BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Iklan Politik Bukan Obat Mujarab

Written By gusdurian on Sabtu, 20 Desember 2008 | 10.55

Iklan Politik Bukan Obat Mujarab

TJIPTA LESMANA
et known first, before you go politics. Begitu kata seorang politisi kawakan dari Amerika. Itulah sebabnya pemilu dan kampanye politik menjadi dua fenomena yang tidak bisa dipisahkan, khususnya pada era perpolitikan modern. Melalui iklan di media massa sang calon "menjual" dirinya kepada publik agar publik mengetahui siapa sesungguhnya dia. Jika masyarakat belum kenal, bagaimana Anda bisa menjadi bupati, gubernur, atau anggota legislatif, apalagi presiden?
Iklan politik juga bertujuan agar rakyat mengetahui dan mempercayai visi dan misi kandidat. "Jika saya terpilih, saya berjanji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sekian persen, menurunkan pengangguran sekian persen," ucap seorang "bakal calon (balon) capres" kita. "Balon" lain berteriak: "Bumi kita kaya. Apa saja ada di bumi kita. Tapi, mengapa rakyatnya miskin dan sengsara? Karena salah urus oleh mereka yang berkuasa!"
Secara eksplisit, ia menyerang ketidakbecusan para pemimpin mengelola kekayaan alam kita Namun, secara implisit, ia sebenarnya juga menuduh bahwa para pemimpin yang berkuasa sekarang korup, hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
"Kenapa pupuk tidak ada? Karena pemerintah tidak mau dengar masukan kita!" Politisi yang bicara seperti ini sedang berusaha memikat kaum petani yang kini sedang kesulitan untuk mendapatkan pupuk, sehingga mereka melancarkan aksi unjuk rasa.
Kampanye dengan media massa tidak murah. Di Jakarta, misalnya, satu spot di televisi berdurasi 30 detik, paling murah Rp 20 juta. Untuk talk show selama satu jam seorang politisi minimal harus mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Iklan politik di media cetak juga mahal. Sebuah koran nasional bergengsi mematok tarif Rp 80 juta untuk satu halaman penuh hitam-putih. Jika iklan muncul dalam warna, tarifnya Rp 150 juta. "Iklan kuping" berwarna di halaman satu lebih mahal lagi karena sifatnya yang
eye-catching: bisa mencapai Rp 100 juta untuk ukuran kecil saja.
Pemilihan Presiden Amerika 2008 tercatat menghabiskan biaya iklan paling besar dalam sejarah Amerika: 43 persen lebih besar dibandingkan iklan politik 2004. Diperkirakan seluruh kontestan, secara kumulatif, telah menghabiskan dana sebesar US$ 4,5 miliar untuk kampanye politik! Media televisi paling laris. Sekitar 51,3 persen dari total biaya iklan disedot oleh televisi. Demikian data yang dirilis oleh PQ Media dari Stamford, Connecticut.
Media massa memang panen besar setiap kali pemilu. Namun, pada waktu yang sama, pengeluaran media untuk meliput kampanye kandidat juga meningkat tajam. Di Indonesia, jika ada kandidat kampanye di suatu kota, tim suksesnya akan mengundang berbagai media dan seluruh biaya otomatis ditanggung oleh tim sukses. Bahkan wartawannya juga mendapat "amplop". Hal ini tidak berlaku untuk media Amerika. Demi mempertahankan netralitas dan martabatnya, media menanggung sendiri setiap sen yang dikeluarkan ketika mengikuti rombongan kandidat berkampanye.
Total jenderal, seluruh jaringan televisi di AS dikabarkan menghabiskan belanja US$ 9,6 juta untuk meliput kampanye kubu Obama dan US$ 4,4 juta pada kubu McCaine. CBS mengeluarkan US$ 1,2 juta untuk mengikuti rombongan Obama, tapi hanya US$ 222.000 untuk meliput kampanye McCaine.
Makin dekat ke Hari-H, kampanye politik semakin gencar. Obama, misalnya, bisa berkampanye di empat negara bagian hanya dalam sehari. Ini berarti, pengeluaran pun semakin berlipat. Obama dan McCaine bertarung habis-habisan seminggu sebelum hari pencoblosan, 4 November 2008. Untuk penduduk di Philadelphia saja, kubu Obama, secara total, telah menghujani spot sebanyak 978 kali!
Dua Kategori
Kampanye politik, secara teoritis, digolongkan dalam dua kategori: negatif dan positif. Sesuai namanya, kampanye negatif berisikan kritik, caci-maki dan tohokan terhadap lawan. Lawan -khususnya incumbent
- digambarkan gagal total mengangkat harkat dan martabat bangsa. Maka, ia tidak layak dipilih kembali. Kampanye positif lebih fokus pada penonjolan who he is dan apa saja yang sudah dicapainya, selama ini.
Kampanye negatif, intinya, berfokus pada tema "membangiktkan rasa takut" atau berupa ancaman di pihak rakyat. Martabat Amerika di dunia internasional akan semakin tenggelam jika McCaine terpilih, kata Obama. Kehidupan akan kian susah, jika Obama terpilih, sebab dia hendak menaikkan pajak. Dalam jargon komunikasi, disebut fear-arousing communication.
Menurut Wisconsin Advertising Program, 63 persen kampanye iklan Obama bernada negatif, sedang McCaine 79 persen. Dari tanggal 28 September hingga 4 Oktober 2008 saja, 100 persen kampanye iklan McCaine dikategorikan negatif; di pihak Obama hanya 34 persen. Jelas, semakin "kepepet" posisi McCaine semakin menyerang sifat kampanye yang dilancarkannya.
Dan efektivitasnya? Sejarah perpolitikan di Amerika membuktikan bahwa fear-arousing communication, apalagi black campaign, tidak efektif dalam pemilu.
Kecuali itu, kampanye politik di media seringkali menyesatkan. Hingga September 2008 sebagian besar media massa di Amerika terkesan di belakang McCaine. Mereka terus memublikasikan iklan calon ini. Belakangan, baru diketahui bahwa iklan-iklan itu kebanyakan gratis, semata-mata sebagai cermin ketakutan media jika Obama yang kulit hitam akan terpilih sebagai presiden Amerika.
Di Indonesia, seorang anak muda yang mengklaim mau jadi presiden terus membombardir publik dengan iklan politik, khususnya di sebuah stasiun televisi. Kok banyak duit dia? Usut punya usut, sebagian iklan itu gratis, sebab si pemilik stasiun TV mempunyai motif politik tertentu dengan layanannya itu. Ada lagi klaim bahwa popularitas seorang "balon presiden" meningkat tajam karena kampanye yang agresif di media massa. Klaim seperti itu, menurut saya, amat spekulatif sifatnya. Hendaknya kita jangan terlalu percaya pada jajak pendapat, sebab jajak pendapat, tidak jarang, dibuat "atas order" pihak tertentu.

Mengubah perilaku politik seseorang bukan urusan mudah. Teori Ajzbein mengajarkan bahwa perilaku individu sesungguhnya dipengaruhi oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), sedang sikap dipengaruhi oleh keyakinan (belief). Anda harus terlebih dahulu bisa menghancurkan keyakinan A tentang objek X, sebelum bisa mengubah sikap A terhadap X. Selama keyakinan si A terhadap X sangat kuat, 1.000 kali siraman iklan politik pun mustahil mampu mengubah perilakunya terhadap X.
Jadi, iklan politik bukan obat mujarab. Iklan penting, namun yang paling menentukan adalah kualitas (termasuk kapabilitas intelektual), integritas, dan moralitas si calon!
Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Politik, penulis buku Dari Soekarno sampai SBY: Kolusi dan Lobi Politik Para Penguasa (November 2008).
Last modified: 18/12/08


http://202.169.46.231/News/2008/12/18/Editor/edit01.htm

DPR Setujui RUU Kesejahteraan Sosial

DPR Setujui RUU Kesejahteraan Sosial
Warga Miskin Dapat Asuransi Sosial

SP/Ignatius Liliek
Penderita tunanetra mendapat bimbingan menggunakan komputer braile pada Pameran Memperingati Hari Kesetiakawanan Nasional (KSN) di Jakarta, Rabu (17/12). Dalam UU Kesejahteraan Sosial yang baru, para penyandang cacat akan mendapat bantuan sosial.
[JAKARTA] Sidang paripurna DPR yang berlangsung di Senayan, Jakarta, Kamis (18/12) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Sosial menjadi Undang-Undang (UU). Namun, ketentuan soal kewajiban negara memberi santunan bagi para penganggur seperti tercantum dalam rancangan awal, dihapus dan diganti dengan asuransi sosial bagi yang miskin.
Dalam draf awal Pa- sal 9 RUU tersebut disebutkan, bantuan sosial diberikan untuk menjamin kelangsungan hidup warga negara. Bantuan itu diberikan kepada korban bencana alam, korban bencana sosial, fakir miskin, pengangguran, anak telantar, penyandang cacat, orang tua lanjut usia yang tidak mampu, komunitas adat terpencil, dan atau pekerja migran telantar.
Tetapi, dalam rancangan akhir yang diundangkan DPR, bantuan untuk pengangguran dihapus. Bantuan itu dicabut dan diganti dengan asuransi kesejahteraan sosial bagi yang tidak mampu membayar premi, iurannya akan dibayarkan pemerintah.
Jaminan yang dimaksud dalam bentuk asuransi dan bantuan langsung berkelanjutan. Selain itu, jaminan sosial diberikan pula buat pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan berupa tunjangan berkelanjutan dalam bentuk tunjangan kesehatan dan pendidikan.
Negara juga akan membantu membayarkan iuran asuransi kesejahteraan sosial bagi warga negara yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan kesejahteraan sosialnya.
Anggota Pansus RUU Kesejahteraan Sosial, Mesir Suryadi dari Fraksi Partai Golkar, yang ditemui
SP sebelum sidang paripurna Kamis mengatakan, detail soal siapa saja yang masuk kategori penerima asuransi jaminan sosial itu, akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Terkait itu, anggota Urban Poor Concorcium (UPC), Dian Irawati mengatakan, penyantunan itu merupakan hal terakhir yang bisa dibuat oleh pemerintah untuk memproteksi warganya dari keterpurukan. Pemerintah tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga bertanggung jawab penuh terhadap warganya, yakni memfasilitasi mereka terlebih orang-orang yang secara ekonomi tidak mampu, hal ini mengacu pada ideologi bangsa Indonesia.
"Minimal sebagai kartu pengaman agar tidak dalam keadaan buruk, memfasilitasi mereka agar bergerak. Seharusnya pemerintah memfasilitasi dan melindungi sektor informal, maka pengangguran bisa diminimalisasi, sehingga tidak perlu banyak anggaran untuk menyantuni pengangguran," katanya.
Sertifikasi
Selain itu, dalam Pasal 33 RUU tersebut juga ada ketentuan bahwa semua pekerja sosial yang akan terjun melayani di masyarakat wajib bersertifikat. Disebutkan, sertifikasi berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi dan diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan pelatihan.
Sekretaris Jenderal Departemen Sosial, Chazali Situmorang, Rabu (17/12) mengatakan, sertifikasi pekerja sosial sangat penting untuk menentukan kualifikasi dan arah dari setiap pelayanan di bidang kesejahteraan sosial. Sertifikasi dilakukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai di bidang pelayanan kesejahteraan sosial. [DMF/E-7]
Last modified: 18/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/18/Kesra/kes01.htm

Thomas Koten : Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi

Demokrasi Uang dan Moralitas Demokrasi
DEMOKRASI adalah suatu tata aturan kehidupan bermasyarakat yang diresapi karakter dan semangat penghormatan terhadap semua anggota masyarakat dalam keanekaragaman. Karena itulah, dalam kehidupan demokrasi dan dalam revitalisasi kehidupan bermasyarakat; komunikasi, kebebasan, saling menghargai, memiliki peran sentral. John Dewey, filsuf pendidikan, mengatakan berkembangnya demokrasi adalah berkembangnya sosiabilitas. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang bisa mewujudkan sosiabilitasnya. Di dalamnya, komunikasi adalah suatu proses berbagi pengalaman sampai pengalaman-pengalaman itu menjadi milik bersama. Komunikasi yang demokratis mengantarkan orang kepada tercapainya kesepakatan-kesepakatan bersama tentang tujuan hidup bersama. Oleh karena itu, tatkala pintu komunikasi ditutup, demokrasi menjadi mandul. Mandulnya demokrasi menyembulkan aneka perilaku masyarakat bangsa yang egoistik. Dan ketidakmampuan suatu bangsa dalam membangun sebuah 'tindak komunikatif' bersama menyebabkan pintu komunikasi tertutup rapat dan saluran penyampaian pesan tersumbat, anggota masyarakat pun menjadi semakin egoistik--berkomunikasi dengan dirinya sendiri--politics of monologism. Oleh karena itu, demokrasi yang menjadi pijar kehidupan berbangsa harus terus-menerus dikembangkan agar perilaku masyarakat yang egoistik dapat mencair dan berbuahkan perilaku toleransi. Akan tetapi, apa yang kita lihat di tengah gebyar demokrasi yang ditandai terbangunnya sistem politik multipartai? Menuju demokrasi uang Perkembangan demokrasi yang ditandai sistem politik multipartai memang membuat denyut kehidupan sosial masyarakat bertambah gairah. Kritik dan kontrol publik begitu semarak. Akan tetapi, apakah perilaku masyarakat yang egoistik mencair dan berubah menjadi masyarakat yang bersosial tinggi? Jawabannya, tidak! Demokrasi yang terus berkembang telah menyediakan ruang-ruang sosial dengan warna kehidupan yang baru pula. Demokrasi dengan landasan kebebasan telah mengerucutkan perilaku egoistik yang kemudian secara internal komponen bangsa melalui hasrat kelompok
(collective desire) membangun ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kotak-kotak, pagar-pagar eksklusivisme yang di dalamnya setiap komponen bangsa mencari keuntungan diri. Partai-partai politik bukan terutama didirikan untuk memberikan pendidikan politik demokratik dan dengan tulus memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan demi memenuhi hasrat pribadi yang ambisius dalam meraih kekuasaan. Meraih keuntungan diri dalam kehidupan bersama di bidang sosial, ekonomi, dan politik, yang menggiring pada fundamentalisme, menurut Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of Others, tidak lain sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intolerasi dan eksklusivisme. Praktik-praktik intoleransi dan eksklusivisme begitu menggejala dalam kehidupan komunitas bermasyarakat dapat membuat tata pergaulan sosial diukur dalam kadar material. Dalam kadar itu, seperti kata Diamond (1995), kehidupan politik demokratik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatan produktif. Kekuatan uanglah yang bermain di ladang demokrasi. Kekuatan uang yang dimotori semangat kapitalis telah melumpuhkan kekuatan lain. Akibatnya, demokrasi menjadi demokrasi uang. Sebab, uanglah yang menjadi penentu jalannya demokrasi. Orang-orang yang berkantung tebal adalah pemilih demokrasi. Merekalah penguasa lahan-lahan komunikasi publik, termasuk menyitir kebebasan pers. Keseimbangan dalam kehidupan demokrasi tidak tercipta. Karena persaingan dalam gerbong demokrasi tidak seimbang (unequal opportunity). Segala kebijakan politik yang dikatakan demokratis pun akhirnya diukur dengan uang. Karena kekuatan uang dapat membeli keputusan-keputusan politis. Negosiasi politik seputar pembuatan peraturan dan perundang-undangan akan sangat ditentukan negosiasi uang. Misalnya, berapa nilai uang harus dibayarkan kepada DPR jika dewan menghasilkan suatu produk undang-undang.
Dengan kata lain, semua urusan politik, dalam atas nama demokrasi selalu dilihat sebagai commercial goods dan bisa diperjualbelikan. Koalisi antarparpol juga bukan dibangun atas landasan kesamaan ideologi, melainkan lebih kepada kesamaan dalam mencari keuntungan uang. Akibatnya, kekuasaan pun dibeli dengan uang. Tidak mengherankan banyak pengusaha yang kini jadi politisi dan banyak kursi kekuasaan politik dikuasai para pengusaha yang memiliki uang. Hubungan antara politik, kekuasaan, dan uang semakin intim. Dalam kehidupan politik dan dalam peraihan kekuasaan, terjadi adagium, "Ada uang abang disayang dan tidak ada uang abang ditendang." Di sini demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis untuk bisa menjelmakan ideal-ideal politiknya yang menyejahterakan rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di semua lini kehidupan bangsa dan negara, dus sebagai areal para calo dan penjudi politik mencari peruntungan diri. Moralitas demokrasi Tatkala perkembangan demokrasi ditentukan kekuatan uang dan kekuasaan pun dapat dibeli dengan uang, maka dalam kehidupan politik secara keseluruhan berkembang menjadi politik Machiavelian dan perilaku dalam mengeruk uang negara pun persis seperti Robinhood dalam legenda rakyat Inggris. Bedanya, kalau Robinhood merasakan secara langsung kesengsaraan rakyat karena ia berbaur langsung dengan masyarakat, tetapi elite kita menggunakan harta yang dikeruknya demi hidup bermewah-mewah. Jika fenomena itu dibiarkan, mimpi rakyat agar di balik gebyarnya demokrasi itu negara dapat mewujudkan mimpi-mimpi kesejahteraannya tidak akan pernah terwujud. Dalam kehidupan demokrasi seperti ini, rakyat hanya dijadikan sebagai penonton demokrasi atau setia untuk digiring dalam pertarungan politik perebutan kekuasaan yang sudah disitir para pemilik uang. Maka, tidak ada jalan lain, demokrasi yang berintegritas moral harus segera dibangun dan dikembangkan. Untuk itu, kontrol dan kritik publik harus terus-menerus dibangun. Dalam hal mana, demokrasi mewajibkan praktik deliberasi, yakni keterlibatan dan kemampuan rakyat dalam mengawasi dan mengontrol setiap keputusan negara. Demokrasi yang berintegritas moral pun hanya dapat dibangun politisi-politisi yang bermoral. Politisi yang bermoral akan terus mengawal demokrasi agar dapat bermuara pada masalah moralitas.
Integritas moral, tulis Matthew Collins (2003), berarti terciptanya kesatuan yang kental antara nurani yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan pada hukum moral. Integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan pada ambisi pribadi yang di-back-up uang. Oleh Thomas Koten, Direktur Social Development Center

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTEzMTg=

ICW Laporkan Dua Anggota DPR Tersangkut Gratifikasi Haji

ICW Laporkan Dua Anggota DPR Tersangkut Gratifikasi Haji
By Republika ContributorJumat, 19 Desember 2008 pukul 13:35:00
JAKARTA -- Saat 121 anggota DPR mengajukan hak angket (hak melakukan penyelidikan) pelaksanaan haji tahun 2008, dua anggota DPR dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPR karena diduga menerima gratifikasi saat pembahasan biaya ibadah haji tahun 2006.Pengaduan dilakukan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Gedung DPR/MPR di Jakarta, Jumat. Pengaduan diterima pimpinan BK DPR, Irsyad Sudiro (Ketua), dua Wakil Ketua BK Gayus Lumbuun dan Tiurlan Hutagaol.Pengaduan dan laporan ICW itu disertai bukti-bukti penerimaan dana sebesar 2.845 dolar AS. dana itu diterima dua anggota Komisi VIII DPR, yaitu ST dan SA. ICW juga mengadukan adanya aliran dana dari Departemen Agama kepada sejumlah Anggota Komisi VIII tahun 2005 senilai Rp495,4 juta.Berdasarkan keterangan di kwitansi, surat perjalanan dinas dan bukti laporan yang dikeluarkan Departemen agama, dana dialirkan kepada Panitia Kerja (Panja) DPR untuk pembahasan biaya penyelenggaraan haji tahun 2005.Pimpinan BK DPR menyatakan akan meneliti berkas pengaduan beserta bukti-bukti yang diserahkan. Jika bukti yang diserahkan benar, maka BK akan menindaklanjuti setelah masa reses pertengahan Januari 2009.Sebanyak 121 anggota DPR RI dari berbagai fraksi secara resmi mengajukan usul penggunaan hak angket (hak melakukan penyelidikan) mengenai pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2008 yang dinilai lebih buruk dibanding tahun sebelumnya.Usul penggunaan hak angket diterima Ketua DPR RI Agung Laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (17/12). Usul disampaikan para penggagas yang dipimpin Abdullah Azwar Anas dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB).Usul penggunaan hak angket ini didukung Fraksi Partai Golkar (FPG), FKB, PPP, PAN, PKS, Partai Bintang Reformasi (PBR) dan PDIP. Jumlah 121 orang ini jauh lebih banyak dibanding pendukung penggunaan usul hak angket pada Senin (15/12) yang baru sebanyak 24 orang.
Anggota Fraksi PDS tidak ada yang memberi dukungan, sedangkan satu anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) yang pada Senin (15/12) menandatangani usul hak angket ini pada urutan No.19, namanya dicoret.Dari draft usul hak angket penyelenggaraan ibadah haji tahun 2008, para pengusul menjelaskan, pelayanan penyelenggaraan ibadah haji masih mengecewakan para jemaah haji, ketrlambatan dan mahalnya biaya penerbangan, pemondokan yang tidak memenuhi syarat dan persoalan angkutan jemaah di sana.Pengusul menilai, sampai saat ini perbaikan pengelolaan penyelenggaraan dan pelayanan ibadah haji belum ada perbaikan, meskipun pemerintah bersama DPR telah menjalin kesepakatan agar pelayanan ditingkatkan.Anggota DPR juga mempersoalkan kasus kelaparan yang menimpa jemaah haji tahun 2006 yang belum diselesaikan. Tidak ada tindakan terhadap oknum pelaksana yang harus bertanggungjawab pada saat itu.Kesepakatan DPR bersama pemerintah pada 15 maret 2008 menyebutkan, plafon harga sewa perumahan di Mekkah sebesar 2.000 real. Perumahan yang disewa pada Ring I ditargetkan sebesar 50 persen dengan jarak 1.400 meter dari Masjidil Haram,s edangkan perumahan di luar Ring I berjarak maksimal 3.000 meter dari Masjidil Haram."Faktanya, pemondokan di Ring I hanya 18 persen dan di Ring II 82 persen. Banyak perumahan yang berjarak 10 Km sehingga menimbulkan masalah," kata Abdullah Azwar Anas. - ant/ah

http://republika.co.id/berita/21424.html

Seorang Idola, Korban Zamannya

Seorang Idola, Korban Zamannya
Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia pada era penjajahan Belanda. Ironis sekali, nasionalis Indonesia ini meninggal sebagai warga asing.
PERKENALAN A.R. Baswedan dan Liem Koen Hian terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola di Surabaya, pada 1932. Saat itu Liem merupakan Pemimpin Redaksi Sin Tit Po, harian peranakan Tionghoa yang pro-Indonesia. Di sela-sela pertandingan bola yang riuh-rendah itu, Liem menawarkan pekerjaan kepada Baswedan: menjadi redaktur. Dan itulah sebuah berkah yang selalu disyukuri Baswedan, seperti tertulis dalam catatan bertarikh 1939.
”Sekiranya hanya diterima sebagai voluntair, tidak bergaji sama sekali, sungguh dengan senang hati saya terima, asal bisa duduk di dekat Engko Koen Hian buat belajar jurnalistik lebih jauh. Ia jurnalis ulung…,” begitu kenang A.R. Baswedan. Sosok Liem yang tinggi besar dan peramah itu menjadi idolanya. Ketika Liem hengkang dari Sin Tit Po, Baswedan pun mengikuti jejaknya. Siapakah sosok yang satu ini?
Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin pada 1896. Meski ia berasal dari peranakan Tionghoa, orang tuanya hanyalah pedagang kecil. Liem cilik menempuh pendidikan di ELS, sekolah dasar Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai juru tulis di perusahaan minyak Inggris, Shell. Kemudian ia bekerja di harian Penimbangan, dan dari situlah ia mengawali kariernya yang panjang dalam dunia jurnalistik.
Pada 1914, ia hijrah ke Surabaya dan bekerja pada harian Tjhoen Tjhioe dan Soo Lim Po. Minat dan jiwa petualangannya membuat dia sering berpindah tempat. Pada 1918, Liem pindah ke Aceh, kemudian ke Padang, sebagai redaktur Sinar Sumatra. Petualangannya di Sumatera berakhir saat ia mendapat tawaran memimpin Pewarta Surabaya pada 1921. Menginjak tahun 1925, ia bergabung dengan Suara Publik, yang juga terbit di Surabaya.
Leo Suryadinata, sinolog yang kini menetap di Singapura, menyebutkan pada periode itulah Liem mengembangkan visi kewarganegaraan Indonesia—visi yang kemudian mendorong Liem dan beberapa peranakan Tionghoa mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 1932. Jejak Liem susah terlacak sekarang. Tapi Siauw Tiong Djin—putra Siauw Giok Tjan, sahabat Liem—banyak mendengar soal tokoh yang satu ini. ”Liem tegas mendukung Indonesia sebagai tanah air keturunan Tionghoa,” ungkap Tiong Djin.

Liem jurnalis andal dan punya kepemimpinan yang tinggi. Ia tercatat memimpin berbagai surat kabar Tionghoa peranakan pro-Indonesia merdeka, semacam Sin Tit Po dan Kong Hoa Po. Sebelum memutuskan kembali ke Sin Tit Po pada 1939, Liem sempat pindah ke Jakarta untuk meneruskan studinya di sekolah hukum (1933-1935), di Rechts Hoogereschool. ”Setahu saya, beliau tidak lulus,” kata Tiong Djin.
Pada awal 1940-an, Liem aktif dalam pergerakan anti-Jepang bersama tokoh-tokoh nasionalis nonkooperatif, seperti Amir Sjarifoeddin. Liem beserta keluarganya bahkan pernah mengungsi ke rumah Baswedan di Solo untuk menghindari penangkapan tentara Jepang. Dinginnya bui pun akhirnya ia rasakan pada masa pendudukan Jepang.
Anehnya, ia tak mendekam lama di penjara. Setelah itu, sikapnya terhadap Jepang berubah. Bahkan ia diangkat sebagai kepala urusan Tionghoa di konsulat Jepang di Jakarta. ”Alasan perubahan sikapnya hingga kini masih simpang-siur,” ungkap sejarawan minoritas Tionghoa, Mona Lohanda.
Menjelang kemerdekaan pada 1945, Liem Koen Hian didapuk Bung Karno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada rapat inilah Liem menjadi orang pertama yang memasukkan kemerdekaan pers dalam konstitusi. Bunyi Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945—dengan lisan dan tulisan—merupakan sumbangan Liem bagi Indonesia.
Pascakemerdekaan, geliat Liem dalam politik mengendur. Setelah ia menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia untuk perundingan Renville pada 1947, aktivitas politiknya tak terdengar lagi. Menurut Tiong Djin, ia membuka sebuah apotek di daerah Tanah Abang, Jakarta, dan Medan. ”Usahanya tak berjalan baik. Maklum, ia tak berjiwa pedagang,” kata Tiong Djin.
Namanya kembali menjadi perbincangan saat ia menolak kewarganegaraan Indonesia. Tentu saja sikap itu menjadi buah bibir di kalangan Tionghoa peranakan. ”Ia kan selama ini dikenal sebagai bapak asimilasi politik Tionghoa. Menjadi warga negara Indonesia menjadi impiannya sejak dulu,” Tiong Djin menambahkan.

Ketika pemerintah Sukiman (1951-1952) melancarkan pembersihan terhadap tokoh-tokoh komunis, Liem ikut ditangkap. Ia dianggap simpatisan komunis. Pemerintah Sukiman saat itu memang gencar menangkapi orang komunis demi memperoleh dukungan dari Amerika Serikat. Dukungan negara adidaya itu sangat berarti untuk menghadapi Belanda. Liem ditangkap di rumah sahabatnya, Siauw Giok Tjan. Semula, Liem meminta tolong Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo melalui anaknya. Ahmad merupakan kawan lama Liem. Tapi pertolongan tak diperoleh. Sang anak justru diusir.
Liem merasa terpukul dan meradang. Setelah bebas, ia memutuskan tidak menjadi warga negara Indonesia—tanah air yang selama ini juga ia perjuangkan. Ia wafat di Medan pada 1952 sebagai orang asing. Para sejarawan, seperti Leo Suryadinata dan Mona Lohanda, mengalami kesulitan untuk melacak keberadaan makam ataupun keluarga Liem sekarang. Tiong Djin hanya ingat istri Liem adalah warga Belanda. Samhari Baswedan, putra bungsu A.R. Baswedan, pernah bertemu dengan putri Liem pada 1983. Saat itu putri Liem tinggal di Jalan Salemba Tengah, Jakarta. Namun hingga kini tak ada lagi kabar dari mereka.
Sita Planasari Aquadini
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/IMZ/mbm.20081215.IMZ128965.id.html

Orang-orang di Sekeliling Baswedan
A.R. Baswedan tidak serta-merta menjadi seorang nasionalis prokemerdekaan Indonesia. Dalam bukunya, Hadrami Awakening, Natalie Mobini Kesheh melontarkan analisis yang menggambarkan besarnya pengaruh Liem Koen Hian. Di surat kabar Sin Tit Po memang ada Liem. Tapi ruang lingkup perkembangan Baswedan tentu saja lebih jauh dari itu. Di Soeara Oemoem ada tokoh dokter Soetomo, yang mewakili pandangan seorang nasionalis intelektual. Ada lagi tokoh Muhammadiyah, KH Mas Mansur, yang sering mendukung langkah-langkah nasionalistis Baswedan.

Sejumlah tokoh pernah bersilangan jalan dengan A.R. Baswedan dan mereka mewarnai pikiran-pikiran tokoh kita ini.
Syekh Ahmad Surkati Surkati merupakan ikon reformis yang lama ia nantikan. Hidup dalam komunitas keturunan Arab yang jumud membuat Baswedan muda sangat tertarik pada sosok dengan pandangan-pandangan nontradisional seperti Surkati.
Syekh Ahmad Surkati kelahiran Sudan. Ia datang ke Jawa pada Maret 1911 sebagai guru untuk Jami’at Khair—sekolah bagi warga keturunan Arab di Batavia. Pria kelahiran 1874 ini ditugasi memimpin berbagai madrasah, yang salah satunya terletak di daerah Pekojan, Jakarta. Berkat kepemimpinannya, sekolah Jami’at Khair berkembang. Banyak murid datang dari luar Jakarta, termasuk Sumatera.
Surkati juga dikenal karena sebuah fatwanya. Ia menegaskan bahwa perkawinan gadis keluarga sayid dengan pria bukan sayid sah hukumnya. Fatwa ini mengguncang komunitas Arab, yang saat itu terbagi menjadi dua kelompok besar: sayid dan nonsayid. Dengan dukungan kelompok nonsayid, Surkati mendirikan dan memimpin madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang masih berdiri hingga kini.
Surkati sedari awal mendidik muridnya—termasuk AR muda—tentang persamaan derajat di antara sesama manusia. Salah seorang murid Surkati, (almarhum) Kasman Singodimejo, menuturkan sebuah kisah unik. Surkati pernah menghardik seorang bumiputra yang menunduk-nunduk di hadapannya. ”Kamu tidak boleh tunduk kepada saya, karena saya hanya manusia biasa. Kamu hanya tunduk kepada Allah SWT,” kutip Geys Amar, mantan Ketua Umum Al-Irsyad.
Selain mendidik warga keturunan Arab, Surkati melakukan pendekatan pada kalangan bumiputra atau kalangan nasionalis yang paham keagamaannya minim. Surkati menganggap mereka sebagai sasaran empuk yang dapat dieksploitasi Belanda, komunis, ataupun zending. Kaum agamawan nasionalis seperti anggota Jong Islamieten Bond pun dekat dengannya.
Di sekolah, Surkati menjawab banyak keresahan Baswedan muda, misalnya tentang kedudukan perempuan dalam Islam. ”AR muda banyak berdiskusi, bahkan mengkritik pemikiran Surkati. Namun Surkati tak pernah marah,” ungkap Geys. Baswedan muda yang kritis dan gelisah itu memperoleh banyak perhatian dari Surkati.

Itu termasuk saat AR mendirikan Partai Arab Indonesia. Pada prinsipnya, Surkati tidak menolak pendirian partai tersebut. ”Hanya, Surkati merasa saat itu belum waktunya,” kata Samhari Baswedan, putra bungsu AR. Perseteruan itu melahirkan sebuah sajak pada 1936 bertajuk Antara Guru dengan Bekas Muridnya, digubah oleh AR dengan nama pena Ibnu Hani al-Indonesia. Dalam sajak itu, AR berusaha mengingatkan Surkati akan ajarannya sendiri: murid harus menggunakan akal pikiran dan tidak terombang-ambing oleh keadaan.
Surkati, yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad Surkati al-Ansari, wafat pada 6 September 1943 di Jakarta, tanpa meninggalkan keturunan. Jenazahnya diantar ke pekuburan Karet, Jakarta, dengan cara sederhana. Di atas makamnya tak terdapat tanda apa-apa, sesuai dengan amanat Surkati sebelum meninggal.
Dokter Soetomo Muncul kritik keras saat Soetomo sebagai Direktur Harian Soeara Oemoem, Surabaya, menerima A.R. Baswedan dan Tjoa Tjie Liang sebagai wartawannya. Salah satunya dari harian Bintang Timoer pada 1934. Bintang Timoer mengecam: mengapa Baswedan dan Tjoa, yang bukan bangsa Indonesia, diterima sebagai wartawan?
Tjoa sendiri saat itu sudah terlibat dalam Partai Tionghoa Indonesia bersama Liem Koen Hian. Soetomo menyambut tantangan itu, membela keduanya dengan tangkas. Dan ini menimbulkan kesan bahwa Soetomo sama sekali tidak seperti yang dibayangkan Baswedan. Soetomo jelas bukan chauvinist yang memiliki nasionalisme sempit seperti Bintang Timoer. ”Abah bahkan menyebut Soetomo sebagai ayah Partai Arab Indonesia,” kata Samhari, putra Baswedan.
Baswedan memang tak begitu lama bergabung dengan Suara Oemoem. Pada akhir 1934, ia hijrah ke Semarang, bergabung dengan harian Matahari. Meski singkat, banyak pengalaman berharga yang direguk Baswedan ketika bersama Soetomo.
Baswedan pernah membandingkan tiga tokoh pergerakan nasional asal Jawa: KH Mas Mansur, Soetomo, dan Wahidin Sudirohusodo. Mas Mansur merupakan sosok yang keras dan tegas. Sedangkan Wahidin memiliki karakter sangat halus. ”Soetomo merupakan perpaduan keduanya. Dia dapat bersikap tegas tapi juga tidak keras,” Samhari menyitir ayahandanya.

Barkah al-Ghanis Baswedan menikah pertama kali dengan sepupunya, Syaikhun, saat berusia 17 tahun. Istrinya sendiri baru 12 tahun saat itu. Mereka dikaruniai sembilan anak. ”Ibu Syaikhun orangnya tenang,” kata Samhari. Selama Baswedan berkecimpung dalam dunia jurnalistik dan politik, kehidupan keluarganya cukup sulit. Mereka kerap berpindah kota. Belum lagi kondisi keuangan yang sangat tipis. Namun Syaikhun tak pernah mengeluh.
AR pernah menulis sebuah sajak yang ia persembahkan bagi istrinya yang sering dipanggil Sekun itu. Sajak yang terdapat dalam pengantar buku Baswedan, Rumah Tangga Rasulullah, ini merupakan pujian atas kesetiaan dalam menjalani hidup yang penuh derita. Sayang, usia Sekun tak lama. Pada 19 Juli 1948, Sekun wafat karena penyakit malaria. Saat itu AR tengah menjabat menteri.
AR mengalami masa sulit setelah kematian Sekun. Mengasuh sembilan anak seorang diri membuat aktivitas perjuangan AR menurun. Sahabat-sahabat AR kemudian berunding, hendak mencarikan istri baginya. Calon terbaik hanya satu: Barkah al-Ghanis.
Barkah lahir pada 11 Januari 1911, anak pertama dari sembilan bersaudara. Meski lahir sebagai keturunan Arab, Barkah dibesarkan dan dididik oleh eyang dari ibunya yang asli Jawa. Berbeda dengan perempuan lain keturunan Arab, Barkah memperoleh pendidikan cukup tinggi, hingga kelas VI sekolah dasar. ”Saat itu perempuan Arab bahkan tak bisa bersekolah,” ujar Samhari.
Pada usia 12 tahun, Barkah dinikahkan dengan pria keturunan Arab. Setelah diboyong ke Jakarta, ia tinggal di kawasan Sawah Besar. Dari lingkungan yang relatif modern Barat, penuh dengan buku, dan terbuka di rumah neneknya, Jakarta menjadi penjara. Sang suami memang memberikan sedikit kebebasan, asalkan ia tetap tinggal di rumah. Untung, ia bertetangga dengan seorang perempuan Tionghoa yang suka membaca dan pandai berbahasa Belanda. Pertemanan tetap berjalan meski mereka hanya bisa berbincang dari jendela rumah masing-masing.

Berkat tetangganya itu, Barkah memperoleh pinjaman buku. Akibatnya, rumah Barkah dikunjungi perempuan-perempuan keturunan Arab yang tidak bisa membaca huruf Latin. Barkah kemudian membacakan buku-buku itu untuk mereka. Situasi ini mengasah bakat kepemimpinan Barkah. Setelah bercerai dari suami pertama, ia semakin aktif di berbagai organisasi. Salah satu posisi penting yang pernah ia duduki adalah Ketua Partai Arab Indonesia Istri.
Baswedan dan Barkah menikah pada 1950. Wali hakim bagi Barkah adalah Mohammad Natsir. Mereka menikah di rumah Haji Bilal di Kauman, Yogyakarta. Mereka tidak menikah di rumah Barkah di Tegal karena satu hal: AR dianggap tidak setingkat dengan Barkah. Dalam komunitas keturunan Arab, Barkah berasal dari keturunan Gabili, kasta serdadu. Sedangkan AR orang biasa.
Pernikahan mereka dikaruniai dua anak. Berbeda dengan pernikahan pertama yang adem-ayem, Barkah bagi AR merupakan partner diskusi utama. ”Bila berdiskusi, mereka tak segan beradu argumentasi, termasuk menggebrak meja makan,” kenang Anies Baswedan, cucu AR yang kini menjabat Rektor Universitas Paramadina.
Waktu makan menjadi momen diskusi paling gayeng. Semua hal dapat diperdebatkan, dari soal politik hingga kehidupan sehari-hari. Mereka juga saling mendukung dalam aktivitas politik. Ketika Masyumi mati suri, istri-istri tokoh Masyumi bergerak membentuk Wanita Islam. Barkah tentu saja tak ketinggalan. AR pun mendukung dari balik layar: sebagai partner diskusi, membantu mematangkan strategi, juga mengetikkan naskah pidato Barkah. Begitu pula saat AR membentuk Teater Muslim untuk membendung pengaruh Lekra. Meski tak paham kesenian, Barkah selalu mendampingi AR ke mana pun Teater Muslim manggung.
Karakter AR dan Barkah sendiri bak minyak dan air. Barkah orang yang berdisiplin lagi tegas. Sedangkan AR spontan dan romantis. Soal romantis, Samhari memiliki sebuah kenangan. ”Setiap kali hendak bepergian, Ibu selalu menyerahkan kacamatanya ke Abah untuk dibersihkan,” ucapnya sembari tersenyum. Sikap AR ini tentu tak dimiliki banyak pria keturunan Arab saat itu. Hal ini merekatkan perkawinan mereka hingga akhir hayat.

Samhari Baswedan Ahmad Samhari lahir sebagai putra bungsu AR pada 7 Februari 1954. Terlahir sebagai anak bontot memberikan banyak keuntungan bagi Hayi—demikian ia disapa dalam keluarga. Hayi cilik biasa diajak ayahnya dalam aktivitas sehari-hari. Saat AR masih sibuk di Konstituante, Hayi turut menemaninya. Apalagi saat AR pensiun. Hayi, yang saat itu masih duduk di Sekolah Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta, pun mendapat perhatian ekstra dari sang ayahanda.
Sedari Hayi belia, AR memperkenalkan buku ke dalam kehidupannya. Setiap kali ia berulang tahun, buku tak pernah luput sebagai hadiah. ”Padahal, saat saya kecil, harga buku sangat mahal,” kenangnya. Setiap Jumat adalah waktu yang ditunggu. AR akan mengajak Hayi cilik ke perpustakaan Islam yang dikelola sahabatnya. Hayi dapat leluasa masuk ke ruang buku yang terlarang bagi orang lain.
Saat usianya menginjak belasan tahun, Hayi mulai menikmati aktivitas lain bersama ayahnya, berkesenian. Ia menjadi bintang cilik Teater Muslim. Hayi pun diundang membacakan sajak karya ayahnya di berbagai acara. Beranjak remaja, Hayi menjadi tangan kanan A.R. Baswedan untuk mengetik surat atau mengedit tulisan sang ayah.
Hayi sering berdebat keras dengan ayahnya. Tapi ia tak menemukan generation gap dengan sang ayah. AR sangat visioner dan dekat dengan anak muda. Ayahnyalah yang mendorong Hayi menerima beasiswa AFS ketika warga keturunan Arab menentang. Penentangan saat itu cukup lumrah. Banyak anak dari keluarga Islam tradisional yang pulang dari Amerika mengalami gegar budaya sehingga keluarganya terkejut. Persetujuan AR diungkapkan dalam sebuah tamsil: ”Kita (orang tua) sudah masuk waktu asar atau magrib, sementara Hayi dan generasi muda baru subuh. Makanya sedari awal generasi muda harus mengenal dunia.”
Sekembali dari Amerika, Hayi terpaksa mengikuti keinginan sang ayah, yang memintanya masuk fakultas kedokteran. ”Saya berjuang sekuat tenaga supaya gagal (tes kedokteran),” ungkapnya seraya tertawa. Ia diterima sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Kenangan paling menyedihkan dialaminya saat dia terpilih menjadi dokter terbaik. Pengumumannya dilakukan dalam dies natalis. Sang ayah, yang sudah mendapat bocoran mengenai hal ini, meminta Hayi mengajaknya ke kampus. Hayi, yang tak tahu apa-apa, menolak dengan keras. Walhasil, Hayi gelo karena ayahnya tak bisa menyaksikan momen terpenting dalam hidupnya. ”Saat saya pulang, ayah menangis bahagia mendengar cerita saya,” kisahnya sembari mencucurkan air mata.
Sejak itu, hubungan keduanya mencair. Meski sibuk sebagai ko-asisten, Hayi tetap membantu ayahnya mengetik dan mengedit berbagai naskah tulisan. Setelah Hayi lulus dari kedokteran dan diterima di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak, UNICEF, di Jakarta, AR sering menengoknya. Bahkan proses penulisan otobiografi AR berlangsung di rumah Hayi. Hingga akhirnya AR wafat karena stroke di sana pada 1986.
Sita Planasari Aquadini
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/IMZ/mbm.20081215.IMZ128966.id.html

Pelacur

Pelacur
Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pelacur.
Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.
Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun, anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam sampai tengah hari.
Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan sepeda motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.
Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di Pabrik Rokok ”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus menikah.
Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.

”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika melayani tamu?”
”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.
Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mereka sehari-hari.
Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta.
Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan kaumnya.
Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertambah 50 persen.
Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialektika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan.
Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.
Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.
Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya.
Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/CTP/mbm.20081215.CTP129003.id.html

Ongkos Ekososial Tol Trans Jawa

Ongkos Ekososial Tol Trans Jawa
I G.G. Maha Adi
Wartawan dan mahasiswa pascasarjana kajian ilmu lingkungan Universitas Indonesia
Target swasembada beras yang terancam oleh masifnya konversi lahan persawahan di Pulau Jawa, dan banjir yang diperkirakan masih akan datang hingga awal tahun depan, membuat Menteri Pekerjaan Umum bergeming dengan rencana proyek jalan tol Trans Jawa. Menurut Menteri, pemerintah sudah memperhitungkan semua dampak jalan tol sepanjang 652 kilometer yang akan mengubah 4.264 hektare lahan, sebagian besar persawahan, itu.
Rencana pemerintah itu perlu ditelisik lebih cermat, terutama karena beberapa alasan yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologis Pulau Jawa dan Laut Jawa. Pertama, perhitungan dampak terkesan hanya memasukkan konversi lahan sepanjang jalan tol dan sempadannya, tetapi belum memperhitungkan dampak konversi lanjutan lahan-lahan pertanian di sekeliling jalan tol yang akan menjadi pompa bensin, tempat perhentian, minimarket, atau pabrik yang akan menjamur untuk mendapatkan akses terdekat dan tercepat ke jalan tol. Ditambah pula kemungkinan pertumbuhan kawasan perumahan dan segala fasilitasnya di sepanjang jalan tol, seperti yang terjadi di jalan tol Cikampek, Jagorawi, dan sebentar lagi Cipularang. Dampak yang pasti, seluruh konversi itu akan memperluas tanah kedap air, sehingga memperbesar limpasan air permukaan yang menyebabkan banjir, seperti yang menimpa jalan tol Sediyatmo di Jakarta setiap musim hujan.
Pakar ekologi Hasroel Thayib dari Universitas Indonesia menyatakan, luas tanah di Pulau Jawa yang ideal untuk sawah hanya 10,5 juta hektare, sisanya adalah tanah dengan kemiringan curam yang harus dihutankan sebagai kawasan penyangga fungsi-fungsi hidro-orologis untuk menjamin ketersediaan air bagi sawah. Jika satu orang membutuhkan 0,7 hektare lahan pertanian agar dapat hidup layak, maka jumlah penduduk yang bisa ditopang pulau ini hanya 15 juta orang. Kenyataannya, saat ini penduduk Jawa mencapai 117 juta orang atau hampir delapan kali lebih besar dari daya dukung luas sawahnya, sehingga konversi lahan produktif dapat memperbesar bencana lingkungan.

Hasil studi Tim Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa yang didukung Menko Perekonomian menyatakan, menguatnya daya tahan Pulau Jawa, yang jumlah populasinya melebihi daya dukungnya, disebabkan oleh pasokan sumber daya alam dari pulau lain dan impor. Tim yang sama juga menyatakan bahwa klaim pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota di Jawa seharusnya dikurangi 2-3 persen untuk biaya pemulihan lingkungan, karena sebagian besar lingkungannya mengalami degradasi berlanjut, antara lain karena konversi lahan produktif.
Bila lahan produktif terus berkurang, dalam jangka panjang hasil pertanian, perkebunan, dan hutan Pulau Jawa juga akan berkurang. Intensifikasi lahan pertanian tidak banyak berarti bila tak ada air atau malah puso karena terendam banjir. Artinya, penduduk Jawa akan semakin bergantung pada barang dan produk dari luar pulau, sehingga pembangunan jalan tol itu justru meningkatkan arus masuk barang, bukan arus ekspor ke luar Jawa. Penduduk Jawa dalam jangka panjang akan menjadi konsumen yang semakin rakus mengkonsumsi segala barang yang didatangkan dari luar pulau. Kelancaran masuknya barang dapat menumpulkan kepekaan masyarakat terhadap krisis lingkungan dan pangan di Jawa. Kenyataan semu bahwa semuanya baik-baik saja akan memberi harapan semu juga bahwa Pulau Jawa tetap gemah ripah loh jinawi.
Gambaran semu tentang betapa cerahnya masa depan di Pulau Jawa dengan kemegahan industrialisasinya juga dapat mendorong banyak keluarga untuk tetap melahirkan banyak anak karena anggapan masih cukup pangan dan rezeki, sehingga dampak Program Keluarga Berencana tidak maksimal. Dampak turunannya adalah konversi lahan produktif akan terus berlangsung secara masif.
Kedua, masih kentalnya dominasi pendekatan ekosistem satu sisi, yaitu pendekatan yang hanya berorientasi pada daratan (land-based ecosystem), dan mengabaikan laut (marine-based ecosystem), sehingga terkesan kurang holistik. Karena semua sungai di bagian utara Jawa bermuara ke Laut Jawa, proyek sebesar jalan tol Trans Jawa justru lebih banyak berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan laut, bukan daratan. Laut Jawa, seperti juga Laut Arafuru atau perairan Selat Malaka, adalah laut dangkal yang memiliki produktivitas primer sangat tinggi, bisa mencapai 10.000 gr C per meter persegi per tahun yang merupakan penopang tingginya produktivitas sekunder berupa ikan dan hewan laut lainnya, sehingga menjadi sumber pangan paling penting di masa depan.

Limbah domestik dan industri yang dibuang begitu saja ke dalam ratusan sungai besar dan kecil yang bermuara di Laut Jawa akan meningkatkan pencemaran laut sehingga menurunkan produktivitas primer dan sekundernya. Masyarakat pesisir akan menjadi korban pertama dan terbesar, karena polutan akan mematikan sumber pendapatan mereka, dan rob (banjir laut) akan merendam mereka seperti yang sekarang kerap terjadi di Muara Angke, Jakarta.
Ketiga, terjadinya perubahan lingkungan sosial. Kota dan industrialisasinya akan menjadi faktor penarik (pull factor) urbanisasi yang saling menguatkan dengan faktor pendorong (push factor) seperti rendahnya upah petani dan menyempitnya sawah. Tanpa daya saing yang kuat, para pendatang dari desa ini justru menjadi beban bagi kota, dan muncullah apa yang diteorikan oleh sosiolog Universitas Harvard, William Julius Wilson, sebagai urban inequality (ketimpangan kota).
Pembangunan memang harus berlangsung, tetapi meningkatkan kualitas jalan di Pantura mungkin lebih baik ketimbang membangun tol lintas baru. Jalan lainnya adalah melirik kembali daerah Jawa bagian selatan yang subur tetapi terisolasi dan tertinggal. Bila infrastruktur jalan dan pelabuhan samudra di selatan dibangun sebaik dan secepat di utara, barang dan hasil pangan dapat didistribusikan dengan cepat dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru akan tumbuh lebih merata di Pulau Jawa. Pesisir dan Laut Jawa, yang menjadi sumber pangan masa depan, akan lebih lama menghidupi bangsa ini. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/19/Opini/krn.20081219.151407.id.html

Ekonomi Tentukan Pemenang Pilpres

Ekonomi Tentukan Pemenang Pilpres

JAKARTA(SINDO) – Kondisi ekonomi akan memainkan peran krusial dalam menentukan partai politik dan calon presiden yang akan memenangi Pemilu 2009.
Siapa yang bisa memanfaatkan kondisi ekonomi sebagai bahan strategi kampanye akan bisa mengambil keuntungan. ”Isu ekonomi dianggap pemilih jauh lebih penting dibandingkan isu lain seperti keamanan atau isu hukum,” kata Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA saat konferensi pers pemaparan hasil survei terbaru LSI di Jakarta kemarin. Menurut Denny, dengan kondisi saat ini calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri terus menempel popularitas Susilo Bambang Yudhoyono untuk bersaing pada Pemilihan Presiden 2009. Berdasarkan hasil survei nasional (LSI), selisih keduanya tinggal 2% saja.Responden yang memilih Megawati jika pemilihan presiden dilakukan hari ini adalah 40,7% di bawah SBY yang mendapatkan suara responden 42,9%. Survei dilakukan pada 5–15 Desember 2008 di seluruh provinsi di Indonesia melalui wawancara tatap muka dengan 1.200 responden. Margin of errorsurvei ini sebesar 2,9% Menurut Denny, naiknya popularitas serta elektabilitas Megawati sangat dipengaruhi kondisi ekonomi saat ini. Karena itu, untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenang dalam pilpres mendatang juga sangat bergantung pada kondisi perekonomian yang dihadapi masyarakat. ”Megawati dan SBY bersaing ketat. Jika ekonomi membaik, SBY semakin dominan. Sebaliknya, jika ekonomi memburuk, Mega potensial mengalahkan SBY,” tandas Denny. Dia menambahkan, kondisi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat yang merasa ekonominya semakin sulit lebih banyak dibandingkan masyarakat yang merasa ekonomi kini lebih baik. Sebanyak 53,8% responden mengatakan akan mendukung Megawati jika kondisi ekonomi 2009 semakin sulit. ”Responden yang mengatakan ekonomi tambah sulit sebanyak 35,2%,sementara yang menyatakan lebih baik hanya 29,0%,” ungkapnya. Survei tersebut juga mengungkap bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY di bidang keamanan dan hukum cukup tinggi, mencapai 75% dan 68%. Namun, kelemahan di bidang ekonomi belum tertutupi dengan tingkat kepuasan publik sebesar 36,7%, sementara yang tidak puas mencapai 59,5%. ”Di bidang ekonomi,SBY mengalami defisit kepuasan hingga 22,8%,”ujar Denny. Fakta itu menjadi peringatan penting bagi SBY. Belum lagi fakta bahwa persepsi ekonomi yang berbeda menghasilkan perilaku pemilih yang berbeda. ”Yang puas dengan kondisi ekonomi cenderung akan memilih SBY dan Partai Demokrat, sementara yang tak puas dengan kondisi ekonomi cenderung memilih Megawati dan PDIP.Pola ini konsisten diuji melalui empat survei nasional berturutturut selama tahun ini,” ujarnya. Denny menyatakan, PDIP sudah tepat melakukan kampanye politik dengan mengusung tema kesejahteraan rakyat melalui program sembako murah. Terlebih perkembangan ekonomi 2009 akibat krisis global akan melahirkan semakin banyak angry voters atau pemilih yang marah. Dia menambahkan, angry voters dapat berpotensi menjadi golput, bahkan mengalihkan suaranya kepada kelompok oposisi, dalam hal ini Megawati sebagai calon presiden dari PDIP. ”Sementara SBY masih mengusung isu keamanan dan penegakan hukum, bagi wong cilik yang penting perut,” tandasnya. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (BP-Pemilu) PDIP Tjahjo Kumolo mengakui pengambilan isu ekonomi karena pihaknya melihat bahwa isu itu merupakan titik lemah pemerintahan SBY. ”Ekonomi adalah isu yang saat ini diresahkan masyarakat bawah. Karena itu PDIP dan Ibu Megawati sebagai capres mengusung isu sembako murah untuk diperjuangkan,” ujar Tjahjo. Selain memaksimalkan isu ekonomi dengan sembako murah, lanjut dia, PDIP dan Megawati juga akan terus terjun ke daerah-daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat. ”Jadi, hal yang realistis jika popularitas dan tingkat elektabilitas Ibu Megawati terus naik,”bebernya. Sementara itu,Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum tidak mengkhawatirkan popularitas Megawati yang terus naik.Menurut Anas, popularitas dan elektabilitas calon presiden bersifat dinamis. Demikian juga partai politik (parpol). ”Jadi hasil survei tersebut biasa saja. Kami melihatnya sebagai bahan masukan,” kata Anas kepada SINDO kemarin. Selain itu, pelaksanaan pemilihan presiden juga masih jauh, sehingga masih banyak waktu yang bisa dilakukan oleh masing-masing kandidat.Saat ini,kata Anas, Partai Demokrat sedang konsentrasi pada pemilu legislatif, belum kampanye pemilihan presiden. ”Kami yakin kalau SBY sudah kampanye, angkanya akan makin menjauh. Pemilih makin cerdas dan rasional. Sudah mampu membedakan antara janji sembako murah dan bukti sekarang swasembada beras dan inflasi yang terkontrol,” lanjutnya. Tidak Anjlok Direktur Institute for Development of Economics and Finance M Ikhsan Modjo mengatakan bahwa isu ekonomi belum menjadi bagian penting untuk komoditas politik. Terlebih situasi ekonomi tahun depan diperkirakan tidak anjlok drastis, yaitu pertumbuhan ekonomi akan turun antara dua hingga tiga persen.”Baik buruk situasi ekonomi akan memengaruhi suara sekitar 20% pemilih yang rasional,” kata Ikhsan. Kategori pemilih kedua adalah 80% masyarakat yang hidup prihatin dan paling terkena imbas krisis. Meski begitu, karena rasionalitas sikap politik mereka masih rendah, situasi krisis tidak mengalihkan simpati mereka sepanjang ada programprogram yang menguntungkan. ”Misalnya seperti PNPM (program nasional pemberdayaan mandiri), KUR (kredit usaha rakyat). Bila digelontorkan menjelang pemilu, mereka akan senang dan lupa akan situasi ekonomi,” ramalnya. Ikhsan menambahkan, Presiden SBY akan mendapat ujian dalam menangani krisis keuangan global. Mengingat pusat krisis ada di luar negeri dan Indonesia hanya terkena imbas, maka pemilih kategori tersebut akan menaruh simpati kepada SBY bila dapat menangani imbas krisis dengan benar. Bila salah dan situasi bertambah parah, baru mereka akan bersikap antipati. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, gejolak ekonomi global tidak begitu berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Ibarat tsunami,Indonesia hanya kebagian dampak ketiga, karena episentrum gempa tidak terjadi di Indonesia. ”Kita hanya kena imbas ketiga saja, secara kebetulan perekonomian kita tidak terlalu fokus ke Amerika,” kata Jusuf Kalla dalam dialog politik akhir tahun 2008 bertema ”Partai Politik: Keterbukaan dan Seleksi Nasional” di Jakarta kemarin. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya 30%, sehingga jika dibilang terkena dampak yang besar, Kalla keberatan. ”Beda dengan negara-negara Eropa, atau China yang memang banyak berhubungan secara langsung dengan Amerika Serikat,” ungkapnya. (rahmat sahid/ m ma’ruf/sofian dwi)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197587/38/

Wakil Rakyat yang Subversif

Wakil Rakyat yang Subversif
Bagong Suyanto
Dosen FISIP Universitas Airlangga
Memasuki tahun 2009 nanti, pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen akan segera dimulai. Tetapi mencari figur calon anggota legislatif yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan publik sesungguhnya bukanlah hal yang mudah. Dalam pelaksanaan pemilihan umum, yang perlu diperhatikan bukan sekadar bagaimana memastikan mekanisme pemilihan yang demokratis dan partisipatif. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana rakyat dapat memilih dengan tepat wakil mereka yang peka terhadap kebutuhan publik, benar-benar obyektif dalam menjalankan amanah rakyat, dan mampu menangkap aspirasi rakyat serta memiliki kompetensi memformulasikannya dalam rumusan kebijakan politik yang kontekstual.
Berbeda dengan era di masa lalu, ketika calon anggota legislatif yang populer adalah wakil rakyat yang mampu memerankan diri semata sebagai watchdog yang terus-menerus melakukan kontrol terhadap pihak pemerintah. Di era reformasi seperti sekarang ini, seorang wakil rakyat seyogianya tidak hanya berkutat pada peran kontrol sosial, tapi mereka diharapkan juga mampu memerankan diri sebagai bagian strategis dari proses perencanaan pembangunan, memiliki kepekaan terhadap persoalan di tingkat lokal, dan juga kompetensi dalam mengkalkulasi keserasian antara besaran masalah yang mendesak untuk ditangani dan substansi program serta dukungan dana pembangunan.
Kepekaan, bagi calon wakil rakyat, adalah modal dasar yang dibutuhkan untuk membangun komitmen dan koneksitas dengan problem yang dihadapi konstituen atau bahkan rakyat pada umumnya. Namun, perlu disadari bahwa untuk memastikan sejauh mana komitmen mereka itu benar-benar direalisasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di lapangan, tentu yang dibutuhkan lebih dari sekadar sensitivitas.

Kepekaan terhadap berbagai persoalan kemiskinan, perspektif gender serta hak anak, dan lain sebagainya, bagaimanapun tidak akan dapat diwujudkan jika wakil rakyat yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan memahami akar dan besaran masalah, menentukan skala prioritas, dan kemudian memastikan bahwa substansi program yang dikembangkan pemerintah benar-benar menjawab problem serta kebutuhan publik.
Bila yang dibutuhkan partai politik sekadar mendulang suara, memang barangkali tidak akan terlalu banyak prasyarat yang dituntut bagi calon wakil rakyat yang mereka usung dalam pemilihan legislatif. Seperti biasa terjadi di masa lalu dan dalam batas-batas tertentu juga masih terjadi di era reformasi, memasang sejumlah artis, komedian, penyanyi dangdut, dan figur yang populer tampaknya masih diharapkan akan dapat bermanfaat serta fungsional untuk menarik simpati dan suara publik.
Tetapi, ketika perkembangan masyarakat makin hari makin kritis dan tidak lagi terhegemoni oleh kekuasaan yang pro-status quo, sesungguhnya cara-cara konvensional mencoba mendulang suara dengan sekadar memasang figur yang populer niscaya tidak akan banyak bermanfaat, dan bahkan bukan tidak mungkin kontraproduktif.
Di mata rakyat yang makin kritis, mereka biasanya tidak hanya memiliki kemampuan untuk membanding-bandingkan berbagai macam persoalan, tapi juga dengan cerdik memastikan kompensasi atas suara yang mereka berikan dalam bentuk ikatan atau semacam kontrak politik. Di berbagai daerah, kita tentu telah banyak melihat dan mendengar bahwa, ketika rakyat memberikan suara atau dukungannya kepada kandidat tertentu, di saat yang sama mereka akan menyodorkan kontrak politik sebagai jaminan bahwa aspirasi dan janji-janji calon selama masa kampanye benar-benar akan direalisasi nantinya.
Seorang calon yang telah dipilih ternyata di kemudian hari terbukti hanya menebar janji-janji politik kosong, jangan kaget jika legitimasinya di mata rakyat cepat atau lambat akan berkurang, bahkan bukan tidak mungkin akan dicabut di tengah jalan. Bagi sebagian rakyat yang benar-benar sudah tidak lagi percaya kepada siapa pun figur yang diusung partai politik, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih tinggal di rumah ketika hari pencoblosan tiba: menjadi golput dengan didukung kesadaran penuh bahwa pemilu, pilkada, atau pemilihan legislatif di mata mereka hanyalah pentas drama yang sama sekali tidak serius.

Di berbagai daerah, kita bisa melihat bahwa yang namanya calon wakil rakyat, calon wali kota atau bupati, juga calon gubernur, tidak sekali-dua kali dihadapkan pada pilihan: bersedia menandatangani kontrak politik atau berisiko kehilangan dukungan kelompok masyarakat tertentu. Pilihan dilematis seperti ini tidak terhindarkan, karena masyarakat yang secara politis kritis itu tidak lagi ingin hanya menjadi korban janji politik kosong para calon wakil rakyat atau pimpinan daerah yang ternyata cuma berjanji gombal.
Benar bahwa pada batas-batas tertentu masih ada sebagian masyarakat yang secara politis parochial: memilih wakil rakyat semata karena popularitas, karisma, kesamaan ideologi, agama, dan ikatan-ikatan yang sifatnya primordial. Tetapi, ketika masyarakat makin kritis, tentu mereka tidak lagi manjur hanya dinina-bobokan dengan janji-janji kosong, atau sekadar mengandalkan pada karisma orang per orang. Bagi warga masyarakat yang kritis seperti ini, dalam pelaksanaan pemilihan anggota legislatif di tahun 2009, tiga hal yang terpenting adalah:
Pertama, siapa pun yang mencalonkan diri sebagai kandidat wakil rakyat harus memiliki sikap subversif, berani melawan arus, dan benar-benar melepaskan diri dari pola dan paradigma pembangunan masa lalu yang cenderung menafikan arti penting posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Model-model pembangunan yang cenderung menempatkan rakyat (kecil dan miskin) sebagai terdakwa, di era reformasi seperti sekarang ini, sudah niscaya tidak lagi dapat dibenarkan, dan sebagai gantinya harus ada kesediaan dari para calon wakil rakyat untuk memahami mereka sebagai korban situasi yang tidak sekadar butuh simpati, tapi juga empati yang dalam.
Kedua, siapa pun yang menjadi kandidat wakil rakyat tak hanya harus populis, tapi juga harus sensitif terhadap isu-isu sosial-politik lokal yang sifatnya kontekstual. Artinya, besaran masalah dan situasi problematik yang terjadi di tingkat lokal benar-benar harus mereka pahami, dan kredibilitas calon itu sudah tentu pada seberapa jauh ia mampu menawarkan program (solusi) untuk menjawab situasi problematik yang terjadi dan tengah dihadapi masyarakat di tingkat lokal.

Ketiga, siapa pun yang berhasrat duduk di kursi parlemen tak hanya harus mampu menghilangkan bias kepentingan atau pertimbangan subyektifnya, tapi juga harus menguasai metodologi dan proses perencanaan program pembangunan yang obyektif, akurat, dan akuntabel. Artinya, seorang calon wakil rakyat tidak cukup hanya bersikap netral dan mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan diri atau kepentingan kelompoknya sendiri secara sempit. Lebih dari itu, yang tak kalah penting adalah bagaimana mereka memiliki kemampuan mengidentifikasi akar permasalahan, tidak bersyak-wasangka, mampu menakar dengan akurat besaran masalahnya, dan kemudian menguji dan mempertanggungjawabkan setiap keputusan politik yang dihasilkan kepada publik.
Di mata sebagian orang, pemilihan dan proses sirkulasi elite terkadang disebut sebagai pesta demokrasi. Tetapi perlu disadari bahwa memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk di parlemen bukanlah sekadar perilaku euforia politik atau pesta dalam arti harfiah, melainkan merupakan bagian dari proses untuk memastikan bahwa pembangunan dan partisipasi politik benar-benar dapat berjalan beriringan, dan bahkan saling melengkapi.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/20/Opini/krn.20081220.151533.id.html

Anggota DPR makin Malas Bersidang


Penulis : Maya Puspita Sari


MI/ADAM DWI PUTRAPolitik pembiaran anggota dewan malas bersidang masih berlangsung. RAPAT Paripurna DPR kemarin berlangsung di ruang kosong. Jumlah peserta rapat sangat sedikit dan tidak kuorum. Meski demikian, rapat paripurna tetap dilangsungkan dan mengambil keputusan penting pula. Ada lima rancangan undang-undang yang disahkan DPR, kemarin. Rapat yang seharusnya dimulai pukul 10.00 WIB itu terpaksa ditunda selama 1 jam karena di dalam ruangan kosong melompong. Di luar ruangan sejumlah anggota dewan asyik mengobrol dan merokok. Sebagian anggota dewan malah memilih belanja di bazar yang digelar tidak jauh dari ruang rapat paripurna. Jumlah anggota dewan yang mengisi daftar hadir hingga pukul 12.30 berjumlah 285 dari 550 total anggota DPR. Akan tetapi, dalam ruang sidang cuma ada 65 orang. Berdasarkan pemantauan Media Indonesia, ada anggota DPR datang hanya untuk menandatangani daftar hadir lalu kabur. Pemandangan yang sama terjadi pada rapat paripurna yang digelar sehari sebelumnya, Rabu (17/12). Rapat pengambilan keputusan empat rancangan undang-undang itu hanya dihadiri 80 orang. Tanda tangan daftar hadir ternyata jauh lebih penting bagi anggota dewan, bahkan memiliki legitimasi lebih kuat jika dibandingkan dengan kehadiran fisik. Padahal, menurut Pasal 6 Kode Etik DPR, anggota harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya. Ketidakhadiran anggota secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis, tanpa izin dari pimpinan fraksi, merupakan suatu pelanggaran kode etik.
Politik pembiaran Politik pembiaran untuk melanggar kode etik sedang berlangsung di DPR. Hampir semua jenis rapat di DPR tidak pernah kuorum dan tidak satu pun anggota yang diberi sanksi. Tengok misalnya rapat pembahasan RUU Komisi Yudisial di Komisi III DPR pada 11 Desember. Rapat hanya dihadiri delapan dari 25 anggota panitia kerja. Rapat pun dibatalkan. Begitu juga rapat Pansus Penghilangan Orang secara Paksa akhir bulan lalu, yang hanya dihadiri 20 dari 50 orang anggota pansus. Ketika itu Ketua Pansus Effendi Simbolon mengatakan akan melaporkan ke pimpinan dewan untuk menegur fraksi-fraksi yang anggotanya malas. Anggota dewan juga malas menghadiri rapat dengar pendapat seperti yang terjadi di Komisi III ketika mengadakan rapat dengan Komisi Yudisial pada 17 Maret. Rapat tersebut hanya dihadiri enam dari 49 anggota komisi hukum itu. Rapat kemudian diubah menjadi dialog. Adalah fakta bahwa rapat dewan yang terkait dengan nasib rakyat tidak pernah kuorum. Sebaliknya, rapat untuk menaikkan anggaran dewan berlipat-lipat atau rapat untuk menentukan studi banding pasti selalu kuorum. Bahkan, rapat pembahasan RUU Mahkamah Agung yang banyak ditentang rakyat itu malah selalu kuorum. Karena itulah, Ketua Fraksi PKB Effendi Choirie menggulirkan gagasan untuk mengumumkan nama-nama anggota dewan yang bolos rapat. Ia berpendapat sanksi yang paling tepat bagi para anggota dewan yang malas rapat adalah diumumkan kepada publik. "Biar publik yang menilai dan tidak memilih para anggota DPR yang sering bolos," katanya. Anggota DPR tidak sekadar malas bersidang. Ada pula yang menitipkan daftar hadir kepada sekretaris. Ketua F-PPP Lukman Hakim Saifuddin sudah mengetahui anggota dewan yang memalsukan daftar hadir. "Saya serahkan ke Badan Kehormatan (BK) untuk menindaklanjutinya." Ketua BK DPR Irsyad Sudiro pun berjanji untuk membahas usulan merekapitulasi tingkat keaktifan anggota dewan dalam setiap rapat. Wakil Ketua BK Tiurlan Hutagaol mengakui anggota dewan sudah dijangkiti fenomena 'hadir, tanda tangan, lalu pulang'. (*/X-8)
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTEzNDM=

2009, Tahun Korupsi Politik

2009, Tahun Korupsi Politik
[JAKARTA] Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis mengkhawatirkan ritual lima tahunan, berupa pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009, akan menjadi lahan subur bagi korupsi.
"Walaupun Indeks Persepsi Korupsi kita mengalami peningkatan dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008, kita tak bisa berpuas diri dalam menghadapi tahun politik, yang menurut pengamatan banyak pihak, akan menjadi tahun korupsi politik," ucapnya saat peringatan ulang tahun ke-8 TII, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (18/12).
Di satu sisi, lanjutnya, bangsa ini boleh berbangga bisa mewujudkan demokrasi namun pada sisi lain demokrasi itu ternyata sangat mahal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengelola dana lebih dari Rp 23 triliun.
Dana pemilu ini akan lebih besar lagi jika ditambah dengan dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dana yang dikelola KPU pada 2004 sekitar Rp 7 triliun dan itu pun sudah dikerubuti banyak "tikus".
"Bisa dibayangkan betapa akan banyak tikus yang berkeliaran di sekitar KPU, yang mungkin juga akan terpedaya atau memang sudah main mata dengan tikus-tikus yang akan bermain dalam berbagai proyek pengadaan. Semoga, KPU tidak menjadi sarang tikus," ujarnya.
Dikatakan, korupsi lain yang akan banyak terjadi adalah dalam keuangan partai politik dan para calon yang pasti akan mendapat gelontoran dana dari banyak donatur, badan hukum, atau perorangan. Karena itu, dia mempertanyakan pencatatan dana tersebut dan akuntabilitasnya.
Selain itu, patut pula ditelusuri sejauh mana KPU dan auditor yang akan memeriksa keuangan partai politik dan para calon. "Tampaknya, tingkat kebocoran akan sangat banyak dan kita tak akan mampu melakukan deteksi dini," tukasnya. [M-7]
Last modified: 19/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/19/Nasional/nas02.htm

2009, Tahun Korupsi Politik

2009, Tahun Korupsi Politik
[JAKARTA] Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis mengkhawatirkan ritual lima tahunan, berupa pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009, akan menjadi lahan subur bagi korupsi.
"Walaupun Indeks Persepsi Korupsi kita mengalami peningkatan dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008, kita tak bisa berpuas diri dalam menghadapi tahun politik, yang menurut pengamatan banyak pihak, akan menjadi tahun korupsi politik," ucapnya saat peringatan ulang tahun ke-8 TII, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (18/12).
Di satu sisi, lanjutnya, bangsa ini boleh berbangga bisa mewujudkan demokrasi namun pada sisi lain demokrasi itu ternyata sangat mahal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengelola dana lebih dari Rp 23 triliun.
Dana pemilu ini akan lebih besar lagi jika ditambah dengan dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dana yang dikelola KPU pada 2004 sekitar Rp 7 triliun dan itu pun sudah dikerubuti banyak "tikus".
"Bisa dibayangkan betapa akan banyak tikus yang berkeliaran di sekitar KPU, yang mungkin juga akan terpedaya atau memang sudah main mata dengan tikus-tikus yang akan bermain dalam berbagai proyek pengadaan. Semoga, KPU tidak menjadi sarang tikus," ujarnya.
Dikatakan, korupsi lain yang akan banyak terjadi adalah dalam keuangan partai politik dan para calon yang pasti akan mendapat gelontoran dana dari banyak donatur, badan hukum, atau perorangan. Karena itu, dia mempertanyakan pencatatan dana tersebut dan akuntabilitasnya.
Selain itu, patut pula ditelusuri sejauh mana KPU dan auditor yang akan memeriksa keuangan partai politik dan para calon. "Tampaknya, tingkat kebocoran akan sangat banyak dan kita tak akan mampu melakukan deteksi dini," tukasnya. [M-7]
Last modified: 19/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/19/Nasional/nas02.htm

Pendidikan Terpuruk, Pedulikah Kita?

Pendidikan Terpuruk, Pedulikah Kita?

Wim Tangkilisan

erdasarkan laporan bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan bertajuk "Education for All (EFA) Global Monitoring Report" itu, antara lain menyoroti pendidikan dasar dan kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan.
Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk.
Sejalan dengan laporan badan dunia itu, data pendidikan di Indonesia pada 2008 menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/MI mencapai 95 persen, sedangkan tingkat SMP/MTs baru mencapai 71,83 persen. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) SMA/MA/SMK 2006 hanya sebesar 55,22 persen dan yang menyedihkan adalah APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70 persen.
Tingkat partisipasi yang secara gradasi terus menurun, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi itu, masih harus dipangkas dengan angka putus sekolah, mulai dari tingkat SD yang mencapai 2,97 persen, SMP 2,42 persen, SMA 3,06 persen, dan pendidikan tinggi 5,9 persen. Beban ekonomi rakyat yang semakin berat dari tahun ke tahun, menjadi faktor utama munculnya kasus putus sekolah. Kenyataan tersebut masih diperparah dengan tingginya jumlah warga negara yang buta huruf. Data yang ada menunjukkan masih ada 15,4 juta penduduk berusia di atas 15 tahun yang menderita buta aksara.
Kondisi itu jauh dari harapan para founding fathers
. Ketika negara ini hendak didirikan, para bapak bangsa telah berpikir bahwa anak-anak negeri harus cerdas. Tak heran bila dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah merdeka lebih dari 63 tahun dan melewati kepemimpinan beberapa rezim, cita-cita luhur pendiri negeri belum sepenuhnya tercapai. Bahkan, kita melihat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa belum dilakukan secara maksimal. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tentu saja dilakukan dengan memajukan dunia pendidikan yang bermuara pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Terkait hal itu, kita masih tetap harus bersedih karena daya saing Indonesia masih sangat rendah, bukan cuma di mata dunia internasional, tapi juga di antara negara-negara ASEAN. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) 2008-2009, daya saing Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 55. Peringkat itu berada di bawah beberapa negara ASEAN, seperti Singapura di peringkat 5, Malaysia 21, Thailand 34, dan Brunei Darussalam 39.
Peringkat daya saing Indonesia itu terus merosot sejak krisis ekonomi tahun 1998. Indonesia yang sempat duduk di peringkat ke-37 pada tahun 1999, turun ke posisi 44 pada tahun 2000. Peringkat ini menurun lagi pada tahun 2001 ke urutan 49, dan 69 pada tahun 2002, sebelum akhirnya menduduki peringkat terendah pada tahun 2003 dengan posisi ke-72, kemudian ke posisi 54 pada 2007.
Ada banyak faktor yang membuat daya saing Indonesia dinilai masih rendah, seperti infrastruktur, birokrasi, persoalan energi, penegakan hukum, dan tentu saja kualitas SDM yang terkait dengan kualitas pendidikan.
Menatap ke Depan
Secara umum, pendidikan di Indonesia belum mengalami kemajuan berarti. Potret dunia pendidikan yang memprihatinkan itu harus membuat pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bekerja lebih keras untuk memajukan dunia pendidikan.
Dari gambaran di atas sudah sepantasnya peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, yakni dari Rp 50 triliun pada 2008 menjadi Rp 61 triliun pada 2009 yang dikelola Depdiknas, dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemajuan pendidikan. Terlepas dari masih adanya sejumlah kalangan yang mempersoalkan anggaran sebesar itu sesungguhnya belum mencapai 20 persen APBN sesuai amanat UUD 1945, paling tidak kita melihat ada kesungguhan dan kepedulian pemerintah pimpinan Presiden Yudhoyono meningkatkan anggaran pendidikan. Sekadar informasi, total RAPBN 2009 mencapai Rp 1.000 triliun.

Dengan peningkatan anggaran yang signifikan, Mendiknas Bambang Sudibyo dan jajarannya memiliki kewajiban membuat program-program konkret yang bisa memajukan dunia pendidikan. Sejauh ini kita masih meragukan kemampuan birokrat pendidikan merancang program yang betul-betul efektif. Maklum, Depdiknas masih tercatat sebagai salah satu instansi yang korup. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan ada indikasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pada 2006 dan 2007. Jauh sebelum ini, memang ada kasus voucher pendidikan dan pungutan liar saat penerimaan siswa baru (PSB) dan kenaikan kelas yang melibatkan oknum guru dan pejabat Dinas Pendidikan.
Kalau birokrat pendidikan kurang mampu merancang program yang efektif, tidak ada salahnya Depdiknas meminta bantuan pakar dan kalangan perguruan tinggi yang concern pada hal tersebut. Kalau perlu, Inspektorat Jenderal Depdiknas, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ikut dilibatkan untuk meminimalisasi peluang korupsi.
Kesejahteraan Guru
Terkait peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan, ada dua hal yang harus diprioritaskan. Pertama, peningkatan kesejahteraan guru dan dosen. Kedua, program buku pelajaran dan text book gratis.
Di hadapan Komisi X DPR beberapa waktu lalu, Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan sebagian anggaran pendidikan dimanfaatkan untuk menaikkan gaji guru dan dosen, termasuk yang telah dinobatkan menjadi guru besar. Kenaikan yang paling mencolok terlihat pada gaji guru besar bergolongan IV/E bersertifikat, yakni dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta per bulan. Sedangkan, gaji guru diproyeksikan minimal Rp 2 juta per bulan.
Sayangnya, kenaikan gaji tidak berlaku untuk para tutor atau guru pendidikan nonformal yang mengajar di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang umumnya menyelenggarakan pendidikan kesetaraan. Para guru dan dosen yang tidak berstatus PNS pun mengalami nasib serupa.
Pemerintah, khususnya Depdiknas, seharusnya sadar bahwa guru dan dosen memiliki peran sentral untuk mencerdaskan anak bangsa. Bagaimana mungkin mereka mentransfer ilmu secara baik kalau kehidupannya tidak sejahtera? Yang menyedihkan adalah mereka tak memiliki cukup dana untuk membeli buku atau mengakses internet dalam upaya menambah dan memperkaya wawasannya. Guru dan dosen harus sejahtera!

Sejalan dengan itu, sepantasnya pemerintah memperhatikan keberadaan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) dan eks-Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang menjadi lembaga pencetak tenaga guru. Wujudnya, mahasiswa yang kuliah di sana mendapat keringanan biaya, beasiswa, dan fasilitas memadai. Berbagai insentif bagi guru dan dosen akan membuat profesi ini kembali dilirik, sehingga calon mahasiswa yang kuliah di FKIP dan eks-IKIP, bukanlah mereka yang terbuang dari fakultas favorit lainnya.
Sedangkan untuk buku pelajaran, pemerintah bisa merekrut guru dan dosen yang andal menulis. Hak cipta buku itu dibeli, lalu pemerintah menjalin kerja sama dengan para penerbit untuk memperbanyak buku dan memberikannya secara gratis kepada semua siswa dan mahasiswa.
Di luar pemerintah, kontribusi kalangan swasta pun sangat diharapkan. Belakangan ini, kita melihat sejumlah konglomerat membangun pusat pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Keterlibatan mereka patut diapresiasi, bahkan perlu dipertimbangkan adanya insentif, antara lain berupa pengurangan pajak.
Urusan pendidikan memang tak hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga swasta. Keterlibatan pihak swasta pun diakomodasi dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang baru saja disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, sehingga jalinan kerja sama untuk membangun dunia pendidikan semakin harmonis. Kepedulian terhadap pembangunan dunia pendidikan harus senantiasa ditumbuhkan agar kualitas sumber daya manusia Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu.
Penulis adalah Pemimpin Umum Suara Pembaruan
Last modified: 19/12/08

http://202.169.46.231/News/2008/12/19/Editor/edit02.htm

Bali Ndeso, Tumpakan Yo Ora Ndeso

Bali Ndeso, Tumpakan Yo Ora Ndeso




Ditulis Oleh Lanang Bagus Dwisandy


Kenyataannya yang namanya kucing dikasih ikan asin ya gak bakalan nolak, tetap saja kalau fasilitas sudah ada, mau nggak mau ya tetap dipakai.Saya tidak tahu perasaan Gubernur bagaimana, yang jelas kenyataan yang ada saat ini nasib rakyat masih banyak yang melarat, minyak tanah mahal, diganti gas malah langka. Sepertinya Bapak Gubernur harus melihat acara reality show tentang keadaan rakyat kecil yang mau makan aja susahnya minta ampun, seperti yang orang pernah bilang "Rakyat Miskin Dilarang Sakit, Rakyat Miskin Tidak Boleh Sekolah".Dengan keadaan rakyat yang masih susah, apa pantas seorang pemimpin yang baik dan adil menggunakan fasilitas yang sangat wah, bernilai miliaran rupiah, hanya untuk kendaraan dinas, sementara masih banyak rakyatnya masih meminta-minta di jalanan hanya untuk sebungkus nasi rames?
Padahal, alangkah bijak dan terpujinya bila anggaran tersebut bisa digunakan untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyat kecil sehingga mereka bisa memperoleh makan dari nafkah yang mereka cari dengan cara yang halal, syukur-syukur kebutuhan primer bisa terpenuhi, seperti papan, sandang, pangan, serta merta kebutuhan lainnya yang sekunder, seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.Kalau rakyat tidak sehat, tidak pintar, bagaimana bisa provinsi ini (umumnya negara ini) akan maju? 60 tahun lebih merdeka, keadaaannya ya itu-itu saja.Bukankah agama mengajarkan, pemimpin yang adil akan dilindungi pada hari kiamat, dan bukankah orang-orang yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain itu berdosa?Pengadaan mobil dinas gubernur ini hanya salah satu contoh yang menggambarkan secara umum tingkah para pejabat, setelah membaca banyak berita di Suara Merdeka bahwa pengadaan aset-aset negara untuk kendaraan dinas para pejabat seperti anggota dewan, dan lain-lain, juga menelan biaya yang tidak kalah 'wah'nya). Hm, enaknya jadi pejabat!

http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=566&Itemid=1

Perang Citra danLiterasi Politik

Written By gusdurian on Kamis, 18 Desember 2008 | 12.07

Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009.
Berbagai manuver, intrik, manajemen konflik, serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan panas.Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004 memberi kesempatan bagi para kandidat presiden, anggota legislatif maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tunakuasa tanpa literasi politik yang memadai. Puncak Perang Citra Kampanye politik pada 2008 memang masih relatif adem ayem. Para penampil yang akan berebut kekuasaan seolah sadar bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Dana dan energi disiapkan untuk menggarap massa di waktu yang nantinya berdekatan dengan perhelatan pesta demokrasi. Lima target bidikan waktu selama 2009 tentu telah dihitung dan dianalisis secara saksama. Pada 9 April, akan ada pemungutan suara untuk Pemilu legislatif baik di level DPR,DPRD,dan DPD.Perebutan RI-1 dan RI-2 putaran pertama dijadwalkan 6 Juli,sementara putaran kedua jika diperlukan akan digelar pada 21 September.
Mereka yang menjadi pemenang dalam pemilu, akan dilantik pada 1 Oktober untuk para anggota legislatif sementara RI-1 dan wakilnya akan ditahbiskan pada 20 Oktober 2009. Selain target bidikan waktu tadi,jumlah kursi yang tersedia pun menjadi bahan berhitung dalam konstelasi politik yang berkembang.Perang terbuka diprediksi akan berjalan sengit, karena pemilu langsung menyediakan jumlah kursi yang terbatas.Kursi sebanyak 18.442 akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk daftar calon tetap.15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR dan 132 kursi DPD.Begitu pun menyangkut nakhoda negeri ini,hanya sepasang saja yang nantinya dipilih. Wilayah perebutan kekuasaan tadi, mendorong seluruh kandidat untuk all out menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai amunisi perang citra. Dalam Kongres XIV Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) baru-baru ini di Bandung, terdapat prediksi bahwa pemilihan presiden dan pemilu legislatif membuat potensi iklan politik di seluruh media berkisar antara 8 hingga 10 triliun. Jika mengacu pada peredaran uang di industri periklanan nasional selama 2008 yang berkisar di angka 20 triliun bersih, berarti ada potensi peningkatan yang signifikan. Sebuah prosesi perang citra tentu saja tidak murah. Pertama, industri pencitraan telah mengakomodasi kandidat sama halnya dengan produk komersial lain. Potensi “jualan” yang akan mengenalkan atau meneguhkan brand, berada dalam arus putaran M-C-M (money-commodity- more money). Kedua, di antara saluransaluran dalam komunikasi politik,media massa menjadi sarana kampanye yang ampuh menjadi peneguh dalam konteks bauran promosi (promotions mix) yang menggunakan pendekatan bidirectional campaign. Pendekatan ini memanfaatkan secara sinergis exposure media massa dengan segala variannya sekaligus juga saluran-saluran konvensional yang sudah mapan berada di masyarakat. Saluran komunikasi politik lain yang dimaksud yakni saluran face-to-face informal yang menekankan pada lobi dan negosiasi, struktur sosial tradisional yang menekankan pada posisi orang dalam suatu hierarki pengaruh,
saluran input yang mengoptimalkan hubungan dengan kelompokkelompok infrastruktur politik yang biasanya memberikan masukan ide, gagasan, tuntutan serta dukungan kepada suprastruktur politik. Ketiga adalah saluran output. Biasanya dilakukan dengan mengawal perjalanan lahirnya berbagai perundang- undangan dan implementasinya. Dengan demikian perang ini dilakukan di saluran legislatif dan birokrasi. Kebutuhan Literasi Politik Pemilu 1999 dan 2004,menunjukkan perang citra melalui media massa telah menjadi tren positif dalam sistem politik nasional. Ini merupakan salah satu hasil dari proses reformasi. Setiap warga negara berhak mengekspresikan ide,gagasan,pemikiran dan tindakan politik, tanpa harus takut berbenturan dengan politik korportif negara. Sayang, kedua Pemilu tersebut, masih sangat didominasi oleh motif tradisional dan motif rasional-bertujuan. Motif tradisional banyak dipengaruhi lingkungan keluarga,suku, ras,atau etnis. Sementara motif rasionalbertujuan berbasis kepentingan pragmatis individu untuk memperoleh kekuasaan cara apa pun. Baik motif tradisional yang berada di dimensi historisitas berjenjang maupun motif rasional-bertujuan yang berbasis pragmatisme, sama-sama memfasilitasi politik dalam arus yang linear. Yakni, mengalir dari the leadershippublicataueliteopinike publik beperhatian (the attentive public) lalu ke masyarakat awam (general public). Jikaalursepertiinijugaterjadi di Pemilu 2009, maka dapat diprediksi pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang transformasional. Solusi paling tepat dalam membentuk pemilih rasional di Indonesia adalah gerakan literasi politik. Gerakan ini semestinya masif dilakukan oleh pemerintah, partai politik, interest and pressure group serta media massa.Awalnya term literasi ini populer digunakan di bidang studi dokumen (perpustakaan) dan informasi. Information literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, President of the Internationl Industry Association. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai orangorang yang terdidik di dalam mengaplikasikan sumbersumber informasi terhadap pekerjaan mereka.
Senada dengan itu, The American Library Association (1996) juga mendefinisikannya sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan, dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah. Literasi kemudian tidak dimaknai secara sempit dalam perspektif studi teks, tetapi juga dalam kognisi sosial dan konteks sosial,yakni tumbuhnya masyarakat rasional dan terdidik (educated society). Literasi politik dalam konteks Pemilu dipahami sebagai kemampuan warga masyarakat untuk mendefinisikan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal Pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa, dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya.Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan,membuat sintesis, serta membentuk jejaring pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka.Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan literasi politik.Dengan demikian, semestinya kampanye tidak semata-mata mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan untuk menjadi rasional voter. (*)Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195179/

Megawati Menolak Cawapres Berpola Pikir Presiden

JAKARTA(SINDO) – Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno putri, kemarin meluncurkan buku berisi kumpulan komentar tokoh nasional mengenai dirinya.
Dalam pidatonya, Megawati menegaskan tidak akan meminang calon wakil presiden (cawapres) yang berpola pikir menjadi presiden pada Pemilihan Presiden 2009. Atas dasar itu, Mega, panggilan akrab Megawati, menegaskan kepada jajaran DPP PDIP untuk selektif dalam menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya nanti.“Yang penting awas lho,aku emohnek nanti wapresku mikirin de’e presiden (tidak mau kalau wapres saya nanti berpikir dirinya itu presiden),”kata Mega. Saat ini banyak tokoh yang mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Namun, tidak satu pun yang menyatakan siap menjadi cawapres. Karena itu PDIP merasa perlu menggodok beberapa nama dan terus menyikapi dinamika politik sebelum menentukan siapa yang bakal diusung menjadi cawapres. “Begitu banyak capres, tapi saya mikir kok nggak ada yang mau untuk jadi cawapres ya? Terus Pram (Sekjen PDIP Pramono Anung) bilang, jadi gimana Bu? Mau nama atau kriteria? Ya kamu sekjen, kamu pikir dong,” ujar Mega menirukan percakapannya dengan Pramono Anung. Buku yang diluncurkan Mega di Jakarta kemarin dibalut judul “Mereka Bicara Mega”.Di antara mereka yang memberikan komentarnya adalah mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Maarif,Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua PBNU Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, mantan Ketua MPR Amien Rais,Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subijanto,tokoh intelektual Shalahuddin Wahid. Dalam acara tersebut beberapa tokoh nasional juga hadir dan satu per satu didaulat untuk memberikan sambutan.
Mereka di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Rizal Ramli, Yudi Latif, Sukardi Rinakit, pakar politik dari LIPI Ikrar Nusa Bhakti,Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi, capres independen Fadjroel Rahman, dan tokoh perempuan Tuty Alawiyah. Dalam kesempatan itu Mega kembali dengan tegas menyambut positif jika ada tokoh muda yang hendak maju sebagai capres.Namun, majunya tokoh muda tidak perlu mengatakan agar tokoh tua menyingkir dari pentas politik nasional. “Ngapain sih? Kalau yang muda mau maju, ya maju ajalah. Sampai saat ini saya lihat nggak ada yang maju. Kalau mau maju ya maju dong. Kalau gagal, nanti coba lagi. Jangan yang tua-tua disuruh nyingkir.Seperti waktu Pak Tifatul (Presiden PKS Tifatul Sembiring) bilang Ibu Mega nggakperlu lagi (maju). Memang dipikir saya doyan apa jadi calon presiden? Saya ini diangkat dari kongres partai lho, jadi jangan mainmain. Jadi kalau maju ya maju aja, nanti rakyat yang memilih,”ujarnya. Mega juga mengajak Sri Sultan bernostalgia. “Mas Sultan (Sultan HB X), saya punya pengalaman lho dengan Pak Sultan (HB IX). Waktu itu saya mau maju. Saya pikir saya harus menghadap Pak Sultan. Minta dukungan. Kata Mbak Norma (kerabat keraton), menghadapnya kayak menghadap raja.Ya sudah,saya ngomong. Pak Sultan, saya mau maju. Kemudian Pak Sultan bilang, ‘Terus, karepmu opo (keinginanmu apa), Mega. Ya saya bilang saja minta dukungan, maksudnya supaya bisa dapat suara di Yogya.Beliau bilang,Yo wis (ya sudah). Setelah itu saya bingung maksudnya apa. Ternyata, kata Mbak Norma, kalau sudah bilang begitu berarti sabdo pandito ratu(perkataan raja tidak bisa berubah).Dan ternyata,Mas Sultan,saya dapat suara lhodi Yogya.”Cerita Mega itu dibalas senyum oleh Sultan. Mega mengaku kenal baik dengan ayahanda Sri Sultan X,yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Karena itu Mega mengajak Sri Sultan X yang dia sebut Mas Sultan untuk mengingat kisahnya bersama ayah Sultan. Mega punya kedekatan yang lebih dengan keluarga Sultan. Bahkan tanpa malu Mega menyatakan bahwa kisah hidupnya banyak dibantu oleh Sri Sultan IX.
SetelahituPramono Anung mengatakanbahwaPDIPbaru akan mengerucutkan beberapa nama cawapres yang telah dijaring menjadi lima nama pada Rakernas IV PDIP yang rencananya digelar 27 hingga 29 Januari 2009. “Kita masih terus menunggu dinamika politik yang kian hari terus berkembang,” ungkapnya. Pramono mengakui PDIP hingga kini terus menjaga wacana menyatukan Megawati dengan Sultan. Karena itu, dia sangat menghargai kedatangan Sultan yang lebih memilih untuk hadir ke undangan Megawati dibandingkan menghadiri rapat kerja gubernur se- Indonesia. Di tempat yang sama Sri Sultan mengakui dirinya masih membuka kemungkinan untuk menjadi cawapres pada pemilihan presiden nanti. Namun, untuk saat ini dia tetap akan berjuang sekuat tenaga untuk bisa maju sebagai calon presiden dan terus menggalang agar mendapatkan dukungan parpol hingga 20% kursi DPR dan 25% suara nasional sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Pemilihan Presiden. “Yang jelas sama beliau (Mega), saya biasa berkomunikasi. Semua dikomunikasikan,” katanya. PPP Tertarik Sultan Setelah datang pada peluncuran buku Megawati, Sri Sultan juga menghadiri Forum PPP Mendengar dengan tajuk “Presiden Harapan, Harapan Presiden”di kantor DPP PPP, Jakarta, tadi malam. Dalam pidato Sultan bertekad akan mengubah paradigma kebijakan Indonesia dari kontinental ke maritim. Alasannya, wilayah Indonesia sebagian besar adalah perairan, tapi selama ini sektor maritim belum digarap serius. Sultan juga mengaku prihatin dengan reformasi yang jauh dari harapan. Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali mengaku tertarik pada gagasan Sri Sultan dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Namun, ketertarikan tersebut bukan berarti PPP mencalonkan Gubernur DIY. “PPP salut pada keberanian Sultan mencalonkan,meski belum punya kendaraan politik,”kata Suryadharma. Dia juga mengaku terkesan dengan Sultan yang tak berambisi dengan kekuasaan, sehingga tak perlu membuat kendaraan politik.
Mengenai diskusi, Suryadharma menjelaskan bahwa acara itu bukan forum uji kelayakan dan kepatutan. Forum itu hanya untuk mendengarkan gagasan kandidat presiden, baik Wiranto,Prabowo, Sutiyoso, Rizal Ramli, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo BambangYudhoyono.Karena itu, sejumlah capres akan diundang ke acara tersebut. “Kita ingin mendengar, siapa tahu ada pikiran brilian, sehingga PPP jatuh hati,”ujar Menteri Negara Koperasi dan UKM ini. (rahmat sahid/ ahmad baidowi)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195428/38/