan untuk memenangkan Golkar pada setiap pemilu antara 1971 sampai pemilu 1997.Kekhawatiran bahwa TNIakanterpecahjikapara anggotanya ikut pemilu juga menjadi penyebab mengapa hingga kini para anggota TNI menjadi ”golput yang terorganisasi”.

Tapi itu semua dilakukan demi kebaikan institusi TNI dan bangsa. Pada Pemilu 2014 situasinya tentunya akan lain.Saat itu kita sudah masuk ke era kedewasaan berdemokrasi. TNI juga sudah masuk ke era profesionalisme yang setingkat lebih maju pula. Pemilu 2014 adalah saat yang paling tepat bagi anggota TNI untuk ikut memilih.

Political Blunder

Pernyataan Presiden SBY itu kini telah menjadi ”political blunder” buat dirinya. Ini dapat diinterpretasikan bahwa Presiden kehilangan kendali atas angkatan bersenjatanya, terlebih lagi pada jajaran seragam hijau yang adalah korpsnya sendiri.

Selain itu,Presiden seolah tidak percaya kepada Panglima TNI dan beberapa komandan lapangan yang sebagian menduduki jabatan-jabatan strategis itu atas ”blessing dari Presiden SBY”. Jika itu dilakukan oleh Presiden untuk menarik simpati seolah-olah ada ”barisan kurawa” yang didukung TNI sedang mengepung dan menghalangi jalannya untuk terpilih kembali pada Pemilihan Presiden 2009, ini juga tidak tepat.

Bagaimana pula dengan Pemilihan Presiden 2004 yang di antara para anggota tim suksesnya, menurut Ali Mochtar Ngabalin, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang yang juga tim sukses SBY, ada juga perwira tinggi TNI yang masih aktif? Apakah Presiden SBY kena karmanya sendiri?

Jika itu dilakukan untuk menghalangi para anggota TNI mendukung secara tidak langsung para calon presiden dari mantan pati TNI,ini juga berbahaya, karena jika para calon presiden purnawirawan TNI itu menarik-narik anggota TNI aktif untuk mendukung atau tidak mendukung calon presiden dari keluarga besar TNI, ini bisa memecah belah TNI. Anehnya lagi, mengapa pernyataan Presiden SBY itu dilakukan tak berapa lama menjelang mutasi besarbesaran di jajaran TNI yang akan dilakukan pada Februari atau Maret?

Ini justru menimbulkan kesan seolah-olah mereka yang menduduki posisiposisi strategis baru di TNI atau Departemen Pertahanan RI adalah ”orang-orang SBY”. Padahal semua sudah diputuskan melalui rapat-rapat di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi(Wanjakti) didalam TNI. Reformasi internal TNI sudah masuk pada tahap reformasi budaya, dari budaya dwifungsi ABRI ke murni profesionalisme TNI.TNI jangan lagi ditarik-tarik ke politik praktis, sesuatu yang merusak jati diri TNI.

Dalam proses itu,pemerintah,DPR,parpol, dan rakyat secara keseluruhan wajib mendukung agar TNI yang kita cintai itu dapat menjadi kekuatan pertahanan negara yang profesional, dipercanggih alat utama sistem persenjataannya, dan anggotanya diberi kesejahteraan yang baik. Seperti kata Panglima Besar Sudirman, ”TNI adalah aset bangsa yang tidak akan berubah sepanjang masa yang akan menjaga kedaulatan negara.”(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Pengamat Politik LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210337/38/

Arah Kebijakan Moneter Membingungkan Pasar

Arah Kebijakan Moneter Membingungkan Pasar
Oleh Deni Daruri President Director Center for Crisis Banking


M ODEL Barro-Gordon sudah mengingatkan bahwa upaya pemerintah untuk memanipulasi output perekonomian akan bersifat bias terhadap in?asi. Buktinya kebijakan penetapan bunga 5,69% untuk dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) dan kebijakan stimulus BI tidak mendapat sambutan dari pelaku pasar karena indeks harga saham gabungan (IHSG) justru menukik.
Harga saham berkorelasi terbalik dengan ekspektasi in?asi. Angka 5,69% merupakan bukti bahwa pemerintah terperangkap oleh model Barro-Gordon untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Padahal, pelaku pasar menyambut positif rencana The Fed untuk mempertahankan suku bunganya di level yang rendah. Selain itu, laporan keuangan beberapa korporat yang lebih baik daripada estimasi ikut mendorong pasar. Misalnya di bursa Eropa, indeks berhasil reli; demikian pula di regional menyusul harga minyak dunia yang cenderung menguat.

Sebaliknya, IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak berhasil terbawa oleh arus dari regional yang membaik sekalipun BI sudah mengeluarkan beberapa kebijakan stimulus.

Sekalipun arah kebijakan BI salah satunya untuk memperkuat sistem perbankan nasional di tengah-tengah kondisi krisis global melalui penyempurnaan aturan yang terkait dengan merger, konsolidasi dan akuisisi, ternyata laba PT Bank CIMB Niaga Tbk, bank hasil merger PT Bank Niaga Tbk dan PT Bank Lippo Tbk, membukukan penurunan signi?kan tak lama setelah kedua bank menggabungkan diri pada 1 November 2008 sebesar 40%.

Arah kebijakan BI lainnya adalah dalam rangka memberikan keleluasaan penyaluran kredit perbankan melalui peningkatan peran serta perbankan dalam penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, namun ternyata Bank BNI memberikan fasilitas credit line sebesar Rp2,9 triliun kepada PT Asuransi Jasindo yang jelas-jelas tak berorientasi UKM.

Jumlah fasilitas kredit itu lebih besar daripada fasilitas sebelumnya sebesar Rp1,6 triliun. Di pihak lain, sektor riil dengan usaha skala besar juga sedang mengalami permasalahan yang serius, namun BI sepertinya tidak mau ambil pusing. Misalnya, laba bersih PT Timah Tbk yang belum diaudit pada 2008 turun 21% menjadi Rp1,41 triliun, jika dibandingkan dengan 2007 sebesar Rp1,78 triliun.

Penurunan itu terjadi akibat membengkaknya biaya produksi. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk mencari utang Rp4,8 triliun untuk membiayai merger dan akuisisi. Kelihatannya BI bukan saja tidak pro kepada usaha skala besar, tetapi juga anti terhadap usaha berbentuk BUMN.

Apa sulitnya bagi BI mengubah arah kebijakan perbankan, sebelum krisis ekonomi global semakin dalam dan berdampak negatif bagi usaha berskala besar termasuk usaha yang dimiliki oleh negara? Ada keengganan dari BI untuk benarbenar pro terhadap perbaikan iklim usaha yang kondusif di dalam negeri.

Sementara itu, hingga saat ini pemerintah masih memberikan subsidi bunga kepada BI karena dana pemerintah yang disimpan di BI hanya mendapatkan imbalan bunga sebesar 5,69% yang berarti masih jauh di bawah BI rate, yaitu 8,75%. BI masih mendapatkan keuntungan subsidi sebesar 3,06%.

Dengan penetapan yang seperti ini, BI akan termotivasi untuk menahan penurunan BI rate untuk mendapatkan subsidi riil yang positif. Padahal pasar menghendaki penurunan BI rate sebesar 100 bps karena tanda-tanda de?asi sudah mulai terbit dalam horizon moneter. De?asi yang terjadi pada Desember cukup mengejutkan.

Biasanya, Desember diwarnai dengan in?asi cukup tinggi seperti yang terlihat pada 2006 dan 2007. Sementara itu, pemerintah memiliki motivasi agar BI rate dapat di bawah 5,69% supaya mendapatkan subsidi bunga dari BI.

Tarik-menarik itu akan terus terjadi antara pemerintah dan BI. Dalam game theory dengan sistem oligopoli atau duopoli, yang paling optimal bagi kedua pemain adalah melakukan strategi kongkalikong.

Dengan menilik latar belakang dan hubungan antara Boediono dan Sri Mulyani yang sama-sama merupakan ekonom bermazhab liberal, sangat mungkin keputusan angka 5,69% merupakan angka keputusan win-win bersama antara pemerintah dan BI yang juga melibatkan IMF.

Yang jadi korban adalah independensi BI sebagai otoritas moneter karena kebijakan moneternya telah terjangkar oleh tingkat suku bunga sebesar 5,69%.

Dengan demikian inflation targetting dan proyeksi tingkat suku bunga tidak terkendala oleh interest rate setting, tetapi oleh angka 5,69%. Supaya moral hazard tidak berkembang, simpanan giro wajib minimum juga harus dikenai suku bunga pasar karena jika tidak, pihak perbankan yang akan menanggung deadweight loss dari permainan kotor tersebut.

Sementara itu, permasalahan likuiditas perbankan masih jauh dari kata usai. Naiknya tren cost of funds saat ini dapat menekan NIM (margin bunga bersih) bank-bank nasional (kecuali BCA). Kenaikan itu, salah satunya, disebabkan bank-bank kecil terus menawarkan suku bunga pinjaman yang tinggi karena ketatnya tingkat likuiditas.

Sungguh aneh jika BI terus menjadi lintah bagi sektor perbankan nasional di tengah kondisi yang seperti ini. Ketidakkonsistenan lain dari kebijakan BI adalah munculnya aturan PBI nomor 10/15/ PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bank itu mulai berlaku pada 1 Januari 2009 yang berkaitan dengan ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) dalam rangka Basel 2. Di sisi lain, kebijakan stimulus BI memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam perhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel 2.

Tidak pernah dijelaskan sampai kapan periode transisi ini. Ketidakkonsistenan kebijakan moneter seperti ini dapat terjadi karena otoritas moneter tidak berorientasi meningkatkan marginal bene?t dari peningkatan output perekonomian terhadap marginal cost dari in?asi itu sendiri. Tidak ada satu pun dari kebijakan BI itu yang berorientasi seperti itu sehingga antara kebijakan satu dan lainnya serta antara kebijakan moneter dan fakta moneter di lapangan hampir selalu bertolak belakang.

Jika BI berorientasi untuk memperbesar marginal bene?t netto dari kebijakan moneter dan perbankan, BI tak akan menganaktirikan sektor usaha dengan skala besar dan yang berbadan hukum BUMN.

Jika BI berorientasi untuk menekan marginal cost dari in?asi, BI tidak akan ragu-ragu untuk menurunkan BI rate secara cepat hingga di bawah level 5,69% dan membayar semua dana yang berada di BI pada tingkat suku bunga pasar yang menjadi jangkar dari kebijakan moneter yang dianut.

Konsekuensinya kredibilitas kebijakan moneter menjadi sangat rendah karena otoritas moneter mengabaikan bahwa private agent akan melakukan aksi ekonomi berlandaskan rational expectation. Seperti juga yang dikatakan Thomas Sargent (1987) dalam bukunya, Dynamic Macroeconomic Theory: “The ?rst edition appeared at a time when discussions of the ‘policy ineffectiveness proposition’ occupied much of the attention of macroeconomists. As work of John B Taylor has made clear, the methodological and computational implications of the hypothesis of rational expectations for the theory of optimal macroeconomic policy far transcend the question of whether we accept or reject particular models embodying particular ‘neutrality of money’ or neutrality propositions... The current edition contains many more examples of models in which a government faces a nontrivial policy choice than did the earlier edition.” Langkah penetapan tingkat suku bunga sebesar 5,69% bukan saja tidak memiliki landasan teori dan perhitungan bukti empiris yang memadai, melainkan juga semakin membuktikan bahwa pemerintah mengabaikan teori rational expectation. Buktinya Taylor Rule masih dipergunakan Fed untuk menghitung besarnya Fed rate.

Dapat saja kebijakan ini terjadi akibat otoritas moneter dan pemerintah mengabaikan terjadinya transmisi harga yang tidak simetris (asymmetric price transmission) dalam upayanya menurunkan harga BBM sesuai dengan penurunan harga BBM di pasar internasional (saat ini pemerintah masih belum berhasil). Padahal dengan subsidi BI sekalipun kepada APBN melalui dana pemerintah yang ada di BI dipastikan tidak akan mampu menghapus asymmetric price transmission.

Jelas bahwa kebijakan moneter yang tidak konsisten juga merupakan akibat dari pemerintah yang terlalu cepat menaikkan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini. Seandainya pemerintah mampu menahan diri untuk tidak menaikkan harga BBM pada tahun lalu, ongkos moneter yang harus dibayar publik tidak akan semahal saat ini termasuk kebijakan moneter yang justru semakin membingungkan pasar!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_021_003.shtml?Mode=1

Ranjau Demokrasi

Ranjau Demokrasi
Oleh Max Regus Direktur Parhessia Institute Jakarta


“Humanity in general is defamed by it’s predilection to violence.” (Peter Morral, 2006) K ELUHAN seputar persiapan pemilu yang tidak matang merupakan salah satu indikasi bagaimana rezim yang sedang berkuasa pada satu lakon politik saat ini secara tidak sadar melakukan ‘kriminalisasi demokrasi’. Amat keliru jika rezim ini yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu hanya sebatas menyelenggarakan pemilu tepat waktu. Seperti kegelisahan faktual saat ini.
Tentu saja pemahaman semacam ini juga sangat dangkal. Kita sebenarnya berhadapan dengan kebutuhan menjatuhkan pilihan yang paling benar untuk masa depan generasi keindonesiaan yang lebih baik ketimbang generasi Mbak Mega, Pak Susilo, Pak Jusuf Kalla, Wiranto, atau siapa pun ‘orang tua’ yang merasa mampu memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Pemilu yang kedodoran akan memunculkan kekuasaan yang semena-mena terhadap kepentingan rakyat. Para wakil rakyat hanya berkutat dengan urusan famili dan konco politik. Tak ada keberhasilan selain pukulan mematikan terhadap fondasi kebangsaan dan kenegaraan. Instrumen-instrumen politik kekuasaan melakukan kekerasan masif dengan modal kekuasaan yang ada di tangan mereka.

Terpampang ketidaksesuaian antara misi politik dan perilaku koruptif para penguasa. Kekuatan-kekuatan poli- tik lama yang kembali menawarkan dagangan politik kepada rakyat. Itulah sesungguhnya ke kerasan politik yang dilancarkan secara tidak langsung kepada rakyat.

Kekerasan yang tidak pernah dibicarakan dan ditangani se cara serius pada tingkat kebijakan politik telah melukai tubuh bangsa ini. Peter Morral dalam buku Murder and Society (2006) menegaskan betapa obsesi pada kekerasan telah menenggelamkan suatu komunitas politik pada kehancuran. Negara yang membiarkan penindasan politik kelas korporat pada rakyat yang tidak berdaya adalah salah satu simbolisme kekerasan paling sempurna dan menakutkan.

Benalu Pada banyak negara yang serius mengaitkan masa depan dengan logika demokrasi, terdapat sedikit kekuatan politik dominan yang amat menentukan arus kemajuan negara. Mereka dapat mempertanggungjawabkan dengan sangat baik bahwa dominasi di ruang politik selalu koheren keberanian menghadirkan kemajuan dan kemakmuran. Maturitas politik yang ditampilkan kekuatan politik mewujud dalam intensi untuk menggeluti dan memperjuangkan kebutuhan publik.

Yang menjadi persoalan pelik di Indonesia adalah ‘sirkulasi’ politik yang menjemukan. Bahkan, kekuatan politik yang pernah gagal mengamankan visi keindonesiaan tetap mendapatkan tempat signi?kan dalam percaturan politik. Hal ini menjadi masalah demokrasi. Ada ruang partisipasi yang luas dan merdeka untuk semua kekuatan politik. Namun, demokrasi belum memiliki mekanisme yang kuat untuk menahan kiprah kekuatan politik yang gagal tadi.

Bahkan mereka memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menyusun strategi me menangkan pertarungan di tengah kehidupan politik ‘abnormal’ seperti se karang ini. Ketidak siapan KPU mengurus pemilu yang akan da tang hanya memberikan peluang kepada kekuatan politik yang mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk ‘bermain’ dalam keadaan apa pun.

Ketiadaan mekanisme ‘?lter’ semacam itu telah menjadikan demokrasi sekadar ‘batu loncatan’ dari semua politikus penuh kebusukan untuk tetap bertahan dan menancapkan kerakusan mereka. Sementara itu, demokrasi tidak cukup memberikan perlindungan dan dukungan bagi kekuatan politik baru yang prokepentingan rakyat. Para penjahat politik akan terus tumbuh menjadi ‘benalu’ yang menghisap rakus dari tumbuh keindonesiaan.

Topeng Kita menyentuh persoalan krusial lainnya. Pengkristalan substansi sebagai calon presiden (capres) 2009, sudah semakin jelas, yaitu perang popularitas! Kita tidak sedang mendiskusikan kualitas, bobot, dan integritas capres, melainkan meriuhkan dan membisingkan aspek kemeriahan seorang capres di mata rakyat. Tidak perlu lagi mendiskusikan soal perang survei yang terus menderas mengalir menuju hari pemilu.

Tentu ada masalah-masalah serius yang berada di balik politik popularitas itu. Ada banyak hal disembunyikan! Kebusukan dan kepongahan dipadukan untuk menumbuhkan ‘kekebalan’ pada kritik dan suara derita rakyat.

Yang lebih bermasalah adalah, calon pemimpin yang menggantungkan pencapaian kekuasaan berdasarkan popularitas cenderung terjerembab pada ‘kemalasan politik’ mengabdikan kekuasaan pada kepentingan rakyat. Popularitas arti?sial menjadi ‘topeng’ yang menyembunyikan ketidakberdayaan seorang pemimpin dan calon pemimpin. Beberapa saat menjelang pemilu banyak ‘topeng’ yang terpampang di etalase politik nasional! Sungguh celaka jika pada akhirnya rakyat hanya mendapatkan ‘topeng’ yang memurukkan nasib bangsa ini.

Ranjau Para penguasa yang mendapatkan hak politik dari rakyat telah ‘membelanjakan’ dukungan rakyat seenak selera mereka sendiri. Kultur kehidupan yang tidak mengekspresikan penderitaan rakyat sesungguhnya merupakan seben tuk pengangkangan terhadap demokrasi. Mereka yang menduduki kursi kekuasaan secara tegas melakukan kejahatan saat tidak mampu menghirup aroma kemiskinan dan kepedihan rakyat. Para penguasa yang datang dari penderitaan rakyat tidak lagi memiliki hubungan politik dengan rakyat. Penguasa yang melupakan rakyat merupakan deskripsi lahirnya tragedi demokrasi.

Ada beberapa persoalan mendasar yang telah menyebabkan bangsa ini terkurung dalam kebusukan sosial politik. Pertama, disparitas sosial. Politik pembangunan telah memisahkan dengan kejam kelompok kaya dan miskin. Yang pertama selalu memiliki banyak alasan untuk tetap bertahan pada situasi krisis. Mereka mendapatkan pengakuan dan perlindungan politik hukum yang memadai. Sementara itu, kelompok kedua mempresentasikan keterpurukan yang lengkap. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, ekonomi, dan hukum.

Kedua, eksklusi sosial. Perbedaan yang tidak terdamaikan antara dua kelompok sosial ekonomi itu telah menyediakan proses penggusuran komunitas minoritas dari kancah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Ada yang dilemparkan ke pinggir arena pertarungan.

Ketiga, destruksi sosial. Pola penghancuran sosial mencuat pada aksi-aksi kejahatan dan intimidasi yang dihadapi kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat. Pembatasanpembatasan sosial politik yang terjadi sampai sejauh ini menjadi akar dari semua kejahatan dan kehancuran rakyat.

Hewellyn H Rockwell (2003) menyebut kondisi ini dengan istilah sinful state. Negara yang menelantarkan hak-hak rakyat adalah bangunan politik kekuasaan yang berlumuran ‘dosa’. Koridor sosial politik yang digenangi ‘darah’ akibat kekejaman yang berlangsung dengan aman karena kesadaran publik tersandera propaganda ‘popularitas’.

Demokrasi akan berubah menjadi ‘mimpi buruk’ masa depan Indonesia, manakala pemilu tahun ini isinya cuma para pemain politik yang tidak layak untuk bertanding. Namun, kontradiksi demokrasi ada pada titik ini. Demokrasi membiarkan para pecundang tersebut berkeliaran sembari meraup keuntungan-keuntungan untuk menebalkan pundi-pundi mereka.

Sementara itu, yang dibutuhkan adalah politikus negarawan yang menjadikan kepentingan rakyat melampaui kemapanan pribadi dan kelompok politik. Tragisnya, kita masih sebatas meributkan ‘tanggal’ yang tepat untuk pemilihan presiden! Menggelikan. Namun kenyataannya berbicara begitu! Demokrasi yang tidak membangun kultur ‘kenegarawanan’ akan berubah menjadi ‘ranjau’ yang menghancurkan bangsa ini.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_021_002.shtml?Mode=1

Boediono : Kurs Rupiah kembali Tembus 12.000

NILAI tukar rupiah kembali menembus level Rp12.000 per dolar AS, kemarin, meski akhirnya ditutup di Rp11.650/ Rp11.700 per dolar AS atau merosot 274 poin dari penutupan hari sebelumnya.
"Ada pergerakan di pasar. Itu memengaruhi mata uang lain. Ini karena ada gejolak dolar itu sendiri. Di luar itu, mungkin ada faktor domestik karena ada kebutuhan-kebutuhan," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, di Jakarta, kemarin.

Selain faktor global, salah satu penyebab lunglainya rupiah adalah tingginya permintaan domestik akan dolar akibat beberapa transaksi derivatif yang dikabarkan mulai jatuh tempo.

Termasuk transaksi derivatif valas spekulatif, yang diprediksi BI berjumlah kurang lebih US$4 miliar.

Di sisi lain, pengamat pa sar uang Tony Mariano menilai tingginya permintaan greenback sangat dipengaruhi kekhawatiran pasar terhadap resesi global.

Investor kembali mengurangi aset-aset dengan imbal hasil tinggi di emerging market (risk aversion). "Selain itu, dolar secara global masih kuat terhadap mata uang di dunia. Dolar diuntungkan karena safe factor di saat ketidakpastian ini," ujarnya.

Namun, Tony menilai BI sudah berperan cukup baik dalam mencegah rupiah bergerak liar. Intervensi BI, kemarin, membuat kurs rupiah terangkat ke level Rp11.700, setelah sempat jatuh ke Rp12.050.

Hal itu ditegaskan Boediono yang mengatakan BI senantiasa berada di pasar guna menjadi stabilisator. Apalagi, BI masih memiliki amunisi yang cukup besar dari devisa sebesar US$51,6 miliar pada akhir 2008.

Ia mengakui bahwa jumlah itu memang paspasan. Sebab, negara sebesar Indonesia idealnya memiliki cadangan devisa di atas US$60 miliar. "Kami setuju untuk menghadapi krisis masa depan, cadangan devisa harus lebih daripada itu. Maka kita akan upayakan cara-cara lebih efektif," kata Boediono.

Untuk itu, BI berencana menyelesaikan perjanjian bilateral swap dengan Jepang dalam bulan ini.

"Itu bukan saja swap antara BI dan bank sentral Jepang. Namun, kami juga bisa membeli dolar dari Jepang dengan jaminan rupiah untuk kebutuhan jangka pendek," ungkapnya.

Upaya lain dalam menjaga stabilitas kurs adalah dengan menyediakan fasilitas repo (gadai) surat berharga berdenominasi dolar AS bagi perbankan dengan masa jatuh tempo maksimal satu bulan.

Boediono juga menyatakan pemerintah tengah menata ulang alur devisa hasil ekspor, khususnya yang terkait dengan BUMN, agar memperkuat cadangan dan pasokan dolar di pasar domestik.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penyebab melemahnya kurs rupiah kemarin tidak dapat dinilai dari peristiwa harian saja.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_013_005.shtml?Mode=1

Berebut TakhtaThe Master

Berebut TakhtaThe Master



INGIN bukti Deddy Corbuzier layak disebut sebagai jawaranya Indonesia? Acara The Master akan jadi jawabannya.Reality show terobosan terbaru dari RCTI,The Master,yang tayang setiap Jumat mulai 6 Februari, akan jadi tantangan terbesar bagi Deddy Corbuzier.


Sebab, bisa saja karena acara ini kemampuan Deddy mampu dikalahkan. Program ini semakin menarik karena akan jadi wadah baru untuk masyarakat Indonesia yang tertarik untuk menguji keterampilan mereka melakukan sulap.

”Dibuatnya acara ini mudah-mudahan bisa menjadi kontribusi RCTI yang ingin memberikan tempat untuk anak-anak muda yang ingin menekuni dunia sulap ini,” ujar Direktur Programming RCTI Harsiwi Ahmad. Rencananya, program The Master ditayangkan sebanyak 14 episode.

Sebelumnya, RCTI sudah melakukan audisi tertutup dengan menyambangi langsung komunitas ataupun sekolah sulap yang ada di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Hasilnya, sebanyak 10 pesulap terpilih menjadi finalis dan akan membuktikan apakah mereka layak menggeser takhta Deddy Corbuzier.

”Kamimelakukanaudisi tertutup pada bulan Desember. Bahkan, kami dan Deddy langsung turun mendatangi komunitas- komunitas pesulap ini,” tegas General Manajer Produksi RCTI Indra Yudhistira. Bercerita tentang perjalanan audisi tertutup,Deddy mengatakan kalau sepuluh orang yang terpilih menjadi finalis ini adalah orang yang memiliki ilmu,tetapi tidak ngilmu.

”Ketika audisi banyak yang bagus, dan banyak juga yang ngaco.Ada dukun, ada pemain debus. Saya tidak mengharapkan tukang sulap. Saya mengharapkan bertemu dengan orang yang bisa dibilang sebagai The Master.Dan itu hanya ada pada orang yang punyagift,”ujar Deddy. Acara The Master akan hadir dalam dua sesi.

Setiap sesinya akan menghadirkan lima finalis dan setiap minggunya akan ada satu finalis yang tersisih, hingga akhirnya mendapatkan satu pemenang. Pemenang sesi pertama akan diadu dengan pemenang sesi kedua di grand final.

Kapasitas Deddy Corbuzier di acara ini hanyalah sebagai juri yang memberikan penilaian maupun pendapatnya. Untuk pemilihan siapa yang berhak menyandang gelar The Master, akan dipilih langsung oleh pemirsa melalui voting via telepon.

Deddy Bertarung dengan Utut dan Rommy Rafael

Bagian yang paling seru dari The Master adalah pembuktian dari Deddy Corbuzier.Pada episode awal yang tayang Jumat nanti pemirsa RCTI dapat menyaksikan duel sang master. Pertama, perseteruan antara Deddy Corbuzier dan GM Utut Adianto akan kembali dilakukan.

Ini merupakan kedua kalinya Deddy bertemu dengan Utut. Yang kedua, untuk pertama kalinya, duel antara Deddy dan sang master hipnotis Romy Rafael juga akan terjadi di episode pertama nanti. ”Pertandingan nanti masih saya anggap sebagai pertandingan persahabatan.

Kalau saya menang, ya saya senang.Saya sudah kenal Romy sejak lama, jadi melihat Romy, saya seperti melihat buku yang sudah saya pelajari dan sudah saya baca,” ungkap Deddy. Di lain pihak,Romy juga mengungkapkan kesiapannya untuk melawan Deddy.

Baginya, jika Deddy merasa dapat membaca tentang dirinya, itu bukan berarti Romy akan mudah dikalahkan. ”Bacalah saya, tapi bukan berarti saya mudah dikalahkan,” yakin Romy.(megiza)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210355/38/

Dahlan Iskan - Peter F. Gontha : Jalan Cepat Kelas Dunia untuk Pertamina

Dahlan Iskan - Peter F. Gontha : Jalan Cepat Kelas Dunia untuk Pertamina

Cita-cita direktur utama Pertamina yang baru dan cantik itu, Karen Agustiawan Galaila, antara lain ingin membuat Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia.

Mungkinkah?

Semua orang akan mengatakan "mungkin saja" atau "sangat mungkin" atau bahkan "harus bisa". Tapi, kalau ditanya apa dasarnya, paling hanya akan menyebutkan bahwa Indonesia ini negara besar yang sumber migasnya luar biasa. Atau, "Petronas Malaysia saja yang dulu belajar ke Pertamina kini sudah mengalahkan gurunya itu dan sudah menjadi perusahaan kelas dunia". Bahkan, Singapore Petroleum yang negerinya hanya satu pulau kecil yang tidak punya sumur minyak, sudah mengalahkan Pertamina.

Semua bentuk kekalahan Pertamina itu umumnya hanya dipikulkan kepada manajemen yang dinilai lemah dan belum kelas dunia. Atau karena manajemennya yang sering diintervensi kekuatan politik. Tapi, jarang yang melihatnya dari sudut yang lebih mendasar, yang kalau itu tidak diatasi, maka jangankan manajemen kelas dunia, yang kelas akhirat pun tidak akan bisa membuat cita-cita Karen itu tercapai.

Pokok persoalannya sangat mendasar. Bahkan, berada di landasan negara yang paling dasar: UUD 45. Khususnya pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kalau tidak ingin mempersoalkan ayat itu, setidak-tidaknya ada masalah yang terletak pada penjelasan pasal 33 ayat (3) itu yang hanya menyebutkan bahwa pasal tersebut "Sudah cukup jelas".

Mungkin, ketika ekonomi global belum sehebat sekarang dan sistem akuntansi belum secanggih saat ini, bunyi pasal itu memang bisa saja "Sudah cukup jelas". Tapi, dalam konteks perekonomian global saat ini, apalagi kalau untuk menjadi yang kelas dunia, kita juga harus menerapkan sistem akuntansi internasional. Maka pasal itu sangat tidak jelas.

Orang politik akan mengatakan apanya lagi yang kurang jelas. Tapi, orang akuntansi akan secara tegas mengatakan pasal itu tidak bisa dipegang. Padahal, untuk menjadi perusahaan kelas dunia, pengurusannya harus disesuaikan dengan "bahasa" akuntansi, bukan dengan bahasa politik.

Tegasnya, secara akuntansi kalau hanya dengan senjata kata "dikuasai" Pertamina tidak bisa memasukkan kekayaan alam itu di buku asset. Bahasa akuntansi menuntut kata yang jelas: dimiliki. "Dikuasai" dan "dimiliki" secara politik kelihatannya tidak ada bedanya, tapi secara akuntansi kata "dikuasai" itu tidak ada artinya apa-apa.

Kami tidak cukup ahli untuk memahami asal-usul lahirnya kata "dikuasai" itu. Kami juga tidak cukup waktu untuk melakukan riset mengapa dan apa latar belakangnya bahwa para pendiri republik dulu memilih kata "dikuasai" (yang tidak ada artinya apa-apa dari sudut akuntansi) dan bukan memilih kata "dimiliki". Mungkinkah ini hanya karena para pendiri republik dan para anggota parlemen yang melakukan amandemen-amandemen UUD 45 berikutnya bukan orang akuntansi? Atau memang punya maksud tertentu -misalnya agar segera terjadi kompromi atas perdebatan krusial saat itu?

Apa pun latar belakangnya, kenyataannya sekarang bahwa kata "dikuasai" itu tidak ada nilainya apa-apa di mata akuntansi. Bahkan, secara politik juga menimbulkan kerawanan. Yang pro privatisasi akan berkeras bahwa kata "dikuasai" tidak sama dengan dimiliki. Sedangkan yang antiprivatisasi akan mengatakan sebaliknya. Singkat cerita, kata "dikuasai" itu akan cenderung diterjemahkan sesuai dengan keinginan yang lagi berkuasa -dan itu tidak bisa disalahkan.

Apa hubungannya dengan Pertamina yang ingin menjadi perusahaan kelas dunia? Hubungan itu sangat erat, seperti eratnya hubungan nyawa dan jantung manusia. Kalau soal "dikuasai" dan "dimiliki" ini bisa diperjelas, bukan saja Pertamina yang akan menjadi perusahaan kelas dunia, tapi juga Aneka Tambang, PN Gas, PLN, PTP, dan banyak lagi. Mereka akan sejajar dengan perusahaan sejenis yang ada di Malaysia, bahkan Tiongkok. Perusahaan Singapura akan dengan mudah dikalahkan.

Namun, penjelasan ini memang hanya akan dimengerti oleh orang-orang yang menekuni perusahaan dan mengerti akuntansi. Sayangnya, yang harus memutuskan "ya tidaknya" adalah politisi. Di sini terjadilah kerumitan itu: yang mengerti tidak bisa memutuskan, yang memutuskan tidak bisa mengerti.

Bahkan, kalau masalah ini bisa diselesaikan, bukan hanya perusahaan-perusahaan kita yang bisa menjadi perusahaan kelas dunia. Dampaknya lebih jauh lagi: apa yang diamanatkan UUD 45 itu bisa segera terlaksana. Yakni, menggunakan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Siapa tahu inilah jalan yang harus ditempuh agar pada 2030 nanti, Indonesia bisa menjadi negara terbesar kelima di dunia, sebagaimana yang sudah mulai diramalkan para ahli internasional.

Tegasnya, kata "dikuasai" dalam UUD 45 itu harus diperjelas maksudnya. MPR-lah yang bisa melakukannya. Ini sejarah besar yang harus dibuat. Apakah kata "dikuasai" itu memang sengaja akan terus dipakai agar tetap tidak jelas, atau yang dimaksud "dikuasai" itu tidak lain adalah "dimiliki".

Memang terlalu berat untuk mengamandemen UUD 45 lagi. Sudah banyak yang alergi. Bahkan, jangan-jangan, kalau soal amandemen dibahas, banyak yang minta atret: kembali saja ke UUD 45 aslinya.

Karena itu, kami tidak mengusulkan amandemen UUD 45, tapi hanya mengusulkan perumusan baru penjelasan UUD 45 saja. Dalam penjelasan UUD 45 yang mengatakan, "Sudah cukup jelas" itu perlu diperbaiki, atau diperjelas.

Ada dua hal yang harus diperjelas dari pasal ini. Pertama kata "negara". Kedua kata "dikuasai". Dalam penjelasan UUD 45 yang baru nanti sebaiknya dirinci apa yang dimaksud dengan "negara". Apakah BUMN? Atau kementerian? Atau siapa? Kalau BUMN, harus BUMN yang bagaimana? Yang sahamnya minimal 80 persen dimiliki negara? Atau lebih? Terserahlah MPR yang memutuskan, dengan mempertimbangkan aspek ketentuan akuntansinya.

Sedangkan kata "dikuasai" sebaiknya langsung diperjelas dengan penjelasan "yang dimaksud dikuasai adalah dimiliki".

Dengan kejelasan itu, secara akuntansi, perusahaan seperti Pertamina akan langsung berubah. Apalagi, kalau manajemennya sekelas Karen yang pasti mampu mendayagunakan "modal" baru dari UUD 45 yang penjelasannya diperbarui itu.

Kejelasan maksud pasal 33 tersebut menjadi sangat penting karena bukan hanya kita akan bisa menghindarkan salah tafsir, tapi juga bisa dipakai dengan nyata untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa dengan cara yang belum banyak dipikirkan orang. Bahkan, cara ini sekaligus bisa dipakai bangsa kita untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Pada gilirannya, harkat dan martabat bangsa kita akan terangkat di dunia. Bukan saja kita bisa mengalahkan Petronas atau Singapore Petroleum Corporation, tapi kita juga bisa membuat harga diri seluruh rakyat kita meningkat.

Harga diri itulah yang belakangan dimiliki kaum Melayu di Malaysia. Setiap kali kami ke Malaysia, saya selalu bisa menangkap betapa rakyat di sana bangga akan negaranya -sambil meremehkan bangsa kita. Sekarang kita memang sudah punya kebanggaan baru: demokrasi. Tapi, demokrasi harus tetap diisi dengan kesejahteraan.

Karena yang kami usulkan ini bukan amandemen tentang bagi-bagi atau rebutan kekuasaan, melainkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara langsung, mestinya tidak ada satu pihak atau satu partai pun yang keberatan.

*) Di samping sebagai chairman/CEO Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah juga ketua Kadin Komite Tiongkok Jatim.

Di samping mengurus banyak sekali perusahaan, Peter F. Gontha adalah juga ketua Kadin Komite Amerika Serikat.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=52067